Lisensi Dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian

(1)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN

Nama Mahasiswa : Eric Hotma Nomor Pokok : O87011037 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, C.N, M.Hum) Ketua

(Syafruddin Hasibuan, SH, M.H) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Runtung,SH., M.Hum)


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 28 September 2010

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum Anggota : 1. Syafruddin Hasibuan, SH, M.H

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 3. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum.


(5)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(6)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(7)

Judul Tesis : LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN

Nama Mahasiswa : Eric Hotma Nomor Pokok : O87011037 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, C.N, M.Hum) Ketua

(Syafruddin Hasibuan, SH, M.H) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Runtung,SH., M.Hum)


(8)

Telah diuji pada :

Tanggal 28 September 2010

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum Anggota : 1. Syafruddin Hasibuan, SH, M.H

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 3. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum.


(9)

ABSTRAK

Pasal 45-47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi. Llisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM. Namun, pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum dan Pengembangan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa sampai saat ini tidak adanya perjanjian lisensi khususnya yang menyangkut Karya Cipta Sinematografi yang terdaftar sehingga menunjukkan bahwa masih kurangnya kepedulian para pihak dalam yang terlibat dalam penggunaan karya cipta sinematografi.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan tentang pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian, pengaturan mengenai lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi dan Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengikatan suatu perjanjian lisensi hak cipta karya sinematografi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara lisan, melalui akta di bawah tangan yang dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dan dapat juga dibuat oleh notaris dalam bentuk akta otentik. Ketentuan royalti dalam perjanjian lisensi merupakan kewajiban dari penerima lisensi dan menjadi hak dari pemberi lisensi yang besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Apabila ditinjau ketentuan hukum perjanjian salah satu cara adalah mengikuti ketentuan hukum perjanjian secara umum, yaitu ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, khususnya yang berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian (Pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata). Pengaturan perjanjian lisensi hak cipta dan pembayaran royalti, termasuk dalam hal ini hak cipta sinematografi diatur dalam ketentuan UUHC dan juga didasarkan pada ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi seperti halnya pada keterlibatan pada berbagai perbuatan hukum yang memerlukan suatu bentuk akta otentik yang nantinya dapat berguna bagi para pihak. Dalam hal ini notaris dapat berperan sebagai pejabat umum yang membuat dan menjamin keotentikan akta dari perjanjian lisensi yang di dalamnya memuat pemberian izin kepada penerima lisensi dengan mewajibkan penerima lisensi membaya royalti sebagaimana yang disepakati.

Disarankan kepada para pemegang hak cipta khususnya hak cipta sinematografi agar hendaknya dalam setiap perjanjian lisensi sinematografi antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi dibuat secara tertulis dan memenuhi segala ketentuan yang berlaku sehingga terdapat keseimbangan tawar menawar antara hak dan kewajiban, guna terhindar dari sengketa antara pihak di kemudian hari termasuk juga dengan membuat melalui akta notaris.

Kata Kunci


(10)

ABSTRACT

Articles 45-47 of Law on Copy Right specifically regulate the licence which basically provides a right to the Copy Right Holder to provide licence to other party through the licence agreement. Licence must be made based on the agreement to do the exclusive right to the Creator or Copy Right Holder. According to Article 47 (2), the agreement of licence provision is determined that “in order to make it have a legal consequence on the third party, the licence must be registered at the Directorate General”, meaning the licence agreement made by the Copy Right Holder and the licence recipient must be registered at the Directorate General of Intellectual Property Right in the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights. But, in the Legal Service and Legal development Section of the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights, the Province of Sumatera Utara, up to now, there is no licence agreement especially the one related to the registered Cinematography Copy Right that it reveals that parties involved pay less attention to the use of Cinematography Copy Right.

This descriptive study describes about the binding of a licence agreement and the determination of royalty according to law on agreement, regulations on licence and the payment of royalty of Cinematography Copy Right and how notary applies his/her authority in meeting the general agreement stipulation in an agreement of cinematography licence.

The result of this study showed that the binding of an agreement of licence of Cinematography Copy Right can be orally done, through an underhanded act made based on the agreement between the parties involved, and it can also be made by a notary in the form of an authentic document. The determination of royalty in the licence agreement is the responsibility of the licence recipient and becomes the right of the licence provider whose amount is based on the agreement made by the parties involved. According to law on agreement, one of the ways is to follow the stipulation of law on agreement in general, such as the stipulation which is regulated in the Indonesian Civil Codes, especially the one related to the principle of freedom to make contract and the validity of agreement (Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes). The regulation of agreement of licence of Cinematography Copy Right and royalty payment, in this case cinematography copy right, is regulated in the stipulation of Law on Copy Right and also based on the general stipulation on agreement regulated in the Indonesian Civil Codes. The authority of notary in meeting the general stipulation on agreement in an agreement of cinematography licence is more or less similar to the involvement of several parties in various legal actions which need an authentic document that can be used by the parties involved later on. In this case, a notary can play a role of a general official who makes and guarantees the authenticity of the document of licence agreement containing the provision of llicence to the licence recipient and requires the licence recipient to pay the royalty as agreed .

The copy right holders, especially the cinematigraphy copy right holders, are suggested to make each agreement of cinematography licence between the licence provide and the licence recipient in the form of writing or notarial document and meet all of existing stipulation to obtain a balanced bergaining power between right and responsibiliy to avoid the dispute which may occur between the parties involved in the future.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkatnyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis

dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :


(12)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.).

6. Seluruh Staf/Pegawai pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.


(13)

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2008 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan. 9. Kasubbid Pelayanan Hukum dan Umum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Sumatera Utara, beserta seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada rekan-rekan seangkatan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberi sumbang saran, ide dan pendapatnya


(14)

sehingga membuat warna tersendiri dalam tesis pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya.

Amien…..

Medan, September 2010 Penulis,


(15)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Eric Hotma

Tempat/Tanggal lahir : Medan 02 Desember 1982

Alamat : MT. Haryono 11 Medan

Status : Belum Kawin

II. KELUARGA

Ayah : Sianto Hotma

Ibu : Tjinni

Kakak : Vinny Hotma

Adik : Felik Hotma

III. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : Sutomo I (Tahun 1991-1997) Sekolah Menengah Pertama : Sutomo I (Tahun 1997-2000) Sekolah Menengah Atas : Sutomo I (Tahun 2000-2003)

Strata I : Fakultas Hukum USU (Tahun 2003-2007) Strata II : Program Studi Magister Kenotariatan FH –


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ……... iii

RIWATAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ………….……… viii

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A.Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C.Tujuan Penelitian ... 13

D.Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………... 15

G.Metode Penelitian ... 25

BAB II. PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN ROYALTI DITINJAU DARI KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Pada Umumnya …………...……….. 30

B. Syarat-syarat Untuk Sahnya Suatu Perjanjian ...………… 43

C.Pembatalan dan Hapusnya Suatu Perjanjian ………... 54

D.Lisensi dan Tujuan Lisensi Menurut Hukum Perjanjian ….. 64

E. Para Pihak dalam Lisensi Hak Cipta dan Jenis Lisensi ……. 75

F. Royalti dalam Perjanjian Lisensi ……….. 83

BAB III. PENGATURAN LISENSI DAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMA TOGRAFI A.Pengertian Umum dan Sejarah Hak Cipta ……… 87


(17)

B. Hak-Hak yang Terkandung Dalam Hak Cipta …….………. 94 C. Pengaturan Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta

Sinematografi ……….. 100

BAB IV. PERANAN NOTARIS DALAM PEMENUHAN KETENTUAN UMUM PERJANJIAN DALAM SUATU PERJANJIAN LISENSI SINEMATOGRAFI

A.Kewenangan dan Tugas Notaris ……… 114 B. Peranan Notaris Dalam Pemenuhan Ketentuan Umum

Perjanjian Dalam Suatu Perjanjian Lisensi

Sinematografi ……… 122

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 131 B. Saran ... 134 DAFTAR PUSTAKA ... 135


(18)

DAFTAR SINGKATAN

UUD 1945 : Undang-undang Dasar 1945

UU : Undang-undang

UUHC : Undang-undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002) HKI : Hak Kekayaan Intelektual

CD : Compact Disk

VCD : Video Compact Disk

KUH Perdata : Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Ditjen HKI : Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual PJN : Peraturan Jabatan Notaris

UUJN : Undang-undang Jabatan Notaris HAM : Hak Asasi Manusia

WIPO : World Intellectual Property Organization YKCI : Yayasan Karya Cipta Indonesia

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung WTO : World Trade Organization

TRIPs : Agreement On Trade Related of Intellectual Property Right in Counterfit Goods


(19)

DAFTAR ISTILAH

Advance : Secara bertahap Accessoir : Pelengkap

Consist to be baund : Sepakat mengikatkan diri pada perjanjian Copyrights : Hak Cipta

Economic rights : Hak Ekonomi Flatpay : Secara langsung Goede zeden : Kesusilaan

Good-faith : Iktikad baik

Intelektual Property Right : Hak Kekayaan Intelektual Lay Out : Perwajahan

License fee : Pembayaran royalti Licensee : Penerima lisensi Licensor : Pemberi lisensi Moral rights : Hak Moral Moving images : Gambar gerak Neighboring rights : Hak terkait Openvare orde : Ketertiban umum Rechts title : Alas hak


(20)

ABSTRAK

Pasal 45-47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi. Llisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM. Namun, pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum dan Pengembangan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa sampai saat ini tidak adanya perjanjian lisensi khususnya yang menyangkut Karya Cipta Sinematografi yang terdaftar sehingga menunjukkan bahwa masih kurangnya kepedulian para pihak dalam yang terlibat dalam penggunaan karya cipta sinematografi.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan tentang pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian, pengaturan mengenai lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi dan Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengikatan suatu perjanjian lisensi hak cipta karya sinematografi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara lisan, melalui akta di bawah tangan yang dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dan dapat juga dibuat oleh notaris dalam bentuk akta otentik. Ketentuan royalti dalam perjanjian lisensi merupakan kewajiban dari penerima lisensi dan menjadi hak dari pemberi lisensi yang besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Apabila ditinjau ketentuan hukum perjanjian salah satu cara adalah mengikuti ketentuan hukum perjanjian secara umum, yaitu ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, khususnya yang berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian (Pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata). Pengaturan perjanjian lisensi hak cipta dan pembayaran royalti, termasuk dalam hal ini hak cipta sinematografi diatur dalam ketentuan UUHC dan juga didasarkan pada ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi seperti halnya pada keterlibatan pada berbagai perbuatan hukum yang memerlukan suatu bentuk akta otentik yang nantinya dapat berguna bagi para pihak. Dalam hal ini notaris dapat berperan sebagai pejabat umum yang membuat dan menjamin keotentikan akta dari perjanjian lisensi yang di dalamnya memuat pemberian izin kepada penerima lisensi dengan mewajibkan penerima lisensi membaya royalti sebagaimana yang disepakati.

Disarankan kepada para pemegang hak cipta khususnya hak cipta sinematografi agar hendaknya dalam setiap perjanjian lisensi sinematografi antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi dibuat secara tertulis dan memenuhi segala ketentuan yang berlaku sehingga terdapat keseimbangan tawar menawar antara hak dan kewajiban, guna terhindar dari sengketa antara pihak di kemudian hari termasuk juga dengan membuat melalui akta notaris.

Kata Kunci


(21)

ABSTRACT

Articles 45-47 of Law on Copy Right specifically regulate the licence which basically provides a right to the Copy Right Holder to provide licence to other party through the licence agreement. Licence must be made based on the agreement to do the exclusive right to the Creator or Copy Right Holder. According to Article 47 (2), the agreement of licence provision is determined that “in order to make it have a legal consequence on the third party, the licence must be registered at the Directorate General”, meaning the licence agreement made by the Copy Right Holder and the licence recipient must be registered at the Directorate General of Intellectual Property Right in the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights. But, in the Legal Service and Legal development Section of the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights, the Province of Sumatera Utara, up to now, there is no licence agreement especially the one related to the registered Cinematography Copy Right that it reveals that parties involved pay less attention to the use of Cinematography Copy Right.

This descriptive study describes about the binding of a licence agreement and the determination of royalty according to law on agreement, regulations on licence and the payment of royalty of Cinematography Copy Right and how notary applies his/her authority in meeting the general agreement stipulation in an agreement of cinematography licence.

The result of this study showed that the binding of an agreement of licence of Cinematography Copy Right can be orally done, through an underhanded act made based on the agreement between the parties involved, and it can also be made by a notary in the form of an authentic document. The determination of royalty in the licence agreement is the responsibility of the licence recipient and becomes the right of the licence provider whose amount is based on the agreement made by the parties involved. According to law on agreement, one of the ways is to follow the stipulation of law on agreement in general, such as the stipulation which is regulated in the Indonesian Civil Codes, especially the one related to the principle of freedom to make contract and the validity of agreement (Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes). The regulation of agreement of licence of Cinematography Copy Right and royalty payment, in this case cinematography copy right, is regulated in the stipulation of Law on Copy Right and also based on the general stipulation on agreement regulated in the Indonesian Civil Codes. The authority of notary in meeting the general stipulation on agreement in an agreement of cinematography licence is more or less similar to the involvement of several parties in various legal actions which need an authentic document that can be used by the parties involved later on. In this case, a notary can play a role of a general official who makes and guarantees the authenticity of the document of licence agreement containing the provision of llicence to the licence recipient and requires the licence recipient to pay the royalty as agreed .

The copy right holders, especially the cinematigraphy copy right holders, are suggested to make each agreement of cinematography licence between the licence provide and the licence recipient in the form of writing or notarial document and meet all of existing stipulation to obtain a balanced bergaining power between right and responsibiliy to avoid the dispute which may occur between the parties involved in the future.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional Indonesia adalah bertujuan untuk mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur, materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu

pemenuhan kebutuhan rohani dalam masyarakat yang modern sekarang ini adalah sarana hiburan, termasuk di dalamnya musik atau lagu dan film atau karya sinematografi.

Pada tingkat kehidupan masyarakat seperti sekarang ini musik, lagu dan juga film yang termasuk sinematografi bukan lagi sekedar sarana hiburan yang hanya habis setelah dinikmati tanpa memberikan dampak apapun bagi pencipta maupun penikmatnya. Lebih dari itu sekarang ini telah mampu menampakkan diri sebagai potensi ekonomi yang memiliki dampak sosial bahkan politik bagi suatu negara.

Apabila dilihat dari segi ekonomi, hak cipta lagu, musik dan film sebagai suatu karya cipta pada perwujudannya telah kian membuktikan kemampuannya untuk memberikan berbagai kemungkinan finansial yang tidak terbatas sifatnya, karena tidak bisa ditentukan berapa banyak yang menggunakan lagu untuk kepentingan komersil yang bukan merupakan ciptaannya sendiri.


(23)

Jika dilihat segi sosial, sarana hiburan berupa hak cipta lagu dan film sebagai

karya sinematografi juga mampu memberikan citra baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam hak cipta lagu dan sinematografi memberikan status sosial

tertentu kepada pemilik atau pemegang hak ciptanya dari lagu tersebut, sedangkan ke luar hak cipta memberikan cermin atas sikap dan apresiasi masyarakat terhadap karya cipta serta penciptanya sendiri. Begitu pula secara politis masalah ini memberikan cermin terutama bagi pemerintah yaitu tentang seberapa jauh upaya-upaya yang telah dilakukan dalam membina dan menata kehidupan masyarakatnya.1

Perkembangan bidang karya cipta lagu atau musik dan juga sinematografi saat ini telah menjadi lahan yang kian subur dan juga menarik minat untuk industri perekaman ataupun untuk “show business”. Bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia ini terutama pihak yang berkaitan langsung dalam dunia musik/perfilman seperti pencipta karya cipta musik dan sinematografi maupun pemakai/pengguna (user), akan mendapat manfaat yang besar sekali dari lahan baru ini karena bisa mendatangkan keuntungan secara finansial serta kepopuleran.2

1

Bambang Kesowo, dalam Andreas Argo Batoro, Pelaksanaan Perjanjian Lisensi Hak Cipta Atas Lagu Antara Pencipta Dengan User Di Indonesia, http://www.menulisyuk.com/html/ . Maret 2010

2 Ibid


(24)

Karya cipta sinematografi sebagai suatu karya cipta dapat berupa film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun, seperti halnya jenis karya cipta lainnya yang merupakan hasil karya yang perlu mendapat perlindungan oleh hukum. Perlindungan hukum yang diberikan atas hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap ciptaan tersebut akan dapat memberikan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang tersebut di atas.

Perlindungan hak cipta di Indonesia mulai disuarakan pada dekade tahun 1960 yang dilanjutkan dengan kajian-kajian pada dekade 1970-an. Indonesia menerbitkan peraturan yang mengatur hak cipta ini pada tahun 1982 yaitu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta”.3

Susilo Halim mengatakan bahwa :

Kemunculan undang-undang hak cipta ini, dari hari ke hari kian dianggap penting, sehingga secara terus menerus disempurnakan. Terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta membuka wawasan dan kesadaran bangsa untuk memberikan perlindungan-perlindungan yang berkait dengan hak cipta, sehingga tahun 1987 terbit Undang-undang Nomor 7 tahun 1987, Undang Nomor 12 tahun 1997 dan terakhir Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002.4

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta) disebutkan bahwa, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk

3

Susilo Halim, Pengaturan Hak Cipta di Indonesia, LP3S, 2006, Jakarta, hal.2.

4


(25)

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izinnya untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut undang-undang yang berlaku.

Adapun yang dimaksud hak eksklusif dari pencipta ialah tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan izin pencipta. Hak eksklusif tersebut merupakan hak khusus yang diberikan kepada pencipta untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan hak cipta tersebut.

Walaupun dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Hak Cipta ditentukan bahwa Hak Cipta adalah hak ekslusif, tetapi sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka ia mempunyai “fungsi sosial”, dalam arti bahwa hak eksklusif itu haknya dibatasi dengan “kepentingan umum”. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Pada kemungkinan membatasi hak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan Nasional, maka diwajibkan memberi ganti rugi kepada pencipta.

b. Adanya pengurangan waktu berlakunya hak cipta dari 50 (lima puluh) tahun

c. Ada kemungkinan hak cipta diberikan kepada negara atas benda budaya nasional.5

5

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 112.


(26)

Untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta dalam peraturan Undang-Undang Hak Cipta diatur tentang pendaftaran Hak Cipta. Pendaftaran ciptaan ini memang tidak mutlak dilakukan, karena tanpa pendaftaran pun hak cipta dilindungi oleh hukum. Hanya mengenai Hak Cipta yang tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu untuk membuktikannya, di samping itu hak cipta dapat juga dialihkan kepada orang lain, di mana pengalihan hak cipta ini diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta, pengalihan Hak Cipta ini berguna untuk melindungi dan memelihara hasil ciptaannya yang diperoleh dari ilmu pengetahuannya.

Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Hak Cipta disebutkan bahwa, yang disebut dengan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Hak Cipta disebutkan bahwa “ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keaslian dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, sastra”. Perlindungan hukum yang diberikan atas hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap karya cipta tersebut akan dapat memberikan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang tersebut.


(27)

Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta menentukan bahwa :

(1)Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g. arsitektur; h. peta; i. seni batik; j. fotografi; k. sinematografi;

l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

Pasal 12 ayat (1) huruf k Undang-undang Hak Cipta menyebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang meliputi karya sinematografi. Seperti halnya objek perlindungan

hak cipta lainnya, hak cipta sinematografi merupakan hak absolut, artinya hak cipta sinematografi hanya dimiliki oleh penciptanya sehingga yang


(28)

ciptanya tersebut. Oleh karena itu, suatu hak absolut seperti hak cipta mempunyai segi balik (segi pasif), artinya bahwa setiap orang wajib menghormati hak tersebut.6)

Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf k Undang-undang Hak Cipta, menyebutkan bahwa Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi

massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.

Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video,

cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan.7

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa ciptaan berupa sinematografi juga memperoleh perlindungan dalam Undang-undang Hak Cipta. Perlindungan

hukum menjadi penting dalam menjamin hak-hak dari pencipta. Dalam sebuah karya sinematografi/film terdapat 2 (dua) jenis perlindungan hukum, yaitu perlindungan terhadap pemegang hak cipta (copyrights) seperti sutradara dan perlindungan terhadap pemegang hak terkait (neighboring rights) seperti kepada pelaku (aktor), produser rekaman, dan lembaga penyiaran.8

6

Muhammad Djumhana, dan R. Djubaidillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 30.

7

Lihat Penjelasan Pasal 1 huruf k UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

8


(29)

Jadi Hak Cipta juga mengenal subjek-subjek lain, yaitu subjek yang ikut membantu mengumumkan, membawakan, memperbanyak ataupun menyiarkan karya cipta milik Pencipta. Subyek tersebut, kemudian diberikan suatu hak, yang kemudian disebut dengan Hak Terkait.

Hak pencipta termasuk hak cipta sinematografi dapat dialihkan kepada pihak atau diberikan wewenang untuk memperbanyak dan menyebarluaskan, menyiarkan, atau menyewakan suatu hasil ciptaan atau menggunakankan kepada pihak lain untuk keperluan komersil. Hal ini diperbolehkan oleh undang-undang dan dilakukan melalui pemberian lisensi. Lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam bentuk privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau suatu pihak tertentu. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.9

Pengalihan hak cipta ini juga merupakan efek dari perdagangan bebas yang selama ini didengungkan telah banyak menimbulkan kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan yang dapat dipatuhi oleh pihak-pihak dalam melakukan perdagangan internasional. Peraturan-peraturan yang dimaksud dapat memenuhi kebutuhan akan terciptanya sistem perdagangan yang lebih bebas, adil dengan

9

Lihat Poin 1 huruf H Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2009 Tentang


(30)

tetap memperhatikan perbedaan tingkat sosial ekonomi dari negara-negara dunia. Hal ini sangat berpengaruh pada penggunaan/pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) melintasi batas negara-negara, mulai terjadi menjelang akhir abad ke-19, yang mengakibatkan perlunya perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual tidak hanya secara bilateral, melainkan juga secara multilateral atau secara global.10

Perkembangan perdagangan bebas di dunia dewasa ini juga merupakan salah satu pemicu timbulnya perjanjian lisensi. Pemberian lisensi ini dilakukan melalui suatu kesepakatan atau perjanjian yang juga dikaitkan dengan ketentuan asas kebebasan berkontrak dari pencipta atau pemegang hak cipta dengan penerima lisensi. Pasal 1313 KUH Perdata menentukan bahwa ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

10

Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 29


(31)

Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tidak dapat berjalan sendiri, akan tetapi selalu berdampingan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat

sahnya perjanjian, yaitu (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu, dan (4) Suatu sebab yang halal.

Pasal 45 – 47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi untuk melaksanakan atau mempergunakan suatu karya cipta secara komersil dengan menerima royalti atas penggunaan hasil ciptaannya.

Pasal 45 Undang-undang Hak Cipta menentukan bahwa :

1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi.

4) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.11

11


(32)

Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa lisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, dimana dalam hal ini Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya

sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut

untuk kepentingan yang bersifat komersial.12

Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil Departemen Hukum dan HAM Provinsi yang sekarang dikenal dengan Kementrian Hukum dan HAM.

Selain itu, berdasarkan hasil informasi dari Sub.Seksi Hak Kekayaan Inteletual pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum dan Pengembangan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa sampai saat ini tidak adanya perjanjian lisensi khususnya yang menyangkut Karya Cipta Sinematografi yang terdaftar pada instansi yang berwenang. Hal ini

menunjukkan bahwa masih kurangnya kepedulian para pihak dalam yang terlibat dalam penggunaan karya cipta sinematografi yang belum memahami

12


(33)

pentingnya suatu Karya Cipta Sinematografi yang merupakan suatu hasil karya cipta sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) dan meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun yang dalam penggunaan oleh pihak lain tidak melalui perjanjian lisensi termasuk juga dalam pendaftaran lisensi karya cipta sinematografi sangat jarang dilakukan. Padahal banyak karya cipta sinematografi yang dipakai menjadi objek bisnis tetapi tidak dilakukan melalui perjanjian lisensi sesuai dengan ketentuan dalam hukum perjanjian dan tidak menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian lisensi karya cipta sinematografi dilihat dari hukum perjanjian.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang dibahas dalam pada penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian ?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi ?

3. Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi ?


(34)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian.

2. Untuk mengetahui pengaturan lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi

3. Untuk mengetahui kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1.Secara Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya, terutama mengenai masalah lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi menurut hukum perjanjian.

2.Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat khususnya yang terlibat dalam lisensi dan pembayaran royalti hak cipta


(35)

sinematografi, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya dalam penyebarluasan dan penggunaan hak cipta sinematografi orang lain dan peranan notaris sebagai pembuat akta perjanjian lisensi, sekaligus pula memberi masukan kepada aparat dan praktisi hukum yang berkaitan dengan hak milik intelektual.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, ditemukan beberapa judul penelitian yang menyangkut dengan Hak Kekayaan Intelektual diantaranya :

1. Penelitian dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta atas Lagu yang Tidak di Ketahui Penciptanya”, Oleh Sandhiyaning Wahyu A Arifani, 077011086/MKn

2. Penelitian dengan Judul “Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Lisensi Merek Jasa Perhotelan”, Oleh Fithri Mutiara Harahap, 077011022/MKn.


(36)

3. Penelitian dengan Judul “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Rekaman Suara Studi Mengenai Jasa Pengisian Ringtone Di Kota Medan, A. Enrico Tandean, 057011026/MKn

Dilihat dari topik yang dikaji pada kedua diatas jelas sangat berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang “LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.13 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6.

14

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal. 203.


(37)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.15

Lahirnya beberapa peraturan hukum positif diluar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.16

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa “Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan diatas mana dibangun tertib hukum.17 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah

15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandar Maju, Bandung 1994, hal 80.

16

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 55.

17

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung 1983, hal 15.


(38)

unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.18

Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan. Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.

Salah satu teori yang diterapkan dalam pembuatan perjanjian antara underwriter dan emiten adalah teori hasrat yaitu teori yang merupakan prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak yang menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau intend) dan pihak yang memberikan janji. Ukuran dan eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dan suatu perjanjian diukur dan hasrat tersebut, yang terpenting dalam suatu kontrak atau penjanjian bukan apa yang akan dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan. Jadi suatu perjanjian mula-mula dibentuk berdasarkan kehendak para pihak.19

18

Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bias dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

19

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dan Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra AdityaBakti,, Bandung, 2001, hal. 5


(39)

Selanjutnya menurut teori yang dikemukan oleh Van Dunne, yang mengartikan tentang perjanjian, yaitu “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.20

Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, yaitu :21

1. Tahap pra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa permasalahan lisensi di dalam Undang-undang Hak Cipta di atur di dalam bab V mulai dari Pasal 45 – 47 Undang-Undang-undang Hak Cipta. Berdasarkan Pasal 45 Undang-undang Hak Cipta maka pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian

20

Lely Niwan, Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987, hal. 26

21

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Mataram, 2002 hal. 26.


(40)

lisensi untuk melaksanakan perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Sedangkan pengertian lisensi berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Gunawan Widjaya mengelompokkan lisensi atas dua kelompok yaitu : 1. Lisensi umum

2. Lisensi paksa, lisensi wajib (compulsory license, non voluntary license).22

Lisensi umum adalah lisensi yang secara umum dikenal di dalam praktek perdagangan yang merupakan pemberian izin dari satu pihak kepada pihak lain setelah melalui proses negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu antara pemberi lisensi kepada penerima lisensi.

Lisensi paksa atau lisensi wajib adalah pemberian izin yang diberikan tidak dengan sukarela oleh pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual kepada penerima lisensi melainkan lisensi diberikan oleh suatu badan nasional yang berwenang.

22


(41)

Dalam praktek, lisensi dikategorikan atas 3 macam lisensi, yaitu :

1. Lisensi eksklusif, yaitu penerima lisensi yang memberikan izin hanya kepada penerima lisensi untuk menjalankan perbuatan yang diperjanjikan di dalam perjanjian lisensi.

2. Lisensi tunggal yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak ciptanya kepada pihak lain akan tetapi si pemegang hak cipta tetap dapat mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.

3. Lisensi non eksklusif yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak cipta kepada sejumlah pihak serta tetap pencipta atau pemegang hak cipta tetap dapat mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.23

Lisensi yang diberikan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Hak Cipta terhadap perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial berlangsung selama jangka waktu lisensi yang diberikan serta berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Kompensasi dari pemberian lisensi oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi adalah adanya pembayaran sejumlah royalti kepada pemberi lisensi, yaitu pemegang hak cipta oleh penerima lisensi dan jumlah royalti yang diberikan oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.24

23

Swari N. Tarigan, Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Rekaman Suara (Studi Mengenai Jasa Pengisian Rington Di Kota Medan, Thesis, PPS USU, Medan, 2008, hal. 69.

24


(42)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa bahwa dasar dari lisensi tersebut adalah perjanjian sehingga di dalam prakteknya disebut dengan perjanjian

lisensi. Hal ini tampak dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta yang menentukan bahwa pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi

kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, dan Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut unt uk kepentingan yang bersifat komersial.25

Kecuali diperjanjikan oleh kedua belah pihak, pemegang hak cipta masih diperbolehkan untuk melaksanakan sendiri perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial atau memberikan lisensi lain kepada pihak ketiga. Hal ini tampak di dalam Pasal 46 Undang-undang Hak Cipta. Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lisensi yang diberikan oleh pemberi lisensi belum tentu merupakan lisensi eksklusif yang hanya dapat dipegang oleh satu pihak penerima lisensi.

25

Lihat Pasal Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.


(43)

Menurut Swari N. Tarigan isi dari perjanjian lisensi adalah :

Pemberian izin untuk mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial dan di dalam perjanjian lisensi dilarang dimuat ketentuan yang dapat menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia atau ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.26 Lebih lanjut Husain Audah menyebutkan bahwa

Lisensi hak cipta dituangkan di dalam bentuk kontrak tertulis. Klausul yang termuat di dalam kontrak tersebut disusun untuk tidak membuka peluang adanya penafsiran yang argumentatif serta termuat di dalamnya ketentuan yang dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan dengan jelas dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku serta tidak menyalahi asas kepatutan.27

Oleh karena itu, yang harus diperhatikan di dalam perjanjian lisensi adalah : 1. Para pihak dimana masing-masing penandatangan kontrak tersebut

harus jelas kedudukannya baik nama, jabatan dan domisili.

2. Materi dimana materi yang dilisensikan harus disebutkan dengan jelas judul lagunya dengan lampiran lirik dan notasinya, rekaman dasar karya ciptanya.

3. Pemberian hak yaitu batasan hak yang diberikan dalam lisensi tersebut harus dicantumkan dengan lengkap dan jelas baik format kemasan (kaset, CD, VCD dan lain sebagainya) maupun jenis musiknya (pop, dangdut, campursari, dan lain sebagainya).

4. Durasi atau jangka waktu. Pencantuman jangka waktu penggunaan hak cipta bagi hak lisensi tersebut harus tertuang dengan pasti.

5. Wilayah. Batasan wilayah bagi penggunaan hak cipta dalam lisensi itu juga sebaiknya jelas dan terinci.

6. Pembayaran. Sistem pembayaran yang dilakukan dalam bentuk flatpay (langsung) atau royalti dengan atau tanpa advance (bertahap).

26Ibid

., hal. 70

27

Husain Audah, Hak Cipta dan Karya Cipta Musik, Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor. 2004, hal. 32


(44)

7. Kontrol. Dalam perjanjian yang menganut sistem royalti, dimuatkan klausul yang menyangkut hak inspeksi atau kontrol keuangan secara reguler minimal 3 bulan sekali terhadap perkembangan hasil eksploitasi karya cipta tersebut.

8. Jaminan. Jaminan dari pemberi lisensi (licensor) bahwa karya cipta yang diperjanjikan tersebut adalah asli atau original. Harus dimuat sebagai jaminan bagi penerima lisensi (licensee) dalam penggunaan karya cipta tersebut.

9. Arbitrase. Pencantuman lembaga arbitrase yang akan ditunjuk sebagai mediasi apabila terjadi sengketa yang menyangkut isi perjanjian tersebut perlu dipertimbangkan.28

Supaya perjanjian lisensi yang dilakukan oleh pemberi lisensi kepada

penerima lisensi memiliki akibat hukum bagi pihak ketiga, maka perjanjian lisensi tersebut harus dicatatkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

(Ditjen HKI). Pencatatan pada Ditjen HKI dilakukan sebagai upaya untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan perjanjian lisensi dan sekaligus juga sebagai sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara para pihak dalam pelaksanaan perjanjian lisensi.29

Dengan adanya, perjanjian lisensi ini, penerima lisensi sinematografi terdaftar tidak dapat digugat karena, dianggap melanggar hak atas hasil ciptaan sinematografi. Sebab pemilik (pemberi) Lisensi Terdaftar telah memberikan izin kepadanya, untuk menggunakan karya sinematografi tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan.

28Ibid

., hal 33.

29


(45)

2. Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping penggunaan asas dan standar, karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan hukum. Konsep juga dapat diartikan sebagai suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.30 Kerangka konsep mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.31 Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Berkaitan dengan judul penelitian tesis ini, berikut ini dikemukakan pula beberapa pengertian yang menjadi kerangka konsepsi penelitian, maka

a) Lisensi adalah hak yang dimiliki oleh pihak yang menjadi pemilik suatu bentuk hak kekayaan intelektual untuk mengalihkannya kepada pihak lain.

b) Perjanjian lisensi adalah perjanjian antara pencita atau pemegang hak cipta untuk mengalihkan penggunaan dan pemanfaat hak atas suatu karya cipta sinematografi kepada pihak lain.

c) Karya Cipta adalah hasil imajinasi seorang pencipta yang kemudian bermanfaat bagi orang lain.

30

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung hal. 307.

31

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7


(46)

d) Karya Sinematografi adalah karya cipta yang berupa media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan;

e) Pencipta adalah orang yang dengan pemikiran dan imajinasinya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

f) Penggunaan tanpa izin adalah orang atau badan hukum yang menggunakan karya cipta sinematografi tanpa izin pencipta.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menurut sifat dan jenisnnya dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-analitis. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya,32 kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisis data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku maupun dari

32


(47)

berbagai pendapat ahli hukum, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan yang diteliti, yakni gambaran mengenai Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian.

Sedang jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin menyebut metode penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.33

Sedikitnya ada tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah

33

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003, hal.1.


(48)

bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic, dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam atau indepth information.34

Ronny Hanitijo Sumitro menyatakan bahwa penelitian yuridis normatif terdiri atas :

1) penelitian inventarisasi hukum positif; 2) penelitian terhadap asas-asas hukum;

3) penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito; 4) penelitian terhadap sistematika hukum; dan

5) penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.35

Dalam penelitian ini maka penelitian yuridis normatif yang tepat adalah penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito, yakni suatu penelitian yang berusaha menemukan aspek hukum yang sesuai untuk permasalahan di bidang perjanjian lisensi sinematografi. Dalam penelitian ini metode yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang lisensi dan pembayaran royalti.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan

34Ibid

., hal 2.

35

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998. hal. 12.


(49)

penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

Penelitian kepustakaan (library research) dalam penelitian ini ditekankan pada pengambilan data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan yang antara lain adalah sebagai berikut :

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, seperti Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan obyek penelitian. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dan kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaahan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukurn sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum.

3. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam melihat Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian. Data yang diperoleh dari hasil


(50)

penelitian ini dianalisa dengan cara ”kwalitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.”36 Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

36

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, halaman 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari Suatu Proposisi Umum yang Kebenarannya telah Diketahui dan Diyakini dan Berakhir pada Suatu Kesimpulan yang Bersifat Lebih Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang Bersifat Aksiomatik (Self Efident) yang Esensi Kebenarannya Sudah Tidak Perlu Dipermasalahkan Lagi.


(51)

BAB II

PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN ROYALTI DITINJAU KETENTUAN

HUKUM PERJANJIAN

A.Pengertian Perjanjian pada Umumnya

Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang diberi kebebasan untuk mengadakan perikatan atau perjanjian sepanjang tidak melanggar batasan yang ditentukan. Berdasarkan kehendak para pihak yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa :

Diizinkan orang membuat peraturan sendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum perjanjian disebut dengan hukum pelengkap (optimal law) selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang berhubungann dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang halal.37

Dalam Buku III KUH Perdata, perjanjian mempunyai arti yang lebih luas sebab para sarjana memberikan istilah dan definisi yang beraneka ragam tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian sehingga terdapat yang jelas.

37

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hal 110.


(52)

Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.38

Ahmadi Miru mengatakan bahwa :

Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang

bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya,

perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.39

Salim H.S. mengatakan bahwa pada prinsipnya kontrak dari aspek namanya dapat digolongkan dalam 2 macam, yaitu :

1. Kontrak Nominaat, merupakan kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti, jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, pinjam pakai, persekutuan perdata, hibah, penanggungan hutang, perjanjian untung-untungan, dan perdamaian. 2. Kontrak Innominaat, merupakan perjanjian di luar KUH Perdata yang

tumbuh dan berkembang dalam praktik atau akibat adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1), seperti kontrak product sharing, kontrak karya, kontrak konstruksi, sewa beli, leasing, dan lain sebagainya.40)

38

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1

39Ibid

, hal. 2

40

Salim HS.,H., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 1.


(53)

Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.

Dengan demikian, perjanjian merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat dinikmati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

Pengertian perjanjian menurut pasal ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa “persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lainnya atau lebih”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami, pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwarneming, onregmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu :


(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku – Buku

Adam, Muhammad, Asal usul dan Sejarah Notaris, Sinar Baru, Bandung, 1985. Adjie, Habib, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat

Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008. Andasasmita, Komar, Notaris I, Sumur Bandung, 1981,.

Audah, Husain, Hak Cipta dan Karya Cipta Musik, Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor. 2004.

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (standar) Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990..

---, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasa, Alumni, Bandung, 1983.

---, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung 1983. Besila. Ch., Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Beberapa Aspek

Hukum di Bidang Lisensi, BPHN, 1994.

Bintang, Sanusi, Dkk. Laporan Hasil Penelitian Perluasan Cakupan Perlindungan Hak Ekonomi (Pencipta Karya Cipta Musik dan Lagu), Banda Aceh, 1998.

---, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Budiono, Herlin, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Damian, Edy, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, 2002.

Djumhana, Muhammad dan Djubadillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Fathlurachman, “Perkembangan Global dan Sistem Perlindungan Hak Cipta dan Desain Industri di Indonesia” Makalah pada seminar pemanfaatan sistem Hak kekayaan Intelektual oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan yang disenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Medan, 15 Juni 2006


(2)

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra AdityaBakti,, Bandung, 2001.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989. Halim, Susilo, Pengaturan Hak Cipta di Indonesia, LP3S, 2006, Jakarta.

Harahap, Fithri Mutiara, Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Lisensi Merek Jasa Perhotelan, Mkn, Sps Usu, Medan, 2009.

Harahap, M. Yahya, Segi- segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.

Harjowdigdo, Rooseno, Mengenai Hak Cipta Indonesia, Pustaka. Sinar Harapan, Jakarta, 1997.

Khairandy, Ridwan, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta 2004.

Klinik Konsultasi HKI, Buku Panduan Pengenalan Hak Kekayaan Intelektual, Dirjen Industri Kecil Menengah, Deperindag, Jakarta, 2006.

Lindsey, Tim, Hak Kekayaan Intelektual suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2005..

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandar Maju, Bandung 1994..

Makarim, Edmon, Spektrum Originalitas atas Karya Sinematografi, Harian KOMPAS, Minggu, 4 Februari 2007

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, 1987. Miru Ahmadi, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung 2002.

Muchtar, Dewi Astuti, Perjanjian Lisensi dan Alih Teknologi Dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Alumni, Bandung, 2001.


(3)

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

---, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. ---, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992.

---, Kajian Hukum Ekonomi dan Hak Milik Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003.

Niwan, Lely, Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, 1985

Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999..

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Rasjidi, Lili., dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002.

Rianto, M., Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2005

Riswandi, Budi Agus., dan M. Syamsuddin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004.

Saidin., OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.


(4)

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Mataram, 2002.

Sembiring, M.U, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notaris, Fakultas Hukum USU, Medan, 1997.

Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977. Sidabalok, Janus, Pengantar Ilmu Hukum Ekonomi, Bina Media, Medan 2006. Sitepu, Utinaita, Analisis Yuridis Perimbangan Kedudukan Para Pihak Dalam

Perjanjian Kerjasama Pendirian Tower Pemancar Indosat Dengan Pemda Subulussalam, MKn, SPS USU, Medan, 2009.

Sjahputra, Iman,”Hak Cipta dan Perjanjian atas Hak Royalti”, Analisa 26 Juni 2006.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, Ghalia

Indonesia, Jakarta 1998.

Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003.

Sofwan, Sri Soedewi Mosjchoen, Hukum Perjanjian, Yayasan Badan Penerbit, Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980.

Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 1980 ---, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1982. ---, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1984.


(5)

---, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984.

Sunggono Bambang, Metodelogi Penelitian Hukum, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Sutrisno, Komentar Atas UU Jabatan Notaris, Medan, Tanpa Penerbit, 2007. Syahrani, Ridwan, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,

1992.

Tarigan, Swari N. Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Rekaman Suara (Studi Mengenai Jasa Pengisian Ringtoon Di Kota Medan, Thesis, PPS USU, Medan, 2008

Tobing, G.H.S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1992. Usman, Rahmadi, Hukum Hak Milik atas Kekayaan Intelekual (Perlindungan dan

Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni, Bandung, 2003. Widjaja, Gunawan, Lisensi, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2001.

Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya.

Wuisman, J.J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar 1945


(6)

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (LNRI Tahun 2002 Nomor 85, TLNRI Nomor 4220).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta. (LNRI Tahun 1986 Nomor 14, TLNRI Nomor 3325).

Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.01-HC.03.01 Tahun 1987 tentang

Pendaftaran Ciptaan

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidik Hak Cipta

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2009 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-58/Pj/2009 Tanggal 04 Juni 2009 Tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2009 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi

C. Internet dan Majalah

”Hak Moral Sering Dilanggar”, Kompas 15 Mei 2006. http//:www.hukum online/html, Diakses Mei 2010.

Kesowo Bambang, dalam Andreas Argo Batoro, Pelaksanaan Perjanjian Lisensi Hak Cipta Atas Lagu Antara Pencipta Dengan User Di Indonesia,