Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak

(1)

KEHIDUPAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN

HUTAN GUNUNG SALAK

MADE SUWENA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor Nopember 2006

Made Suwena NIM.G361020041


(3)

Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, dan IBNUL QAYIM.

Eksplorasi biodiversitas tumbuhan liar dan pengetahuan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan jenis tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan. Tujuan lain adalah mempelajari biodiversitas tumbuhan liar, pengetahuan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan oleh masyarakat serta etnobotani tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi. Penelitian di lakukan di sekitar kawasan hutan Gunung Salak mulai bulan Mei 2004 sampai Agustus 2005.

Data tumbuhan diperoleh dengan analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat dan transek. Analisis vegetasi dilakukan pada ekosistem sawah, semak, tegalan, hutan produksi, dan hutan alam. Analisis data untuk indeks keanekaragaman berdasarkan Shanon-Wiener, indeks kemerataan berdasarkan Simpson, dan indeks similaritas jenis berdasarkan Sorensen.Pengumpulan data pada masyarakat dengan teknik wawancara struktural dan kuesioner. Penentuan tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi berdasarkan metode perbandingan eksponensial. Ekologi dan fenologi tumbuhan yang paling berpotensi diketahui dengan cara pembuatan demplot dan percobaan di Rumah Kaca.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa di kawasan hutan Gunung Salak ditemukan tumbuhan liar dan tanaman budidaya sebanyak 595 jenis dari 140 suku. Tumbuhan liar sebanyak 513 jenis dari 121 suku dengan indeks keanekaragaman sangat tinggi dan kemerataan jenis yang tinggi. Tumbuhan liar edibel sebanyak 185 dari 65 suku dengan indeks keanekaragaman dan kemerataan yang tinggi. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah Digitaria radicosa. Pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan tumbuha n liar dan pelestarian lingkungan berkorelasi positif dengan kelas usia. Semakin tua usia, semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan kaum laki- laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Jumlah jenis tumbuhan liar edibel yang berfungsi sebagai buah sebanyak 29 jenis dari 15 suku, sayur 68 jenis dari 36 suku, obat sebanyak 92 jenis dari 40 suku, penyedap sebanyak 11 jenis dari 10 suku, dan sebagai sumber karbohidrat sebanyak 10 jenis dari 8 suku.

Tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan adalah canar susu (Smilax macrocarpa Bl.). Habitat tumbuh canar susu adalah hutan produksi dan hutan alam pada ketinggian >800 m dpl. Tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson), jenis tanah asosiasi andosol, latosol, dan regusol. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan liana, panjang 5 – 15 m, bunga uniseksual dan bergerombol, buah bergerombol pada setiap tangkai dengan jumlah 10 – 15 buah. Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji dan stek. Hasil buah dapat mencapai 500 kg/rumpun. Keunggulan tumbuhan ini yang dimiliki diantaranya: kandungan kalsium (Ca) yang tinggi (0.30%), kandungan tanin (positif sangat kuat) dan saponin (positif kuat) sebagai bahan industri, dapat memberikan keuntungan bersih sebesar Rp. 22.500.000 pada panen pertama (tahun III) dan sebesar Rp. 67.500.000 pada panen kedua (tahun IV) dalam 1 ha.


(4)

MADE SUWENA

Gunung Salak Forest Area. Under the direction of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, and IBNUL QAYIM.

Exploration of wild plant biodiversity and cummunity knowledge in Gunung Salak forest area was conducted with main purpose to obtain the most potential edible wild plant to be developed. The other purposes were to study biodiversity of wild plant, community knowledge on the use of plant, conservation of edible wild plant, and ethnobotany of most potential edible wild plant. Research was conducted in Gunung Salak area, started on May 2004 until August 2005.

Plants data were obtained by vegetation analysis using quadratic and transect methods. Vegetation analysis was conducted on paddy field, shrub, mix garden, man made forest, and primary forest. Data analysis for diversity index was based on Shanon-Wiener and evennes index was based on Simpson’s. Data collection on community was done by participation observation and structural survey method. The determination of the most potential edible wild plant was based on Exponential Comparation Method. Ecology and fenology of the most potential plant was studied by demplot (plot demonstration) and greenhouse experiment.

The result indicated that there were 595 species from 140 families of wild plant and cultivated plant found in around Gunung Salak. The wild plant were 513 species from 121 familieswhich very high diversity index and high evennes. Edible wild plant were 185 species from 65 families which high diversity and evennes index. The plant which dominated was Digitaria radicosa. The community knowledge on the use of species wild plant as well as environment conservation had linear correlation with ages class. The more ages, the more increase the knowledge and vice versa. Group of men had more knowledge on the use of wild plant as well as environment conservation compare to group of women. The number of edible wild plant as fruits were 29 species from 15 families, vegetables were 68 species from 36 families, medicine were 92 species from 40 families, spicy were 11 species from 10 familes, and source of carbohidrate were 10 species from 8 familes.

Canar susu (Smilax macrocarpa Bl.) plant was the most potential edible plant to be developed. The habitat of canar susu was in man made forest and primary forest with >800 m above the sea level. Climate type according to Schmidt and Ferguson was A. The soil was asosiation of andosol, latosol, and regusol. The plant was liana, 5-15 m in lenght, flower unisexual and umbels, fruiting umbels with 10 – 15 fruits. Seeding and stump can be used as plant propagation. There were several superiorities of this plant i.e. nutrition content of its fruit as an alternative of calcium source (0.30% Ca), tannin content (very strong positive) and saponin (strong positive) as industry material, and by using intensive management the total profit can be gained about Rp. 22.500.000 per hectare at first harvest (third year) and Rp. 67.500.000 (fourth year) at second harvest.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya


(6)

HUTAN GUNUNG SALAK

MADE SUWENA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Nama : Made Suwena NIM : G.361020041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dede Setiadi, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Dr. Ir. Ibnul Qayim Anggota Anggota

Diketahui,

2. Ketua Pragram Studi Biologi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin., DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro MS


(8)

Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi yang berjudul Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim atas bimbingan, arahan, nasehat dan dorongan moral dalam penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah Kasim Darusman, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Roedy Poerwanto, M.Sc., dan Bapak Dr. Eko Baroto Waluyo atas segala masukkannya baik dalam sidang tertutp maupun sidang terbuka.

Terima kasih disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa yang diberikan. Universitas Mataram dan Institut Pertanian Bogor atas segala fasilitas dan pelayanannya. Pemda Dati I Nusa Tenggara Barat dan Yayasan Toyota & Astra atas bantuan dananya.

Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku Ketua Yayasan Peka Indonesia dan Bapak David Ardhian, S.Tp. selaku Manajer Proyek Gunung Salak dan Unocal yang telah mendanai penelitian ini. Rekan-rekan di Yayasan Peka Indonesia Mas Bandung, Hertab, Jalu, Wika, Mbak Aida, Mbak Sinta dan yang lainnya yang telah membantu lancarnya pelaksanaan penelitian ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada saudara Mulus, Luluk, Ustad Acak Abdullah, Bpk. Madnasi, Bpk. Upah, Bpk Ajum, Bpk Asep, Bpk Padma Sasmita, dan rekan-rekan lainnya atas bantuannya selama di lapangan. Kepada Bpk.Dr. Ir. Gde Ekaputra Gunartha, M.Sc. atas masukannya dalam bidang statistik, Bpk. Dr. Y. Purwanto (LIPI) atas masukannya dalam bidang Etnobotani.

Kebanggaan dan penghargaan disampaikan kepada kedua orang tua, ayah dan ibu mertua, istri dan anak-anak tercinta atas segala pengorbanan, pengertian, ketabahan, dan dorongan yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Om shanti, shanti, shanti, Om.


(9)

Penulis dilahirkan di Desa Alasangker Kabupaten Buleleng-Singaraja Bali pada tanggal 11 Juni 1961 dengan nama lengkap Made Wetan Suwena sebagai anak kedua dari pasangan Ketut Wetan dan Ni Ketut Redianing (almarhum).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram, lulus pada tahun 1986. Tahun 1996 berkesempatan menempuh pendidikan Pascasarjana di Program Studi Ilmu Tanaman, Universitas Brawijaya dan lulus pada tahun 1998. Tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana IPB. Dalam menempuh pendidikan S2 dan S3 penulis memperoleh dana Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional

Penulis bekerja sebagai tenaga honorer di Departemen Transmigrasi Sulawesi Tenggara, Kendari pada tahun 1986. Tahun 1987 diangkat sebagai tenaga edukatif di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Mataram sampai sekarang.

Tahun 1990 penulis menikah dengan Ni Made Laksmi Ernawati dan dikaruniai seorang putra Gde Wetan Pragena Anggara dan seorang putri Ni Made Willa Clarissa.


(10)

DAFTAR TABEL ……….………. DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ……….. PENDAHULUAN ……….. Latar Belakang ……… Tujuan Penelitian ……… Manfat Penelitian ……… TINJAUAN PUSTAKA ………. Bioprospeksi ……….. ………. …... Biodiversitas ……….……. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodiversitas Tumbuhan ………… Pemanfaatan dan Pelestarian Tumbuhan Liar .……… Etnobotani ………...……….………... GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… Status dan Luas Wilayah ………. Topografi dan Iklim ….……… Keadaan Tanah .……….. Sosial Budaya Masyarakat ………. ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN LIAR DI SEKITAR KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK…….………... Abstrak………... ……….

Abstract …………..……….……..

Pendahuluan ……….. …… Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ………. PEMANFAATAN TUMBUHAN LIAR EDIBEL DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK ……….. Abstrak………... ……….

Abstract …………..……….……..

Pendahuluan ……….. …… Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ……….

ix xii xivi 1 1 4 5 6 6 6 9 11 14 17 17 17 18 21 23 23 23 24 25 29 68 69 69 69 70 71 78 91


(11)

SEBAGAI TUMBUHAN EDIBEL POTENSIAL DI KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK ………. Abstrak………... ……….

Abstract …………..……….……..

Pendahuluan ……….. …… Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ……….

PEMBAHASAN UMUM ………... KESIMPULAN DAN SARAN ……….. Kesimpulan ……….. Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN ………...

92 92 92 93 94 95 112 113 126 126 127 128 136


(12)

1 Jumlah penduduk yang berumur >15 tahun berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa pengataman ………... 22 2 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan

(E) tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak ….……….. 29 3 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan

(E) tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap lokasi desa pengamatan…. 31 4 Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk

stiap tingkat pertumbuhan ….……….... 32 5 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap desa

untuk setiap tingkat pertumbuhan ………..………... 33 6 Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar

edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan ………..………….. 36 7 Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel

pada setiap desa untuk setiap tingkat pertumbuhan ...………... 36 8 Nilai p hasil Anova indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar

edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan ……… 39 9 Rata-rata indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada

setiap desa untuk setiap tingkat pertumbuhan ……….. 40 10 Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Desimilaritas (ID) tumbuhan liar

untuk tingkat pertumbuhan pada setiap lokasi ………. 42 11 Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Desimilaritas (ID) tumbuhan liar

edibel untuk tingkat pertumbuhan pada setiap lokasi ……….. 45 12 Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat

pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak ……… 47 13 Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat

pertumbuhan di setiap desa pengamatan ……….. 47 14 Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan

di setiap desa pengamatan ………... 48 15 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan

(E) tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe ekosistem ………..…. 49 16 Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk

stiap tingkat pertumbuhan ………. 50 17 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe

ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan ………...…………. 51 18 Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar


(13)

x

19 Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap tipe ekosistem…………... 58 20 Nilai p hasil Anova indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar

edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan………. 61 21 Rata-rata indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada

setiap tipe ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan ………... 62 22 Indeks similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) tumbuhan liar

untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap ekosistem ………. 63 23 Indeks similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) tumbuhan liar

edibel tingkat bawah pancang, tiang, dan pohon pada setiap ekosistem 65 24 Dominansi jenis tumbuhan liar untuk setiap tingkat pertumbuhan di

setiap tipe ekosistem ………. 66 25 Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan

di setiap tipe ekosistem ……….. 67 26 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori

etnobotani (quality of use catagories in ethnobotany……… 75 27 Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity

of use) jenis tumbuhan berguna ………. 77

28 Kategori yang menggambarkan tentang tingkat eksklusivitas atau

tingkat kesukaan ……… 77

29 Jumlah responden laki- laki dan perempuan berdasarkan kelas usia pada setiap desa ……… 80

30 Pemanfaatan jenis serta kelestarian tumbuhan liar edibel berdasarkan kelas usia dan jenis kelamin ………. 80 31 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan

kategori buah ……… 85

32 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan

kategori sayur ……… 85

33 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan

kategori obat ……… 86

34 Hasil perhitungan MPE berdasarkan kriteria dan alternatif yang digunakan dalam penentuan prioritas tumbuhan berpotensi ………. 89 35 Berbagai perlakuan dalam usaha perbanyakan tumbuhan canar ……….. 100 36 Kandungan nutrisi buah canar susu (Smilax macrocarpa BL) dan

beberapa buah komersial ……….. 103 37 Kandungan fitokimia buah canar susu (Smilax macrocarpa BL) …….. 104 38 Contoh perhitungan usahatani canar susu seluas 1 ha dalam enam tahun 111


(14)

1 Kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak ………. 5 2 Peta topografi berdasarkan ketinggian tempat di kawasan hutan Gunung

Salak ……… 17

3 Peta curah hujan di kawasan hutan Gunung Salak ……… 19 4 Peta tanah di kawasan hutan Gunung Salak ………. 20 5 Lokasi pengambilan sampel di kawasan hutan Gunung Salak ………... 25 6 Grafik hubungan indeks keanekaragaman jenis dengan jumlah jenis

tumbuhan liar tingkat bawah (a), pancang (b), tiang (c), dan pohon (d) ... 30 7 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat bawah pada setiap lokasi desa ………. 33 8 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pancang pada

setiap lokasi desa ……….. 37 9 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar berdasarkan lokasi

untuk setiap tingkat pertumbuhan ………. 43 10 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel berdasarkan

lokasi untuk setiap tingkat pertumbuhan ………. 46 11 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pancang (a) dan tiang (b) pada setiap

ekosistem ………. 51

12 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon (a) dan tumbuhan liar edibel tingkat bawah (b) pada setiap ekosistem ……….. 52

13 Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat tiang (a) dan tingkat pohon (b) pada setiap ekosistem ……….. 52

14 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat bawah (a) dan tingkat pancang (b) pada setiap ekosistem ……….. 58 15 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat tiang (a) dan tingkat

pohon (b) pada setiap ekosistem ……….. 58 16 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah (a)

dan tingkat tiang (b) pada setiap ekosistem …….……… 59 17 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon pada

setiap ekosistem ………... 59 18 Indeks kemerataan jenis tumbuhan liar (a) dan liar edibel (b) tingkat

bawah pada setiap tipe ekosistem ……… 62 19 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar pada berbagai tingkat

pertumbuhan berdasarkan ekosistem ………. 64 20 Dendogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel pada berbagai

tingkat pertumbuhan berdasarkan ekosistem ……… 65 21 Histogram jumlah jenis dan suku tumbuhan liar edibel berdasarkan

kegunaan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak…….. 78 22 Grafik hubungan pemanfaatan jenis (a) dan pelestarian lingkungan (b)

dengan kelas usia ………... 81

23 Jenis tumbuhan liar edibel kategori tumbuhan buah-buhan, obat-obatan, dan sayur-sayuran masing- masing berdasarkan tiga peringkat INP

tertinggi ………. 86


(15)

xii

25 Lokasi penyebaran tumbuhan canar susu (Smilax macrocarpa BL) di

kawasan Gunung Salak ………. 96

26 Perkembangan tumbuhan canar (Smilax macrocarpa Bl.) dari biji sampai buah……… …...………

99 27 Beberapa percobaan cara perbanyakan tumbuhan canar (Smilax

macrocarpa Bl.)……….. 101

28 Buah masak panen yang biasa dijual petani dan buah hasil olahan yang

diperdagangkan ………. 107

29 Jalur pemasaran buah canar hasil panen di sekitar kawasan hutan

Gunung Salak ……… 108


(16)

1 Jenis tumbuhan liar hasil analisis vegetasi di sekitar kawasan hutan

Gunung Salak ……….………. 136

2 Koordinat dan ketinggian tempat di atas permukaan laut titik pertama pengambilan sampel pada masing- masing ekosistem di setiap lokasi pengamatan ………..

151 3 Daftar pertanyaan pengetahuan masyarakat tentang jenis dan kegunaan

tumbuhan liar edibel

152 4 Daftar pertanyaan penentuan MPE untuk setiap jenis yang terpilih pada

setiap kriteria yang ditentukan ……….……….. 153 5 Hasil analisis tanah pada demplot di daerah Tapos 1 ………. 154 6

7 8

Rata-rata curah hujan, suhu, dan kelembaban di daerah Tapos 1 selama bulan Juli dan Agustus 2005 ……… Daftar pertanyaan mengenai pengetahuan lingkungan ……… Daftar pertanyaan untuk petani canar susu (Smilax macrocarpa Bl.) ….

155 156 160


(17)

Latar Belakang

Biodiversitas baik flora maupun fauna mempunyai peranan yang sangat penting bagi umat manusia, karena sumber-sumber kehidupan manusia itu sendiri secara esensial tergantung dari variabilitas kekayaan hayati yang berada dalam ekosistem alam (Primack et al. 1998; Kusumaatmadja 2001). Penyebaran sumber biodiversitas dunia terkonsentrasi diantaranya di daerah hutan hujan tropis yang meliputi tiga kawasan, yaitu: (1) kawasan Amerika Selatan terpusatkan di Lembah Amazon Brazil; (2) kawasan hutan Afrika Barat terpusatkan di Lembah Sungai Congo sampai Teluk Guyana; dan (3) kawasan Indo-Malaya yang terpusatkan di India, Thailand, Malaysia dan Indonesia (Myers 1980; Whitmore 1990; Kustiyono 2003).

Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropika yang sampai dengan saat ini dikenal sebagai tipe hutan yang cukup unik dengan biodiversitas jenis tertinggi di dunia. Kandungan komunitas biodiversitas Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah Brazil, yakni: 10% jenis tumbuhan berbunga, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan ampibia, 17% jenis burung, 25% jenis ikan, 15% jenis serangga (Tjakrarini 2002; KLH 2002a; Subadia 2003). Selain itu, Indonesia juga diakui sebagai salah satu bagian dunia yang masih menyisakan kehidupan liar sebagai gudang keanekaragaman plasma nutfah untuk memenuhi kebutuhan manusia masa kini maupun masa mendatang (Zuhud, Ekarelawan, dan Riswan 1994).

Kekayaan biodiversitas yang dimiliki Indonesia merupakan potensi yang mempunyai keunggulan komperatif, di samping sebagai bahan rekayasa produk pertanian yang bersifat unggul juga karena kandungan bahan kimia untuk memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna, bahan pengawet, dan lain- lain (Sumardja 1998). Potensi tersebut didukung oleh pengetahuan tradisional masyarakat tentang khasiatnya, menyebabkan Indonesia sebagai salah satu negara tujuan bagi pelaku bioprospeksi.


(18)

Bioprospeksi pada dasarnya adalah eksplorasi biodiversitas dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan sumber genetik dan biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Reid et al. 1993; Posey 1997). Nilai produk-produk berbahan baku hayati yang sangat tinggi hasil bioprospeksi dan berbagai jenis tanaman bahan pangan saat ini sebagian besar berasal dari kehidupan liar. Kegiatan bioprospeksi telah dilakukan oleh negara-negara maju terhadap Indonesia, jauh sebelum Indonesia menyadari, betapa berharganya kekayaan hayati yang dimiliki (Kehati 2001). Padahal, sumberdaya biodiversitas hayati dan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki sangat penting dan strategis untuk kelangsungan bangsa Indonesia (Hanif 2003).

Perambahan bahan hayati dan pengetahuan mengenai khasiatnya yang lazim disebut dengan biopiracy (Posey 1997) dilakukan melalui bentuk kolonialisme, pertukaran pelajar, dan hak paten. Kegiatan seperti ini apabila dibiarkan terus, maka lambat laun Indonesia akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga terutama hilangnya kesempatan generasi mendatang memanfaatkan kekayaan biodiversitas hayati dan pengetahuan tradisionalnya untuk menuju kehidupan yang lebih baik (Kehati 2001).

Biodiversitas tumbuhan yang dimiliki Indonesia masih banyak yang tumbuh liar dan belum diketahui pemanfaatannya oleh masyarakat. Dari sekitar 4000 jenis tumbuhan yang ada di hutan dataran rendah Indonesia diketahui manfaatnya secara langsung oleh penduduk, hanya 25% saja yang telah dibudidayakan (Sastrapradja dan Rifai 1972). Sekitar 400 spesies tumbuhan edibel yang berupa buah-buahan dan biji-bijian yang termasuk dalam kelompok makanan penting kedua, sebagian besar (55%) berasal dari tumbuhan liar (Prosea 1994). Selain itu masih banyak publikasi mengenai penemuan bahan obat-obatan dan produk-produk lain yang berasal dari tumbuhan liar.

Keberadaan biodiversitas Indonesia mengalami penyusutan yang tinggi. Sekitar 20 – 70% habitat asli telah lenyap (BAPPENAS 1993). Diperkirakan kepunahan terjadi satu spesies untuk setiap harinya (KLH 1997). Sementara keberadaan dan penyusutan keanekaragaman genetik, terutama spesies liar belum terdokument asi dengan baik, padahal sumberdaya genetik yang ada tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat ( KLH 2002b).


(19)

Kawasan Gunung Salak yang dulunya dikategorikan sebagai hutan lindung, belakangan ini dimasukkan sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Departemen Kehutanan 2003). Kawasan ini memiliki arti penting bagi konservasi biodiversitas pegunungan dalam melestarikan spesies langka dan berpotensi untuk dimanfaatkan. Diperkirakan sebanyak 456 jenis spesies flora pegunungan terdapat di kawasan ini (Steenis 1972). Dari sejumlah jenis flora tersebut belum diketahui secara pasti jumlah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Kekayaan biodiversitas tumbuhan dalam suatu wilayah bisa bertambah atau berkurang pada setiap waktu. Hal ini disebabkan disamping karena faktor bencana alam, masuknya jenis tumbuhan baru, juga akibat eksploitasi yang berlebihan atau karena tidak tercatat sebelumnya. Sebagai contoh, beberapa ekspedisi di kawasan TNGH menunjukkan jumlah dan jenis tumbuhan yang ditemukan bervariasi. Uji (2002) menemukan 275 jenis tumbuhan, baru 83 jenis diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, 6 jenis termasuk tumbuhan langka, dan 10 jenis lainnya merupakan tumbuhan new record. Wiriadinata (2002) menemukan 1000 jenis tumbuhan berbunga. Sedangkan Hidayat dan Fijridiyanto (2002) menemukan 76 jenis tumbuhan liar hutan yang teridentifikasi dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat sekitar kawasan.

Perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah memunculkan adanya biodiversitas setempat yang bersifat spesifik (Sugandhy 2001; Waluyo 2003). Dengan demikian walaupun kawasan Gunung Salak berada dalam kesatuan hamparan dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), tidak menutup kemungkinan memiliki potensi jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kawasan TNGH.

Kajian dari aspek ekologi maupun etnobotani di beberapa wilayah kawasan TNGH telah banyak dilakukan. Namun kajian kedua bidang tersebut masing- masing dilakukan secara terpisah. Masih jarang atau bahkan belum ada yang mengungkapkan dari dua sudut kajian secara besamaan (Hidayat dan Fijridiyanto


(20)

2002). Dengan demikian sudah seharusnya dilakukan upaya pengkajian aspek ekologi, etnobotani, dan bioprospeksi secara bersamaan terhadap tumbuhan liar di kawasan hutan Gunung Salak, agar diketahui potensi kekayaan biodiversitas yang ada sebelum pihak asing lebih dahulu mengeksplorasi habis kekayaan tersebut serta dapat diambil langkah- langkah dalam usaha pelestarian.

Masyarakat perlu dibuka wawasannya tentang bioprospeksi, kewaspadaan terhadap kemungkinan perambahan hayati, di samping juga dimotivasi untuk melakukan upaya- upaya pelestarian dalam pengumpulan biodiversitas. Kegiatan ini penting untuk mendokumentasikan sumber biodiversitas yang ada di sekitar kawasan Gunung Salak sekaligus mencari sumber keuntungan ekonomi dan plasma nutfah di masa mendatang.

Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan jenis tumbuhan liar yang paling berpotensi untuk dikembangk an. Tujuan lain adalah :

1. Mempelajari biodiversitas tumbuhan liar dan tumbuhan liar edibel yang ada di sekitar kawasan hutan Gunung Salak

2. Mempelajari pengetahuan pemanfaatan dan pelestarian tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat setempat

3. Mempelajari etnobotani tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk di kembangkan di kawasan Gunung Salak

Manfaat Penelitian

Hasil studi ini diharapkan dapat merekomendasikan jenis tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu, dapat sebagai bahan informasi mengenai potens i biodiversitas tumbuhan, pengetahuan pemanfaatan dan usaha konservasi tumbuhan liar oleh masyarakat di sekitar kawasan. Informasi ini selanjutnya diharapkan dapat sebagai bahan masukan dalam proses pengambilan keputusan untuk pengembangan komoditi unggulan dan usaha konservasi, oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.


(21)

Secara keseluruhan kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak sebagai berikut :

I II

III

Etnobotani IV

Ekologi, fenologi, pemanfaatan, kandungan kimia, dan nilai finansial

Gambar 1. Kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak

Bioprospeksi

Pengetahuan masyarakat

(Wawancara & Kuesioner)

Data Tumbuhan (Analisis vegetasi)

Biodiversitas Tumbuhan Liar

Pemanfaatan dan pelestarian

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)

Tumbuhan Liar Edibel yang paling berpotensi

Pembuatan Demplot dan Analisis Lab.

Jenis Tumbuhan Liar Edibel

Pengamatan langsung & informasi masyarakat


(22)

Bioprospeksi

Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Kehati 2001). Sedangkan menurut Reid et al (1993), bioprospeksi adalah eksplorasi biodiversitas sumber-sumber genetik dan biokimia yang bernilai komersial, terutama mengacu pada industri farmasi, bioteknologi, dan pertanian.

Berbagai spesies biodiversitas mempunyai potensi kandungan bahan-bahan kimia dan sumberdaya genetika. Melalui pemberian nilai tambah terhadap biodiversitas tersebut akan diperoleh keuntungan secara ekonomis. Hal tersebut dapat menimbulkan insentif yang dapat memotivasi eksploitasi sumberdaya hayati secara berkelanjutan. Potensi ini merupakan keunggulan komperatif, karena pada saat ini terjadi peningkatan industri terhadap sumber-sumber bahan kimia untuk memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna, bahan pengawet makanan dan lain- lainnya (Sumardja 1998)

Ancaman terhadap biodiversitas dapat bersifat global dan yang bersifat regional atau lokal. Ancaman yang bersifat global karena pertumbuhan populasi manusia, kepemilikan, dan pencemaran udara dan air. Ancaman yang bersifat regional atau lokal terjadi akibat pemanfaatan jenis secara berlebihan oleh manusia, pemakaian bahan-bahan beracun, pembagian habitat, penggurunan, penyempitan ekosistem dan bank genetik, masuknya jenis eksotik dan konversi kawasan konservasi untuk kegiatan pertanian, pemukiman dan industri (Salwasser 1991).

Biodiversitas

Keanekaragaman hayati merupakan terjemahan dari kata biological diversity, disingkat menjadi biodiversity yang dalam bahasa Indonesia menjadi biodiversitas. Istilah biodiversitas menunjukkan adanya varietas dan variasi diantara organisme hidup yang terkait dalam ekosistem yang kompleks di habitatnya (Temple 1991). Beberapa definisi biodiversitas yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Sastrapraja et al. (1989) mengemukakan biodiversitas adalah pelbagai macam variasi


(23)

bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terkait pada berbagai tingkatan persekutuan mahluk, yaitu tingkat ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetika. McNeely (1990) biodiversitas sebagai jumlah jenis yang berbeda dalam suatu sistem dan frekuensi relatif jenis yang berbeda. Soemarwoto (1992), mendefinisikan biodiversitas sebagai jumlah jenis. Dobson (2000), biodiversitas merupakan keanekaragaman diantara organisme hidup dan kompleks ekologinya. Kekayaan hidup di bumi, termasuk jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, gen yang didukungnya, dan ekosistem yang dibangun menjadi lingkungan hidup.

Biodiversitas dapat ditinjau dari tiga tingkat, yaitu : (1) tingkat gen dan kromosome yang merupakan pembawa sifat keturunan; (2) tingkat jenis, yaitu berbagai golongan mahluk yang mempunyai susunan gen yang sama; (3) tingkat ekosistem atau ekologi, yaitu tempat jenis melangsungkan kehidupannya dan berinteraksi dengan faktor biotik dan faktor abiotik (Temple 1991; Soemarwoto 1992).

Dikenal tiga konsepsi keanekaragaman, yaitu : (1) keanekaragaman alfa (α -diversity) merupakan kekayaan spesies dalam satu komunitas atau habitat; (2) keanekaragaman beta (β-diversity) merupakan ukuran kecepatan dan besarnya perubahan spesies sepanjang gradien dari satu habitat ke habitat lainnya; dan (3) keragaman gamma (?-diversity) merupakan kekayaan spesies dalam satu kisaran habitat dari satu daerah geografis contohnya pulau (Southwood 1978). Keanekaragaman alfa atau keanekaragaman habitat merupakan jumlah spesies didalam suatu habitat (Rice 1992) dan terjadi interaksi antar spesies tersebut (Primack et al. 1998). Keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu total spesies dan kemerataan spesies. Indeks yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal disebut indeks keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi satu nilai tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan (Ludwig dan Reynold 1988). Dengan demikian prosedur perhitungan indeks keanekaragaman meliputi indeks kekayaan, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Keanekaragaman beta atau keanekaragaman ekosistem adalah variasi dalam komposisi spesies antar dua atau lebih habitat di suatu lansekap. Keanekaragaman beta mengarah kepada tingkat perubahan


(24)

komposisi spesies sepanjang gradien lingkungan. Sedangkan keanekaragaman gamma adalah variasi di suatu dearah yang mencakup keanekaragaman alfa dan keanekaragaman beta (Rice 1992).

Pemanfaatan biodiversitas dapat digolongkan berdasarkan nilai konsumtif, nilai produktif, nilai pilihan, nilai eksistensi, dan nilai ekologis atau lingkungan (Primack et al. 1998). Dikatakan mempunyai nilai produktif, karena manusia tergantung dari sumberdaya hayati untuk memenuhi kebutuhan sandang, panga n, dan papan (KLH 2002c). Sedangkan nilai kegunaan produktif diperoleh dari perdagangan biodiversitas di pasar lokal maupun internasional (Godoy et al. 1993) dan ekoturisme (Tjakrarini 2002; Subadia 2003). Nilai pilihan terkait dengan potensi biodiversitas dalam memberikan keuntungan pada masyarakat dimasa mendatang. Nilai manfaat yang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia pada saat kini, namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan perkembangan teknologi nilai tersebut menjadi penting di masa depan (Myers 1984). Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh biodiversitas karena keberadaannya. Nilai ini terkait dengan nilai estetis (bersifat abstrak) yang ditimbulkannya pada manusia serta tidak berkaitan dengan manfaat ekonomi riil dan potensialnya (Groombridge 1992). Biodiversitas juga memberikan jasa ekologis atau jasa lingkungan bagi manusia. Ekosistem hutan melindungi keseimbangan siklus hidrologi dan tata air, sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan. Hutan juga menjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari seresah hutan, dapat mencegah erosi dan mengendalikan iklim mikro (Kusumaatmadja 2001; Soemarwoto 2001; Molles 2002). Dengan demikian, biodiversitas mempunyai arti yang penting tidak hanya bagi kehidupan manusia, namun juga bagi kelangsungan seluruh sistem kehidupan. Selain nilai- nilai tersebut di atas biodiversitas juga merupakan satu kesatuan dimana komponen yang ada saling berkaitan dan tergantung. Sebagai contoh, rantai makanan tersusun atas ratusan ribu spesies yang saling memanfaatkan. Demikian pula jasa lingkungan yang disediakan ekosistem juga dibutuhkan dan dinikmati oleh beragam spesies yang lain (Primack et al. 1998).


(25)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodiversitas Tumbuhan

Lingkungan yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan kebutuhan tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus mengakibatkan keragaman jenis tumbuhan yang berkembang dapat terjadi menurut perbedaan tempat dan waktu. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang dengan perbedaan tinggi tempat atau perbedaan musim (Sitompul dan Guritno 1995). Demikian halnya dengan perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah (Sugandhy 2001; Waluyo 2003).

Bentuk suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor- faktor lingkungan. Lingkungan penting yang mempengaruhi komunitas tropika merupakan gabungan dari berbagai macam unsur, yaitu unsur penyus un di atas tanah dan lingkungan dalam tanah yang dikelompokkan menjadi faktor fisik (abiotik) dan faktor biologi (biotik). Sebagian dari unsur ini khususnya yang terdapat dalam tanah dapat dikendalikan sedang unsur yang terdapat di atas tanah pada umumnya sulit atau tidak dapat dikendalikan (Sitompul dan Guritno 1995). Menurut Setiadi dan Muhadiono (2000), bentuk vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti: bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Interaksi dari faktor- faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Besarnya biodiversitas jenis tumbuhan di daerah tropika disebabkan oleh keanekaragaman kondisi lingkungan tempat hutan tropis berkembang, periode waktu yang tersedia dan kemungkinan adanya migrasi dengan pertukaran jenis (Longman dan Jenik 1987).

Kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu daerah tertentu disebut dengan flora, sedangkan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas individu-individu jenis atau kumpulan populasi jenis disebut dengan vegetasi (Samingan 1989). Vegetasi hutan di pulau Jawa berdasarkan pembagian mintakat klimatis, diklasifikasikan menjadi: (1) mintakat tropikal (ketinggian 1–1000 m dpl); (2) mintakat montana (ketinggian 1000–2400 m dpl); (3) mintakat subalpina (ketinggian >2400 m dpl). Vegetasi pada ketinggian 500–1000 m termasuk dalam mintakat colline dan ketinggian 1000–1500 m kedalam mintakat submontana (Steenis 1972).


(26)

Secara umum dalam komunitas hutan hujan tropika, pohon-pohon menunjukkan strata yang jelas dan biasanya terdiri atas tiga strata tegakan pohon. Disamping strata pohon terdapat strata semak-semak, herba-herba raksasa dan strata tumbuhan bawah (Richards 1964). Loveless (1989) membagi strata pohon hutan hujan tropis menjadi tiga strata, yakni: strata A, biasanya membentuk kanopi yang kurang lebih kontinyu atau diwakili oleh pohon-pohon yang mencuat di atas kanopi umum; strata B, biasanya merupakan strata terlebat; dan strata C, disusun oleh jenis-jenis permulaan yang mencapai strata A, strata B dan pohon kecil. Sebaliknya, menurut Richards (1964) pada strata A biasanya membentuk kanopi yang tidak kontinyu, strata B bisa kontinyu atau tidak kontinyu, dan strata C hampir selalu kontinyu dan sering merupakan strata paling lebat di hutan.

Vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat yang kelembaban tanahnya tinggi dengan draenase yang cukup baik. Penyederhanaan dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi, bila kelembaban tidak memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun (Loveless 1989). Secara umum komposisi jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa dominasi tunggal. Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis. Jumlah ini berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya (Richards 1964).

Jenis dominan suatu tumbuhan dalam komunitas dapat diketahui dengan cara studi vegetasi suatu daerah. Studi vegetasi ini dapat dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif memberikan gambaran tentang komposisi jenis tumbuhan, stratifikasi, fenologi, vitalitas jenis, asosiasi dan sosiobilitas, bentuk tumbuh dan fisiognomi serta organisasi tingkatan tropika (Misra 1980). Sedangkan analisis kuantitatif memberikan gambaran tentang komposisi jenis, pola penyebaran, frekuensi, kerapatan, dan dominansi jenis tersebut (Setiadi dan Muhadiono 2000).

Jumlah frekuensi relatif, kerapatan relatif dan dominansi relatif adalah merupakan nilai penting dari suatu jenis di dalam komunitasnya dan menunjukkan besarnya peranan jenis tersebut. Jenis dominan ini adalah jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi dan dapat digunakan untuk menduga keadaan lingkungan tempat tumbuhnya (Mueller- Dombois dan Ellenberg 1974; Cox 2002). Kerapatan adalah jumlah individu dari jenis-jenis yang menjadi anggota suatu komunitas


(27)

tumbuhan persatuan luas tertentu (Cox 2002). Kerapatan relatif menunjukkan persentase dari jumlah individu jenis yang bersangkutan di dalam komunitasnya. Frekuensi adalah nilai besaran yang menyatakan drajad penyebaran jenis di dalam komunitasnya. Angka frekuensi diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki oleh suatu jenis terhadap keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh dalam melakukan analisis vegatsi. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi, seperti luas petak contoh, penyebaran tumbuhan, dan ukuran jenis tumbuhan (Setiadi dan Muhadiono 2000)

Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan drajat penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas area yang ditumbuhi oleh sejenis tumbuhan atau kemampuan suatu jenis tumbuhan untuk bersaing terhadap jenis lainnya. Dalam pengukuran dominansi dapat digunakan persentase perlindungan (penutupan tajuk), luas basal area, biomasa atau volume (Setiadi dan Muhadiono 2000; Cox 2002). Nilai kerapatan, frekuensi, dan dominansi untuk spesies-spesies tertentu mungkin diekspresikan mutlak atau relatif yang menunjukkan porsentase bahwa nilai spesies individu merupakan total untuk semua spesies. Nilai relatif untuk kerapatan, dominansi, dan frekuensi dapat digabung menjadi nilai penting tunggal (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974; Shukla dan Chandel 1982; Setiadi dan Muhadiono 2000; Cox 2002).

Pemanfaatan dan Pelestarian Tumbuhan Liar

Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang dalam pertumbuhan maupun perkembangannya tanpa adanya ikut campur tangan manusia, sehingga pertumbuhan maupun perkembangannya sepenuhnya tergantung keadaan alam. Menurut Waluyo (1989) proses pengalihan tumbuhan liar menjadi tanaman budidaya, sampai sekarang masih belum jelas. Di Irian Jaya misalnya sagu (Metroxylon sagu) ditanam di kampung-kampung walaupun masih banyak yang tumbuh meliar. Demikian halnya dengan kelapa hutan atau woramo (Pandanus brosimos) banyak ditemui ditanam di sekitar pemukiman orang-orang Dani di Lembah Baliem Irian Jaya


(28)

Secara umum tanaman berguna dikelompokkan (Waluyo 1987) menjadi : (1) bahan pangan, baik untuk makanan pokok maupun unt uk makanan tambahan; (2) bahan bangunan dan bahan lain seperti : bahan bangunan rumah baik yang permanen maupun semi permanen, bahan sandang, bahan untuk alat rumah tangga dan pertanian, bahan tali temali dan anyam-anyaman; (3) pelengkap upacara tradisiona l dan kegiatan sosial; (4) bahan obat-obatan, rempah-rempah dan kosmetika; (5) bahan pewarna; dan (6) pemenuhan keindahan, seni dan lain- lain. Jenis-jenis tumbuhan berguna tersebut kapan sebenarnya mulai dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia belum diketahui secara pasti. Diduga bahwa asal mula pemanfaatan diawali dari adanya suatu rangsangan untuk mencoba dan mencicipinya. Daya tarik tumbuhan itu biasanya ditimbulkan oleh warna dan bentuk perawakan atau bagian-bagian tumbuhan seperti buah dan bunga. Seterusnya apabila jenis-jenis tadi memenuhi selera dan kebutuhan, dicari, dikumpulkan, dan akhirnya dibudidayakan. Selanjutnya pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan itu berkembang sejalan dengan meningkatnya budaya dan pengetahuan tentang olah mengolah dan masak memasak dari tumbuhan tersebut (Waluyo 2003).

Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat adalah: pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan kearifan; kepercayaan, persepsi, dan pengetahuan; dan sistem kognitif (Purwanto 2003). Menurut Toledo (1992), terdapat dua hal dalam mempelajari sistem pengetahuan yang ideal, yaitu ilmu pengetahuan (science) dan kearifan (wisdom). Ilmu pengetahuan lebih mengutamakan justifikasi, sedangkan kearifan berdasarkan pada penga laman pribadi. Ilmu pengetahuan memandang pengalaman pribadi sebagai konfirmasi, sedangkan kearifan memandang pengetahuan pribadi sebagai petunjuk untuk memperoleh pengalaman pribadi. Sehingga kearifan tidak memerlukan validasi justifikasi secara universal.

Pengertian tentang kepercayaan memegang peranan penting dalam melakukan pendekatan secara integratif dalam mempelajari pola pikir (corpus). Kepercayaan suatu masyarakat mencapai bentuk yang paling sistematis terdapat pada sebuah mitos. Hal yang sama terjadi pada pengertian pengetahuan, seperti konsepsi pemikiran teori ekologis mengenai proses produksi berkelanjutan yang hanya dapat dicapai apabila keseimbangan ekosistem terpelihara dengan baik. Oleh karena itu


(29)

untuk menganalisis corpus dari pemikiran para informan, harus dilakukan penggabungan antara sistem kepercayaan dan persepsi masyarakat (Purwanto 2003).

Sistem kognitif atau kesadaran, merupakan komponen terakhir yang harus diperhatikan dalam mempelajari corpus. Sistem ini mempunyai kontribusi penting untuk memahami dimensi corpus. Oleh karena itu seorang etnoekolog harus mampu menggali informasi sistem pengetahuan lokal yang meliputi sistem klasifikasi populer terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Purwanto 2003).

Konservasi keanekaragaman hayati sangat penting untuk bioprospeksi disamping pemanfaatannya yang berkelanjutan. Apabila peningkatan kemampuan serta berbagai keuntungan yang diperoleh digunakan untuk konservasi dan pembangunan yang berkesinambungan, berarti membuka sumber pendapatan baru untuk meningkatkan nilai keanekaragaman hayati yang akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Biodiversitas selain mempunyai fungsi ekonomi bagi kehidupan manusia, juga sangat erat hubungannya dengan fungsi ekosistem. Menurut Krebs (2001) salah satu alasan untuk pengawetan spesies adalah apabila biodiversitas dihubungkan dengan ekosistem, karena ekosistem sangat bermanfaat dalam sistem hidrologi dan polusi. Pengawetan biodiversitas lebih ditekankan terhadap spesies asli dibandingkan dengan introduksi, karena spesies asli merupakan kunci kontribusi terhadap fungsi ekosistem.

Keanekaragaman kultural masyarakat merupakan bagian dari eksistensi keanekaragaman hayati yang bersifat saling menguatkan yang termanifestasikan dalam bahasa, kepercayaan, struktur sosial, seleksi tanaman, manajemen lahan serta sejumlah simbul kemanusian lainnya. Oleh karena itu, keanekaragaman kultural tersebut merupakan satu komponen utama dalam kajian strategi konservasi biodiversitas. Menurut Tjakrarini (2002), keberhasilan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terukur dari keberhasilan pencapaian tiga sasaran konservasi yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis di sekitarnya yang menjamin kelangsungan kehidupan mahluk yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2) pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahun dan


(30)

teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan; (3) pemanfaatan secara lestari, yaitu dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Ketiga kepentingan ini tidak berdiri sendiri, tapi membentuk hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.

Etnobotani

Studi yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh masyarakat primitif atau penduduk asli yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dikenal dengan istilah etnobotani. Menurut Heiser(1985),etnobotani adalah suatu studi tentang tumbuh-tumbuhan yang berkaitan dengan masyarakat yang memanfaatkannya. Sedangkan Schultes (1992) mengartikan, etnobotani sebagai pencatatan secara menyeluruh tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh penduduk asli. Umumnya penduduk yang memanfaatkan tumbuhan tersebut telah mengenal tumbuhannya, mengetahui cara pemanfaatannya, mengetahui jenis tumbuhan yang beracun atau mematikan serta telah mengetahui pula bentuk-bentuk pengolahan tumbuhan secara tradisional.

Harshberger (1896) dalam Wickens (1989) menjelaskan, bahwa entobotani dapat menjelaskan beberapa hal antara lain: (1) keadaan kebudayaan suatu bangsa yang memanfaatkan tumbuhan; (2) membuktikan penyebaran tumbuh-tumbuhan pada masa lalu; (3) membuktikan jalur perdagangan; dan (4) berguna dalam menerangkan nilai yang didapat dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang diambil dari alam.

Pengetahuan tradisional (Indigenous knowledge) dan asli masyarakat lokal merupakan sesuatu yang unik dalam satu kultur ataupun satu masyarakat yang sering disebut pengetahuan asli, pengetahuan lokal, nilai- nilai tradisional atau ilmu tradisional. Masyarakat lokal, telah memiliki berbagai pengetahuan yang luas tentang ekosistem dimana mereka hidup. Pengetahuan bagaimana cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan yang ada di lingkungannya dengan karakteristik kehidupan sosial masyarakatnya (Anonim 1997).


(31)

Sistem-sistem lokal berbeda satu sama lain tergantung budaya dan tipe ekosistem setempat. Pada umumnya berupa sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan secara turun temurun. Sebagai contoh: masyarakat adat ekosistem rawa bagian Selatan pulau Kimaam, kabupaten Merauke, Papua berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi. Komunitas adat Dayak di Kalimantan, memiliki sistem perladangan berotasi. Adat sasi disebagian besar Maluku mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu (Nababan 2001).

Prinsip-prinsip kearifan tradisional (Nababan 2001) antara lain: (a) ketergantungan manusia dengan alam mensyaratkan keselarasan hubungan dan keseimbangan yang harus dijaga; (b) penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan kepemilikan komunitas (comunual property resources), selanjutnya dikenal sebagai wilayah adat yang mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya bagi keadilan dan kesejahteraan bersama sekaligus mengamankannya dari eksploitasi pihak luar; (c) sistem pengetahuan dan struktur pengaturan adat memberikan kemampuan memecahkan masalah- masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; (d) sistem alokasi dan penegakan hukum adat, mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun pihak luar; (e) mekanisme penerapan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama, dapat meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.


(32)

Kawasan hutan lindung Gunung Salak merupakan gabungan lima kelompok hutan, yaitu kompleks hutan Gunung Salak Utara, Gunung Salak Selatan, Gunung Salak Nanggung, Gunung Salak Kendang Kulon dan Ciampea yang masing- masing telah memperoleh pengesahan tata batas yang jelas pada tanggal 3 Mei 1941, 5 Nopember 1906, 7 September 1934, 8 Juni 1916 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.92/Kpts/Um/8/1954 pada tanggal 31 Agustus 1954 (Departemen Kehutanan 1983). Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Departemen Kehutanan 2003). Secara administratif luas hutan lindung Gunung Salak 31.237 ha berada di wialayah Ciampea, kecamatan Ciomas, dan kecamatan Cibungbulan, kabupaten Bogor; kecamatan Cicurug dan kecamatan Parung Kuda, kabupaten Sukabumi.

Topografi dan Iklim

Gunung Salak merupakan salah satu dari kurang lebih 40 gunung berapi utama yang ada di pulau Jawa yang sampai saat ini sudah tidak aktif lagi. Sisa-sisa aktivitas vulkanik masih dapat ditemukan antara lain di Kawah Ratu, Kawah Hirup, Kawah Paeh, Kawah Perbakti dan Kawah Cibereum. Ditinjau dari letak topografis, Gunung Salak berada dalam kesatuan hamparan dengan Gunung Halimun Timur dan Gunung Halimun Barat, namun terpisah dari Gunung Gede Pangrango oleh lembah sungai Cisadane dan Cicurug. Gunung Salak dan Gunung Halimun merupakan daerah hulu dari beberapa daerah aliran sungai (DAS) utama di Jawa Barat, terutama daerah Cisadane, Cidur ian, dan Ciujung (RIMPALA 2000).

Berdasarkan kelas ketinggian tempat dari permukaan laut, wilayah Gunung Salak berada pada ketinggian antara 300 m - 2200 m (Gambar 2). Topografi Gunung Salak pada umumnya bervariasi dari curam sampai pada sangat curam dengan presentase kelerengan 25% sampai lebih besar dari 45% (kelas lereng 4 –5).


(33)

(34)

Data curah hujan selama 10 tahun terakhir menunjukkan, bahwa rata-rata curah hujan yang tinggi terjadi sekitar bulan Nopember hingga Mei yaitu mencapai di atas 300 mm/bulan. Bulan Juni hingga Oktober curah hujan umumnya kurang dari 300 mm/bulan. Bulan-bulan selanjutnya terjadi penurunan hingga mencapai intensitas terendah pada bulan Agustus, yaitu 159 mm/bulan kemudian terjadi kenaikan kembali dengan intensitas yang cukup tinggi mulai bulan Nopember. Daerah Gunung Salak mengalami musim hujan sepanjang tahun. Suhu udara maksimum berkisar 29.9oC, suhu minumum 21.2oC dan suhu udara rata-rata 25.7oC. Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Fegurson curah hujan di daerah Gunung Salak termasuk tipe iklim A dengan nilai 0 – 143% (Departemen Kehutanan 1983). Secara spesifik kisaran curah hujan daerah tempat pengambilan sampel (Gambar 3), yaitu untuk kecamatan Gunung Bundar berkisar 4500 mm – 5000 mm, kecamatan Cijeruk 4000 mm – 4500 mm, kecamatan Cidahu 3500 mm – 4000 mm, kecamatan Parakan Salak dan Pulosari 4000 mm – 4500 mm, kecamatan Tamansari dan Sedanglaya 5000 mm – 6000 mm (Prasetyo, Setiawan, dan Prastowo 2002).

Di dalam kawasan hutan lindung Gunung Salak terdapat banyak mata air yang merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang sebagian mengalir ke arah Selatan menuju Samudera Indonesia dan sebagian lagi mengalir ke arah Utara menuju laut Jawa. Salah satu mata air yang terdapat di kawasan hutan lindung Gunung Salak dikenal dengan mata air Ciburial yang dikelola PAM DKI Jaya untuk suplai air bersih bagi penduduk di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Kodya Jakarta Selatan dan Depok (Departemen Kehutanan 1983).

Keadaan Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi dan Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak skala 1 : 500.000, tanah pada kawasan Gunung Salak terdiri atas dua jenis yaitu gromusol dengan batuan induk endapan dan bekuan, fisiografi gelombang dan andosol dengan bahan induk batuan-batuan basis dan intermedier, fisiografi gunung (RIMPALA 2000). Sedangkan menurut Prasetyo, Setiawan, dan Prastowo (2002), kawasan Gunung Salak terdiri atas andosol coklat dan coklat kekuningan; latosol coklat, coklat kemerahan dan coklat kekuningan; regosol coklat dan kelabu; dan asosiasi dari masing- masing beberapa jenis tersebut (Gambar 4)


(35)

(36)

(37)

Sosial Budaya Masyarakat

Mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Salak adalah suku Sunda. Beberapa penduduk yang berasal dari luar suku Sunda, seperti suku Jawa, Batak, Bugis dan lain- lainnya adalah akibat dari perkawinan dengan penduduk setempat dan selanjutnya tinggal secara menetap di wilayah tersebut. Suku Sunda merupakan suku terbesar kedua yang seluruhnya hidup di Jawa Barat. Secara antropologi budaya, yang dimaksud dengan suku Sunda adalah orang yang turun temurun menggunakan bahasa Sunda (bahasa ibu) serta dialeknya dalam kehidupan sehari- hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat atau yang dikenal dengan tanah Pasundan atau tanah Datar (Harsojo 1988). Pola pemukiman masyarakat Sunda di desa merupakan keselarasan naluri arsitektur alamiah dengan lingkungannya yang terdiri atas beberapa kampung. Sebuah kampung merupakan sekumpulan rumah dengan pekarangan, lumbung padi, kandang ternak, kolam ikan, tempat permandian, tempat ibadah atau tanah lapang. Sebuah kampung mempunyai areal sawah atau kebun yang dilintasi jalan setapak atau jalan desa. Rumahnya terdiri atas beberapa kamar, serambi, ruang tengah dan dapur (Melalatoa 1995). Hampir seluruh keluarga penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Salak memeluk agama Islam, hanya ada beberapa keluarga di daerah Cidahu dan Gunung Bundar 2 memeluk agama Kristen. Ditinjau dari Pendidikan Penduduk Usia Kerja (PPUK), tingkat pendidikan masyarakat sangat bervariasi yaitu dari tidak bersekolah dasar sampai tamat perguruan tinggi. Jumlah penduduk yang berpendidikan sampai tamat sekolah dasar menunjukan angka yang tertinggi (46%), disusul yang tidak tamat sekolah dasar (25%), tamat sekolah lanjutan tingkat pertama (20%), sekolah lanjutan tingkat atas (8%), dan yang terendah adalah penduduk yang tamat perguruan tinggi (1%). Pada umumnya, mereka yang berpendidikan sampai tingkat sekolah lanjutan atas (SLTA) dan tingkat Perguruan Tinggi rata-rata telah keluar dari desanya atau walaupun mereka masih tinggal di desa namun aktivitas kerja mereka sehari- harinya sebagian besar di luar desa.

Penduduk yang berjenis kelamin laki- laki sebanyak 51% dan perempuan sebanyak 49% dengan simpangan umur : 15-29 tahun sebanyak 38%; umur 30 – 44 tahun sebanyak 33%, umur 45-59 tahun sebanyak 20%, dan yang berumur >60 tahun


(38)

sebanyak 9%. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani dengan usaha pertanian di lahan sawah dan tegalan. Di samping itu, masyarakat setempat juga mempunyai pekerjaan tambahan seperti sebagai tukang batu, pedagang, dan ojeg. Sebagai ilustrasi hasil survey data jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa sampel sebagai berikut.

Tabel 1. Jumlah penduduk yang berumur =15 tahun berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa pengamatan

Jumlah

Penduduk Pendidikan

Lokasi

L P TTSD TSD TSLTP TSLTA TPT

Cidahu 4156 3934 864 1028 695 146 43

Cipelang 4483 4179 561 666 665 100 30

Cipeuteuy 3195 3055 543 2047 311 99 15

G. Bundar2 3718 3725 3705 2311 1613 173 10

Pulosari 4067 3914 701 926 300 122 72

Parakan Salak 3637 3406 468 2783 824 728 101

Tapos 1 3599 3592 189 153 169 97 26

Tamansari 4198 4953 316 2538 1452 584 54

Jumlah 31053 30758 6804 12452 5334 2049 351

Sumber : Data dari kantor desa masing-masing. TTSD = tidak tamat sekolah dasar, TSD = tamat sekolah dasar, TSLTP = tamat sekolah lanjutan pertama, TSLTA = tamat sekolah lanjutan atas, TPT = tamat perguruan tinggi (termasuk diploma)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui, bahwa perbandingan jumlah penduduk laki- laki dan perempuan menunjukkan jumlah yang seimbang (50% : 50%). Penduduk yang berpendidikan sampai tamat sekolah dasar berjumlah hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang tidak tamat sekolah dasar, jumlah penduduk semakin menurun dengan semakin meningkatnya jenjang pendidikan. Kondisi ini disebabkan oleh dua hal utama, yaitu yang pertama akibat dari digalakkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun dan yang kedua sebagai akibat kondisi ekonomi masyarakat yang rata-rata masih sangat rendah. Para orang tua berpendapat, bahwa dengan bisa membaca dan menulis saja sudah cukup, ada juga yang berpendapat bahwa untuk apa mereka bersekolah tinggi yang pada akhirnya akan menjadi pengangguran. Te rlepas dari semua itu, kemampuan ekonomi merekalah yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. Setelah anak-anak mereka tamat sekolah dasar diharapkan dapat membantu orang tua mereka dalam menunjang perekonomian keluarga.


(39)

Gambar 10 juga dapat memberikan gambaran, bahwa tumbuhan liar edibel tingkat bawah berada dalam satu kelompok, yaitu desa Cidahu dengan desa Pulosari mempunyai jarak hubungan yang terdekat (IS=0.67). Demikian halnya dengan jenis tumbuhan tingkat pancang, tiang maupun pohon. Tumbuhan liar edibel antara lokasi tidak ada yang mempunyai tingkat kemiripan sangat tinggi (IS>0.75). Beberapa lokasi mempunyai tingkat kemiripan tinggi (0.50<IS<0.75) selebihnya tingkat kemiripannya sangat rendah. Berdasarkan kriteria tingkat kemiripan menurut Krebs (1978) dan Jufri (2005), yaitu : IS=0.75 kemiripan sangat tinggi, 0.50=IS<0.75 tingkat kemiripan tinggi, 0.25=IS<0.50 tingkat kemiripan rendah, IS=0.25 tingkat kemiripan sangat rendah.

Gambar 10. Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel berdasarkan lokasi untuk setiap tingkat pertumbuhan menggunakan UPGMA dan jarak Euclidean CD=cidahu, Cp=cipelang, CT=cipeuteuy, GB=gunung bundar 2, PL=pulosari, PS=parakan salak, TP=tapos, TS=tamansari, 1=bawah, 2=pancang, 3=tiang, 4=pohon..

5. Dominansi Jenis

Berdasarkan perhitungan indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan yang tertinggi di setiap lokasi pada semua tingkat pertumbuhan diperoleh hasil sebagai berikut :


(40)

Tabel 12. Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak

Tingkat Pertumbuhan Nama Jenis INP (%)

Tumbuhan Liar

Bawah Digitaria radicosa 9.793

Pancang Alsophila lurida 14.259

Tiang Symplocos faciculata 10.014

Pohon Quercus turbinata 13.497

Tumbuhan Liar Edibel

Bawah Nephrolepis bisserata 12.614

Pancang Symplocos faciculata 22.119

Tiang Symplocos faciculata 40.526

Pohon Altingia excelsa 40.668

Tabel 12 menunjukkan, bahwa jenis tumbuhan liar yang mendominasi kawasan hutan Gunung Salak secara keseluruhan untuk tingkat bawah adalah jenis jampang pait (Digitaria radicosa), tingkat pancang adalah pakis tiang (Alsophila lurida), tingkat tiang adalah jirak (Symplocos faciculata), dan tingkat pohon adalah jenis pasang jambe (Quercus turbinata). Tumbuhan liar edibel tingkat bawah adalah jenis pakis hayam (Nephrolepis bisserata), tingkat pancang dan tingkat tiang adalah jenis jirak (Symplocos faciculata), dan tingkat pohon adalah jenis rasamala (Altingia excelsa).

Tabel 13. Dominansi jenis tumbuhan liar untuk setiap tingkat pertumbuhan di setiap desa pengamatan

Tingkat Pertumbuhan

Bawah Pancang Tiang Pohon

Lokasi

Jenis INP(%) Jenis INP(%) Jenis INP(%) Jenis INP(%)

Cidahu

Clidemia

hirta 12.59

Evoidea

latifolia 20.80

Peronema

canecens 34.07

Quercus

turbinata 86.70

Cipelang

Axonophus compressus 20.34

Litsea

resinosa 15.42

Alsophila

lurida 19.03

Litsea

mappacea 13.59

Cipeuteuy

Spilanthes

acmela 13.54

Alsophila

lurida 35.78

Symplocos

faciculata 47.0

Quercus

induta 56.54

G.Bundar

Digitaria

radicosa 18.69

Andropogon

nardus 26.85

Pandanus

andamanesium 29.70

Altingia

excelsa 102.42

Pulosari

Clidemia

hirta 10.63

Alsophila

lurida 27.18 Areca catechu 18.51

Parkia

speciosa 22.45

P.Salak

Clidemia

hirta 11.40

Alsophila

lurida 24.74

Pandanus

andamanesium 14.59

Quercus

turbinata 21.20

Tapos

Digitaria

radicosa 17.03

Eltingera

punicea 26.52

Villebrunea

rubescens 30.55

Symplocos faciculata 13.98

Tamansari

Axonophus compressus 8.90

Trevessa

sundaica 22.78

Symplocos

faciculata 29.72

Areca


(41)

Tabel 13 menunjukkan, bahwa jenis tumbuhan liar tingkat bawah yang mendominasi di daerah Cidahu, Pulosari dan Parakan Salak adalah jenis harendong bulu (Clidemia hirta), Cipelang dan Tamansari jenis jukut pait ( Axonophus compressus), Cipeuteuy jenis jotang koneng (Spilanthes acmela); G. Bundar 2 dan Tapos 1 jenis jampang pait (Digitaria radicosa). Tiangkat pancang daerah Cidahu ki sampang (Evoidea latifolia); Cipelang jenis huru minyak (Litsea resinosa); Cipeuteuy, Pulosari, dan Parakan Salak jenis pakis tiang (Alsophila lurida); Gunung Bundar jenis seuserehan (Andropogon nardus); Tapos 1 jenis tepus (Eltingera punicea), dan Tamansari jenis panggang cucuk (Trevessa sundaica). Tingkat tiang daerah Cidahu adala h sungkai (Peronema canecens); Cipelang jenis pakis tiang (Alsophila lurida); Cipeuteuy dan Tamansari jenis jirak (Symplocos faciculata); Gunung Bundar dan Parakan Salak jenis pandan gunung (Pandanus andamanesium); Pulosari jenis jambe (Areca catechu)Tapos 1 jenis nangsi (Villebrunea rubescens). Tingkat pohon daerah Cidahu dan Parakan Salak adalah pasang jambe (Quercus turbinata); Cipelang huru minyak (Litsea resinosa); Cipeuteuy jenis pasang batarua (Quercus induta); Gunung Bundar rasamala (Altingia excelsa); Pulosari pete (Parkia speciosa); Tapos 1 jenis jirak (Symplocos faciculata); dan Tamansari jenis jambe (Areca catechu).

Tabel 14. Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di setiap desa pengamatan

Tingkat Pertumbuhan

Bawah Pancang Tiang Pohon

Lokasi

Jenis INP(%) Jenis INP(%) Jenis INP(%) Jenis INP(%)

Cidahu

Digitaria

radicosa 19.905

Evoidea

latifolia 63.481

Areca

catechu 96.687

Parkia

speciosa 75.613

Cipelang

Ageratum

conyzoides 17.010

Plantago

major 31.836

Ficus

variegata 46.278

Parkia

speciosa 35.515

Cipeuteuy

Spilanthes

acmela 27.667

Symplocos

faciculata 62.745

Symplocos

faciculata 211.959

Evoidea

latifolia 55.303

G.Bundar

Digitaria

radicosa 35.325

Andropogon

nardus 84.354

Symplocos

faciculata 88.178

Altingia

excelsa 170.655

Pulosari

Digitaria

radicosa 22.930

Kadsura

scandens 31.579

Areca

catechu 101.520

Parkia

speciosa 72.227

P.Salak

Selaginella

plana 17.806

Symplocos

faciculata 29.010

Bridelia

monoica 29.522

Mangifera foetida 50.123

Tapos

Digitaria

radicosa 29.531

Eltingera

punicea 57.265

Villebrunea rubescens 64.214

Evoidea

latifolia 39.604

Tamansari

Nephrolepis bisserata 13.994

Trevessa

sundaica 44.909

Symplocos

faciculata 84.546

Areca


(1)

26 Sterculiacea Sterculia arcaelata Hantap O 0.194 0.578 0.772 0.012

27 Sterculia montana Hantap gunung O 0.194 1.156 1.350 0.012

28 Sterculiacea Sterculia campanulata Hantap haulang O 0.097 0.578 0.675 0.007

29 Verbenaceae Premna parasitica Areuy laban O 0.292 0.578 0.870 0.017

30 Zingberaceae Amomum cardamomum Kapol O 0.777 1.156 1.934 0.038

31 Zingiber aromaticum Val Lampuyang gunung S,O 0.194 0.578 0.772 0.012

100.000 100.000 200.000 2.156

E = 0.628

H.Produksi

1 Acanthaceae Clinacanthus nuthans Ki tajam O 0.355 0.889 1.244 0.020

2 Amaranthaceae Achyranthes aspera Jarong O 0.651 1.778 2.429 0.033

3 Amarillydaceae Curculigo capitulata Congkok B,O 2.664 7.111 9.775 0.097

4 Arecaceae Areca catechu Jambe O 0.059 0.444 0.504 0.004

5 Capparidaceae Cleoma spinosa Kumis kucing O 1.539 1.778 3.317 0.064

6 Compositae Bidens pilosa Ajeran S,O 1.599 2.667 4.265 0.066

7 Ageratum conyzoides Babadotan awewena S,O 7.105 4.444 11.549 0.188

8 Synedrella nodiflora Babadotan lalakina S,O 1.954 1.778 3.732 0.077

9 Galinsaga parviflora Jkt saminggu O 1.895 2.222 4.117 0.075

10 Spilanthes acmela Jotang koneng S,O 0.059 0.444 0.504 0.004

11 Erigeron sumatinensis Manyenyen O 1.007 1.778 2.784 0.046

12 Mikania micrantha Rayutan O 8.585 9.778 18.363 0.211

13 Blumea balsamifera Sembung hutan O 0.059 0.444 0.504 0.004

14 Emilia sonchifolia Tempuh wiyang O 0.770 1.333 2.103 0.037

15 Elaeocarpaceae Elaeocarpus sp. Ki huut O 0.118 0.889 1.007 0.008

16 Euphorbiaceae Richinus communis Jarak O 0.829 2.667 3.496 0.040

17 Phyllanthus urinaria Meniran merah O 0.770 1.333 2.103 0.037

18 Lamiaceae Basilicum polystacien Aantingan S,O 0.059 0.444 0.504 0.004

19 Malvaceae Urena lobata Kungkurutan O 1.066 0.889 1.955 0.048

20 Sida cordifolia Sadagori O 7.046 8.444 15.490 0.187

21 Marantaceae Halopegia blumei Patat K,O 0.118 0.444 0.563 0.008

22 Melastomataceae Parasonerila begoniaefolia Darangdan O 0.296 1.333 1.629 0.017

23 Clidemia hirta Harendong bulu O 38.958 19.556 58.514 0.367

24 Moraceae Ficus quercifolia Amis mata S,O 0.178 0.889 1.067 0.011

25 Ficus hampelas Ki hampelas O 0.118 0.444 0.563 0.008

26 Myrtaceae Eugenia polycephala Cupa B,O 0.296 1.333 1.629 0.017

27 Poaceae Imperata cylindrica Eurih O 8.644 4.444 13.089 0.212

28 Polygalaceae Polygenum chinense Beung beureman O 0.118 0.444 0.563 0.008

29 Popilionaceae Clitoria ternate Center cena O 1.125 1.778 2.903 0.050

30 Rubiaceae Angostemum montanum Ki badak O 1.243 1.778 3.021 0.055

31 Argostemma montanum Raundeu badak S,O 2.783 3.111 5.894 0.100

32 Rutaceae Evoidea latifolia Ki sampang O 0.237 1.333 1.570 0.014

33 Thymelaeaceae Aquilaria malacensis Karas tulang O 0.118 0.444 0.563 0.008

34 Umbelliferae Centela asiatica Antanan gede S,O 2.368 1.333 3.702 0.089

35 Verbenaceae Lantana camara Cente O 3.612 5.778 9.389 0.120

36 Stachytarpheta jamaicensis Pecut kuda O 1.480 3.111 4.591 0.062

37 Zingberaceae Amomum cardamomum Kapol O 0.059 0.444 0.504 0.004

38 Zingiber aromaticum Val Lampuyang gunung S,O 0.059 0.444 0.504 0.004

100.000 100.000 200.000 2.408

E = 0.662

Semak

1 Acanthaceae Clinacanthus nuthans Ki tajam O 0.408 0.513 0.921 0.022

2 Amaranthaceae Alternanthera sessilis Daun keremek O 0.021 0.256 0.278 0.002

3 Achyranthes aspera Jarong O 0.494 0.769 1.263 0.026

4 Curculigo capitulata Congkok B,O 0.451 1.795 2.246 0.024

5 Capparidaceae Cleoma spinosa Kumis kucing O 0.430 0.256 0.686 0.023

6 Compositae Bidens pilosa Ajeran S,O 0.494 1.282 1.776 0.026


(2)

8 Ageratum conyzoides Babadotan awewena S,O 3.803 5.128 8.931 0.124

9 Synedrella nodiflora Babadotan lalakina S,O 1.268 2.051 3.319 0.055

10 Galinsaga parviflora Jkt saminggu O 0.043 0.256 0.299 0.003

11 Emilia sonchifolia Jonge S,O 0.322 0.256 0.579 0.018

12 Spilanthes acmela Jotang koneng S,O 20.413 5.128 25.541 0.324

13 Gynura sarmentosa Kalingsir O 1.096 1.282 2.378 0.049

14 Erigeron sumatinensis Manyenyen O 0.537 2.051 2.588 0.028

15 Mikania micrantha Rayutan O 3.631 7.436 11.067 0.120

16 Elephantopus scaber . Tapak liman O 0.666 0.769 1.435 0.033

17 Emilia sonchifolia Tempuh wiyang O 0.559 1.282 1.841 0.029

18 Sanchus arvensis Tempuyung O 0.344 0.769 1.113 0.020

19 Euphorbiaceae Phyllanthus urinaria Meniran merah O 1.203 2.564 3.767 0.053

20 Euphorbia hirta Patikan kebo O 0.752 1.282 2.034 0.037

21 Lamiaceae Basilicum polystacien Aantingan S,O 2.987 6.154 9.141 0.105

22 Malvaceae Urena lobata Kungkurutan O 0.193 1.282 1.475 0.012

23 Sida cordifolia Sadagori O 4.233 7.179 11.412 0.134

24 Melastomataceae Clidemia hirta Harendong bulu O 17.533 13.846 31.379 0.305

25 Poaceae Imperata cylindrica Eurih O 22.669 12.051 34.720 0.336

26 Popilionaceae Clitoria ternate Center cena O 6.339 9.487 15.826 0.175

27 Rutaceae Evoidea latifolia Ki sampang O 0.215 0.513 0.728 0.013

28 Umbelliferae Centela asiatica Antanan gede S,O 2.385 2.564 4.949 0.089

29 Verbenaceae Lantana camara Cente O 3.180 5.641 8.821 0.110

30 Melisa patriflora Benth Jawer kotok O 0.021 0.256 0.278 0.002

31 Stachytarpheta jamaicensis Pecut kuda O 3.159 5.641 8.800 0.109

100.000 100.000 200.000 2.420

E = 0.705

Sawah

1 Acanthaceae Andrographis paniculata Peuciat O 0.232 0.452 0.685 0.014

2 Amaranthaceae Alternanthera sessilis Daun keremek O 0.464 0.905 1.369 0.025

3 Achyranthes aspera Jarong O 0.516 1.131 1.647 0.027

4 Apiaceae Hydrocotyle sibthorpiodes Antanan beurit S,O 13.663 7.466 21.129 0.272

5 Azollaceae Azolla pinnata Jkt kayambang O 1.469 1.357 2.827 0.062

6 Capparidaceae Cleoma spinosa Kumis kucing O 1.109 1.131 2.240 0.050

7 Companulaceae Lourentia longiflora L Tolod O 1.315 2.036 3.351 0.057

8 Compositae Bidens pilosa Ajeran S,O 2.037 2.489 4.525 0.079

9 Ageratum conyzoides Babadotan awewena S,O 17.530 12.670 30.200 0.305

10 Synedrella nodiflora Babadotan lalakina S,O 9.152 7.014 16.165 0.219

11 Athroisma laciniatum Jambrong O 0.284 0.679 0.962 0.017

12 Galinsaga parviflora Jkt saminggu O 1.186 1.810 2.996 0.053

13 Emilia sonchifolia Jonge S,O 2.862 3.620 6.481 0.102

14 Spilanthes acmela Jotang koneng S,O 5.929 4.977 10.907 0.168

15 Erigeron sumatinensis Manyenyen O 2.655 3.167 5.823 0.096

16 Mikania micrantha Rayutan O 1.083 2.941 4.024 0.049

17 Elephantopus scaber . Tapak liman O 1.289 2.262 3.551 0.056

18 Sanchus arvensis Tempuyung O 2.475 3.167 5.642 0.092

19 Eclipta prostata Urang aring O 0.902 0.905 1.807 0.042

20 Cruciferae Rorippa indica Sasawian O 1.109 1.810 2.918 0.050

21 Euphorbiaceae Richinus communis Jarak O 0.026 0.226 0.252 0.002

22 Phyllanthus debilis Meniran hijau O 5.646 9.050 14.696 0.162

23 Euphorbia hirta Patikan kebo O 3.274 3.394 6.668 0.112

24 Fagaceae Parkia speciosa Pete O 0.052 0.226 0.278 0.004

25 Lamiaceae Basilicum polystacien Aantingan S,O 1.186 2.262 3.448 0.053

26 Loganiaceae Spigela anthelmia Jkt samilotoan O 0.129 0.452 0.581 0.009

27 Malvaceae Sida cordifolia Sadagori O 1.573 2.036 3.609 0.065

28 Melastomataceae Clidemia hirta Harendong bulu O 3.480 3.620 7.100 0.117

29 Moraceae Ficus quercifolia Amis mata S,O 0.258 0.226 0.484 0.015


(3)

31 Poaceae Imperata cylindrica Eurih O 5.465 4.072 9.538 0.159

32 Popilionaceae Clitoria ternate Center cena O 1.031 1.584 2.615 0.047

33 Solanaceae Physalis minimal Jkt cecenet B,O 0.052 0.226 0.278 0.004

34 Umbelliferae Centela asiatica Antanan gede S,O 5.723 4.751 10.474 0.164

35 Pimpinella alpina Antanan gunung S,O 2.243 1.357 3.600 0.085

36 Eryngium graveolens Walang sangit O 1.109 1.584 2.692 0.050

37 Verbenaceae Lantana camara Cente O 0.103 0.226 0.329 0.007

38 Melisa patriflora Benth Jawer kotok O 0.052 0.226 0.278 0.004

39 Stachytarpheta jamaicensis Pecut kuda O 0.799 1.357 2.157 0.039

40 Zingiberaceae Zingiber amaricans Lampuyangan S,O 0.490 0.679 1.169 0.026

100.000 100.000 200.000 2.961

E = 0.803

Tegalan

1 Acanthaceae Clinacanthus nuthans Ki tajam O 0.896 0.522 1.418 0.042

2 Amaranthaceae Achyranthes aspera Jarong O 2.688 3.133 5.821 0.097

3 Curculigo capitulata Congkok B,O 0.827 1.828 2.655 0.040

4 Apiaceae Hydrocotyle sibthorpiodes Antanan beurit S,O 1.757 0.783 2.541 0.071

5 Arecaceae Areca catechu Jambe O 0.172 0.522 0.694 0.011

6 Capparidaceae Cleoma spinosa Kumis kucing O 0.689 0.261 0.950 0.034

7 Companulaceae Lourentia longiflora L Tolod O 0.034 0.261 0.296 0.003

8 Compositae Bidens pilosa Ajeran S,O 0.827 1.828 2.655 0.040

9 Ageratum conyzoides Babadotan awewena S,O 13.715 8.355 22.070 0.272

10 Synedrella nodiflora Babadotan lalakina S,O 11.061 7.311 18.372 0.244

11 Galinsaga parviflora Jkt saminggu O 2.274 1.044 3.319 0.086

12 Emilia sonchifolia Jonge S,O 0.345 0.783 1.128 0.020

13 Spilanthes acmela Jotang koneng S,O 5.651 3.916 9.568 0.162

14 Gynura sarmentosa Kalingsir O 0.551 1.567 2.118 0.029

15 Erigeron sumatinensis Manyenyen O 0.586 1.044 1.630 0.030

16 Mikania micrantha Rayutan O 1.999 3.916 5.915 0.078

17 Elephantopus scaber . Tapak liman O 1.620 1.828 3.447 0.067

18 Emilia sonchifolia Tempuh wiyang O 0.345 0.783 1.128 0.020

19 Sanchus arvensis Tempuyung O 0.345 0.261 0.606 0.020

20 Eclipta prostata Urang aring O 0.861 0.522 1.384 0.041

21 Cucurbitaceae Bryonopsis laciniosa Areuy blenok O 0.034 0.261 0.296 0.003

22 Elaeocarpaceae Elaeocarpus graniflora Anyanganyang S,O 0.034 0.261 0.296 0.003

23 Euphorbiaceae Phyllanthus debilis Meniran hijau O 0.034 0.261 0.296 0.003

24 Phyllanthus urinaria Meniran merah O 4.204 6.789 10.993 0.133

25 Euphorbia hirta Patikan kebo O 1.241 1.305 2.546 0.054

26 Fagaceae Parkia speciosa Pete O 0.034 0.261 0.296 0.003

27 Lamiaceae Basilicum polystacien Aantingan S,O 0.276 0.522 0.798 0.016

28 Loganiaceae Spigela anthelmia Jkt samilotoan O 1.068 1.305 2.374 0.048

29 Malvaceae Urena lobata Kungkurutan O 0.276 1.044 1.320 0.016

30 Sida cordifolia Sadagori O 6.513 7.311 13.823 0.178

31 Hibiscus similis Waru O 0.345 0.783 1.128 0.020

32 Marantaceae Halopegia blumei Patat K,O 2.102 1.828 3.930 0.081

33 Melastomataceae Clidemia hirta Harendong bulu O 19.642 14.360 34.002 0.320

34 Moraceae Ficus quercifolia Amis mata S,O 0.069 0.261 0.330 0.005

35 Ficus hispida Bisaro O 0.069 0.261 0.330 0.005

36 Myrtaceae Eugenia polycephala Cupa B,O 0.034 0.261 0.296 0.003

37 Papilionasaceae Erythrina crassifolia Dadap hejo O 0.034 0.261 0.296 0.003

38 Abrus precatorius Kembang saga O 0.069 0.261 0.330 0.005

39 Poaceae Imperata cylindrica Eurih O 2.447 2.089 4.535 0.091

40 Shizachyrium fragile R.Br Rumput merak O 0.689 0.261 0.950 0.034

41 Polygonaceae Polygonum barbatum Ki carang O,R 0.345 0.783 1.128 0.020

42 Popilionaceae Clitoria ternate Center cena O 2.033 4.178 6.211 0.079

43 Rubiaceae Argostemma montanum Raundeu badak S,O 0.379 0.522 0.901 0.021


(4)

45 Solanaceae Physalis minimal Jkt cecenet B,O 0.103 0.261 0.364 0.007

46 Umbelliferae Centela asiatica Antanan gede S,O 0.861 0.783 1.645 0.041

47 Pimpinella alpina Antanan gunung S,O 2.378 1.828 4.205 0.089

48 Eryngium graveolens Walang sangit O 1.413 1.828 3.240 0.060

49 Urticaceae Laportea stimulan Daun pulus O 0.379 0.783 1.162 0.021

50 Verbenaceae Lantana camara Cente O 1.413 2.611 4.024 0.060

51 Melisa patriflora Benth Jawer kotok O 0.241 0.261 0.502 0.015

52 Stachytarpheta jamaicensis Pecut kuda O 3.446 4.439 7.885 0.116

53 Zingberaceae Amomum cardamomum Kapol O 0.034 0.261 0.296 0.003

54 Zingiber amaricans Lampuyangan S,O 0.103 0.522 0.626 0.007

100.000 100.000 200.000 2.991

E = 0.750

PENYEDAP

H.Alam

1 Liliaceae Pleomela angustifolia Suji P 3.185 9.091 12.276 0.110

2 Myrtaceae Eugenia densiflora Duthie Kopo P 0.637 3.030 3.667 0.032

3 Papilionasaceae Ipomoea obscura Areuy bangkuang P 0.637 3.030 3.667 0.032

4 Poaceae Andropogon nardus Seureuhan P 6.369 18.182 24.551 0.175

5 Polygonaceae Polygonum hydropiper Cacabean P 89.172 66.667 155.839 0.102

100.000 100.000 200.000 0.452

E = 0.281

H.Produksi

1 Acanthaceae Justicia gendarussa Tehtehan P 3.125 8.333 11.458 0.108

2 Labiataceae Mesona palustris Camcau leutik P 12.500 25.000 37.500 0.347

3 Papilionasaceae Ipomoea obscura Areuy bangkuang P 3.125 8.333 11.458 0.260

4 Poaceae Andropogon nardus Seureuhan P 31.250 50.000 81.250 0.363

5 Polygonaceae Polygonum hydropiper Cacabean P 50.000 8.333 58.333 0.108

100.000 100.000 200.000 1.187

E = 0.737

Semak

1 Poaceae Andropogon nardus Seureuhan P 100.000 100.000 200.000 0.000

1 Oxalidaceae Oxalis tetraphylla Aseman gede P,O 72.222 37.500 109.722 0.235

2 Poaceae Andropogon nardus Seureuhan P 25.000 18.750 43.750 0.347

3 Polygonaceae Polygonum hydropiper Cacabean P 2.778 6.250 9.028 0.100

100.000 62.500 162.500 0.681

E = 0.620

Tegalan

1 Lauraceae Cinnomomum zaelaniarum Kayu manis P 3.448 6.897 10.345 0.116

2 Liliaceae Pleomela angustifolia Suji P 2.069 6.897 8.966 0.080

3 Oxalidaceae Oxalis tetraphylla Aseman gede P,O 69.655 55.172 124.828 0.252

4 Poaceae Andropogon nardus Seureuhan P 15.172 17.241 32.414 0.286

5 Polygonaceae Polygonum hydropiper Cacabean P 2.759 3.448 6.207 0.099

6 Polygonum barbatum Ki carang O,R 6.897 10.345 17.241 0.184

100.000 100.000 200.000 1.018

E = 0.568

KARBOHIDRAT

H.Alam

1 Cannaceae Canna edulis Ganyong K 13.333 20.000 33.333 0.269

2 Dioscoreaceae Dioscorea aculeata Areuy hui butun K 6.667 20.000 26.667 0.181

3 Marantaceae Phrynium capitatum Willd Patat gunung K,O 73.333 40.000 113.333 0.227

4 Moraceae Artocarpus elasticus Teurep K 6.667 20.000 26.667 0.181

100.000 100.000 200.000 0.857

E = 0.618


(5)

1 Acanthaceae Graptophyllum pictum Handeli gunung K 20.000 20.000 40.000 0.322

2 Dioscoreaceae Dioscorea aculeata Areuy hui butun K 40.000 40.000 80.000 0.367

3 Lauraceae Litsea robusta Huru tangkalak K 20.000 20.000 40.000 0.322

4 Marantaceae Halopegia blumei Patat K,O 20.000 20.000 40.000 0.322

100.000 100.000 200.000 1.332

E = 0.961

Sawah

1 Araceae Colocasia exculentaVar. Talas balitung K 16.667 50.000 66.667 0.299

2 Xanthosoma violaceum Talas bentoel K 83.333 50.000 133.333 0.152

100.000 100.000 200.000 0.451

E = 0.650

Tegalan

1 Araceae Colocasia exculentaVar. Talas balitung K 23.077 33.333 56.410 0.338

2 Xanthosoma violaceum Talas bentoel K 6.731 5.556 12.286 0.182

3 Cannaceae Canna edulis Ganyong K 8.654 11.111 19.765 0.212

4 Lauraceae Litsea robusta Huru tangkalak K 1.923 5.556 7.479 0.076

5 Liliaceae Smilax china Areuy gadung K 0.962 5.556 6.517 0.045

6 Marantaceae Halopegia blumei Patat K,O 58.654 38.889 97.543 0.313

100.000 100.000 200.000 1.165

E = 0.650

Keterangan : B=buah, S=sayur, O=obat, P=penyedap, K=karbohidrat, E=indeks kemerataan, H’=Spilogepi

Lampiran. 4. Daftar pertanyaan pengetahuan masyarakat tentang jenis dan kegunaan

TLE

Nama responden

:

Pendidikan

:

Umur

:

Desa

:

:

Kelamin

:

Kec.

:

Status

:

Kab.

:

Kegunaan

Intensitas

penggunaan

Tingkat

kesukaan

No

Nama Jenis

B S O L BG CM

TT

5 4 3 2 1 2 1 0.5

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19


(6)

20

Panduan Pengisian Daftar Pertanyaan

Beri tanda centang ( v ) pada kegunaan :B = sebagai buah, S = sebagai bahan sayur, O =

sebagai bahan obat, L = lain-lain, BD = bagian yang dimakan ( a = akar, b = batang= d =

daun, bg = bunga, bh = buah, s = semua bagian), CM = cara memakan ( l = lalap, m =

mentah, d = dimasak), tt = tempat tumbuh ( s = sawah, sm = semak, t = talun, hp = hutan

produksi, ha = hutan alam )

Intensitas Penggunaan : 5 = sangat tinggi (sangat sering), 4 = tinggi (sering), 3 = sedang, 2

= rendah (jarang), 1 = sangat jarang

Tingkat kesukaan : 2 = paling disukai dan merupakan pilihan utama, 1 = disukai, tetapi

dapat diganti oleh yang lain bila tidak ada, 0,5 = paling tidak disukai

Responden :

Umur

Laki-laki

Perempuan

15 – 29

30 – 44

45 – 59

> 60