Biomassa, Kadar Sinensetin Dan Aktivitas Inhibisi Α Glukosidase Kumis Kucing (Orthosiphon Aristatus) Dengan Perbedaan Cara Pemupukan Dan Panen

i

BIOMASSA, KADAR SINENSETIN DAN AKTIVITAS INHIBISI
α-GLUKOSIDASE KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus)
DENGAN PERBEDAAN CARA PEMUPUKAN DAN PANEN

RISTA DELYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biomassa, Kadar
Sinensetin dan Aktivitas Inhibisi α-glukosidase Kumis Kucing (Orthosiphon
aristatus) dengan Perbedaan Cara Pemupukan dan Panen adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016
Rista Delyani
NIM A252130171

RINGKASAN
RISTA DELYANI. Biomassa, Kadar Sinensetin dan Aktivitas Inhibisi
α-glukosidase Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) dengan Perbedaan Cara
Pemupukan dan Panen. Dibimbing oleh ANI KURNIAWATI, MAYA MELATI
dan DIDAH NUR FARIDAH.
Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) adalah salah satu anggota dari famili
Lamiaceae yang banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, salah
satunya adalah diabetes. Sayangnya, pengembangan kumis kucing sebagai tanaman
obat terkendala pada kuantitas dan kualitas fisik simplisia hingga kualitas dan
kuantitas bioaktif yang dihasilkan. Hal ini antara lain dapat disebabkan budidaya
kumis kucing belum memiliki SOP yang baku untuk menghasilkan simplisia
dengan mutu baik dan kandungan bioaktif yang tinggi. Informasi teknik budidaya,

seperti pemupukan dan pemanenan yang tepat diperlukan untuk memperoleh
produksi biomassa yang tinggi sekaligus memiliki khasiat obat yang tepat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan simplisia daun, kadar sinensetin serta
aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase yang tinggi melalui pemupukan dan
pengaturan panen.
Percobaan dilaksanakan pada bulan Oktober 2014-April 2015 (curah hujan
>200mm per bulan). Penanaman dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo IPB
pada awal November 2014. Rancangan petak-petak terbagi (split-split plot) dengan
tiga ulangan digunakan dalam percobaan ini. Perlakuan yang diberikan adalah cara
pemberian pupuk (sekaligus dan bertahap) sebagai petak utama, rotasi panen (3, 5
dan 7 minggu) sebagai anak petak dan ketinggian pangkas (10, 20 dan 30 dari
permukaan tanah) sebagai anak anak petak, sehingga total satuan percobaan adalah
sebanyak 54 satuan percobaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang secara
sekaligus sebanyak 10 ton ha-1 di awal tanam memberikan produksi total simplisia
daun 14% lebih tinggi daripada pemberian pupuk secara bertahap. Produksi
simplisia daun lebih tinggi pada rotasi panen tiga (2.95 ton ha-1) dan lima minggu
(2.98 ton ha-1), namun kadar sinensetin lebih tinggi pada rotasi panen tujuh minggu
(0.08%). Ketinggian pangkas 30 cm menghasilkan simplisia daun, kadar sinensetin
dan aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase yang paling tinggi. Tidak terdapat

pengaruh interaksi antar perlakuan terhadap produksi total simplisia daun, kadar
sinensetin dan aktivitas inhibisi.
Kata kunci :

diabetes, interval panen, ketinggian pangkas, pemupukan bertahap,
pupuk organik

SUMMARY
RISTA DELYANI. Biomass, Sinensetin Content and α-glucosidase Inhibition
Activity of Orthosiphon aristatus with Different Methods of Fertilization and
Harvest. Supervised by ANI KURNIAWATI, MAYA MELATI and DIDAH NUR
FARIDAH.
Orthosiphon aristatus, a perennial of Lamiaceae family, has been proved as
diabetic remedy due to its antihyperglycemic activity. Lack of standard operational
procedure (SOP) of O. aristatus cultivation hampers the quality and the quantity of
dry leaves and its medicinal properties. The information of proper method of
fertilization and harvest are required to obtain high yield of dry leaves, sinensetin
content and the ability to inhibit α-glucosidase activity as medicinal properties.
The experiment was conducted at Leuwikopo Experimental Farm, Bogor
Agricultural University from October 2014 until April 2015 (rainfall >200 mm per

month) and used split-split plot design with three replications. The treatments were
the technique of organic fertilizer application (whole and split) as the main plot;
harvest interval (3, 5 and 7 weeks) as subplot; and cutting height (10, 20 and 30 cm
above ground level) as sub-subplot.
The results showed that the whole application of 10 ton ha-1 manure at
transplanting date produced 14% higher O. aristatus dry leaves than split
application. The 3- and 5-week harvest intervals treatment were able to produce
high weight of dry leaves (2.95 ton ha-1 and 2.98 ton ha-1, respectively), but the crop
produced high sinensetin content at 7-week of harvest interval (0.08%). O. aristatus
harvested with cutting at 30 cm above ground level produced the highest weight of
dry leaves, sinensetin content and α-glucosidase activity inhibition. There is no
significant interaction effect of the treatments on the dry leaves yield, sinensetin
content and α-glucosidase activity inhibition.
Keywords : cutting height, diabetes, harvest interval, manure, split application

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

BIOMASSA, KADAR SINENSETIN DAN AKTIVITAS INHIBISI
α-GLUKOSIDASE KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus)
DENGAN PERBEDAAN CARA PEMUPUKAN DAN PANEN

RISTA DELYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Drajat Martianto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Marimin, MS
Dr Ir Naresworo Nugroho, MS
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr Ir Sandra A. Aziz, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini diharapkan
mampu menjadi masukan dalam menyusun Standard Operational Prosedur (SOP)
untuk budidaya kumis kucing.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ani Kurniawati, Dr Maya Melati
dan Dr Didah Nur Faridah selaku pembimbing, Prof. Sandra Arifin Aziz selaku
penguji luar komisi, Dr Dewi Sukma selaku wakil urusan program studi, para
pemberi dana yaitu Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi melalui
beasiswa BPPDN (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri) dan Dr Ani
Kurniawati melalui pendanaan Penelitian Lintas Fakultas-Pusat/Departemen dari
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) tahun 2014, para teknisi
lapang dan teknisi laboratorium serta teman-teman pasca AGH 2013 yang telah

membantu pelaksanaan penelitian. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya
untuk penyusunan SOP budidaya kumis kucing.
Bogor, September 2016
Rista Delyani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

xi
xii
xiii

1
1
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Syarat Tumbuh Kumis Kucing
Kandungan dan Manfaat Kumis Kucing
Budidaya dan Pasca Panen Kumis Kucing
Sinensetin
Sifat Antihiperglikemik dari Kumis Kucing
Pemupukan
Pemanenan

4
4
5
5
6

8
9
10

3 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Rancangan Percobaan
Pelaksanaan
Pengamatan
Prosedur Analisis Data

14
14
14
14
17
17
20


4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan Pembahasan
Pembahasan

21
22
51

5 SIMPULAN
Simpulan
Saran

60
60
60

DAFTAR PUSTAKA

61


LAMPIRAN

66

RIWAYAT HIDUP

75

DAFTAR TABEL
1 Jadwal pemanenan dan pemupukan kumis kucing berdasarkan rotasi
panen
2 Komposisi campuran larutan pada pengujian aktivitas inhibisi enzim
α-glukosidase
3 Kondisi iklim selama penelitian lapangan
4 Analisis sifat fisik dan kimia pupuk kandang
5 Analisis sifat kimia tanah pada awal dan akhir penelitian
6 Tinggi, jumlah cabang dan jumlah buku tanaman pada cara
pemberian pupuk yang berbeda
7 Tinggi dan jumlah buku di tunas baru pada tiga rotasi panen
8 Tinggi tunas dan jumlah buku di tunas baru dengan perbedaan cara
pemberian pupuk dan ketinggian pangkas pada rotasi panen tiga
minggu
9 Tinggi tunas dan jumlah buku di tunas baru dengan perbedaan cara
pemberian pupuk dan ketinggian pangkas pada rotasi panen lima
minggu
10 Tinggi tunas dan jumlah buku di tunas baru dengan perbedaan cara
pemberian pupuk dan ketinggian pangkas pada rotasi panen tujuh
minggu
11 Nilai ILD, LTR dan LAB dengan perbedaan cara pemberian pupuk
dan ketinggian pangkas pada rotasi panen tiga minggu
12 Nilai ILD, LTR dan LAB dengan perbedaan cara pemberian pupuk
dan ketinggian pangkas pada rotasi panen lima minggu
13 Nilai ILD, LTR dan LAB dengan perbedaan cara pemberian pupuk
dan ketinggian pangkas pada rotasi panen tujuh minggu
14 Diameter tajuk dengan perbedaan cara pemberian pupuk dan
ketinggian pangkas pada rotasi panen tiga minggu
15 Diameter tajuk dengan perbedaan cara pemberian pupuk dan
ketinggian pangkas pada rotasi panen lima minggu
16 Bobot basah dan kering daun, batang serta bunga per tanaman dan
petak pada panen pertama (8 MST)
17 Bobot basah daun pada panen kedua hingga keenam pada rotasi
panen tiga minggu
18 Bobot kering daun pada panen kedua hingga keenam pada rotasi
panen tiga minggu
19 Bobot basah batang pada panen kedua hingga keenam pada rotasi
panen tiga minggu
20 Bobot kering batang pada panen kedua hingga keenam pada rotasi
panen tiga minggu
21 Interaksi cara pemberian pupuk dan ketinggian pangkas terhadap
bobot basah dan kering batang di 14 MST pada rotasi panen tiga
minggu
22 Bobot basah bunga pada panen kedua hingga keenam pada rotasi
panen tiga minggu

15
20
21
21
22
22
23
25
26
27
28
28
29
29
30
31
32
33
33
34
34
35

23 Bobot kering bunga pada panen kedua hingga keenam pada rotasi
panen tiga minggu
24 Interaksi cara pemberian pupuk dan ketinggian pangkas terhadap
bobot basah dan kering bunga di 20 MST pada rotasi panen tiga
minggu
25 Bobot basah dan kering daun pada panen kedua hingga keempat pada
rotasi panen lima minggu
26 Bobot basah dan kering batang pada panen kedua hingga keempat
pada rotasi panen lima minggu
27 Bobot basah dan kering bunga pada panen kedua hingga keempat
dengan rotasi panen lima minggu
28 Bobot basah dan kering daun pada panen kedua dan ketiga pada
rotasi panen tujuh minggu
29 Interaksi cara pemberian pupuk dan ketinggian pangkas terhadap
bobot basah dan kering daun di 22 MST pada rotasi panen tujuh
minggu
30 Bobot basah dan kering batang pada panen kedua dan ketiga pada
rotasi panen tujuh minggu
31 Bobot basah dan kering bunga pada panen kedua dan ketiga pada
rotasi panen tujuh minggu
32 Interaksi cara pemberian pupuk dan ketinggian pangkas terhadap
bobot basah dan kering batang di 15 dan 22 MST pada rotasi panen
tujuh minggu
33 Total produksi daun segar, simplisia daun, kadar air daun segar,
rendemen simplisa dan proporsi daun dengan perbedaan cara
pemberian pupuk, rotasi panen dan tinggi pangkas
34 Komposisi daun dewasa dan daun muda dengan perbedaan cara
pemberian pupuk, rotasi panen dan ketinggian pangkas
35 Interaksi rotasi panen dan ketinggian pangkas terhadap komposisi
daun muda
36 Nilai kadar air simplisa kumis kucing dengan perbedaan cara
pemberian pupuk, rotasi panen dan tinggi pangkas
37 Kadar dan estimasi produksi sinensetin dengan perbedaan cara
pemupukan pemberian pupuk, rotasi panen dan tinggi pangkas
38 Interaksi cara pemberian pupuk dan ketinggian pangkas terhadap
estimasi produksi sinensetin
39 Nilai inhibisi dan IC50 enzim α-glukosidase pada perbedaan cara
pemberian pupuk, rotasi panen dan tinggi pangkas

35
36
36
37
38
39
39
40
40
40
45
46
47
47
48
49
51

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Skema jalur biosintesis umum flavonoid (Martens dan Mithöfer 2005)
Struktur kimia sinensetin (Akowuah et al. 2004)
Penutupan tajuk pada tiga ketinggian pangkas
Produksi daun segar dan simplisia daun pada rotasi panen tiga minggu

7
8
30
42

5 Produksi daun segar dan simplisia daun pada rotasi panen lima minggu
6 Produksi daun segar dan simplisia daun pada rotasi panen tujuh
minggu
7 Hasil kromatografi sinensetin pada standar (a) dan sampel (b)
8 Perbedaan warna pada empat larutan pengujian inhibisi α-glukosidase
9 Proporsi bagian tanaman terhadap biomassa total pada tiga rotasi
panen (A) dan tiga ketinggian pangkas (B).
10 Keragaan tunas hasil panen pada tiga rotasi panen dan tiga ketinggian
pangkas

43
44
48
50
56
57

DAFTAR LAMPIRAN
1 Layout percobaan
2 Kondisi iklim harian November 2014-April 2015
3 Hasil kromatografi standar sinensetin dan sampel

67
68
69

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman obat adalah jenis yang sebagian, seluruh bagian atau eksudat
tanaman tersebut yang digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan
(Rostiana et al. 1992). Salah satu komoditas tanaman obat yang sering digunakan
adalah Orthosiphon aristatus (Blume) Miq atau biasanya disebut dengan kumis
kucing. Kumis kucing banyak digunakan dalam obat-obatan tradisional karena
manfaatnya yang luas. Dzulkarnain et al. (1999) menyatakan bahwa kumis kucing
bersifat diuretik, anti-mikroba, anti-bakteri, antibiotik serta anti-inflamasi.
Tanaman ini umumnya digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang berkaitan
dengan ginjal atau kandung kemih. Penggunaan kumis kucing bersama tanaman
lain juga dapat mengatasi penyakit kuning, diabetes, encok, rematik dan
arteriosklerosis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kumis kucing
mengandung senyawa-senyawa flavon seperti sinensetin, eupatorin dan asam
rosmarinat (Akowuah et al. 2004), beberapa senyawa triterpen seperti ursolic acid,
oleanolic acid, betulinic acid, hydroxybetulinic acid, maslinic acid, alpha-amyrin
acid dan beta-amyrin acid serta diterpenoid (Hossain dan Ismail 2013).
Salah satu senyawa fenol yang banyak terdapat di kumis kucing adalah
sinensetin dari golongan flavon. Sinensetin dapat bekerja menghambat aktivitas
enzim alpha-glukosidase (Mohamed et al. 2012). Penghambatan aktivitas enzim ini
dapat menjadi terapi bagi penderita diabetes tipe 2. Hasil hidrolisis dari aktivitas
enzim ini adalah glukosa. Aktivitas enzim yang tinggi akan meningkatkan kadar
gula dalam darah penderita sehingga kandungan gula darah akan meningkat.
Apabila aktivitas ini dihambat maka kadar gula darah pada penderita dapat
dikurangi karena pemecahan karbohidrat menjadi glukosa juga akan terhambat
(Kumar dan Sudha 2012). Penelitian Mohamed et al. (2012) menunjukkan bahwa
ekstrak kumis kucing 50% etanol sebanyak 62.5 mg ml-1 mampu menghambat
aktivitas α-glukosidase hingga 81.4% sedangkan sinensetin murni dapat
menghambat 32-89% dengan konsentrasi 0.31-2.5%. Widyawati (2014) juga
menyatakan bahwa ekstrak kumis kucing 25 mg ml-1 dari beberapa lokasi dengan
pelarut air dapat menghambat α-glukosidase berkisar dari 57.93-99.9%. Penelitian
mengenai kemampuan kumis kucing dalam menginhibisi enzim α-glukosidase
sudah pernah dilakukan, namun penelitian yang melibatkan perlakuan budidaya
masih belum banyak dilakukan.
Pengembangan tanaman kumis kucing sebagai tanaman obat saat ini masih
terkendala pada mutu simplisia yang dihasilkan, baik itu dari kuantitas dan kualitas
fisik simplisia hingga kualitas dan kuantitas bioaktif yang dihasilkan. Hal ini antara
lain dapat disebabkan budidaya kumis kucing belum memiliki SOP yang baku
untuk menghasilkan simplisia dengan mutu baik dan kandungan bioaktif yang
tinggi. Kondisi ini mengakibatkan beragamnya kualitas simplisia yang dihasilkan
sehingga perlu dilakukan penentuan teknik budidaya yang baik melalui penelitian
terkait aspek-aspek budidaya, mulai dari pembibitan hingga penanganan pasca
panen.
Beberapa aspek yang penting dalam budidaya tanaman obat adalah
pemupukan dan pemanenan. Pemupukan dapat meliputi waktu pemberian pupuk

2

dan dosis setiap aplikasi karena akan berkaitan dengan ketersediaan hara selama
proses pembentukan biomassa dan bioaktif tanaman. Pemupukan dapat dilakukan
saat tanam ataupun setelah tanam. Pemberian pupuk saat tanam bertujuan untuk
mendukung pertumbuhan awal tanaman sedangkan pemberian pupuk setelah tanam
bertujuan untuk menjaga hara tetap tersedia selama pertumbuhan tanaman. Bagian
yang dipanen dari kumis kucing adalah bagian daun sehingga pemupukan tambahan
perlu dipertimbangkan agar hara selalu tersedia bagi tanaman untuk mendukung
kondisi vegetatifnya. Pengaturan waktu pemupukan juga perlu diperhatikan dalam
aplikasi pupuk kandang yang bersifat slow release. Menurut Sundara (2010), dosis
dan waktu aplikasi mungkin berbeda pada tanaman yang di-ratoon (dipanen lebih
dari satu kali). Satu prinsip umum dari manajamen hara pada sistem ratoon tanaman
adalah pada penambahan jumlah pupuk organik yang memadai.
Terdapat aspek penting bagi budidaya tanaman obat yang dapat dipanen
lebih dari satu kali, di antaranya adalah rotasi panen dan tinggi pangkas saat panen.
Kedua hal ini akan mempengaruhi fase pertumbuhan tanaman dan bagian tanaman
yang dipanen serta yang ditinggalkan. Rotasi panen penting bagi tanaman yang
pemanenannya tidak dilakukan hanya satu kali tetapi beberapa kali dalam suatu
rotasi tertentu. Fase pertumbuhan tanaman akan mempengaruhi biomassa dan
akumulasi kandungan senyawanya (Abreu et al. 2004; Couceiro et al. 2006).
Kandungan artemisin pada Artemisia annua lebih banyak pada daun muda
dibandingkan pada daun dewasa sehingga pemanenan yang lebih baik adalah
sebanyak 4 kali selama satu masa tumbuh (rotasi panen ±50 hari) dibandingkan
dengan 3, 2 dan 1 kali. Rotasi panen ini juga menghasilkan bobot daun yang lebih
banyak karena pemanenan daun secara bertahap akan terus memicu tumbuhnya
tunas baru (Kumar et al. 2004). Sementara itu, kolesom pada penelitian Susanti et
al. (2011) yang dipanen pada rotasi 15 hari akan menghasilkan bobot segar dan
protein yang lebih tinggi dibandingkan jika dipanen pada rotasi 10 dan 30 hari.
Penelitian mengenai rotasi panen kumis kucing belum dilakukan namun penelitian
terkait penentuan waktu panen sudah dilakukan. Nurhajijah (2014) menyatakan
bahwa pemanenan satu minggu setelah berbunga akan menghasilkan kandungan
sinensetin yang lebih banyak dibandingkan dengan sebelum atau saat berbunga
karena hal ini terkait dengan jumlah daun dewasa yang dihasilkan. Anggreini dan
Triantoro (1992) menyatakan bahwa kandungan sinensetin lebih banyak terdapat
pada daun dewasa.
Pemangkasan pada kumis kucing merupakan cara pemanenan. Biomassa
yang diperoleh dari pemangkasan adalah hasil panen yang bernilai ekonomi. Tinggi
pangkas berkaitan dengan bagian yang dipanen (biomassa) dan bagian yang
ditinggalkan sebagai source untuk pertumbuhan berikutnya. Hermansyah et al.
(2009) melakukan penelitian terhadap nilam dimana pemangkasan yang
menyisakan sisa cabang satu dan dua pada panen kedua akan menghasilkan jumlah
daun yang lebih banyak pada pertumbuhan berikutnya dibandingkan dengan
pemangkasan yang tidak menyisakan cabang. Pemangkasan pada kumis kucing
juga harus memperhatikan jumlah cabang yang ditinggalkan. Pemangkasan yang
terlalu tinggi akan meninggalkan banyak calon tunas baru, namun biomassa yang
terpanen akan berkurang. Sebaliknya, pemangkasan yang terlalu rendah akan
mengurangi calon tunas baru namun biomassa akan lebih banyak.
Penentuan cara pemupukan, rotasi panen dan tinggi pangkas adalah aspek
yang cukup penting dalam budidaya kumis kucing sehingga perlu dilakukan

3

penelitian mengenai ketiga aspek tersebut. Hal ini untuk mendapatkan teknik
budidaya yang tepat sehingga diperoleh produksi biomassa dan sinensetin yang
tinggi serta aktivitasnya sebagai inhibitor α-glukosidase yang juga tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan cara pemupukan, rotasi panen
dan tinggi pangkas yang tepat untuk mendapatkan produksi simplisia daun, kadar
sinensetin dan kemampuan inhibisi α-glukosidase yang tinggi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian ini adalah mendapatkan cara
pemupukan, rotasi panen dan tinggi pangkas yang tepat sebagai informasi
pendukung dalam penyusunan panduan budidaya kumis kucing. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bagian dari penyusunan SOP (Standard Operational
Prosedure) tanaman kumis kucing untuk mendapatkan simplisia daun kumis kucing
yang layak menjadi bahan obat antihiperglikemia yang berkualitas.
Hipotesis
1. Pemupukan secara bertahap dapat meningkatkan produksi simplisia daun dan
sinensetin serta aktivitas inhibisi α-glukosidase.
2. Rotasi panen yang panjang akan meningkatkan produksi simplisia daun dan
sinensetin serta aktivitas inhibisi α-glukosidase.
3. Pemangkasan 20 cm dari permukaan tanah menghasilkan simplisia daun dan
sinensetin serta aktivitas inhibisi α-glukosidase yang tertinggi.
4. Terdapat interaksi antara ketiga faktor perlakuan yang mempengaruhi produksi
simplisia daun, sinenstin dan aktivitasnya sebagai inhibitor α-glukosidase.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Syarat Tumbuh Kumis Kucing
Kumis kucing disebarkan dari India, Indocina dan Thailand. Penyebarannya
di Australia melalui Malaysia. Sebagai tanaman liar, kumis kucing banyak
ditemukan di Malesia tetapi jarang berada di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Saat ini kumis kucing banyak tumbuh di Asia Tenggara, Georgia dan Kuba
(Dzulkarnain et al. 1999).
Kumis kucing termasuk dalam family Lamiaceae atau Labiatae. Kumis
kucing memiliki nama ilmiah Orthosiphon aristatus (Blume) Miq, namun ada juga
yang menyebutnya sebagai Orthosiphon stamineus (Dzulkarnain et al. 1999).
Kartasapoetra (2004) menyebut Orthosiphon grandiflorus sebagai nama ilmiah dari
kumis kucing. Kumis kucing juga dikenal dengan nama Java tea (Inggris) atau
remukjung (Jawa). Di Filipina, kumis kucing disebut dengan balbas pusa
sedangkan di Thailand dikenal dengan yaa nuat maeo (Dzulkarnain et al. 1999).
Secara umum kumis kucing terdiri dari tiga jenis yaitu bunga ungu dengan
tangkai berwarna ungu, bunga putih keunguan dengan tangkai berwarna hijau
keunguan dan bunga putih dengan tangkai berwarna hijau keunguan (Balittro 2012).
Anggraeni dan Triantoro (1992) menyatakan bahwa aksesi kumis kucing berbunga
ungu mengandung sinensetin yang lebih tinggi daripada aksesi kumis kucing
berbunga putih. Lebih umum dikemukakan Ameer et al. (2012) dalam ulasannya
bahwa kumis kucing berbunga ungu memiliki kandungan bioaktif lebih banyak dari
yang berbunga putih. Meskipun demikian, penelitian ilmiah lebih sering
menggunakan kumis kucing yang berbunga putih.
Kumis kucing umumnya hidup liar di semak-semak, padang rumput dan
sepanjang perbatasan hutan serta tepi jalan, dapat tumbuh pada tanah yang cukup
gembur, subur, banyak mengandung humus dan ketebalan lapisan oleh sedang.
Tanaman ini lebih menyukai kondisi yang terbuka dan disinari matahari penuh
dibanding ditempat yang ternaungi. Kumis kucing dapat tumbuh hingga ketinggian
1 000 mdpl . Kumis kucing menyukai lingkungan tumbuh yang agak basah dengan
curah hujan rata-rata 3 000 mm tahun-1 (Dzulkarnain et al. 1999; Kartasapoetra
2004; Balittro 2012).
Kumis kucing adalah herba tahunan yang memiliki tinggi 25-200 cm
dengan batang berbentuk segiempat. Kumis kucing tidak membentuk percabangan
yang banyak dan batangnya tumbuh ke atas. Daun kumis kucing berwarna hijau,
tunggal, berseberangan, berbentuk bulat telur atau belah ketupat, tumpul di bagian
pangkal namun runcing di bagian ujung, pinggir bergerigi. Panjang daun 4-12 cm
dan lebar daun 5-8 cm. Tepi daun bergerigi kasar tidak beraturan. Tepi daun dan
tulang daun berbulu, warna tulang daun hijau teteapi ada juga yang keunguan.
Panjang tangkai daun 0.5-2 cm, tetapi ada juga yang mencapai 4.5 cm (Dzulkarnain
et al. 1999; Kartasapoetra 2004).
Perbungaan kumis kucing merupaka type cyme yang berseberangan yang
tersusun dalam bentuk tandan (raceme). Panjang bunga berkisar dari 7-29 cm.
Kelopak bunga berukuran panjang 2.5-4.5 mm, berbibir dua. Panjang corolla
sekitar 10-20 mm, berbentuk tabung, berwarna putih atau pucat, benang sari

5

berjumlah 4, tumbuh menonjol panjang dari tabung corolla. Ovarium berukuran
besar, menonjol panjang, ramping, stigma bercelah dangkal. Buah kumis kucing
membelah menjadi 4 nutlet yang berbentuk lonjong atau bulat telur dengan panjang
1.5-2 mm. Nutlet ini berwarna kecokelatan apabila sudah masak dan berkerut
(Dzulkarnain et al. 1999).
Kandungan dan Manfaat Kumis Kucing
Kumis kucing digunakan secara luas sebagai teh herbal. Kumis kucing paling
dikenal karena aktivitas diuretiknya yang lebih kuat dari bahan diuretik alami
lainnya (Ameer et al. 2012). Selain itu, kumis kucing juga memiliki aktivitas antimikroba, anti-bakteri, antibiotik serta anti-inflamasi (Dzulkarnain et al. 1999).
Kumis kucing juga memiliki aktivitas antioksidan dan sebagai agen analgesik
(Majid dan Basheer 2011). Simplisia yang berasal dari daun dan batang yang
dipanen sebelum berbunga mengandung hingga 12% mineral dengan kandungan
kalium yang tinggi (600-700 mg per 100 g daun segar), sekitar 0.2 % flavon lipofilik
termasuk sinensetin, glukosida flavonol, turunan asam caffeic (umumnya asam
rosmarinat dan asam 2,3-dicaffeoyltartaric), inositol, fitosterol, saponin, dan lebih
dari 0.7% minyak esensial. Analisis menunjukkan bahwa turunan asam caffeic
seperti asam rosmarinat adalah komponen yang paling dominan pada ekstrak hasil
seduhan dengan air panas (Dzulkarnain et al. 1999). Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa kumis kucing mengandung senyawa-senyawa flavon seperti,
sinensetin, asam rosmarinat, eupatorin (Akowuah et al. 2004), beberapa senyawa
diterpen seperti orthosiphol dan norstaminone (Awale et al. 2001) serta senyawa
triterpen seperti ursolic acid, oleanolic acid, betulinic acid, hydroxybetulinic acid,
maslinic acid, alpha-amyrin acid dan beta-amyrin acid (Hossain dan Ismail 2013).
Tanaman ini dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang
berkaitan dengan ginjal atau kandung kemih. Penggunaan kumis kucing bersama
tanaman lain juga dapat mengatasi penyakit kuning, diabetes, encok, reumatik dan
arteriosklerosis (Dzulkarnain et al. 1999). Ulasan dari Ameer et al. (2012) juga
menunjukan bahwa kumis kucing juga dapat mengobati diabetes, hipertensi, radang
amandel, epilepsi, gangguan menstruasi, gonore, sifilis, batu empedu, edema,
influenza. Selain sebagai tanaman obat, kumis kucing biasanya juga ditanam
sebagai tanaman hias karena bentuk dan warna bunganya yang indah.
Budidaya dan Pasca Panen Kumis Kucing
Perbanyakan kumis kucing umumnya dilakukan dengan stek batang. Stek
batang yang digunakan sekitar 15-20 cm dengan 3-4 mata tunas. Stek biasanya
ditanam di tempat teduh dengan jarak tanam 40-60 cm. Penanaman langsung di
lahan biasanya dilakukan pada awal musim hujan namun pada kondisi kering
sebaiknya dilakukan pembibitan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar kondisi
akar sudah cukup kuat saat di lapang. Lama di pembibitan sekitar 2-3 minggu
dengan media campuran pupuk kandang dan tanah. Jarak tanam di persemaian yaitu

6

5-10 cm. Perkebunan besar umumnya melakukan pembibitan terlebih dahulu,
dengan menggunakan stek satu buku kemudian ditanam secara vertikal hingga 45
hari (Dzulkarnain et al. 1999).
Pemeliharaan terpenting selama penanaman adalah penyiangan dan
pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan dengan memberi 200 kg SP36, 100 kg
KCl, dan 15 ton pupuk kandang per hektarnya. Pemberian pupuk nitrogen juga
disarankan sebesar 100 kg ha-1 setiap satu bulan atau selesai pemanenan daun
(Dzulkarnain et al. 1999; Balittro 2012).
Pemanenan dapat dimulai pada umur 8-10 minggu setelah tanam atau
sekitar awal berbunga. Pembungaan juga dapat dibuang untuk memperlama masa
vegetatif. Pemanenan dapat dilakukan dengan memetik 4-10 daun dari atas dan
dilakukan setiap 2-3 minggu hingga 1-2 bulan tergantung keadaan (Dzulkarnain et
al. 1999; Balittro 2012). Meskipun demikian, praktik panen pada petani adalah
dengan cara dipangkas. Biomassa hasil pangkasan tersebut merupakah hasil panen
yang bernilai ekonomis dan dijadikan simplisia dengan cara dikeringkan. Produksi
daun kering per ha mencapai 1.5-3 ton ha-1 (Dzulkarnain et al. 1999; Balittro 2012;
Nurhajijah 2014). Kartasapoetra (2004) menyatakan bahwa pemanenan daun yang
akan digunakan sebagai obat dilakukan ketika tanaman ini mulai berbunga.
Nurhajijah (2014) menyatakan bahwa produksi biomassa dan simplisia daun
tertinggi yaitu 1.53-2.36 ton kering ha-1 panen-1 dihasilkan saat tanaman berumur
satu hingga dua minggu setelah berbunga.
Petani umumnya mengeringkan daun kumis kucing di bawah sinar matahari,
namun untuk memperoleh kualitas yang baik daun pertama-tama harus
dikeringanginkan kemudian dikeringkan pada suhu 45-50oC. Pengeringan juga
dapat dilakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari dan ditutup kain hitam.
Pengeringan dilakukan di bawah para-para dan diusahakan tidak saling menumpuk
terlalu tinggi. Pengeringan dengan cara ini harus sering dibolak-balik agar
pengeringan merata. Pengeringan pada musim hujan dapat menggunakan alat
pengering dengan suhu maksimal 50-60 oC. Daun yang berkualitas baik akan
berwarna hijau, aromanya baik, rasanya pahit, kandungan abu sekitar 10%,
kandungan kontaminasi kurang dari 2% dan tidak mengandung serangga dan jamur
(Dzulkarnain et al. 1999; Balittro 2012). Kadar air dalam simplisia daun kumis
kucing sebaiknya tidak lebih dari 13% (Depkes RI 1979) atau 14% (Depkes RI
1980).
Sinensetin
Flavonoid merupakan salah satu kelompok terbesar dari metabolit sekunder.
Kelompok ini diturunkan dari sub-unit yang berasal dari jalur asetat dan sikimat
(Mann 1996). Flavonoid memiliki beberapa kelompok kecil lainnya seperti
antosianin (pigmen merah hingga ungu), flavonol (pigmen tanpa warna hingga
kuning pucat), flavanol (pigmen tanpa warna yang menjadi cokelat setelah
teroksidasi) dan proantosianin (PAs) atau tannin terkondensasi (Petrussa et al.
2013). Flavonoid memiliki fungsi yang luas dalam fisiologi, biokimia dan ekologi
tanaman, seperti perlindungan terhadap sinar UV, pewarnaan bunga, interaksi
antarspesies dan perlindungan tanaman (Martens dan Mithöfer 2005).

7

Tiga kandungan utama kumis kucing yang merupakan kelompok fenol
adalah sinesetin, eupatorin, 3-hidroxi-5,6,7,40-tetrametoksiflavon. Kumis kucing
juga mengandung asam rosmarinat dalam jumlah yang cukup banyak (Akowuah et
al. 2004). Sinensetin termasuk kelompok flavonoid yang disebut dengan flavon
(Tahir et al. 2012). Skema biosintesis flavonoid secara umum pada Gambar 1.
Flavonoid awalnya terbentuk dari tiga molekul malonil CoA dan satu molekul pcoumaroyl CoA yang dengan bantuan enzim CHS dan CHI membentuk senyawasenyawa kelompok flavonon (senyawa yang memiliki tiga cincin). Kelompok kecil
senyawa-senyawa flavonoid terbentuk dari senyawa ini. Terbentuknya flavon dari
flavonon tidak terlepas dari adanya enzim FNS I atau FNS II (tergantung
tanamannya). Flavon dapat ditemukan di semua bagian tanaman, di atas atau bawah
permukaan tanah, di organ vegetatif atau generatif. Perannya dalam tanaman juga
sama seperti peran flavonoid secara umum. Dalam bidang gizi dan kesehatan,
flavon memiliki fungsi sebagai anti-oksidatif, anti-tumor, anti-inflamasi, antibakteri, anti-viral, dan anti-aterosklerotik (Martens dan Mithöfer 2005).

Gambar 1 Skema jalur biosintesis umum flavonoid (Martens dan Mithöfer 2005)
Sinensetin umumnya digunakan untuk pengobatan beberapa penyakit
seperti batu ginjal, diabetes melitus dan encok. Senyawa ini berhasil dipisahkan
dalam skala kecil dengan menggunakan HPLC (High Peformance Liquid
Chromatography). Pemisahan dalam skala besar sebagai produk herbal dapat
menggunakan metode ekstraksi larutan (Tahir et al. 2012). Menurut Muhamed et
al (2012), sinensetin murni dapat menghambat aktivitas α-glukosidase 32-89%
dengan konsentrasi 0.31-2.5 mg ml-1. Struktur kimia sinensetin dapat dilihat pada
Gambar 2.

8

Gambar 2 Struktur kimia sinensetin (Akowuah et al. 2004)
Sinensetin pada kumis kucing lebih banyak diakumulasi pada daun dewasa
dibandingkan pada daun muda. Hal ini berlaku pada aksesi berbunga ungu dan
aksesi berbunga putih (Anggraeni dan Triantoro 1992). Kandungan sinensetin juga
lebih banyak pada tanaman yang ditanam di tempat yang tidak ternaungi (Sudiarto
et al. 1996). Nurhajijah (2014) menambahkan bahwa sinensetin tertinggi dihasilkan
saat tanaman berumur satu minggu setelah berbunga (0.029%) dan terendah pada
umur dua minggu setelah tanam (0.005%). Hal ini diduga juga disebabkan jumlah
daun dewasa pada tanaman yang dipanen dengan umur lebih lama juga lebih banyak.
Sifat Anti-hiperglikemik dari Kumis Kucing
Diabetes melitus atau diabetes merupakan penyakit gangguan metabolisme
yang dicirikan dengan adanya hiperglikemia (peningkatan kadar gula dalam darah)
akibat adanya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein oleh kerusakan pada
sekresi insulin, gangguan aktivitas insulin ataupun keduanya (WHO 1999).
Menurut data dari Kemenkes (2014), jumlah penderita absolut diabetes pada tahun
2013 adalah sekitar 12 juta orang. Dari tiga jenis diabetes, diabetes tipe 2
merupakan jenis yang paling umum ditemukan (mencapai 90% dari seluruh kasus
diabetes).
Peningkatan kadar gula dalam darah pada penderita diabetes tipe 2
dipengaruhi oleh adanya hidrolisis pati menjadi glukosa oleh enzim α-amilase di
pankreas dan enzim α-glukosidase di usus halus. Hanya monosakarida seperti
glukosa dan fruktosa dapat dibawa melalui aliran darah. Pati kompleks,
oligosakarida dan polisakarida harus dipecah menjadi monosakarida sebelum
diserap di usus (Mohamed et al. 2012). Cara yang efektif untuk membantu penderita
diabetes tipe 2 adalah dengan menghambat aktivitas enzim α-glukosidase dan αamilase. Melalui penghambatan aktivitas kedua enzim tersebut, monosakarida yang
terbentuk lebih lambat sehingga peningkatan kadar gula dalam darah tidak terjadi
secara cepat (Kumar dan Sudha 2012).
Penelitian mengenai diabetes sudah banyak dilakukan, terutama pada bidang
kedokteran dan farmasi dengan menggunakan agen hipoglikemik atau anti-

9

hiperglikemik agen serta insulin. Namun pengobatan dengan cara tersebut memiliki
efisiensi yang terbatas dan memungkinkan munculnya efek samping yang tidak
diinginkan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan penggunaan tanaman obat
sebagai alternatif pengobatan diabetes mulai diminati (Mohamed et al. 2012).
Kumis kucing memiliki fungsi sebagai agen anti-hiperglikemik. Ekstrak
kumis kucing efektif dalam mengurangi konsentrasi gula plasma pada tikus yang
diabetes (Sriplang et al. 2007). Sub-fraksi ekstrak kloroform kumis kucing juga
memberikan efek anti-diabetes pada tikus (Mohamed et al. 2013). Penelitian
Mohamed et al. (2012) menunjukkan bahwa ekstrak kumis kucing 50% etanol
sebanyak 62.5 mg ml-1 mampu menghambat aktivitas α-glukosidase dan α-amilase
masing-masing sebesar 81.4% dan 69.2% sedangkan sinensetin murni dapat
menghambat aktivitas α-glukosidase 32-89% dengan konsentrasi 0.31-2.5 mg ml1
dan menghambat α-amilase dengan konsentrasi 2.5 mg/ml. Widyawati (2014) juga
menyatakan bahwa ekstrak kumis kucing 25 mg ml-1 dengan pelarut air dapat
menghambat α-glukosidase berkisar dari 57.93-99.9%.
Pemupukan
Pemupukan secara sederhana dapat diartikan dengan penambahan zat hara
tanaman ke dalam tanah. Pemupukan dalam arti luas berarti penambahan bahanbahan lain yang dapat memperbaiki sifat-sifat tanah misalnya pemberian pasir pada
tanah liat, penambahan tanah mineral pada tanah organik pengapuran dan
sebagainya yang disebut ameliorasi (Hardjowigeno 2007). Pemupukan dilakukan
karena dalam budidaya terjadi pengurangan hara di dalam tanah seperti pencucian,
pengangkutan biomassa dari lahan serta erosi sehingga perlu ada pengembalian
keseimbangan hara ke dalam tanah.
Pupuk dapat dikelompokan menjadi pupuk alami dan pupuk buatan. Pupuk
alami berarti pupuk yang langsung didapat dari alam sedangkan pupuk buatan
adalah pupuk yang dibuat dari pabrik. Pupuk buatan juga sering disebut dengan
pupuk kimia. Pupuk ini sudah memiliki kadar hara yang sudah ditentukan dalam
jumlah tertentu. Praktik pertanian umumnya lebih banyak menggunakan pupuk
buatan karena pengaplikasiannya yang lebih mudah dan tidak voluminous, namun
penggunaannya dalam jangka panjang akan merusak struktur tanah sehingga
penggunaan pupuk organik dapat menjadi salah satu pilihan yang diambil petani.
Budidaya tanaman obat tidak hanya menitikberatkan pada produksi
biomassa yang tinggi tetapi juga pada produksi bioaktif yang dihasilkan. Menurut
Hardjowigeno (2007) terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan pemupukan yaitu jenis tanaman, jenis tanah, jenis pupuk, dosis pupuk,
waktu pemupukan serta cara pemupukan. Tanaman obat awalnya merupakan
tanaman liar atau gulma yang tumbuh bebas di lingkungan pertanaman sehingga
tidak membutuhkan pupuk sebanyak tanaman budidaya lainnya karena tanaman ini
dapat hidup hanya dengan mengandalkan unsur hara yang ada di tanah. Hal ini
kemudian menjadi berbeda saat petani mulai membudidayakan tanaman obat
karena artinya ada perubahan kondisi hara sebelum dan sesudah panen sehingga
pemupukan tetap perlu dilakukan dalam budidaya tanaman obat.

10

Jenis pupuk yang diberikan dalam budidaya tanaman obat dapat berupa
pupuk organik maupun pupuk anorganik. Menurut Naguib (2011), masih ada
perdebatan mengenai pemberian pupuk yang baik untuk tanaman obat. Meskipun
demikian, penggunaan pupuk organik lebih banyak digunakan dengan alasan
menjaga kandungan alami tanaman. Pupuk organik juga tidak memungkinkan
terjadinya ‘kebakaran akibat nitrogen’ seperti halnya pada pemberian pupuk
anorganik. Dari segi lingkungan, biodiversitas tanah akan lebih tinggi pada
pemupukan organik dibanding pemupukan anorganik. Bagaimanapun juga,
pemberian pupuk organik pada budidaya tanaman obat tidak hanya dilihat sebagai
satu hal yang berdiri sendiri tetapi juga sebagai bagian untuk meningkatkan
lingkungan global serta kesehatan tanah dan manusia.
Dosis pupuk mungkin berbeda antara satu tanaman dengan tanaman lainnya.
Kebutuhan pupuk juga berbeda tergantung lokasi dan wilayahnya. Selain dosis,
waktu aplikasi juga berbeda pada tanaman yang diratoon. Pada hampir semua
tanaman, aplikasi pupuk perlu dilakukan di awal dan metode aplikasi pemupukan
juga mungkin mengalami modifikasi. Satu prinsip umum dari manajamen hara pada
sistem ratoon tanaman adalah pada penambahan jumlah pupuk organik yang
memadai (Sundara 2010).
Tanaman memerlukan hara secara terus menerus selama pertumbuhannya
namun tanaman menyerap hara dengan jumlah dan kecepatan yang berbeda karena
tanaman mengasimilasi hara penting di periode yang berbeda (Xue et al. 2012).
Penyerapan hara nitrogen pada kapas lebih tinggi saat pembungaan sehingga
pemberian pupuk secara bertahap yang salah satunya dilakukan saat sebelum
pembungaan dapat meningkatkan hasil kapas (Yang et al. 2012; Yang et al. 2013).
Pada tanaman semusim misalnya gandum, pemupukan nitrogen secara split
sebanyak empat kali menghasilkan produksi biji, berat 1000 butir dan efisiensi
penggunaan N yang lebih baik dibandingkan pemupukan nitrogen satu kali, split
dua dan tiga kali (Usman et al. 2014). Pemberian pupuk secara split mungkin dapat
menghindari tanaman kekurangan supply hara namun sisi negatifnya adalah dapat
meningkatkan biaya produksi (Yang et al. 2012). Biaya produksi yang lebih besar
tersebut dibebankan pada biaya tenaga kerja untuk aplikasi pemupukan. Jenis
tanaman (tahunan atau semusim), kandungan hara, periode pertumbuhan tanaman
serta biaya dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan metode aplikasi pupuk
yang sesuai.
Pemanenan
Kualitas metabolit sekunder dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi genetik dan umur tanaman sedangkan faktor eksternal
meliputi agroklimat, hama dan penyakit dan cekaman lingkungan. Waktu panen
dan pengolahan pasca panen juga berpengaruh terhadap kadar metabolit sekunder
(Katno 2008).
Pemanenan adalah salah satu tahap terakhir dalam budidaya tanaman
sebelum penanganan pascapanen. Dua hal yang cukup penting bagi kualitas
metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman dalam tahap pemanenan adalah pada
penentuan waktu panen dan tinggi pangkas. Bagi tanaman tahunan dan dipanen

11

bagian vegetatifnya lebih dari satu kali seperti kumis kucing, penentuan rotasi
panen penting dilakukan. Hal ini akan terkait dengan umur organ atau tanaman
untuk dapat memproduksi kembali biomassa dan bioaktif. Sementara itu, tinggi
pangkas akan terkait dengan bagian tanaman yang diambil saat panen dan bagian
yang ditinggalkan sebagai source untuk pertumbuhan berikutnya.
Penelitian mengenai pemanenan yang sudah dilakukan pada kumis kucing
yaitu pada penelitian Nurhajijah (2014). Panen sebaiknya dilakukan saat tanaman
berumur satu minggu setelah berbunga karena biomassa dan kadar sinensetin yang
dihasilkan lebih banyak.
Pemanenan berulang tanaman berkaitan langsung dengan pembagian
asimilat atau hasil fotosintesis tanaman antara source dan sink. Semakin sering
pemanenan dilakukan maka cadangan makanan yang disimpan akan dibagi untuk
pembentukan organ baru. Hal itulah yang menyebabkan penentuan rotasi panen
dan tinggi pangkas menjadi penting bagi tanaman seperti kumis kucing.
Rotasi panen
Rotasi panen merupakan istilah yang menunjukkan berapa jangka waktu
antara panen yang satu dengan panen yang lainnya. Ada juga yang menyebutnya
dengan istilah interval panen. Rotasi panen sangat bergantung pada fase
pertumbuhan tanaman dan berkaitan dengan umur tanaman yang dipanen. Fase
pertumbuhan akan mempengaruhi langsung produksi biomassa dan bioaktif yang
diinginkan.
Umur tanaman yang dipanen berpengaruh terhadap kualitas simplisia yang
dihasilkan. Kerusakan fisiologis akan terjadi pada simplisia apabila dipanen pada
umur yang belum tepat. Simplisia rimpang dan buah akan menjadi keriput
sementara simplisia biji akan lebih mudah hancur (Katno 2008). Pemanenan yang
dilakukan pada umur yang tidak tepat juga mempengaruhi kandungan bioaktif yang
dimiliki.
Beberapa tanaman ada yang memiliki produksi biomassa dan bioaktif yang
tinggi pada waktu yang bersamaan namun beberapa tanaman lainnya pada waktu
yang berbeda, bahkan mungkin berbanding terbalik. Hal ini dapat terjadi pada
tanaman yang memproduksi bioaktif yang tinggi pada umur yang muda, namun
pada saat ini produksi biomassa masih belum optimal. Rumus yang digunakan
untuk mencari produksi bioaktif adalah jumlah kandungan bioaktif dalam satuan
biomassa tertentu dikalikan dengan jumlah biomassa yang dipanen, sehingga
jumlah bioaktif yang dihasilkan akan sangat tergantung kepada jumlah biomassa
yang dihasilkan.
Sepanjang masa pertumbuhan vegetatif, organ akar, daun dan batang
merupakan daerah-daerah pemanfaatan yang kompetitif dalam hal hasil asimilasi.
Proporsi hasil asimilasi yang dibagikan ke tiga organ tersebut dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan produktivitas. Daun muda yang sedang berkembang
memerlukan hasil asimilasi yang diimpornya untuk penyediaan energi dan
kerangka karbon yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang sampai daundaun itu dapat memproduksi hasil asimilasi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri (Gardner et al. 2008). Pemangkasan memicu tunas-tunas baru
tumbuh. Tunas-tunas tersebut memerlukan hasil asimilasi untuk berkembang,
namun di sisi lain, pemangkasan juga mengurangi daun-daun yang memproduksi
hasil asimilasi.

12

Tanaman yang mulai memasuki fase generatif biasanya ditandai dengan
munculnya bunga. Biji yang dihasilkan dari bunga akan memiliki kekuatan sink
yang besar. Hasil asimilasi yang semula untuk pertumbuhan akar, daun dan batang
akan lebih banyak dialokasikan untuk pembentukan biji (Gardner et al. 2008).
Pembagian hasil asimilasi ini secara tidak langsung juga akan mempengaruhi
produksi bioaktif. Katno (2008) menyatakan bahwa tanaman yang diambil daunnya
dipanen saat tumbuhan mulai atau menjelang berbunga. Baraldi et al (2008) juga
menemukan bahwa kandungan flavonoid dan artemisin tertinggi pada Artemisia
annua berada saat bunga dalam fase mekar penuh.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa rotasi panen yang berbeda
sangat berpengaruh pada kandungan bioaktif yang dihasilkan. Kandungan
komponen bioaktif utama pucuk Hypericum perforatum yaitu hiperforin,
pseudihipericin dan hipericin pada penelitian Couceiro (2006) mencapai puncaknya
pada hari ke 52. Penelitian Susanti et al. (2011) juga menunjukkan bahwa bersama
pemberian 100 kg pupuk N+100 kg K per hektar dan perlakuan rotasi panen 15 hari
akan menghasilkan kandungan ((8.29 mg g-1 bobot basah) dan produksi (4.72 g
tanaman-1) protein pucuk kolesom tertinggi.
Pemanenan pada organ yang berbeda dilakukan pada waktu yang berbeda.
(Kartasapoetra 2004) menyatakan bahwa pengambilan bagian daun perlu dilakukan
saat proses fotosintesis berlangsung maksimal atau umumnya saat tanaman
berbunga dan sebelum buah menjadi matang. Hal ini dapat berbeda apabila organ
yang diambil adalah akar, kulit atau buah.
Tinggi pangkas
Tinggi pangkas berkaitan langsung dengan bagian yang dipanen. Cara
panen kumis kucing yang lazim dilakukan oleh petani adalah dengan cara
memangkas kumis kucing pada ketinggian tertentu, umumnya pada ketinggian 1015 cm dari permukaan tanah. Karena pemanenan dilakukan dengan cara
memangkas, bagian yang dipanen dari kumis kucing umumnya adalah daun dengan
mengikutsertakan bagian batang. Pemangkasan yang terlalu tinggi meninggalkan
banyak calon tunas baru, namun biomassa yang terpanen akan berkurang.
Sebaliknya, pemangkasan yang terlalu rendah mengurangi calon tunas baru namun
biomassa akan lebih banyak. Hermansyah et al. (2009) melakukan penelitian
terhadap nilam dimana pemangkasan yang menyisakan sisa cabang satu dan dua
pada panen kedua akan menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak pada
pertumbuhan berikutnya dibandingkan dengan pemangkasan yang tidak
menyisakan cabang
Perbedaan jumlah kandungan senyawa bioaktif pada setiap bagian tanaman
(akar, batang, daun, bunga, biji) tergantung kepada jenis tanamannya. Kedawung
atau (Parkia roxburgii G.Don.) memiliki kandungan fitosterol di hampir setiap
bagian tanaman (biji, polong, daun, tangkai daun dan kulit pohon), namun
kandungan beta-fitosterol terbanyak terletak pada bagian batang daun (Tisnadjaja
et al. 2006). Abreu et al. (2004) juga menyatakan bahwa pada Hypericum
brasiliense kandungan isouliginosin B, asil-phloroglusinol, rutin dan kuersetin
lebih tinggi selama tahap berbunga dimana rutin dan kuersetin lebih terakumulasi
di tunas tetapi asil-phloroglusinol terdeteksi pada bagian akar.
Beberapa penelitian pada kumis kucing tentang bagian yang dipanen telah
dilakukan. Katno (2008) menyatakan bahwa daun kumis kucing dipanen pada saat

13

muda dan masih dalam bentuk tunas daun, layaknya teh. Daun muda dipanen saat
terjadi perubahan pertumbuhan dari vegetatif ke generatif yang ditandai dengan
tanaman mulai menghasilkan kuncup-kuncup bunga. Berlawanan dengan hal
tersebut, daun dewasa lebih dipilih untuk mendapatkan manfaat dari senyawa
bioaktif sinensetin karena daun dewasa (dihitung mulai dari daun kelima ke bawah)
menghasilkan sinensetin yang lebih banyak daripada daun muda (Anggreini dan
Triantoro 1992). Sementara itu, Balittro (2012) menyatakan bahwa pemanenan
kumis kucing hendaknya dilakukan dengan memetik 4-10 helai daun paling atas
bersamaan dengan batangnya. Selain dipetik, Nurhajijah (2014), Rahmania dan
Kurniawati (2014) dan Bonifasius (2014) melakukan pemanenan kumis kucing
dengan cara dipangkas pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah. Dengan cara
ini, diharapkan bahwa daun dewasa yang terpanen lebih banyak sehingga sinensetin
yang didapatkan juga lebih banyak.

3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Kampus IPB Darmaga,
Bogor. Analisis sinensetin dan pengujian aktivitas inhibisi masing-masing
dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Taman Kencana dan
Laboratorium Biokimia dan Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Kampus IPB Darmaga. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober 2014 hingga
Januari 2016. Penanaman di lapangan dilakukan pada musim hujan dan dimulai
pada 3 November 2014.
Bahan dan Alat
Bahan tanam yang digunakan adalah stek batang kumis kucing berbunga
putih koleksi Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB). Bahan-bahan lain
yaitu pupuk kandang sapi, kapur pertanian, aquades, metanol, enzim α-glukosidase
(Sigma Aldrich G5003-100U), p-nitrofenil-α-D glukofiranosa (Sigma Aldrich
N1377-1G), buffer fosfat, natrium karbonat (Na2CO3) dan kertas saring Whatman
no 1 dan Whatman 0.45 ɥm. Alat yang digunakan timbangan, oven, blender, HPLC
merk Hitachi UV-VIS L-2420 (dilengkapi dengan detektor UV, kolom Linchrocart
R125-4 dengan volume 20 ɥl dan flow rate 1 ml menit-1, panjang gelombang 340
nm serta penanda dipisahkan dengan larutan metanol:air:tetrahidrofuran (THF)
(45:50:25), fase diam menggunakan kolom jenis C18), sentrifuse, rotary
evaporatory dan spektrofotometer.
Rancangan Percobaan
Percobaan ini adalah percobaan tiga faktor yaitu waktu pemberian pupuk,
rotasi panen dan tinggi pangkas. Secara umum rancangan yang digunakan dalam
percobaan ini adalah Rancangan Petak Petak Terbagi (Split split Plot Design)
Namun terdapat beberapa peubah yang menggunakan Rancangan Acak Kelompok
1 faktor dan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) pada pengolahan data.
Penentuan tersebut mengikuti waktu pengamatan dan perlakuan yang terlibat pada
waktu tersebut. Perlakuan yang diberikan yaitu:
a. Pemberian pupuk kandang yang terdiri dari dua taraf yaitu secara sekaligus
(sebanyak 10 ton ha-1 saat pindah tanam) dan secara bertahap (sebanyak 5 ton
ha-1 saat pindah tanam dan 5 ton ha-1 saat panen kedua).
b. Rotasi panen yang terdiri a