Faktor-Faktor Penyebab Tunggakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Semakin Besar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

(1)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan Laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) dengan judul

“FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TUNGGAKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI SEMAKIN BESAR DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT”.

Laporan PKLM ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk dapat menyelesaikan pendidikan Program Diploma III Administrasi Perpajakan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna baik dalam susunan kata, kalimat maupun pembahasannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun laporan ini kearah yang lebih baik.

Penulisan laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin.M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs.Alwi Hashim Batubara.M.Si selaku Ketua Program Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU.


(2)

4. Seluruh dosen dan staff Program Diploma III Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi ilmu dan wawasannya selama penulis mengikuti perkuliahan.

5. Bapak Suyamto selaku Supervisor yang telah membantu saya dalam penyediaan data yang punulis butuhkan dalam penyusunan tugas akhir.

6. Kedua orang tua saya yang telah banyak membantu saya baik bantuan moril dan materil.

7. Kepada seluruh teman-teman Administrasi Perpajakan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungannya.

Akhir kata penulis harap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita maupun pihak lain yang memerlukannya.

Medan, Juli 2012 Penulis


(3)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) ... 1

B. Tujuan dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... 4

C. Uraian Teoritis Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) ... 5

D. Ruang Lingkup Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... 8

E. Metode Praktik Kerja Lapangan Mandiri PKLM) ... 8

F. Metode Pengumpulan Data ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : GAMBARAN UMUM OBJEK PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI ... 13

A. Sejarah Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat ... 13

B. Struktur Organisasi KPP Pratama Medan Barat ... 14


(4)

A. Pengertian Pajak ... 21

B. Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Hukum ... 22

C. Dasar Hukum Pemungutan Pajak di Indonesia ... 29

D. Pengelompoan Data ... 32

E. Syarat Pemungutan Pajak ... 34

F. Pengertian Utang Pajak ... 35

G. Timbulnya Utang Pajak ... 35

H. Surat Ketetapan Pajak dan Timbulnya Utang Pajak ... 38

I. Berakhirnya Utang Pajak ... 40

J. Penagihan Utang Pajak ... 43

K. Bentuk Penagihan ... 45

L. Daluwarsa Penagihan Pajak ... 46

M. Pengertian Juru Sita ... 47


(5)

B. Kendala-kendala yang terjadi dalam Penagihan tunggakan Pajak ... 55

C. Penyelesaian Masalah Penagihan Tunggakan Pajak ... 57

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA


(6)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Praktik Kerja Lapangan Mandiri(PKLM)

Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem pemungutan pajak di Indonesia

berubah dari official assesment yang berarti pemerintah yang menentukan besar pajak terutang dari Wajib Pajak menjadi self assesment yang berarti Wajib Pajak sendiri diberi wewenang dan kepercayaan untuk menghitung, menyetor, sacara aktif dan sadar. Meskipun kepercayaan tersebut telah diberikan kepada penanggung pajak masih banyak juga dari mereka yang tidak memenuhi kewajibannya dengan baik. Pajak merupakan salah satu penerimaan negara yang utama untuk lebih meningkatkan penerimaan dibidang perpajakan, telah beberapa kali dilakukan penyempurnaan, tambahan, bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan.

Peran serta masyarakat untuk memenuhi kewajiban pembayaran pajak

berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan, namun dalam kenyataannya masih banyak dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak sebagimana mestinya. Sehingga mengakibatkan kerugian negara, ketidak patuhan Wajib Pajak inilah yang akhirnya menimbulkan utang pajak.

Adapun yang menjadi sarana perpajakan dalam melakukan penagihan Wajib Pajak yang menunggak adalah Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Pajak Tambahan


(7)

(SKPKBT) yang berisi tentang jumlah pajak terutang dan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), tercantum sebab-sebab Dirjen Pajak menerbitkan STP, SKPKB, dan SKPKBT diantaranya Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar, dari hasil penelitian terdapat kekurangan pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung, dan Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi, dan lain-lain.

Menurut Kepala Seksi Penagihan Bapak Suyamto, M.IP Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar di kerenakan kebanyakan Wajib Pajak berpindah-pindah atau tidak melaporkan alamat yang baru di tempati oleh Wajib Pajak tesebut sehingga petugas Juru Sita Pajak sulit untuk melakukan Penagihan Pajak. Peningkatan jumlah tunggakan ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya, sehingga mengakibatkan target pajak yang telah ditetapkan tidak tercapai dengan maksimal. Jika seluruh Wajib Pajak yang tergolong besar telah melaksanakan fungsi self assesment dengan baik dan benar, jujur dan bertanggungjawab, mungkin petugas penagih tidak akan menemui kendala dalam melaksanakan tugasnya.

Selanjutnya aparat perpajakan melakukan tindakan peringatan untuk memenuhi ataupun menyelesaikan kekurangan jumlah pajaknya. Tindakan pertama yang dilakukan dengan mengirimkan surat teguran, jika ternyata sampai batas waktu yang


(8)

ditentukan dalam surat teguran tersebut Wajib Pajak yang dimaksud tidak mengindahkan atau menanggapi surat tersebut maka tindakan selanjutnya dilakukan dengan surat paksa. Serta tindakan-tindakan penagihan aktif lainnya dalam melaksanakan pencarian sampai tuntas atau tercair.

Kendala yang paling sering dihadapi oleh petugas penagihan adalah alamat Wajib Pajak tidak dikenal atau tidak tepat, Wajib Pajak pindah tempat tinggal dan tidak memberitahukan ke KPP terdapat, atau juga Wajib Pajak menghilangkan tanpa jejak, serta Wajib Pajak yang berbelit-belit memberikan keterangan pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh pihak pajak, atau dikarenakan data pajak yang hilang sehingga penagih pajak kesulitan melakukan penagihan. Hal tersebut disebabkan karena tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam masyarakat sistem self assesment masih rendah sekali, maka salah satu tindakan atau tugas Dirjen Pajak adalah meningkatkan tindakan-tindakan melakukan prosedur penagihan.

Sehubungan dengan hal itu, aparat pajak dalam melakukan tugasnya didukung oleh berbagai faktor penunjang. Salah satunya adalah menerapkan langkah strategi meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, serta upaya yang dilakukan dalam rangka pencairan tunggakan pajak yang terutang sesuai dengan prosedur penagihan, sehingga tercapainya pencarian tunggakan pajak yang semestinya untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Pencarian tunggakan pajak seksi penagihan merupakan salah satu masalah ataupun tugas yang berat yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP).


(9)

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis ingin mengetahui lebih jauh melalui penulis Laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) yang berjudul:

“Faktor-Faktor Penyebab Tunggakan Pajak Semakin Besar Di Kantor Pelayanan Medan Barat”.

B. TUJUAN DAN MANFAAT PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI

1.Tujuan Penulis Melakukan PKLM adalah:

1.1 Untuk mengetahui prosedur panagihan pajak.

1.2 Untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam penagihan tunggakan

pajak yang dilakukan oleh seksi penagihan.

1.3 Untuk mengetahui target pencarian tunggakan pajak yang terutang.

2.Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) :

2.1 Bagi mahasiswa

a Menambah wawasan dan pengetahuan tentang penagihan tunggakan pajak.

b Dapat mengetahui prosedur penagihan pajak.

c Dapat mengetahui peranan STP, SKPKB, dan SKPKBT terhadap percarian tunggakan pajak.

d Dapat mengetahui tindakan pihak pajak dalam melakukan penagihan dengan surat paksa sesuai dengan prosedur penagihan.


(10)

2.2 Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat.

a Sebagai sarana menciptakan hubungan yang baik dengan Universitas Sumatera Utara khususnya Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP USU).

b Mempromosikan citra aparat pajak yang baik kepada masyarakat. c Memperoleh ide-ide yang baru dengan dilaksanakannya PKLM. d Sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan di instansi

pajak khususnya di seksi penagihan.

2.3 Bagi Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan

a Meningkatkan hubungan kerjasama yang baik antara pihak Universitas dengan pihak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat.

b Mempromosikan sumber daya manusia universitas.

c Membuka interaksi antar mahasiswa, dosen, dan instansi pemerintah.

C.Uraian Teoritis Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

1. Pengertian Pajak

Dalam Undang-undang Perpajakan No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dimaksud dengan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh wajib pajak atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara


(11)

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian pajak diantaranya :

1. Menurut Prof.Dr.Rochmad Soemitro,SH mengemukakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontrak prestasi) yang langsung dapat

ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Mardiasmo (2003:1)

2. Menurut Prof.Dr.PJA.Adriani,SH bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang digunakan adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara dalam menyelenggarakan pemerintah. Waluyo dan Warawan B Ilyas (2002:4)

Dari definisi pajak di atas, dapat disimpulkan pengertian pajak adalah pajak dipungut oleh Negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), berdasarkan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. Pajak adalah pembayaran wajib berdasarkan Undang-Undang yang tidak dapt dihindari bagi yang berkewajiban, dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Dengan demikian, akan terjamin bahwa kas negara selalu berisi uang pajak. Di sisi lain, pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang akan menjamin bagi


(12)

pembayar pajak adanya keadilan dan kepastian hukum sehingga pemerintah tidak dapat sewenang-wenang menetapkan besarnya pajak dan menyalahgunakan data yang diberikan oleh Wajib Pajak selain untuk tujuan pemungutan pajak.

2. Pengertian Penagihan

Di dalam Ketentuan umum Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 Tentang Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Pengihan adalah “Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan menjual barang yang telah disita”.

Ada beberapa pendapat para ahli :

a) Menurut Rochmat Soemitro memberi pengertian pajak yaitu: perbuatan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang, khususnya mengenai pembayaran pajak. Jadi, penagihan meliputi pengiriman surat teguran, surat paksa, sita, lelang penyanderaan, kompensasi, pencegahan daluwarsa. Waluyo (2002:174)

b) Menurut Moeljohadi, SH., pengertian penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparat jenderal, berhubungan wajib pajak tidak melunasi baik


(13)

sebagian/seluruhnya kewajiban perpajakan yang menurut Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Waluyo (2002:174)

D. RUANG LINGKUP PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI

Adapun yang menjadi ruang lingkup yang paling mendasar dalam melakukan

PKLM pada KPP Medan Barat adalah :

1. Jumlah pencairan tunggakan pajak yang sudah tercapai dan yang masih menunggak.

2. Daftar kegiatan penagihan aktif yang dilakukan oleh Jurusita Pajak. 3. Jadwal waktu pelaksanaan penagihan.

4. Dasar penagihan pajak yang mempengaruhi besarnya jumlah pajak terutang. 5. Batas akhir atau daluwarsa dari penagihan pajak.

6. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Jurusita Pajak dalam melaksanakan penagihan aktif.

E. METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM)

Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data daninformasi yang diperluka,

metode yang digunakan dalam penerapan PKLM tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini penulis melakukan berbagai persiapan,dimulai dari penentuan judul, tempat PKLM, mencari bahan atau data untuk pembuatan proposal, hingga pada konsultan dengan pihak dosen.


(14)

2. Studi literatur

Penulis menjadi berbagai sumber-sumber bacaan, seperti buku-buku, Surat Edaran, Surat Keputusan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak, Undang-Undang serta literatur lain yang berhubungan dengan objek PKLM.

3. Observasi Lapangan

Penulisan melakukan observasi atau pengamatan lapangan di KPP Medan Barat mengenai data atau informasi mengenai objek PKLM.

4. Pengumpulan Data

Data tersebut dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber asli, hasil wawancara yang berkompeten,sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan penelitian dari berbagai sumber yag telah ada misalnya, studi kepustakaan dan dokumentasi.

5. Analisa Data dan Evaluasi

Penulis menganalisis dan mengevaluasi data meliputi :Menganalisa data yang telah diperoleh dengan menggunakan penjelasan yang bersifat kualitatif, yaitu penjelasan dengan kata-kata yang sistematis, sehingga permasalahan terungkap dengan objektif.


(15)

F. METODE PENGUMPULAN DATA

a. Wawancara (interview)

Yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung terhadap pihak KPP yang dianggap mampu memberikan masukan data dan informasi yang diberikan bagi penyusun laporan ini.

b. Observasi Lapangan

Yaitu studi yang dilakukan dengan pengamatan langsung atas kegiatan yang dilakukan dalam pencatatan terhadap tiap gejala yang menjadi objek penelitian.

c. Dokumentasi

Dalam metode ini, penulis meminta dokumen yang berhubungan dengan objek PKLM, dokumen tersebut dapat berupa data-data perpajakan,srtuktur, berita-berita pajak dan sebagainya.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun yang menjadi sistemtika dalam penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :


(16)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam hal ini dibahas mengenai Latar Belakang, Tujuan dan Manfaat, Ruang Lingkup, Metode Praktek Kerja Lapangan Mandiri, Sistematika Penulisan Laporan.

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PKLM

Dalam hal ini penulisan menguraikan gambaran umum di KPP Medan Barat, tentang sejarah singkat, struktur organisasi, uraian tugas pokok dan fungsi.

BAB III GAMBARAN DATA DAN INFORMASI MENGENAI

TUNGGAKAN PAJAK

Dalam bab ini menjelaskan secara rinci mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tunggakan pajak, termasuk data Wajib Pajak yang manunggak pada suatu masa pajak.

BAB IV ANALISA DAN EVALUASI

Dalam bab ini penulis akan menganalisa dan mengevaluasi data yang diperoleh, sehingga tercapai manfaat dan tujuan PKLM.


(17)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis menguraikan kesimpulan mengenai hal-hal yang telah dikemukakan dan beberapa saran yang menjadi bahan masukan untuk mengatasi permasalahan dalam PKLM.

DAFTAR PUSTAKA


(18)

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI

A. Sejarah Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

Pada tahun 1976, Kantor Pelayanan Pajak masih disebut Kantor Inspeksi Pajak. Pada saat itu masih ada dua kantor inspeksi pajak yaitu Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan dan Kantor Inspeksi Pajak Medan Utara.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan NO. 276/KMK/01/1989 tanggal 25 maret 1989 tenatang Organisasi dan Tata Usaha Direktorat Jendral Pajak, Maka Kantor Inspeksi Pajak diubah namanya Menjadi antor Pelayanan Pajak sehingga sejak April 1989 Kantor Inspeksi Pajak Medan Utara diganti namanya menjadi Kantor Pelayanan Pajak Medan Utara.

Kemudian untuk menetapkan pelayanan yang akan di berikan pemerintah kepada masyarakat umum, khususnya kepada Wajib Pajak pada tanggal 29 Maret 1994 dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan NO. 94/KMK/1994 terhitung mulai tanggal 1 April 1994 Kantor Pelayanan Pajak di Medan dirubah menjadi 4 kantor yaitu:

1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat, Jl Asrama No.7 Medan. 2. Pelayanan Pajak Medan Timur, Jl Diponegoro No.30 Medan

3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Utara, Jl Sukamulia No.17A Medan. 4. Kantor Pelayanan Pajak Medan Binjai, Jl Binjai No.7


(19)

Kemudian sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.443/KMK/01/2001 tanggal 23 Juli 2001 Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dipecah menjadi dua kantor yaitu Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dan Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia yang mulai berlaku sejak 25 Januari 2002.

Wilayah Kerja Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat Meliputi: 1. Kecamatan Medan Barat

2. Kecamatan Medan Helvetia 3. Kecamatan Medan Sunggal 4. Kecamatan Medan Petisah

PENG-04/WPJ.01/2008 tanggal 26 Mei 2008 dari Kanwil DJP Sumatera Utara I, KPP Medan Barat dipecah menjadi KPP Pratama Medan Petisah dan KPP Pratama Medan Barat yang mulai berlaku sejak 27 Mei 2008. Masa ini lebih dikenal dengan sebutan masa reformasi pajak. Dan wilayah kerja KPP Pratama Medan Barat adalah Kecamatan Medan Barat.

Adapun VISI dari KPP Pratama Medan Barat adalah menjadi palayan masyarakat yang profesional dengan kinerja yang baik dan dapat dipercaya untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak Sumatera Bagian Utara.

Dan MISI dari KPP Pratama Medan Barat adalah Meningkatkan Penerimaan negara melalui PPh, PPN, PPnBM, dan PTLL serta peningkatan kecepatan dan mutu pelayanan perpajakan serta senantiasa memperbaharui diri sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat dan tertib administrasi.


(20)

B. Struktur Organisasi KPP Pratama Medan Barat

Struktur Organisasi adalah suatu bagan yang menggambarkan sistematis mengenai penetapan tugas-tugas, fungsi dan wewenang serta tanggung jawab masing-masing dengan tujuan yang telah di tentukan sebelumnya. Tujuannya yaitu untuk membina keharmonisan kerja agar pekerjaan dapat dilaksanakan dengan teratur dan baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara maksimal.

KPP Pratama Medan Barat menerapkan Struktur Organisasi Lini dan Staff. KPP Pratama Medan Barat dipimpin oleh seorang kepala kantor yang secara operasional bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak.

Untuk mencapai Organisasi yang lebih baik sesuai dengan pangkat dan jabatan, dengan mengetahui tugas dan tanggung jawab masing-masing setiap bagian akan berinteraksi dan beroperasi secara harmonis dengan keteraturan pasti dengan wadah struktur organisasi

KPP Pratama Medan Barat terdiri dari sembilan seksi yang masing-masing seksi dipimpin Kepala Seksi dan Pelaksana. Khusus untuk Seksi Pengawasan dan Konsultasi, selain Kepala Seksi dan Pelaksana, seksi ini juga memiliki Account Representative atau yang biasa disingkat dengan sebutan AR.

Struktur Organisasi yang ada di KPP Pratama Medan Barat Dapat di gambarkan sebagai berikut :

1. Kepala Kantor 2. Sub Bagian Umum


(21)

3. Seksi Pelayanan

4. Seksi Pengeolahan Data dan Informasi (PDI) 5. Seksi Penawasan dan Konsultasi (WASKON) 6. Seksi Penagihan

7. Seksi Ekstensifikasi 8. Seksi Pemeriksaan

9. Kelompok Jabatan Fungsional

C. Bidang Kerja dan Fungsi Organisasi Instansi

Tugas dan fungsi masing-masing akan diuraikan dalam setiap seksi, dimana Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan kegiatan operasional pelayanan perpajakan di bidang pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Tidak Langsung lainnya (PTLL), Pajak Bumi dan/atau Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dalam daerah wewenangnya, berdasarkan kebijaksanaan teknis yang ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pajak.

Beberapa Tugas dan Fungsi Orgasnisasi Pelaksana Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat:

1. Pengumpulan dan pengolahan data, penggalian potensi pajak serta ekstensifikasi Wajib Pajak.

2. Penatausahaan dan Pengecekan data surat pemberitahuan (SPT) Tahunan serta berkas Wajib Pajak.


(22)

3. Penatausahaan dan pengecekan Surat Pemberitahuan (SPT) masa serta pemantauan dan penyusunan masa PPh, PPN, PPnBM, dan PTLL.

4. Penatausahaan, penerimaan, penagihan, penyelesaian, Keberatan dan restitusi PPh, PPN, PPnBM, dan PTLL.

5. Verifikasi dan penerapan sanksi perpajakan.

6. Pengurusan penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) 7. Penyuluhan dan pelayanan perpajakan.

8. Pengurusan tata usaha dan rumah tangga KPP

Untuk dapat meleksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai Keputusan Menteri Keuangan No.94/KMK.01/1994 Tanggal 29 Maret 1994, maka pembagian tugas dan wewenang masing-masing seksi dalam Struktur Organisasi KPP Pratama Medan Barat adalah:

1. Kepala Kantor

KPP Pratama merupakan penggabung dari KPP, KPPBB, dan Karikpa maka Kepala KPP Pratama mempunyai tugas mengkoordinasikan laksanaan penyuluhan, pelayanan, pengawasan wajib pajak di bidang PPh, PPN, PPnBM, Pajak Tidak Langsung Lainnya dan PBB serta BPHTB dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sub. Bagian Umum

Membantu dan menunjang kelancaran tugas Kepala Kantor dalam mengkoordinasikan tugas dan fungsi pelayanan kesekretarian terutama dalam hal pengaturan kegiatan tata usaha kepegawaian, keuangan, rumah tangga serta perlengkapan.


(23)

Uraian pekerjaan yang ada dalam Subbagian Umum ini adalah sebagai berikut:

a. Tata usaha dan kepegawaian b. Koordinator keuangan c. Koordinator rumah tangga

3. Seksi Pelayanan

Membantu tugas kepala kantor dalam mengkoordinasikan penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan, pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan dan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi Wajib Pajak, serta kerjasama perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Seksi Pengolahan Data Informasi

Membantu tugas Kepala Kantor dalam mengkoordinasikan pengumpulan, pengolahan data, penyajian informasi, perpajakan, perekaman dokumen, perpajakan, urusan tata usaha, penerimaan perpajakan, pengalokasian dan penata usahaan bagi hasil PBB dan BPHTB, pelayanan dukungan teknis komputer, pemantauan aplikasi e- SPT dan e-Filling dan penyiapan laporan kinerja.

Tugas dan Fungsinya:

a. Melakukan Urusan Pengolahan data dan penyajian informasi dan pembuatan Monografi Pajak.

b. Melakukan Penggalian Potensi Pajak.


(24)

5. Seksi Pengawasan dan Konsultasi

Membantu tugas kepala kantor mengkoordinasikan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak (PPh, PPN, dan Pajak Lainnya), bimbingan/ himbauan kepada Wajib Pajaki dan Konsultasi teknis perpajakan , penyusunan Profil Wajib Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsilisasi data Wajib Pajak dalam rangka melakuka intensifikasi, dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dalam satu KPP Pratama terdapat 4 (empat) Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang pembagian tugasnya didasarkan pada cakupan wilayah (teritorial) tertentu

6. Seksi Penagihan

Membantu tugas kepala kantor mengkoordinasikan pelaksanaan dan penatausahaan penagihan aktif, piutang pajak, penundaan dan angsuran tunggakan pajak, dan usulan penghapusan piutang pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Tugas dan Fungsinya:

a. Melakukan urusan Penatausahaan Piutang Pajak, Penagihan, Penundaan dan angsuran Piutang Pajak.

b. Melakukan Penerbitan Surat Tagihan, Surat Paksa, Surat Perintah melakukan penyitaan.


(25)

7. Pemeriksaan

Membantu tugas Kepala Kantor mengkoordinasikan pelaksanaan penyusunan perencanaan pemeriksaan, penpengawasan pelaksanaan aturan pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak serta administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya.

8. Ekstensifikasi

Membantu tugas kepala kantor mengkoordinasikan pelaksanaan dan penatausahaan pengamatan potensi perpajakan, pendataan obyek dan subyek pajak, penilaian obyek pajak dan kegiatan ekstensifikasi perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku.

9. Kelompok Jabatan Fungsional

Pejabat Fungsional terdiri atas Pejabat Fungsional Pemeriksa dan Pejabat Fungsional Penilai yang bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala KPP Pratama dalam melaksanakan pekerjaannya, Pejabat Fungsional pemeriksa berkoordinasi dengan Seksi Pemeriksaan sedangkan Pejabat Fungsional Penilai berkoordinasi dengan Seksi Ekstensifikasi.


(26)

BAB III

GAMBARAN DATA

A. Pengertian Pajak

Untuk dapat memahami pentingnya pemungutan pajak dan alasan yang mendasari mengapa Wajib Pajak diharuskan membayar pajak yang terutang, tentunya perlu terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan pajak. Banyak pengertian/defenisi yang diberikan oleh para ahli pajak tentang pajak yang mungkin berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya, sesuai dengan cara pandang masing– masing ahli. Secara umum dapat dikatakan bahwa pajak adalah pungutan dari masyarakat kepada Negara atau pemerintah berdasarkan Undang–Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan.

Dari definisi pajak di atas, dapat di simpulkan pengertian pajak adalah pajak dipungut oleh Negara (baik) oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah ), berdasarkan kekuatan Undang – Undang serta aturan pelaksanaannya. Pajak adalah pembayaran wajin berdasarkan Undang – Undang yang tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban, dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Dengan demikian, akan terjamin bahwa kas Negara selalu berisi uang pajak. Di sisi lain, pengenaan pajak berdasarkan Undang – Undang akan


(27)

menjamin bagi pembayar pajak adanya keadilan dan kepastian hukum sehingga pemerintah tidak dapat sewenang–wenang menetapkan besarnya pajak dan menyalahgunakan data yang diberikan oleh Wajib Pajka selain untuk tujuan pemungutan pajak.

B. Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Hukum

a Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Kekuatan Hukum

Pada dasarnya pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat kepada negara tanpa ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung diperoleh oleh pembayar pajak. Hal ini tentu tidak menyenangkan dan tidak akan ada yang rela membayar pajak. Oleh karena itu, untuk dapat diterapkan, pajak harus disepakati oleh masyarakat tersebut. Kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan dewan legislatif yang merupakan perwujudandari wakil masyarakat (rakyat). Dengan didasarkan pada undang-undang, pajak dapat dikatakan merupakan hasil kesepakatan anggota masyarakat untuk diberlakukan dalam masyarakat tersebut. Hal ini menjadi dasar hukum pemungutan pajak yang mengikat anggota masyarakat untuk patuh membayarnya. Dengan demikian, pemungutan pajak pada suatu negara sangat erat kaitannya dengan hukum. Tanpa dasar hukum yang jelas dan disepakati oleh masyarakat, pajak tidak dapat diterapkan.

Dari uraian di atas, jelas bahwa pemungutan pajak atas kekayaan atau penghasilan oleh fiskus atau negara kepada orang atau wajib pajak diatur dalam bentuk sebuah hukum. Hukum tersebut dalam arti formal berupa undang-undang dan


(28)

peraturan pelaksanaannya. Adanya keharusan pemungutan pajak berdasarkan hukum menimbulkan hukum pajak atau hukum fiskal yang saat ini telah menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berkembang, seiring dengan perkembangan pemungutan pajak. Oleh karena itu, untuk memahami pajak sangat perlu memahami terlebih dahulu hukum pajak.

Hukum pajak dimaksudkan sebagai dasar dalam proses pemungutan pajak oleh negara kepada masyarakat (rakyat) atau wajib pajak. Dalam hukum pajak ditentukan dasar dan cara supaya masyarakat (wajib pajak) bersedia membayar pajak yang ditentukan oleh pemerintah. Di sini ini terlihat hubungan hukum pajak antara masyarakat (orang pribadi atau badan) sebagai wajib pajak dengan negara (melalui fiskus) yang memungut pajak. Jadi hukum pajak merupakan hukum yang mengatur mengenai kewajiban orang atau badan sebagai wajib pajak yang dapat dipaksakan untuk menyerahkan sebagian kekayaan atau penghasilannya kepada negara sebagai penarik pajak yang secara formal diatur dengan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya.

Ditinjau dari segi hukum, unsur-unsur pajak merupakan suatu hal yang mutlak harus ada agar pemungutan pajak dapat dilakukan. Unsur-unsur pajak antara lain harus ada undang-undang yang mengaturnya, ada pemungutan pajak (yaitu pemerintah), ada objek pajak, dan ada masyarakat (yang menjadi wajib pajak) yang harus membayar pajak. Apabila semua unsur tersebut telah ada, pemungutan pajak dapat dilaksanakan.Terpenuhinya semua unsur pajak tersebut akan meninbulkan suatu perikatan antara negara dan wajib pajak berdasarkan ketentuan undang-undang.


(29)

Bila ditinjau dari perikatan yang melahirkan kewajiban bagi wajib pajak untuk membayar pajak yang terutang. Pajak merupakan perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Perikatan yang melahirkan kewajiban pembayaran pajak yang perlu dipahami oleh wajib pajak agar dengan penuh kesadaran membayar pajak yang terutang.

b Pengertian Hukum Pajak

Untuk memahami hukum pajak, perlu kiranya mengetahui pengertian hukum pajak menurut para ahli. Salah satu pengertian hukum pajak adalah sebagaimana dikemukakan oleh ahli hukum pajak indonesia, yaitu R. Santoso Brotodihajo. SH., dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak yang menyatakan bahwa hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemeritah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara sehingga merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dengan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut wajib pajak). Tugas hukum pajak adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dalam masyarakat, merumuskannya dalam peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini. Dengan demikian, hukum pajak diperlukan untuk menjamin


(30)

hak dan kewajiban pajak serta kewenangan dan kewajiban negara (melalui fiskus) dalam melaksanakan ketentuan yang dimaksud oleh undang-undang.

Perlunya hukum pajak misalnya saja dapat dilihat pada penagihan pajak. Untuk memaksa wajib pajak membayar pajak yang terutang yang menjadi kewajiban, hukum pajak menetapkanbahwa terhadap wajib pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sebagaimana mestinyadapat dilakukan upaya penagihan pajak. Penagihan pajak ini mulai dari tindakan himbauan agar wajib pajak membayar tepat pada waktunya, mengirimkan surat teguran atas keterlambatan wajib pajak dalam membayar pajak, sampai dengan tindakan penagihan pajak secara paksa, di antaranya dengan melakukan penyitaan terhadap barang milik wajib pajak, pelelangan barang yang disita guna memperoleh pelunasan utang pajak, serta upaya pencegahan dan penyanderaan terhadap wajib pajak. Hanya saja, agar wajib pajak tidak dirugikan, fiskus harus mkelakukan tindakan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkanndalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Fiskus tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang, dan bila hal ini dilakukan, wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan keberatan dan gugatan terhadap tindakan fiskus tersebut. Terhadap fiskus yang melakukan tindakan sewenang-wenang dan menyalahgunakan jabatannya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semua ini diatur dalam hukum pajak yang dituangkan dalam Undang-Undang Perpajakan.


(31)

Dalam hukum pajak terdapat dua pihak sebagai subjek hukum yang berbeda, yaitu:

1. Pihak penarik pajak, yaitu subjek hukum negara dalam pengertian badan hukum publik, yang dalam pelaksanaannya diwakili oleh fiskus; dan

2. Pihak wajib pajak,yaitu subjek hukum orang yang dapat terdiri dari: a. Orang dalam pengertian orang pribadi (natuurlijkeperson);

b. Orang dalam pengertian badan hukum (rechtperson),seperti perusahaan dalam bentuk badan hukum persero terbatas (PT), koperasi, perusahaan negara, firma, dan perseroan komanditer (CV). Biasanya dalam Undang-Undang Perpajakan orang dalam pengertian badan hukum disebut sebagai badan.

Dalam hukum, manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Dalam lalu lintas hukum diperlukan suatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subjek hukum. Oleh karena itu, disamping orang,dikenal juga subjek hukum yang bukan manusiayang disebut sebagai badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Badan hukum bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang pribadi. Hukum menciptakan badan hukum. Oleh karena itu, pengakuan organisasi atau kelompok manusia sebagai subjek hukum sanagat diperlukan karena ternyata bermanfaat bagi lalu lintas hukum. Karena badan hukum yang dalam pajak disebut sebagai badan mempunyai hak dan kewajiban, maka badan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai wajib pajak, sama seperti wajib pajak orang pribadi. Hanya saja secara konkret dalam melaksanakan hak dan


(32)

kewajibannya badan diwakili oleh pengurus yang dalam hukum pajak ditetapkan sebagai penanggung pajak.

Kedudukan kedua pihak dalam perpajakan (negara, melalui fiskus, dan wajib pajak) tidak sama sebab dalam hubungan hukum yang terjadi pihak fiskus atau negara sebagi penarik pajak berkedudukan lebih tinggi dan merupakan badan hukum publik yang mewakili dan menyelenggarakan kepentingan rakyat banyak. Dalam hal ini pihak fiskus atau negara dapat memaksakan pengenaan pajak kepada orang dan badan (masyarakat) berdasarkan undang-undang yang berlaku. Di sisi lain,kedudukan wajib pajak sebagai pihak tertagih lebih rendah sehingga dapat dipaksa untuk membayar pajak itu kepada negara oleh fiskus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Walaupun demikian, dalam melaksanakan kewenangannya fiskus tetap harus menghormati oleh hukum (Undang-Undang perpajakan) dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang.

c Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal

Hukum pajak terbagi menjadi dua, yaitu hukum pajak material dan hukum pajak formal. Hukum pajak material mengatur tentang norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa saja yang harus dikenakan pajak, serta besarnya pajak terutang. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hukum ini memuat segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak, peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan,denda-denda, dan hukuman-hukuman serta tata cara pembebasan


(33)

dan pengembalian pajak serta hak tagihan yang dimiliki fiskus. Dalam sistem perpajakan indonesia, ketentuan hukum pajak material meliputi antara lain Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (PPh), pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN), Pjak Penjualan Barang Mewah (PPn BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta pajak daerah.

Hukum pajak formal mengatur tentang cara-cara mengimplementasikan hukum pajak material menjadi suatu kenyataan. Termasuk di dalamnya cara-cara penyelenggaraan pemungutan pajak, antara lain mengenai penetapan suatu utang pajak, pengawasan oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para wajib pajak, baik sebelum maupun sesudah diterimanya surat ketetapan pajak,kewajiban pihak ketiga dan prosedur dalam pemungutan pajak yang melanggar, kewenangan fiskus, kewajiban fiskus, serta sanksi terhadap fiskus yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Tujuan pengaturan hukum pajak formal ini adalah untuk melindungi fiskus dan wajib pajak serta memberi jaminan agar hukum pajak material dapat diselenggarakan dengan tepat. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, saat ini ketentuan hukum pajak formal meliputi: Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Penagihurat Paksa (PPSP), serta Pengadilan Pajak.

C. Dasar Hukum Pemungutan Pajak di Indonesia

Hukum pajak menyangkut hukum konstitusi karena secara garis besar dan secara prinsip terdapat dalam konstitusi negara baik dalam Undang-Undang Dasar


(34)

maupun konvensi. Agar dapat dilaksanakan, pemungutan pajak di Indonesia harus berdasarkan undang-undang. Syarat ini sering disebut dengan syarat yuridis yaitu bahwa hukum pajak harus dapat memberikan jaminan atau kepastian hukum baik bagi negara maupun bagi warganya. Bagi negara hukum, segala sesuatu harus diatur dengan undang-undang, termasuk pemungutan pajak.

Pemungutan pajak di Indonesia diataur dalam UUD 1945 yaitu pada Pasal 23 Ayat 2 yang menyatakan:”Pengenaan dan pemungut pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa pemungutan pajak hanya untuk keperluan negara dan harus mendapatkan persetujuan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan ini dipertegas dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003 yang mengatur pemungutan pajak pada Pasal.23A. Pasal ini menentukan bahwa ”pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Penjelasan Pasal 23 menyebut bahwa “Dalam menetapkan pendapat dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat dari pada kedudukan pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat. Karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, segala tindakan yang menepatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Menurut pengertian hukum konstitusi itu menunjukan bahwa penariakan pajak digunakan untuk keperluan negara dan tidak boleh ditarik oleh pihak swasta


(35)

atau orang perorangan atau badan hukum swasta. Dasar hukum penarikan/pemungutan pajak secara formal harus dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama-sama pemerintah, dan tidak boleh peraturan perpajakan dibuat hanya boleh badan eksekutif (pemerintah) sendiri dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan presiden,dan peraturan menteri. Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan suatu jenis pajak harus terlebih dahulu dibuat undang-undangnya. Kemudian agar dapat dilaksanakan, pemerintah dapat membuat aturan pelaksanaannya, antara lain peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan selanjutnya sesuai dengan tata aturan perundang-undangan di Indonesia.

Karena di Indonesia terdapat daerah yang memiliki kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri yaitu daerah provinsi dan kabupaten/kota, dalam hal pemungutan pajak yang dilakukan oleh daerah tersebut, berlaku juga ketentuan hukum yang sama dengan pemungtan pajak pusat. Untuk dapat diperlakukan suatu pajak daerah, tidak boleh dodasarkan pada keputusan kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) semata, tetapi harus berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam bentuk peraturan daerah. Dengan demikian, setiap jenis pajak daerah yang akan dipungut oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/ kota harus dilandasi dengan peraturan daerah. Peraturan daerah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang, dalam hal penetapan suatu peraturan di daerah, termasuk dalam hal pemungutan pajak daerah.


(36)

1.Daerah Hukum Formal Pemungutan Pajak di Indonesia

Dasar hukum formal yang menjadi dasar dalam pemungutan pajak di Indonesia saat ini adalah:

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terahir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.

b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.

c. Undang-Undang Nomo 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak; dan

d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengadilan Pajak.

2.Dasar Hukum Material Pemungutan Pajak di Indonesia

Dasar hukum material yang menjadi dasar dalam pemungutan pajak di Indonesia saat ini adalah:

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Pajak Penghasilan sebagai mana telah beberapa kali diubah terahir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.


(37)

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai mana telah diubah beberapa kali terahir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Banguna

sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. d. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

e. Undng-Undang nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.

f. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1987 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; serta

Berbagai peraturan daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota , yang mengatur tentang pemberlakuan suatu jenis pajak di suatu provinsi atau kabupaten/Kota.

D. Pengelompokkan Pajak

Pajak dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Menurut Golongan

a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.


(38)

Contoh : Pajak Penghasilan

b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai

2. Menurut sifatnya

a) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh : Pajak Penghasilan

b) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh : Pajak Pertambahan nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan yangb digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

b) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.


(39)

Pajak daerah terdiri atas:

1. Pajak Provinsi, contoh: Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

2. Pajak Kabupaten/kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak hiburan, Pajak reklame, dan pajak penerangan jalan.

E. Syarat Pemungutan Pajak

Karena pajak merupakan kontribusi wajib maka dalam melaksanakan pemungutan pajak terdapat beberapa syarat yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu:

1) Pemungutan harus adil

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan maka pelaksanaan pemungutan harus adil, diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23A yang memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

3) Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.


(40)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

F. Pengertian Utang Pajak

Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

G. Timbulnya Utang Pajak

Utang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar untuk pengenaan

da pemungutannya telah ada, dan telah dipenuhi syarat-syarat subjektif dan syarat objektif yang ditentukan oleh Undang-Undang Pajak secara bersamaan. Syarat objektif dipenuhi apabila terdapat keadaan yang nyata sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pajak. Taatbestand berasal dari bahasa Jerman yang dapat berupa: perbuatan, keadaan, atau peristiwa. Pada pajak subjektif, utang pajak timbul selain setelah terpenuhinya syarta subjektif, yaitu syarat mutlak mengenai orangnya sebagai titik pertautan utama, maka keadaan objektif juga harus terpenuhiyaitu adanya keadaan atau peristiwa atau perbuatan yang ditentukan sebagai objek pajak. Sebaliknya pada pajak objektif, walaupun telah ada syarat objektif (adanya objek


(41)

terpenuhi syarat dengan ketentuan undang-undang), haruslah tetap tepenuhi syarat subjektif, yaitu ada subjek pajak yang dikenakan kewajiban pajak.

1.Ajaran Material

Menurut ajaran material, utang pajak timbul karena adanya Undang-Undang Pajak dan peristiwa/keadaan/perbuatan tertentu (taatbestand), serta tidak menunggu dari tindakan pihak fiskus/pemerintah. Utang pajak timbul karena bunyi undang-undang saja, tanpa diperlukan perbuatan manusia. Jadi sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus, aslkan terdapat suatu taatbestand sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak, maka telah timbul utang pajak. Dengan demikian, utang pajak timbul dengan sendirinya karena undang-undang dengan kekuatan berlaku sebatas wilayah negara, dan sudah menjadi utang pajak pada permulaan tahun pajak, tergantung pada ketentuan dalam Undang-Undang Pajak yang bersangkutan.

Surat ketentuan pajak dalam ajaran material tidak menimbulkan utang pajak, tetapi hanya diperlukan untuk menetapkan besarnya utang pajak kepada wajib pajak. Diterbitkannya surat ketetapan pajak pun utang pajak telah timbul asalkan taatbestand sudah mnejadi fakta fakta yuridis fiskal. Dengan demikian, meskipun surat ketetapan pajak belum diterima dan belum diketahui besarnya pajak yang terutang, seseorangyang sudah memenuhi taatbestand dianggap telah memenuhi syarat objektif dan subjektif sehingga telah memiliki utang pajak dan berkewajiban membayar pajak yang terutang tersebut.


(42)

Utang pajak yang timbul karena keadaan tertentu dapat dilihat misalnya pada pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor. Pajak yang timbul karena perbuatan tertentu misalnya: BPHTB, BBNKB, Bea Materai, PPh, PPN,dan PPn BM. Timbulnya utang pajak karena peristiwa tertentu misalnya: pengenaan BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena warisan, BBNKB atas penyerahan kendaraan karena warisan dan sebagainya.

Ketentuan suatu utang pajak timbul bukan karena ketepan fiskus melainkan karena undang-undang berguna dalam praktik pemungutan pajak. Salah satunya berkaitan dengan penagihan pajak terutang kepada wajib pajak yang meninggal dunia. Dalam ajaran material, jika sebelum keluarnya surat ketetapan pajak seorang wajib pajak meninggal dunia, utang pajaknya beralih kepada ahli waris. Hal ini didasari pada pengertian bahwa ahli waris secara secara hukum merupakan pihak yang ditentukan untuk menggantikan wajib pajak untuk melunasi semua kewajiban yang timbul terhadap wajib pajak yang telah meninggal dunia. Setiap ahli waris selain mewaris kekayaan dari pewaris juga mendapat tanggung jawab untuk melunasi utang-utang pewaris, termasuk utang pajak yang telah timbul pada permulaan tahun pajak, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak.

2.Ajaran Formal

Ajaran kedua adalah ajaran formal yangtidak melihat tentang adanya taatbestand sebagai dasar yang menimbulkan utang pajak tetapi menggantungkan pada adanya suatu surat ketetapan pajak. Dengan demikian, utang pajak timbul pada


(43)

saat dikeluarkannya surat ketetapan pajak. Menurut ajaran ini, utang pajak timbul kerana ada ketetapan dari pihak pemungutan pajak yaitu pemerintah atau aparatur pajak (fiskus) sehingga pajak terutang pada saat diterbitkannya surat ketetapan pajak. Tanpa adanya surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus, maka tidak ada utang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Atau dengan kata lain, walaupun taatbestand telah dipenuhi, akan tetapi apabila belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka belum ada suatu utang pajak.

Menurut ajaran formal apabila seorang wajib pajak meninggal dunia sebelum dikeluarkannya surat ketetapan pajak, orang tersebut luput dari pengenaan pajak, dan kewajiban pembayaran pajak dengan sendirinya tidak dapat berpindah kepada ahli warisnya. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa utang pajak belum pernah timbul karena belum pernah dikeluarkan surat ketetapan pajaknya.

H. Surat Ketetapan Pajak dan Timbulnya Utang Pajak

Dari uraian tentang saat timbunya utang pajak tampak bahwa ada perbedaan yang mendasar tentang kedudukan surat ketetapan pajak dalam penentuan timbunya utang pajak. Ajaran material sangat bertolak belakang dengan ajaran formal. Menurut ajaran material, surat ketetapan pajak tidak menimbulkan utang pajak sebab utang pajak telah timbul karena undang-undang pada saat dipenuhinya taatbestand. Dengan demikian, menurut ajaran material surat ketetapan pajak hanya mempunyai fungsi untuk:


(44)

a) Memberitahukan besarnya pajak yang terutang, dan b) Menetapkan besarnya utang pajak (konsolidasi).

Kedua fungsi diatas membuat surat ketetapan pajak menurut ajaran material hanya bersifat deklaratur (declatoir) atau pemberitahuan. Surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus hanya berfungsi sebagai pemberitahuan kepada pajak mengenai besarnya pajak terutang dan kapan jatuh tempo pembayaran pajak harus dilakukan oleh wajib pajak.

Sedangkan dalam ajaran formal, surat ketetapan pajak mempunyai tiga fungsi sekaligus, yaitu:

a) Menimbulkan utang pajak;

b) Menetapkan besarnya jumlah utang pajak (besamaan saatny dengan fungsi menimbulkan utang pajak); dan

c) Memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak.

Bila dibandingkan dengan fungsi surat ketetapan pajak menurut ajaran material, ajaran formal mamiliki satu fungsi yang ditambahkan, yaitu menimbulkan utang pajak. Adanya fungsi ini membuat dalam ajaran formal sifat surat ketetapan pajak adalah konstitutif atau penetapan hukum. Dari iraian ini tampak bahwa bila pada ajaran material timbulnya utang pajak dan ketetapan pajak yang menentukan besarnya pajak terutang terjadi pada saat yang berbeda, maka pada ajaran formal kedua hal tersebut terjadi pada saat yang bersamaan.


(45)

I. Berakhirnya Utang Pajak

Setiap peristiwa perikatan, termasuk utang pajak, pada akhirnya akan jatuh tempo dan harus berakhir. Umumnya berakhirnya utang pajak karena dibayar atau dilunasi. Dalam hubungannya dengan hukum pajak, yang dimaksudkan dengan pembayaran atau pelunasan pajak adalah pembayaran atau pelunasan pajak adalah pembayaran dengan uang. Bahkan lebih tegas lagi adalah dengan mata uang negara yang memungut pajak tersebut. Di Indonesia pembayaran pajak terutang harus dilakukan dengan mata uang rupiah. Walaupun demikian, wajib pajak tetap dimungkinkan membayar pajak terutang dengan menggunakan mata uang selain rupiah asalkan telah mendapat persetujuan dari fiskus. Dengan demikian, apabila wajib pajak melakukan pembayaran pajak dengan mata uang asing, maka harus ditafsirkan bahwa bahwa fiskus telah mengizinkan. Pembayaran pajak terutang harus dilakukan pada kas negara, baik atas rekening pemerintah pusat maupun rekening pemerintah daerah yang ditunjuk oleh pemrintah.

Berakhirnya utang pajak merupakan salah satu tujuan dalam pelaksanaan

pemungutan pajak. Dalam hukum pajak, ada beberapa cara berakhirnya utang pajak, yaitu: adanya pembayaran oleh wajib pajak ke kas negara, kompensasi, pengurangan atau penghapusan pajak yang terutang, kadaluarsa atau lewat waktu dan pembebasan.


(46)

1.Pelunasan/ Pembayaran Pajak

Umumnya utang pajak berakhir dengan pembayarn ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh negara seperti bank-bank pemerintah, kantor pos dan giro, dan lain-lain. Pembayaran pajak yang mengakibatkan berakhirnya utang pajak adalah pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak atas semua pajak yang terutang yang timbul akibat adanya taatbestand yang ditentukan oleh undang-undang, termasuk sanksi administrasi dan biaya penagihan pajak yang timbul dalam pelaksaan pemungutan pajak dimaksud. Apabila wajib pajak mengajukan permihonan untuk mengangsur pembayran pajak dan kepadanya diberikan izin untik hal tersebut, kemudian wajib pajak melakukan pembayaran angsuran pajak tetapi belum melunasi seluruh pajak yang terutang, maka belum dapat di anggap bahwa ia telah membayar (lunas) utang pajaknya. Baru setelah seluruh angsuran pajak yang terutang telah dibayar, dapat dikatakan bahwa wajib pajak tersebut telah membayar (lunas) pajak dan secara otomatis berakhirlah utang pajak tersebut.

2. Kompensasi (Pengimbangan)

Kompensasi dapat dilakukan atas pembayaran dan atas kerugian yang dimungkinkan jika pada awal pendiriannya wajib pajak badan menderita kerugian. Sedangkan kompensasi karena pembayaran dilakukan apabila salah satu pihak mempunyai utang dan mempunyai tagihan kepada pihak lain. Dalam hukum pajak, kompensasi pembayaran dapat dilakukan jika wahib pajak untuk satu jenis pajak mempunyai kelebihan pembayaran pajak sedangkan untuk jenis lai terdapat


(47)

kekurangan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran pajak untuk satu jenis pajak tersebut dapat dilakukan untuk membayar kekurangan pembayaran atas jenis pajak lain (utang pajak lainnya) yang juga terutang olehnya. Hal ini disebut kompensasi pembayaran.

3.Penghapusan Utang

Dalam hukum pajak dimungkinkan pula berakhirnya pajak melalui penghapusan terhadap kewajiban pajak karena wajib pajak mengalami kebangkrutan sehingga mengalami kesulitan keuangan. Untuk menentukan apakah seorang wajib pajak pailit atau tidak diperlukan penyelidikan yang saksama oleh fiskus dengan tujuan nantinya tindakan fiskus dapat dipertanggujawabkan.

4.Kedaluwarsa (lewat waktu)

Berakhirnya utang pajak karena kedaluwarsa atau lewat waktu terjadi jika

dalam jangka waktu tertentu suatu utang pajak tersebut di anggap lunas dan tidak dapat ditagih lagi. Demikian, utang pajak akan berakhir jika telah melewati waktu kedaluwasta. Menurut Undang-Undang KUP, utang pajak akan kedaluwasa setelah lampau waktu 10 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak yang bersangkutan. Oleh karena iti, apabila telah lewat waktu 10 tahun sejak pajak terutang atau berakhirnya masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak wajib pajak belum membayar lunas utang pajaknya dan fiskus tidak melakukan tindakan penagihan pajak, secara hukum utang pajak tersebut telah berakhir dengan sendirinya.


(48)

5.Pembebasan

Pembebasan pajak merupakan pengakhiran utang pajak yang dilakukan oleh

fiskus tanpa persetujuan pihak wajib pajak. Hal ini dilakukan jika ada permohonan atau keadaan ekonomi wajib pajak yang mengalami kemunduran keuangan. Pembebasan pajak menurut Undang-Undang Pajak umumnya hanya diberikan terhadap sanksi administrasinya saja.

6.Penundaan Penagihan

Dengan cara ini penagihan pajak terutang dapat ditunda dalam jangka waktu tertentu. Jika kemudian wajib pajak ternyata mampu lagi untuk melunasi utang pajaknya, maka barulah ditagih. Jika tidak dapat juga ditagih maka barulah dihapuskan pajaknya.

J. Penagihan Utang Pajak

Sebagaimana halnya dengan setiap kewajiban, kewajiban yang timbul dalam hukum pajak harus dipenuhi, yaitu oleh yang diwajibkan atau diharuskan undang-undang untuk membayar pajak tersebut. Utang pajak yang timbul baik menurut ajaran material maupun ajaran formal harus dilunasi oleh wajib pajak dalam jangka waktu yang ditentukan. Hanya saja tidak semua wajib pajak membayar pajak tepat pada waktunya. Hal ini menimbulkan masalah, yaitu adanya tunggakan pajak, yang berarti wajib pajak tersebut tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya. Sebagaimana halnya dalam hukum perdata apabila pihak yang berutang tidak


(49)

melunasi utangnya, pihak yang berpiutanag akan dapat melakukan tindakan untuk menagih utang tersebut. Tindakan penagihan pajak dimaksudkan agar pihak yang berutang segera melunasi utangnya sehingga tidak merugikan pihak yang berpiutang.

Dalam hukum pajak, negara yang bertindak sebagai pihak yang berpiutang juga memilki kewenangan untuk melakukan tindkan penagihan terhadap wajib pajak yang tidak melunasi utang pajaknya. Kewenangan ini diatur dalam hukum pajak dan ditentukan secara jelas dan tertulis dalam Undang-Undang Perpajakan. Sebagai pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola administrasi perpajakan, fiskus juga diberi kewenangan untuk melakukan tindkan penagihan pajak terhadap wajib pajak yang tidak melunasi utang pajaknya. Hal ini merupakan tindakan paks fiskus terhadap wajib pajak.

Penagihan wajib pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh fiskus karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang Pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang Penagihan Pajak meliputi kegiatan pembuatan dan mengirim surat peringatan, surat teguran, Surat Paksa, penyitaan, lelang, pencegahan, dan penyanderaan.

Penagihan pajak merupakan tindakan yang sangat penting dalam proses pemungutan pajak. Hal ini dimaksudkan agar semua wajib pajak patuh membayar pajak. Apabila tidak ada tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus, wajib pajak akan memandang enteng pajak yang menjadi kewajibannya. Sikap ini pada akhirnya akan membuat wajib pajak enggan membayar pajak karena tidak ada


(50)

tindakan yang diambil oleh fiskus apabila ia tidak membayar pajak. Selain sebagai upaya paksa terhadap wajib pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sebagaimana mestinya, di sisi lain diharapkan dapat menjadi peringatan terhadap wajib pajak lainnya untuk melunasi pajak terutang tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

K.

Bentuk Penagihan

Dalam bidang administrasi perpajakan dikenal beberapa bentuk penagihan

yaitu penagihan pasif, penagihan aktif (dengan diterbitkan STP/SKP/SKPT) dan Penagihan Paksa.

a. Penagihan Pasif

Penagihan Pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh kantor pelayanan pajak dengan cara melakukan pencatatan, pengawasan atas kepatuhan pembayaran masa dan pembayaran lainnya yang dilakukan oleh wajib pajak.

b. Penagihan Aktif

Penagihan Aktif adalah Penagihan yang didasarkan pada STP/SKP/SKPT dimana undang-undang telah menentukan tanggal jatuh tempo yaitu 1 (satu) bulan terhitung dari saat STP/SKP/SKPT diterbitkan. Sebelum tanggal jatuh tempo,fiskus dapat melakukan penagihan aktif dimana KPP menghimbau kepada wajib pajak agar melakukan pembayaran sebelum tanggal jatuh tempo.


(51)

c. Penagihan dengan Surat Paksa

Penagihan dengan Surat Paksa dilakukan oleh fiskus melalui juru sita pajak negara yang menyampaikan/memberitahukan Surat Paksa, melakukan penyitaan dan melakukan pelelangan melalui kantor lelang negara terhadap barang-barang wajib pajak.

L. Daluwarsa Penagihan Pajak

Daluwarsa adalah lewat waktu,artinya keadaan yang telah ditentukan lewat waktu sehingga segala tindakan atau perbuatan sebagaimana disebutkan telah tidak memiliki kekuatan hukum lagi.

Menurut Pasal 22 ayat 1 KUP “Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Penilaian Kembali.

Daluarsa penagihan pajak tertangguh apabila:

1. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa

2. Adanya pengakuan utang pajak dari wajib pajak langsung maupun tidak langsung.

3. Diterbitkannya SKPKB atau SKPKBT


(52)

M. Pengertian Juru sita

Adapun pengertian jurusita pajak menurut UU.No.19 Tahun 2000 adalah pelaksanaan tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.

Karyawan Direktorat Jendral Pajak yang diangkat sebagai jurusita pajak haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Berpendidikan dan memiliki ijazah serendah-rendahnya sekolah umum atau yang setingkat dengan itu.

b) Pangkat serendah-rendahnya pengatur muda golongan II/a. c) Berbadan sehat dan tidak cacat fisik

d) Lulus Pendidikan jurusita pajak.

e) Sebelum melaksanakan tugasnya diangkat dan disumpah oleh pejabat. f) Jujur, bertanggung jawab dan penuh pengadilan.

Kemudian juru sita pajak dapat diberhentikan dalam hal:

a. Meninggal dunia atau pensiun.

b. Sakit jasmani atau rohani terus menerus.

c. lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas.

d. Melakukan perbuatan tercela.


(53)

f. Karena alih tugas.

Dari uraian tentang jurusita sebagaimana tersebut diatas maka kita ketahui bahwa tugas jurusita pajak adalah sebagai berikut:

a. Melaksanakan surat perintah tagihan dan sekaligus.

b. Memberitahukan surat paksa.

c. melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan surat perintah melaksakan penyitaan, dan

d. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat perintah penyanderaan.

Menurut pasal 18 (1), UU No. 28 Tahun 2007 Tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menjadi dasar penagihan adalah: Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan. Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding serta keputusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.


(54)

BAB IV

ANALISA DAN EVALUASI DATA

A. Faktor-faktor Timbulnya Tunggakan Pajak

Pada ajaran material dimana Utang Pajak timbul apabila terpenuhi kedaan, peristiwa, atau perbutan yang ememnuhi syarat dikenakan pajak sesuai dengan masing-masing Undang-Uadang Pajak tersebut. Dengan demikian, untuk melunasi utang pajak terutang, wajib pajak tidak perlu menunggu terbitnnya Surat Ketetapan Pajak dari fiskus.

Ketentuan dalam Undang-Undang KUP mengatur bahwa setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak. Hal ini mendasari bahwa dalam pemabayaran pajak, wajib pajak tidak perlu menunggu dikeluarkannya Surat ketetapan Pajak oleh fiskus sehingga tidak ada alsan bagi wajib pajak untuk membayar pajak hanya karena menganggap ia belum memilki utang pajak. Sepanjang fakta kena pajak telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pajak, maka utnag pajak telah timbul terhadapa orang tersebut dan ia harus membayar pajak yang terutang sesuai dengan batas waktu ysng telah ditentukan.

Berdasarkan Undang-Undang KUP, dalam pengenaan PPh, PPN, dan

PPnBM, Direktorat Jenderal Pajak (fiskus)tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas semua surat pembaritahuan (SPT) yang disampaikan


(55)

wajib pajak. Penerbitan suatu surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada wajib pajak tertentu yang bdisebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaiakan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan bahwa wajib pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam SPT, kepadanya tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun Surat Keputusan dari administrasi perpajakan.

Apabila fiskus mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut SPT tidak benar, fiskus menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya. Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam SPT yang bersangkutan tidak benar, misalnya : pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka fiskus menetapkan besarnya pajak yang terutang sebaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam kaitannya dengan saat timbulnya utang pajak, ketentuan perpajak Indonesia menganut prinsip yang sedikit menimpang terhada ajaran material. Hal ini terkait dengan administrasi pemungutan pajak di Indonesia. Pada prinsipnya, pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenakan pajak namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah :


(56)

a. Pada suatu saat, untuk PPh yang dipotong oleh pihak ketiga.

b. Pada massa akhir pajak, untuk PPh karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh pengusaha kena pajak atas pemungutan PPN dan PPnBM, dan

c. Pada akhir tahun, untuk PPh.

Tampak bahwa walupun menurut ajaran material utang pajak timabul pada saat terpenuhinya taatbestand, tetapi karena berkaitan dengan administrasi perpajakn yang tidak sederhana, ketentuan perpajakan Indonesia memberikan kelonggaran dalam penentuan saat terutangnya pajak atau saat timbyulnya utang pajak. Pajak terutang ini harus dibayar sesuai dengan batas waktu (jatuh tempo) pembayaran pajak yang ditentukan. Selama pajak dibayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, utang pajak akan hapus dan tidak ada tunggakan pajak yang perlu ditagih oleh fiskus.

Faktor-fakltor penyebab tunggakan pajak semakin besar “

1. Pertambahan jumlah wajib pajak.

Kewajiban wajib pajak yang utama adalah membayar pajaknya sendiri menghitung, memotong, dan menyetorkan sendiri pajaknya. Dari tabel dibawah dapat dilihat jumlah wajib pajak orang pribadi paling besar dibanding wajib pajak badan maupun wajib pajak bendaharawan.

Gambaram data wajib pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat terdapat pada tabel 1.1 dibawah ini


(57)

Tabel 1.1

Jumlah Wajib Pajak yang terdaftar

Keterangan s/d 2010 s/d 2011

Orang Pribadi 22.242 22.597

Badan 3.904 4.027

Bendaharawan 90 97

Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat Tahun 2012

2. Wajib Pajak tidak menanggapi Surat Teguran yang telah diberikan oleh Juru Sita Pajak.

Dengan tidak menanggapi Surat Teguran tersebut maka utang pajak Wajib Pajak lama-lama akan semakin besar. Sehingga Juru Sita Pajak mengeluarkan Surat Paksa. Kecuali Wajib Pajak membuat Surat Permohonan untuk menyicil atau menunda membayar utang pajak tersebut.

Di bawah ini dapat dilihat jumlah wajib pajak orang pribadi dari tahun 2010 sampai 2011.

Tabel 1.2 Jumlah Wajib Pajak

Keterangan 2010 2011

Orang Pribadi 22.242 22.597


(58)

Dari tabel 1.2 di atas, dapat kita lihat bahwa kesadaran Wajib Pajak akan kewajibannya di bidang perpajakan ini meningkat. Hal ini dapat kita lihat secara tidak langsung dari peningkatan jumlah Wajib Pajak antara Tahun 2010 menuju 2011. Walaupun jumlahnya tidak signifikan, tetapi kesadaran Wajib Pajak ini akan kewajibannya tetap ada dan di harapkan terus meningkat.

Tabel 1.3 Surat Teguran

Surat Teguran 2010 2011

Orang Pribadi 982 958

Badan 205 306

Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat Tahun 2012

Jumlah Surat Teguran yang terdaftar Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat Tahun 2010 terdiri dari 982 Orang Pribadi. Sedangkan pada Tahun 2011 terdiri dari 958 Orang Pribadi. Maka dari tahun 2010 hingga 2011 Surat Teguran yang di sampaikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat kepada Orang Pribadi semakin menurun.

Jumlah surat teguran dari tahun 2010 sampai 2011 menurun di karena tingkat kepatuhan wajib pajak semakin tinggi. Karena wajib pajak orang pribadi pajak nya langsung dipotong oleh pemberi kerja sehingga surat teguran dari pajak semakin menurun seiring dengan tingkat pengawasan yang dilakukan oelh kantor pajak.


(59)

Sedangkan jumlah Surat Teguran yang terdaftar Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat pada tahun 2010 terdiri dari 205 wajib pajak badan. Sedangkan pada tahun 2011 terdiri dari 306 wajib pajak badan. Maka dari tahun 2010 sampai 2011 jumlah surat teguran yang disampaikan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat badan semakin meningkat.

Mengalami peningkatan dikarenakan tingkat kepatuhan wajib pajak badan semakin turun. Tingkat kesadarannya untuk membayar pajaknya lebih rendah, karena wajib pajak badan harus membayar pajaknya sendiri tidak seperti wajib pajak orang pribadi yang langsung dipotong oleh pemberi kerjanya.

Tabel 1.4

Surat Paksa

Surat Paksa 2010 2011

Orang Pribadi 146 182

Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat Tahun 2012

Jumlah Surat Paksa yang terdaftar Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat pada Tahun 2010 sebanyak 146 Orang Pribadi, Sedangkan pada Tahun 2011 terdiri dari 182 Orang Pribadi. Maka dari tabel di atas dapat di liat semakin meningkat Surat Paksa yang di sampaikan kepada Orang Pribadi tersebut. Di karenakan Wajib Pajak tidak menghiraukan Surat Teguran yang telah di keluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat.


(60)

3. Alamat Wajib Pajak tidak ditemukan atau berpindah-pindah tempat tinggal.

Alamat Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang tidak jelas maupun fiktif sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan tindakan penagihan, seperti pengiriman Surat Teguran dan penyampaian Surat Paksa.

Solusi yang dilakukan untuk mengurangi tunggakan pajak :

1. Melakukan pemeriksaan secara rutin dengan cara meliti berkas-berkas pajak yang telah ada.

2. Melakukan tindakan penagihan secara rutin kepada Wajib Pajak

3. Data dari wajib pajak menjadi dasar untuk melakukan penagihan tunggakan pajak.

B. Kendala yang terjadi dalam Penagihan Tunggakan Pajak

Pada dasarnya besarnya utang pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak, apabila ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan wajib pajak dalam melakukan perhitungan pajak yang terutang atau wajib pajak melanggar ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan perpajakan, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan. Ketiga bsurat ini merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak. Apabila tagihan pajak tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, penagihan dapat dilakukan dengan Surat Paksa.


(61)

Pada KPP Medan Barat kendala-kenadala yang dihadapi adalah sebagai berikut :

1. Alamat wajib pajak atau penaggung pajak yang tidak jelas maupun fiktif sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan tindakan penagihan, seperti pengiriman Surat Teguran dan penyampaian Surat Paksa.

2. Keberadaan wajib pajak atau penanggung pajak tidak ditemukan baik karena pindah domisili maupun dengan sengaja menghindar.

3. Data dan informasi tentang wajib pajak atau penanggung pajak yaitu identitas lengkap, pengurus, serta daftar harta/asset yang tidak selalu mutakhir sehingga menyulitkan tindakan penagihan aktif.

4. Kurangnya dan pengetahuan sebagian wajib pajak (baru dalam bidang perpajakn, sehingga tunggakan yang timbul adalah sanksi administrasi yang tidak bisa diterima wajib pajak.

5. Kemampuan likuiditass wajib pajak atau penaggung pajak yang rendah untuk melunasi tunggakan pajaknya, dikarenakan kondisi perusahaan yang sedang buruk, serta penetapan ketetapan pajak yang bermasalah yang terlalu membebani wajib pajak atau penanggung pajak.

6. Wajib pajak atau penanggung pajak tidak kooporatif dalam melunasi tunggakan pajak seperti memperlambat tunggakan pajak, maupun wanprestasi atas kesepakatan pelunasan pajak.


(62)

7. Data Wajib Pajak yang hilang sehingga penagih pajak mengalami kesulitan.

C. Penyelesaian masalah Penagihan Tunggakan Pajak

Pemecahan masalah dalam hal penagihan tunggakan pajak :

1. Untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya serta memahami peraturan di bidang perpajakan, walupun sitem perpajakn kita telah menganut sistem self assessment namun tingkat kesadaran wajib pajak untuk melaksankan kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar serta membayar utang pajak pada tepat waktu masih rendah sekali, hal ini juga bisa dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang peepajakan, untuk itu perlu ditingkatkan pembinaan terhadap wajib pajak dengan penyuluhan yang intensif.

2. Menjelaskan kepada wajib pajak selama wajib pajak mkembayar pajak tepat waktunya atau sebelum jatuh tempo tidak akan dilakukan tindakan penagihan.

3. Diharapakan kepada fiskus agar dapat bekerja sama dengan instansi terkait, sehingga pelaksanaan penagihan dan pengawasan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini bertuujuan untuk memperkecil kesempatan wajib pajak dalam menghindari tunggakan pajak.

4. Apabila Juru Sita pajak tidak diperbolehkan masuk ke rumah untuk melaksanakan tugasnya, maka Juru Sita dapat melaporkan kepada pihak kepolisian untuk melaksanakan penyitaan tersebut.


(63)

5. Adakalanya wajib pajak keberatan atau tidak memperbolehkan Juru Sita untuk menyita barang milik wajib pajak tersebut. Dalam hal ini Juru Sita pajak memberikan penjelasan atau pengertian mengenai maksud penyitaan bahwa penyitaan tidak selalu berakhir dengan penjualan barang (lelang). Apabila wajib pajak tersebut melunasi utang pajaknya.

6. Pada waktu melakukan penyitaan atau ada kemungkinan bahwa wajib pajak mengatakan bahwa sebagian barang yang akan di sita bukan miliknya. Oleh sebab itu wajib pajak atau wakilnya menunjukkan bukti bahwa barang tersabut memang benar bukan miliknya wajib pajak.

7. Apabila wajib pajak tidak mau menandatangani berita acara, Juru Sita dapat memaksakan dan meminta bantuan pada pihak kepolisian karena telah melanggar peraturan perundang-undangan.

Dilihat dari masalah-masalah yang timbul di dalam pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat di karenakan pada umumnya banyak wajib pajak yang belum begitu mengerti dan memahami peraturan perpajakan serta kurangnya kesadaran wajib pajak.

Hal demikian yang membuat wajib pajak melalaikan kewajibannya dalam membayar pajak dengan tgidak membayar utang pajaknya dengan berbagai alasan. Untuk itulah kewajiban para aparat pajak khususnya pada seksi penagihan dalam hal penagihan pajak dengan surat paksa untuk berupaya mencari solusi di dalam


(64)

pemecahan masalah-masalah yang ada berkaitan dengan penagihan, dengan aktif di dalam pelaksanaannya.


(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka penulis akan menarik kesimpulan anatara lain :

a) Dalam sistem self assessment yang berlaku sekarang ini, maka penagihan pajak yang dilaksanakan harus secara konsisten dimana di beri kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya sendiri.

b) Utang pajak timbul jika Undang-Undang yang menjadi dasar untuk pengenaan dan pemungutannya telah ada, dan telah dipenuhi syarat-syarat subjektif dan syarat objekif yang ditentukan oleh Undang-Undang Pajak secara bersamaan.

c) Berakhirnya utang pajak merupakan salah satu tujuan dalam pelaksanaan pemungutan pajak.

d) Jumlah wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap penunggakan pajak di sumatera utara. Dengan demikian jumlah wajib pajak yang semakin meningkat juga akan meningkatkan tunggakan pajak.


(66)

B. Saran

1. Peran serta masyarakat atau wajib pajak dalam kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat di harapkan dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan di bidang perpajakan.

2. Mempersiapkan Juru Sita Pajak yang handal, tangguh dan profesional serta menambah beberapa petugas Juru Sita Pajak lagi di Kantor Pelayanan Pajak.

3. Peningkatan jumlah tunggakan pajak ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan penacairannya, namun demikian secara umum penerimaan di bidan perpajakan semakin meningkat.

4. Kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat di harapkan sangat selektif dalam menerbitkan penagihan pajak agar beban tugas pencairan tunggakan tidak semakin berat.

5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah wajib pajak pada tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap tunggakan pajak di sumatera utara, sehingga petugas pajak harus melayani wajib pajak melakukan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP dan menjelaskan mengenai semua kewajibannya sebagai wajib pajak yang baik.

6. Pada saat pertambahan wajib pajak sebaiknya melakukan pemilihan terhadap wajib pajak dengan data yang benar sehingga dapat dipilih wajib pajak yang benar-benar potensial, sehingga wajib pajak yang terdaftar dapat membayar pajak yang dibebankan kepadanya, dan dapat mengurangi terjadinya penunggakan pajak.


(67)

7. Selain itu dapat melaksanakan penyuluhan terhadap wajib pajak atas kewajibannya, sekaligus melakukan peraturan perpajakan sebagaimana mestinya.


(68)

DAFTAR PUSTAKA

Budiono.B. Perpajakan Indonesia:Diadit Media. Jakarta

Siahaan,Marihot.P.Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,: PT.Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Waluyo,Perpajakan Indonesia, Salemba Empat.Jakarta.

Undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2000 Tentang Undang-Undang Penagihan Dengan Surat Paksa.

Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.26 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


(1)

5. Adakalanya wajib pajak keberatan atau tidak memperbolehkan Juru Sita untuk menyita barang milik wajib pajak tersebut. Dalam hal ini Juru Sita pajak memberikan penjelasan atau pengertian mengenai maksud penyitaan bahwa penyitaan tidak selalu berakhir dengan penjualan barang (lelang). Apabila wajib pajak tersebut melunasi utang pajaknya.

6. Pada waktu melakukan penyitaan atau ada kemungkinan bahwa wajib pajak mengatakan bahwa sebagian barang yang akan di sita bukan miliknya. Oleh sebab itu wajib pajak atau wakilnya menunjukkan bukti bahwa barang tersabut memang benar bukan miliknya wajib pajak.

7. Apabila wajib pajak tidak mau menandatangani berita acara, Juru Sita dapat memaksakan dan meminta bantuan pada pihak kepolisian karena telah melanggar peraturan perundang-undangan.

Dilihat dari masalah-masalah yang timbul di dalam pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat di karenakan pada umumnya banyak wajib pajak yang belum begitu mengerti dan memahami peraturan perpajakan serta kurangnya kesadaran wajib pajak.

Hal demikian yang membuat wajib pajak melalaikan kewajibannya dalam membayar pajak dengan tgidak membayar utang pajaknya dengan berbagai alasan. Untuk itulah kewajiban para aparat pajak khususnya pada seksi penagihan dalam hal penagihan pajak dengan surat paksa untuk berupaya mencari solusi di dalam


(2)

pemecahan masalah-masalah yang ada berkaitan dengan penagihan, dengan aktif di dalam pelaksanaannya.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka penulis akan menarik kesimpulan anatara lain :

a) Dalam sistem self assessment yang berlaku sekarang ini, maka penagihan pajak yang dilaksanakan harus secara konsisten dimana di beri kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya sendiri.

b) Utang pajak timbul jika Undang-Undang yang menjadi dasar untuk pengenaan dan pemungutannya telah ada, dan telah dipenuhi syarat-syarat subjektif dan syarat objekif yang ditentukan oleh Undang-Undang Pajak secara bersamaan.

c) Berakhirnya utang pajak merupakan salah satu tujuan dalam pelaksanaan pemungutan pajak.

d) Jumlah wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap penunggakan pajak di sumatera utara. Dengan demikian jumlah wajib pajak yang semakin meningkat juga akan meningkatkan tunggakan pajak.


(4)

B. Saran

1. Peran serta masyarakat atau wajib pajak dalam kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat di harapkan dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan di bidang perpajakan.

2. Mempersiapkan Juru Sita Pajak yang handal, tangguh dan profesional serta menambah beberapa petugas Juru Sita Pajak lagi di Kantor Pelayanan Pajak.

3. Peningkatan jumlah tunggakan pajak ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan penacairannya, namun demikian secara umum penerimaan di bidan perpajakan semakin meningkat.

4. Kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat di harapkan sangat selektif dalam menerbitkan penagihan pajak agar beban tugas pencairan tunggakan tidak semakin berat.

5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah wajib pajak pada tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap tunggakan pajak di sumatera utara, sehingga petugas pajak harus melayani wajib pajak melakukan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP dan menjelaskan mengenai semua kewajibannya sebagai wajib pajak yang baik.


(5)

7. Selain itu dapat melaksanakan penyuluhan terhadap wajib pajak atas kewajibannya, sekaligus melakukan peraturan perpajakan sebagaimana mestinya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Budiono.B. Perpajakan Indonesia:Diadit Media. Jakarta

Siahaan,Marihot.P.Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa,: PT.Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Waluyo,Perpajakan Indonesia, Salemba Empat.Jakarta.

Undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2000 Tentang Undang-Undang Penagihan Dengan Surat Paksa.

Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.26 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.