100 .
. ×
=
∑
Z N
v n
P
Berdasarkan hasil pengelompokkan dengan cara di atas, dihitung intensitas serangan penyakit hawar daun menurut Townsend dan Heuberger
1943 dalam Unterstenh
fer 1976 dengan rumus berikut :
P = Intensitas serangan n = Jumlah daun untuk setiap katagori
v = Nilai numerik katagoris serangan N = Jumlah daun yang diamati
Z = Nilai numerik untuk kategori tertinggi
E. Pengukuran Suhu dan Kelembaban.
Pengukuran suhu dan kelembaban pada bedeng dilakukan setiap hari pada pagi hari pukul 06.00 – 07.00 WIB, siang pukul 12.00 – 13.00 WIB
dan sore pukul 19.00 – 20.00 WIB dengan menggunakan higrotermometer.
F. Analisis Data.
Analisis statistik untuk penelitian ini menggunakan rancangan faktorial dalam waktu dengan rancangan lingkungan rancangan acak lengkap. Menurut
Mattjik dan Sumertajaya 2002, model yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan : = Nilai respon Intensitas serangan daun yang mati pada faktor
Isolat taraf ke-i, faktor Tanin taraf ke-j, ulangan ke -k dan waktu pengamatan ke-l
= Rataan Umum
ijkl ijl
jl il
kl l
ijk ij
j i
ijkl
Y ε
αβω βω
αω γ
ω δ
αβ β
α µ
+ +
+ +
+ +
+ +
+ +
=
ijkl
Y
µ
= Pengaruh faktor Isolat taraf ke -i = Pengaruh faktor Tanin taraf ke -j
= Pengaruh interaksi faktor Isolat taraf ke-I dengan faktor Tanin taraf ke-j
= Komponen acak perlakuan = Pengaruh waktu pengamatan ke-l
= Komponen acak waktu pengamatan = Pengaruh interaksi faktor Isolat taraf ke -i dengan waktu
pengamatan ke-l = Pengaruh interaksi faktor Tanin taraf ke -j dengan waktu
pengamatan ke-l = Penga ruh interaksi faktor Isolat taraf ke -i, faktor Tanin taraf ke-j,
dengan waktu pengamatan ke-l = Komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan
Selanjutnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan sidik ragam dan kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.
Untuk memperjelas faktor pengaruh perlakuan baik isolat, tanin, dan waktu terhadap intensitas penyakit, data kemudian diolah dengan
menggunakan metode penyesuaian kurva kuadrat terkecil least square curve fitting method dengan mempertiumbangkan koefisiensi determinasi r
2
terbesar Mattjik and Sumertajaya, 2002.
i
α
j
β
ij
αβ
ijk
δ
l
ω
kl
γ
il
αω
jl
βω
ijl
αβω
ijkl
ε
HASIL PENELITIAN
Identifikasi Penyebab Penyakit.
Hasil pengamatan secara makroskopis maupun mikroskopis terhadap kedua isolat patogen dari daun suren yang terserang penyakit, menunjukkan kalau
keduanya berupa koloni yang terdiri dari serabut benang tipis. Serabut benang tipis tersebut adalah kumpulan miselia yang disebut miselium. Pada isolat I
terlihat gumpalan-gumpalan kecil putih pada hari ke-3. Kemudian gumpalan- gumpalan tersebut berubah menjadi berwarna coklat dan menyebar tidak merata
di permukaan miselium. Sementara isolat II tidak terlihat adanya gumpalan- gumpalan tersebut. Gambar 1 dan 2 memperjelas pengamatan secara makroskopis.
Gambar 1. Perkembangan Miselia Isolat I. A. minggu ke-1; B. minggu ke -3 Pada Gambar 1 miselium isolat I minggu ke-1 miselium berupa gumpalan-
gumpalan coklat kehitaman sudah terbentuk. Gumpalan-gumpalan tersebut kemudian berkembang lebih banyak dan tersebar merata di seluruh permukaan
miselium. Miselium yang berwarna putih pada minggu ke -1 kemudian berubah warnanya menjadi lebih coklat pada minggu ke-3.
A
B
Gambar 2. Perkembangan Miselia Isolat II. Minggu ke-1 Miselium isolat II Gambar 2 pada minggu ke-1 tidak membentuk gumpala n-
gumpalan seperti isolat I. Secara Mikroskopis Gambar 3, kedua isolat fungi ini memiliki ciri-ciri
antara lain percabangan hifa yang tampak tegak lurus, memiliki sekat septa, tidak terdapat spora atau konidia serta tidak ditemukannya sambungan apit clamp
connection . Selain itu ditemukan juga sel monilloid dengan perbandingan diameter : panjang, 1:1. Diameter hifa kedua isolat 3 – 17 µm dengan panjang sel
50 – 250 µm.
Gambar 3. Hifa Patogen Isolat II kiri dan Isolat I kanan Di bawah Mikr oskop dengan Perbesaran 1000x. Panah Hijau Menunjukkan Sel Monilloid,
Panah Merah Menunjukkan Penggentingan pada Percabangan, dan Panah Hitam Menunjukkan Dinding Sel.
10 µ m 10 µ m
Aktivitas Selulase
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
55
20 40
60 80
Amonium Sulfat mmolml
Pelet
Spr natan
Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan fungi pada daun suren menunjukkan adanya aktivitas selulase. Hal ini terbukti dengan terdeteksinya
glukosa. Glukosa terlihat pada yang pelet diuji dengan metode filter paper-ase FP-ase. Sebelum diuji, pelet diencerkan dengan 10 mM buffer fosfat da n
didialisis. Enzim merupakan salah satu senjata patogen untuk menyerang jaringan
tumbuhan inang. Enzim penghidrolisis selulosa dan pektin diketahui penting perannya dalam patogenesis tumbuhan. Hasil lengkap pengujian FP -ase dengan
kadar ammonium sulfat yang berbeda ditunjukkan pada gambar berikut ini :
Gambar 4. Aktivitas selulase mmolmljam Gambar 4 menunjukkan aktivitas selulase pada berbagai konsentrasi ammonium
sulfat. Aktivitas selulase terbesar pada pelet terlihat pada konsentrasi ammonium sulfat 80. Sementara aktivitas selulase terbesar pada supernatan terlihat pada
konsentrasi ammonium sulfat 20 – 40. Hal ini menunjukkan terjadinya pengendapan enzim pada pelet ketika konsentrasi ammonium sulfat sebesar 80.
Uji Aktivitas Pektinase
20 40
60 80
100 120
140 160
180 200
220 240
260 280
300
20 40
60 80
Amonium Sulfat mmolml
Spr natan Pellet
Sementara hasil lengkap pengujian aktivitas pektinase dengan kadar ammonium sulfat yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Aktivitas pektinase mmolmljam Aktivitas pektinase terbesar pada pelet terlihat pada konsentrasi ammonium sulfat
80. Sementara aktivitas pektinase terbesar pada supernatan terlihat pada konsentrasi ammonium sulfat 20. Hal ini menunjukkan terjadinya pengendapan
enzim pada pelet ketika konsentrasi ammonium sulfat sebesar 80. Selanjutnya untuk memisahkan enzim dengan media, dilakukan dengan mengendapkannya
pada konsentrasi ammonium sulfat 80.
Optimasi Enzim B.
Ekstraksi
Patogen ditumbuhkan pada media CMC dan pektin. Setelah 10 hari, pertumbuhan patogen membentuk kumpulan miselia yang padat sehingga
terbentuk lapisan tersendiri. Selain itu pada media pektin terbentuk lapisan yang berbeda warna sehingga ada lapisan yang terlihat transparan.
Enzim diektraksi dengan cara memisahkan media dan patogen. Profil gambar pertumbuhan patogen pada media tersebut di atas dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
A B C
D
Gambar 6. Profil Pertumbuhan Fungi pada Media Pektin dan CMC, A. Media Pektin yang Tidak Ditumbuhi Fungi; B. Media Pektin yang Ditumbuhi
Fungi, Zona Bening Tanda panah Menunjukkan Terjadinya Degradasi Pektin Karena Aktivitas Enzim Pektinase; C. Media CMC
yang Ditumbuhi Fungi; D. Media CMC yang Tidak Ditumbuhi Fungi.
Gambar 6 menunjukkan profil perkembangan fungi pada media pektin dan media yang mengandung CMC disertai perbandingannya pada media pektin dan media
yang mengandung CMC yang tidak ditumbuhi fungi. Bagian A adalah media pektin yang tidak ditumbuhi fungi, sementara B adalah media pektin yang
ditumbuhi fungi. Terlihat zona transparan pada media pektin yang ditumbuhi fungi menandakan terjadinya degradasi pektin. Bagian C adalah media yang
mengandung CMC yang ditumbuhi fungi sementara bagian D tidak ditumbuhi fungi.
Aktifitas Selulase
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
2 3
4 5
6 7
8 9
pH mmolml
i. Presipitasi
Presipitasi atau pengendapan enzim dengan menggunakan amonium sulfat telah dijelaskan. Pada penjelasan tersebut terlihat bahwa aktivitas enzim terbesar
terlihat pada konsentrasi amonium sulfat 80 untuk kedua jenis enzim.
D. Karakterisasi Enzim
Karakterisasi enzim dilakuan dengan cara menguji aktivitas enzim pada berbagai tingkat pH. Pengujian didahului dengan melakukan pengendapan enzim
dengan amonium sulfat 80. Hasil yang didapat dari optimasi enzim selulase pada beberapa tingkatan pH disajikan Gambar 7 sebagai berikut:
Gambar 7. Aktivitas selulase pada pH yang berbeda Pada gambar tersebut terlihat aktivitas enzim selulase terus meningkat sampai
kisaran pH 5. Aktivitas selulase kemudian menurun setelah melawati kisaran pH 5. Sedangkan hasil pengujian enzim pektinase pada beberapa tingkat keasaman
pH menunjukkan bahwa aktivitas enzim pektinase meningkat tajam pada kisaran pH 3 – 5. Aktivitas enzim pektinase tertinggi dicapai pada pH 4, sementara
peningkatan keasaman di atas pH 5 menyebabkan penurunan aktivitas enzim pektinase secara nyata Gambar 8.
Aktivitas Pektinase Berdasar pH
2 5 5 0
7 5 100
125 150
175 200
225 250
2 3
4 5
6 7
8
p H mmolml
Gambar 8. Aktivitas pektinase pada pH yang berbeda
Uji Mekanisme Infeksi G.
Pengamatan Gejala Penyakit.
Pengamatan dilakukan selama 1 bulan pada rumah benih suren. Rumah benih dikondisikan sehomogen mungkin. Benih suren yang diuji dapat dilihat
pada Gambar 9 berikut ini. Suren dikelompokkan berdasarkan perlakuan yang dikondisikan sehomogen mungkin.
Gambar 9. Rumah Benih dan Benih Suren.
Hasil pengamatan menunjukkan serangan hawar terjadi pada semua kelompok perlakuan. Perbedaannya terlihat jelas pada waktu timbulnya gejala dan
intensitas serangan patogen Gambar 10.
Gambar 10. Gejala yang Ditimbulkan pada Daun Suren yang Dioleskan Isolat I Ditandai dengan Panah Putih. Tanda Berupa Miselium Putih
Panah Merah. Pada gambar 10 terlihat perkembangan penyakit yang diawali dengan timbulnya
bercak kuning yang berkembang dengan cepat. Tanda penyakit berupa miselium putih pada permukaan daun terlihat dengan jelas. Bercak kuning yang ditimbulkan
tersebut merupakan gejala nekrotik. Kemudian dilanjutkan dengan kematian jaringan secara cepat. Pada kelompok perlakuan yang terdiri dari 0 tanin, gejala
sudah terlihat pada hari kedua dan kemudian mematikan seluruh jaringan daun dalam 2 hari. Hal ini ditandai dengan gugurnya daun tersebut.
Kelompok pengujian yang tidak dioles dengan kedua isolat juga menunjukkan timbulnya gejala penyakit. Perbedaan dengan kedua kelompok
lainnya adalah waktu timbulnya gejala dan intensitas serangan yang ditimbulkan oleh patogen. Kelompok pengujian yang tidak dioles oleh kedua isolat
menunjukkan perkembangan intensitas penyakit yang sangat lambat dan waktu timbulnya gejala relatif lebih lama daripada kelompok pengujian yang dioles oleh
kedua isolat.
H. Pengaruh Tanin Terhadap Intensitas Serangan