Mekanisme Infeksi dan Identifikasi Dua Isolat Rhizoctonia spp. Penyebab Hawar Daun pada Toona sureni

(1)

MEKANISME INFEKSI DAN IDENTIFIKASI

DUA ISOLAT

Rhizoctonia

spp.

PENYEBAB HAWAR DAUN PADA

Toona sureni

MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis ini yang berjudul:

Mekanisme Infeksi dan Identifikasi Dua Isolat Rhizoctonia spp.

Penyebab Hawar Daun pada Toona sureni

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan dari komisi pembimbing saya, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Desember 2005

Muhammad Alam Firmansyah E05102025.1


(3)

ABSTRACT

Muhammad Alam Firmansyah. The Identification and Infection Mechanism of Two Isolates of Rhizoctonia spp. Causing Leaf Blight on Toona sureni. Under Supervision of Achmad as chairman and Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, and Arief Budi Witarto as member.

The study on the infection mechanism of two isolates of Rhizoctonia spp. that cause leaf blight disease on Toona sureni was conducted to measure the disease intensity and percentage of leaf damages that controlled by tannin. Two

Rhizoctonia spp isolates were identified to know the species. The enzyme activities of both isolates were assayed by DNS and Bernfeld method. Than both isolates were induced on the T. sureni leaves by smearing the pathogen solution which consists of Potato Broth Media and 106/ml pathogen’s hyphae. Tannin solution with concentration of 0,5%, 1%, 2%, 3% and control (water) were sprayed on the leaves surface every two days. The percentage of disease sign on the leaves was measured every two days for one month. This study applied a factorial experimental design. All tannin solution treatments seem to have effects on reducing disease intensity and leaf death percentage. No poisonous impacts on the seedling were observed. The highest tannin concentrations which reduce disease activity were 3% for both isolates. It reduced disease by stopping the fungal enzymatic activity of cellulolitic and pectinolitic. The highest increasing of disease intensity and the percentage of leaf death was found in the control treatment. The worst damage of the leaves was caused by Mamay’s isolate.


(4)

ABSTRAK

Muhammad Alam Fir mansyah. Mekanisme Infeksi dan Identifikasi Dua Isolat

Rhizoctonia spp. Penyebab Hawar Daun pada Toona sureni. dibimbing oleh Achmad, sebagai ketua, Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, dan Arief Budi Witarto sebagai anggota.

Penelitian tentang mekanisme infeksi dua isolat Rhizoctonia spp. yang menyebabkan penyakit hawar daun pada Toona sureni dilakukan dengan menghitung intensitas penyakit dan persentase kerusakan daun yang dapat dikendalikan oleh tanin. Dua isolat Rhizoctonia spp diidentifikasi untuk mengetahui sampai tingkat spesies. Aktivitas enzim kedua isolat kemudian diuji dengan menggunakan metode DNS dan Bernfeld. Kenudian kedua isolat diinokulasi dengan cara dioles pada permukaan daun. Larutan patogen yang dioles mengandung Media Kentang Cair dengan ka ndungan hifa 106/ml. Larutan tannin dengan konsentrasi 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 0% (sebagai kontrol) disemprotkan pada permukaan daun T.sureni setiap dua hari sekali. Persentase tanda penyakit pada permukaan daun kemudian dihitung setiap dua hari sekali selama satu bulan. Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam waktu. Semua perlakuan tanin menunjukkan perbedaan nyata terhadap intensitas penyakit dan berpengaruh terhadap penghambatan intensitas penyakit. Tidak ada efek racun akibat tanin pada persemaian yang diiamati. Konsentarasi tanin terbesar dalam penghambatan penyakit adalah konsentrasi tanin 3% pada perlakuan kedua isolat. Tanin menghambat penyakit dengan cara menghambat aktivitas enzim selulase dan pektinase fungi. Intensitas penyakit terbesar ditemukan pada perlakuan kontrol yang diolesi penyakit. Intensitas terbesar disebabkan Isolat I.


(5)

MEKANISME INFEKSI DAN IDENTIFIKASI

DUA ISOLAT

Rhizoctonia

spp.

PENYEBAB HAWAR DAUN PADA

Toona sureni

MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

JUDUL : Mekanisme Infeksi dan Identifikasi Dua Isolat

Rhizoctonia spp. Penyebab Hawar Daun pada Toona sureni

NAMA : MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH

NRP : E05102025 1.

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Achmad, MS Ketua

Dr. Ir. Bonny Poernomo W.S. MSi Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng.

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc Tanggal Ujian : 28 November 2005 Tanggal Lulus : 28 Desember 2005


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke -khadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Achmad, MS, Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MSi, dan Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng atas kesabaran dan bimbingannya selama ini. 2. Dr. Ir. Abdul Munif, MSc.Agr selaku penguji luar komisi yang telah

memberikan saran dan masukannya.

3. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas donasinya pada penelitian saya.

4. Pimpinan Laboratorium Patologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Ir. Elis Nina Herliyana, MSi, dan Laboratorium Mikologi Proteksi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Dr. Ir. Widodo atas segala dorongan dan bimbingannya selama penelitian.

5. Pak Kosim, bu Yunik, mba Peppy, mba Emi, mba Ika, mba Eliza, Isti, Tyas, Ola, Ayu, Iik, Simon, Deni, Nanang, dan semua anggota lab.mikologi yang telah membantu proses penelitian selama di labarotorium mikologi.

6. Pak Budi, bu Ekowati, mas Hadi, mas Irwan, bu Eni dan bu Rina atas diskusi-diskusi ilmiah dan ”gemblengan” mental selama di LIPI.


(8)

7. Lucy, Anang, Aka, Ope, Lendi, Jenal, Bu Tutin, Litta, Uswah, Ika, Iqbal, Oemar, pak Awan, dan teman-teman LIPI dan Lab Patologi hutan atas persahabatan hangat dan bantuan teknisnya.

8. Pak Fajar Ade Putra, pak Deni, pak Didin, pak Jaenuri, Syarif, Ridwan, dan Agus atas persahabat ”spiritualnya”.

9. Pak Nanang Imam Firdaus, Farid Muliana, dan Abduh, yang telah ”memperlancar” proses analisis data dan ujian akhir.

10. Rekan-rekan mahasiswa jurusan IPK, Ento-fito dan tema n-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penelitian ini.

Semoga tulisan ini menjadi amal sholeh atas pengorbanan ayahanda saya yang saya cintai sampai saya kelak menutup mata , almarhum Abdul Halim Adam yang telah mengorbankan waktu dan tenaganya sampai hembusan nafasnya yang terakhir, ibu yang terus berdo’a, mendorong dan memberi semangat, Bang Agam, dan Mia. Mudah-mudahan Allah membalas dengan kebaikan dan kasih sayangNya .

Penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi yang memerlukan. Penulis berharap saran dan kritikan yang membangun atas segala kekurangan tulisan ini.

Bogor, 12 Desember 2005


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18 November 1979 dari ayah Abdul Halim Adam (alm) dan ibu Pony Rohaya. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai lulusan terbaik Fakultas Kehutanan pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja di Yayasan ILNA sejak tahun 2001 dan bekerja sebagai dosen honorer di IPB sejak tahun 2003.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...

vii

DAFTAR GAMBAR ...

viii

DAFTAR LAMPIRAN...

ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian... 3

Hipotesis... 3

TINJAUAN PUSTAKA Toona sureni Merr. ... 4

Rhizoctonia solani Kuhn ... 5

Siklus Hidup Rhizoctonia solani Kuhn... 6

Mekanisme Serangan Patogen... 7

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan... ... 10

Penyediaan Inokulum Fungi... 10

Identifikasi Fungi... 11

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen... 11


(11)

MEKANISME INFEKSI DAN IDENTIFIKASI

DUA ISOLAT

Rhizoctonia

spp.

PENYEBAB HAWAR DAUN PADA

Toona sureni

MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis ini yang berjudul:

Mekanisme Infeksi dan Identifikasi Dua Isolat Rhizoctonia spp.

Penyebab Hawar Daun pada Toona sureni

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan dari komisi pembimbing saya, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Desember 2005

Muhammad Alam Firmansyah E05102025.1


(13)

ABSTRACT

Muhammad Alam Firmansyah. The Identification and Infection Mechanism of Two Isolates of Rhizoctonia spp. Causing Leaf Blight on Toona sureni. Under Supervision of Achmad as chairman and Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, and Arief Budi Witarto as member.

The study on the infection mechanism of two isolates of Rhizoctonia spp. that cause leaf blight disease on Toona sureni was conducted to measure the disease intensity and percentage of leaf damages that controlled by tannin. Two

Rhizoctonia spp isolates were identified to know the species. The enzyme activities of both isolates were assayed by DNS and Bernfeld method. Than both isolates were induced on the T. sureni leaves by smearing the pathogen solution which consists of Potato Broth Media and 106/ml pathogen’s hyphae. Tannin solution with concentration of 0,5%, 1%, 2%, 3% and control (water) were sprayed on the leaves surface every two days. The percentage of disease sign on the leaves was measured every two days for one month. This study applied a factorial experimental design. All tannin solution treatments seem to have effects on reducing disease intensity and leaf death percentage. No poisonous impacts on the seedling were observed. The highest tannin concentrations which reduce disease activity were 3% for both isolates. It reduced disease by stopping the fungal enzymatic activity of cellulolitic and pectinolitic. The highest increasing of disease intensity and the percentage of leaf death was found in the control treatment. The worst damage of the leaves was caused by Mamay’s isolate.


(14)

ABSTRAK

Muhammad Alam Fir mansyah. Mekanisme Infeksi dan Identifikasi Dua Isolat

Rhizoctonia spp. Penyebab Hawar Daun pada Toona sureni. dibimbing oleh Achmad, sebagai ketua, Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, dan Arief Budi Witarto sebagai anggota.

Penelitian tentang mekanisme infeksi dua isolat Rhizoctonia spp. yang menyebabkan penyakit hawar daun pada Toona sureni dilakukan dengan menghitung intensitas penyakit dan persentase kerusakan daun yang dapat dikendalikan oleh tanin. Dua isolat Rhizoctonia spp diidentifikasi untuk mengetahui sampai tingkat spesies. Aktivitas enzim kedua isolat kemudian diuji dengan menggunakan metode DNS dan Bernfeld. Kenudian kedua isolat diinokulasi dengan cara dioles pada permukaan daun. Larutan patogen yang dioles mengandung Media Kentang Cair dengan ka ndungan hifa 106/ml. Larutan tannin dengan konsentrasi 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 0% (sebagai kontrol) disemprotkan pada permukaan daun T.sureni setiap dua hari sekali. Persentase tanda penyakit pada permukaan daun kemudian dihitung setiap dua hari sekali selama satu bulan. Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam waktu. Semua perlakuan tanin menunjukkan perbedaan nyata terhadap intensitas penyakit dan berpengaruh terhadap penghambatan intensitas penyakit. Tidak ada efek racun akibat tanin pada persemaian yang diiamati. Konsentarasi tanin terbesar dalam penghambatan penyakit adalah konsentrasi tanin 3% pada perlakuan kedua isolat. Tanin menghambat penyakit dengan cara menghambat aktivitas enzim selulase dan pektinase fungi. Intensitas penyakit terbesar ditemukan pada perlakuan kontrol yang diolesi penyakit. Intensitas terbesar disebabkan Isolat I.


(15)

MEKANISME INFEKSI DAN IDENTIFIKASI

DUA ISOLAT

Rhizoctonia

spp.

PENYEBAB HAWAR DAUN PADA

Toona sureni

MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

JUDUL : Mekanisme Infeksi dan Identifikasi Dua Isolat

Rhizoctonia spp. Penyebab Hawar Daun pada Toona sureni

NAMA : MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH

NRP : E05102025 1.

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Achmad, MS Ketua

Dr. Ir. Bonny Poernomo W.S. MSi Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng.

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc Tanggal Ujian : 28 November 2005 Tanggal Lulus : 28 Desember 2005


(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke -khadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Achmad, MS, Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MSi, dan Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng atas kesabaran dan bimbingannya selama ini. 2. Dr. Ir. Abdul Munif, MSc.Agr selaku penguji luar komisi yang telah

memberikan saran dan masukannya.

3. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas donasinya pada penelitian saya.

4. Pimpinan Laboratorium Patologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Ir. Elis Nina Herliyana, MSi, dan Laboratorium Mikologi Proteksi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Dr. Ir. Widodo atas segala dorongan dan bimbingannya selama penelitian.

5. Pak Kosim, bu Yunik, mba Peppy, mba Emi, mba Ika, mba Eliza, Isti, Tyas, Ola, Ayu, Iik, Simon, Deni, Nanang, dan semua anggota lab.mikologi yang telah membantu proses penelitian selama di labarotorium mikologi.

6. Pak Budi, bu Ekowati, mas Hadi, mas Irwan, bu Eni dan bu Rina atas diskusi-diskusi ilmiah dan ”gemblengan” mental selama di LIPI.


(18)

7. Lucy, Anang, Aka, Ope, Lendi, Jenal, Bu Tutin, Litta, Uswah, Ika, Iqbal, Oemar, pak Awan, dan teman-teman LIPI dan Lab Patologi hutan atas persahabatan hangat dan bantuan teknisnya.

8. Pak Fajar Ade Putra, pak Deni, pak Didin, pak Jaenuri, Syarif, Ridwan, dan Agus atas persahabat ”spiritualnya”.

9. Pak Nanang Imam Firdaus, Farid Muliana, dan Abduh, yang telah ”memperlancar” proses analisis data dan ujian akhir.

10. Rekan-rekan mahasiswa jurusan IPK, Ento-fito dan tema n-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penelitian ini.

Semoga tulisan ini menjadi amal sholeh atas pengorbanan ayahanda saya yang saya cintai sampai saya kelak menutup mata , almarhum Abdul Halim Adam yang telah mengorbankan waktu dan tenaganya sampai hembusan nafasnya yang terakhir, ibu yang terus berdo’a, mendorong dan memberi semangat, Bang Agam, dan Mia. Mudah-mudahan Allah membalas dengan kebaikan dan kasih sayangNya .

Penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi yang memerlukan. Penulis berharap saran dan kritikan yang membangun atas segala kekurangan tulisan ini.

Bogor, 12 Desember 2005


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18 November 1979 dari ayah Abdul Halim Adam (alm) dan ibu Pony Rohaya. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai lulusan terbaik Fakultas Kehutanan pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja di Yayasan ILNA sejak tahun 2001 dan bekerja sebagai dosen honorer di IPB sejak tahun 2003.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...

vii

DAFTAR GAMBAR ...

viii

DAFTAR LAMPIRAN...

ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian... 3

Hipotesis... 3

TINJAUAN PUSTAKA Toona sureni Merr. ... 4

Rhizoctonia solani Kuhn ... 5

Siklus Hidup Rhizoctonia solani Kuhn... 6

Mekanisme Serangan Patogen... 7

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan... ... 10

Penyediaan Inokulum Fungi... 10

Identifikasi Fungi... 11

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen... 11


(21)

Uji Mekanisme Infeksi Secara Umum... 13

HASIL PENELITIAN Identifikasi Penyebab Penyakit... 17

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen... 19

Optimasi Enzim... 20

Uji Mekanisme Infeksi... 23

PEMBAHASAN Identifikasi Penyebab Penyakit... 31

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen... 32

Uji Mekanisme Infeksi... 33

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... 37

Saran... 37

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(22)

DAFTAR TABEL

No. Uraian Halaman

1. Katagori Tingkat Infeksi ... 14 2. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok

Perlakuan Tanpa Olesan Isolat Patogen Pada Berbagai Konsentrasi

Tanin... 25 3. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok

Perlakuan Olesan Isolat I Patogen Pada Berbagai Konsentrasi

Tanin... 26 4. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok

Perlakuan Olesan Isolat II Patogen Pada Berbagai Konsentrasi

Tanin... 28 5. Sidik Ragam Pengaruh Inokulasi (A), Konsentrasi Tanin (B), Waktu

(C), Interaksi A&B, Interaksi A&C, Interaksi B&C, Interaksi Ketiganya (ABC), Serta Interaksi Ketiganya dengan Ulangan Terhadap Intensitas Serangan Penyakit Hawar Daun pada Akhir


(23)

DAFTAR GAMBAR

No. Uraian Halaman

1 Perkembangan Miselia Isolat I. A. minggu ke -1;

B. minggu ke-3... ... 17 2 Perkembangan Miselia Isolat II. Minggu ke -1 ... 18 3 Hifa Patogen Di bawah Mikroskop dengan Perbesaran 1000x.

Anak Panah Hijau Menunjukkan Sel Monilloid, Anak

Panah Merah Menunjukkan Penggentingan pada Percabangan,

dan Anak Panah Hitam Menunjukkan Dinding Sel... 18 4 Aktivitas selulase (mmol/ml/jam)... 19 5 Aktivitas pektinase (mmol/ml/jam) ... 20 6 Profil Pertumbuhan Fungi pada Media Pektin dan CMC,

A. Media Pektin yang Tidak Ditumbuhi Fungi; B. Media Pektin yang Ditumbuhi Fungi, Zona Bening (Tanda panah) Menunjukkan Terjadinya Degradasi Pektin Karena

Aktivitas Enzim Pektinase; C. Media CMC yang Ditumbuhi

Fungi; D. Media CMC yang Tidak Ditumbuhi Fungi ... 21 7 Aktivitas selulase pada pH yang berbeda ... 22 8 Aktivitas pektinase pada pH yang berbeda... 23 9 Rumah Benih dan Benih Suren... 23 10 Gejala yang Ditimbulkan pada Daun Suren yang Dioleskan

Isolat (Ditandai dengan Panah Putih). Tanda Berupa Hifa

Putih (Panah Merah) ... 24 11 Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan

Tanpa Olesan Isolat Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin ... 26 12 Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan

Olesan Isolat I Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin ... 27 13 Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan

Olesan Isolat II Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin ... 28 14 Pertumbuhan R. solani pada Tanin dengan Berbagai

Konsentrasi; A. 0%; B.0,1%; C.0,3%; D.0,5%; E. 1%; F. 2%;


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Uraian Halaman

1. Komposisi Media PDA dan Pektin (per liter) ... 41 2. Prosedur Uji Aktivitas Selulase... 41 3. Pengujian Aktivitas Poligalakturonase... 42 4. Hasil Olah Data dengan SAS ... 43


(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tumbuhan suren (Toona sureni Merr.) merupakan tumbuhan serbaguna dan memiliki potensi sosial ekonomi yang tinggi, serta memiliki kualitas kayu yang cukup baik, tahan lama, cepat tumbuh, dan pengerjaan yang mudah, dengan daur yang ditentukan selama 25 – 30 tahun. Kayu yang dihasilkan dipakai untuk bahan baku meubel, ukir-ukiran, papan hias, lantai kayu, tong minyak, kotak rokok, pensil, beberapa alat musik (Edmonds, 1993). Selain itu Heyne (1987) menyatakan bahwa jenis tumbuhan ini digunakan antara lain untuk kayu pertukangan. Manfaat lain di setiap daerah cukup beragam. Di Jawa dan Bali, kayu suren dikerjakan untuk membuat peti-peti, kotak, lemari pakaian, dan meja tulis ka rena memiliki warna yang menarik, yaitu warna kemerah-merahan dan berurat indah, serta berbau harum. Khusus di Semarang, kayu suren ini dipakai untuk kotak cerutu. Di Sumatera Barat banyak digunakan untuk pembuatan perahu dan papan. Di Ambon dimanfaatkan untuk kayu penyangga di bawah atap. Manfaat lainnya yang dapat diambil dari suren adalah sebagai obat tradisional. Obat-obatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan disentri, demam, obat pengelat (obat kuat), dan penyakit perut lainnya. Dengan semua manfaat tersebut, jenis ini disarankan ditanam pada pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Keberhasilan program pembangunan HTI tergantung pada beberapa faktor, di antaranya adalah penyediaan benih yang sehat dalam jumlah yang cukup. Namun dalam penyediaan benih ini ada beberapa hambatan yang perlu


(26)

diperhatikan, khususnya masalah penyakit tumbuhan. Salah satu penyakit tumbuhan pada suren adalah penyakit hawar daun.

Serangan patogen terutama terhadap daun dapat menyebabkan terganggunya fungsi fisiologis dari tumbuhan terutama pada fase semai dan serangan lebih lanjut dapat menyebabkan kematian. Serangan yang tidak terlalu parah dapat menyebabkan penurunan kualitas kayu atau terhambatnya pertumbuhan (Achmad, 1991).

Mekanisme penyerangan patogen penting untuk dikaji karena dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi kondisi lingkungan persemaian sehingga dapat meningkatkan ketahanan tanaman. Menurut Agrios (1997), patogen menyerang inang dengan melibatkan beberapa mekanisme, seperti tekanan mekanik, senjata kimia yang dapat berupa enzim atau toksin, atau zat pengatur tumbuh. Selanjutnya Agrios (1997) mengemukakan keterlibatan enzim-enzim pektolitik, selulolitik, dan proteolitik dalam proses infeksi penyakit daun. Kemudian gejala yang terjadi adalah terjadinya luka yang terlokalisasi pada daun inang yang menyebabkan kematian dan kerusakan sel jaringan.

Perolehan informasi tentang jenis patogen yang menyerang daun benih suren, jenis serta karakteristik enzim yang dikeluarkannya merupakan langkah awal yang dilakukan untuk mengenali karakter penyakit ini.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sampai tingkat spesies patogen hawar daun yang menyerang benih suren, menguji jenis enzim yang dikeluarkannya, mengetahui aktivitas dan karakter enzim yang dikeluarkannya, serta mekanisme umum infeksi patogen tersebut.


(27)

Manfaat Penelitian

Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk menyusun strategi pengelolaan penyakit hawar daun benih suren di persemaian. Selain itu uji enzim yang dilakukan diharapkan mendapatkan informasi jenis dan sifat enzim yang dikeluarkan oleh patogen.

Hipotesis

1. Patogen yang menyerang suren merupakan jenis Rhizoctonia solani. 2. Fungi patogen menghasilkan enzim selulolitik dan pektolitik sebagai


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Toona sureni Merr.

Suren (Toona sureni Merr.) termasuk dalam famili Meliaceae. Jenis ini dikenal dengan nama perdagangan suren. Suren terdapat hampir di seluruh daerah pulau Jawa dan Bali. Penyebaran jenis ini juga terdapat di Sumatera Barat dan Ambon (Heyne, 1987). Di penjuru dunia, penyebaran alami jenis ini selain di Indonesia terdapat juga di regional Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti di Srilanka, India, Myanmar, Malaysia, Laos, Pakistan, Nepal, dan Philipina. Selain itu juga terdapat di bagian Timur Australia dan di daerah Pasifik yaitu di Hawaii (Edmonds, 1993).

Suren berbentuk pohon dengan ukuran sedang sampai besar dan mencapai tinggi 40 – 60 meter dan di daerah pegunungan diameternya sampai 300 cm, berbatang besar dan berbanir pada bagian bawahnya. Kulit batangnya beralur dangkal, berwarna abu-abu tua sampai abu-abu kecoklatan, berbau seperti kayu cendana. Batangnya mengeluarkan getah yang tidak berbau. Tajuknya lebar, lebat dan agak gepeng setengah kerucut. Perakarannya bercabang dan terdapat dekat permukaan tanah. Biji bersayap pada kedua sisinya (Sutarno, 1996).

Prosea (1997) menyatakan berat jenis rata-rata tanaman ini adalah 0,39 (0,27 – 0,67), dengan kelas awet IV/V, serta kelas kuat IV. Teras kayu berwarna merah pucat sampai coklat merah, lambat laun menjadi warna coklat merah tua dan mudah dibedakan dengan kayu gubal yang berwarna putih kelabu atau kemerah-merahan. Teksturnya agak kasar dan tidak rata, permukaannya mengkilap, kekerasan lunak sampai agak keras, serta memiliki riap tumbuh yang jelas.


(29)

Jumlah biji suren 64.000 – 468.000/kg biji. Perkecambahan suren 45% dari biji yang disimpan selama 3 bulan. Viabilitas biji biasanya tahan hanya selama 2 – 3 bulan. Perbanyakan berakar 60% pada suren yang berumur 2 – 4 tahun dari stek batang yang dirangsang dengan indolebutyric acid (IBA). Di alam suren memperbanyak diri dengan bijinya ynag bersayap dan disebarkan oleh angin. Karena bijinya halus, maka penanaman langsung tidak dianjurka n karena kemungkinan besar bijinya akan hanyut sehingga perlu disemaikan terlebih dahulu (Sutarno, 1996).

Rhizoctonia solani Kuhn

Morfologi hifa vegetatif merupakan dasar dalam identifikasi R. solani. Cara identifikasi yang dilakukan sebelum tahun 1970 ini kurang teliti karena banyak fungi yang mirip dengan fungi ini dianggap R. solani. Semula fungi ini dimasukkan ke dalam kelas Deuteromycetes dengan ordo Agonomycetales, tetapi hasil penelitian yang terakhir menunjukkan bahwa R. solani merupakan stadium “imperfect” fungi Thanatephorus cucumeris (Frank) Donk sehingga masuk ke dalam kelas Basidiomycetes dengan ordo Tulasnellales dan famili Ceratobasidiaceae (Alexopoulos dan Mims, 1979).

Alexopoulos dan Mims (1979) mengemukakan beberapa ciri khas R.

solani sebagai berikut: Miselium tumbuhnya relatif cepat dan percabangan terjadi dekat dengan sel-sel hifa yang bersepta (bersekat), hifanya berwarna coklat muda sampai tua. Cabang hifa terjadi pada bagian ujung sel hifa (normal). Menghasilkan gumpalan massa hifa yang mengeras yang dinamakan sklerotium yang ukuran dan bentuk serta teksturnya hampir seragam dan berdiameter kurang dari 1 mm. R. solani Menghasilkan sel-sel moniloid dan bersifat patogenik


(30)

terhadap banyak spesies tumbuhan. Stadium “perfect” berupa fungi T. cucumeris yang termasuk kelas Basidiomycetes. Memiliki sel yang berinti banyak pada hifa yang aktif.

Menurut Ogoshi (1975) ciri khas R. solani yang berdiameter hifa vegetatif 8 – 12 mikrometer; percabangan tegak lurus; pada hifa dewasa mempunyai suatu stadium perfek yaitu T. cucumeris (Frank) Donk.

Menurut Agrios (1997) fungi ini mempunyai dua macam siklus hidup, yaitu siklus hidup pada tingkat “imperfect” dan tingkat “perfect”. Pada tingkat “imperfect” R. solani hanya membentuk miselia steril, sedangka n pada tingkat perfect yaitu T. cucumeris menghasilkan basidiospora yang dibentuk dalam basidium.

Siklus Hidup Rhizoctonia solani Kuhn

R. solani dikenal sebagai patogen yang dapat bertahan hidup di dalam tanah dalam bentuk sklerotium atau miselium dorman. Dapat juga bertahan hidup pada biji dan umbi. Dengan demikian R. solani merupakan patogen yang bersifat tular tanah dan tular benih (Walker, 1975). Sklerotium R. solani merupakan tubuh istirahat yang unsur hifanya jelas terlihat, jaringannya berupa prosenkima dengan unsur hifa yang longgar. Lamanya sklerotium bertahan hidup di dalam tanah bervariasi, bergantung pada keadaan tanahnya. Chao et al. (1986) mengemukakan, bahwa sklerotium dapat bertahan hidup pada tanah kering selama 21 bulan sedang pada tanah basah selama 130 bulan.

Fungi bersifat patogenik apabila suhu tanah rendah dan virulensinya berkurang dengan meningkatnya suhu. Suhu optimum untuk terjadinya penyakit


(31)

pada kentang, buncis, kapas, dan kubis berturut -turut adalah 18oC, 17 – 23oC, dan

23oC (Walker, 1975; Chao, 1986).

Anastomosis merupakan salah satu dari tiga bentuk mekanisme rekombinasi variasi formasi (Heterokaryon) pada R. solani selain reproduksi binukleat dan mutasi. Adanya variasi adalah untuk dapat memperpanjang daya tahan hidup. Anastomosis merupakan salah satu cara reproduksi aseksual yaitu terjadinya fusi antara hifa yang bersentuhan yang kompatibel atau peleburan antara hifa untuk membentuk reproduksi. Terjadi hanya diantara isolat R. solani

yang sama dalam satu kelompok anastomosis (Agrios, 1997; Hawksworth et al., 1983). Bruehl (1987) selanjutnya menyatakan bahwa antara isolat yang berbeda kelompok anastomosisnya selain tidak akan terjadi anastomosis juga tidak akan terjadi pertukaran genetik.

Kondisi hifa R. solani yang bersifat multinukleat memberikan kemungkinan terbentuknya heterokariosis. Hal inilah yang mengakibatkan fungi ini mempunyai keragaman genetik yang sangat besar. Variabilitas yang besar berkaitan erat dengan patogenitas, daya tahan dalam tanah, juga ekobiologi fungi tersebut.

Mekanisme Serangan Patogen

Patogen menyerang inang dengan melibatkan beberapa me kanisme. Mekanisme serangan patogen biotrof atau nekrotrof, mencakup kekuatan mekanik atau senjata struktural, enzim, toksin, zat pengatur tumbuh, keseimbangan metabolik, materi genetik, serta lingkungan ionik dan pH (Williams, 1979). Kekuatan mekanik atau senjata struktural terutama digunakan oleh patogen yang dalam proses infeksinya perlu menembus permukaan utuh inang (Brown, 1980).


(32)

Enzim-enzim hidrolitik yang menghidrolisis pektin, selulosa, lemak, dan protein menjadi monomernya, berperan dalam patogenesis. Fungi patogen nekrotrof sering mensekresikan enzim ekstraseluler yang mencukupi untuk memaserasi jaringan pada stadia infeksi lanjut. Di antara enzim hidrolitik, pektinase merupakan enzim yang dihasilkan oleh hampir seluruh fungi nekrotrof. Enzim ini memegang peranan penting dalam maserasi jaringan pada panyakit yang disertai gejala busuk lunak (Williams, 1979).

Aktivitas suatu enzim hidrolitik sering didukung oleh beberapa enzim. Sebagai contoh, glukanase, glukan-selobiohidrolase (CBH), dan β-glukosidase (β -G) merupakan senzim-enzim yang berperan dalam degradasi selulosa. Glukanase sendiri terdiri atas eksoglukanase dan endoglukanase (EG). Enzim-enzim pektin metil esterase (PME), poligalakturonase (PG), pektin metil galaktorunase (PMG), pektin transeliminase (PTE) dan ‘pectic acid’ transeliminase (PATE) merupakan pendukung aktivitas pektolitik (Goodman dkk 1986; Dahm dan Strzelczyk, 1987).

Pada kasus yang melibatkan patogen biotrof, jaringan terinfeksi sering menjadi ‘sink’ metabolit yang mengubah arah pergerakan fotosintat dari bagian lain ke jaringan yang terinfeksi tersebut. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan metabolit akibat infeksi patogen (Williams, 1979).

Pada jaringan tempat terjadinya patogenesis, aspek lingkungan yang penting pada tempat terjadinya interaksi patogen – inang tersebut adalah kondisi ionik medium untuk berlangsungnya proses molekuler dalam patogenesis. Dera jat keasaman (pH) medium beserta karakteristik ioniknya merupakan hal penting


(33)

yang menentukan efektivitas aktivitas enzim, toksin, atau ZPT, yang selanjutnya mempengaruhi keberlangsungan proses infeksi (Williams, 1979).


(34)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Kehutanan PAU IPB, Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tumbuhan IPB, dan Laboratorium LIPI Bioteknologi. Penelitian berlangsung dari Januari 2004 sampai Maret 2005.

Penyediaan Inokulum Fungi

Fungi patogen diperoleh melalui isolasi dari inang yang terinfeksi penyakit daun. Inang yang terinfeksi berasal dari persemaian Pokpolandak milik Perum Perhutani di Cianjur. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali pengambilan sehingga didapat dua isolat patogen. Pengambilan pertama dilakukan pada bulan Maret 2003, sementara pengambilan kedua dilakukan pada bulan Mei 2004.

Patogen diisolasi dari jaringan daun benih suren yang menunjukkan gejala penyakit daun. Daun yang menunjukkan gejala penyakit dipotong persegi ukuran 0,5 x 0,5 cm meliputi bagian sakit dan sehat. Potongan tersebut dibersihkan dengan larutan natrium hipoklorit 1 % lalu dibilas tiga kali dengan air steril kemudian dikeringkan dengan kertas saring steril. Kemudian dibiakkan di dalam media PDA (Patato Dextrose Agar). Patogen yang telah tumbuh dalam beberapa hari dimurnikan kembali dengan media MA (Martin Agar). Patogen yang telah tumbuh dalam beberapa hari dimurnikan kembali di dalam media PDA.


(35)

Identifikasi Fungi

Fungi patogen yang telah tumbuh dalam beberapa hari dimurnikan kembali dan diidentifikasi. Identifikasi fisiologi fungi dilakukan dengan menggunakan buku kunci Barnet dan Ogoshi dan Sneh (1991). Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 200x – 1000x. Sebelum diidentifikasi, fungi terlebih dahulu diwarnai dengan 2 jenis pewarna, yaitu larutan laktofenol blue dan Safranin O.

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen

Enzim merupakan salah satu senjata patogen untuk menyerang jaringan tumbuhan inang. Enzim penghidrolisis selulosa dan pektin diketahui penting perannya dalam patogenesis tumbuhan.

Pada penelitian ini dianalisis aktivitas enzim-enzim selulolitik, yang diwakili oleh aktivitas FP -ase (Filter Paper-ase) atau selulase-C1, dan pektolitik, yaitu aktivitas poligalakturonase, isolat patogen. Glukosa dan asam galakturonat monohidrat berturut-turut digunakan sebagai standar pada penentuan aktivitas selulase-C1 dan poligalakturonase. Prosedur ekstrasi dan pengukuran aktivitas enzim selulolitik dan pektolitik selengkapnya berturut-turut disajikan pada Tabel Lampiran 2 dan 3.

Uji lain untuk mendeteksi produksi pektinase fungi patogen dilakukan dengan menumbuhkan kedua jenis fungi tersebut pada media pektin (Atlas, 1993) dan diinkubasi selama 10 hari. Produksi pektinase ditandai antara lain oleh berubahnya warna media dari hijau kecoklatan menjadi merah.


(36)

Optimasi Enzim

Metode yang digunakan untuk mengetahui nilai optimal kerja enzim umumnya terdiri dari tahapan-tahapan : A) ekstraksi, B) pengendapan, C) karakterisasi enzim secara umum.

A. Ekstraksi

Patogen ditumbuhkan pada media cair yang terdiri dari unsur-unsur selulosa (CMC) dan pektin. Sebagai kontrol dan perbandingan digunakan media PDB dan MEB. Enzim yang diektraksi bersifat ekstraseluler sehingga setelah 10 hari, enzim diektraksi dengan cara memisahkan media dan patogen.

i. Presipitasi

Presipitasi atau pengendapan merupakan proses awal dalam pemurnian enzim. Proses ini selain bertujuan untuk memekatkan enzim juga bertujuan unt uk fraksinasi komponen protein enzim berdasarkan sifat-sifat ioniknya. Untuk memisahkan partikel non enzim (contoh : media) dengan enzim maka larutan tiap sampel ditambahkan dengan garam yang dalam percobaan ini menggunakan amonium sulfat. Setiap sampel ada kandungan 20%, 40%, 60% dan 80% amonium sulfat yang dilarutkan. Kemudian masing-masing sampel dengan berbagai tingkatan konsentrasi amonium sulfat disentrifugasi 12.000 rpm selama 15 menit. Setelah disentrifugasi, maka akan terlihat dua jenis zat yang terpisah dalam bentuk pelet (padat) dan supernatan (cair). Keduanya dipisahkan. Bentuk padat (pelet) dicampur dengan 10 mM buffer fosfat sebanyak 1 ml dalam eppendorf.


(37)

C. Karakterisasi Enzim

Karakterisasi dilakukan dengan memberikan perlakuan-perlakuan tertentu dari pekatan enzim. Perlakuan-perlakuan tersebut dilakukan supaya mengetahui sifat-sifat enzim yang akan dikarakterisasi. Perlakuan-perlakuan tersebut antara lain adalah pH dan suhu.

Uji Mekanisme Infeksi Secara Umum

Percobaan disusun dalam rancanga n acak lengkap dengan ulangan masing-masing perlakuan sebanyak 4 kali. Satuan percobaannya adalah satu benih suren yang masing-masing ditanam pada satu wadah tanam. Jumlah dari keseluruhan satuan percobaan adalah 60 benih. Benih tersebut dibagi menjadi tig a kelompok perlakuan yaitu perlakuan dengan isolat I, perlakuan isolat II dan perlakuan tanpa isolat. Masing-masing kelompok tersebut dilakukan pengujian penyemprotan tanin dengan 5 taraf yaitu 0%, 0,5%, 1%, 2%, dan 3%. Fungsi tanin sebagai zat inhibitor dari enzim selulase dan pektinase. Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut :

A. Pembiakan Inokulum.

Biakan murni fungi kembali dibiakkan di dalam media PDB (Patato Dextrose Broth). Selama 5 hari biakan diinkubasi pada suhu ruang dan dishaker dengan kecepatan 150 rpm.

B. Penghitungan Kepadatan Hifa.

Setelah 5 hari, kepadatan hifa fungi dihitung dengan metode Haemacytometer. Setelah nilai kepadatan didapat, biakan diencerkan sampai kepadatannya mencapai 106/ml biakan. Kemudian larutan siap dioleskan pada permukaan daun.


(38)

C. Inokulasi Biakan.

Fungi diinokulasi pada daun benih sehat dengan cara dioleskan dengan menggunakan kuas pada setiap daun pada pukul 20.00. Sebelum dioleskan biakan fungi, daun suren sehat disemprot terlebih dahulu dengan larutan tanin pada berbagai taraf. Penyemprotan ini terus dilakukan setelah dioleskan selama satu bulan setiap 2 hari sekali.

Unit perlakuan ditempatkan pada bedeng yang sama dengan ukuran 3 x 6 m dan diberi atap plastik yang dilapisi dengan paranet dengan intensitas cahaya 65%.

D. Pengamatan Gejala Penyakit.

Gejala serangan yang diamati meliputi beberapa peubah yaitu waktu awal terbentuknya hawar sebagai awal terjadinya infeksi dan jumlah daun yang terserang.

Perhitungan intensitas serangan penyakit dengan menggunakan kategori infeksi menurut Unterstenhfer (1976) yaitu seperti terlihat pada Tabel I. Tabel 1. Kategori Tingkat Infeksi (Unterstenhöfer, 1976)

Skoring Keterangan

0 Tidak ada infeksi

1 > 0 – 1/8 dari jumlah anak daun terserang penyakit hawar daun 2 > 1/8 – ¼ dari jumlah anak daun terserang penyakit hawar daun 3 > ¼ – ½ dari jumlah anak daun terserang penyakit hawar daun 4 > ½ – ¾ dari jumlah anak daun terserang penyakit hawar daun 5 > ¾ dari jumlah anak daun terserang penyakit hawar daun


(39)

%

100

.

)

.

(

×

=

Z

N

v

n

P

Berdasarkan hasil pengelompokkan dengan cara di atas, dihitung intensitas serangan penyakit hawar daun menurut Townsend dan Heuberger (1943) dalam Unterstenhfer (1976) dengan rumus berikut :

P = Intensitas serangan (%)

n = Jumlah daun untuk setiap katagori v = Nilai numerik katagoris serangan N = Jumlah daun yang diamati

Z = Nilai numerik untuk kategori tertinggi

E. Pengukuran Suhu dan Kelembaban.

Pengukuran suhu dan kelembaban pada bedeng dilakukan setiap hari pada pagi hari (pukul 06.00 – 07.00 WIB), siang (pukul 12.00 – 13.00 WIB) dan sore (pukul 19.00 – 20.00 WIB) dengan menggunakan higrotermometer.

F. Analisis Data.

Analisis statistik untuk penelitian ini menggunakan rancangan faktorial dalam waktu dengan rancangan lingkungan rancangan acak lengkap. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), model yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan :

= Nilai respon (Intensitas serangan / daun yang mati) pada faktor Isolat taraf ke-i, faktor Tanin taraf ke-j, ulangan ke -k dan waktu pengamatan ke-l

= Rataan Umum

ijkl ijl jl il kl l ijk ij j i ijkl

Y

=

µ

+

α

+

β

+

αβ

+

δ

+

ω

+

γ

+

αω

+

βω

+

αβω

+

ε

ijkl

Y


(40)

= Pengaruh faktor Isolat taraf ke -i = Pengaruh faktor Tanin taraf ke -j

= Pengaruh interaksi faktor Isolat taraf ke-I dengan faktor Tanin taraf ke-j

= Komponen acak perlakuan = Pengaruh waktu pengamatan ke-l = Komponen acak waktu pengamatan

= Pengaruh interaksi faktor Isolat taraf ke -i dengan waktu pengamatan ke-l

= Pengaruh interaksi faktor Tanin taraf ke -j dengan waktu pengamatan ke-l

= Penga ruh interaksi faktor Isolat taraf ke -i, faktor Tanin taraf ke-j, dengan waktu pengamatan ke-l

= Komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan

Selanjutnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan sidik ragam dan kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.

Untuk memperjelas faktor pengaruh perlakuan baik isolat, tanin, dan waktu terhadap intensitas penyakit, data kemudian diolah dengan menggunakan metode penyesuaian kurva kuadrat terkecil (least square curve fitting method) dengan mempertiumbangkan koefisiensi determinasi (r2) terbesar (Mattjik and Sumertajaya, 2002).

i α j β ij αβ ijk δ l ω kl γ il αω jl βω ijl αβω ijkl ε


(41)

HASIL PENELITIAN

Identifikasi Penyebab Penyakit.

Hasil pengamatan secara makroskopis maupun mikroskopis terhadap kedua isolat patogen dari daun suren yang terserang penyakit, menunjukkan kalau keduanya berupa koloni yang terdiri dari serabut benang tipis. Serabut benang tipis tersebut adalah kumpulan miselia yang disebut miselium. Pada isolat I terlihat gumpalan kecil putih pada hari ke-3. Kemudian gumpalan-gumpalan tersebut berubah menjadi berwarna coklat dan menyebar tidak merata di permukaan miselium. Sementara isolat II tidak terlihat adanya gumpalan-gumpalan tersebut. Gambar 1 dan 2 memperjelas pengamatan secara makroskopis.

Gambar 1. Perkembangan Miselia Isolat I. A. minggu ke-1; B. minggu ke -3 Pada Gambar 1 (miselium isolat I minggu ke-1) miselium berupa gumpalan-gumpalan coklat kehitaman sudah terbentuk. Gumpalan-gumpalan-gumpalan tersebut kemudian berkembang lebih banyak dan tersebar merata di seluruh permukaan miselium. Miselium yang berwarna putih pada minggu ke -1 kemudian berubah warnanya menjadi lebih coklat pada minggu ke-3.


(42)

Gambar 2. Perkembangan Miselia Isolat II. Minggu ke-1

Miselium isolat II (Gambar 2) pada minggu ke-1 tidak membentuk gumpala n-gumpalan seperti isolat I.

Secara Mikroskopis (Gambar 3), kedua isolat fungi ini memiliki ciri-ciri antara lain percabangan hifa yang tampak tegak lurus, memiliki sekat (septa), tidak terdapat spora atau konidia serta tidak ditemukannya sambungan apit (clamp connection). Selain itu ditemukan juga sel monilloid dengan perbandingan diameter : panjang, 1:1. Diameter hifa kedua isolat 3 – 17 µm dengan panjang sel 50 – 250 µm.

Gambar 3. Hifa Patogen Isolat II (kiri) dan Isolat I (kanan) Di bawah Mikr oskop dengan Perbesaran 1000x. Panah Hijau Menunjukkan Sel Monilloid, Panah Merah Menunjukkan Penggentingan pada Percabangan, dan Panah Hitam Menunjukkan Dinding Sel.

10 µ m


(43)

Aktivitas Selulase

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

20 40 60 80

% Amonium Sulfat

mmol/ml

Pelet

Spr natan

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan fungi pada daun suren menunjukkan adanya aktivitas selulase. Hal ini terbukti dengan terdeteksinya glukosa. Glukosa terlihat pada yang pelet diuji dengan metode filter paper-ase (FP-ase). Sebelum diuji, pelet diencerkan dengan 10 mM buffer fosfat da n didialisis.

Enzim merupakan salah satu senjata patogen untuk menyerang jaringan tumbuhan inang. Enzim penghidrolisis selulosa dan pektin diketahui penting perannya dalam patogenesis tumbuhan. Hasil lengkap pengujian FP -ase dengan kadar ammonium sulfat yang berbeda ditunjukkan pada gambar berikut ini :

Gambar 4. Aktivitas selulase (mmol/ml/jam)

Gambar 4 menunjukkan aktivitas selulase pada berbagai konsentrasi ammonium sulfat. Aktivitas selulase terbesar pada pelet terlihat pada konsentrasi ammonium sulfat 80%. Sementara aktivitas selulase terbesar pada supernatan terlihat pada konsentrasi ammonium sulfat 20 – 40%. Hal ini menunjukkan terjadinya pengendapan enzim pada pelet ketika konsentrasi ammonium sulfat sebesar 80%.


(44)

Uji Aktivitas Pektinase 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300

20 40 60 80

% Amonium Sulfat

mmol/ml

Spr natan

Pellet

Sementara hasil lengkap pengujian aktivitas pektinase dengan kadar ammonium sulfat yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Aktivitas pektinase (mmol/ml/jam)

Aktivitas pektinase terbesar pada pelet terlihat pada konsentrasi ammonium sulfat 80%. Sementara aktivitas pektinase terbesar pada supernatan terlihat pada konsentrasi ammonium sulfat 20%. Hal ini menunjukkan terjadinya pengendapan enzim pada pelet ketika konsentrasi ammonium sulfat sebesar 80%. Selanjutnya untuk memisahkan enzim dengan media, dilakukan dengan mengendapkannya pada konsentrasi ammonium sulfat 80%.

Optimasi Enzim B. Ekstraksi

Patogen ditumbuhkan pada media CMC dan pektin. Setelah 10 hari, pertumbuhan patogen membentuk kumpulan miselia yang padat sehingga terbentuk lapisan tersendiri. Selain itu pada media pektin terbentuk lapisan yang berbeda warna sehingga ada lapisan yang terlihat transparan.


(45)

Enzim diektraksi dengan cara memisahkan media dan patogen. Profil gambar pertumbuhan patogen pada media tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

A B C D

Gambar 6. Profil Pertumbuhan Fungi pada Media Pektin dan CMC, A. Media Pektin yang Tidak Ditumbuhi Fungi; B. Media Pektin yang Ditumbuhi Fungi, Zona Bening (Tanda panah) Menunjukkan Terjadinya Degradasi Pektin Karena Aktivitas Enzim Pektinase; C. Media CMC yang Ditumbuhi Fungi; D. Media CMC yang Tidak Ditumbuhi Fungi. Gambar 6 menunjukkan profil perkembangan fungi pada media pektin dan media yang mengandung CMC disertai perbandingannya pada media pektin dan media yang mengandung CMC yang tidak ditumbuhi fungi. Bagian A adalah media pektin yang tidak ditumbuhi fungi, sementara B adalah media pektin yang ditumbuhi fungi. Terlihat zona transparan pada media pektin yang ditumbuhi fungi menandakan terjadinya degradasi pektin. Bagian C adalah media yang mengandung CMC yang ditumbuhi fungi sementara bagian D tidak ditumbuhi fungi.


(46)

Aktifitas Selulase

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2 3 4 5 6 7 8 9

pH

mmol/ml

i. Presipitasi

Presipitasi atau pengendapan enzim dengan menggunakan amonium sulfat telah dijelaskan. Pada penjelasan tersebut terlihat bahwa aktivitas enzim terbesar terlihat pada konsentrasi amonium sulfat 80% untuk kedua jenis enzim.

D. Karakterisasi Enzim

Karakterisasi enzim dilakuan dengan cara menguji aktivitas enzim pada berbagai tingkat pH. Pengujian didahului dengan melakukan pengendapan enzim dengan amonium sulfat 80%. Hasil yang didapat dari optimasi enzim selulase pada beberapa tingkatan pH disajikan Gambar 7 sebagai berikut:

Gambar 7. Aktivitas selulase pada pH yang berbeda

Pada gambar tersebut terlihat aktivitas enzim selulase terus meningkat sampai kisaran pH 5. Aktivitas selulase kemudian menurun setelah melawati kisaran pH 5. Sedangkan hasil pengujian enzim pektinase pada beberapa tingkat keasaman (pH) menunjukkan bahwa aktivitas enzim pektinase meningkat tajam pada kisaran pH 3 – 5. Aktivitas enzim pektinase tertinggi dicapai pada pH 4, sementara peningkatan keasaman di atas pH 5 menyebabkan penurunan aktivitas enzim pektinase secara nyata (Gambar 8).


(47)

Aktivitas Pektinase Berdasar pH

0 2 5 5 0 7 5 100 125 150 175 200 225 250

2 3 4 5 6 7 8

p H

mmol/ml

Gambar 8. Aktivitas pektinase pada pH yang berbeda

Uji Mekanisme Infeksi G. Pengamatan Gejala Penyakit.

Pengamatan dilakukan selama 1 bulan pada rumah benih suren. Rumah benih dikondisikan sehomogen mungkin. Benih suren yang diuji dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini. Suren dikelompokkan berdasarkan perlakuan yang dikondisikan sehomogen mungkin.


(48)

Hasil pengamatan menunjukkan serangan hawar terjadi pada semua kelompok perlakuan. Perbedaannya terlihat jelas pada waktu timbulnya gejala dan intensitas serangan patogen (Gambar 10).

Gambar 10. Gejala yang Ditimbulkan pada Daun Suren yang Dioleskan Isolat I (Ditandai dengan Panah Putih). Tanda Berupa Miselium Putih (Panah Merah).

Pada gambar 10 terlihat perkembangan penyakit yang diawali dengan timbulnya bercak kuning yang berkembang dengan cepat. Tanda penyakit berupa miselium putih pada permukaan daun terlihat dengan jelas. Bercak kuning yang ditimbulkan tersebut merupakan gejala nekrotik. Kemudian dilanjutkan dengan kematian jaringan secara cepat. Pada kelompok perlakuan yang terdiri dari 0% tanin, gejala sudah terlihat pada hari kedua dan kemudian mematikan seluruh jaringan daun dalam 2 hari. Hal ini ditandai dengan gugurnya daun tersebut.

Kelompok pengujian yang tidak dioles dengan kedua isolat juga menunjukkan timbulnya gejala penyakit. Perbedaan dengan kedua kelompok lainnya adalah waktu timbulnya gejala dan intensitas serangan yang ditimbulkan oleh patogen. Kelompok pengujian yang tidak dioles oleh kedua isolat menunjukkan perkembangan intensitas penyakit yang sangat lambat dan waktu timbulnya gejala relatif lebih lama daripada kelompok pengujian yang dioles oleh kedua isolat.


(49)

H. Pengaruh Tanin Terhadap Intensitas Serangan

Intensitas serangan patogen penyakit hawar daun yang menyerang suren yang tidak diolesi kedua isolat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Tanpa Olesan Isolat Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin.

Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Konsentrasi Tanin

Hari 0% Tanin 0.5% Tanin 1% Tanin 2% Tanin 3% Tanin

2 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00

4 2,00 0,00 2,14 0,00 3,08

6 3,33 3,64 4,29 0,65 5,38

8 4,67 11,82 9,29 2,58 13,08

10 6,67 16,36 9,29 3,23 14,62

12 8,67 18,18 9,29 3,23 15,38

14 12,67 19,09 10,71 4,52 17,69

16 14,67 19,09 13,57 6,45 20,00

18 18,67 19,09 13,57 6,45 20,00

20 20,67 19,09 13,57 6,45 20,00

22 22,00 20,91 21,43 11,61 20,00

24 23,33 23,64 28,57 17,42 23,08

26 24,67 26,36 30,71 20,00 25,38

28 24,67 28,18 32,86 21,94 25,38

30 24,67 29,09 33,57 22,58 25,38

Tabel 2 menjelaskan perkembangan intensitas serangan patogen hawar daun pada suren yang tidak diolesi kedua isolat. Pada tabel tersebut terlihat adanya perkembangan penyakit yang relatif sama dari hari ke-2 pengamatan sampai akhir pengamatan untuk setiap taraf perlakuan tanin. Pada akhir pengamatan kisaran intensitas serangan untuk setiap taraf perlakuan tanin antara 24 – 34%. Pola perkembangan intensitas penyakit diperjelas dengan grafik perkembangan di bawah ini (Gambar 11). Pada gambar tersebut terlihat perbedaan intensitas yang tidak terlalu nyata di akhir pengamatan. Pola perkembangan intensitas penyakitnya pun relatif sama.


(50)

Gambar 11. Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Tanpa Olesan Isolat Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin. ( ) 0 % Tanin, ( ) 0,5% Tanin, ( ) 1% Tanin, ( ) 2% Tanin, ( ) 3% Tanin.

Sementara intensitas serangan patogen penyakit hawar daun yang menyerang suren yang diolesi isolat I dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat I Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin.

Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Konsentrasi Tanin

Hari 0% Tanin 0.5% Tanin 1% Tanin 2% Tanin 3% Tanin

2 11,43 3,33 0,00 0,00 0,00

4 22,14 4,67 0,00 0,00 0,00

6 35,00 8,00 13,33 6,90 4,44

8 40,71 11,33 16,00 11,03 8,15

10 43,57 12,00 17,33 15,86 9,63

12 45,71 12,00 18,67 17,93 9,63

14 50,00 14,67 22,67 22,07 13,33

16 57,14 19,33 31,33 26,21 15,56

18 60,71 22,67 36,00 34,48 17,04

20 65,00 25,33 36,67 38,62 18,52

22 71,43 27,33 40,00 43,45 22,96

24 72,86 33,33 45,33 47,59 24,44

26 74,29 36,00 46,67 48,28 25,19

28 75,00 39,33 48,00 48,97 25,19

30 75,71 42,00 48,00 48,97 25,19

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

0 5 10 15 20 25 30

Waktu (hari)


(51)

Pada Tabel 3 terlihat adanya pola penghambatan penyakit pada perlakuan tanin 3% sementara perkembangan intensitas penyakit pada perlakuan tanin 0% sangat cepat dan tinggi. Hal ini dapat diperjelas pada grafik di bawah ini (Gambar 12) dimana pada akhir pengamatan kisaran intensitas penyakitnya sangat jauh berbeda.

Gambar 12. Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat I Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin. ( ) 0 % Tanin, ( ) 0,5% Tanin, ( ) 1% Tanin, ( ) 2% Tanin, ( ) 3% Tanin.

Pada Gambar 12 terlihat pola intensitas serangan patogen isolat I yang berbeda pada setiap taraf perlakuan tanin. Tanin dengan konsentrasi 3% sangat menghambat intensitas serangan dengan kisaran intensitas pada akhir pengamatan 25,19%. Sementara pada perlakuan yang tidak diberi tanin, intensitas serangannya di akhir pengamatan sangat tinggi yaitu 75,71%.

Sementara intensitas serangan patogen penyakit hawar daun yang menyerang suren yang diolesi isolat II dapa t dilihat pada tabel berikut ini:

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

0 5 10 15 20 25 30

Waktu (hari)


(52)

Tabel 4. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat II Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin.

Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Konsentrasi Tanin

Hari 0% Tanin 0.5% Tanin 1% Tanin 2% Tanin 3% Tanin

2 10,83 2,50 3,20 0,00 0,00

4 23,33 16,67 16,00 1,82 0,00

6 33,33 25,83 22,40 4,55 0,00

8 40,00 29,17 23,20 5,45 0,00

10 44,17 29,17 24,00 6,36 0,00

12 45,00 30,83 24,00 9,09 0,00

14 51,67 32,50 24,80 11,82 0,00

16 57,50 35,83 28,80 14,55 0,00

18 60,83 36,67 31,20 15,45 3,48

20 66,67 37,50 33,60 15,45 6,09

22 69,17 41,67 36,80 17,27 6,09

24 71,67 45,00 40,00 20,00 6,09

26 73,33 45,00 41,60 21,82 6,09

28 75,00 45,00 41,60 22,73 6,09

30 75,00 45,00 41,60 22,73 6,09

Pada Tabel 4 terlihat adanya pola penghambatan penyakit pada perlakuan tanin 3% sementara perkembangan intensitas penyakit pada perlakuan tanin 0% sangat cepat dan tinggi. Hal ini dapat diperjelas pada Gambar 13 di bawah ini, dimana pada akhir pengamatan kisaran intensitas penyakitnya sangat jauh berbeda.

Gambar 13. Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat II Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin. ( ) 0 % Tanin, ( ) 0,5% Tanin, ( ) 1% Tanin, ( ) 2% Tanin, ( ) 3% Tanin.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

0 5 10 15 20 25 30

Waktu (hari)


(53)

Pada Gambar 13 terlihat pola intensitas serangan patogen isolat II yang berbeda pada setiap taraf perlakuan tanin. Tanin dengan konsentrasi 3% sangat menghambat intensitas serangan dengan kisaran intensitas pada akhir pengamatan 6,09%. Sementara pada perlakuan yang tidak diberi tanin, intensitas serangannya di akhir pengamatan sangat tinggi yaitu 75%.

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, diketahui bahwa faktor inokulasi (A) dengan cara pengolesan berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan penyakit hawar daun yang ditimbulkan. Sedangkan faktor penyemprotan tanin (B) pada berbagai konsentrasi juga berpengaruh sangat nyata terhadap penghambatan intensitas penyakit. Pengaruh waktu (C) juga memberikan penga ruh sangat nyata terhadap perkembangan intensitas penyakit. Interaksi ketiga faktor (A, B, dan C) atau interaksi dua faktor (A dengan B, A dengan C, atau B dengan C) semuanya berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas penyakit. Hal ini membuktikan bahwa semua perlakuan memberikan suatu pengaruh yang sangat nyata terhadap perkembangan intensitas penyakit. Pengaruh tersebut dapat berupa penghambatan atau peningkatan intensitas penyakit. Hal ini diperjelas dengan tabel sidik ragam di bawah ini (Tabel 5).


(54)

Tabel 5. Sidik Ragam Pengaruh Inokulasi (A), Konsentrasi Tanin (B), Waktu (C), Interaksi A&B, Interaksi A&C, Interaksi B&C, Interaksi Ketiganya (ABC), Serta Interaksi Ketiganya dengan Ulangan terhadap Intensitas Serangan Penyakit Hawar Daun pada Akhir Pengamatan

Sumber Keragaman DB Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Pr > f

Faktor inokulasi (A) Faktor konsentrasi Tanin (B)

Faktor interaksi antara A dan B (A*B)

Pengaruh ulangan (R) terhadap interaksi (A*B) Pengaruh Waktu (C) R(C)

Faktor interaksi A dan C (A*C)

Faktor interaksi B dan C (B*C)

Faktor interaksi A, B, dan C (A*B*C) Error 2 4 8 45 14 42 28 56 112 588 23814.62914867 59474.74644289 36076.75419244 34367.23227333 73844.03822733 1773.51225622 6736.18882800 12228.38233711 6737.62734756 16691.23067044 11907.31457433 14868.68661072 4509.59427406 763.71627274 5274.57415910 42.22648229 240.57817243 218.36397031 60.15738703 28.38644672 419.47 523.80 158.86 26.90 185.81 1.49 8.48 7.69 2.12 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0271 0.0001 0.0001 0.0001

Total 899 271744.34172400

.

Selanjutnya hasil uji jarak berganda Duncan semakin memperjelas pengaruh faktor isolat, tanin, dan waktu.


(55)

PEMBAHASAN

Identifikasi Penyebab Penyakit.

Berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis yang meliputi gejala-gejala dan tanda yang timbul pada tanaman inang dan pertumbuhan kolaninya di media PDA yang menghasilkan kumpulan benang tipis putih maka patogen ini dimasukkan kedalam kingdom Fungi. Kumpulan benang tipis putih tersebut dinamakan juga miselium. Menurut Agrios (1988), tubuh jamur disebut miselium, dan cabang-cabang tunggal atau filamen dari miselium disebut hifa. Beberapa jenis jamur diameter hifanya hanya 0,5 µm, sedangkan jamur yang lain tebalnya dapat lebih dari 100µm. Panjang miselium pada beberapa jenis jamur hanya beberapa mikrometer, tetapi ada jenis jamur lain yang dapat menghasilkan benang miselium sepanjang beberapa meter.

Secara mikroskopis, fungi ini termasuk sub divisi Deuteromycotina. Penentuan sub divisi ini dasarkan pada sifat miselium yang mempunyai sekat atau septa, tidak ditemukannya struktur dan organ reproduksi seksual, dan tidak ada sambungan apit. Lebih jauh lagi, fungi ini diketemukan tidak diketahui atau tidak biasa membentuk spora seksual dan aseksual. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka fungi ini dikelompokkan kedalam kelas Agonomycetes, bangsa Agonomycetales. Dua genus yang penting dalam kelas ini adalah Rhizoctonia dan Sclerotium

(Agrios, 1988; Semangun, 1996). Penampakkan makroskopis yang penting dari kedua kelas ini adalah terbentuknya gumpalan-gumpalan kecil putih yang kemudian berubah menjadi berwarna coklat dan menyebar tidak merata di permukaan miselium. Gumpalan-gumpalan tersebut dinamakan juga sklerotium.


(56)

Pengamatan lebih jauh secara mikroskopis menunjukkan kalau kedua isolat fungi ini dimasukkan kedalam jenis Rhizoctonia solani. Ciri-cirinya ditunjukkan dengan ditemukannya percabangan hifa yang tampak tegak lurus dengan penggentingan cabang pada pangkal cabang, ditemukannya sel monilloid dengan perbandingan diameter : panjang, 1:1. Diameter hifa kedua isolat 3 – 17 µm dengan panjang sel 50 – 250 µm Sneh B., Burpee L., dan Ogoshi A. (1994). Selanjutnya mereka juga menjelaskan bahwa R solani tidak harus menghasilkan sklerotium. Pernyataan ini menguatkan penggolongan isolat II kedalam jenis

Rhizoctonia solani.

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedua isolat R. solani

menunjukkan adanya aktivitas selulase dan pektinase. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji analisis aktivitas enzim. Salah satu cara patogen menembus jaringan inangnya adalah dengan cara menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi dinding sel inang. Agrios (1988) menambahkan bahwa proses penetrasi oleh fungi dan tumbuhan tingkat tinggi parasit pada inang yang mempunyai penghalang hamper selalu dibantu oleh enzim yang disekresikan oleh patogen pada tempat terjadinya penetrasi, sehingga melunakkan atau melarutkan penghalang tersebut.

Komponen terbesar dinding sel baik lapisan primer, sekunder, maupun lamella tengah adalah pektin dan selulosa. Sehingga untuk menembus dinding sel mutlak diperlukan enzim yang dapat mendegradasi kedua komponen tersebut. Dari hasil uji aktivitas enzim ditemukan bahwa kedua isolat menghasilkan enzim selulase dan pektinase. Kedua enzim tersebut digunakan sebagai senjata yang dapat digunakan untuk menembus dinding sel daun suren.


(57)

Uji Mekanisme Infeksi I. Pengamatan Gejala Penyakit.

Penyakit hawar daun terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk kelompok yang tidak diolesi isolat. Perbedaan antar perlakuan adalah kecepatan mulai awal timbulnya gejala sampai gugurnya daun akibat terputusnya lapisan absisi pada pangkal daun. Ini me mbuktikan bahwa patogen sudah berada di alam dan sudah menginokulasi benih sebelum perlakuan diberikan.

Gejala penyakit hawar daun pada suren diawali dengan menguningnya organ daun secara keseluruhan dan terjadi dengan cepat. Kemudian dilanjutkan dengan be rgugurannya daun. Menurut Agrios (1988), kejadian seperti ini dikenal dengan istilah Hawar (Blight). Agrios (1988) menambahkan bahwa penyebab penyakit ini pada umumnya disebabkan oleh jamur. Cirinya ditandai dengan nekrosis secara lokal atau nekrosis secara umum atau membunuh jaringan tumbuhan, hipotrofi, dan hipoplasia (kerdil) organ-organ tumbuhan atau keseluruhan tumbuhan, dan hiperplasia (pertumbuhan lebih) bagian tumbuhan atau keseluruhan tumbuhan.

Perkembangan gejala penyakit berbeda pada setiap kelompok perlakuan. Kelompok yang tidak diolesi isolat, perkembangan gejala penyakitnya relatif sama untuk setiap taraf konsentrasi tanin (0, 0,5, 1, 2, 3%). Perkembangannya lambat dan tidak teratur. Gugurnya daun pun relatif lebih lama sejak timbulnya gejala a wal. Hal ini adalah mekanisme alami yang terjadi di alam.

Sementara kelompok yang diolesi Isolat I dan II, perkembangan gejalanya relatif lebih cepat dan gugurnya daun pun relatif lebih cepat jaraknya dari awal timbulnya gejala. Rata-rata hari ke-2 sudah terlihat gejala yang cukup serius


(58)

bahkan kematian yang ditandai dengan gugurnya daun. Tetapi kecepatannya semakin berkurang seiring dengan bertambahnya konsentrasi tanin. Perlakuan konsentrasi tanin 3% adalah yang paling lama menimbulkan gejala dan kecepata nya rata -rata sama dengan kelompok perlakuan yang tidak diolesi isolat. Hasil ini membuktikan bahwa tanin dapat menghambat timbulnya gejala yang ditimbulkan oleh isolat I dan II.

B. PengaruhTanin Terhadap Intensitas Serangan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap timbulnya intensitas penyakit. Faktor perlakuan pengolesan isolat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dibanding perlakuan tanpa pengolesan. Begitu juga dengan penyemprotan tanin pada berbagai konsentrasi ternyata memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap intensitas penyakit. Peningkatan intensitas penyakit bertambah terus seiring pertambahan waktu. Sehingga faktor waktu juga berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas penyakit. Faktor interaksi ketiga faktor tersebut juga memberikan pengaruh terhadap intensitas penyakit.

Selanjutnya dari hasil uji jarak berganda Duncan diketahui bahwa serangan isolat yang paling ganas adalah isolat I diikuti kemudian dengan isolat II. Kelompok perlakuan yang tidak diolesi penyakit tetap menimbulkan penyakit hanya jaraknya cukup jauh dengan isolat II. Inilah yang menyebabkan kurva intensitas serangan penyakit kelompok perlakuan tanpa diolesi penyakit (Gambar 10) tidak terlalu teratur. Walau diberi perlakuan tanin tetap menimbulkan penyakit karena penyakitnya sudah terbentuk sebelum perlakuan. Tetapi perkembangannya sangat lambat. Besar intensitas penyakitnya rata -rata sama dengan persentase


(59)

intensitas penyakit perlakuan tanin 2 – 3% pada perlakuan pengolesan dengan isolat I dan II. Sehingga dapat dilihat efek penghambatan tanin yang sangat nyata pada perlakuan isolat I dan II.

Selanjutnya dari uji jarak berganda Duncan diketahui juga bahwa perlakuan tanin 3% adalah yang paling menghambat intensitas penyakit sehingga intensitasnya sangat rendah baik perlakuan isolat I maupun perlakuan isolat II. Sementara intensitas yang ditimbulkan kedua isolat pada perlakuan tanin 0% sangat besar. Selisih yang sangat besar ini membuktikan fa ktor penghambatan oleh tanin dalam proses mekanisme serangan awal.

Agrios (1988) menjelaskan bahwa dalam proses awal serangan, patogen mensekresikan enzim, toksin, zat pengatur tumbuh, dan/atau polisakarida. Tetapi untuk merombak zat penyusun dinding sel mutlak diperlukan satu atau beberapa enzim. Selanjutnya, Achmad (1997) menemukan bahwa R. solani mensekresikan selulase-C1 dan pektinase dalam aktivitasnya pada media CMS dan media pektin. Selulase -C1 adalah salah satu senyawa enzim selulase dan menggambar kan secara umum aktivitas enzim selulase. Sehingga dapat diketahui bahwa salah satu alat bantu R. solani dalam menginfeksi inangnya adalah enzim selulase dan pektinasi. Maka apabila enzim tersebut terhambat atau tidak bekerja maka kemampuan R. solani dalam menginfeksi akan jauh berkurang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Porter dan Schwartz (1962) yang berhasil mengisolasi zat penghambat enzim selulase dan pektinase dari daun anggur dan setelah diteliti ternyata zat tersebut bernama tanin. Bell dkk (1962), Bell dkk (1960), Bell dan Etchells (1958) memperkuat fungsi tanin sebagai zat inhibitor enzim selulase dan pektinase


(60)

dengan mengisolasi tanin dari tanaman lain dan menguji kemampuannya dalam menghambat enzim tersebut.

Tidak ada efek negatif atau efek racun yang terjadi pada ujicoba pendahuluan terhadap benih suren. Selain itu tanin juga tidak mempengaruhi pertumbuhan R. solani pada media PDA selama 10 hari. Hal ini bisa dilihat pada gambar berikut

A B C D E F G

Gambar 14. Pertumbuhan R. solani Isolat II pada Tanin dengan Berbagai Konsentrasi; A. 0%; B.0,1%; C.0,3%; D.0,5%; E. 1%; F. 2%; G. 3%.

Dari Gambar 14 terlihat jelas bahwa tanin tidak mempengaruhi pertumbuhan R. solani pada media PDA bahkan setelah 10 hari. Sementara Agrios (1988) menyatakan bahwa infeksi terjadi setelah 2 sampai 4 hari setelah inokulasi ditandai dengan munculnya gejala. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa rata -rata gejala sudah muncul dalam 2 hari setelah inokulasi terutama pada perlakuan dengan konsentrasi tanin yang rendah.


(61)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dua Isolat Patogen Hawar Daun yang menyerang semai Suren yang diambil pada waktu yang berbeda memiliki cir i yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah isolat II tidak menghasilkan sklerotium. Kedua isolat tersebut diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis sebagai Rhizoctonia solani.

Kedua isolat menghasilkan enzim selulase dan pektinase. Isolat yang paling ganas menyerang adalah isolat I.

Tanin berfungsi menghambat intensitas penyakit. Konsentrasi tanin yang paling menghambat adalah pada konsentrasi 3%. Penghambatan terjadi pada kedua isolat.

Saran

Saran dari penelitian ini adalah untuk meneruskan penelitian ini dengan menggunakan tanin alami yang langsung diekstrak dari beberapa jenis daun sehingga diharapkan ditemukannya pestisida alami. Tanin tersebut diujicoba pada semai Suren yang diinokulasi penyakit. Selain itu perlu diujicoba pada jenis tanaman lain baik isolatnya maupun kemampuan tanin dalam mengkontrol penyakit yang ditimbulkan.

Penelitian tentang mekanisme serangan perlu didalami untuk mengetahui proses yang terjadi ketika inokulasi, penetrasi, dan infeksi pertama kali terjadi. Perlu dikaji apa kah hanya enzim saja yang disekresikan oleh R. solani atau ada zat lain yang dikeluarkan atau modifikasi hifa yang mampu melakukan penetrasi terhadap permukaan terluar dari tumbuhan.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad. 1991. Perlindungan Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Agrios G. N. 1988. Ilmu Penyakit Tumbuhan Edisi Ketiga (terjemahan). Gadjah Mada University Press. Bulak Sumur. Yogyakarta.

Agrios G. N. 1997. Plant Pathology. 4rd ed, Academic Press. San Diego, New York, Berkeley, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto.

Alexopoulus C. J., dan Mims C. W. 1979. Introductory Mycology, 3rd ed. John Willey & Sons., New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. Atlas R. M. 1993. Handbook of Microbiological Media. CRC Press, Boca

Raton, Ann Arbor, London, Tokyo.

Bell T. A. and Etchells J. L. 1958. Pectinase Inhibitor in Grape Leaves. Botan. Gaz. 119 : 192 – 196.

Bell T.A., Aurand L. W. and Etchells J. L. 1960. Cellulase Inhibitor in Grape Leaves. Botan. Gaz. 122 : 143 – 148.

Bell T. A., Etchells J. L., Williams, C. F. and Porter, W. L. 1962. Inhibition of Pectinase and Cellulase by Certain Plants. Botan. Gaz. 123 : 220 – 223. Brown J. F. 1980. The infection process and host – pathogen relationship. Hlm.

238 – 253 dalam Plant Protection. JF Brown (Peny.). Australian Vice-Chancellors’ Committee, Melbourne.

Bruehl G. W. 1987. Soilborne Plant Pathogens. MacMillan Publishing Company. New York.

Chao W. L, Nelson E. B., Harman G. E., dan Hoch H. C. 1986. Colonization of the rhizosphere by biological control agent applied to seeds. Phytopathol. 76: 60 – 65.

Dahm H. dan Strzelczyk E. 1987. Cellulolytic and pectolytic activity of

Cylindrocarpon destructans (Zins.) Scholt. isolates pathogenic and non pathogenic to fir (Abies alba Mill.) and pine (Pinus sylvestris L.). J Phytopathol. 118: 76 – 83.

Edmonds Jennifer M. 1993. The Potential Value of Toona Species (Meliaceae) as Multipurpose and Plantation Trees in Southeast Asia. Commonwealth Forestry Review Vol. 72. University of Oxford. Oxford.

Goodman R. N., Kiraly Z., dan Wood K. R. 1986. The Physiology and Biochemistry of Plant Disease. Univ. Missouri Press, Colombia.


(1)

(2)

Tabel Lampiran 1.

Komposisi Media PDA dan Pektin (per liter)

Patato Dextrose Agar (PDA)

- Ekstrak Kentang

200,0

g

- Dekstrosa

20,0

g

- Agar

20,0

g

Pektin

- Pektin

30,0

g

- Ekstrak ragi

5,0

g

- Bromtimol biru (larutan 0,1%)

1,0

ml

- CaCl

2

.2H

2

O (larutan 10,0%)

0,6

ml

Media Czapek (CMC)

- NaNO

3

2

g

- KCl

0,5

g

- K

2

HPO

4

1

g

- MgSO

4

.7H

2

0

0,5

g

- FeSO

4

.7H

2

0

0,01

g

- Selulosa (CMC)

10

g

- Sukrosa

30

g

- Air Destilata

1

l

Tabel Lampiran 2.

Prosedur Uji Aktivitas Selulase

Pengujian aktivitas FP-ase dapat mencerminkan aktivitas umum selulase. Untuk

pengujiannya digunakan substrat berupa serat yang masih bersifat kristal,

sehingga melibatkan aktivitas enzim C1 yang berperan sebagai pengaktif selulosa

kristal menjadi selulosa reaktif.


(3)

dimasukkan ke dalam wadah dan ditambahkan 1 ml buffer sitrat (pH 5,5)

serta 1 ml enzim kasar.

2.

Wadah beserta isinya didiamkan pada suhu 55

o

C selama 1 jam.

3.

Kadar gula pereduksi terlarut ditentukan dengan metode DNS, yaitu

menggunakan pereaksi DNS (dinitro salisilat), dengan prosedur berikut :

a.

Ke dalam tabung reaksi dituang 1 ml filtrat ditambah 3 ml pereaksi

DNS.

b.

Tabung reaksi beserta isinya dipanaskan dalam air mendidih

selama 5 menit sampai terbentuk warna kuning kecoklatan,

kemudian didiamkan dalam suhu kamar sampai dingin.

c.

Absorbansinya diukur pada panjang gelombang 550 nm.

Konsentrasi gula terlarut ditentukan dengan membandingkan

terhadap kurva absorbansi standar.

Pembuatan kurva standar :

1.

Disiapkan larutan glukosa dengan konsentrasi antara 0,05 – 0,20 mg/ml.

2.

Absorbansi tiap larutan diukur pada panjang gelombang 550 nm; air

destilata digunakan sebagai blanko.

3.

Ditentukan persamaan linear absorbansi terhadap konsentrasi (Y = a + bX;

Y = absorbansi, X = konsentrasi) dan dibuat kurvanya.

Pembuatan pereaksi DNS :

1.

Pereaksi DNS (3,5-asam dinitrosalisilat) sebanyak 10,6 g dan 19,8 g

NaOH dilarutkan dalam 1416 ml air destilata.

2.

Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 306 g NaK-Tartrat dan 7,6 ml

fenol yang telah dicairkan pada suhu 55

o

C dan 8,3 g Na-matabisulfit.

Satu unit aktivitas FP-ase didefinisikan sebagai 1

µ

mol glukosa (gula pereduksi)

yang dihasilkan dari hidrolisis selulosa kristal (kertas saring Whatman no.1) oleh

1 ml filtrat selulase selama 1 menit, pada kondisi optimum.


(4)

Tabel Lampiran 3.

Pengujian aktivitas poligalakturonase

1.

Buat 1 ml sodium polypektat 0,6% (dalam Buffer sitrat 50 mM dengan pH

4,5). Kemudian inkubasi selama 3 menit pada suhu ruang.

2.

Kedalam larutan sodium polypektat ditambahkan enzim kasar sebanyak

0,5 ml. Kemudian larutan ini diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30

o

C.

3.

Larutan ditambahkan pereaksi Bernfeld dan didihkan pada air mendidih

selama 10 menit.

4.

Larutan dibaca absorbansinya pada absorban 530 nm.

Pembuatan Pereaksi Bernfeld :

1.

1 g 3,5-dinitrosalicylic acid dilarutkan dalam 20 ml NaOH 2 N dan 50 ml

air.

2.

Campur larutkan dinitrosalicylic acid dengan garam Rochele (Sodium

Potasium Tartrat Monohydrate) 30 g.

3.

Encerkan dengan air sampai 100 ml.

4.

Larutan harus disimpan di botol gelap pada suhu 4

o

C.

Pembuatan kurva standar :

Digunakan asam galakturonat monohidrat sebagai senyawa standar, dengan

kisaran konsentrasi 2,0 – 20,0 mg/ml.

Perhitungan aktivitas PG (dalam

µ

mol unit enzim/menit/g substrat) :

V

s

x C

st

x fp x 1000

m

c

x t

i

x M

st

V

s

= volume yang diambil untuk titrasi (ml).

C

st

= konsentrasi yang setara dengan pembacaan pada kurva standar

(mg/ml).

fp

= faktor pengenceran

t

i

=

waktu inkubasi.


(5)

Ge n e r a l Li n e a r Mo d e l s Pr o c e d u r e

Cl a s s Le v e l I n f o r ma t i o n Cl a s s Le v e l s Va l u e s

A 3 0 1 2 B 5 0 1 2 3 4

C 1 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 R 4 1 2 3 4

Nu mb e r o f o b s e r v a t i o n s i n d a t a s e t = 9 0 0

Ge n e r a l Li n e a r Mo d e l s P r o c e d u r e De p e n d e n t Va r i a b l e : Y

S o u r c e DF S u m o f S q u a r e s Me a n S q u a r e F Va l u e P r > F

Mo d e l 3 1 1 2 5 5 0 5 3 . 1 1 1 0 5 3 5 6 8 2 0 . 1

Mo d e l 3 1 1 2 5 5 0 5 3 . 1 1 1 0 5 3 5 6 8 2 0 . 1 0 6 4 6 6 4 1 2 8 . 8 9 0 6 4 6 6 4 1 2 8 . 8 9 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

Er r o r 5 8 8 1 6 6 9 1 . 2 3 0 6 7 0 4 4 2 8 . 3 8 6 4 4 6 7 2 Co r r e c t e d To t a l 8 9 9 2 7 1 7 4 4 . 3 4 1 7 2 4 0 0

R-R- S q u a rS q u a re C. V. Ro o t MS E Y Me a n

0 . 9 3 8 5 7 70 . 9 3 8 5 7 7 3 2 . 6 0 1 5 2 5 . 3 2 7 8 9 3 2 7 1 6 . 3 4 2 4 6 6 6 7

S o u r c e DF Ty p e I S S Me a n S q u a r e F Va l u e P r > F

A 2 2 3 8 1 4 . 6 2 9 1 4 8 6 7

A 2 2 3 8 1 4 . 6 2 9 1 4 8 6 7 1 1 9 0 7 . 3 1 4 5 7 4 3 3 4 1 9 . 4 7 1 1 9 0 7 . 3 1 4 5 7 4 3 3 4 1 9 . 4 7 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

B 4 5 9 4 7 4 . 7 4 6 4 4 2 8 9 1 4 8 6 8 . 6 8 6 6 1 0 7 2 5 2 3 . 8 0 B 4 5 9 4 7 4 . 7 4 6 4 4 2 8 9 1 4 8 6 8 . 6 8 6 6 1 0 7 2 5 2 3 . 8 0 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

A* B 8 3 6 0 7 6 . 7 5 4 1 9 2 4 4 4 5 0 9 . 5 9 4 2 7 4 0 6 1 5 8 . 8 6 A* B 8 3 6 0 7 6 . 7 5 4 1 9 2 4 4 4 5 0 9 . 5 9 4 2 7 4 0 6 1 5 8 . 8 6 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

R( A* B) 45 3 4 3 6 7 . 2 3 2 2 7 3 3 3 7 6 3 . 7 1 6 2 7 2 7 4 2 6 . 9 0 0 . 0 0 0 1

C 1 4 7 3 8 4 4 . 0 3 8 2 2 7 3 3 5 2 7 4 . 5 7 4 1 5 9 1 0 1 8 5 . 8 1 C 1 4 7 3 8 4 4 . 0 3 8 2 2 7 3 3 5 2 7 4 . 5 7 4 1 5 9 1 0 1 8 5 . 8 1 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

R( C) 4 2 1 7 7 3 . 5 1 2 2 5 6 2 2 4 2 . 2 2 6 4 8 2 2 9 1 . 4 9 0 . 0 2 7 1

A* C 2 8 6 7 3 6 . 1 8 8 8 2 8 0 0 2 4 0 . 5 7 8 1 7 2 4 3 8 . 4 8 A* C 2 8 6 7 3 6 . 1 8 8 8 2 8 0 0 2 4 0 . 5 7 8 1 7 2 4 3 8 . 4 8 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

B* C 5 6 1 2 2 2 8 . 3 8 2 3 3 7 1 1 2 1 8 . 3 6 3 9 7 0 3 1 7 . 6 9 B* C 5 6 1 2 2 2 8 . 3 8 2 3 3 7 1 1 2 1 8 . 3 6 3 9 7 0 3 1 7 . 6 9 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

A* B* C 1 1 2 6 7 3 7 . 6 2 7 3 4 7 5 6

A* B* C 1 1 2 6 7 3 7 . 6 2 7 3 4 7 5 6 6 0 . 1 5 7 3 8 7 0 3 2 . 1 2 6 0 . 1 5 7 3 8 7 0 3 2 . 1 2 0 . 0 0 0 1

0 . 0 0 0 1

Ge n e r a l Li n e a r Mo d e l s Pr o c e d u r e Du n c a n ' s Mu l t i p l e Ra n g e Te s t f o r v a r i a b l e : Y

NOTE: Th i s t e s t c o n t r o l s t h e t y p e I c o mp a r i s o n wi s e e r r o r r a t e , n o t t h e e x p e r i me n t wi s e e r r o r r a t e

Al p h a = 0 . 0 5 d f = 4 2 MSE= 7 9 2 . 4 8 Nu mb e r o f Me a n s 2 3 Cr i t i c a l Ra n g e 4 . 6 3 9 4 . 8 7 8

Me a n s wi t h t h e s a me l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .

Dunc a n Gr o upi ng Me a n N A Dunc a n Gr o upi ng Me a n N A A 2 2 . 1 4 2 3 0 0 2 A 2 2 . 1 4 2 3 0 0 2 B 1 7 . 2 4 6 3 0 0 1 B 1 7 . 2 4 6 3 0 0 1

C 9 . 6 3 9 3 0 0 0 C 9 . 6 3 9 3 0 0 0

Al p h a = 0 . 0 5 d f = 4 2 MSE= 7 9 2 . 4 8

Nu mb e r o f Me a n s 2 3 4 5 Cr i t i c a l Ra n g e 5 . 9 8 8 6 . 2 9 7 6 . 4 9 9 6 . 6 4 5

Me a n s wi t h t h e s a me l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .

Dunc a n Gr o upi ng Me a n N Dunc a n Gr o upi ng Me a n N B B A 3 0 . 9 0 5 1 8 0 0 A 3 0 . 9 0 5 1 8 0 0 B 1 6 . 7 8 7 1 8 0 2 B 1 6 . 7 8 7 1 8 0 2


(6)

B B

B 1 6 . 3 1 7 1 8 0 1 B 1 6 . 3 1 7 1 8 0 1 B

B

C B 1 0 . 5 7 2 1 8 0 3 C B 1 0 . 5 7 2 1 8 0 3 C

C

C 7 . 1 3 1

C 7 . 1 3 1 1 8 0 4 1 8 0 4

Al p h a = 0 . 0 5 d f = 4 2 MSE= 4 2 . 2 2 6 4 8

Nu mb e r o f Me a n s 2 3 4 5 6 7 8 Cr i t i c a l Ra n g e 2 . 3 9 4 2 . 5 1 8 2 . 5 9 8 2 . 6 5 7 2 . 7 0 1 2 . 7 3 7 2 . 7 6 5 Nu mb e r o f Me a n s 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 Cr i t i c a l Ra n g e 2 . 7 8 9 2 . 8 1 0 2 . 8 2 7 2 . 8 4 2 2 . 8 5 4 2 . 8 6 6 2 . 8 7 5 Me a n s wi t h t h e s a me l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .

Dunc a n Gr o upi ng Me a n N C Dunc a n Gr o upi ng Me a n N C A 2 9 . 1 8 2 6 0 1 5 A 2 9 . 1 8 2 6 0 1 5 A

A

A 2 8 . 5 6 8 6 0 1 4 A 2 8 . 5 6 8 6 0 1 4 A

A

B A 2 7 . 5 2 3 6 0 1 3 B A 2 7 . 5 2 3 6 0 1 3 B

B

B 2 5 . 9 0 3 6 0 1 2 B 2 5 . 9 0 3 6 0 1 2 C 2 3 . 0 3 8 6 0 1 1 C 2 3 . 0 3 8 6 0 1 1 D 2 0 . 4 7 3 6 0 1 0 D 2 0 . 4 7 3 6 0 1 0 D

D

E D 1 8 . 9 0 3 6 0 9 E D 1 8 . 9 0 3 6 0 9

E E

E 1 6 . 7 9 3 6 0 8 E 1 6 . 7 9 3 6 0 8 F 1 3 . 3 9 7 6 0 7 F 1 3 . 3 9 7 6 0 7 F

F

G F 1 1 . 4 7 3 6 0 6 G F 1 1 . 4 7 3 6 0 6 G

G

G 1 0 . 4 8 6 6 0 5 G 1 0 . 4 8 6 6 0 5 G

G

G 8 . 9 6 7

G 8 . 9 6 7 6 0 4 6 0 4 H 6 . 2 4 7 6 0 3 H 6 . 2 4 7 6 0 3

I 3 . 1 3 9 6 0 2I 3 . 1 3 9 6 0 2 I

I

I 1 . 0 4 5 6 0 1 I 1 . 0 4 5 6 0 1