Isolasi Senyawa Alkaloida Dari Daun Tumbuhan SidaGuri (Sida rhombifolia L.)

(1)

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN

TUMBUHAN SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

SKRIPSI

EVI YOANNA SITOPU

050802046

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SIDAGURI

(Sida rhombifolia L. )

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

EVI YOANNA SITOPU 050802046

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI

DAUN TUMBUHAN SIDAGURI (Sida rhombifolia L. )

Kategori : SKRIPSI

Nama : EVI YOANNA SITOPU

Nomor Induk Mahasiswa : 050802046

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, September 2010

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Sovia Lenny, S.Si, M.Si Prof. Dr. Tonel Barus NIP. 197510182000032001 NIP. 194508011974121001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst., MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, September 2010

EVI YOANNA SITOPU 050802046


(5)

PENGHARGAAN

Segala hormat puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, dengan Kasih penyertaanNya kajian ini dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditetapkan.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Tonel Barus dan Ibu Sovia Lenny S.Si, M.Si selaku pembimbing pada penyelesaian skripsi ini yang telah memberikan bimbingan, panduan dan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini. Kepada Bapak Drs. Johannes Simorangkir, MS selaku Kepala Laboratorium Kimia Bahan Alam beserta stafnya atas fasilitas yg diberikan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ibu Andriayani, S.Pd, M.Si selaku dosen wali saya selama ini dan juga Ketua dan Sekretaris Departemen Dr. Rumondang Bulan Nst, M.S dan Drs. Firman Sebayang, M.S., Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, semua dosen pada Departemen Kimia FMIPA USU khususnya para dosen Kimia Bahan Alam, pegawai di FMIPA USU, teman-teman dan adik-adik asisten Laboratorium Kimia Bahan Alam (Albee, Whendy, Eva, Oven, Ina, Ony, Ika, Lisbet, Tria, Niko, Burton), semua rekan stambuk 05 (Herman, Mariathie, Tresna, Jubel, Vela, Dewi, Ocha, Yusma, Eviana, Donald, Ray), sahabat terbaikku (Inay, Beldina, Novri, Winda, Danny, Richardo, Haposan), adik-adik stambuk dan pada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini. Akhirnya, terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tuaku, ayahanda tercinta alm Pdt D. S. Sitopu, S.Th dan Ibunda tersayang J. Hutabarat, serta abangku yang ganteng, Frans, adikku yg cool, Gopal, dan si cerewet Chili, dan semua keluarga yang telah memberikan doa, semangat, serta dorongan baik secara materi maupun moril (b’Rio, tulang Pdt Jaharianson Saragih) sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan, penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tuhan memberkati.


(6)

ABSTRAK

Isolasi senyawa alkaloida yang terkandung pada daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak metanol yang

dihasilkan dipekatkan dengan rotari evaporator. Ekstrak pekat diekstraksi partisi dengan n-heksana lalu diasamkan dengan HCl 2M sampai pH=2, kemudian

dibasakan dengan NH4OH(P) sampai pH=9-10. Fraksi basa ini kemudian diekstraksi

partisi dengan dietileter. Ekstrak pekat dietileter yang mengandung alkaloida dianalisis KLT lalu dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen klorofom : metanol (70 : 30 v/v). Pasta yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan pada fraksi 11-30 dengan Rf = 0,92 sebanyak 0,5 g. Pasta tersebut dianalisis dengan Spektroskopi Infra Merah (FT-IR) dan Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton

(1H-NMR). Dari data dan hasil analisis terhadap pasta hasil isolasi menunjukkan


(7)

ISOLATION OF ALKALOIDA COMPOUNDS WHICH CONTAINED IN LEAVES OF SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

ABSTRACT

Isolation of alkaloids compounds which contained in leaves of sidaguri (Sida

rhombifolia L.) has been done with maceration technique with methanol solvent.

Methanol exctract then concentrated with rotary evaporator. The concentrated exctrack then partition extraction with n-hexane and then acidified with HCl 2M

until pH = 2, then bacidified with NH4OH(p) until pH = 9-10. The basic fraction then

partition with diethylether. The concentrated diethylether extact which is alkaloid was analysed with Thin Layer Cromatography and separated by column chromatography using chlorofom : methanol (70 : 30 v/v) as a mobile phase. The brownish-yellow paste was obtained in fraction 11- 30 with Rf = 0,92 with weight 0.5 g. That paste then identified using Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Nuclear

Magnetic Resonance Spectroscopy (1H-NMR). Based on data and interpretation


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Lampiran ix

Bab 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang 1

1.2.Permasalahan 2

1.3.Tujuan Penelitian 2

1.4.Manfaat Penelitian 2

1.5.Lokasi Penelitian 3

1.6.Metodologi Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Tumbuhan Sidaguri 4

2.1.1. Morfologi Tumbuhan Sidaguri 4

2.1.2. Sistematika Tumbukan Sidaguri 4

2.1.3. Manfaat dan Kandungan Tumbuhan Sidaguri 5

2.2. Senyawa Organik Bahan Alam 5

2.2.1. Senyawa Alkaloida 7

2.2.2. Klasifikasi Alkaloida 9

2.2.3. Sifat – sifat Alkaloida 11

2.2.4. Deteksi Senyawa Alkaloida 12

2.2.5. Isolasi Senyawa Alkaloida 13

2.2.6. Biosintesis Alkaloida 14

2.3.Metode Pemisahan 14

2.3.1. Ekstraksi 14

2.3.2.Kromatografi 14

2.3.2.1. Kromatografi Kertas 16

2.3.2.2. Kromatografi Lapis Tipis 17

2.3.2.3. Kromatografi Kolom 18

2.4.Teknik Spektroskopi 19

2.4.1. Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR) 19

2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton 21


(9)

Bab 3 Bahan dan Metode Penelitian

3.1. Alat- Alat 23

3.2. Bahan – Bahan 24

3.3. Prosedur Penelitian 24

3.3.1. Penyediaan Sampel 24

3.3.2. Uji Skrining Fitokimia 25

3.3.3. Pengadaan Ekstrak Dietileter Daun

Tumbuhan Sidaguri 25

3.3.4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis 25

3.3.5. Isolasi senyawa Alkaloida dengan Kromatografi 26

Kolom

3.3.6. Analisis Pasta Hasil Isolasi 3.3.6.1.Uji kemurnian Hasil Isolasi dengan

Kromatografi Lapis Tipis 27 3.3.6.2. Uji Reaksi Warna terhadap Pasta

Hasil Isolasi dengan Pereaksi Alkaloida 28 3.3.7. Analisis Spektroskopi Pasta Hasil Isolasi 28 3.3.7.1. Uji Pasta Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer

Infra merah 28 3.3.7.2. Uji Pasta Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer

Resonansi Magnetik Inti Proton 1H-NMR 28

Bagan Penelitian 29 Bab 4 Hasil dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian 30

4.2. Pembahasan 31

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 34

5.2. Saran 34


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Gambar Tumbuhan Sidaguri 38

Lampiran B. Determinasi Tumbuhan Sidaguri 39

Lampiran C. Kromatogram Lapisan Tipis Ekstrak Dietileter Daun Sidaguri 40

Lampiran D. Kromatogram Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui

Penampakan Noda Dengan Sinar Ultraviolet 41

Lampiran E. Spektrum FT-IR Pasta Hasil Isolasi 42

Lampiran F. Spektrum 1H-NMR Pasta Hasil Isolasi 43

Lampiran G. Pembesaran Spektrum 1H-NMR Pasta Hasil Isolasi 44


(11)

ABSTRAK

Isolasi senyawa alkaloida yang terkandung pada daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak metanol yang

dihasilkan dipekatkan dengan rotari evaporator. Ekstrak pekat diekstraksi partisi dengan n-heksana lalu diasamkan dengan HCl 2M sampai pH=2, kemudian

dibasakan dengan NH4OH(P) sampai pH=9-10. Fraksi basa ini kemudian diekstraksi

partisi dengan dietileter. Ekstrak pekat dietileter yang mengandung alkaloida dianalisis KLT lalu dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen klorofom : metanol (70 : 30 v/v). Pasta yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan pada fraksi 11-30 dengan Rf = 0,92 sebanyak 0,5 g. Pasta tersebut dianalisis dengan Spektroskopi Infra Merah (FT-IR) dan Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton

(1H-NMR). Dari data dan hasil analisis terhadap pasta hasil isolasi menunjukkan


(12)

ISOLATION OF ALKALOIDA COMPOUNDS WHICH CONTAINED IN LEAVES OF SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

ABSTRACT

Isolation of alkaloids compounds which contained in leaves of sidaguri (Sida

rhombifolia L.) has been done with maceration technique with methanol solvent.

Methanol exctract then concentrated with rotary evaporator. The concentrated exctrack then partition extraction with n-hexane and then acidified with HCl 2M

until pH = 2, then bacidified with NH4OH(p) until pH = 9-10. The basic fraction then

partition with diethylether. The concentrated diethylether extact which is alkaloid was analysed with Thin Layer Cromatography and separated by column chromatography using chlorofom : methanol (70 : 30 v/v) as a mobile phase. The brownish-yellow paste was obtained in fraction 11- 30 with Rf = 0,92 with weight 0.5 g. That paste then identified using Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Nuclear

Magnetic Resonance Spectroscopy (1H-NMR). Based on data and interpretation


(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bangsa Indonesia telah lama mengenal pengobatan secara tradisional, misalnya dengan tumbuhan, binatang dan mineral. Penggunaan tumbuh-tumbuhan tersebut adalah sebagai ramuan obat untuk penyakit-penyakit tertentu, ini merupakan suatu bukti bahwa di dalam ramuan obat tersebut terdapat senyawa-senyawa kimia yang berkhasiat.

Tumbuh-tumbuhan merupakan sumber dari senyawa bahan alam hayati dimana senyawa tersebut banyak digunakan sebagai bahan obat-obatan. Bertitik tolak dari sumber bahan alam hayati ini yang mempunyai peran penting didalam penyediaan senyawa-senyawa baru dalam bidang obat-obatan maka pemerintah menghimbau para ahli untuk meningkatkan penelitiannya dalam bidang tersebut, hal ini merupakan suatu tantangan bagi para ahli untuk melibatkan dari dalam senyawa-senyawa baru yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan ini (Arief, H.,2004).

Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai obat adalah tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L). Dari studi literatur yang kami lakukan, herba digunakan untuk mengatasi influenza, demam, radang amandel (tonsilitis), difteri, TBC kelenjar (scrofuloderma), radang usus (enteritis), disentri, sakit kuning (jaundice), malaria, batu saluran kencing, sakit lambung, wasir berdarah, muntah darah, terlambat haid, dan cacingan, sedangkan akar digunakan untuk mengatasi influenza, sesak napas (asma bronkhiale), disentri, sakit kuning, rematik gout, sakit gigi, sariawan, digigit serangga berbisa, susah buang air besar (sembelit), terlambat haid, dan bisul yang tak kunjung sembuh, dan bunga digunakan untuk obat luar pada gigitan serangga.


(14)

Daun mengandung alkaloid, kalsium oksalat,tannin, asam amino, dan minyak atsiri. Banyak mengandung zat phlegmatic yang digunakan sebagai peluruh dahak (ekspektoran). Batang mengandung kalsium oksalat dan tannin. Akar mengandung alkaloid, dan steroid.

Dari uraian di atas, berdasarkan literatur dan uji skrining terhadap daun tumbuhan sidaguri yg dilakukan, penulis tertarik untuk mengisolasi senyawa kimia bahan alam hayati dari golongan alkaloid yang terkandung pada daun tumbuhan sidaguri tersebut (Dalimarta, 2003).

1.2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengisolasi senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.).

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber informasi ilmiah pada bidang Kimia Bahan Alam dalam upaya pengembangan zat-zat kimia alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.).


(15)

1.5. Lokasi Penelitian

Sampel yang digunakan diambil dari daerah Dolog Masihul, kabupaten Serdang Bedagai, propinsi Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Bahan Alam FMIPA USU. Analisis Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR) dan

Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) dilakukan di

Laboratorium Dasar Bersama FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya.

1.6. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) sebanyak 1000 g. Tahap awal dilakukan uji skrining fitokimia dengan

menggunakan pereaksi-pereaksi untuk senyawa alkaloida, yaitu dengan menggunakan pereaksi Wagner, Meyer, Drangendorff, dan pereaksi Bouchardat.

Tahap isolasi yang dilakukan adalah :

- Ekstraksi Maserasi

- Ekstraksi Partisi

- Analisis Kromatografi Lapis Tipis

- Analisis Kromatografi Kolom

- Analisis Pasta Hasil Isolasi

Tahapan analisis pasta hasil isolasi mencakup :

- Analisis Kromatografi Lapis Tipis

- Identifikasi Spektrofotometer Infra Merah (FT-IR)

- Identifikasi Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR).


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Sidaguri

2.1.1. Morfologi Sidaguri

Sidaguri tumbuh liar di tepi jalan, halaman berumput, hutan, ladang, dan tempat tempat dengan sinar matahari cerah atau sedikit terlindung. Tanaman ini tersebar pada daerah tropis di seluruh dunia dari dataran rendah sampai 1.450 m dpl. Perdu tegak bercabang ini tingginya dapat mencapai 2 m dengan cabang kecil berambut rapat.. Daun tunggal, bergerigi, ujung runcing, pertulangan menyirip, bagian bawah berambut pendek warnanya abu-abu, panjang 1,5-4 cm, lebar 1-1,5 cm. Bunga tunggal berwarna kuning cerah yang keluar dari ketiak daun, mekar sekitar pukul 12 siang dan layu sekitar tiga jam kemudian. Buah dengan 8-10 endaga, diameter 6-7 mm (Dalimarta, 2003).

2.1.2. Sistematika Tumbuhan Sidaguri

Botani : Sida rhombifolia L

Sinonim : Sida retusa L

Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Malvales

Suku : Malvaceae

Marga : Sida


(17)

Nama umum/dagang : Sidaguri

Tumbuhan sidaguri dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama daerah : Saliguri (Minangkabau), Sidaguri (Melayu), Sidaguri (Jawa tengah), sidagori (sunda), Taghuri (Madura), Kahindu (Sumba), Hutu gamo (Halmahera),Digo (Ternate)

(Dalimarta, 2003).

2.1.3. Manfaat dan Kandungan Tumbuhan Sidaguri

Herba digunakan untuk mengatasi: influenza, demam, radang amandel (tonsilitis), difteri, TBC kelenjar (scrofuloderma), radang usus (enteritis), disentri, sakit kuning (jaundice), malaria, batu saluran kencing, sakit lambung, wasir berdarah, muntah darah, terlambat haid, dan cacingan, sedangkan akar digunakan untuk mengatasi: influenza, sesak napas (asma bronkhiale), disentri, sakit kuning, rematik gout, sakit gigi, sariawan, digigit serangga berbisa, susah buang air besar (sembelit), terlambat haid, dan bisul yang tak kunjung sembuh, dan bunga digunakan untuk obat luar pada gigitan serangga. Akar dan kulit sidaguri kuat, dipakai untuk pembuatan tali.. Perbanyakan dengan biji atau setek batang. Kandungan kimia dari tumbuhan sidaguri, daun mengandung alkaloid, kalsium oksalat, tannin, asam amino, dan minyak atsiri. Batang mengandung kalsium oksalat dan tannin. Akar mengandung alkaloid, dan steroid (Dalimarta, 2003).

2.2. Senyawa Organik Bahan Alam

Senyawa organik bahan alam dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat- sifat yang dimilikinya. Ada empat cara klasifikasi senyawa organik bahan alam, yaitu:

1. Klasifkasi berdasarkan Struktur Kimiawi

Klasifikasi ini didasarkan pada kerangka molekul dari senyawa yang bersangkutan. Menurut sistem ini, ada 4 kelas senyawa organik bahan alam, yaitu:


(18)

Contoh : asam- asam lemak, gula dana asam- asam amino pada umumnya b. Senyawa alisiklik atau sikloalifatik

Contoh : Terpenoid, steroida c. Senyawa aromatik atau benzenoid

Contoh : Golongan fenolat, golongan kuinon d. Senyawa heterosiklik

Contoh : alkaloida, flavonoida

2. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Fisiologik

Setelah penelitian yang lebih mendalam dilakukan terhadap morfin, penisilin dan prostaglandin, maka perhatian para ahli sering ditujukan terhadap isolasi dan penentuan fungsi fisiologis dari senyawa-senyawa organik bahan alam tertentu.

Hampir separuh dari obat-obatan yang kita gunakan sehari-hari merupakan bahan- alam, misalnya alkaloida dan antibiotik. Oleh karena itu senyawa organik bahan alam dapat juga diklasifikasikan dari segi aktivitas fisiologik dari bahan alam yang bersangkutan. Misalnya : kelas hormon, vitamin, antibiotik dan mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh jamur). Meskipun senyawa-senyawa dalam satu kelas mempunyai struktur dan asal-usul biogenetik yang sangat bervariasi, namun ada kalanya terdapat korelasi yang dekat antara aspek-aspek tersebut dengan kegiatannya.

3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi

Pengklasifikasian ini didasarkan pada penyelidikan morfologi komparatif dari tumbuh-tumbuhan yaitu taksonomi tumbuhan. Pada hewan dan sebagian mikroorganisme, metabolit terakhir biasanya dibuang keluar tubuh, sedang pada tumbuh-tumbuhan, metabolit tersimpan di dalam tubuh tumbuhan itu sendiri.

Pada mulanya beberapa metabolit dianggap hanya berasal dari tumbuhan tertentu. Kemudian diketahui bahwa beberapa metabolit tersebar pada berbagai tumbuhan dan ternyata banyak konstituen tumbuhan tumbuhan (seperti alkaloida dan terpenoida) yang dapat diisolasi dari spesies, genus, suku atau famili tumbuhan tertentu. Malah dalam satu spesies tunggal, dapat ditemukan sejumlah konstituen yang strukturnya berhubungan erat satu sama lain. Misalnya, “opium” dari Papaver


(19)

somniferum mengandung dua puluhan alkaloida termasuk alkaloida morfin, tebain, kodein dan narkotin yang kesemuanya dibiosintesis dari prekusor yaitu 1-benzilisokuinolin melalui penggandengan/coupling secara oksidasi. Oleh karena itu alkaloida - alkaloida tersebut yang strukturnya mirip satu sama lain dan berasal dari genus tumbuhan tertentu, disebut alkaloida opium.

4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis

Semua konstituen tumbuhan dan binatang dibiosintesis dalam mikroorganisme melalui reaksi- reaksi yang dibantu oleh enzim tertentu. Dalam hal ini sumber utama dari karbon biasanya adalah glukosa, yang dibiosintesis dalam tumbuhan hijau atau yang diperoleh dari lingkungan dalam organisme.

Beberapa ahli mulai menyusun teori langkah-langkah biogenetik dari senyawa organik bahan alam yang berlangsung dalam mikroorganisme hidup. Basis dari teori ini adalah keteraturan struktural yang teramati sejak awal sampai akhir reaksi. Teori yang paling menonjol adalah “aturan isoprena” yang diusulkan oleh Ruzicka. Dia

menyatakan semua senyawa terpenoid terbentuk dari “unit isoprena” C5.

Dari kesemua teori biogenesis ini dapat disimpulkan adanya 4 kelas senyawa organik bahan alam, yakni :

(a) Poliketida (asetogenin)

(b) Fenolat (fenilpropanoid)

(c) Isoprenoid

(d) Alkaloida

(Nakanishi, 1974).

2.2.1. Senyawa Alkaloida

Alkaloid, sekitar 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Tidak ada satupun istilah ‘alkaloid’ yang memuaskan, tetapi pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari system siklik. Alkalloid sering sekali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi


(20)

yang menonjol; jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tan warna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering dilakukan di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloida bebas, berupa senyawa padat berbentuk kristal tanpa warna. Beberapa alkaloida berupa cairan, dan alkaloida yang berwarnapun langka (Berberina dan Terpentina berwarna kuning). Alkaloida sering bersifat aktif optik, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa hal dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya.

Fungsi dari alkaloida belum dapat dipastikan dengan baik untuk beberapa jenis alkaloida, walaupun telah kita ketahui bahwa turunan - turunan dari pirimidin, purin dan pterin memainkan peranan yang sangat baik dalam proses kehidupan manusia. Semua alkaloida dapat dibuat dari poliketida asam sikimat atau bagian dari senyawa asam mevalonat yang digabung dengan asam amino, yang secara otomatis dapat memberikan sebuah sistematisasi yang tinggi secara rumus dan struktural yang akan menghasilkan suatu senyawa.

Dengan kata lainnya, komponen asam amino membentuk karakter dari alkaloida dan klasifikasinya dapat dibuat dengan baik berdasarkan bentuk morfologinya. Alkaloida juga digunakan sebagai penyebab proses solusi dan biogenetik dibandingkan dengan beberapa jenis asam amino yang merupakan pembentuk alkaloida, seperti glisin (di dalam pembentuk N-heterosiklik), asam glutamat, ornitin, lisin, fenilalanin, tirosin, triptofan dan asam antralin. Kebanyakan alkaloida dapat ditemukan di dalam segala jenis tumbuhan, dari tumbuhan tingkat tinggi sampai ke mikroorganisme. Beberapa alkaloida dapat ditemukan dalam hewan, dan alkaloida juga dapat ditemukan di dalam biota laut (Robinson, 1995).


(21)

Sejak dahulu kala alkaloida telah digunakan dalam berbagai hal. Kebanyakan alkaloida digunakan sebagai suatu zat beracun yang dapat menyebabkan kematian seperti strysin. Strysin telah digunakan sebagai suatu zat pembunuh selama beberapa abad dan juga merupakan suatu zat yang menyebabkan kematian pada beberapa jenis unggas. Strysin merupakan suatu zat yang dapat merusak sel-sel tubuh yang lama-kelamaan dapat menyebabkan kematian. Koniin didalam Conium maculatum digunakan oleh orang-orang Yunani untuk hukuman eksekusi, dan Sokrates adalah pemimpin Yunani yang sering menggunakannya. Beberapa alkaloida dapat menyebabkan halusinasi seperti grup opium di dalam Papaver somniferum, turunan-turunan dari asam lisergis dalam tumbuhan Claviceps purpurea, sebuah tumbuhan parasit (Torssell, 1983).

2.2.2. Klasifikasi Alkaloida

Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloida, jelas kiranya bahwa alkaloida sebagai kelompok senyawa. Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloida. Sistem klasifikasi yang paling banyak diterima, menurut Hegnauer, alkaloida dikelompokkan sebagai (a) alkaloida sesesungguhnya, (b) protoalkaloida (c) pseudoalkaloida.

(a) Alkaloida Sesungguhnya.

Alkaloida sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloida kuartener, yang bersifat agak asam.

(b) Protoalkaloida

Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, efedrin , dan N, N-dimetiltriptamin.


(22)

(c) Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat basa.

Ada dua seri alkaloida yang penting dalam klas ini, yaitu alkaloida stereoidal ( konessin, purin dan kaffein ) (Sastrohamijojo, 1996).

Ada juga yang mengklasifikasikan alkaloid berdasarkan bentuk inti dari molekulnya yeng terdapat di alam, terbagi atas beberapa kelompok, yaitu :

1. Kelompok Feniletilamin

2. Kelompok Pirolidin

3. Kelompok piridin

4. Kelompok quinolin

5. Kelompok isoquinolin

6. Kelompok pirrolidin- piridin

7. Kelompok penantren (Finar, 1983)

Berdasarkan biogenetiknya, senyawa – senyawa alkaloida dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Alisiklik alkaloida, terdiri dari : - Lupinin alkaloida

- Tropane alkaloida

2. Fenilalanin alkaloida, terdiri dari : - Papaverin

- Morfin

- Amarilis alkaloida 3. Indole Alkaloida, terdiri dari :

- Caly canthin - Quinin - Vindolin

-Ajmalin dan Mitrphilin - Reserpin


(23)

Dari klasifikasi di atas dapat disimpulkan bahwa belum ada keseragaman dalam pengklasifikasian senyawa alkaloida (Hendrikson,1965).

2.2.3. Sifat-sifat Alkaloida

Alkaloida adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen (biasanya dalam bentuk siklik) dan bersifat basa. Senyawa ini tersebar luas dalam dunia tumbuh - tumbuhan dan banyak diantaranya yang mempunyai efek fisiologi yang kuat. Beberapa dari efek tersebut telah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia primitif jauh sebelum Ilmu Kimia Organik berkembang. Alkaloida ‘Cinchona’ yang terkandung dalam kulit pohon dari spesies Cinchona dan Remijia misalnya telah dikenal oleh penduduk asli dipegunungan Andes, Kuinin yang merupakan salah satu konstituen utama dari ekstrak kulit kayu tersebut, laporkan telah dikenal sebagai anti malaria yang efektif sejak tahun 1633. Karena banyaknya senyawa alkaloida serta keterkaitannya dengan bidang lain seperti farmasi, sebenarnya dunia alkaloida memerlukan satu bidang tersendiri.

Secara umum, golongan senyawa alkaloida mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1. Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut

dalam air, larut dalam pelarut-pelarut organik seperti : eter, etanol dan juga koroform. Beberapa alkaloida (seperti koniin dan nikotin) berwujud cair dan larut dalam air. Ada juga alkaloida yang berwarna misalnya berberin (kuning).

2. Bersifat basa, pada umumnya berasa pahit, bersifat racun, mempunyai efek.

3. Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam

fosfomolibdat, asam pikrat, kalium merkuriiodida dan lain sebagainya. Dari endapan-endapan ini, banyak juga yang memiliki bentuk kristal yang khusus sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasinya (Rangke, 1989).


(24)

2.2.4. Deteksi Senyawa Alkaloida

Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloid dalam pencirian kasar dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid. Tata kerja untuk menguji apakah tumbuhan mengandung alkaloid dapat ditentukan dengan reaksi pewarnaan yang jelas yaitu dengan menggunakan pereaksi Mayer ( Kalium tetraiodomerkurat ) yang banyak digunakan untuk mendeteksi alkaloid karena pereaksi ini memberikan endapan dengan hampir semua alkaloid.

Sebelum melakukan uji ini, dianjurkan untuk melakukan pemurnian terlebih dahulu karena pereaksi ini mengendapkan komponen tumbuhan yang lain juga. Pereaksi lain seperti Wagner (Iodium dalam kalium iodida), asam siklotungstat 5%, asam tanat 5%, pereaksi Drangendorff (Kalium tetraiodobismutat), iodoplatinat, dan larutan asam pikrat jenuh sering pula dipakai. Beberapa alkaloid mengandung gugus fungsi khas yang dapat ditentukan dengan pereaksi khusus, misalnya morfina bersifat fenol sehingga dapat dipakai pereaksi fenol untuk membedakannya. Penggunaan pereaksi seperti itu secara bersistem dapat dipakai untuk penggolongan alkaloid.

Jika kita menginginkan pencirian alkaloid yang lebih lengkap, cara kromatografi dan spektrofotometri dapat dipakai untuk memberikan informasi secukupnya dengan usaha sedikit mungkin. Untuk kebanyakan alkaloid pelarut bersifat basa atau asam dipakai untuk memastikan bahwa molekul semuanya tidak terprotonisasi atau semuanya terprotonisasi. Untuk alkaloid yang bersifat basa lemah, pelarut yang didapar pada harga pKa alkaloid yang akan dipisahkan memberikan hasil yang baik. Pereaksi deteksi yang paling umum dipakai untuk menyemprot kromatogram pereaksi ini beberapa nonalkaloid meskipun kepekaan terhadap alkaloid sekitar sepuluh kalinya, beberapa pereaksi lain untuk mendeteksi alkaloid adalah flouresamina dan 7,7,8,8-tetra sianokuinondimetana. Keuntungannya adalah bahwa pereaksi ini bereaksi secara berlainan dengan jenis struktur yang berbeda. Alkaloid yang mengandung gugus fenol dapat dideteksi dengan pereaksi khusus fenol


(25)

2.2.5. Isolasi Senyawa alkaloida

Isolasi alkaloida berdasarkan metode Harborne

Ekstraksi jaringan kering dengan asam asetat 10% dalam etanol, biarkan sekurang- kurangnya empat jam. Pekatkan ekstrak sampai seperempat volume asal dan endapkan

alkaloida dengan meneteskan NH4OH pekat. Kumpulkan endapan dengan

pemusingan, cuci dengan NH4OH 1%. Larutkan sisa dalam beberapa tetes etanol atau

kloroform.

Kromatografi sebagian larutan pada kertas dapar asam sitrat dalam air.

Kromatografi sebagian lain pada pelat silika gel G dalam metanol-NH4OH pekat

(200:3). Deteksi adanya alkaloida pada kertas dan pelat, mula- mula dengan flouresensi dibawah sinar uv, kemudian menggunakan penyemprot pereaksi Dragendorff (Harborne, 1987).

Pada umumnya alkaloida diekstraksi dari tumbuhan sumbernya melalui proses sebagai berikut:

1. Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan.

2. Alkaloida diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol,

kemudian pelarutnya diuapkan.

3. Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam

ammonium kuaterner; kemudian diekstraksikan kembali.

4. Garam N+ yang diperoleh direaksikan dengan Natrium Karbonat sehingga

menghasilkan alkaloida-alkaloida yang bebas kemudian diekstraksi dengan pelarut tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya.

5. Campuran alkaloida - alkaloida yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui

berbagai cara, misalnya dengan metode kromatografi.

Sebagaimana telah dikemukakan, alkaloida diperoleh dari tumbuh-tumbuhan namun ada juga yang dibuat sintesis, misalnya efedrin dan papaverin (Rangke, 1983).


(26)

2.2.6. Biosintesa Senyawa alkaloida

Prekusor alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya biosintesis alkaloid lebih rumit. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina, yaitu alkaloid utama.

Conium maculatum, sampai ke struktur pentasiklik seperti strikhnina, yaitu racun kulit

Strychnos. Amina tumbuhan (misalnya meskalina) dan basa purina dan pirimidina (misalnya kafeina) kadang- kadang digolongkan sebagai alkaloid dalam arti umum (Manitto, 1992).

2.3. Metode Pemisahan

2.3.1. Ekstraksi

Ekstraksi dapat dilakukan dengan metoda maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metoda sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya : n–heksana, eter, benzena, kloroform, etil asetat, etanol, metanol, dan air.

Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan ekstrak yang terakhir memberikan reaksi negatif terhadap pereaksi alkaloida. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator (Harborne, 1987).


(27)

2.3.2. Kromatografi

Penjelasan terperinci tentang kromatografi pertama kali diberikan oleh Michael Tswett, seorang ahli botani Rusia yang bekerja di Warsawa. Pada tahun 1906, dia mengumumkan pemerian pemisahan klorofil dan pigmen lainnya dalam suatu seri tanaman. Larutan eter petroleum yang mengandung cuplikan diletakkan pada ujung atas tabung gelas sempit yang telah diisi dengan serbuk kalsium karbonat. Ketika ke dalam kolom itu dituangi eter petroleum maka akan terlihat bahwa pigmen-pigmen itu terpisah dalam beberapa daerah. Setiap daerah bewarna itu diisolasi dan diidentifikasi senyawa penyusunnya. Adanya pita bewarna itu maka dia mengusulkan nama “kromatografi” yang berasal dari bahasa Yunani “kromatos” yang berarti warna dan “graphos” yang berarti menulis.

Sekarang kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada perbedaan distribusi dari penyusun cuplikan antara dua fasa. Satu fasa tetap tinggal pada sistem dan dinamakan fasa diam. Fasa lainnya, dinamakan fasa gerak, memperkolasi melalui celah-celah fasa diam. Gerakan fasa gerak menyebabkan perbedaan migrasi dari penyusunan cuplikan.

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan teknik kromatografi. Kebanyakan berdasarkan pada macam fasa yang digunakan (fasa gerak-fasa diam), misalnya kromatografi gas dan kromatografi cairan. Cara pengelompokan lainnya berdasarkan mekanisme yang membuat distribusi fasa. Disini metoda kromatografi sebagian dikelompokkan berdasarkan macam fasa yang digunakan dan sebagian lain berdasarkan pada mekanisme pada distribusi fasa.

Kromatografi cairan-padat atau kromatografi serapan, ditemukan oleh Tswett dan dikenalkan kembali oleh Khun dan Lederer pada 1931, telah digunakan sangat luas untuk analisis organik dan biokima. Pada umumnya sebagai isi kolom adalah silika gel atau alumina, yang mempunyai angka banding luas permukaan terhadap volume sangat besar. Sayangnya hanya ada beberapa bahan penyerap, maka pemilihannya sangat terbatas. Keterbatasan yang lebih nyata pada kenyataan bahwa


(28)

koefisien distribusi untuk serapan kerap kali tergantung pada kadar total. Hal ini akan menyebabkan pemisahan tidak sempurna.

Kromatografi cairan-cairan atau kromatografi partisi, dikenalkan oleh Martin dan Synge pada 1941, dan kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk itu. Fasa diam terdiri atas lapisan tipis cairan yang melapisi permukaan dari padatan inert yang berpori-pori. Ada banyak macam kombinasi cairan yang dapat digunakan sehingga metode ini sangat berguna. Lebih lanjut, koefisien distribusi sistem ini lebih tidak tergantung pada kadar, memberikan pemishan yang lebih tajam.

Kromatografi gas-padat, digunakan sebelum tahun 1800 untuk memurnikan gas. Pada waktu dulu teknik ini tidak berkembang karena keterbatasannya yang sama seperti halnya kromatografi cairan-padat, tetapi penelitian lebih lanjut dengan macam fasa padat baru memperluas penggunaan teknik ini.

Kromatografi gas-cairan merupakan metoda pemisahan yang sangat efisien dan serba guna. Teknik ini telah menyebabkan revolusi dalam kimia Organik sejak dikenalkan pertama kali oleh James dan martin pada 1052. Hambatan yang paling utama adalah bahan cuplikan harus mempunyai tekanan uap paling tidak beberapa torr pada suhu kolom. Sistem ini sangat baik sehingga dapat dikatakan sebagai metoda pilihan dalam kromatografi karena dapat memisahkan dengan cepat dan peka

(Sudjadi, 1986).

2.3.2.1. Kromatografi Kertas

Kromatografi kertas merupakan kromatografi cairan – cairan dimana sebagai fasa diam adalah lapisan tipis air yang diserap dari lembap udara oleh kertas. Jenis fasa cair lainnya dapat digunakan. Teknik ini sangat sederhana.

Mula- mula telah dilakukan pemisahan asam- asam amino dan peptida- peptida yang merupakan hasil hidrolisa protein wool dengan suatu cara dimana kolom yang berisi bubuk diganti dengan lembaran kertas dan kemudian diletakkan di dalam


(29)

bjana tertutup yang berisi uap jenuh larutan. Ini adalah merupakan jenis dari sistem partisi dimana fasa tetap adalah air, disokong oleh molekul- molekul selulose dari kertas, dan fasa bergerak biasanya merupakan campuran dari satu atau lebih pelarut- pelarut organik dan air.

Suatu hal yang perlu diperhatikan dimana pada kromatografi kertas peralatan yang dipakai tidak perlu alat- alat teliti dan mahal. Hasl- hasil yang baik dapat diperoleh dengan peralatan- peralatan dan materi- materi yang sangat sederhana. Senyawa- senyawa yang terpisahkan dapat dideteksi pada kertas dan dapat segera diidentifikasikan. Bahkan jika dikehendaki komponen- komponen yang terpisahkan dapat diambil dari kertas dengan jalan memotong- motongnya yang kemudian dilarutkan secara terpisah.

Pelarut bergerak melalui serat- serat dari kertas oleh gaya kapiler dan menggerakkan komponen- komponen dari campuran cuplikan pada perbedaan jarak dalam arah aliran pelarut. Bila permukaan pelarut telah bergerak sampai jarak yang cukup jauhnya atau setelah waktu yang ditentukan; maka kertas diambil dari bejana dan kedudukan dari permukaan pelarut diberi tanda dan lembaran kertas dibiarkan kering. Jika senyawa- senyawa berwarna maka mereka akan terlihat sebagai pita- pita atau noda- noda yang terpisah. Jika senyawa tidak berwarna mereka maka mereka harus dideteksi dengan cara menggunakan pereaksi- pereaksi yang memberikan warna terhadap senyawa yang dipisahkan (Sastrohamidjojo, 1985).

2.3.2.2. Kromatografi Lapisan Tipis

Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) dapat dipakai dengan dua tujuan. Yang pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif dan preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.

Pada hakikatnya Kromatografi Lapisan Tipis melibatkan dua peubah: sifat fasa diam atau sifat lapisan dan sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fasa


(30)

diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair- cair). Fasa diam pada KLT sering disebut penyerap, walaupun sering berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair di dalam sistem kromatografi cair- cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT, yaitu: silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome), dan selulosa. Fasa gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut (Gritter, 1991).

2.3.2.3. Kromatografi Kolom

Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam, atau bahkan tabung plastik. Pelarut atau fasa gerak dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom.

Ada empat perubahan utama yang dilakukan pada cara kolom klasik. Pertama dipakai penyerap yang lebih halus dengan kisaran ukuran mesh lebih sempit, agar tercipta kesetimbangan yang lebih baik di dalam sistem. Kedua sistem tekanan biasanya pompa mekanis, dipakai untuk mendorong pelarut melalui penyerap yang halus. Ini perlu karena ukuran partikel kecil, tetapi pompa itu juga menyebabkan kromatografi lebih cepat, jadi memperkecil difusi. Ketiga detektor telah dikembangkan sehingga diperoleh analisis senyawa yang bersinambungan ketika senyawa itu keluar dari kolom. Data analisi ini dapat dipakai untuk membagi- bagi fraksi ketika keluar, dan jika diperlakukan dengan tepat, dapat memberikan data kuantitatif mengenai banyaknya senyawa yang ada. Akhirnya penyerap baru dan cara pengemasan kolom baru dikembangkan sehingga memungkinkan derajat daya pisah yang tinggi tercapai.


(31)

Ukuran keseluruhan kolom sungguh beragam, tetapi biasanya panjangnya sekurang- kurangnya sepuluh kali garis tengah dalamnya dan mungkin saja sampai 100 kalinya. Nisbah panjang terhadap lebar sebagian besar ditentukan oleh mudah atau sukarnya pemisahan, nisbah lebih besar untuk pemisahan yang lebih sukar. Ukuran kolom dan banyaknya penyerap yang dipakai ditentukan oleh bobot campuran linarut yang akan dipindahkan (Gritter, 1991).

2.4. Teknik Spektroskopi

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi cahaya dengan atom dan molekul. Radiasi cahaya atau elektromagnet dapat menyerupai gelombang. Beberapa sifat fisika cahaya paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan dengan sifat partikel (Creswell, 1982).

Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Ada dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada bidang fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut spektrofotometer (Muldja, 1955).

Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe-tipe dari adanya gugus fungsi dalam satu molekul, Resonansi Magnet Inti yang memberikan informasi tentang bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Ini juga memberikan informasi yang menyatakan tentang alam serta lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Kombinasinya dan data yang ada kadang-kadang menentukan struktur yang lengkap dari molekul yang tidak diketahui (Pavia, 1979).


(32)

2.4.1. Spektrofotometri Inframerah ( Fourier Transform - Infra Red )

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran

yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapannya kurang dari 100 cm -1 (panjang

gelombang lebih daripada 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah

menjadi putaran energi molekul.

Penyerapan ini tercantum, namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai garis – garis melainkan berupa pita – pita. Hal ini disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi putaran

Beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menafsirkan sebuah spektrum infra merah :

a. Spektrum haruslah cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang

memadai.

b. Spektrum harus dibuat dari senyawa yang cukup rumit.

c. Spektrofotometer harus dikalibrasi sebagai pita akan teramati pada kerapatan

atau panjang gelombang yang semestinya. Kalibrasi yang benar dapat dilakukan dengan baku-baku yang dapat dipercaya, misalnya polistiren.

d. Metode penangannan cuplikan ( Silverstein, 1984 ).

Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan yaitu vibrasi regang (stretching) dan vibrasi lentur (bending vibrations).

1. Vibrasi Regang

Terjadi perubahan jarak antara dua atom dalam suatu molekul secara terus-menerus. Vibrasi regang ada dua macam, yakni vibrasi regang simetris dan tak simetris.

2. Vibrasi Lentur

Terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada dua macam vibrasi lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang (scissoring dan rocking) dan vibrasi luar bidang (waging dan twisting) ( Noerdin, 1985).


(33)

Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwikutub secara berirama saja yang teramati di dalam infra-merah. Medan listrik yang berganti-ganti, yang dihasilkan oleh perubahan penyebaran muatan yang menyertai getaran menjodohkan getaran molekul dengan medan listrik pancaran elektromagnet yang berayun (Silverstain, 1986).

2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR )

Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) merupakan alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul. Struktur NMR memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen, jumlah atom hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap atom hidrogen ( Cresswell, 1982 ).

Pergeseran kimia adalah pengukuran medan dalam keadaan bebas. Semua proton-proton dalam satu molekul yang ada dalam lingkungan kimia yang serupa kadang-kadang menunjukkan pergeseran kimia yang sama. Setiap senyawa memberikan penaikan menjadi puncak absorpsi tunggal dalam spektrum NMR

( Bernasconi, 1995 ).

Spektrum NMR dari amina sangat beragam, sama seperti NMR yang

ditunjukkan pada alkohol. Serapan N-H dari sebuah amina alifatik berada pada δ 0,5

sampai 3 ppm, sedangkan serapan amina aromatik berada pada δ 3,0 sampai 5,0 ppm. Sebagai hasil dari adanya ikatan hidrogen pada amina sekunder ataupun amina primer maka pergeseran kimia dari proton N-H bervariasi, dimana pergeseran kimia ini tergantung pada pelarut, konsentrasi dan temperaturnya. Hal ini hampir serupa dengan alkohol. Sama juga dengan alkohol, amina juga mungkin dapat dibedakan proton dari

N-H dengan menggunakan deuterium yaitu D2O. Serapan proton dari N-H juga dapat

dengan mudah diketahui dengan mencocokkan dengan pertukaran isotopnya dengan kontaminan yang mendekati peak dari HOD dengan pertukarannya menggunakan air (Alan, 1981).


(34)

Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu :

1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan spektrum puncak tunggal yang kuat.

CH3

H3C Si CH3

CH3

2. TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan ke

dalam larutan sampel dalam pelarut CDCl3 atau CCl4.

Boleh dikatakan semua senyawa organik memberikan resonansi bawah medan terhadap TMS. Hal ini disebabkan Si lebih bersifat elektropositif dibandingkan atom

C. TMS sendiri dari segi kimia bersifat lembam, tidak bercampur dengan H2O ataupun

air berat (Muldja, 1955).

Pergeseran Kimia

Spektroskopi NMR dalam kimia tidak didasarkan pada kemampuannya untuk membeda-bedakan unsur dalam suatu senyawa, tetapi didasarkan pada kemampuannya untuk mengetahui inti tertentu dengan memperhatikan lingkungannya dalam molekul. Frekuensi resonansi individu inti dipengaruhi oleh distribusi elektron pada ikatan kimia dalam molekul, dengan demikian harga frekuensi resonansi suatu inti tertentu tergantung pada struktur molekul.

Untuk memberikan gambaran NMR sebagai gambaran inti adalah proton. Sebagai benzil asetat akan menghasilkan tiga sinyal NMR yang berbeda yaitu masing-masing utnuk satu proton fenil, metilen, dan gugus metil. Hal ini dihasilkan oleh pengaruh lingkungan kimia yang berbeda pada suatu proton tersebut dalam molekul, keadaan ini dikenal dengan pergeseran kimia frekuensi resonansi atau lebih sederhana sebagai pergeseran kimia.


(35)

Tetrametil silan (TMS) merupakan senyawa yang memenuhi persyaratan yang dimaksud. Sinyal TMS sangat jelas dan pergeseran kimianya berbeda terhadap kebanyakan resonansi proton lain. Sehingga sinyal resonansi cuplikan jarang teramati saling tindih dengan TMS. Senyawa TMS memiliki sifat inert, mudah menguap, merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik sehingga mudah dipisahkan

setelah cuplikan selesai dibuat spektrum. Jadi skala δ resonansi magnetik proton


(36)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat

1. Neraca analitis Mettler PM 480

2. Rotary evaporator Buchi B-480

3. Gelas Beaker Pyrex

4. Gelas Ukur Pyrex

5. Corong pisah Duran

6. Gelas erlenmeyer Pyrex

7. Tabung reaksi Pyrex

8. Kolom kromatografi Pyrex 20/40

9. Batang Pengaduk

10.Indikator universal

11.Kertas saring

12.Chamber

13.Corong

14.Plat skrining test

15.Lampu UV

16.Plat Kromatografi Lapis Tipis

17.Rak Tabung Reaksi

18.Magnetik stirer

19.Hot plate Nuova

20.Labu Alas Pyrex

21.Blender Maspion

22.Spektrometer IR Jasco FT-IR-5300


(37)

3.2. Bahan

1. Daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.)

2. Aquadest

3. Kloroform

4. N-heksan

5. Silika gel 60 G ( E. Merk. Art. 7734 )

6. Silika gel 60 GF254 ( E. Merck. Art. 10180)

7. NH4OH (p)

8. HCl 2 M

9. Pereaksi Maeyer

10.Pereaksi Dragendorff

11.Pereaksi Wagner

12.Pereaksi Bouchardat

13.Metanol

14.Dietileter

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penyediaan sampel

Sampel yang diteliti adalah daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) yang diambil dari daerah Dolog Masihul, kabupaten Serdang Bedagai, propinsi Sumatera Utara dan kemudian dibuat dalam bentuk serbuk halus sebanyak 1000 g.

3.3.2. Uji Skrining Fitokimia

Untuk mengetahui adanya senyawa alkaloida di dalam daun tumbuhan sidaguri, maka dilakukan uji pendahuluan secara kualitatif dengan pereaksi warna.


(38)

Serbuk kering daun tumbuhan sidaguri ditimbang sebanyak 5 g, dimaserasi dengan metanol sebanyak 20 ml selama 2 jam, disaring dan filtrat yang diperoleh dibagi kedalam 4 tabung reaksi.

Tabung I : dengan pereaksi Maeyer menghasilkan endapan

berwarna putih kekuningan.

Tabung II : dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan berwarna

coklat.

Tabung III : dengan pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan

berwarna coklat.

Tabung IV : dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan endapan

berwarna jingga.

3.3.3. Pengadaan Ekstrak Dietileter Daun Tumbuhan Sidaguri

Serbuk daun tumbuhan sidaguri yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1000 gr kemudian dimaserasi dengan metanol sebanyak 5 liter selama ± 72 jam, kemudian disaring dan dipekatkan dengan menggunakan alat rotarievaporator sehingga terbentuk ekstrak pekat metanol. Ekstrak pekat metanol tersebut dipartisi berulang-ulang dengan menggunakan n-heksana sebanyak lima kali. Lapisan metanol diambil kemudian diasamkan dengan menggunakan HCl 2M hingga mencapai pH=2. Kemudian didiamkan selama satu malam lalu dicuci dengan dietileter sebanyak tiga

kali, dibasakan dengan menggunakan NH4OH pekat sampai pH 9-10 lalu didiamkan

kembali selama satu malam, kemudian diekstraksi dengan menggunakan dietileter sebanyak tiga kali. Lapisan dietileter ditampung lalu diuapkan sehingga diperoleh ekstrak pekat dietileter.

3.3.4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis

Analisis kromatografi Lapis Tipis dilakukan terhadap ekstrak pekat dietileter dengan

menggunakan fasa diam silika gel 60 GF254. Analisa ini dimaksudkan untuk mencari


(39)

adalah kloroform dan metanol dengan variasi pelarut kloroform : metanol (90 : 10, 80 : 20, 70 : 30, 60 : 40, 50 : 50, 40 : 60, 30 : 70, 20 : 80, 10 : 90) v/v. Sehingga akan diperoleh perbandingan pelarut kloroform : metanol yang sesuai untuk kromatografi kolom.

Pelarut yang sesuai didasarkan pada jumlah bercak atau noda yang paling banyak dan pemisahannya baik.

Prosedur :

Dimasukkan 10 mL larutan fase gerak klorofom 100% ke dalam bejana kromatografi. Ekstrak encer dietileter ditotolkan pada plat KLT yang diaktifkan. Plat dimasukkan ke dalam bejana yang berisi pelarut yang dijenuhkan, kemudian ditutup. Setelah dielusi, plat dikeluarkan dari bejana, dikeringkan. Noda yang terbentuk diamati dengan sinar Ultra Violet, kemudian harga Rf dihitung dan dicatat.

Perlakuan yang sama dilakukan untuk campuran pelarut antara kloroform : metanol. Sehingga dari hasil KLT akan diperoleh pelarut kloroform : metanol dengan variasi pelarut (90 : 10, 80 : 20, 70 : 30, 60 : 40, 50 : 50, 40 : 60, 30 : 70, 20 : 80, 10 : 90 v/v) yang memberikan pemisahan bercak / noda yang baik adalah kloroform : metanol (70 : 30 v/v) yang memberikan noda dengan harga Rf yaitu 0,29 dan 0,92.

3.3.5. Isolasi Senyawa Alkaloida dengan Kromatografi Kolom

Isolasi senyawa alkaloida dari ekstrak pekat dietileter daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom. Sebagai fase

diam yaitu Silika Gel 60 G ( E. Merck. Art.7734) dan fasa gerak kloroform : metanol (70 : 30 v/v).

Prosedur:

Dirangkai peralatan untuk kromatografi kolom, kemudian Silika Gel 60 G (E. Merck. Art. 7734) sebanyak 120 g dibuburkan dengan kloroform, diaduk sampai homogen dan dimasukkan kedalam kolom kromatografi. Lalu dielusi dengan kloroform 100 % hingga bubur silika gel padat dan homogen. Dimasukkan 4 g ekstrak


(40)

pekat dietileter daun tumbuhan sidaguri yang telah dibuburkan dengan silika gel ke dalam kolom kromatografi yang telah berisi bubur silika gel. Sampel dibiarkan turun dan terserap dengan baik pada silika gel. Kemudian fasa gerak kloroform : metanol (70 : 30 v/v) ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam kolom, diatur sehingga aliran fraksi keluar dari kolom kromatografi bergerak secara kontiniu dan ditampung tiap fraksi dalam botol vial masing-masing sebanyak 8 ml. Tiap-tiap fraksi di-KLT lalu digabung fraksi dengan Rf yang sama, pelarutnya diuapkan hingga diperoleh pasta (Gritter, 1991).

3.3.6. Analisis Pasta Hasil Isolasi

3.3.6.1. Uji kemurnian Hasil Isolasi dengan Kromatografi Lapis Tipis

Uji kemurnian pasta dilakukan dengan menggunakan kromatografi Lapis Tipis yang

menggunakan fase diam silika gel 60 GF254 ( E. Merck. Art 10180) dan fase gerak

kloroform : metanol (70 : 30 v/v)

Prosedur :

Dimasukkan larutan fase gerak kloroform : metanol (70:30 v/v) ke dalam bejana kromatografi kemudian dijenuhkan. Pasta yang diperoleh dilarutkan dengan kloroform, lalu ditotolkan pada plat KLT. Plat yang telah ditotolkan sampel dimasukkan kedalam bejana kromatografi dan dibiarkan hingga pelarut naik sampai batas atas yang telah ditentukan. Plat dikeluarkan dari bejana kromatografi, dikeringkan dan noda yang terlihat di lampu UV berwarna coklat dan kemudian difiksasi dengan pereaksi dragendorff menghasilkan noda berwarna jingga yang menunjukkan bahwa pasta tersebut adalah positif senyawa alkaloida. Perlakuan yang dilakukan untuk campuran pelarut kloroform : metanol (70 : 30 v/v), dimana dihasilkan satu noda.


(41)

3.3.6.2. Uji Reaksi Warna terhadap Pasta Hasil Isolasi dengan Pereaksi Alkaloid

Pasta hasil isolasi dilarutkan dalam kloroform, kemudian dibagi 4 :

1. Larutan pertama ditetesi dengan pereaksi Maeyer memberikan endapan

berwarna putih kekuningan

2. Larutan kedua ditetesi dengan pereaksi Wagner memberikan endapan berwarna

coklat.

3. Larutan ketiga ditetesi dengan pereaksi Bouchardat memberikan endapan

berwarna coklat.

4. Larutan keempat ditetesi dengan pereaksi Dragendorff memberikan endapan

berwarna jingga.

3.3.7. Analisis Spektroskopi Pasta Hasil Isolasi

3.3.7.1. Uji Pasta Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer Inframerah

Analisis dengan alat Spektrofotometer FT-IR diperoleh dari Laboratorium Dasar Bersama FMIPA UNAIR ( Lampiran E).

3.3.7.2. Uji Pasta Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton 1H-NMR

Analisis dengan alat Spektrofotometer 1H-NMR diperoleh dari Laboratorium Kimia

Dasar FMIPA UNAIR Surabaya dengan menggunakan CDCl3 sebagai pelarut


(42)

3.3 Bagan Penelitian

← dimaserasi dengan metanol selama ±72 jam ← diskrining fitokimia

← disaring

← dipekatkan dengan rotarievaporator

← diekstraksi partisi dengan n-heksana sebanyak 5 kali

← diasamkan dengan HCl 2M sampai pH=2

← didiamkan selama 1 malam

←dicuci dengan dietileter sebanyak 3 kali

← dibasakan dengan NH4OH(p) sampai pH 9-10 ← didiamkan selama 1 malam

← diekstraksi dengan dietileter

← diuapkan

← dianalisis KLT dengan berbagai eluen

← dipisahkan dengan kromatografi kolom dengan fasa diam silica gel 60 GF 254 dan fasa gerak Kloroform : metanol = 7:3 v/v

← ditampung tiap fraksi sebanyak 8 ml dalam botol ← dianalisis KLT

← digabungkan Rf yang sama

← diuapkan ← diuapkan

← dianalisis KLT

← diskrining fitokimia

← dianalisis dengan spektrofotometer FT-IR dan spektrofotometer 1H-NMR 1000 g serbuk kering

daun sidaguri

Material Ekstrak kasar metanol

Ekstrak pekat metanol

Lapisan metanol Lapisan n-heksana

Ekstrak metanol- asam pH=2

Ekstrak basa pH = 9-10

Ekstrak basa pH = 9-10 Lapisan dietileter

Ekstrak pekat dietileter

Fraksi 1-10 Fraksi 11-30 Fraksi 31-44 Fraksi 45-75 Fraksi 76-117

Pasta kuning kecoklatan

Pasta kuning kecoklatan

Pasta kuning kecoklatan


(43)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil skrining fitokimia terhadap ekstrak daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) dengan menggunakan pereaksi-pereaksi warna untuk senyawa alkaloida menunjukkan bahwa di dalam daun tumbuhan sidaguri mengandung senyawa alkaloida.

Dari hasil analisis kromatografi lapis tipis dengan menggunakan adsorben

silika gel 60 GF254 dapat diketahui bahwa pelarut yang baik untuk mengisolasi

senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri adalah pada perbandingan pelarut klorofom : metanol (70 : 30 v/v).

Dari hasil isolasi daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) diperoleh pasta kuning kecoklatan sebanyak 0,59 g.

Hasil analisis Spektrofotometri Infra merah (FT-IR) pasta hasil isolasi

menghasilkan pita-pita serapan pada daerah bilangan gelombang (cm-1) sebagai

berikut :

1. Pada bilangan gelombang 3395,10 cm-1

2. Pada bilangan gelombang 2933,19 cm-1

3. Pada bilangan gelombang 1628,21 cm-1

4. Pada bilangan gelombang 1508,27 cm-1

5. Pada bilangan gelombang 1491,27 cm-1

6. Pada bilangan gelombang 1448,25 cm-1

7. Pada bilangan gelombang 1424,24 cm-1

8. Pada bilangan gelombang 1364,26 cm-1


(44)

Hasil analisis Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) memberikan pergeseran kimia pada daerah (ppm) sebagai berikut :

1. Pergeseran kimia pada daerah δ=1,25 ppm terdapat puncak singlet

2. Pergeseran kimia pada daerah δ=1,38-2,35 ppm terdapat puncak multiplet

3. Pergeseran kimia pada daerah δ= 3,88 ppm terdapat puncak singlet

4. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,47-6,50 ppm terdapat satu puncak melebar

5. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,80-6,92 ppm terdapat puncak doublet

6. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,92-7,01 ppm terdapat puncak doublet

7. Pergeseran kimia pada daerah δ=7,40-7,49 ppm terdapat puncak doublet

4.2.Pembahasan

Daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) dinyatakan mengandung senyawa alkaloida berdasarkan hasil skrining fitokimia yang dilakukan dengan menggunakan pereaksi-pereaksi alkaloida menghasilkan perubahan warna sebagai berikut :

1. Pereaksi Maeyer menghasilkan endapan berwarna putih kekuningan.

2. Pereaksi Wagner menghasilkan endapan berwarna coklat.

3. Pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan berwarna coklat.

4. Pereaksi Dragendorff menghasilkan endapan berwarna jingga,

yang menunjukkan bahwa pasta tersebut adalah positif senyawa alkaloida.

Dari hasil kromatografi lapis tipis, diketahui bahwa perbandingan pelarut yang baik untuk mengisolasi senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) adalah kloroform : metanol (70 : 30 v/v). Hal ini disebabkan karena

pada perbandingan pelarut tersebut noda yang ditimbulkan pemisahannya sangat baik dibanding dengan perbandingan pelarut yang lain.


(45)

Dari hasil interpretasi Spektrum Infra Merah diperoleh pita serapan sebagai berikut :

1. Pada bilangan gelombang 3395,10 cm-1 menunjukkan adanya adanya vibrasi

ulur (stretching)N-H yang kemungkinan atom N ini dari cincin heterosiklik piperidin

N H

(Parikh, 1976).

2. Pada bilangan gelombang 2933,19 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur

(streching) C-H.

3. Pada bilangan gelombang 1628,21 dan1491,27 cm-1 menunjukkan adanya

gugus C=C aromatik.Ini membuktikan adanya gugus aromatik dari senyawa alkaloida hasil isolasi.

4. Pada bilangan gelombang 1508,27 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) N-H.

5. Pada bilangan gelombang 1448,25 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) CH2 .

CH2 ini pembentuk cincin siklik dari siklik amin piperidin.

6. Pada bilangan gelombang 1424,24 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) CH3. CH3 ini belum dapat dipastikan apakah masuk ke dalam

kerangka senyawa alkaloida hasil isolasi.

7. Pada bilangan gelombang 1364,26 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) –CH.

8. Pada bilangan gelombang 1254,25 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-N.

Hal ini didukung oleh Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) :

1. Pergeseran kimia pada daerah 1,25 ppm terdapat puncak singlet intensitas

tinggi dari proton CH3, dimana CH3 ini belum dapat dipastikan jumlahnya


(46)

2. Pergeseran kimia pada daerah 1,38- 2,35 ppm terdapat puncak multiplet dari

proton CH, CH2 .Ini kemungkinan CH, CH2 yang membentuk cincin alifatis

dari piperidin.

3. Pergeseran kimia pada daerah 3,88 ppm terdapat puncak singlet yang diduga

dari proton O-CH3,yang letaknya belum dapat dipastikan (Jacobs, 1974).

4. Pergeseran kimia pada daerah 6,47- 6,50 ppm terdapat satu puncak melebar

yang diduga gugus NH pada inti piperidin (peak melebar)

N H

(Sastrohamidjojo, 1994).

5. Pergeseran kimia pada daerah 6,80 - 6,92 ppm terdapat puncak doublet, pada

daerah 6,92 - 7,01 ppm terdapat puncak doublet dan pada daerah 7,40 - 7,49 terdapat puncak doublet,yang merupakan penjodohan proton yang terdapat pada cincin aromatis yang terikat pada cincin heterosiklik yang mengandung atom H (Chamberlain, 1974).

Dari daerah aromatis 6,5-8 ppm muncul peak yang menggambarkan penjodohan dari proton yang terdapat di aromatik yang terikat pada piperidin (amin siklik), tetapi dalam hal ini kami tidak dapat memastikan jumlah cincin aromatisnya.

Dari hasil pembahasan di atas, melalui uji skrining fitokimia dengan pereaksi warna terhadap pasta hasil isolasi yang bemberikan hasil positif dan dengan kehadiran atom N pada senyawa tersebut yang diinterpretasikan oleh data spektrum FT-IR

dan 1H-NMR menunjukkan bahwa pasta senyawa hasil isolasi adalah suatu senyawa


(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hasil uji skrining fitokimia alkaloida menunjukkan bahwa daun tumbuhan

sidaguri (Sida rhombifolia L.) mengandung senyawa alkaloida.

2. Hasil isolasi yang diperoleh dari 1000 g daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) merupakan pasta kuning kecoklatan sebanyak 0,59 g.

3. Hasil identifikasi infra merah (FT-IR) pasta hasil isolasi dari daun tumbuhan

sidaguri (Sida rhombifolia L.) menunjukkan adanya gugus NH yang diduga terdapat pada inti piperidin, gugus C=C yang membuktikan adanya gugus

aromatik, gugus CH2 yang kemungkinan pembentuk cincin siklik amin

piperidin dan gugus CH3 yang belum dapat dipastikan apakah masuk ke dalam

kerangka senyawa alkaloida hasil isolasi. Hal ini didukung oleh hasil

identifikasi Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)) dimana

terdapat satu puncak melebar yang diduga gugus NH, terdapat puncak

multiplet dari proton CH,CH2 yang kemungkinan pembentuk inti piperidin,

puncak singlet dari proton CH3 dan puncak doublet yang merupakan

penjodohan proton pada cincin aromatis yang terikat pada cincin heterosiklik (Chamberlain, 1974).

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penentuan jumlah atom karbon dengan menggunakan

13

C-NMR, dan menentukan massa dengan MS untuk menentukan struktur senyawa hasil isolasi.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Alan, S. W. 1981. Organic Chemistry. New York : Harper & Row Publisher.

Arief, H., 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya (seri agri sehat). Seri pertama Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya

Bernasconi, G. 1995. Teknologi Kimia. Jilid 2. Edisi pertama. Jakarta: PT. Pradaya Paramita.

Chamberlain, N. F. 1974. The Practise of NMR Spectroscopy With Spectra-Structure

Correlation for Hidrogen-I. New York and London : Plenum Press.

Cresswell, C. J dan Runquist dan Campbell. 1982. Analisis Spektrum Senyawa

Organik. Edisi kedua. Bandung : Penerbit ITB.

Dalimarta, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid ke-2 . Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Surabaya.

Finar, L.I. 1983. Organic Chemistry, Stereochemistry and the Chemistry Of Natural

Products. Fourth Edition. Vol 2. Longmans, Green & Co Ltd.

Gritter, R. J. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung : Penerbit ITB.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa

Tumbuhan. Terbitan Kedua. Terjemahan Kokasih Padmawinata dan Iwang

Soediro. Bandung : Penerbit ITB.

Hendrickson, J. N. 1965. The Molecular Of Nature . New York. W.A.

Benjamin, Inc.

Jacobs, T. L. 1974. Laboratory Practice or Organic Chemistry. Fifth Edition. New York : Macmillan Publishing Co. Inc.


(49)

Manito, P. 1992. Biosintesis Produk Alami . Semarang. Cetakan Pertama IKIP.

Muldja, M. H. 1955. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga Universitas Press.

Nakanishi, K. 1974. Natural Products Chemistry 2. New York : Kondansha Ltd.

Noerdin, 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Bandung : Penerbit Angkasa.

Parikh, V. M. 1976. Absorption Spectra of Organik Molecules Addison. New York : Weseley Publishing, Co, Inc, Reading, Mass.

Pavia, L. D. 1979. Introduction to Spectroscopy A Guide for Students of Organic

Chemistry. Philladelphia : Saunders College.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam, Bandung : Penerbit ITB.

Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Edisi I. Cetakan I. Yogyakarta : Liberty.

Sastrohamidjojo, H. 1994. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.

Sastrohamidjojo. 1996. Sintesis Bahan Alam. Cetakan Pertama, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Silverstein, R. M. 1984. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik. Terjemahan A. J. Hatomo dan Anny Viktor Purba. Edisi keempat.

Jakarta : Penerbit Erlangga.


(50)

Tobing, L. R. 1989. Kimia Bahan Alam. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pembangunan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Torsell, K. B. G. 1983. Natural Products Chemistry, A Mechanistic and Biosynthetic

Approach to Secondary Metabolism. New York : John Wiley And Sons


(51)


(52)

(53)

(54)

Lampiran C. Kromatogram Lapisan Tipis Ekstrak Dietileter Daun Tumbuhan Sidaguri

I II III IV V VI VII VIII IX

E E E E E E E E E

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 GF254 (E. Merck. Art 10180)

E : Ekstrak kloroform dari daun tumbuhan sidaguri

I : Fase gerak kloroform : metanol (90:10 v/v)

II : Fase gerak kloroform : metanol (80:20 v/v)

III : Fase gerak kloroform : metanol (70:30 v/v)

IV : Fase gerak kloroform : metanol (60:40 v/v)

V : Fase gerak kloroform : metanol (50:50 v/v)

VI : Fase gerak kloroform : metanol (40:60 v/v)

VII : Fase gerak kloroform : metanol (30:70 v/v)

VIII : Fase gerak kloroform : metanol (20:80 v/v)


(55)

Lampiran D. Kromatogram Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Penampakan Noda Dengan Sinar Ultraviolet

Fasa gerak Warna noda Harga Rf

I coklat 0,92

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 GF254 (E. Merck. Art 10180)


(56)

(57)

(58)

(1)

(2)

Lampiran C. Kromatogram Lapisan Tipis Ekstrak Dietileter Daun Tumbuhan Sidaguri

I II III IV V VI VII VIII IX

E E E E E E E E E

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 GF254 (E. Merck. Art 10180) E : Ekstrak kloroform dari daun tumbuhan sidaguri I : Fase gerak kloroform : metanol (90:10 v/v) II : Fase gerak kloroform : metanol (80:20 v/v) III : Fase gerak kloroform : metanol (70:30 v/v) IV : Fase gerak kloroform : metanol (60:40 v/v) V : Fase gerak kloroform : metanol (50:50 v/v) VI : Fase gerak kloroform : metanol (40:60 v/v) VII : Fase gerak kloroform : metanol (30:70 v/v) VIII : Fase gerak kloroform : metanol (20:80 v/v) IX : Fase gerak kloroform : metanol (10:90 v/v)


(3)

Lampiran D. Kromatogram Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Penampakan Noda Dengan Sinar Ultraviolet

Fasa gerak Warna noda Harga Rf

I coklat 0,92

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 GF254 (E. Merck. Art 10180) Fasa gerak I : Klorofom : Metanol (70:30 v/v)


(4)

(5)

(6)