Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bekerja merupakan suatu kewajiban yang harus dijalani oleh hampir seluruh individu segera setelah menyelesaikan pendidikan yang ditempuh. Menurut Anoraga 2009:11, dalam Chofitnah R. Laela, 2015 bekerja merupakan hal yang dibutuhkan wanita dan pria. Sekalipun masyarakat di Indonesia memiliki prinsip bahwa pria berperan sebagai pencari nafkah dan wanita berperan sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi seiring berkembangnya zaman banyak wanita mulai memutuskan untuk bekerja di luar rumah dan mendapatkan penghasilannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pekerja di Indonesia seperti yang tercatat di Badan Pusat Statistika BPS bahwa pada Februari 2015 jumlah angkatan kerja Indonesia tercatat 128,3 juta orang atau bertambah 6,4 juta orang dibanding Agustus 2014, sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka TPT pada Februari 2015 tercatat sebesar 5,81 persen atau menurun dibandingkan Agustus 2014 yang mencapai 5,94 persen setkab.go.id. Masuknya wanita dalam dunia pekerjaan membuat mereka menambah peran yang harus dijalankan. Wanita tidak hanya memiliki peran sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga memiliki peran sebagai seorang wanita karir. Masuknya wanita ke dalam ranah pekerjaan menuntut para pekerja wanita tersebut untuk membagi waktu agar dapat memenuhi tuntutan dari kedua peran tersebut. Pria yang sudah menikah tidak hanya berperan untuk mencari nafkah, melainkan menjadi seorang kepala rumah tangga yang ikut berperan dalam mengurus anak dan menentukan keputusan dalam keluarga. Posisi tersebut membuat peran seorang pria atau ayah menjadi sangat strategis dalam menentukan arah kehidupan keluarga sehingga peran pria dalam keluarga juga sangat penting Haitami Salim, 2013. Kedua peran yang dijalankan baik oleh pria maupun wanita yang sudah menikah tersebut membutuhkan waktu, Universitas Kristen Maranatha tenaga, dan perhatian sehingga dapat menimbulkan konflik peran Omah Ihromi, 1990. Peran ganda dengan tuntutan tidak terhingga cenderung menyebabkan ketegangan dan konflik peran bagi individu karena sumber daya yang mereka miliki untuk memenuhi tuntutan tersebut terbatas Goode, 1960. Konflik peran ini dapat dialami oleh pekerja di berbagai bidang profesi, salah satunya adalah polisi. Johnson 2005, dalam Dian Sari, 2014 mengatakan bahwa polisi merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki kepuasan kerja, kesejahteraan psikologis, dan kesehatan fisik yang rendah. Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Artinya bahwa mereka harus mengutamakan peran tersebut sehingga membuat mereka harus mengutamakan tugas mereka sebagai polisi. Salah satu bidang kepolisian yang memiliki resiko bekerja yang tinggi adalah polisi bidang reserse kriminal yang selanjutnya disebut dengan polisi reskrim. Hal ini dikarenakan tugas mereka yang banyak bersentuhan dengan dunia kriminal dan kejahatan yang terjadi di masyarakat. Mereka harus melindungi masyarakat dari tindakan kriminalitas dan menindak kasus kejahatan yang terjadi secara sigap dan tepat. Reskrim merupakan unsur pelaksana tugas pokok bidang reserse kriminal yang berada di bawah Polri. Polisi di bagian Reskrim bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, pengawasan dan pengendalian penyidikan, penyelenggaraan identifikasi, laboratorium forensik dalam rangka penegakan hukum, serta pengelolaan informasi kriminal nasional Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Universitas Kristen Maranatha Negara Republik Indonesia. Reskrim terdiri dari beberapa unit, antara lain Kriminal Umum Krimum, Harta Benda Harda, Pencurian Motor Ranmor, Kriminal Khusus Krimsus, Reserse Mobile Resmob, dan Perlindungan Perempuan dan Anak PPA. Salah satu kota yang cukup disibukkan dengan kriminalitas di kotanya adalah Kota Jakarta dimana hasil survei menunjukkan bahwa dari segi jumlah kejahatan untuk level provinsi, selama tahun 2014 Polda Metro Jaya mencatat jumlah kejahatan terbanyak yaitu 44.298 kasus, hal ini menunjukkan bahwa Kota Jakarta memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi dibandingkan kota lain bps.go.id. Hal ini membuat salah satu Polres yang ada di Jakarta yaitu Polres “X” harus bekerja lebih, khususnya untuk unit-unit di reskrimnya. Polres “X” merupakan salah satu polres yang menangani permasalahan di wilayah-wilayah pusat di kota Jakarta. Menurut salah satu Kanit Kepala Unit di reskrim polres “X”, wilayah “X” ini merupakan wilayah yang tertinggi pertama tingkat kriminalitasnya. Hal ini dikarenakan kesenjangan ekonomi yang tinggi yang terlihat jelas. Contohnya, wilayah “X” menjadi pusat perkantoran dan hunian dimana banyak berdiri kantor-kantor, apartemen-apartemen, dan pusat perbelanjaan, tetapi di sisi lain terlihat masih banyaknya daerah-daerah yang kumuh dan orang-orang yang bergelandangan. Hal ini menurut Kanit di Unit tersebut dapat memicu munculnya kriminalitas di masyarakat. Menurut beberapa staf di Polres “X” Jakarta, polisi bagian reskrim memiliki tugas yang lebih berat daripada bagian yang lainnya karena mereka langsung berhadapan dengan masyarakat, terjun langsung dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan, melakukan penangkapan tersangka, serta memiliki waktu yang lebih lama dalam bekerja. Tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh polisi reskrim antara lain menerima laporan pengaduan dari masyarakat, membuat laporan polisi, membuat permohonan VER Visum Et Repertum, melakukan pemeriksaan saksi korban, mengantar atau menemani korban Universitas Kristen Maranatha melakukan visum, mengikuti perkembangan perkara, membuat laporan kegiatan secara berkala, dan melayani masyarakat selama 24 jam. Reskrim Polres “X” Jakarta memiliki jam kerja yang berbeda dengan staf-staf lain di Polres tersebut dimana mereka memiliki waktu piket yang mengharuskan berjaga selama 24 jam. Menurut beberapa polisi reskrim mengatakan bahwa waktu pulang kantor mereka berbeda dengan staf lain dimana waktu paling cepat ialah jam enam malam atau jam tujuh malam, sedangkan untuk staf lain, mereka pulang paling lama jam empat atau jam lima sore. Adapula masyarakat yang datang melapor tidak mengenal waktu. Mereka bisa datang kapan saja termasuk di malam hari, maka dari itu jadwal piket diperlukan. Begitu pula dalam hal penyidikan dimana polisi terjun langsung ke Tempat Kejadian Perkara TKP serta terjun langsung dalam melakukan penangkapan tersangka. Mereka harus langsung menjalankan perintah ketika ada atasan yang meminta mereka melakukan penyidikan dan atau penangkapan. Hal ini tentu berdampak pada peran-peran yang mereka jalankan di luar pekerjaan, khususnya di keluarga. Keluarga mereka harus menerima konsekuensi bahwa anggota keluarga mereka yang menjadi bagian dari polisi harus lebih mengutamakan tugas mereka pada negara. Waktu yang mereka habiskan untuk berkumpul dengan keluarga menjadi berkurang. Waktu mereka menjadi lebih banyak tersita untuk bekerja sehingga untuk menjalankan peran di keluarga menjadi lebih sedikit, misalnya mengasuh anak, mengurus keperluan rumah tangga, memberi nafkah, dan memberi perhatian dan kasih sayang kepada suami ataupun istri serta anak-anak mereka sehingga hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam peran yang dijalankan. Peran-peran yang dijalankan oleh polisi reskrim baik di pekerjaan maupun di keluarga merupakan tuntutan demands yang dihayati oleh polisi reskrim. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat memunculkan conflict. Seperti yang diungkapkan oleh Greenhaus dan Beutel 1996 Universitas Kristen Maranatha bahwa partisipasi individu pada peran yang berbeda baik di pekerjaan dan di keluarga dapat memunculkan tekanan yang berlawanan terutama ketika salah satu tekanan peran meningkat dapat menimbulkan ketidakseimbangan pada peran yang lain sehingga mengarah kepada konflik. Ketidakseimbangan yang dialami polisi dalam menjalankan peran di pekerjaan maupun di keluarga dapat mengacu kepada work family conflict. Work family conflict adalah konflik antar peran yang muncul saat tekanan atau ketidakseimbangan tuntutan di dalam suatu peran mengganggu pemenuhan peran di area atau bagian lain GreenhausBeutell, 1985. Peran-peran yang dijalankan oleh seseorang tidak hanya menghasilkan konflik, tetapi juga dapat memberikan manfaat dalam bentuk hak, keamanan status, energi psikologis, dan perkembangan pribadi yang dapat memerluas sumber daya individu serta memfasilitasi kinerja dari peran yang di jalankan Marks, 1977. Manfaat – manfaat tersebut merupakan sumber daya resources yang didapatkan oleh polisi reskrim. Artinya bahwa dari peran-peran yang dijalankan oleh polisi reskrim, tidak hanya dihayati sebagai tuntutan, tetapi mereka juga mendapatkan manfaat dari peran-peran tersebut yang dapat membantu mereka untuk menjalankan peran di domain yang lain. Misalnya, dari pekerjaan yang mereka jalankan dapat memberikan pengetahuan bagaimana cara melindungi orang lain dan mendapatkan pengalaman serta informasi mengenai kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Hal-hal tersebut dapat mereka manfaatkan di keluarga mereka, seperti mereka mengetahui bagaimana cara melindungi keluarga serta memiliki informasi yang lebih luas mengenai kriminalitas di masyarakat sehingga mereka mengantisipasi hal-hal tersebut terjadi di keluarga mereka. Kumpulan dari sumber daya yang didapatkan oleh polisi reskrim dapat menjadi pengalaman enhancement yang dihayati oleh polisi reskrim. Enhancement merupakan resources yang didapat dari suatu peran, baik secara langsung meningkatkan performa dalam peran lainnya, maupun secara tidak langsung dengan memberikan efek positif pada performa Universitas Kristen Maranatha individu Crouter 1984, Kirchmeyer, 1992: Rudeman, Ohlott, Panzer, King, 2002. Adanya peningkatan skill di salah satu peran yang dapat meningkatkan kualitas hidup, baik dalam kinerja maupun afek dalam peran lainnya disebut sebagai work family enrichment. Dalam penelitian yang dilakukan Rantanen 2008 menyebutkan enrichment sebagai enhancement. Adanya interaksi positif antara peran individu di dalam keluarga dan di pekerjaan disebut sebagai work-life balance Jones et al, 2006. Work-life balance mengacu pada pemenuhan harapan peran terkait yang dinegosiasikan dan diterima antara individu dengan pasangannya dalam perannya masing-masing di domain pekerjaan dan domain keluarga Grzywacz dan Carlson, 2007:458. Work-life balance merupakan hal yang penting untuk kesehatan psikologis, self-esteem yang tinggi, kepuasan, dan rasa harmoni dalam kehidupan yang dapat dianggap sebagai indikator keseimbangan yang baik antara peran pekerjaan dan keluarga Clark, 2000. Rantanen 2008 menggambarkan empat tipe dari work-life balance berdasarkan pada kombinasi antara pengalaman enhancement dan conflict, yaitu pertama tipe beneficial work- life balance mengacu pada proposisi banyaknya pengalaman enhancement yang dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, serta tidak dialaminya conflict di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, sehingga dapat meningkatkan fungsi psikologis dan kesejahteraan individu. Kedua, tipe harmful work-life balance, mengacu pada proposisi banyaknya conflict yang dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, serta tidak dialaminya pengalaman enhancement di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya sehingga dapat mengancam fungsi psikologis dan kesejahteraan individu. Ketiga, active work-life balance mengacu pada proposisi banyaknya pengalaman enhancement maupun conflict yang dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, yang disebabkan luasnya partisipasi individu dalam peran yang diambil. Keempat, Universitas Kristen Maranatha passive work-life balance mengacu pada proposisi conflict maupun pengalaman enhancement yang tidak dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya karena terbatasnya partisipasi individu dalam peran yang diambil. Rantanen 2008 melakukan penelitian terkait dengan empat tipe dari work-life balance kepada 213 karyawan berusia 42 tahun yang memiliki pasangan dan atau anak di Finland menunjukkan bahwa terdapat 48 responden tergolong ke dalam tipe beneficial, 9 tergolong tipe harmful, 26 passive, dan 17 tergolong tipe active. Rantanen juga melakukan penelitian kepada tiga sampel dari pekerja level atas di Universitas Finnish yang memiliki pasangan dan atau anak, antara lain profesional Universitas Finnish termasuk pegawai dengan minimal gelar master atau jabatan supervisi sebanyak 1.482 orang, manager Finnish sebanyak 1.214 orang, dan manager Estonia sebanyak 396 orang. Sampel profesional Universitas Finnish menunjukkan hasil prevalensi tipe beneficial sebanyak 56, tipe harmful sebanyak 7, tipe active sebanyak 27, dan tipe passive sebanyak 10. Sampel manager Finnish menunjukkan hasil prevalensi tipe beneficial sebanyak 57, tipe harmful sebanyak 5, tipe active sebanyak 34, dan tipe passive sebanyak 4. Sedangkan untuk sampel manager Estonia menunjukkan hasil prevalensi tipe beneficial sebanyak 74, tipe harmful sebanyak 1,5, tipe active sebanyak 23, dan tipe passive sebanyak 1,5. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang memiliki peran ganda baik di pekerjaan maupun di keluarga tidak selalu mengalami konflik dalam menjalankan perannya yang terlihat dari hasil prevalensi yang diperoleh paling tinggi ialah dari tipe beneficial balance yang berarti bahwa individu mampu menjalankan perannya secara optimal dan memeroleh energi dari peran yang ia jalankan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan kepada sepuluh orang polisi bagian reskrim di polres “X” Jakarta, sebanyak 20 2 orang mengatakan bahwa tugas yang dijalankan cukup Universitas Kristen Maranatha berat dimana mereka harus selalu terjun langsung dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan, memantau dan mengatur bawahannya serta melakukan rapat atau pertemuan dengan atasannya sehingga hal ini membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Akan tetapi, hal ini tidak menjadi tuntutan yang berat apalagi sampai memengaruhi keluarga mereka. Mereka sangat mencintai pekerjaannya dan merasa harus melakukan pekerjaan tersebut secara maksimal karena sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang polisi yang harus abdi negara. Keluarga mereka juga sangat mendukung pekerjaan yang mereka jalani. Keluarga tidak banyak menuntut mereka, tetapi justru memberikan dukungan terhadap pekerjaan yang polisi reskrim jalankan. Sebanyak 50 5 orang mengatakan bahwa pekerjaan yang mereka jalankan sebagai polisi reskrim tidak seperti polisi lain yang pulang kantor seperti pada umumnya pekerja kantor. Mereka masih harus tinggal lebih larut lagi karena harus menyelesaikan laporan penyidikan. Terkadang ada saja masyarakat yang datang melaporkan kasus dan berkonsultasi kepada mereka mengenai kasus yang dialami. Adapula piket di kantor selama satu hari satu malam yang harus mereka laksanakan. Di sisi lain, mereka harus tetap menjalankan peran mereka di keluarga, terutama bagi polisi wanita yang harus mengurus anak-anaknya yang masih berusia balita. Sekalipun berat, mereka tetap berusaha menjalankan perannya di pekerjaan maupun di keluarga, misalnya dengan membagi waktu dimana akhir pekan mereka habiskan untuk berkumpul bersama keluarga, di hari biasa mereka menyempatkan untuk sarapan bersama keluarga di pagi hari atau mengantarkan anak ke sekolah sebelum mereka berangkat ke kantor. Mereka juga merasa bahwa pekerjaan yang mereka jalankan tersebut dapat memberikan pengalaman dan pelajaran yang dapat diterapkan ke dalam keluarga mereka, misalnya banyaknya kasus kekerasan pada anak yang mereka tangani membuat Universitas Kristen Maranatha mereka menjadi lebih aware kepada anak dan lebih memantau kegiatan anaknya melalui orang yang mengasuh anak-anak mereka seperti pembantu ataupun orang tua mereka. Sebanyak 30 3 orang mengatakan bahwa mereka merasa banyaknya tuntutan dalam pekerjaan dan kurang mendapatkan dukungan dari atasan. Reward yang mereka dapatkan tidak seimbang dengan apa yang dikerjakan dimana mereka harus menghabiskan waktu di kantor lebih lama dari polisi di bagian lain. Mereka juga dituntut untuk mengerjakan laporan penyidikan secepat mungkin, tetapi ketika mengerjakan laporan tersebut, atasan atau unit lain seringkali kurang menghargai hasil kerja mereka. Para polisi tersebut juga merasa kurang dimengerti oleh masyarakat yang melaporkan suatu kasus karena seringkali menuntut untuk menyelesaikan berkas perkara secepat mungkin, sedangkan para polisi tersebut juga harus menyelesaikan berkas perkara yang lain yang tidak kalah pentingnya dan banyaknya. Hal-hal tersebut berdampak kepada keluarga mereka dimana mereka seringkali berdebat dengan pasangan karena jarang di rumah dan sering pulang larut malam. Ditambah lagi penghasilan yang mereka dapatkan masih belum bisa menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Akan tetapi, mereka selalu berusaha untuk mengerjakan pekerjaannya sebaik mungkin karena hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab dan resiko sebagai seorang polisi. Berdasarkan paparan fenomena di atas peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai tipe work-life balance yang paling dominan pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah.

1.2. Identifikasi Masalah