Studi Deskriptif Mengenai Tipe Work-Life Balance pada Polisi Reskrim di Polres "X" Jakarta yang Sudah Menikah.

(1)

viii Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai tipe work-life balance pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah. Responden pada penelitian ini adalah polisi bagian reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah sebanyak 44 orang yang dijaring dengan menggunakan teknik accidental sampling.

Untuk mengukur tipe work-life balance pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah menggunakan alat ukur work family enrichment oleh Greenhaus yang dikembangkan oleh Dawn S. Carlson (2006) dan work family conflict oleh Grzywacz dan Carlson (2007), yang kemudian dimodifikasi oleh Indah Soca Kuntari M. Psi., Psikolog. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus Pearson dan reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach, diperoleh 13 item yang valid dan 1 item tidak valid dari kuesioner work family enrichment dengan nilai validitas antara 0.268 – 0.812 dan reliabilitas 0.857. Terdapat 18 item untuk kuesioner work family conflict yang valid dengan nilai validitas antara 0.334 – 0.866 dan reliabilitasnya 0.899. Hasil dari kedua alat ukur tersebut kemudian dikombinasikan sehingga didapatkan 4 tipologi yaitu beneficial, harmful, active dan passive work-life balance.

Kesimpulan yang diperoleh adalah tipe yang paling dominan pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah adalah tipe beneficial sebesar 70.5%. Dari hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa polisi reskrim di Polres “X” Jakarta mendapatkan pengalaman enhancement yang tinggi dari peran-peran yang dijalankan pada domain pekerjaan dan domain keluarga dan conflict yang rendah dari peran-peran yang dijalankan pada domain pekerjaan dan domain keluarga. Peneliti menyarankan untuk lebih lanjut dilakukan penelitian dengan sampel polisi dari bagian lain atau sampel lain serta melibatkan data penunjang yang lebih mendalam agar dapat menjadi bahan acuan untuk menentukan faktor-faktor dari work-life balance.


(2)

Abstract

This study is conducted to discover the description of work-life balance type in Reskrim Police in Polres “X” Jakarta who is married. Respondents in this study are 44 people reskrim police in Polres “X” Jakarta that have been married using purposive sampling technique.

The instruments used to measure these type of work life balance are work family enrichment which is based on theory Greenhaus that have been developed by Dawn S.Carlson (2006), and also work family conflict Grzywacz and Carlson (2007) that have been modified by Indah Soca Kuntari M. Psi., Psikolog. Based on validity test using pearson validity and reliability using Alpha Cronbach, there are 13 items valid in work-family enrichment questionnaire and 1 item not valid with range validity value from 0.268 – 0.812 and reliability value 0.865. In the other hand for work-family conflict questionnaire, researcher obtained 18 item valid with range validity value from 0.334 – 0.866 and reliability value 0.899. Result from both of the instrument are combined to obtain 4 typology of work life balance such as, beneficial, harmful, active and passive work-life balance.

This study is concluded that the dominant type of work life balance in reskrim police at Polres “X” Jakarta who is married is beneficial type (70,5 percent). Based on that can be said that they experience high enhancement and low conflict from both of work and family domain with their role. Researcher suggest to have further research with another division of police or another sample and use deeper supporting data that can be used to determine which factor that relevant with work life balance.


(3)

x Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... ii

LEMBAR ORISINALITAS... iii

LEMBAR PUBLIKASI... iv

KATA PENGANTAR... v

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR BAGAN... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Identifikasi Masalah... 9

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian... 10

1.3.1 Maksud Penelitian... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian... 10

1.4Kegunaan Penelitian... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis... 10

1.5Kerangka Pemikiran... 11

1.6Asumsi Penelitian... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 18


(4)

2.1.1 Definisi Work-Life Balance... 18

2.1.2 Dimensi Work-Life Balance... 18

2.1.2.1 Enhancement... 18

2.1.2.2 Conflict... 20

2.1.3 Job Demands dan Resources... 20

2.1.3.1 Tuntutan Kerja (Demands)... 20

2.1.3.2 Sumber Daya Kerja (Job Resources)... 21

2.1.3.3 Sumber Daya Pribadi (Personal Resources)... 22

2.1.4 Taksonomi Work-Life Balance Rantanen... 22

2.1.5 Data Demografis Work-Life Balance Trambley... 24

2.1.5.1 Stres Pekerjaan... 24

2.1.5.2 Karakteristik Keluarga... 26

2.1.5.3 Karakteristik Karyawan... 27

2.1.5.4 Karakteristik Pekerjaan... 28

2.1.5.5 Kehadiran dari Pengukuran Work-Life Balance... 29

2.1.5.5.1 Sikap Manajer dan Supervisor... 30

2.1.5.5.2 Sikap Rekan Kerja... 30

2.2 Konsep Keseimbangan Peran... 31

2.3 Polisi... 32

2.3.1 Definisi Polisi... 32

2.3.2 Fungsi Polisi... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 34

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian... 34

3.2 Bagan Prosedur Penelitian... 34


(5)

xii Universitas Kristen Maranatha

3.3.1 Variabel Penelitian... 35

3.3.2 Definisi Konseptual... 35

3.3.3 Definisi Operasional... 36

3.4 Alat Ukur... 38

3.4.1 Alat Ukur Work-Life Balance... 38

3.4.1.1 Prosedur Penelitian... 38

3.4.1.2 Sistem Penilaian... 39

3.4.1.2.1 Sistem Penilaian Work Family Enrichment... 39

3.4.1.2.2 Sistem Penilaian Work Family Conflict... 39

3.4.1.2.3 Sistem Penilaian Work-Life Balance... 40

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang... 41

3.4.2.1Data Pribadi... 41

3.4.2.2Data Penunjang... 41

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 41

3.4.3.1Validitas Alat Ukur... 41

3.4.3.2Reliabilitas Alat Ukur... 43

3.5 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel... 44

3.5.1 Populasi Sasaran... 44

3.5.2 Karakteristik Sampel... 44

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel... 44

3.6 Teknik Analisis Data... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 46

4.1 Gambaran Responden Penelitian... 46

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 46


(6)

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Jadwal Bekerja... 47

4.2 Hasil Penelitian... 47

4.2.1 Tipe Work-Life Balance... 48

4.2.2 Work Family Enrichment... 48

4.2.3 Work Family Conflict... 49

4.3 Pembahasan... 49

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 55

5.1 Simpulan... 55

5.2 Saran... 55

5.2.1 Saran Teoretis... 55

5.2.2 Saran Praktis... 56

DAFTAR PUSTAKA... 57

DAFTAR RUJUKAN... 60 LAMPIRAN


(7)

xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipologi Work-Life Balance... 22

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Work-Life Balance... 38

Tabel 3.2 Penilaian Item Work Family Enrichment... 39

Tabel 3.3 Penilaian Item Work Family Conflict... 40

Tabel 3.4 Kriteria Validitas... 42

Tabel 3.5 Reliabilitas... 43

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 46

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja... 46

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Jadwal Bekerja... 47

Tabel 4.4 Tipe Work-Life Balance... 48

Tabel 4.5 Work Family Enrichment... 48


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. 1 Kerangka Pemikiran ………... 16 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ………... 34


(9)

xvi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I KISI – KISI ALAT UKUR L-1

Lampiran 1.1 Kisi – kisi Alat Ukur Work-Life Balance L-2 Lampiran II KATA PENGANTAR, INFORMED CONSENT & KUESIONER L-5

Lampiran 2.1 Kata Pengantar Kuesioner L-6

Lampiran 2.2 Lembar Persetujuan Responden L-7

Lampiran 2.3 Kuesioner Data Personel L-8

Lampiran 2.4 Kuesioner Work-Life Balance L-12 Lampiran III VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR L-17 Lampiran 3.1 Validitas Alat Ukur Work-Life Balance L-18 Lampiran 3.2 Reliabilitas Alat Ukur Work-Life Balance L-19

Lampiran IV DATA HASIL KUESIONER L-20

Lampiran 4.1 Hasil Kuesioner Work-Life Balance Responden L-21 Lampiran 4.2 Hasil Work-Family Enrichment Responden L-23 Lampiran 4.3 Hasil Work-Family Conflict Responden L-25

Lampiran V HASIL PENGOLAHAN DATA L-27

Lampiran 5.1 Data Demografis Responden L-28

Lampiran 5.2 Gambaran Sampel L-29

Lampiran 5.3 Hasil Penelitian Work-Life Balance L-33 Lampiran 5.4 Hasil Tabulasi Silang Antara


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Bekerja merupakan suatu kewajiban yang harus dijalani oleh hampir seluruh individu segera setelah menyelesaikan pendidikan yang ditempuh. Menurut Anoraga (2009:11, dalam Chofitnah R. Laela, 2015) bekerja merupakan hal yang dibutuhkan wanita dan pria. Sekalipun masyarakat di Indonesia memiliki prinsip bahwa pria berperan sebagai pencari nafkah dan wanita berperan sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi seiring berkembangnya zaman banyak wanita mulai memutuskan untuk bekerja di luar rumah dan mendapatkan penghasilannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pekerja di Indonesia seperti yang tercatat di Badan Pusat Statistika (BPS) bahwa pada Februari 2015 jumlah angkatan kerja Indonesia tercatat 128,3 juta orang atau bertambah 6,4 juta orang dibanding Agustus 2014, sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2015 tercatat sebesar 5,81 persen atau menurun dibandingkan Agustus 2014 yang mencapai 5,94 persen (setkab.go.id). Masuknya wanita dalam dunia pekerjaan membuat mereka menambah peran yang harus dijalankan. Wanita tidak hanya memiliki peran sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga memiliki peran sebagai seorang wanita karir. Masuknya wanita ke dalam ranah pekerjaan menuntut para pekerja wanita tersebut untuk membagi waktu agar dapat memenuhi tuntutan dari kedua peran tersebut. Pria yang sudah menikah tidak hanya berperan untuk mencari nafkah, melainkan menjadi seorang kepala rumah tangga yang ikut berperan dalam mengurus anak dan menentukan keputusan dalam keluarga. Posisi tersebut membuat peran seorang pria atau ayah menjadi sangat strategis dalam menentukan arah kehidupan keluarga sehingga peran pria dalam keluarga juga sangat penting (Haitami Salim, 2013). Kedua peran yang dijalankan baik oleh pria maupun wanita yang sudah menikah tersebut membutuhkan waktu,


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha

tenaga, dan perhatian sehingga dapat menimbulkan konflik peran (Omah Ihromi, 1990). Peran ganda dengan tuntutan tidak terhingga cenderung menyebabkan ketegangan dan konflik peran bagi individu karena sumber daya yang mereka miliki untuk memenuhi tuntutan tersebut terbatas (Goode, 1960). Konflik peran ini dapat dialami oleh pekerja di berbagai bidang profesi, salah satunya adalah polisi. Johnson (2005, dalam Dian Sari, 2014) mengatakan bahwa polisi merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki kepuasan kerja, kesejahteraan psikologis, dan kesehatan fisik yang rendah.

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Artinya bahwa mereka harus mengutamakan peran tersebut sehingga membuat mereka harus mengutamakan tugas mereka sebagai polisi. Salah satu bidang kepolisian yang memiliki resiko bekerja yang tinggi adalah polisi bidang reserse kriminal yang selanjutnya disebut dengan polisi reskrim. Hal ini dikarenakan tugas mereka yang banyak bersentuhan dengan dunia kriminal dan kejahatan yang terjadi di masyarakat. Mereka harus melindungi masyarakat dari tindakan kriminalitas dan menindak kasus kejahatan yang terjadi secara sigap dan tepat.

Reskrim merupakan unsur pelaksana tugas pokok bidang reserse kriminal yang berada di bawah Polri. Polisi di bagian Reskrim bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, pengawasan dan pengendalian penyidikan, penyelenggaraan identifikasi, laboratorium forensik dalam rangka penegakan hukum, serta pengelolaan informasi kriminal nasional (Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian


(12)

3

Negara Republik Indonesia). Reskrim terdiri dari beberapa unit, antara lain Kriminal Umum (Krimum), Harta Benda (Harda), Pencurian Motor (Ranmor), Kriminal Khusus (Krimsus), Reserse Mobile (Resmob), dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Salah satu kota yang cukup disibukkan dengan kriminalitas di kotanya adalah Kota Jakarta dimana hasil survei menunjukkan bahwa dari segi jumlah kejahatan untuk level provinsi, selama tahun 2014 Polda Metro Jaya mencatat jumlah kejahatan terbanyak yaitu 44.298 kasus, hal ini menunjukkan bahwa Kota Jakarta memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi dibandingkan kota lain (bps.go.id). Hal ini membuat salah satu Polres yang ada di Jakarta yaitu Polres “X” harus bekerja lebih, khususnya untuk unit-unit di reskrimnya. Polres “X” merupakan salah satu polres yang menangani permasalahan di wilayah-wilayah pusat di kota Jakarta. Menurut salah satu Kanit (Kepala Unit) di reskrim polres “X”, wilayah “X” ini merupakan wilayah yang tertinggi pertama tingkat kriminalitasnya. Hal ini dikarenakan kesenjangan ekonomi yang tinggi yang terlihat jelas. Contohnya, wilayah “X” menjadi pusat perkantoran dan hunian dimana banyak berdiri kantor-kantor, apartemen-apartemen, dan pusat perbelanjaan, tetapi di sisi lain terlihat masih banyaknya daerah-daerah yang kumuh dan orang-orang yang bergelandangan. Hal ini menurut Kanit di Unit tersebut dapat memicu munculnya kriminalitas di masyarakat. Menurut beberapa staf di Polres “X” Jakarta, polisi bagian reskrim memiliki tugas yang lebih berat daripada bagian yang lainnya karena mereka langsung berhadapan dengan masyarakat, terjun langsung dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan, melakukan penangkapan tersangka, serta memiliki waktu yang lebih lama dalam bekerja.

Tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh polisi reskrim antara lain menerima laporan pengaduan dari masyarakat, membuat laporan polisi, membuat permohonan VER (Visum Et Repertum), melakukan pemeriksaan saksi korban, mengantar atau menemani korban


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha

melakukan visum, mengikuti perkembangan perkara, membuat laporan kegiatan secara berkala, dan melayani masyarakat selama 24 jam. Reskrim Polres “X” Jakarta memiliki jam kerja yang berbeda dengan staf-staf lain di Polres tersebut dimana mereka memiliki waktu piket yang mengharuskan berjaga selama 24 jam.

Menurut beberapa polisi reskrim mengatakan bahwa waktu pulang kantor mereka berbeda dengan staf lain dimana waktu paling cepat ialah jam enam malam atau jam tujuh malam, sedangkan untuk staf lain, mereka pulang paling lama jam empat atau jam lima sore. Adapula masyarakat yang datang melapor tidak mengenal waktu. Mereka bisa datang kapan saja termasuk di malam hari, maka dari itu jadwal piket diperlukan. Begitu pula dalam hal penyidikan dimana polisi terjun langsung ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) serta terjun langsung dalam melakukan penangkapan tersangka. Mereka harus langsung menjalankan perintah ketika ada atasan yang meminta mereka melakukan penyidikan dan atau penangkapan. Hal ini tentu berdampak pada peran-peran yang mereka jalankan di luar pekerjaan, khususnya di keluarga. Keluarga mereka harus menerima konsekuensi bahwa anggota keluarga mereka yang menjadi bagian dari polisi harus lebih mengutamakan tugas mereka pada negara. Waktu yang mereka habiskan untuk berkumpul dengan keluarga menjadi berkurang. Waktu mereka menjadi lebih banyak tersita untuk bekerja sehingga untuk menjalankan peran di keluarga menjadi lebih sedikit, misalnya mengasuh anak, mengurus keperluan rumah tangga, memberi nafkah, dan memberi perhatian dan kasih sayang kepada suami ataupun istri serta anak-anak mereka sehingga hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam peran yang dijalankan.

Peran-peran yang dijalankan oleh polisi reskrim baik di pekerjaan maupun di keluarga merupakan tuntutan (demands) yang dihayati oleh polisi reskrim. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat memunculkan conflict. Seperti yang diungkapkan oleh Greenhaus dan Beutel (1996)


(14)

5

bahwa partisipasi individu pada peran yang berbeda baik di pekerjaan dan di keluarga dapat memunculkan tekanan yang berlawanan terutama ketika salah satu tekanan peran meningkat dapat menimbulkan ketidakseimbangan pada peran yang lain sehingga mengarah kepada konflik. Ketidakseimbangan yang dialami polisi dalam menjalankan peran di pekerjaan maupun di keluarga dapat mengacu kepada work family conflict. Work family conflict adalah konflik antar peran yang muncul saat tekanan atau ketidakseimbangan tuntutan di dalam suatu peran mengganggu pemenuhan peran di area atau bagian lain (Greenhaus&Beutell, 1985).

Peran-peran yang dijalankan oleh seseorang tidak hanya menghasilkan konflik, tetapi juga dapat memberikan manfaat dalam bentuk hak, keamanan status, energi psikologis, dan perkembangan pribadi yang dapat memerluas sumber daya individu serta memfasilitasi kinerja dari peran yang di jalankan (Marks, 1977). Manfaat – manfaat tersebut merupakan sumber daya (resources) yang didapatkan oleh polisi reskrim. Artinya bahwa dari peran-peran yang dijalankan oleh polisi reskrim, tidak hanya dihayati sebagai tuntutan, tetapi mereka juga mendapatkan manfaat dari peran-peran tersebut yang dapat membantu mereka untuk menjalankan peran di domain yang lain. Misalnya, dari pekerjaan yang mereka jalankan dapat memberikan pengetahuan bagaimana cara melindungi orang lain dan mendapatkan pengalaman serta informasi mengenai kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Hal-hal tersebut dapat mereka manfaatkan di keluarga mereka, seperti mereka mengetahui bagaimana cara melindungi keluarga serta memiliki informasi yang lebih luas mengenai kriminalitas di masyarakat sehingga mereka mengantisipasi hal-hal tersebut terjadi di keluarga mereka.

Kumpulan dari sumber daya yang didapatkan oleh polisi reskrim dapat menjadi pengalaman enhancement yang dihayati oleh polisi reskrim. Enhancement merupakan resources yang didapat dari suatu peran, baik secara langsung meningkatkan performa dalam peran lainnya, maupun secara tidak langsung dengan memberikan efek positif pada performa


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha

individu (Crouter 1984, Kirchmeyer, 1992: Rudeman, Ohlott, Panzer, & King, 2002). Adanya peningkatan skill di salah satu peran yang dapat meningkatkan kualitas hidup, baik dalam kinerja maupun afek dalam peran lainnya disebut sebagai work family enrichment. Dalam penelitian yang dilakukan Rantanen (2008) menyebutkan enrichment sebagai enhancement. Adanya interaksi positif antara peran individu di dalam keluarga dan di pekerjaan disebut sebagai work-life balance (Jones et al, 2006). Work-life balance mengacu pada pemenuhan harapan peran (terkait) yang dinegosiasikan dan diterima antara individu dengan pasangannya dalam perannya masing-masing di domain pekerjaan dan domain keluarga (Grzywacz dan Carlson, 2007:458). Work-life balance merupakan hal yang penting untuk kesehatan psikologis, self-esteem yang tinggi, kepuasan, dan rasa harmoni dalam kehidupan yang dapat dianggap sebagai indikator keseimbangan yang baik antara peran pekerjaan dan keluarga (Clark, 2000).

Rantanen (2008) menggambarkan empat tipe dari work-life balance berdasarkan pada kombinasi antara pengalaman enhancement dan conflict, yaitu pertama tipe beneficial work-life balance mengacu pada proposisi banyaknya pengalaman enhancement yang dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, serta tidak dialaminya conflict di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, sehingga dapat meningkatkan fungsi psikologis dan kesejahteraan individu. Kedua, tipe harmful work-life balance, mengacu pada proposisi banyaknya conflict yang dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, serta tidak dialaminya pengalaman enhancement di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya sehingga dapat mengancam fungsi psikologis dan kesejahteraan individu. Ketiga, active work-life balance mengacu pada proposisi banyaknya pengalaman enhancement maupun conflict yang dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, yang disebabkan luasnya partisipasi individu dalam peran yang diambil. Keempat,


(16)

7

passive work-life balance mengacu pada proposisi conflict maupun pengalaman enhancement yang tidak dialami secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya karena terbatasnya partisipasi individu dalam peran yang diambil.

Rantanen (2008) melakukan penelitian terkait dengan empat tipe dari work-life balance kepada 213 karyawan berusia 42 tahun yang memiliki pasangan dan atau anak di Finland menunjukkan bahwa terdapat 48% responden tergolong ke dalam tipe beneficial, 9% tergolong tipe harmful, 26% passive, dan 17% tergolong tipe active. Rantanen juga melakukan penelitian kepada tiga sampel dari pekerja level atas di Universitas Finnish yang memiliki pasangan dan atau anak, antara lain profesional Universitas Finnish (termasuk pegawai dengan minimal gelar master atau jabatan supervisi) sebanyak 1.482 orang, manager Finnish sebanyak 1.214 orang, dan manager Estonia sebanyak 396 orang. Sampel profesional Universitas Finnish menunjukkan hasil prevalensi tipe beneficial sebanyak 56%, tipe harmful sebanyak 7%, tipe active sebanyak 27%, dan tipe passive sebanyak 10%. Sampel manager Finnish menunjukkan hasil prevalensi tipe beneficial sebanyak 57%, tipe harmful sebanyak 5%, tipe active sebanyak 34%, dan tipe passive sebanyak 4%. Sedangkan untuk sampel manager Estonia menunjukkan hasil prevalensi tipe beneficial sebanyak 74%, tipe harmful sebanyak 1,5%, tipe active sebanyak 23%, dan tipe passive sebanyak 1,5%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang memiliki peran ganda baik di pekerjaan maupun di keluarga tidak selalu mengalami konflik dalam menjalankan perannya yang terlihat dari hasil prevalensi yang diperoleh paling tinggi ialah dari tipe beneficial balance yang berarti bahwa individu mampu menjalankan perannya secara optimal dan memeroleh energi dari peran yang ia jalankan.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan kepada sepuluh orang polisi bagian reskrim di polres “X” Jakarta, sebanyak 20% (2 orang) mengatakan bahwa tugas yang dijalankan cukup


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha

berat dimana mereka harus selalu terjun langsung dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan, memantau dan mengatur bawahannya serta melakukan rapat atau pertemuan dengan atasannya sehingga hal ini membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Akan tetapi, hal ini tidak menjadi tuntutan yang berat apalagi sampai memengaruhi keluarga mereka. Mereka sangat mencintai pekerjaannya dan merasa harus melakukan pekerjaan tersebut secara maksimal karena sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang polisi yang harus abdi negara. Keluarga mereka juga sangat mendukung pekerjaan yang mereka jalani. Keluarga tidak banyak menuntut mereka, tetapi justru memberikan dukungan terhadap pekerjaan yang polisi reskrim jalankan.

Sebanyak 50% (5 orang) mengatakan bahwa pekerjaan yang mereka jalankan sebagai polisi reskrim tidak seperti polisi lain yang pulang kantor seperti pada umumnya pekerja kantor. Mereka masih harus tinggal lebih larut lagi karena harus menyelesaikan laporan penyidikan. Terkadang ada saja masyarakat yang datang melaporkan kasus dan berkonsultasi kepada mereka mengenai kasus yang dialami. Adapula piket di kantor selama satu hari satu malam yang harus mereka laksanakan. Di sisi lain, mereka harus tetap menjalankan peran mereka di keluarga, terutama bagi polisi wanita yang harus mengurus anak-anaknya yang masih berusia balita. Sekalipun berat, mereka tetap berusaha menjalankan perannya di pekerjaan maupun di keluarga, misalnya dengan membagi waktu dimana akhir pekan mereka habiskan untuk berkumpul bersama keluarga, di hari biasa mereka menyempatkan untuk sarapan bersama keluarga di pagi hari atau mengantarkan anak ke sekolah sebelum mereka berangkat ke kantor. Mereka juga merasa bahwa pekerjaan yang mereka jalankan tersebut dapat memberikan pengalaman dan pelajaran yang dapat diterapkan ke dalam keluarga mereka, misalnya banyaknya kasus kekerasan pada anak yang mereka tangani membuat


(18)

9

mereka menjadi lebih aware kepada anak dan lebih memantau kegiatan anaknya melalui orang yang mengasuh anak-anak mereka seperti pembantu ataupun orang tua mereka.

Sebanyak 30% (3 orang) mengatakan bahwa mereka merasa banyaknya tuntutan dalam pekerjaan dan kurang mendapatkan dukungan dari atasan. Reward yang mereka dapatkan tidak seimbang dengan apa yang dikerjakan dimana mereka harus menghabiskan waktu di kantor lebih lama dari polisi di bagian lain. Mereka juga dituntut untuk mengerjakan laporan penyidikan secepat mungkin, tetapi ketika mengerjakan laporan tersebut, atasan atau unit lain seringkali kurang menghargai hasil kerja mereka. Para polisi tersebut juga merasa kurang dimengerti oleh masyarakat yang melaporkan suatu kasus karena seringkali menuntut untuk menyelesaikan berkas perkara secepat mungkin, sedangkan para polisi tersebut juga harus menyelesaikan berkas perkara yang lain yang tidak kalah pentingnya dan banyaknya. Hal-hal tersebut berdampak kepada keluarga mereka dimana mereka seringkali berdebat dengan pasangan karena jarang di rumah dan sering pulang larut malam. Ditambah lagi penghasilan yang mereka dapatkan masih belum bisa menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Akan tetapi, mereka selalu berusaha untuk mengerjakan pekerjaannya sebaik mungkin karena hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab dan resiko sebagai seorang polisi.

Berdasarkan paparan fenomena di atas peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai tipe work-life balance yang paling dominan pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah.

1.2.Identifikasi Masalah

Ingin mengetahui tipe work-life balance manakah yang paling dominan pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah.


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

1.3.Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai tipe work-life balance pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tipe work-life balance yang paling dominan pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah.

1.4.Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis

1. Memberikan masukan pada bidang Ilmu Psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi mengenai tipe work-life balance pada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah.

2. Memberikan masukan kepada peneliti lain yang membutuhkan bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran dan perbedaan tipe work-life balance.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah untuk memahami konflik dan pengalaman enhancement dari peran-peran yang dijalankan baik di pekerjaan maupun di keluarga.


(20)

11

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan sebagai bahan acuan untuk tindakan lebih lanjut, seperti konseling, kepada polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang sudah menikah dalam memertahankan dan/atau meningkatkan kesejahteraan hidup dan performa kerja.

1.5.Kerangka Pemikiran

Polisi reskrim memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban masyarakat dalam menangani tindak kriminalitas. Dalam memenuhi kewajiban tersebut, mereka harus menjalankan piket selama 24 jam serta melakukan identifikasi sehingga dapat menangkap dan menahan pelaku kejahatan agar tidak melakukan kejahatan selama proses penyelidikan. Beban kerja polisi reskrim yang semakin padat dapat berdampak kepada tercurahnya waktu, tenaga, dan pikiran yang didedikasikan ke pekerjaan. Disisi lain, mereka tetap memiliki tanggung jawab yang harus dijalankan di keluarga sebagai suami, istri, ayah, ataupun ibu. Partisipasi peran dalam pekerjaan dapat mengganggu atau meningkatkan kinerja terhadap peran dalam keluarga begitupula sebaliknya, partisipasi peran dalam keluarga dapat mengganggu atau meningkatkan kinerja terhadap peran dalam pekerjaan (Frone et al., 1992; Greenhaus dan Beutell, 1985; Grzywacz dan Marks, 2000; Kirchmeyer, 1992).

Menurut Marks dan MacDermid (1996) terdapat dua cara untuk terlibat dalam peran ganda, baik sebagai keseimbangan peran positif atau negatif. Keseimbangan peran positif, mengacu pada kecenderungan untuk terlibat dalam setiap peran dengan usaha, pengabdian, dan perhatian yang sama tinggi, sedangkan keseimbangan peran negatif mengacu pada kecenderungan untuk terlibat dalam peran dengan sikap, usaha dan perhatian yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa keseimbangan peran yang positif akan mengarah pada kemudahan peran, sedangkan keseimbangan peran yang negatif akan mengarah pada kekacauan peran.


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha

Dalam hal ini polisi reskrim yang menjalankan peran baik di keluarga dan di pekerjaan mudah dalam membagi waktu ataupun perhatian dalam menjalankan kedua peran tersebut. Misalnya menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga dengan cara menyempatkan waktu untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anak dan suami sebelum berangkat ke kantor. Pada saat di kantor, mereka melayani masyarakat secara profesional dan menjalankan tugas-tugas yang sudah menjadi kewajibannya. Hal-hal tersebut akan lebih mengarah ke keseimbangan peran yang positif, sedangkan polisi reskrim yang mengarah ke keseimbangan peran yang negatif akan menunjukkan sikap yang kurang peduli terhadap peran yang lain, misalnya mereka lebih fokus ke kegiatan kantor sehingga tugas di rumah menjadi terbengkalai seperti mengurus anak ataupun melayani pasangan. Dapat pula usaha yang mereka keluarkan dalam menjalankan kedua perannya tidak maksimal misalnya membuat laporan penyidikan secara tidak maksimal dan seadanya, tidak melayani masyarakat dengan baik, acuh terhadap anak dan pasangan, atau menyerahkan tugas rumah tangga kepada pasangan.

Pekerjaan tidak selalu mengenai tuntutan (demands), tapi dapat pula berkaitan dengan adanya peningkatan skill yang didapatkan dari aktivitas bekerja yang dapat menunjang kesejahteraan psikologis individu (resources) (Rantanen, 2008). Banyaknya resources memfasilitasi munculnya pengalaman enhancement. Pengalaman enhancement merupakan manfaat yang didapatkan melalui peran di pekerjaan yang dapat digunakan untuk menjalankan peran di keluarga, begitupula sebaliknya, seperti kepuasan, kemudahan, dan pengembangan skill (Greenhaus & Powell, 2006). Polisi reskrim merasa puas terhadap kinerja mereka dalam peran-peran yang mereka jalankan, mereka juga merasa mudah dalam menjalankan peran-peran tersebut, serta dari peran-peran yang mereka jalankan membuat mereka merasa dapat mengembangkan skill yang mereka miliki.


(22)

13

Demands dapat memicu terjadinya conflict. Conflict mengacu pada peran yang di jalankan di satu domain, misalnya pekerjaan dapat menimbulkan kesulitan dalam menjalankan peran di domain yang lain salah satunya keluarga. Konflik yang dialami oleh polisi reskrim dapat membuat mereka terhambat dalam menjalankan aktivitas mereka, contohnya kesibukan yang mereka miliki di pekerjaan membuat mereka kesulitan atau tidak dapat menjalankan peran mereka di keluarga, atau dapat pula sebaliknya.

Pengalaman enhancement maupun conflict yang dialami oleh polisi reskrim dapat berupa waktu dan kepuasan. Waktu mengacu kepada waktu yang diberikan oleh polisi reskrim terhadap kedua peran yang dijalankan dan upaya psikologis yang dikerahkan untuk terlibat dalam kedua perannya, sedangkan kepuasan mengacu pada perasaan puas yang dirasakan dan diekspresikan secara seimbang terhadap peran yang polisi reskrim jalankan baik di pekerjaan maupun di keluarga. Dalam hal ini polisi reskrim menghabiskan waktu kerja di kantor lebih dari jam 6 sore, sedangkan untuk jam masuk kantor tetap sama seperti polisi di bagian lain yaitu jam 8 pagi sehingga membuat mereka kehilangan momen untuk berkumpul dengan anak-anak karena pada saat mereka pulang kerja, anak-anak sudah tidur. Akan tetapi, mereka mencoba mengatasinya dengan cara menyempatkan waktu untuk sarapan bersama dan berangkat ke tempat kerja atau ke sekolah bersama-sama, serta menghabiskan waktu akhir pekan dengan berkumpul bersama keluarga. Sekalipun begitu, kenyamanan dalam lingkungan bekerja dirasakan berbeda-beda oleh para polisi reskrim tersebut. Ada yang merasa lingkungan kerjanya cukup mendukung sehingga rekan kerja yang mereka miliki sudah seperti keluarga, tetapi adapula yang merasa bahwa lingkungan kerja kurang mendukung sehingga ia merasa kurang puas dengan lingkungan kerjanya.

Dari peran-peran yang dijalankan oleh seseorang, tidak hanya menghasilkan konflik tetapi dapat juga memberikan manfaat dalam bentuk hak, keamanan status, energi psikologis, dan


(23)

14

Universitas Kristen Maranatha

perkembangan pribadi yang dapat memfasilitasi kinerja yang di jalankan (Marks, 1977). Polisi menghayati bahwa mereka tidak hanya mengalami konflik dari tuntutan-tuntutan peran yang mereka jalankan, melainkan dapat pula mendapatkan manfaat dari peran-peran tersebut sehingga membuat mereka terdorong untuk menyeimbangkan peran-peran yang mereka jalankan. Hal ini mengacu kepada munculnya work-life balance, yaitu pemenuhan ekspektasi peran (terkait), yang dinegosiasikan dan diterima antara individu dengan pasangannya dalam perannya masing-masing di domain pekerjaan dan domain keluarga (Grzywacz dan Carlson, 2007:458).

Kemunculan work-life balance berkaitan dengan kombinasi dari tinggi atau rendahnya derajat enhancement dan conflict. Dari kombinasi enhancement dan conflict tersebut, menghasilkan empat tipe work-life balance yang dihayati oleh polisi reskrim, yaitu pertama beneficial work-life balance dimana polisi reskrim mendapatkan pengalaman enhancement yang tinggi dari peran di pekerjaan maupun di keluarga yang mereka jalankan dengan rendahnya konflik yang ada di dalamnya, misalnya keluarga memberikan dukungan atas pekerjaan yang mereka jalani. Mereka mendapatkan manfaat dari pekerjaannya, seperti menjadi lebih waspada karena pekerjaan yang mereka jalankan berkaitan dengan kriminalitas di kehidupan sekitar. Mereka mendapatkan pengalaman yang lebih dari pekerjaannya yang dapat mereka terapkan dalam kehidupan di keluarga.

Tipe yang kedua adalah harmful work-life balance dimana polisi reskrim mendapatkan pengalaman enhancement yang sedikit dari peran yang ia jalankan di pekerjaan dan di keluarga, sedangkan konflik yang dialami dalam peran tersebut tinggi. Mereka mengalami konflik antara peran sebagai polisi dengan peran yang mereka jalankan di keluarga. Selain tuntutan dalam pekerjaan, mereka juga memiliki tuntutan yang besar dari keluarga sehingga tekanan yang mereka dapatkan lebih besar, daripada manfaat yang bisa mereka capai dari


(24)

15

kedua peran yang dijalankan. Misalnya polisi reskrim tidak mendapatkan dukungan dari atasan atau rekan kerjanya, sedangkan pekerjaan yang ia kerjakan begitu banyak sehingga membuat jam pulang mereka menjadi lebih lama, begitupula dengan hasil atau reward yang didapatkan tidak seimbang dengan pekerjaan yang sudah mereka lakukan. Hal ini akan berdampak ke keluarga mereka dimana mereka menjadi lebih sering berdebat dengan pasangan terutama mengenai pengasuhan anak dan atau ekonomi. Polisi reskrim juga kurang dapat membagi waktu antara pekerjaan dan keluarganya dimana mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk menjalankan pekerjaan sehingga waktu yang diluangkan untuk keluarga menjadi lebih sedikit.

Tipe ketiga adalah active work-life balance dimana polisi reskrim mendapatkan pengalaman enhancement dan conflict yang tinggi karena melibatkan dirinya pada beberapa peran yang dijalani baik di pekerjaan maupun di keluarga. Dalam hal ini polisi reskrim memiliki tuntutan yang besar dalam pekerjaannya seperti bekerja hingga larut malam serta perlu melakukan koordinasi dengan atasan, bawahan, serta rekan kerja baik di divisi yang sama maupun di divisi yang berbeda. Begitupula di dalam keluarga dimana mereka harus menjalankan peran sebagai pasangan maupun orang tua atau dapat pula terlibat dalam peran di luar keluarga misalnya menjadi ketua RT, dosen, dan sebagainya. Akan tetapi, mereka tetap mendapatkan manfaat dari peran-peran yang mereka jalankan seperti mendapatkan wawasan yang lebih luas ataupun relasi yang lebih luas juga.

Tipe yang terakhir adalah passive work-life balance dimana polisi reskrim mendapatkan pengalaman enhancement dan conflict yang rendah karena merasa tidak memiliki peran besar di dalam pekerjaannya dan hanya melibatkan diri dengan sedikit peran saja misalnya jabatan yang mereka duduki saat ini. Begitupula di keluarga, mereka hanya memiliki satu tanggung jawab dalam keluarga yaitu mencari nafkah sehingga mereka tidak melibatkan diri dalam


(25)

16

Universitas Kristen Maranatha

tugas-tugas rumah tangga lainnya, seperti mengurus anak sehingga polisi reskrim tidak mengalami konflik dan tidak juga mendapatkan pengalaman enhancement dari kedua peran yang ia jalankan.

Berdasarkan hal di atas, dapat dilihat bahwa polisi reskrim memiliki usaha yang berbeda-beda dalam mencapai keseimbangan dalam peran-peran yang dijalankan.

Berikut bagan kerangka pemikiran :

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Peran Ganda :

Polisi Reskrim di Polres “X” Jakarta yang Sudah Menikah

Conflict

Enhancement

Work – Life Balance

Beneficial Work-Life Balance Harmful Work-Life

Balance Active Work-Life Balance

Passive Work-Life Balance


(26)

17

1.6 Asumsi penelitian

Asumsi penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Polisi reskrim yang sudah menikah memiliki beberapa peran yang harus dijalani baik dalam pekerjaan maupun di dalam keluarga.

2. Tuntutan-tuntan dari peran yang dijalani oleh polisi reskrim baik dalam pekerjaan maupun di keluarga dapat dihayati sebagai conflict.

3. Manfaat-manfaat dari peran yang di jalani oleh polisi reskrim baik dalam pekerjaan maupun keluarga dapat dihayati sebagai pengalaman enhancement. 4. Kombinasi dari adanya conflict dan pengalaman enhancement yang dirasakan

polisi reskrim di pekerjaan dan pelaksanan peran di keluarga akan menghasilkan empat macam tipe work-life balance yaitu beneficial work-life balance, harmful work-life balance, active work-life balance, dan passive work-life balance.


(27)

55 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa tipe work-life balance yang paling dominan pada polisi reskrim di

Polres “X” Jakarta yang sudah menikah adalah tipe beneficial work-life balance. Artinya,

melalui peran-peran yang polisi reskrim jalankan baik di domain pekerjaan maupun di domain keluarga, mereka menghayati adanya pengalaman enhancement yang tinggi dan pengalaman conflict yang rendah.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis

1. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian dengan melibatkan data penunjang yang lebih mendalam agar dapat melihat keterkaitannya dengan tipe work-life balance sehingga dapat menjadi acuan dalam menentukan faktor-faktor yang memengaruhi penggolongan tipe.

2. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk melakukan penelitian dengan sampel dari bagian polisi lainnya atau sampel lain dan dengan jumlah yang lebih banyak agar hasil penelitian dapat lebih beragam dalam menggambarkan tipe work-life balance.


(28)

56 5.2.2. Saran Praktis

1. Sehubungan dengan banyaknya tipe benefecial pada polisi reskrim, maka bagi pihak

kepolisian Polres “X” Jakarta bagian reskrim dapat memertahankan kondisi kerja dan

kebijakan-kebijakan kantor guna memertahankan kesejahteraan dan produktivitas kerja polisi reskrim yang sudah menikah.

2. Bagi pihak polisi reskrim, khususnya bagian Sumber Daya (SumDa), hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk tindakan lebih lanjut, misalnya konseling dan program pelatihan yang berkaitan dengan work-life balance agar dapat memertahankan dan meningkatkan kesejahteraan hidup dan performa kerja polisi reskrim yang sudah menikah.


(29)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TIPE WORK-LIFE BALANCE PADA

POLISI RESKRIM DI POLRES “X” JAKARTA YANG SUDAH

MENIKAH

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh :

YUSNI MUTMAINNA YUSUF NRP: 1230180

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(30)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT sehingga peneliti dapat menyelesaikan outline penelitian ini yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Tipe Work-Life Balance Pada Polisi Reskrim di Polres “X” Jakarta yang Sudah Menikah. Outline penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh sidang Sarjana Strata 1 (S 1) di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan outline penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan pembaca untuk memberikan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan penulisan outline penelitian ini. Peneliti berharap dalam segala kekurangannya, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi khususnya bagi mahasiswa lain yang ingin melanjutkan penelitian ini.

Selama menyusun penelitian ini, peneliti mengalami banyak hambatan dan kesulitan, tetapi hal tersebut dapat diatasi berkat adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Irene Prameswari Edwina, M. Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Lie Fun Fun, M. Psi., psikolog selaku Ketua Program Studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

3. Ka Yan, M. Psi., psikolog selaku koordinator mata kuliah Usulan Penelitian dan Skripsi.

4. Ira Adelina, M. Psi., psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah menyediakan waktu, tenaga, pikiran serta memberikan motivasi bagi peneliti selama penyusunan Skripsi ini.


(31)

vi

5. Rusli Winata, S. Psi selaku dosen pembimbing pendamping telah menyediakan waktu, tenaga, pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan, serta memberikan motivasi bagi peneliti selama penyusunan Skripsi ini.

6. Dra. Fifie Nurofia, psikolog. M.M, selaku konsulen dan koordinator penelitian payung ini yang telah banyak membantu memberikan bimbingan, arahan, dan masukan-masukan yang berguna bagi peneliti untuk menyelesaikan Skripsi ini, selayaknya pembimbing utama.

7. Wakasat Polres “X” Jakarta yang telah memberikan izin dan membantu peneliti dalam hal pengambilan data.

8. Para polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya sebagai sampel dalam penelitian ini.

9. Ir. Yusuf Yahya (alm) selaku ayahanda dari peneliti yang semasa hidupnya telah banyak memberikan dukungan, doa, dan motivasi dalam bentuk moril dan materil serta memberikan masukan-masukan dan informasi-informasi khususnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

10.Ir. Ariani Arifin, M.PSDA selaku ibunda peneliti yang telah memberikan banyak dukungan, doa, motivasi, saran dan informasi yang terkait penelitian ini, serta memberikan fasilitas yang dibutuhkan peneliti untuk menyelesaikan Skripsi ini. 11.Anwari Razzak Yusuf dan Aryanugraha Nur Yusuf selaku adik-adik peneliti yang

telah memberikan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan Skripsi ini. 12.Marsha Grasiani, Dien Savitri, Claudy Purnama, dan Cynthia selaku teman

seperjuangan yang senantiasa mendukung dan menjadi rekan diskusi selama penyusunan Skripsi ini.

13.Fauzy Kurnia Sandi selaku orang terdekat peneliti yang telah setia mendampingi peneliti selama penyusunan usulan penelitian hingga skripsi, memberikan doa,


(32)

dukungan, motivasi, dan fasilitas dalam bentuk moril dan materil sehingga mempermudah peneliti khususnya dalam pengambilan data Skripsi ini.

14.Shella Claudia Fernanda, Maria Ulfa, Meliana Sitorus, Pusparani Sugih, Tiffani Aginta Putri, Karina Antharia, Hajeng Paramestri, Rizky Indah Diani, dan Febriani Sanjaya selaku sahabat-sahabat peneliti yang senantiasa memberikan dukungan, motivasi, dan saran dalam penyusunan Skripsi ini.

15.Rizkha Elfany, Thomas Gabe, Elisa Carolina, dan Lydia Arderiana selaku teman-teman dekat peneliti yang telah memberikan banyak bantuan berupa dukungan, motivasi, dan saran dalam penyusunan Skripsi ini.

16.Teman-teman seperjuangan di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah mendukung dan memberikan semangat kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang Bapak, Ibu, serta rekan-rekan berikan. Akhir kata peneliti berharap outline penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandung, Desember 2016


(33)

57 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistika. 2015. Statistik Kriminal 2015. Badan Pusat Statistika, Jakarta-Indonesia.

Bakker, A.B., & Geurts SAE (2004), Toward a dual-process model of work-home interference. Work Occupation, 31, 345-366.

Bakker, Arnold B., Xanthopoulou, Despoina., Schaufeli, Wilmar B., Demerouti, Evangelia (2007). The Role of Personal Resources in The Hob Demands-Resources Model. International Journal of Stress Management, 2, 121-141.

Carlson, D.S., Kacmar, K.M., Wayne, J.H., & Grzywacz, J.G.(2006). Measuring the positive side of the work-family interface : Development and validation of a work-family enrichment scale.Journal of Vocational Behavior, 68, 131-164.

Carlson, D.S., Kacmar, K.M., Williams, L.J.(2000). Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of Work-Family Conflict.Journal of Vocational Behavior, 56, 249-276.

Clark, S.C.(2000). Work/family border theory : A new theory of work/family balance.Human Relations, 53(6), 747-770.

Friedenberg, Lisa, 1995. Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Frone, M.R.(2003).Work-family balance. In Quick J.C., Tetrick L.R (Eds) Handbook of occupational health psychology. American Psychology Association, Washington, DC, pp 143-162.

Frone, M.R., Rusell, M., Cooper, M.L.(1992). Antecedents and Outcomes of Work-Family Conflict : Testing a Model of The Work-Family Interface. American Psychology Association, New York, 1, 65-78.


(34)

58

Goode, W.J.(1960). A theory of role strain. Am Sociol Rev, 25, 483-496.

Greenhaus, J.H., & Beutell, N.J.(1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Journal, 10, 76-88.

Greenhaus, J.H., & Powell, G.N.(2006). When work and family are allies : A theory of work-family enrichment. Academy of Management Review, 31(1), 72-92.

Grzywacz, J.G, & Carlson, D.S.(2007). Conceptualizing work-family balance : implications for practice and research. Adv Dev Hum Resour, 9, 455-471.

Ihromi, Omah. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan Berperan Ganda. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.

Jones, F., Burke, R.J., & Westman, M.(2006). Work-life balance : A psychological perspective. Psychology Press, New York, NY.

Kumar, R. (2009). Research methodology : a step-by-step guide for beginners. London: Sage Publication.

Marks, S.R.(1977). Multiple roles and role strain : some notes on human energy, time and commitment. Am Sociol Rev, 42, 921-936.

Marks, S.R., & MacDermid, S.M.(1996). Multiple roles and the self : a theory of role balance. Journal of Marriage Family, 58, 417-432.

Nazir, M. 1983. Metode Penelitian.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rantanen, J.(2008). Work-family interface and psychological well-being : a personality and longitudinal perspective. Jyvӓskylӓ Studies in Education, Psychology, and Social

Research 346. University of Jyvӓskylӓ, Jyvӓskylӓ.


(35)

59

Universitas Kristen Maranatha

Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian. Yogyakarta : LaksBang Perindo.

Sudjana.(1995).Metode Statistika Edisi Keenam. Bandung: Tarsito.

Sugiyono, M. A. 2014. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Trambley, Dians-Gabrielle.(2004).Work-Family Balance: What Are The Source of Difficulties and What Could Be Done. Canada: Tele-universite.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2010.


(36)

60

DAFTAR RUJUKAN

Anggraini, Dian Sari. (2014). Hubungan Antara Work-Family Conflict dengan Kepuasan Kerja Pada Polisi Wanita di Polda Sumatera Selatan. Skripsi Universitas Bina Darma Palembang.

Arvianasari, Kanita. 2015. Hubungan Work-Family Conflict dengan Subjective Well-Being

Pada PerawatUnit Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota “X”. Skripsi

Universitas Kristen Maranatha.

Data angkatan kerja dan tingkat pengangguran http://setkab.go.id/bps-penduduk-bekerja-bertambah-62-juta-orang-pengangguran-terbuka-turun-581/ di akses pada tanggal 5 Mei 2016.

Rohmatul L, Chofitnah. 2015. Pengaruh Relation-Oriented Leadership Behavior Terhadap Work-Life Balance Pada Wanita Pekerja. Skripsi Universitas Negeri: Semarang.

Wedya, Ririn. 2015. Pengaruh Konflik Peran Ganda dan Stres Kerja Terhadap Kinerja Polisi Wanita di Polresta Surakarta. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dian, S. 2014. Hubungan Antara Work Family Conflict dengan Kepuasan Kerja Pada Polisi Wanita di Polda Sumatera Selatan. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma: Palembang.


(1)

vi

5. Rusli Winata, S. Psi selaku dosen pembimbing pendamping telah menyediakan

waktu, tenaga, pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan, serta

memberikan motivasi bagi peneliti selama penyusunan Skripsi ini.

6. Dra. Fifie Nurofia, psikolog. M.M, selaku konsulen dan koordinator penelitian

payung ini yang telah banyak membantu memberikan bimbingan, arahan, dan

masukan-masukan yang berguna bagi peneliti untuk menyelesaikan Skripsi ini,

selayaknya pembimbing utama.

7. Wakasat Polres “X” Jakarta yang telah memberikan izin dan membantu peneliti dalam hal pengambilan data.

8. Para polisi reskrim di Polres “X” Jakarta yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya sebagai sampel dalam penelitian ini.

9. Ir. Yusuf Yahya (alm) selaku ayahanda dari peneliti yang semasa hidupnya telah

banyak memberikan dukungan, doa, dan motivasi dalam bentuk moril dan materil

serta memberikan masukan-masukan dan informasi-informasi khususnya yang

berkaitan dengan penelitian ini.

10.Ir. Ariani Arifin, M.PSDA selaku ibunda peneliti yang telah memberikan banyak

dukungan, doa, motivasi, saran dan informasi yang terkait penelitian ini, serta

memberikan fasilitas yang dibutuhkan peneliti untuk menyelesaikan Skripsi ini.

11.Anwari Razzak Yusuf dan Aryanugraha Nur Yusuf selaku adik-adik peneliti yang

telah memberikan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan Skripsi ini.

12.Marsha Grasiani, Dien Savitri, Claudy Purnama, dan Cynthia selaku teman

seperjuangan yang senantiasa mendukung dan menjadi rekan diskusi selama

penyusunan Skripsi ini.

13.Fauzy Kurnia Sandi selaku orang terdekat peneliti yang telah setia mendampingi


(2)

dukungan, motivasi, dan fasilitas dalam bentuk moril dan materil sehingga

mempermudah peneliti khususnya dalam pengambilan data Skripsi ini.

14.Shella Claudia Fernanda, Maria Ulfa, Meliana Sitorus, Pusparani Sugih, Tiffani

Aginta Putri, Karina Antharia, Hajeng Paramestri, Rizky Indah Diani, dan Febriani

Sanjaya selaku sahabat-sahabat peneliti yang senantiasa memberikan dukungan,

motivasi, dan saran dalam penyusunan Skripsi ini.

15.Rizkha Elfany, Thomas Gabe, Elisa Carolina, dan Lydia Arderiana selaku

teman-teman dekat peneliti yang telah memberikan banyak bantuan berupa dukungan,

motivasi, dan saran dalam penyusunan Skripsi ini.

16.Teman-teman seperjuangan di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah mendukung dan memberikan

semangat kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan balasan atas segala

kebaikan dan bantuan yang Bapak, Ibu, serta rekan-rekan berikan. Akhir kata peneliti

berharap outline penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang

membutuhkan.

Bandung, Desember 2016


(3)

57 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistika. 2015. Statistik Kriminal 2015. Badan Pusat Statistika, Jakarta-Indonesia.

Bakker, A.B., & Geurts SAE (2004), Toward a dual-process model of work-home interference. Work Occupation, 31, 345-366.

Bakker, Arnold B., Xanthopoulou, Despoina., Schaufeli, Wilmar B., Demerouti, Evangelia (2007). The Role of Personal Resources in The Hob Demands-Resources Model. International Journal of Stress Management, 2, 121-141.

Carlson, D.S., Kacmar, K.M., Wayne, J.H., & Grzywacz, J.G.(2006). Measuring the positive side of the work-family interface : Development and validation of a work-family enrichment scale.Journal of Vocational Behavior, 68, 131-164.

Carlson, D.S., Kacmar, K.M., Williams, L.J.(2000). Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of Work-Family Conflict.Journal of Vocational Behavior, 56, 249-276.

Clark, S.C.(2000). Work/family border theory : A new theory of work/family balance.Human Relations, 53(6), 747-770.

Friedenberg, Lisa, 1995. Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Frone, M.R.(2003).Work-family balance. In Quick J.C., Tetrick L.R (Eds) Handbook of occupational health psychology. American Psychology Association, Washington, DC, pp 143-162.

Frone, M.R., Rusell, M., Cooper, M.L.(1992). Antecedents and Outcomes of Work-Family Conflict : Testing a Model of The Work-Family Interface. American Psychology Association, New York, 1, 65-78.


(4)

58

Goode, W.J.(1960). A theory of role strain. Am Sociol Rev, 25, 483-496.

Greenhaus, J.H., & Beutell, N.J.(1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Journal, 10, 76-88.

Greenhaus, J.H., & Powell, G.N.(2006). When work and family are allies : A theory of work-family enrichment. Academy of Management Review, 31(1), 72-92.

Grzywacz, J.G, & Carlson, D.S.(2007). Conceptualizing work-family balance : implications for practice and research. Adv Dev Hum Resour, 9, 455-471.

Ihromi, Omah. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan Berperan Ganda. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.

Jones, F., Burke, R.J., & Westman, M.(2006). Work-life balance : A psychological perspective. Psychology Press, New York, NY.

Kumar, R. (2009). Research methodology : a step-by-step guide for beginners. London: Sage Publication.

Marks, S.R.(1977). Multiple roles and role strain : some notes on human energy, time and commitment. Am Sociol Rev, 42, 921-936.

Marks, S.R., & MacDermid, S.M.(1996). Multiple roles and the self : a theory of role balance. Journal of Marriage Family, 58, 417-432.

Nazir, M. 1983. Metode Penelitian.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rantanen, J.(2008). Work-family interface and psychological well-being : a personality and longitudinal perspective. Jyvӓskylӓ Studies in Education, Psychology, and Social Research 346. University of Jyvӓskylӓ, Jyvӓskylӓ.


(5)

59

Universitas Kristen Maranatha Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian. Yogyakarta : LaksBang Perindo.

Sudjana.(1995).Metode Statistika Edisi Keenam. Bandung: Tarsito.

Sugiyono, M. A. 2014. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Trambley, Dians-Gabrielle.(2004).Work-Family Balance: What Are The Source of Difficulties and What Could Be Done. Canada: Tele-universite.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2010.


(6)

60

DAFTAR RUJUKAN

Anggraini, Dian Sari. (2014). Hubungan Antara Work-Family Conflict dengan Kepuasan Kerja Pada Polisi Wanita di Polda Sumatera Selatan. Skripsi Universitas Bina Darma Palembang.

Arvianasari, Kanita. 2015. Hubungan Work-Family Conflict dengan Subjective Well-Being

Pada PerawatUnit Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota “X”. Skripsi

Universitas Kristen Maranatha.

Data angkatan kerja dan tingkat pengangguran http://setkab.go.id/bps-penduduk-bekerja-bertambah-62-juta-orang-pengangguran-terbuka-turun-581/ di akses pada tanggal 5 Mei 2016.

Rohmatul L, Chofitnah. 2015. Pengaruh Relation-Oriented Leadership Behavior Terhadap Work-Life Balance Pada Wanita Pekerja. Skripsi Universitas Negeri: Semarang.

Wedya, Ririn. 2015. Pengaruh Konflik Peran Ganda dan Stres Kerja Terhadap Kinerja Polisi Wanita di Polresta Surakarta. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dian, S. 2014. Hubungan Antara Work Family Conflict dengan Kepuasan Kerja Pada Polisi Wanita di Polda Sumatera Selatan. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma: Palembang.