13
mengurangi rasa hormat kepada Ahmad Syafii Maarif yang dalam beberapa
penulis sangat mengaguminya .
E. Landasan Teori
Sebelum memaparkan landasan teori relasi Islam dan negara, akan
dipaparkan teori ilmu politik secara umum sebagaimana yang digunakan oleh
ilmu politik modern. Berikut ini dipaparkan tentang dasar‐dasar teori ilmu politik.
Miriam Budiardjo mengutip pendapat Andrew Heywood, bahwa politik
adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan, dan mengamandemen peraturan‐peraturan umum yang
mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan
kerjasama.
11
Adapun tentang teori politik, menurutnya adalah bahasan dan generalisasi
dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain, teori politik
adalah bahasan dan renungan atas tujuan dari kegiatan politik, cara‐cara mencapai
tujuan itu, kemungkinan‐kemungkinan dan kebutuhan‐kebutuhan yang
ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, dan kewajiban‐kewajiban yang diakibatkan
oleh tujuan politik itu. Konsep‐konsep yang dibahas dalam teori politik
mencakup: masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan
kewajiban, kemerdekaan, lembaga‐lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan
politik, modernisasi, dan sebagainya.
12
11
Miriam Budiardjo, Dasar‐Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008,
h. 16
12
Ibid, h. 43
14
Mengenai konsep negara, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa negara
adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi
yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
13
Adapun unsur‐unsur negara adalah sebagai
berikut: 1.
Wilayah, kekuasaan negara meliputi tanah, laut di sekelilingnya sampai batas
12 mil, dan angkasa di atasnya. 2.
Penduduk, yang menyatukan masyarakat dalam suatu negara adalah nasionalisme
yang merupakan perasaan subyektif pada sekelompok manusia
bahwa mereka merupakan satu bangsa dan bahwa cita‐cita aspirasi
mereka bersama hanya dapat tercapai jika mereka tergabung dalam
satu negara atau nation. Ernest Renan, filosof prancis mengatakan, “Pemersatu
bangsa bukanlah kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi
tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk mencapainya
lagi di masa depan. 3.
Pemerintah, organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan
keputusan‐keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk
di dalam wilayahnya. 4.
Kedaulatan, kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang‐undang dan
melaksanakannya dengan semua cara termasuk paksaan yang tersedia.
14
13
Ibid, h. 17
14
Ibid, h. 51‐54
15
Louay. M. Shafi menyatakan bahwa kata daulah sudah digunakan dalam
al ‐Quran dan hanya ada pada satu tempat yaitu pada QS. 59:7 yang berhubungan
dengan pendistribusian harta fa’I agar tidak beredar pada golongan orang kaya
saja. Namun penggunaan kata daulah yang berkonotasi politis baru dimulai sejak
abad ke enam dan tujuh Masehi. Lu’ai M. Shafi menulis:
In the Sixt and seventh centuries of the Muslim era, the term daulah
began to acquire a political connotation. Muslim scholars at this time,
mainly historians, began to employ the word in reference to the various
Muslim dynasties wich emerged when the institution of khilafah lost its
executive power, while reduced to a nominal affice symbolizing Muslim
units, while the real political and military power fell into the hands of
strong clane and families.
15
Fred M. Donner mendefenisikan negara sebagai institusi yang harus
memiliki persyaratan sebagai berikut sebagaimana ditulisnya dalam sebuah
jurnal: the
state is defined as a set of political institutions resting on a conception
of legal authority; the institutions considered relevant are a a governing
group, b army and police, c a judiciary, d a tax administration,
and possibly e institutions to implement state policies other
than taxation, adjudication, and maintenance of control by the elite.
16
Ahmad Ali Nurdin, dalam jurnal internasional, membuat kategori negara‐
negara Islam yang berkaitan dengan aplikasi hubungan Islam dan negara dalam
tiga kategori. Ia menulis:
First, there are countries which still regard syaria as thefundamental law
and apply it more or less in its entirety. Saudi Arabia is acase in point.
15
Louay M. Safi, The Islamic State: A Conceptual Frame Work, The American Journal of Islamic
Social Sciences, 1991, Vol. 8, No. 2, h. 222
16
Fred M. Donner, The Formation of The Islamic State, Journal of The American Oriental Society,
Vol. 106, No. 2, April‐June, 1986, h. 283
16
Second, there countries where syaria law has been abandoned completely
and substituted by a secular one. Turkey fits into this category. Third,
there are countries which try to reach a compromise between the two
domains of law, by adopting secular law preserving syaria at the same
time. These include such countries as Egypt, Tunisia, Iraq Indonesia, and
Malaysia.
17
Mengenai keterkaitan antara Islam dengan persoalan kenegaraan, para
ulama salaf telah menyepakati akan pentingnya kepemimpinan umat yang
diformulasikan dalam institusi imamah. Bahkan para ulama salaf telah
mewajibkan penegakan imamah sebagai fardlu kifayah. Para ulama Ahlu Sunnah
dan Murji’ah secara umum, Mu’tazilah kecuali segelintir dari mereka, dan
Khawarij kecuali kelompok al‐Najdaat berpendapat wajibnya menegakkan
imamah. Pendapat Syi’ah secara umum pun termasuk mewajibkan, meskipun
mereka memiliki pemahaman berbeda dalam makna wajibnya.
18
Menurut pendapat Ahlus Sunnah, dasar atau dalil diwajibkannya
penegakkan imamah adalah ijma shahabat, menurut Dhiauddin Rais, bahkan bisa
jadi adalah dalil satu‐satunya dan dalil‐dalil yang lain hanya dianggap
mengikutinya. Dalil ijma ini dibuktikan oleh peristiwa setelah meninggalnya
Rasulullah SAW, dimana para shahabat mengadakan pertemuan di Saqifah milik
Bani Sa’idah untuk memilih pemimpin umat Islam yang menggantikan
kepemimpinan Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu dihadiri oeh para
pembesar Anshar dan Muhajirin. Persoalan pemilihan pemimpi ini didahulukan
17
Ahmad Ali Nurdin, Islam and State: A Study of The Liberal Islamic Network in Indonesia,
1999‐2004, New Zealand Journal of Asian Studies, Vol. 7, No. 2, December 2005, h. 28
18
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 91
17
dari urusan yang paling penting bagi mereka, diantaranya persiapan pemakaman
Rasulullah SAW. Perbedaan yang terjadi dalam pertemuan itu bukanlah tentang
wajib atau tidaknya penegakan imamah, akan tetapi perbedaan tentang siapa
yang akan menjadi pemimpin. Akhirnya semua shahabat bersepakat untuk
mengangkat Abu Bakar r.a sebagai pemimpin.
19
Keterkaitan Islam dengan kenegaraan juga diungkapkan oleh banyak
ulama terutama yang concern terhadap permasalahan politik Islam sebagaimana
yang dikutip Dhiauddin Rais. Diantaranya al‐ Mawardi dalam bukunya al‐Ahkam
al ‐Sulthaniyah memberikan alasan diwajibkannya keimamahan dalam Islam, ia
mengatakan: “… Seandainya bukan karena para wali pemimpin, niscaya mereka
menjadi kacau tidak terurus serta menjadi biadab dan liar…”. Imam al‐Ghazali
berpendapat bahwa pelaksanaan kewajiban‐kewajiban agama baik yang bersifat
individu maupun sosial dapat terlaksana jika ditegakkannya institusi keimamahan
dalam suatu pemerintahan. Karena itu dia mengatakan, “Agama dan kekuasaan
adalah dua anak kembar… Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah
penjaga… Sistem aturan agama tidak akan tercapai selain dengan menggunakan
sistem aturan dunia, dan sistem aturan dunia tidak akan dicapai kecuali dengan
adanya seorang imam yang dipatuhi”.
20
Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim, turut memperkuat teori tentang
keterkaitan Islam dengan kenegaraan. Ia memaparkan teori‐teori politiknya
dalam bukunya al‐Muqaddmimah, ia menulis, “Kemudian bahwa melantik imam
19
Ibid, h. 94
20
Ibid, h. 97‐99
18
adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma para
shahabat dan tabi’in karena para shahabat Rasulullah SAW, ketika beliau wafat,
segera membai’at Abu Bakar r.a. dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur
urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu. Manusia atau umat
tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai
masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma yang menunjukkan wajibnya
melantik imam.”
21
Teori keterkaitan Islam dan kenegaraan ternyata juga disepakati oleh
beberapa orientalis terkenal. Diantaranya, Dhiauddin Rais menukil beberapa
pernyataan orientalis, adalah V. Fitzgerald berkata, “Islam bukanlah semata
agama namun juga merupakan sebuah sistem politik. Meskipun pada decade‐
dekade terakhir ada beberapa kalangan dari kaum umat Islam yang mengklaim
sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun
seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fondasi bahwa kedua sisi itu
saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”
C.A. Nalinno menulis, “ Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan
agama dan negara. Dan batas‐batas territorial negara yang dia bangun it uterus
terjaga sepanjang hayatnya.” Bahkan H.A.R. Gibb dengan tegas mengatkan,
“Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama
individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang
21
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Kairo: Daar al‐Fajr Li al‐Turats, 2004, h. 244
19
independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan,
perundang ‐undangan, dan institusi.”
22
Untuk memahami politik Islam diperlukan pemahaman konsep‐konsep
dasar yang berlandaskan pada sumber hukum Islam, yaitu al‐Quran, al‐Sunnah,
dan ijma para shahabat. Konsep‐konsep dasar yang harus dipahami terlebih
dahulu adalah konsep tentang Ummah, Syura, dan Imamah atau Khilafah.
Konsep ‐konsep ini tidak terdapat dalam konsep politik modern Barat.
Ummah, menurut pengarang Lisan al‐Arab,dalam pengertian bahasa
artinya adalah sekelompok dan kaum di kalangan manusia. Raghib al‐Ashfahani
dalam al‐mufradat fi gharib al‐Quran secara lebih jelas mendefinisikan ummat
adalah setiap jama’ah yang disatukan oleh sesuatu hal; satu agama, satu zaman,
atau satu tempat. Baik factor pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan
atas pilihan.
23
Secara lebih terperinci, Sa’id Hawwa, menjelaskan unsur‐unsur pemersatu
ummah dalam hal ini adalah umat Islam. 1 Kesatuan aqidah, dimana umat Islam
mempunyai suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan la
ilaha illa Allah secara ikhlash. Sehingga barang siapa tidak mengucapkannya,
maka tidak termasuk bagian umat ini. 2 Kesatuan ibadah, ibadah yang
diwajibkan Allah kepada umat Islam semua adalah satu. Setiap muslim
diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum di bulan ramadlan setiap
22
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 5‐6
23
Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem jama’ah
dalam Gerakan Islam, Jakarta: Rabbani Press, 1991, h. 43‐44
20
tahun, zakat apabila telah cukup nishab, dan kewajiban‐kewajiban Islam yang
lain. 3 Kesatuan adat dan prilaku, setiap umat Islam mempunyai keteladanan
yang baik pada diri Rasulullah SAW. 4 Kesatuan sejarah, seorang muslim tidak
terikat oleh tanah air atau warna kulit tertentu, dan hanya sejarah Islamlah yang
menjadi ikatan dan kebanggaannya. 5 Kesatuan bahasa, merupakan suatu yang
alami jika bahasa Arab menjadi salah satu factor pemersatu umat Islam, karena
undang ‐undang Islam adalah al‐Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab. 6
Kesatuan jalan, sesungguhnya jalan kaum muslimin adalah satu, yaitu jalan para
Nabi dan Rasul. Karena itu, seorang muslim dituntut agar teguh dan konsisten di
jalannya. 7 Kesatuan undang‐undang, sumber undang‐undang umat Islam
adalah al‐Quran dan al‐Sunnah. Kaum muslimin dilarang mengambil rujukan,
untuk menata dan mengatur gerakan mereka di atas bumi ini, kecuali dari apa
yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul‐Nya. 8 Kesatuan pimpinan, umat Islam
sepakat bahwa pemimpinnya yang pertama adalah Rasulullah SAW, kemudian
para khalifah‐nya yang terpimpin. Masing‐masing dari mereka menjadi pemimpin
pada zamannya.
24
Makna syura menurut bahasa adalah meminta‐keluar, seperti dalam
ungkapan syara’ al‐‘asala yasyuruhu syauran, artinya mengeluarkan madu dari
sarang lebah.
25
Secara istilah, musyawarah dapat berarti meminta pendapat dari para
ahli tentang suatu masalah. Menurut pengarang al‐Munjid menyimpulkan
24
Sa’id Hawwa, Al‐Islam, Jakarta: Al‐I’tisham Cahaya Umat, Terj., 2002 Mm, 2112‐117
25
Ibnu Manzhur, Lisan al‐‘Arab, Beirut: Daar Shadir, 1388 H, 6103
21
bahwa Majelis Syura ialah majlis yang dibentuk untuk membahas urusan‐urusan
negara.
26
Jadi, konsep syura merupakan unsur yang sangat penting dalam hubungannya
Islam dan kenegaraan. Sebagaimana Sayyid Quthb, ketika menafsirkan
ayat “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”, mengatakan,
“Ini adalah nash yang tegas yang tidak boleh diragukan lagi oleh umat
Islam, bahwa syura adalah dasar asasi bagi tegaknya sistem pemerintahan Islam.
Islam tidak boleh tegak kecuali di atass prinsip ini.”
27
John L. Esposito menyatakan bahwa umat Islam menerima demokrasi
dalam kehidupan politiknya karena hampir sama dengan konsep syura yang
terdapat dalam al‐Quran. Ia menulis:
Muslim interpretation of democracy build on the well established Qur’anic
concept of shura consultation, but place varying emphases on the
extend to wich “the people” are able to exercise this duty. One school of
thought argues that Islam is inherently democratic not only because of
the ptonciple of consultation, but also because of the concept of ijtihad
and ijma’ consensus.
28
Istilah imam, khalifah atau amir al‐mu’minin ditujukan kepada satu
pengertian, yaitu kepemimpinan tertinggi umat Islam, tetapi masing‐masing dari
istilah tersebut mempunyai latar belakang historis dan politis tersendiri. Al‐
Mawardi mendefinisikan imam dengan mengatakan, “Imamah dibentuk untuk
menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”
29
Adapun penyebutan khalifah berawal dari pemilihan Abu Bakar r.a pada
26
Al‐MunjidFi al‐Lughah Wa al‐A’lam, Beirut: Daar al‐Masyriq, 1986 M h. 407
27
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al‐Quran, Bairut: Daar al‐Syuruq, 1992, 4117
28
John L. Esposito and James P. Piscatori, Democratization and Islam, The Middle East Journal,
Vol. 45, No. 3, Summer, 1991.
29
Al‐Mawardi, Al‐Ahkam Al‐Sulthaniyah, Beirut: Daar al‐Kutub al‐‘Ilmiyah, h. 5
22
peristiwa saqifah untuk menggantikan Rasulullah SAW dalam memimpin umat
Islam dan memelihara kemaslahatan mereka.
30
Adapun gelar amir al‐Mu’minin diberikan
pertama kali kepada khlaifah yang kedua, Umar ibn al‐Khaththab.
31
F. Metode Penelitian