Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN Relasi Antara Islam Dan Negara (Studi Kritis Atas Pemikiran Politik Islam Ahmad Syafii Maarif Dalam Perspektif Ulama Al‐Salaf Al‐Shalih).

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian yang dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat. Beratus pemikir dan beribu jilid buku berkaitan dengan politik Islam menghiasi sejumlah perpustakaan di dunia. Beragam bentuk karya ilmiah baik berupa jurnal, skripsi, tesis atau disertasi yang membahas politik Islam telah memberikan kontribusi pengayaan pemikiran politik Islan. Perbedaan pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau bahkan antara kalangan Barat sekalipun. Ini menunjukkan bahwa kajian politik Islam merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan menantang untuk dikaji. Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak aka nada habis‐habisnya sebagaimana diumpamakan oleh Nurcholis Madjid laksana menimba air Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke 2 dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau‐tak‐mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri. 1 Masih menurut pendapat Nurcholis Majdid pula bahwa usaha memahami masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu karena ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari empat belas abad. Jadi akan merupakan suatu kenaifan jika kita menganggap bahwa selama kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stationer dan berhenti. Kesulitannya ialah, sedikit sekali kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan‐bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti kekuatan ‐kekuatan dinamik di belakangnya, juga terdapat perbendaharaan teoritis yang kaya raya tentang politik yang hambpir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting. 2 Kesulitan dalam memahami masalah politik dalam Islam, berimplikasi pada belum adanya kesepakatan pendapat mengenai konsep negara Islam. Musdah Mulia, dalam karya disertasinya tentang pemikiran politik Islam Husain 1 Nurcholish Madjid, Islam dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan Keadilan dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume I Nomor I, Juli Desember 1998 Jakarta: Paramadina, 1998, h. 48. 2 Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan” dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Jakarta: UI‐Press, 1993, h. vi‐vii 3 Haekal yang mengutip pendapat John L. Esposito dalam Islam dan Politik Jakarta: Bulan Bintang, 1990, menyebutkan beberapa faktor ketidaksepakatan itu: 1 negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad SAW di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci, 2 pelaksanaan khilafah pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas hanya memberikan suatu kerangka mengenai lembaga‐lembaga politik dan perpajakan, 3 pembahasan mengenai rumusan ideal hukum Islam dan teori politik hanya menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian, dan 4 hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subyek bagi keragaman interpretasi. 3 Munawir Sadzali menyebutkan tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan kenegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata‐ mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Karena itu, Islam tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem negara Barat. Sistem politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al‐Khulafa al ‐Rasyidin. Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran 3 Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001, h. 2‐3 4 ini Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul‐rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem negara. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. 4 Berdasarkan ketiga aliran tersebut, Sukron Kamil, dalam tulisannya di Jurnal Universitas Paramadina, melakukan tipologisasi pemikiran politik Islam: tradisional, sekuler, dan moderat. Tipologi tradisional, memandang bahwa Islam adalah agama dan negara. Hubungan Islam dan negara betul‐betul organic dimana negara berdasarkan syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyi Ridla, Sayyid Qutub, Al‐ Maududi, dan di Indonesia Muhammad Natsir. Tipologi Sekuler, memandang bahwa Islam adalah agama murni bukan negara. Tipologi ini terbelenggu dan sangat terpesona oleh pemikiran nation state Barat Modern. Pemikir yang termasuk tipologi ini adalah Ali Abd al‐Raziq, A. Luthfi Sayyid, dan di Indonesia Soekarno. Tipologi Moderat, memandang bahwa meskipun Islam tidak 4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1993, h. 1‐2 5 menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip‐prinsip moral atau etika dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem manapun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhammad Husein Haikal 1888‐ 1956, Muhammad Abduh 1862‐1905, Fazlurrahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid. 5 Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, yang dikenal dengan Buya Syafii Maarif, adalah seorang cendekiawan muslim yang concern dalam bidang politik Islam. Ia berlatar belakang pendidikan formal Muallimin Jogjakarta yang kemudian melanjutkan kesarjanaannya dalam bidang sejarah. Karya disertasinya yang diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante”, adalah sebuah refleksi dari pemikirannya tentang politik Islam meskipun tidak secara utuh. Penelitian ini akan mengerucutkan pemikiran politik Islam Syafii Maarif secara utuh yang masih berserakan di berbagai makalah dan buku‐bukunya. Sebagai pembuka wacana pemikirannya tentang politik Islam, pak Syafii membagi Islam kedalam dua pandangan, yaitu Islam sejarah dan Islam cita‐cita. Islam sejarah ialah Islam sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam Indonesia dalam jawaban mereka terhadap tantangan sosio‐politik dan cultural yang dihadapkan kepada mereka sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sedangkan Islam cita‐cita ialah Islam sebagaimana 5 Sukron Kamil, Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: h. 63‐76 6 yang dikandung dan dilukiskan oleh al‐Qur’an dan al‐Sunnah, tetapi yang belum tentu senantiasa terefleksi dalam realitas sosio‐historis umat sepanjang abad. Islam cita‐cita ini menggambarkan suatu totalitas pandangan hidup muslim, sekalipun belum dirumuskan secara sistematis oleh yuris dalam sejarah Islam. 6 Paling tidak ada tiga pokok pemikiran politik Islam Syafii Maarif: Pertama dalam Islam cita‐cita, negara tidak lain dari sebuah alat yang perlu bagi agama. Dengan kata lain, ia menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam itu din dan daulah. Tentang penolakan terhadap tesis ini ia menulis: Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah? Dari al ‐Qur’an dan Sunnah, begitu pula dari Piagam Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu…. Yang kita gagal memehaminya ialah daulah ditempatkan sejajar dengan din yang berasal dari wahyu. Bukankah tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar telah menyamakan alat dengan risalah? 7 Kedua, bentuk negara adalah hasil kreasi manusia, karena itu ia dapat saja berubah sesuai perkembangan zaman. Prinsip utama bagi suatu negara untuk dapat dikatakan bercorak Islam ialah jika keadilan, persamaan, dan kemerdekaan, benar‐benar terwujud dan terasa di dalamnya, serta mempengaruhi seluruh kehidupan rakyat. Tentang hal ini ia menulis: Al ‐Quran nampaknya tidak tertarik pada teori khas tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam. Perhatian utama al‐Quran ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan dan moralitas. Maka atas dasar nilai‐ nilai etik al‐Quran‐lah bangunan politik Islam wajib ditegakkan. Tapi karena al‐Quran tidak menegaskan bentuk khas suatu negara, maka 6 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 4 7 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993, h. 205 7 model dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah. Ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi, dan perbaikan menurut kebutuhan waktu dan ummat. 8 Ketiga, karena konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam al‐ Quran, maka sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita‐cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak semestinya identik dengan praktek demokrasi Barat. 9 Dari pemaparan tentang pemikiran politik Islam Syafii Maarif tersebut, ia dapat dimasukkan kedalam tipologi moderat yang menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Dalam setiap karya tulisnya tentang politik Islam, baik berupa makalah maupun buku, selalu mengutip pendapat‐pendapat Fazlurrahman. Ini menandakan bahwa pemikiran politik Islam Syafii Maarif dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran Fazlurrahman. Sebagaimana diakuinya bahwa Fazlurrahman adalah pembimbingnya yang utama dalam penyusunan disertasi doktoralnya sekaligus mentornya dalam pemikiran Islam. Buya Ahmad Syafii Maarif adalah seorang cendekiawan muslim Indonesia yang selalu mengedepankan hati nuraninya dalam tulisan‐tulisannya. Ia seorang tokoh yang memiliki integritas yang tinggi dalam memegang sebuah prinsip. 8 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 18 9 Said Tuhuleley, Pencarian Tiada Henti: Spiral dan Sikap Syafii Maarif, dalam Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif: 70Tahun Ahmad Syafii Maarif, Jakarta: Maarif Institute, 2005, h. 96‐98 8 Kiprahnya dalam bidang dakwah dan kemasyarakatan telah membawanya ke posisi puncak di persyarikatan Muhammadiyah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah antara tahun 1998‐2005. Ada yang menarik dari sisi pribadinya, dimana ketika orang mendapatkan posisi puncak dalam sebuah organisasi biasanya tergoda untuk terjun dalam politik praktis yang memberikan harapan kekuasaan, ia tidak menggunakan “peluang”tersebut untuk memasuki dunia politik praktis, justru lebih memilih berkiprah di Muhammadiyah dan memainkan peran Muhammadiyah sebagai civil society. Lebih dari itu, ia ,dalam pemaparan tulisan ‐tulisannya, kaya akan ungkapan metaforanya. Salah satu kelebihan Buya Syafii Maarif adalah memiliki sikap empati yang tinggi kepada stiap orang meskipun terhadap orang yang berbeda pendapat. Kritiknya terhadap partai Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dalam perdebatan di sidang Majelis Konstituante, disampaikan dengan sikap empati yang cukup tinggi. Akan tetapi, dalam konteks pemikiran kenegaraan, ia tidak memberikan sikap empatinya terhadap al‐Maududi. Misalnya, dalam karya disertasinya tersebut ia mengkritik tentang konsep “Kedaulatan Tuhan” yang diyakini secara kuat oleh al‐Maududi, dengan menulis: Bila teori di atas kita hadapkan kepada konsep “Kedaulatan Tuhan” yang dipercaya sebagai inti dari sistem politik Islam dan yang dibela dan dinyatakan oleh sebagian penulis muslim kontemporer, seperti Abul ‘Ala al ‐Maududi, kita menemukan sesuatu yang aneh. Pendapat macam ini telah “banyak menimbulkan kebingungan….” 10 10 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 51 9 Padahal,al ‐Maududi adalah pemikir muslim yang sangat berpengaruh pada masanya di seluruh dunia terutama di dunia muslim. Tulisan‐tulisannya tentang pemikiran Islam sangat bernash dan selalu mengembalikan kepada al‐ Quran dan al‐Sunnah sebagai pedoman dasar dalam mengungkapkan pemikiran‐ pemikirannya. Termasuk dalam pemikiran politik Islam, seperti dalam bukunya Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam dan Khilafah dan Kerajaan yang kedua bukunya diterbitkan oleh Mizan, bandung, selalu menyandarkan kepada syariat Islam. Sementara dari hasil kajian penulis terhadap pemikiran politik Islam Buya Syafii Maarif nampaknya kering dari konsep syar’i. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini yang kemudian ditinjau dari perspektif ulama al‐ salaf al‐shalih. Sebagai seorang muslim sudah semestinya mengkaji kembali dan menimbang ‐nimbang perbedaan pemahaman dari para akademisi yang memang berkompeten untuk kemudian menentukan sebuah keyakinan akan kebenaran yang dipilihnya. Sudah barang tentu tidaklah mudah untuk memutuskannya. Perlu kajian yang komprehensif dan bernash berdasarkan kaidah‐kaidah ilmiah yang benar. Karena berkaitan dengan pemikiran Islam, tentunya kita memandang dengan kaca mata Islam yang berlandaskan al‐Qur’an dan al‐Sunnah sebagaimana yang dipahami para ulama salaf, bukan dengan kaca mata orang Barat yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran yang hakiki. 10

B. Perumusan Masalah