1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian
yang dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat.
Beratus pemikir dan beribu jilid buku berkaitan dengan politik Islam menghiasi
sejumlah perpustakaan di dunia. Beragam bentuk karya ilmiah baik berupa
jurnal, skripsi, tesis atau disertasi yang membahas politik Islam telah
memberikan kontribusi pengayaan pemikiran politik Islan. Perbedaan
pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau
bahkan antara kalangan Barat sekalipun. Ini menunjukkan bahwa kajian politik
Islam merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan
menantang untuk dikaji.
Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak
aka nada habis‐habisnya sebagaimana diumpamakan oleh Nurcholis Madjid
laksana menimba air Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan
kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi
pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua,
kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya
tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas.
Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga
menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke
2
dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga,
pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus
berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau‐tak‐mau melibatkan pandangan
ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim
sendiri.
1
Masih menurut pendapat Nurcholis Majdid pula bahwa usaha memahami
masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu karena
ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari
empat belas abad. Jadi akan merupakan suatu kenaifan jika kita menganggap
bahwa selama kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stationer
dan berhenti. Kesulitannya ialah, sedikit sekali kalangan kaum Muslim yang
memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang sejarah itu. Kedua, selain
beraneka ragamnya bahan‐bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti
kekuatan ‐kekuatan dinamik di belakangnya, juga terdapat perbendaharaan
teoritis yang kaya raya tentang politik yang hambpir setiap kali muncul bersama
dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting.
2
Kesulitan dalam memahami masalah politik dalam Islam, berimplikasi
pada belum adanya kesepakatan pendapat mengenai konsep negara Islam.
Musdah Mulia, dalam karya disertasinya tentang pemikiran politik Islam Husain
1
Nurcholish Madjid, Islam dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan
Keadilan dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume I Nomor I, Juli Desember 1998
Jakarta: Paramadina, 1998, h. 48.
2
Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan” dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran Jakarta: UI‐Press, 1993, h. vi‐vii
3
Haekal yang mengutip pendapat John L. Esposito dalam Islam dan Politik
Jakarta: Bulan Bintang, 1990, menyebutkan beberapa faktor ketidaksepakatan
itu: 1 negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad SAW di Madinah yang
dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci, 2
pelaksanaan khilafah pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas hanya
memberikan suatu kerangka mengenai lembaga‐lembaga politik dan perpajakan,
3 pembahasan mengenai rumusan ideal hukum Islam dan teori politik hanya
menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian,
dan 4 hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subyek bagi
keragaman interpretasi.
3
Munawir Sadzali menyebutkan tiga aliran tentang hubungan antara Islam
dan kenegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata‐
mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan
yang lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan bernegara. Karena itu, Islam tidak perlu atau bahkan jangan meniru
sistem negara Barat. Sistem politik Islam yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al‐Khulafa
al ‐Rasyidin.
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran
3
Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001,
h. 2‐3
4
ini Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul‐rasul
sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada
kehidupan yang mulia, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan
dan mengepalai satu negara.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem negara. Tetapi aliran ini
juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.
4
Berdasarkan ketiga aliran tersebut, Sukron Kamil, dalam tulisannya di
Jurnal Universitas Paramadina, melakukan tipologisasi pemikiran politik Islam:
tradisional, sekuler, dan moderat. Tipologi tradisional, memandang bahwa Islam
adalah agama dan negara. Hubungan Islam dan negara betul‐betul organic
dimana negara berdasarkan syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi
eksekutif. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyi Ridla, Sayyid Qutub, Al‐
Maududi, dan di Indonesia Muhammad Natsir. Tipologi Sekuler, memandang
bahwa Islam adalah agama murni bukan negara. Tipologi ini terbelenggu dan
sangat terpesona oleh pemikiran nation state Barat Modern. Pemikir yang
termasuk tipologi ini adalah Ali Abd al‐Raziq, A. Luthfi Sayyid, dan di Indonesia
Soekarno. Tipologi Moderat, memandang bahwa meskipun Islam tidak
4
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1993, h. 1‐2
5
menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam
terdapat prinsip‐prinsip moral atau etika dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem manapun
yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhammad Husein Haikal 1888‐
1956, Muhammad Abduh 1862‐1905, Fazlurrahman, Mohamed Arkoun, dan di
Indonesia Nurcholish Madjid.
5
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, yang dikenal dengan Buya Syafii Maarif,
adalah seorang cendekiawan muslim yang concern dalam bidang politik Islam. Ia
berlatar belakang pendidikan formal Muallimin Jogjakarta yang kemudian
melanjutkan kesarjanaannya dalam bidang sejarah. Karya disertasinya yang
diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan:
Studi tentang Percaturan dalam Konstituante”, adalah sebuah refleksi dari
pemikirannya tentang politik Islam meskipun tidak secara utuh. Penelitian ini
akan mengerucutkan pemikiran politik Islam Syafii Maarif secara utuh yang
masih berserakan di berbagai makalah dan buku‐bukunya.
Sebagai pembuka wacana pemikirannya tentang politik Islam, pak Syafii
membagi Islam kedalam dua pandangan, yaitu Islam sejarah dan Islam cita‐cita.
Islam sejarah ialah Islam sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam
konteks sejarah oleh umat Islam Indonesia dalam jawaban mereka terhadap
tantangan sosio‐politik dan cultural yang dihadapkan kepada mereka sebelum
dan sesudah kemerdekaan. Sedangkan Islam cita‐cita ialah Islam sebagaimana
5
Sukron Kamil, Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, Jurnal Universitas
Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: h. 63‐76
6
yang dikandung dan dilukiskan oleh al‐Qur’an dan al‐Sunnah, tetapi yang belum
tentu senantiasa terefleksi dalam realitas sosio‐historis umat sepanjang abad.
Islam cita‐cita ini menggambarkan suatu totalitas pandangan hidup muslim,
sekalipun belum dirumuskan secara sistematis oleh yuris dalam sejarah Islam.
6
Paling tidak ada tiga pokok pemikiran politik Islam Syafii Maarif: Pertama
dalam Islam cita‐cita, negara tidak lain dari sebuah alat yang perlu bagi agama.
Dengan kata lain, ia menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam itu din dan
daulah. Tentang penolakan terhadap tesis ini ia menulis:
Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah? Dari
al ‐Qur’an dan Sunnah, begitu pula dari Piagam Madinah, kita tidak
menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu…. Yang
kita gagal memehaminya ialah daulah ditempatkan sejajar dengan din
yang berasal dari wahyu. Bukankah tesis ini dapat bermakna bahwa kita
secara tidak sadar telah menyamakan alat dengan risalah?
7
Kedua, bentuk negara adalah hasil kreasi manusia, karena itu ia dapat
saja berubah sesuai perkembangan zaman. Prinsip utama bagi suatu negara
untuk dapat dikatakan bercorak Islam ialah jika keadilan, persamaan, dan
kemerdekaan, benar‐benar terwujud dan terasa di dalamnya, serta
mempengaruhi seluruh kehidupan rakyat. Tentang hal ini ia menulis:
Al ‐Quran nampaknya tidak tertarik pada teori khas tentang negara yang
harus diikuti oleh umat Islam. Perhatian utama al‐Quran ialah agar
masyarakat ditegakkan atas keadilan dan moralitas. Maka atas dasar nilai‐
nilai etik al‐Quran‐lah bangunan politik Islam wajib ditegakkan. Tapi
karena al‐Quran tidak menegaskan bentuk khas suatu negara, maka
6
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
Jakarta: LP3ES, 1996, h. 4
7
Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993,
h. 205
7
model dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah sesuatu yang tak
dapat diubah. Ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi, dan
perbaikan menurut kebutuhan waktu dan ummat.
8
Ketiga, karena konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam al‐
Quran, maka sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita‐cita
politik Qur’ani, sekalipun ia tidak semestinya identik dengan praktek demokrasi
Barat.
9
Dari pemaparan tentang pemikiran politik Islam Syafii Maarif tersebut, ia
dapat dimasukkan kedalam tipologi moderat yang menolak klaim ekstrim bahwa
Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik,
tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada
kaitannya dengan politik. Dalam setiap karya tulisnya tentang politik Islam, baik
berupa makalah maupun buku, selalu mengutip pendapat‐pendapat
Fazlurrahman. Ini menandakan bahwa pemikiran politik Islam Syafii Maarif
dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran Fazlurrahman. Sebagaimana diakuinya
bahwa Fazlurrahman adalah pembimbingnya yang utama dalam penyusunan
disertasi doktoralnya sekaligus mentornya dalam pemikiran Islam.
Buya Ahmad Syafii Maarif adalah seorang cendekiawan muslim Indonesia
yang selalu mengedepankan hati nuraninya dalam tulisan‐tulisannya. Ia seorang
tokoh yang memiliki integritas yang tinggi dalam memegang sebuah prinsip.
8
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
Jakarta: LP3ES, 1996, h. 18
9
Said Tuhuleley, Pencarian Tiada Henti: Spiral dan Sikap Syafii Maarif, dalam Muhammadiyah
dan Politik Islam Inklusif: 70Tahun Ahmad Syafii Maarif, Jakarta: Maarif Institute,
2005, h. 96‐98
8
Kiprahnya dalam bidang dakwah dan kemasyarakatan telah membawanya ke
posisi puncak di persyarikatan Muhammadiyah sebagai Ketua Umum PP
Muhammadiyah antara tahun 1998‐2005. Ada yang menarik dari sisi pribadinya,
dimana ketika orang mendapatkan posisi puncak dalam sebuah organisasi
biasanya tergoda untuk terjun dalam politik praktis yang memberikan harapan
kekuasaan, ia tidak menggunakan “peluang”tersebut untuk memasuki dunia
politik praktis, justru lebih memilih berkiprah di Muhammadiyah dan memainkan
peran Muhammadiyah sebagai civil society. Lebih dari itu, ia ,dalam pemaparan
tulisan ‐tulisannya, kaya akan ungkapan metaforanya.
Salah satu kelebihan Buya Syafii Maarif adalah memiliki sikap empati
yang tinggi kepada stiap orang meskipun terhadap orang yang berbeda
pendapat. Kritiknya terhadap partai Islam yang menginginkan Islam sebagai
dasar negara dalam perdebatan di sidang Majelis Konstituante, disampaikan
dengan sikap empati yang cukup tinggi. Akan tetapi, dalam konteks pemikiran
kenegaraan, ia tidak memberikan sikap empatinya terhadap al‐Maududi.
Misalnya, dalam karya disertasinya tersebut ia mengkritik tentang konsep
“Kedaulatan Tuhan” yang diyakini secara kuat oleh al‐Maududi, dengan menulis:
Bila teori di atas kita hadapkan kepada konsep “Kedaulatan Tuhan” yang
dipercaya sebagai inti dari sistem politik Islam dan yang dibela dan
dinyatakan oleh sebagian penulis muslim kontemporer, seperti Abul ‘Ala
al ‐Maududi, kita menemukan sesuatu yang aneh. Pendapat macam ini
telah “banyak menimbulkan kebingungan….”
10
10
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
Jakarta: LP3ES, 1996, h. 51
9
Padahal,al ‐Maududi adalah pemikir muslim yang sangat berpengaruh
pada masanya di seluruh dunia terutama di dunia muslim. Tulisan‐tulisannya
tentang pemikiran Islam sangat bernash dan selalu mengembalikan kepada al‐
Quran dan al‐Sunnah sebagai pedoman dasar dalam mengungkapkan pemikiran‐
pemikirannya. Termasuk dalam pemikiran politik Islam, seperti dalam bukunya
Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam dan Khilafah dan Kerajaan yang kedua
bukunya diterbitkan oleh Mizan, bandung, selalu menyandarkan kepada syariat
Islam. Sementara dari hasil kajian penulis terhadap pemikiran politik Islam Buya
Syafii Maarif nampaknya kering dari konsep syar’i. Karena itu, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian ini yang kemudian ditinjau dari perspektif ulama al‐
salaf al‐shalih.
Sebagai seorang muslim sudah semestinya mengkaji kembali dan
menimbang ‐nimbang perbedaan pemahaman dari para akademisi yang memang
berkompeten untuk kemudian menentukan sebuah keyakinan akan kebenaran
yang dipilihnya. Sudah barang tentu tidaklah mudah untuk memutuskannya.
Perlu kajian yang komprehensif dan bernash berdasarkan kaidah‐kaidah ilmiah
yang benar. Karena berkaitan dengan pemikiran Islam, tentunya kita
memandang dengan kaca mata Islam yang berlandaskan al‐Qur’an dan al‐Sunnah
sebagaimana yang dipahami para ulama salaf, bukan dengan kaca mata orang
Barat yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran yang hakiki.
10
B. Perumusan Masalah