Paper Tugas Akhir Semester

Paper Tugas Akhir Semester
Mahasiswa diminta untuk membuat sebuah artikel bertema “migran tenaga kerja”
minimal terdiri 5 halaman-10 (tidak termasuk daftar pustaka), spasi 1,5, font Times New
Roman 12. Dikumpulkan sesuai dengan jadwal ujian yang ditetapkan fakultas.

Contoh Paper :
Herning Setyawati
Antropologi Budaya
09/283036/SA/14962
Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Migrasi dan Perubahan Sosial

Analisis Masalah Tenaga Kerja Migran dari Indonesia di Malaysia
Abstrak
Malaysia sebagai negara yang secara geografis letaknya sangat dekat dengan
Indonesia merupakan negara pengirim dan negara tujuan bagi tenaga kerja migran serta
negara tujuan utama bagi

TKI. Migrasi ke luar negeri didominasi oleh tenaga kerja

terampil dan pelajar yang belajar di luar negeri, sementara migrasi ke Malaysia
dikategorikan oleh tenaga kerja tidak terampil atau semi terampil. Malaysia mempunyai

permintaan TKI yang sangat besar dan sangat tergantung pada kontribusi mereka ke
pembangunan dan industrialisasi negara tersebut. Banyaknya tenaga migran Indonesia di
Malaysia membawa permasalahan yang kompleks, seperti tenaga migrat ilegal, minimnya
perlindungan HAM pada TKI, sampai terjadinya tindak kekerasan terhadap TKI. Fenomena
ini perlu dibahas secara mendalam dengan melihat fakta-fakta yang terjadi sehingga dapat
dibuat analisis yang baik mengenai masalah-masalah tersebut.
Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah mereka yang meninggalkan tanah
airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada
orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI). Migrasi tenaga kerja biasanya didefinisikan sebagai perpindahan manusia
yang melintasi perbatasan untuk tujuan mendapatkan pekerjaan di negara asing (IOM, 2009).
Melalui cara yang resmi atau tidak resmi, difasilitasi atau tidak, tenaga kerja memberikan
1

kontribusi ekonomi terhadap negara pengirim maupun tujuan. Tenaga kerja membantu
memperbesar jumlah angkatan kerja di negara tujuan dan dapat membantu pembangunan di
negara mereka sendiri melalui pengiriman uang penghasilan mereka.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi keempat di
dunia. Banyaknya penduduk di Indonesia tidak dibarengi dengan tersedianya lapangan

pekerjaan mencukupi. Kondisi tersebut mendukung banyaknya tenaga kerja yang mencari
penghidupan di luar negeri. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah pun mengambil
langkah dengan menyalurkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negara yang membutuhkan.
Dalam hal ini, negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura serta negara
Timur Tengah menjadi tujuan pengiriman TKI. Menurut Elwin Tobing (2003), arus migrasi
tenaga kerja ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan
melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara yang tergabung dalam
World Trade Organisation (WTO). Melonjaknya arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan
resultante dari perbedaan tingkat kemakmuran antara negara maju dan berkembang.
Pengiriman TKI ke luar negeri tentunya membawa dampak yang positif dan negatif.
Migrasi tenaga kerja internasional merupakan faktor pendorong pembangunan ekonomi
Indonesia dan juga sumber daya manusia. Meskipun pengiriman TKI ke luar negeri telah
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi Indonesia,
ditambah dengan pengiriman uang yang terhitung lebih dari enam milyar dolar per tahun,
namun perlindungan hukum bagi TKI saat ini masih sangat minim. Hal ini menyebabkan TKI
yang bekerja di luar negeri rentan mengalami kekerasan, tereksploitasi perkerjaan, pelecehan
seksual, perdagangan orang dan segala macam bentuk penyalahgunaan kekuasaan di tiap-tiap
tahap perjalanan migrasi. Peningkatan permintaan tenaga kerja dari berbagai negara tujuan
juga berdampak terhadap meningkatnya migrasi ilegal. Ini dapat dilihat dengan jumlah
perkiraan tenaga kerja yang tidak berdokumentasi lebih besar daripada jumlah TKI yang

tercatat.
Menurut Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia, kira-kira terdapat 2.109.954
tenaga kerja migran yang saat ini bekerja di Malaysia, 50 persennya adalah TKI. Besarnya
angka tenaga kerja migran Indonesia di Malaysia dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, faktor
demografi umum dan ketidakseimbangan ekonomi antara Indonesia dan Malaysia. Kedua,
jaringan kerja para perantara, makelar dan agen penempatan kerja yang telah dilembagakan.
Dalam jaringan kerja ini, para perantara juga berfungsi sebagai makelar sehingga
menyebabkan derasnya arus TKI ke Malaysia. Ketiga, hubungan linguistik, budaya dan
2

sejarah antara kedua negara memungkinkan hubungan kerja sama yang lebih mudah antara
majikan dan TKI, dibandingkan dengan tenaga kerja migran dari negara lain.
Permasalahan yang Timbul
Selain migrasi tenaga kerja resmi dari Indonesia ke Malaysia, negara ini tetap menjadi
negara tujuan paling besar bagi TKI ilegal. Data resmi tahun 2006 dari Malaysia diperkirakan
terdapat kurang lebih 700.000 tenaga kerja ilegal di Malaysia, yang sebagian besar (70
persen) berasal dari Indonesia (Kanapathy, 2004b). Akan tetapi, sumber tidak resmi
menyatakan bahwa jumlah TKI ilegal mungkin bisa dua kali lipat lebih banyak.
Dapat dilihat berbagai isu yang beredar yang menyangkut keberadaan TKI di
Malaysia. Di antaranya, sejak tanggal 26 Juni 2009, Indonesia telah mengeluarkan

moratarium penempatan TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di (PRT)
Malaysia. Walaupun kebijakan ini masih aktif pada saat delegasi pemerintah mengadakan
kunjungan studi ke Malaysia pada bulan September 2009, Pemerintah Malaysia terus
mengeluarkan ijin kerja bagi pembantu rumah tangga dari Indonesia, yang dianggap
bermasalah oleh Organisasi Masyarakat Madani.
Larangan TKI bekerja di Malaysia tahun 2009 sudah dicabut setelah ada “Surat
Kesungguhan” ditandatangani antara kedua negara bulan Mei 2010. Surat kesungguhan
menetapkan bahwa TKI berhak memperoleh satu hari libur per minggu dan menyimpan
paspornya sendiri selama berada di Malaysia. Namun, kedua pemerintah tidak mampu
memecahkan masalah upah minimum tenaga kerja migran (Jakarta Post, 2010). Secara
prinsip Pemerintah Malaysia telah menyetujui langkah-langkah yang diusulkan Pemerintah
Indonesia, termasuk memberikan hari libur bagi TKI yang bekerja di sektor domestik sehari
seminggu, kenaikan gaji secara periodik, menyimpan paspor mereka sendiri selama kontrak
mereka dan mendapat ganti biaya transportasi oleh majikan mereka. Pemerintah Indonesia
telah mengusulkan kenaikan upah minimun TKI dari 500 Ringgit (US$ 150.42) menjadi 800
Ringgit (USD 240,67) per bulan.
Meskipun masalah yang dialami TKI bervariasi menurut sektor, tapi masih terlihat
permasalahan umumnya yang dialami oleh TKI . Dari keluhan-keluhan yang diterima KBRI
di Malaysia dari 2005 sampai 2007, masalah utama memang berbeda dari tahun ke tahun,
namun ada dua kategori utama masalah yang nampak jelas: (1) masalah kekerasan termasuk

penyiksaan, penganiayaan seksual, pencambukan, dan pemerkosaan; dan (2) masalah hak
TKI, termasuk gaji yang tidak dibayarkan, beban kerja yang luar biasa, tidak ada libur,
penipuan, pengusiran oleh majikan, kondisi kerja yang tidak manusiawi. Dua kategori

3

masalah ini saling terkait; masalah dengan hak-hak TKI sering menimbulkan masalahmasalah lain yang berelasi dengan kekerasan.
Selain itu, masalah kompleks yang dihadapi TKI di Malaysia adalah masalah
Pembantu Rumah Tangga (PRT).

PRT dari Indonesia di Malaysia mengalami banyak

pembatasan dan kelemahan, seperti ketakutan kehilangan pekerjaan, tingkat stres yang tinggi,
status sosial yang rendah, tidak tahu akan haknya dan tidak terbiasa dengan prosedur.
Beberapa bahkan menderita xenofobia dari masyarakat Malaysia. PRT mendapatkan
perlindungan yang terbatas dari kebijakan pemerintah Malaysia dan Indonesia karena mereka
tidak tercakup dalam UU ketenagakerjaan Malaysia. Beberapa TKI diperlakukan tidak
senonoh oleh majikannya: penganiayaan termasuk penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan dan
gaji tidak dibayar. Kesimpulannya, mereka mempunyai kebebasan bergerak yang terbatas.
Dalam sejumlah kasus kekerasan yang dialami TKI, pengadilan justru sering berpihak

ke majikan atau agen. Ada upaya pelarangan agen perekrutan swasta di Malaysia dan
implikasinya, tapi agen perekrutan swasta di Indonesia belum berhasil merubah praktekpraktek pemangku kepentingan ini. Situasi ini sangatlah berbeda di Indonesia, dengan UU
No. 39/2004 yang secara umum memberikan dukungan terhadap kebebasan majikan daripada
perlindungan TKI. Hadirnya Nota Kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia yang
mengijinkan majikan atau agen menyimpan paspor TKI demi keamanan, menyebabkan
kerentanan situasi PRT. Namun, laporan media pada bulan Febuari 2010 menunjukkan bahwa
praktek ini akan berubah (The Jakarta Post, 2010).
Keadaan tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam mengingat jika diruntut, sejarah
menunjukkan, sejak dulu hubungan Indonesia dan Malaysia kerap tidak harmonis. Terbukti
dengan gerakan Ganyang Malaysia yang dicetuskan oleh Bung Karno. Selain itu hingga saat
ini masalah batas wilayah serta klaim kesenian masih sering diberdebatkan antara kedua
negara. Walaupun demikian, latar belakang tersebut tidak membatasi begitu banyaknya TKI
yang bekerja di Malaysia. Hal ini menjadi menarik dan penting untuk dikaji karena jika
diamati, menjadi ironis jika Malaysia menjadi tujuan utama tenaga kerja migran dari
Indonesia. Terlebih dengan adanya ancaman-ancaman tindak kekerasan serta pelanggaran
HAM terhadap TKI di Malaysia serta tipisnya perlindungan hukum, masih banyak TKI yang
mengadu nasib di Negeri Jiran. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, saya melakukan
studi pustaka dari literatur terkait serta berita dari media massa seperti koran dan internet.
Contoh Kasus
Di bawah ini adalah salah satu kasus yang dialami TKW dari Indonesia yang menjadi

pembantu rumah tangga di Malaysia yang mengalami tindak kekerasan oleh majikannya:
4

Nirmala Bonat, anak perempuan seorang petani yang tinggal di NTB. Ia bersemangat
membantu orang tuanya yang berpenghasilan sangat kecil dan setuju untuk direkrut sebagai
pembantu rumah tangga. Nirmala dikirim ke Malaysia pada tahun 2003 sewaktu berumur 19
tahun. Majikannya, Yim Pek Ha, mulai menganiaya beberapa bulan saat dia baru bekerja.
Setelah secara tidak sengaja memecahkan cangkir, Yim melempar air panas ke Nirmala.
Setiap kali Yim merasa tidak senang dengan Nirmala, dia diserang dengan menggunakan
segala macam barang yand ada di sekitarnya seperti gantungan pakaian dan cangkir kaleng.
Serangan fisik yang paling serius terhadap Nirmala adalah sewaktu dia disiram air panas dan
dibakar dengan seterika panas di bagian payudara. Nirmala mencoba melarikan diri dua kali
dari majikannya namun dia ketakutan karena tidak mengenali daerah di sekitarnya dan tidak
merasa yakin kemana harus pergi sehingga ia kembali ke rumah majikannya. Ketika
penyiksaan semakin tidak bisa ditoleransi, Nirmala kembali melarikan diri tanpa tahu harus
pergi kemana. Untung saja, penjaga keamanan datang membantunya, membawa dia ke kantor
polisi terdekat. Majikan Nirmala ditahan dan Nirmala dimasukkan ke rumah sakit untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
Pada bulan Mei 2004, Yim Pek Ha dikenakan empat tuduhan karena secara sengaja
melukai fisik, tim penuntut meminta Yim dihukum 20 tahun penjara atas tuduhan tersebut.

Akan tetapi, pada bulan Juli 2004, Pengadilan Tinggi Malaysia mempertimbangkan penyakit
asma dan tekanan darah tinggi yang diderita Yim serta usia anaknya yang kurang dari satu
tahun dan masih berada di bawah pengasuhannya mengijinkan Yim untuk menjadi tahanan
rumah. Ia diwajibkan membayar uang tebusan sebesar 85.000 Ringgit (USD 25,602) dan
menyerahkan paspornya serta tidak diperkenankan mempekerjakan pembantu rumah tangga
asing. Yim tidak hadir dalam persidangan hari pertama pada bulan Juli 2004, dia dilaporkan
sedang menjalani perawatan asma di rumah sakit. Hakim menunda kasusnya sampai hari
berikutnya. Hari berikutnya sidang ditunda lagi sampai dua bulan berikutnya, dan mulai lagi
pada bulan September 2004.
Persidangan kasus menjadi tidak jelas, karena kuasa hukum Yim menyatakan bahwa
tuduhan terhadap Yim tidak sempurna dan ada kelemahan dalam laporannya yaitu pada
malam Nirmala ditemukan oleh penjaga keamanan. Tim pembela Yim menyatakan bahwa
bahwa luka-luka Nirmala disebabkan ulahnya sendiri. Mereka mencoba memberikan
gambaran bila Nirmala menderita sakit mental. Untung saja, pernyataan ini dilemahkan
dengan testimoni para saksi termasuk konsultan, psikiater dan petugas medis lainnya. Dalam
persidangan, testimoni Nirmala juga dipotong menjadi lebih singkat oleh tim pembela Yim

5

yang meminta keputusan persidangan ditunda setelah 30 menit. Selama kasusnya disidangkan

di pengadilan Malaysia, Nirmala harus tinggal di penampungan KBRI di Kuala Lumpur.
Pada bulan November 2008, Yim Pek Ha dijatuhi hukuman 18 tahun penjara setelah
dinyatakan bersalah dengan tiga tuduhan melukai tubuh Nirmala Bonat (The Star Online,
2008). Yim dinyatakan melakukan kesalahan keempat yaitu mematahkan hidung Nirmala
dengan cangkir kaleng. Menurut Seksi 326 KUHP, setiap serangan terkena maksimum 20
tahun hukum penjara dan denda atau hukum pecut. Pada bulan Desember 2009, hukuman
Yim dikurangi menjadi 12 tahun oleh pengadilan tinggi Malaysia. Pada bulan Januari 2010,
Nirmala minta naik banding terhadap bekas majikannya di kantor pendaftaran Pengadilan
Tinggi Malaysia, mencari ganti rugi khusus untuk biaya medis, kehilangan upah 28.545
Ringgit (US$ 8.597), biaya lainnya sebesar 10.616 Ringgit (US$ 3.198) serta kerugian dan
biaya umum lainnya (The Star Online, 2008).
Analisis dan Solusi
Tentunya persoalan migrasi tidak bisa dilihat hanya dari satu negara. Akan tetapi,
masalah ini sudah merupakan persoalan lintas batas negara. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai migrasi tenaga kerja harus disertai dimensi hubungan internasionalnya, yaitu yang
sifatnya asimteris maupun simetris. Hal ini berkaitan dengan level analisis yang akan dipilih,
apakah domestik, bilateral, regional, atau internasional.
Berkaitan dengan persoalan TKI ilegal, posisi pemerintah RI sangat lemah karena
kurang memiliki leverage terhadap Malaysia di segala bidang (sistem politik antar negara,
ekonomi, dan sosial). Persoalan migrasi ini bisa juga difokuskan pada division of workersnya. Migrasi oleh TKI ilegal ke Malaysia pada umumnya disebabkan keinginan masyarakat

kelas bawah Indonesia untuk bekerja di sana. Mereka berjuang dengan harapan dapat
memperbaiki perekonomian keluarga serta meningkatkan taraf hidupnya.
Analisis persoalan migrasi TKI ilegal ke malaysia sebagai akibat desakan kebutuhan
ekonomi, dapat menggunakan Teori Marxis mengenai “das capital”. Marx dan Engels
mengemukakan teorinya mengenai perjuangan kelas yang saling bertentangan namun selalu
mewarnai sejarah kehidupan manusia. Inti dari beberapa pemikiran penting Marx dan Engels:


Gagasan sentralnya berupa fakta bahwa sejarah umat manusia diwarnai oleh
perjuangan atau pertarungan di antara kelompok-kelompok manusia. Perjuangan kelas
ini bersifat permanen dan bagian inheren dalam kehidupan sosial yang terjadi sejak



awal munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat kuno.
Pernyataan itu juga mengandung proposisi bahwa dalam sejarah perkembangan
masyarakat selalu terdapat polarisasi “….pertentangan kelas terjadi antara kelas
6

penindas dan yang tertindas…. Kelas borjuasi akan mengeksploitasi para pekerja….

Di sisi lain, kelas buruh hanya menjual tenaga kerja kepada kelas penindas sekadar
untuk tetap bisa bertahan hidup.”
Sementara konsep yang dapat digunakan jika dilihat dari sudut pandang “keamanan
lokal” di malaysia antara lain adalah konsep national interest. Analisisnya dapat menjelaskan
perilaku luar negeri suatu negara dan alasan pembenar utama bagi tindakan negara tersebut,
maka, konsep “kepentingan nasional” ini sering dipakai sebagai pengukur keberhasilan suatu
politik luar negeri. Hal ini dapat membantu memahami perilaku pemerintah Malaysia yang
memberlakukan UU baru mengenai keimigrasian serta tindakan mereka menghukum,
mencambuk, dan mengusir para TKI.
Dalam mencari solusi atas persoalan mengenai “migrasi tenaga kerja”, perlu
difokuskan pada peran International Governmental Organization (IGO) serta International
Non Governmental Organization (INGO). Perlunya segera meratifikasi Konvensi Migran
1990 (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya).

Berbagai situasi pelanggaran hak buruh migran antara lain

disebabkan karena belum meratifikasi Konvensi Migran 1990 sehingga belum ada kewajiban
hukum bagi pemerintah untuk memenuhi hak buruh migran sebagaimana tercantum dalam
konvensi tersebut.
Jika diamati, penanganan pekerja migran internal selama ini lebih banyak menyentuh
aspek hilir ketimbang hulu. Padahal, menyentuh persoalan di hilir saja seperti halnya kegiatan
“menyapu sampah di halaman rumah”. Sedangkan, membersihkan penyebab yang mengotori
halaman tersebut tidak tersentuh. Dengan demikian, penanganan persoalan pekerja migran
internal perlu dilakukan secara terpadu, baik di wilayah hulu (daerah asal) maupun hilir
(daerah tujuan).
Sejalan dengan desentralisasi, persoalan pekerja migran internal sebenarnya
merupakan tantangan pemerintah, baik di negara asal maupun negara penerima. Pemerintah
sudah seharusnya menghadapi persoalan ini dengan peningkatan ekonomi regional dan
pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Sementara itu, permasalahan yang timbul dari
pekerja migran internasional antara lain disebabkan oleh belum maksimalnya perlindungan
buruh, terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selama ini, kedutaan besar
Indonesia di negara-negara lain belum memiliki atase sosial. Oleh karena itu, penempatan
atase sosial, terutama di negara-negara yang banyak menerima TKI, perlu dipertimbangkan.
Atase sosial ini harus memiliki keahlian yang lengkap mengenai konseling, advokasi,
pendampingan sosial, dan teknik-teknik resolusi konflik.

7

Di dalam negeri, pembekalan terhadap TKI tidak hanya menyangkut “cara-cara
bekerja dengan baik” di negara tujuan. Namun, sebaiknya menyangkut pula coping strategies
dalam menghadapi persoalan yang mungkin timbul di negara tujuan. Pelatihan mengenai
strategi penanganan masalah ini bisa menyangkut pengetahuan mengenai karakteristik politik
dan sosial-budaya negara tujuan, serta cara-cara menghadapi burn-out (kebosanan kerja),
stres, kesepian, maupun pengetahuan mengenai fungsi dan tugas kedutaan besar.
Akhirnya, penyeleksian dan pengawasan terhadap PJTKI juga perlu dilakukan secara
konsisten dan berkelanjutan melalui kerjasama antara Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Sosial.
Pengawasan ini bisa dilakukan dengan melibatkan pekerja sosial yang dapat memahami
permasalahan, pelatihan dan penanganan permasalahan sosial psikologis pekerja migran
internasional. Para pekerja sosial dapat memberikan pendampingan sosial, pembelaan,
bimbingan sosial terhadap calon TKI sebelum dan sesudah kembali dari luar negeri. Selain
itu, pelayanan sosial semacam “perawatan rumah” (homecare) terhadap keluarga TKI di
Indonesia juga perlu dilakukan mengingat banyaknya kasus kerumahtanggan yang
ditimbulkan akibat “perginya” salah satu anggota keluarga penting di rumah yang
ditinggalkan pekerja migran.

Referensi
Hernandez-Coss, R. 2008. The Malaysia-Indonesia Remittance Corridor, World Bank
Publications 2008 World Migration 2008, World Migration 2008, Managing Labor
Mobility in The Evolving Global Economy.
IOM World Migration Series. (Migrasi Dunia 2008, Mengelola Mobilitas Tenaga Kerja
dalam Ekonomi Global yang Berkembang). 2009 “Labour Migration”, Dilihat pada
tanggal 6 Januari 2012 pukul 19.32, . (“Migrasi Tenaga
Kerja”).
Kanapathy, V. 2004b Country Report: Malaysia. Dilihat pada tanggal 5 Januari 2011 pukul
17.56,

. (Laporan Negara: Malaysia).
Keely, C. 2002, ‘Demography and International Migration’, in Brettle, C. dan J. Hollifield
2002, Migration Theory: Talking Across Disciplines, London: Routledge

8

Suharto, Edi (2002), Profiles and Dynamics of the Urban Informal Sector in Indonesia: A
Study of Pedagang Kakilima in Bandung, Ph.D dissertation, Palmerston North:
Massey University
Sukamdi, E. dan A. Haris 2004, ‘Impact of Remittances on the Indonesian Economy’ di
Ananta, A. International Migration in Souteast Asia, Evi Nurvidya, Institute of
Southeast Asian Studies
The Jakarta Post. 2010. “RI, Malaysia close to deal on worker protection”. 8 Februari 2010
and “KL agrees to RI proposal on workers’ wages”, 9 Februari 2010. (“RI, Malaysia
hampir mendekati ke pembahasan tentang perlindungan tenaga kerja”) dan (“KL
menyetujui usulan RI tentang upah TKI”).
The Star Online. 2008. “Nirmala Bonat case: Housewife found guilty, 18 years jail”. Dilihat
pada tanggal 5 Januari 2012 pukul 20.03 (“Kasus Nirmala Bonat: Ibu rumah tangga
dinyatakan bersalah, 18 tahun penjara”). .

9