PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI(Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

ABSTRACT

HEALTH MANAGEMENT IMPLEMENTATION HATCHERY TIGER SHIRMP (Penaeus monodon) AND VANNAMEI SHRIMP (Litopenaeus vannamei)

IN KALIANDA SOUTH LAMPUNG

By

RICO WAHYU PRABOWO

Shrimp farming is one of the prospective business for Indonesia, which needs to be developed further. Kalianda South Lampung is the center of black tiger shrimp hatchery and vannamei largest in Lampung. The purpose of research is to observe the shrimp health management applied by the farmers tiger shrimp and vannamei shrimp in South Lampung and make the relate between the health management of shrimp with fry quality tiger shrimp and vannamei shrimp produced by the hatchery in South Lampung. Shrimp health management was obtained by interview and the quality of shrimp seed obtained from observations in the laboratory with the observed light response, swimming activity, abnormality, the gut contents, lipid droplets, the condition hepatopancreas and pigmentation. Of the 22 hatchery was obtained 3 high, 6 medium and 13 are low. While the quality of virus-free shrimp WSSV and IHHNV and the amount of bacteria in the shrimp's body is still normal. Based on the regression results obtained values of the regression is Y = 0,019X2 - 1,358X + 52.49 with a coefficient of determination (R2) of 0.419 indicates that only 41.9% of the variation observed in the shrimp seed quality can be described by polynomial models and the rest 58.1% of the remaining unexplained. Coefficient value (r) of 0.647 indicates there is a positive correlation between the health management of shrimp fry quality. It can be stated that the better health of hatchery management, the better quality of the fry shirmp produced by the hatchery.


(2)

ABSTRAK

PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH

UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

RICO WAHYU PRABOWO

Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang prospektif bagi Indonesia yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Kalianda, Lampung Selatan merupakan sentra panti benih udang windu dan vannamei yang terbesar di Lampung. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan observasi terhadap manajemen kesehatan udang yang diterapkan oleh para pembudidaya udang windu maupun udang vannamei yang ada di Lampung Selatan dan membuat hubungan antara manajemen kesehatan benih dengan kualitas benih udang windu dan udang vannamei yang dihasilkan oleh panti benih di Lampung Selatan. Data manajemen kesehatan udang di peroleh dengan metode wawancara dan kualitas benih udang diperoleh dari pengamatan di laboratorium dengan pengamatan respon cahaya, aktivitas berenang, abnormalitas, kandungan isi perut, lipid droplet, kondisi hepatopankreas dan pigmentasi. Dari 22 panti benih yang diamati diperoleh 3 tinggi, 6 sedang dan 13 rendah. Sedangkan kualitas benih udang bebas virus WSSV dan IHHNV serta kandungan bakteri dalam tubuh benih udang

masih normal. Berdasarkan hasil regresi nilai dari regresi yang diperoleh adalah Y = 0,019X2 – 1,358X + 52,49 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,419

menunjukkan bahwa hanya 41,9% variasi pengamatan pada kualitas benih udang yang dapat dijelaskan dengan model polinomial dan sisanya sebesar 58,1% sisanya yang tidak dapat dijelaskan. Nilai koefisien (r) sebesar 0,647 menunjukan terdapat hubungan korelasi positif antara manajemen kesehatan dengan kualitas benih udang. Maka dapat dinyatakan bahwa semakin baik manajemen kesehatan panti benih maka akan semakin baik kualitas benih yang dihasilkan oleh panti benih.


(3)

PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH

UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

RICO WAHYU PRABOWO Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PERIKANAN

Pada

Jurusan Budidaya Perairan/ Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH

UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

( Skripsi )

Oleh

RICO WAHYU PRABOWO

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

(8)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram Alir Pemikiran ...4

2. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) ...6

3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) ...7

4. Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ...10

5. Siklus Hidup Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ...11

6. Hasil Kuisioner Panti Benih di Kalianda Lampung Selatan ...61

7. Peta Pengambilan Sampel ...76


(9)

ii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat ... 3

1.4. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Windu (Penaeus monodon) ... 5

2.1.1. Klasifikasi ... 5

2.1.2. Morfologi ... 5

2.1.3. Pertumbuhan Larva Udang Windu (Penaeus monodon) ... 7

2.2. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 9

2.2.1. Klasifikasi ... 9

2.2.2. Morfologi ... 9

2.2.3. Pertumbuhan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 11

2.3. Mekanisme Pertahanan Tubuh Udang ... 12

2.4. Pengamatan Udang Sehat ... 13

2.5. Penyakit Udang ... 14

2.2.1. Viral ... 14

2.5.1.1. WSSV ... 15

2.5.1.1. IHHNV ... 18

2.2.2. Bakterial ... 18

2.5.2.1. Vibrio sp. ... 18

2.2.3. Parasitik ... 21

2.5.3.1. Zoothamnium sp. ... 21

2.5.3.2. Isopoda ... 22

2.5.3.3. Parasit Cacing ... 22


(10)

iii

2.6.1. Pemilihan Lokasi ... 23

2.6.2. Fasilitas Pemeliharaan Larva ... 24

2.6.2.1. Fasilitas Pokok ... 24

2.6.2.2. Fasilitas Pendukung ... 25

2.6.3. Kegiatan Pemeliharaan Larva ... 26

2.6.3.1. Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva ... 26

2.6.3.2. Penebaran Naupli ... 27

2.6.3.3. Pengelolaan Pakan ... 28

2.6.3.4. Pengelolaan Kualitas Air ... 30

2.6.3.5. PemantauanPertumbuhan ... 32

2.6.3.6. Pengendalian Penyakit ... 33

2.7. Manajemen Kesehatan Udang ... 34

2.7.1. Biosekuritas ... 35

2.7.2. Pemilihan Benih ... 35

2.7.2.1. Penentuan Panti Pembenihan Udang ... 35

2.7.2.2. Pemilihan Benih ... 35

2.7.2.3. Persyaratan Kualitatif Benih Uji ... 36

2.7.3. Manajemen Lingkungan ... 37

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38

3.2. Peralatan dan Bahan ... 38

3.3. Prosedur Penelitian ... 39

3.3.1. Wawancara ... 39

3.3.1.1. Air dan Benur ... 39

3.3.1.2. Karantina ... 40

3.3.1.3. Kesehatan Udang... 41

3.3.1.4. Pemeliharaan ... 42

3.3.1.5. Manajemen Personil ... 43

3.3.2. Dokumentasi ... 44

3.3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel ... 44

3.3.5. Pengambilan Sampel ... 44

3.3.5. Pengamatan Kesehatan Benih Udang ... 44

3.3.6. Identifikasi Penyakit Udang ... 50

3.4. Parameter yang diamati ... 57

3.5. Analisis Data ... 57

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penerapan Manajemen Kesehatan pada Panti Benih ... 58

4.1.1. Air dan Benur ... 61

4.1.2. Karantina... 63

4.1.3. Kesehatan Udang ... 65


(11)

iv

4.1.5. Manajemen Personil ... 69

4.2. Proses Kerja Panti Benih Udang ... 71

4.2.1. Budidaya yang Baik ... 71

4.2.2. Budidaya yang Buruk ... 73

4.3. Lokasi Pengambilan Sampel ... 75

4.4. Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 76

4.4.1. Pengamatan Respon Cahaya pada Benih Udang ... 79

4.4.2. Pengamatan Kemampuan Berenang ... 81

4.4.3. Pengamatan Abnormalitas ... 82

4.4.4. Pengamatan Pigmentasi ... 84

4.4.5. Pengamatan Kandungan Isi Perut ... 85

4.4.6. Pengamatan Lipid Droplet ... 87

5.4.7. Pengamatan Kondisi Hepatopankreas ... 88

4.4.8. Pengamatan Penyakit ... 90

4.4. Hubungan Manajemen Kesehatan dengan Kualitas Benih Udang ... 96

4.5.1. Metode Regresi Linier ... 96

V. KESIMPULAN 5.1. Simpulan ... 100

5.2. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

v

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Umur dan Panjang Tubuh Larva Udang Windu (Penaeus monodon) ... 9

2. Kualitas Air pada Pembenihan Udang ... 37

3. Alat dan Bahan Uji PCR ... 38

4. Alat dan Bahan Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 39

5. Gejala Udang Terkena Penyakit Bakteri dan Parasit ... 51

6. Hasil Kuisioner tentang Air dan Udang ... 63

7. Hasil Kuisioner tentang Karantina Udang ... 65

8. Hasil Kuisioner tentang Kesehatan Udang ... 67

9. Hasil Kuisioner tentang Pemeliharaan Udang ... 69

10. Hasil Kuisioner tentang Manajemen Personil ... 71

11. Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 78

12. Kualitas Benih Udang terhadap Respon Cahaya ... 80

13. Kualitas Benih Udang terhadap Kemampuan Berenang ... 82

14. Persentase Abnormalitas Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan ... 83

15. Pengamatan Pigmentasi Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan ... 85

16. Pengamatan Kandungan Isi Perut pada Benih Udang... 87

17. Pengamatan Lipid Droplet Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan .. 88

18. Pengamatan Hepatopankreas pada Benih Udang ... 90


(13)

Dialah yang mengajarkan manusia dari segala yang

belum diketahui…….…(Q.S. Al-Alaq. 5)

Barang siapa menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya

jalan menuju surga,………( H.R. Muslim)

Gunakanlah Kesempatan Semaksimal Mungkin Karena Kesempatan

Tidak Datang Kedua Kali………(Rico Wahyu)

Tak Ada Suatu Hal Yang Tak Mungkin Karena Semua Mungkin

Jika Kita Mau Berusaha dan Berjuang…….(Rico Wahyu)


(14)

Kupersembahakan karya kecil ini

kepada Papa dan Mama serta

keluarga tercinta yang selalu

mendo’akan memberikan

dukungan dan motivasi.

Almamater Tercinta

“Universitas Lampung”


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 28 April 1992, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak Wahyono, S.Pd dan Ibu Sumini.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Maarif Taman Cari Purbolinggo pada tahun 1998, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 2 Purbolinggo pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Purbolinggo pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo pada tahun 2010.

Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Budidaya Perairan Universitas Lampung melalui jalur undangan. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum Biologi Perikanan, Biologi Akuatik, Fisiologi Hewan Air, Budidaya Air Laut dan Payau, Penyakit dan Parasit pada Organisme Air, Genetika Pemulyaan Ikan dan Manajemen Kesehatan Ikan. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kampus yaitu sebagai Duta Pertanian 2011. Penulis juga aktif dalam berorganisasi sebagai anggota dari Hidrila bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) tahun 2011/2012. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat. Penulis juga telah melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mulyosari, Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur dan sebagai Koordinator Kecamatan Pasir Sakti.


(16)

SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Penerapan Manajemen Kesehatan Panti Benih Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di

Kabupaten Lampung Selatan” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan di Universitas Lampung .

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung;

2. Ir. SitiHudaidah, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Budiadya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan selaku pembahas yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi

3. Yudha T. Adiputra, S.Pi., M.Si, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(17)

4. Esti Harpeni, S.T., MAppSc, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Mahrus Ali, S.Pi., M.P, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi; terimakasih atas masukan dan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Wardiyanto, S. Pi., MP, selaku Pembimbing Akademik, terimakasih atas bimbingan selama menjalani perkuliahan ini;

7. Seluruh staf pengajar di Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan;

8. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, terima kasih atas kerjasama dan bantuannya;

9. Yang tercinta Papa dan Mama atas kasih sayang, doa yang tulus, kesabaran, motivasi dan dukungannya selama ini;

10. Buat Kakakku, Agung Wahyu Prabowo dan Adikku Anggun Novita Sari atas doa dan dukungannya untuk selalu berjuang bersama mewujudkan mimpi menjadi kebanggaan Papa Mama;

11. Anisa Septa Rini, terima kasih atas perhatian, dukungan, motivasi dan kesabaran dalam menemani langkah saya selama ini;

12. Keluarga besar TK Maarif Taman Cari, Keluarga besar SDN 2 Taman Cari, Guru-guruku di SMPN 1 Purbolinggo, Guru-guruku di SMAN 3 Kota Metro terima kasih atas ilmu, semangat dan dukungannya hingga bisa melanjutkan sampai sekarang ini.

13. Rekan – rekan angkatan 2010 ; Soma, Aan, Fauzy, Ali, Febri, Baihaqi, Hermawan, Aziz, Imam, Toni, Jumed, Eko, Rudi, Angga, Ajil, Andi, Adit,


(18)

Median, Sopan, Robet, Anjar, Yuti, Ardi, Dio, Erwin, Regi, Aris, Anggi, Sandi, sigit, Prio, Arya, Adi, Anggara, Bika, Roma, Jelita, Sera, Rima, Dike, Rima, Tita, Nyik, Yuli, Dwinda, Tika, Rosi, Niki, Winda, Windi, Septi, Eli, Asri, Siti, Friska, Dian, Duma, Riska, Sapi, Mauli, Asova, Olip, Memey, Fani, Aulia terimakasih atas kebersamaannya dan bantuannya selama ini; 14. Kakak-kakak 2004-2009 dan adik-adik 2011-2013 Budidaya Perairan Unila,

atas dukungan, motivasi dan semangatnya;

15. Bapak Yahya terima kasih atas motivasi dan semangatnya;

16. Teman-teman rekreator Ali, Fauzy, Hermawan, Pebri, Aris, Baihaqi, Soma, Aan yang telah memberikan semangat dan kebersamaannya;

17. Masyarakat Kecamatan Pasir Sakti yang telah memberikan pelajaran hidup yang berarti pada Kuliah kerja Nyata (KKN) tahun 2013;

18. Teman-teman seperjuangan KKN desa Mulyosari Bondan, Burhan, Ayska, Ayu, Rara, Cimeng, Citut, Atu, Kristian, Candra terima kasih atas

kebersamaan dan bantuan selama 40 hari disana;

19. Teman-teman KKN pasir sakti Pandu, Ando, Boby, Arnold, Bangun, Budi, Rico, Koko, Aris, Uty, Ayu, Citra, Biyanti, Citra, Tiara, Baron, Candra, Baskoro, Remon dan yang lainnya terima kasih atas kebersamaan dan bantuan selama saya menjadi Koordinator Kecamatan Pasir Sakti

20. Sahabat – Sahabatku anak kosan Bumi Manti, Adi, Muxdin, Raju, Donal, Imung, Roy, Ricky, Hasan dan Yoni terima kasih sudah menjalin

kebersamaan.

21. Sahabatku Batalyon Aconk, Topeng, Bodong, Catur telah mewarnai hidupku sejak dulu;


(19)

22. Teman tim skripsiku Aris Candra Prihantoro dan Nyi Ayu Ika Pratiwi terima kasih atas saran dan semangatnya;

23. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu yang telah memberikan bantuan dalam penulisan skripsi.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, 22 September 2014 Penulis


(20)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang prospektif dilihat dari tujuan utama adalah ekspor ke Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (Mahmud et al., 2007). Total produksi perikanan budidaya mencapai 60 juta ton pada tahun 2010 dengan nilai US$119.4 milyar (FAO, 2012). Total produksi budidaya udang dunia sebanyak 77% diantaranya diproduksi oleh negara-negara Asia termasuk Indonesia (FAO, 2012). Luas areal tambak udang di Indonesia saat ini sekitar 344.759 ha atau sekitar 39,78 % dari potensi lahan yang tersedia yakni seluas 866.550 ha yang tersebar di seluruh Indonesia (Arifin et al., 2012). Terdapat 80% areal luas tambak diantaranya adalah

tambak milik petani yang masih dikelola secara tradisional sehingga produktivitasnya masih rendah (Arifin et al., 2012). Luasan tambak udang yang ada yang cukup besar,

maka Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar sebagai salah satu produsen produk perikanan budidaya, terutama udang. Maka perlu adanya pengembangan dalam sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon ) maupun udang vannamei

(Litopenaeus vannamei) yang lebih baik.

Pembenihan mempunyai peran penting dalam proses budidaya karena pembenihan merupakan proses awal dari budidaya (Sano et al.,1985). Pembenihan udang yang


(21)

2 Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Lampung mempunyai 4 panti benih yang bersertifikat yang semuanya merupakan panti benih yang ada di Lampung Selatan.

Budidaya udang sudah dibudidayakan sejak akhir tahun 70-an (Muliani et al., 2003).

Akan tetapi masalah utama yang dihadapi oleh pembudidaya udang windu dan vannamei adalah masalah penyakit yang sampai sekarang sukar untuk diatasi (Sukenda et al., 2009). Hal ini dikarenakan kondisi kekebalan benih udang yang

belum berkembang secara sempurna sehingga mempermudah masuknya penyakit ke dalam tubuh benih udang (Muliani et al., 2003). Penyakit yang sering menyerang

benih udang adalah virus, bakteri dan parasit (Sano et al.,1985).

Penyakit yang menyerang udang windu dan vannamei, virus merupakan penyakit yang sering menyerang. Jenis virus yang sering menyerang udang diantaranya adalah

White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Infectious Hypodermal and Haematopoietic

Neckrosis Virus (IHHNV ). Penyakit ini yang menyebabkan kematian total pada

benih udang yang dibudidayakan. Selain virus, penyakit pada benih udang juga disebabkan oleh parasit dan bakteri. Bakteri yang sering menyerang benih udang windu dan vannamei adalah jenis bakteri Vibrio sp. (Rukyani, 1992).

Pengendalian penyakit yang lebih efektif adalah pencegahan penyakit. Cara pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen kesehatan yang baik sehingga akan meningkatkan kualitas benih udang yang dihasilkan.


(22)

3

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. melakukan observasi terhadap manajemen kesehatan udang yang diterapkan oleh para pembenih udang windu maupun udang vannamei yang ada di Lampung Selatan.

2. membuat hubungan antara manajemen kesehatan benih dengan kualitas benih udang windu dan udang vannamei yang dihasilkan oleh panti benih di Lampung Selatan.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat mengenai benih udang yang bebas dari penyakit dan sistem budidaya udang yang baik agar meningkatkan hasil produksi benih udang di Lampung Selatan.


(23)

4

1.4. Kerangka Pemikiran

Budidaya udang perlu menerapkan konsep manajemen kesehatan (Gambar 1) untuk meminimalisir udang terserang penyakit.

Gambar 1. Diagram Alir Pemikiran Kabupaten Lampung Selatan

Sentra Panti Benih Udang

Udang Windu Udang Vannamei

Infeksi Penyakit

Penerapan Manajemen Kesehatan Benih Udang

Virus Bakteri Parasit

Kualitas Benih Udang Meningkat

Penyakit Non Infeksi


(24)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Udang Windu (Penaeus monodon)

2.1.1. Klasifikasi

Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda. Suwignyo (1990) mengklasifikasikan udang windu sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Fillum : Arthropoda Subfillum : Crustacea

Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon

2.1.2. Morfologi

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax)

dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas


(25)

6 dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995).

Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting

(Mujiman dan Suyanto, 1999). (Gambar 1).

Gambar 2. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)( Suwignyo, 1990). Udang penaeid dapat dibedakan dengan yang lainnya oleh bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi ventral rostrum dan 6-8 gigi pada tepi dorsal (Mujiman dan Suyanto, 1999). Udang windu betina mempunyai thelicum sebagai alat reproduksinya. Letak thelicum berada diantara

Rostrum

Telson

Periopod Pleopod

Uropod Antena Karapas antennula Mata Segmen

Ke 1 Segmen

Ke 2 Segmen

Ke 3 Segmen Ke 4 Segmen Ke 5 Segmen Ke 6


(26)

7 pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5 dengan lubang saluran kelaminnyua terletak diantara pangkal kaki ke-3. Sedangkan alat kelamin udang jantan disebut petasma yang terletak pada kaki renang pertama. Udang windu bersifat kanibalisme yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Hal ini terjadi jika udang windu kekurangan pakan.

2.1.3. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Windu

Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva dimulai

dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak.

Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius, zoea,

mysis dan post larva (Gambar 3).


(27)

8 Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti pada gambar diatas yaitu :

1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.

2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar

96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.

3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam

dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.

4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub

stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang

lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.

5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.

6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo, 2000).


(28)

9

Tabel 1. Umur dan Panjang Tubuh Larva Udang Windu (Penaeus monodon )

Tahapan Udang Rata-rata Panjang Tubuh (mm)

Hari Setelah Menetas (Umur)

Nauplius 1 0,32 15 Jam

Nauplius 2 0,35 20 Jam

Nauplius 3 0,39 1 Hari 2 Jam

Nauplius 4 0,40 1 Hari 8 Jam

Nauplius 5 0,41 1 Hari 14 Jam

Nauplius 6 0,54 1 Hari 20 Jam

Protozoea 1 1,05 2 Hari 16 Jam

Protozoea 2 1,9 4 Hari 4 Jam

Protozoea 3 3,2 6 Hari

Mysis 1 3,8 7 Hari 4 Jam

Mysis 2 4,3 8 Hari 16 Jam

Mysis 3 4,5 9 Hari 4 Jam

Postlarvae 1 5,2 10 Hari 20 Jam

Postlarvae 5 8 16 Hari

Postlarvae 15 12 26 Hari

Postlarvae 20 18 30 Hari

(Kungvankij et al., 1986).

2.2. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

2.2.1 Klasifikasi

Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda.

Klasifikasi udang vannamei adalah sebagai berikut (ITIS, 2013): Kingdom: Animalia

Filum: Arthropoda

Kelas: Malacostraca Ordo: Decapoda

Famili: Penaeoidae

Genus: Litopenaeus


(29)

10

2.2.2 Morfologi

Tubuh udang vannamei dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (cephalothorax) dan bagian tubuh sampai ekor

(abdomen). Bagian cephalothorax terlindung oleh kulit kitin yang disebut karapaks.

Bagian ujung cephalotorax meruncing dan bergerigi yang disebut rostrum (Lestari,

2009). Udang vannamei memiliki dua gerigi di bagian ventral rostrum, sedangkan di

bagian dorsalnya memiliki 8-9 gerigi. Jumlah keseluruhan ruas badan udang vannamei umumnya sebanyak 20 buah. Cephalotorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas

di bagian kepala dan delapan ruas di bagian dada. Ruas ke-1 terdapat mata bertangkai, sedangkan pada ruas ke-2 dan ke-3 terdapat antenna dan antennula yang berfungsi sebagai alat peraba dan pencium. Rahang (mandibula) terdapat pada ruas

ke-3 yang berfungsi sebagai alat untuk menghancurkan makanan sehingga dapat masuk ke dalam mulut (Zulkarnain, 2011).


(30)

11 Bagian dada udang vannamei terdapat 8 ruas yang masing-masing ruas terdiri dari anggota badan yang biasa disebut thoracopoda. Thoracopoda ke-1 sampai ke-3

dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pembantu mulut dalam memegang

makanan. Thoracopoda ke-4 sampai ke-8 berfungsi sebagai kaki jalan (periopoda).

Bagian abdomen udang vannamei terdapat 6 ruas. Ruas ke-1 sampai ke-5 merupakan bagian kaki renang (pleopoda), sedangkan pada ruas ke-6 berbentuk pipih dan

melebar yang dinamakan uropoda yang bersama-sama dengan telson berfungsi

sebagai kemudi saat berenang (Zulkarnain, 2011).

2.2.3. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Vannamei

Hampir sama dengan udang windu proses pertumbuhan udang vannamei dengan mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum

pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL) sampai

udang dewasa. Ada empat fase larva udang vannamei yaitu : fase nauplius, zoea,

mysis dan post larva (PL). Secara umum proses perkembangan udang vannamei dapat


(31)

12

Gambar 5. Siklus Hidup Udang Vannamei (Wyban dan Sweeney, 1991).

2.3. Mekanisme Pertahanan Udang

Lapisan kutikula merupakan organ pertahanan pertama yang memegang peran penting dalam melawan patogen potensial dan kerusakan fisik. Kutikula terdiri dari lipid, protein dan kalsium yang menutupi insang, esophagus dan abdomen (Alday-sanz,1995).

Udang memiliki suatu respon imunitas yang merupakan upaya proteksi terhadap infeksi penyakit. Sistem imunitas udang dapat bekerja baik spesifik maupun nonspesifik (Alifuddin 2002). Udang tidak memiliki immunoglobulin dan T-limposit

yang dapat mendeteksi adanya benda asing yang masuk, maka mekanisme pertahanan utama dari udang adalah sistem pertahanan seluler yang bekerja memfagosit benda asing yang masuk.


(32)

13 Fagosit adalah penangkapan partikel asing oleh sel tubuh. Reaksi fagosit dilakukan oleh sel hemolym (sel darah) yang disebut hemosit udang. Pertikel asing akan

ditangkap oleh sirkulasi hemozit dan dihambat oleh partikelnodul hemozit dengan

membangun beberapa lapisan sel darah dalam sirkulasi darah. Respon pertahanan tubuh udang meliputi respon pertahanan seluler yang dilakukan oleh sel-sel hemozit bergranula dan respon pertahanan humoral yang dilakukan oleh phoenolokidase,

prophenoloksidase dan lisosom (Anggeraheni, 2001).

2.4. Pengamatan Secara Visual pada Udang yang Sehat

Kriteria benih udang udang sehat berdasarkan pengamatan secara visual adalah:

1. Gerakan aktif dan berenang normal;

2. Respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan, dan sentuhan; 3. Tubuh berwarna cerah, berbelang putih dan hitam yang jelas; 4. Tubuh bersih, licin, tidak ada kotoran atau lumut menempel; 5. Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap;

6. Kotoran (bentuk memanjang, warna coklat/hitam/hijau, tidak mengapung); 7. Ujung ekor tidak geripis, tidak membengkak dan warna garis terangnya putih,

tidak kusam;

8. Ekor dan kaki jalan tidak menguncup; 9. Insang jernih dan bersih;

10.Kondisi isi usus penuh di bawah sinar matahari, dan tidak terputus-putus (BBPBAP Jepara, 2007).


(33)

14

2.5. Penyakit Udang

2.5.1. Penyakit Viral

Virus merupakan mikroorganisme yang menginfeksi sel organisme biologis. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri (Campbell et al., 2002). Virus mengandung sejumlah

kecil asam nukleat yang diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiri atas protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus memiliki protein yang digunakan untuk memuat bahan genetik dan protein yang dibutuhkan dalam daur hidupnya (Hendrix, 2000). Sesuai dengan laporan dari SEAFDEC (1996) bahwa dari 20 panti benih yang terdapat di Ilo-Ilo Philipina, secara histologis 18% dari sampel yang diperoleh dinyatakan terinfeksi oleh MBV dan 45% oleh

Hepatopancreatic Parvo-like Virus (HPV). Kemudian Puslitbang Perikanan (1994)

melaporkan bahwa telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus atau virus-like pada komoditas udang di Indonesia, terutama oleh White Spot Baculo Virus (WSBV) dan Monodon Baculo Virus (MBV). Virus yang akhir-akhir ini menyerang udang

windu adalah White Spot Syndrome Virus (WSSV). Penyakit ini dapat menyerang

udang berbagai stadia mulai benih udang hingga dewasa. Penyakit ini akan menyebabkan kematian massal pada udang yang menyebabkan kegagalan panen. Oleh karena itu virus dipertimbangkan sebagai patogen yang paling berbahaya pada budidaya dan pembenihan udang windu saat ini (Bower, 1996).


(34)

15

2.5.1.1. White Spot Syndrome Virus (WSSV)

a. Klasifikasi dan Morfologi

Virus WSSV termasuk dalam famili Baculoviridae dan merupakan virus DNA beruntai ganda, yang terbagi dalam tiga subgroup yaitu virus polyhedral yang berkembang biak di dalam inti sel dan membentuk badan inklusi yang di dalamnya banyak mengandung partikel virus, virus granulosis yang mengandung satu partikel virus pada tiap-tiap badan inktusinya, dan virus yang tidak mengandung badan inklusi (Lightner, 1996).

Berdasarkan morfologi, ukuran, perkembangbiakan, patologi sel dan tipe asam nukleat, WSSV ditempatkan pada genus non-oclusi baculovirus, sub family Nudibaculovirus dan family Baculoviridae (Moore and Poss, 1999) yaitu virus yang berbentuk batang menyerupai elips, terbungkus dalam satu sampul, berkembangbiak dalam inti sel target (Moore and Poss, 2000) dan merupakan virus DNA berserat rangkap dengan partikel virus mengandung polipeptida, dan satu atau lebih nukleokapsid.

b. Patogenisitas

Udang yang terserang WSSV akan menunjukkan gejala berupa nafsu makan berkurang, lemah, anoreksia, lethargi, bagian abdomen berwarna kemerahan dan

bintik putih, serta lepasnya kutikula dari tubuh (Bower, 1996). Indikasi lainnya adalah udang berenang dipermukaan dan mengumpul di sekitar pematang kolam


(35)

16 dengan luka pada antenna (Lio-Po et al., 2001). Fase awal infeksi WSSV adalah

adanya bintik putih pada kulit yang menyebar ke seluruh tubuh dan berkembang semakin banyak diikuti dengan melebarnya bintik putih menjadi bercak (Rochman, 1995). Bercak putih berdiameter 0,5–3 mm disekitar lapisan epidermis. Hal ini timbul karena adanya deposit kalsium oleh epidermis kutikula (Lightner, 1996). Menurut Techner (1995) bercak putih disebabkan cairan getah bening yang sudah terkontaminasi virus tercampur dengan seluruh cairan atau darah dalam tubuh udang.

Organ target utama yang diinfeksi WSSV adalah epitel kulit (kutikula) dan jaringan ikat pada beberapa organ. Virus paling berat menginfeksi insang, sel epitel subkutikula, organ limfoid, kelenjar antena dan hemolim, tetapi WSSV cenderung menginfeksi dengan frekuensi yang kecil pada hepatopankreas, kelenjar epitel antena, sel organ limfoid, syaraf dan fagosit pada hati (Bower, 1996). Gejala kronis ditandai dengan perubahan warna tubuh udang menjadi kemerah-merahan, selanjutnya diikuti dengan penempelan protozoa Zoothamnium dan Vorticella. Mortalitas yang tinggi

pada udang akan terjadi apabila dalam waktu beberapa minggu tidak ditangani.

c. Proses Timbulnya Penyakit

Adanya suatu penyakit pada hewan merupakan akibat dari interaksi inang, agen penyakit, dan faktor lingkungan. Lingkungan perairan yang buruk cenderung berpengaruh positif terhadap pertumbuhan patogen dan berpengaruh negatif bagi organisme peliharaan (udang) karena dapat menyebabkan penyakit (Flegel and Fegan, 1995). Fluktuasi kualitas air merupakan perubahan kondisi lingkungan


(36)

17 sebagai pemicu adanya penyakit, misalnya: hujan deras, periode ternperatur rendah, menjadi faktor utama dalam memperburuk lingkungan (Chanratchakool, 1998).

Virus merupakan parasit obligat yang secara keseluruhan kebutuhan hidupnya bergantung pada sel inang yang diinfeksi, energi yang diperoleh digunakan untuk reproduksi, sintesa protein, lemak, dan karbohidrat (Fenner et al., 1987). Umumnya,

sebagian besar serangan virus patogen berhubungan dengan stres karena kepadatan yang tinggi, penanganan atau kondisi budidaya yang kurang optimum, pencemaran air oleh bahan-bahan kimia, infeksi atau dampak dari ablasi mata (Sinderman, 1990).

Penyakit bintik putih pada udang merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh virus hasil mutagenik. Terjadinya mutasi gen pada virus disebabkan oleh kondisi lingkungan yang selalu menekannya. Lingkungan yang tidak sesuai membuat virus melakukan mutasi gen dengan merubah bentuk dan sifat (Purnomo, 1995).

2.5.1.2. Infectious Hypodermal and Haematopoietic Neckrosis Virus (IHHNV)

IHHNV (Infectious Hypodermal and Haematopoietic Neckrosis Virus) biasanya akan

menyerang udang dengan gejala klinis sering naik kepermukaan air, jarang bergerak, sering berputar-putar sebelum akhirnya tenggelam kedasar. Mortalitas dapat mencapai 90% dalam beberapa minggi setelah terjadi infeksi pada benih udang (Bell dan Lighner, 1987).

IHHNV dengan gejala udang berenang tidak normal, yaitu sangat perlahan-lahan, muncul ke permukaan dan mengambang dengan perut di atas, udang akan mati dalam


(37)

18 waktu 4-12 jam sejak mulai timbulnya gejala tersebut. Udang penderita banyak yang mati pada saat moulting. Pada kondisi akut, kulit udang akan terlihat berwarna

keputih-putihan, tubuh berwarna putih keruh, permukaan tubuh akan ditumbuhi oleh diatomae, bakteri atau jamur, terlihat nekrosis pada kutikula, syaraf, antena, dan pada mukosa usus depan serta usus tengah. Upaya pengendalian infeksi ini dengan perbaikan kualitas air (Suyanto dan Mudjiman 2001).

2.5.2. Penyakit Bakterial

2.5.2.1. Vibrio sp.

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ada beberapa macam baik infeksi dan noninfeksi. Diantara penyakit bakteri yang menyerang udang windu dan udang vannamei adalah bakteri jenis vibrio yang sering terdeteksi pada benih udang udang

yang dipelihara. Serangan bakteri ini cepat (1-3 hari) dan dapat mengakibatkan kematian mencapai 90% (Rukyani, 1993). Vibrio sp. merupakan bakteri Gram negatif

yang berbentuk batang, berifat anerob fakultatif, dan kemoorganotrof. Bakteri ini dapat menyerang udang windu pada tahap larva hingga dewasa. Udang windu yang terserang Vibrio sp. menunjukkan gejala pergerakan yang lambat, terdapat perluasan

bintik merah pada kaki jalan dan kaki renang, serta adanya bintik hitam pada bagian insang (Austin, 1993).

Air merupakan salah satu media pertumbuhan bakteri. Kualitas air yang rendah dapat memacu pertumbuhan bakteri, sehingga menjadi patogen dan dapat menimbulkan penyakit dan kematian pada udang windu. Sebaliknya jika kualitas air tambak dapat


(38)

19 dipertahankan, keberadaan Vibrio sp tidak akan menimbulkan penyakit (Muliani et

al., 1997). Syahrani (1995) dan Natawidjaya (1992) menjelaskan keberadaan Vibrio

sp pada air dipengaruhi oleh limbah yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas perairan tambak. Besamya pengaruh serangan Vibrio sp. terhadap budidaya udang

windu menyebabkan identifikasi terhadap bakteri Vibrio sp. perlu dilakukan.

sehingga pengendalian penyakit Vibriosis pada udang windu dapat dilakukan secara cepat dan tepat (Yudistira, 2001 ). Berikut ini penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Vibrio sp antara lain :

a. Penyakit Udang Menyala

Penyakit udang menyala menyerang udang pada stadia larva sampai dengan awal pasca larva, dengan ciri-ciri antara lain larva yang terserang penyakit kelihatannya menyala apabila diamati pada kondisi yang gelap, larva kelihatan lemah, tidak aktif berenang, nafsu makan menurun, tampak bercak merah (red discoloration). Penyakit

yang menyerang adalah bakteri Vibrio sp. Penyakit ini terjadi pada saat musim hujan

dimana salinitas menurun. Selain itu perubahan temperatur yang menyolok antara siang dan malam. Hal ini mengakibatkan perubahan lingkungan yang derastis yang berakibat larva udang mengalami stres yang kemudian penyakit masuk kedalam tubuh larva.


(39)

20

b. Nekrosis

Penyebab nekrosis ini adalah bakteri dari genus Vibrio yang merupakan infeksi

sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan oleh luka, erosi bahan kimia atau lainnya. Gejala yang terjadi pada udang antara lain muncul beberapa nekrosis (berwarna kecoklatan) di beberapa tempat (multilokal), yaitu pada antena, uropod, pleopod, dan beberapa alat tambahan lainnya, usus udang kosong, karena tidak ada nafsu makan.

c. Septisemia

Penyebab septikimia adalah bakteri Vibrio alginolyticus,. Penyakit ini menyerang

melalui infeksi sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan defisiensi vitamin C, toxin, luka dan karena stres yang berat. Gejala yang terjadi dari udang windu antara lain menyerang larva dan post larva terdapat sel-sel bakteri yang aktif dalam

haemolymph (sistem darah udang).

d. Penyakit Udang Bengkok

Penyebab penyakit ini adalah jenis bakteri Vibrio sp. Ciri-ciri larva udang yang

terserang penyakit ini antara lain badan larva tampak bengkok, gerakan kurang aktif, tubuh, molting tidak sempurna dan antena berwarna merah. Usaha untuk mencegah penyakit ini adalah dengan mengawasi kestabilan kualitas air baik suhu dan salinitas, mengadakan desinfeksi terhadap bak-bak pemeliharaan, pemberian pakan dengan


(40)

21 nilai nutrisi yang tinggi dan menambahkan kalsium serta mineral lain kedalam makanan (Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995).

2.5.3. Penyakit Parasitik

Parasit adalah adalah organisme yang hidup pada tubuh organisme lain yang dapat menimbulkan kerugian atau efek negatif pada organisme yang ditempatinya (Yanto, 2006). Parasit dapat merugikan dan membahayakan inang jika jumlahnya cukup banyak. Infeksi parasit dapat mendatangkan kerugian kepada inang. Kerugian yang ditimbulkan adalah menghambat pertumbuhan inang, menyebabkan terjadinya alergi, menurunkan ketahanan inang terhadap penyakit lain dan dapat menyebabkan kematian bagi benih udang (Levine, 1990).

2.5.3.1. Zoothamnium sp.

Zoothamnium sp. termasuk dalam filum: Protozoa, Kelas: Ciliata. Zoothamnium sp.

berbentuk kerucut yang hampir membulat. Parasit ini bersifat koloni yang tersusun pada tangkai yang bercabang–cabang (Alifuddin, 1993).

2.5.3.2. Isopoda

Isopoda dapat menghambat perkembangan alat reproduksi udang. Parasit ini menempel di daerah branchial insang (persambung antara insang dengan tubuh

udang), sehingga menghambat perkembangan gonad (sel telur) pada udang (Levine, 1990).


(41)

22

2.5.3.3. Parasit cacing

a. Cacing Cestoda, yaitu jenis Polypochepalus sp.

Bentuk cyste dari cacing ini terdapat dalam jaringan ikat di sepanjang saraf

bagian ventral. Parachristianella monomegacantha, berparasit dalam jaringan intertubuler hepatopankreas.

b. Cacing Trematoda yaitu jenis Opecoeloides sp.

Parasit ini dapat ditemukan pada dinding proventriculus dan usus. c. Cacing Nematoda yaitu jenis Contracaecum sp.

Parasit ini biasanya menyerang hepatopankreas udang yang hidup secara alamiah. Nematoda merupakan anggota dari filum nemathelmintes yang mempunyai saluran pencernaan yang lengkap dan rongga tubuh. Rongga tubuh dilapisi dengan selaput seluler yang disebut pseudosel atau pseudoseloma. Tubuh mematoda ditutupi dengan kutikula yang hanya terlihat secara mikroskopis dan memiliki struktur yang bervariasi pada tiap spesies (Levine, 1990). Kutikula pada nematoda berfungsi untuk mengambil oksigen sebagai selubung pelindung yang lentur dan kenyal serta resisten terhadap enzim pencernaan inang terutama untuk cacing dewasa. Kutikula terdiri dari sejumlah lapisan dan sedikitnya lima protein yang berbeda. Terdapat tiga lapisan dibawah kutikula yaitu lapisan korteks dipermukaan, lapisan matriks di tengah, dan lapisan basal (Cheng, 1974).


(42)

23

2.6. Panti Benih (Hatchery) Udang

2.6.1. Pemilihan Lokasi

Persyaratan lokasi untuk membangun pembenihan udang antara lain : 1. Lokasi Panti Benih jauh dari kota dan lahan pertanian.

2. Panti benih harus jauh dari fasilitas produksi.

3. Lokasi panti benih adalah tempat yang berpasir dan berbatu dimana tempat tersebut bersih, bebas dari cemaran, dan mempunyai kualitas air yang bagus setiap tahunnya.

4. Bukan tempat yang sering terkena banjir dan berlumpur karena pada waktu terjadi hujan air akan menjadi sangat keruh.

5. Lokasi untuk mendirikan panti benih tidak berdekatan dengan muara sungai karena dapat menurunkan salinitas secara mendadak.

6. Lokasi panti benih juga harus bebas dari kontaminasi limbah pertanian dan limbah industri.

7. Lokasi pembenihan harus terdapat akses listrik.

8. Sebaiknya panti benih bertempat di area yang banyak petani udang beroperasi, agar larva yang diproduksi dapat dengan mudah dikirimkan dan disalurkan ke tambak.

9. Pemilihan tempat untuk pembangunan panti benih harus dapat diakses dari fasilitas komunikasi dan transportasi (BBAP Situbondo, 2006).


(43)

24

2.6.2. Fasilitas Pemeliharaan Larva

Fasilitas yang digunakan untuk pemeliharaan larva terbagi menjadi dua, yaitu fasilitas pokok dan fasilitas pendukung yang secara prinsip diperlukan untuk usaha pemeliharaan larva udang adalah sebagai berikut :

2.6.2.1. Fasilitas Pokok

1. Bak filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral, pasir, arang, dan ijuk.

2. Bak tandon air tawar dan air laut, yaitu bak bak penampung air laut dan air tawar yang terbuat dari beton dengan volume minimal 30% dari kapasitas total bak pemeliharaan.

3. Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat dari semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.

4. Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat dengan volume 20% - 40% dari bak larva.

5. Penetasan kista artemia, yaitu untuk menetaskan telur artemia sebagai makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan

volume 0,02 m3.

6. Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah lokasi budidaya.


(44)

25 7. Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30 % per hari dari total volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benih udang, dan pompa air tawar dengan kapasitas minimal 5 % dari total volume air bak.

8. Aerasi blower atau hi blow, selang aerasi dan batu aerasi (Heryadi dan Sutadi,

1993)

2.6.2.2. Fasilitas Pendukung

1. Peralatan lapangan antara lain seser, saringan pembuangan air, kantong saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan, selang, saringan pakan, alat sipon dan peralatan panen.

2. Peralatan laboratorium antara lain pengukur kualitas air (termometer, refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.

3. Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik PLN (Heryadi dan Sutadi, 1993).

2.6.3. Kegiatan Pemeliharaan Larva

2.6.3.1. Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva

Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharaan larva sebelumnya harus dibersihkan dan diberi desinfektan. Bak dibersihkan menggunakan air bersih dan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak. Hal tersebut


(45)

26 bertujuan untuk membuang seluruh kotoran yang ada dalam bak pemeliharaan. Kemudian diberi desinfektan berupa hypochlorite sebanyak 20 – 30 ppm, dan dibilas menggunakan air bersih untuk menghilangkan sisa dari klorin, kemudian bak yang sudah dibersihkan dijemur. Bak yang berada di luar ruangan dan bak yang berukuran kecil dapat disterilisasi dengan cara penjemuran terhadap bak tersebut bak yang akan digunakan untuk tempat pemeliharaan larva dibersihkan menggunakan bleaching

powder, kemudian dibilas menggunakan air tawar dan dijemur selama 24 jam.

Sebagian dari bak pemeliharaan diisi air laut, selanjutnya dilakukan pemasangan aerasi pada beberapa titik bak pemeliharaan. sebelum bak pemeliharaan larva digunakan untuk siklus selanjutnya, bak harus dicuci menggunakan larutan

Hydrocloric Acid (HCl) kemudian dibilas menggunakan air tawar atau air laut

(Subaidah, 2006).

Air yang masuk ke unit pembenihan harus dibersihkan dan diberi desinfektan berupa klorin dan dilakukan proses filtrasi sebelum didistribusikan ke area pembenihan seperti panti benih , kultur plankton, artemia, dan lain-lain. Air yang digunakan untuk kegiatan pembenihan di panti benih harus difilter dan ditreatmen untuk mencegah masuknya organisme yang membawa penyakit dan patogen yang terbawa oleh air. Air yang akan digunakan, biasanya diberi desinfektan berupa klorin. Kemudian air disaring menggunakan filter bag dan terakhir didesinfektan kembali menggunakan

sinar ultraviolet (UV) atau ozon. Air laut dalam bak pemeliharaaan larva ditreatmen menggunakan EDTA sebanyak 10 ppm dan trefflan sebanyak 0,1 ppm (Subaidah,


(46)

27

2.6.3.2. Penebaran Naupli

Naupli ditebar setelah persiapan bak dan media pemelihraan larva selesai dilakukan. Padat penebaran naupli maksimal adalah 100 ekor per liter dengan ukuran naupli yaitu 0,5 mm. naupli yang akan ditebar pada bak pemeliharaan harus mempunyai kualitas yang baik, berikut adalah ciri naupli yang mempunyai kualitas baik :

1. Warna coklat orange

2. Gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dibandingkan dari periode diam

3. Kondisi organ tubuh lengkap, ukuran dan bentuk normal serta bebas pathogen 4. Respon terhadap rangsangan bersifat fototaksis positif

Kepadatan larva yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva paling sedikit adalah 75 ekor naupli per liter. Naupli yang ditebar dalam bak pemeliharan larva mempunyai kepadatan 100 sampai dengan 150 ekor naupli per liter atau atau 100.000 sampai dengan 150.000 ekor naupli per ton. Penebaran naupli dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi dengan cara aklimatisasi. Sebelum naupli ditebar pada bak pemeliharaan larva, harus dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi yang dilakukan berupa penyesuaian suhu dan salinitas air terhadap naupli. Proses aklimatisasi ini dilakukan hingga menunjukan naupli sudah dapat beradaptasi dengan media air dalam bak pemeliharaan larva (Elovaara, 2001).


(47)

28

2.6.3.3. Pengelolaan Pakan

A. Pakan Alami

Pakan alami yang diberikan kepada larva udang adalah fitoplankton dan zooplankton. Beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva udang adalah

Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii, dan Chaetoceros calcitrans. Sedangkan

naupli artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan naupli artemia banyak mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh larva udang (Edhy et al., 2003).

Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros diberikan mulai dari stadia zoea 1

sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini larva udang masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan. Pada stadia naupli belum memerlukan makanan karena masih mempunyai cadangan makanan berupa egg yolk selama 36 – 72 jam. Stadia zoea larva udang diberi makanan

Skeletonema sp., Chaetoceros sp. dan Thalassiosira (Edhy et al., 2003).

Pemberian algae berupa Chaetoserros dan Thalasiosiosira pada stadia naupli

diberikan sebanyak 60.000 sel/ml, stadia zoea 1 sebanyak 80.000 sel/ml, pada stadia

zoea 2 diberikan sebanyak 80.000 – 100.000 sel/ml, stadia zoea 3 –mysis 1 diberikan sebanyak 100.000 sel/ml, dan pada stadia mysis 2 - 3 diberikan sebanyak 80.000


(48)

29 Kultur Artemia sebelumnya menentukan banyaknya Artemia yang dibutuhkan

sebagai pakan larva, setelah itu dilakukan kultur cyste Artemia dengan menebarkan

cyste Artemia dan memberikan aerasi yang kuat dalam tank kultur untuk

mempercepat penetasan. Setelah cyste menetas dilakukan pemisahan antara cangkang

Artemia dengan nauplinya, kemudian dilakukan pemanenan Artemia (Harefa, 2003)

Pemberian pakan artemia dilakukan enam kali dalam satu hari yaitu pada pukul 00.00, 04.00, 08.00, 12.00, 16.00, dan 20.00. Greece dan Fox (2000), menyatakan bahwa naupli Artemia yang baru menetas diberi aerasi kemudian diberikan untuk

larva. Hal ini dilakukan agar naupli dalam penampungan sementara tetap dalam kondisi hidup. Selanjutnya naupli Artemia diberikan menggunakan beaker glass

dengan cara ditebarkan secara merata (Harefa, 2003).

B. Pakan Buatan

Kriteria pakan buatan yang berkualitas baik adalah sebagai berikut:

1. Kandungan gizi pakan terutama protein harus sesuai dengan kebutuhan larva udang

2. Diameter pakan harus lebih kecil dari ukuran bukaan mulut larva udang 3. Pakan mudah dicerna

4. Kandungan nutrisi pakan mudah diserap tubuh 5. Memilki rasa yang disukai larva udang

6. Kandungan abunya rendah 7. Tingkat efektivitasnya tinggi


(49)

30 Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang adalah pakan yang berbentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai dengan stadianya.

Kadungan nutrisi pada pakan buatan larva udang terdiri dari protein minimum 40 % Pakan buatan yang akan diberikan sebelumnya disaring menggunakan saringan berukuran 10 – 80 mikron. Pada stadia mysis pakan buatan diberikan dengan cara disaring menggunakan saringan berukuran 50 – 150 mikron, Pakan buatan yang diberikan pada stadia PL 1 – PL 8 sebelumnya disaring menggunakan saringan berukuran 200 – 300 mikron, sedangkan pada stadia PL 9 sampai dengan panen sebelumnya disaring menggunakan saringan dengan ukuran 300 – 500 mikron (Kordi, 2010).

2.6.3.4. Pengelolaan Kualitas Air

Menjaga kualitas air pada media pemeliharaan larva dapat dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air. Penyiponan pada dasar bak dilakukan pada saat larva masuk stadia zoea 2 – 3 selama pemeliharaan larva. Sisa pakan yang tidak termakan dan hasil metabolisme yang berupa feses dibuang dari dasar bak pada waktu – waktu tertentu (penggunan probiotik akan mengurangi penyiponan). Jika dalam dasar bak pemeliharaan sudah terlihat kelebihan endapan, buang endapan ke dalam seser kemudian pindahkan muatan yang tersaring ke dalam ember. Apabila pada saat proses penyiponan terdapat larva yang terbawa dari bak pemeliharaan, larva dapat dimasukkan kembali ke dalam bak pemeliharaan (Wardiningsih, 1999).


(50)

31 Pergantian air selama pemeliharaan larva perlu dilakukan tergantung dari kepadatan larva, stadia larva, dan kondisi kualitas air pada bak pemeliharaan larva. Pergantian air dilakukan untuk mempertahankan kondisi parameter kualitas air dalam bak pemeliharaan agar tetap stabil. Air yang digunakan pada proses pergantian air, harus mempunyai kualitas yang lebih baik dari air pemeliharaan yang ada dalam bak. Air yang akan digunakan harus sama dengan temperatur, salinitas, dan derajat keasaman (pH) untuk menghindari stres pada larva akibat dari perubahan parameter secara mendadak (Wardiningsih, 1999).

Pada umumnya bak pemeliharaan larva hanya diisi 50% dari kapasitas maksimal. Kemudian selama stadia zoea, dilakukan penambahan secara berangsur-angsur sekitar

10% per hari dari kapasitas maksimal air yang baru (termasuk jumlah plankton yang digunakan) sampai bak terisi penuh dan dilakukan hingga mencapai stadia mysis.

Pada stadia zoea tidak dilakukan pergantian air. Pada waktu masuk stadia mysis

dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 30 % per hari. Pada stadia awal larva, dilakukan pergantian air tetapi volume pergantian air lebih besar daripada stadia sebelumnya, pada PL 1 – 4 dilakukan pergantian sebanyak 30 – 40% dan pada PL 5 – 8 dilakukan pergantian air sebanyak 40 – 50 %. Setelah stadia PL yang lebih besar perlu dilakukan pergantian air sebesar 50 – 80 % per hari pada PL 9 – 12 dan 60 – 90 % per hari pada PL 13 – 16.yang berhubungan dengan parameter kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut dilakukan pengecekan atau pengukuran dua kali dalam satu hari yaitu pada pagi dan sore hari. Hal tersebut


(51)

32 dilakukan karena pada waktu-waktu tersebut terjadi fluktuasi parameter yang signifikan (Treece et al., 2000).

2.6.3.5. Monitoring Pertumbuhan

Pengamatan pertumbuhan larva udang dilakukan bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan larva. Apabila pertumbuhan larva lambat dapat dipacu dengan pemberian pakan yang berkualitas. Apabila pakan yang diberikan berkualitas baik, jumlahnya mencukupi, dan kondisi lingkungan mendukung, maka dapat dipastikan laju pertumbuhan udang akan lebih cepat sesuai yang diharapkan. Sedangkan untuk mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan mikroskopis antara lain yaitu :

a. Pengamatan Makroskopis

Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter becker glass kemudian diarahkan ke

cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, pigmentasi, usus, sisa pakan kotoran atau feces dan butiran-butiran yang dapat membahayakan larva.

b. Pengamatan Mikroskopis

Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan diletakkan di atas gelas objek, kemudian diamati dibawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan


(52)

33 untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, patogen yang menyebabkan larva terserang penyakit (Subaidah dan Pramudjo, 2008).

2.6.3.6. Pengendalian Penyakit

Penyakit merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan penanganan secara khusus. Timbulnya penyakit dapat bersumber dari berbagai aspek, seperti: air sebagai media pemeliharan, peralatan pemeliharaan, pengaruh kontaminasi pakan, lingkungan, maupun sanitasi dari masing-masing pelaksana produksi yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas pemeliharaan larva. Vorticella merupakan

salah satu jenis protozoa yang menyerang larva dengan cara menempel pada permukaan tubuh larva atau insang pada semua stadia dalam kegiatan pemeliharaan larva udang. Ketika permukaan tubuh, alat gerak, atau insang banyak terdapat

Vorticella, maka larva akan kesulitan dalam melakukan pergerakan, mensuplai

makanan, moulting, dan respirasi (Subaidah dan Pramudjo, 2008).

Penyakit yang paling serius mempengaruhi stadia larva udang disebabkan oleh jamur, bakteri, dan virus. Pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Apabila tingkat kematian larva terlihat lebih banyak, larva harus diamati dengan cara mengambil beberapa ekor larva untuk dijadikan sampel agar dapat diketahui penyebabnya. Apabila teridentifikasi terdapat penyakit yang menyerang harus dilakukan perlakuan. Perlakuan dilakukan dengan cara pemberian


(53)

34

2.7. Manajeman Kesehatan Udang

2.7.1 Biosekuritas

Konsep biosekuritas biasanya diterapkan pada instalasi karantina atau instalasi produksi pemurnian kultur jaringan. Upaya pengamanan sistem budidaya dari kontaminasi patogen yang berasal dari karir patogen luar dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan. Hal-hal yang diterapkan antara lain :

a. Seluruh lingkaran luar unit usaha diberi pagar untuk mencegah hewan masuk ke dalam unit tambak yang dapat menyebabkan penularan penyakit ke udang. b. Air pasok dipompa masuk ke petak tandon, disaring menggunakakan kantung

plankton net dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m sebanyak 3 – 5 buah di atur paralel agar tidak mudah robek.

c. Saluran keliling dilapisi kain kasa (waring) untuk menjamin tidak adanya organisme lain yang masuk atau keluar.

d. Roda kendaraan yang mungkin telah berjalan di atas pematang tambak lain harus melalui dua kolam yaitu kolam pembersihan dan kolam disinfeksi untuk menghindari adanya kontaminasi.

e. Peralatan panen, jala, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu diberi disinfektan pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di salah satu tambak. f. Setiap pekerja ataupun pengunjung melakukan disinfeksi terhadap tubuhnya

dan menggunakan pakaian dan peralatan yang sudah disterilkan (BBPBAP Jepara, 2007).


(54)

35

2.7.2. Pemilihan Benih

2.7.2.1. Penentuan Panti Pembenihan Udang

a. Menentukan pembenihan yang telah bersertifikat dan melaksanakan uji

polymerase chain reaction (PCR) terhadap induk udang windu yang dipakai

dan benih yang akan dijual.

b. Menentukan pembenihan yang tidak menggunakan pakan yang bersifat karier penyakit untuk pakan induknya seperti kepiting, rajungan, dan udang mentah, serta bebas antibiotik yang berbahaya.

c. Menentukan pembenihan yang telah menerapkan konsep biosekuriti.

d. Memilih pembenihan yang mencuci dan memilah sebagian benih yang dijualnya dengan formalin 200 ppm selama 30 menit.

e. Memilih pembenihan yang menerapkan SNI Pembenihan Udang Windu.

2.7.2.2. Pemilihan Benih

a. Benih yang layak tebar telah mencapai ukuran PL12

1. Kepadatan benih di bak relatif konstan mulai PL8 - PL12. 2. Benih abnormal secara visual kurang 1 % dari populasi b. Pada stadia PL10, benih lolos uji salinitas :

1. Seratus ekor PL direndam dalam air tawar.

2. Lima belas menit kemudian seluruh udang dikembalikan pada air laut. 3. Pengamatan hingga 15 menit dan dihitung persentase udang yang hidup. 4. Jika lebih dari 20 % populasi udang mati, pilih benih dari bak lain.


(55)

36 c. Kelompok benih yang terpilih melalui uji salinitas selanjutnya diuji dengan perendaman formalin dengan bahan aktif 37 % formaldehyde 200 ppm dengan

cara :

1. Minimum 100 ekor PL yang baru ditangkap dimasukkan kedalam ember atau toples yang diberi aerasi lalu ditetesi formalin 200 ppm.

2. Setelah 30 menit, air diputar dan hitung udang yang stres dan mati. 3. Bila jumlah udang yang mati lebih dari 5 % benih tidak dipilih.

2.7.2.3. Persyaratan Kualitatif Benih yang Dapat dilihat dan diuji

a. Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman, punggung tidak berwarna keputihan atau kemerahan.

b. Gerakan : gerakan berenang aktif, menentang atau menyongsong arus, cenderung mendekat ke arah cahaya (fototaksis positif).

c. Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benih udang yang sehat setelah mencapai ukuran PL 10 organ-organ tubuhnya lengkap, maxilla, mandibulla, antenulla dan ekor membuka, hepatopankreas transparan, usus penuh dan gelap.

d. Responsif terhadap rangsangan: benih udang akan menjentik menjauh dengan adanya kejutan atau jika wadah sampel benih udang diketuk, dan akan berenang mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan cahaya, serta responsip terhadap pakan yang diberikan (BBPBAP Jepara, 2007).


(56)

37

2.7.3. Manajemen Lingkungan Budidaya

Pengawasan lingkungan merupakan faktor penting dalam penentu keberhasilan suatu budidaya (Lio-Po et al., 2001). Kegiatan pembenihan udang windu dengan metode

intensif mengakibatkan benih udang udang yang dibudidayakan menjadi mudah stres karena padat tebar yang tinggi, penanganan, dan turunnya mutu kualitas air (Hendrajat et al., 2007).

Parameter kualitas air media harus berada pada kondisi yang optimal. Parameter yang berpengaruh dalam budidaya tersebut adalah pH, oksigen terlarut, nitrat, amonia, bahan organik, suhu, salinitas, dan nitrit. Tingkat optimum serta kisaran kualitas air yang mampu diterima oleh udang windu (Boyd, 2001).

Tabel 2. Kualitas Air Pembenihan Udang Windu

Komponen Kisaran Optimal

Salinitas 15 – 30 ppt

pH 7,5 – 8,7

Suhu 28 – 31,5ºC

Alkalinitas 90 – 150 ppm

Bahan Organik 45 – 55 ppm

PO4 0,1 – 0,5 ppm

NH3 0,03 – 0,25 ppm


(57)

38

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2014. Lokasi pengambilan sampel meliputi wilayah Kalianda Kabupaten Lampung Selatan yang melalui pengamatan di Laboratorium Budidaya Perikanan Universitas Lampung dan Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Lampung.

3.2. Peralatan dan Bahan

Tabel. 3. Alat dan Bahan Uji PCR

Alat Bahan

PCR Sampel udang windu dan udang vannamei

Alat bedah Lysis Buffer

Cold box DNA molecular weight marker Microtube 1.5 ml Larutan kloroform (CHCl3 )

Microtube 0.2 ml Dissolving solution

Timbangan digital Larutan RNA extraction

Vortex Etanol 95 %

Mikropipet Larutan DEPC DDH2O

Water bath First PCR premix Thermalcycler RT-PCR premix

Aluminium foil Iqzyme DNA polymerase Microwave NaCl fisiologis

Tangki elektroforesis P(+) standard WSSV

Uv transilluminator Kontrol negatif (yeast tRNA)

Gelred

1x TAE Buffer


(58)

39

Tabel. 4. Alat dan Bahan Pengamatan Kualitas Benih Udang

Alat Bahan

Mikroskop Sampel udang windu dan vannamei

Akuarium Media TCBS

Cold box Beaker glass

Senter atau lampu pijar Kaca preparat

Cawan petri Sprider Tabung reaksi Timbangan digital

3.3. Prosedur Penelitian

Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, metode dokumentasi, penentuan lokasi pengambilan sampel, pengamatan kesehatan dan identifikasi penyakit.

3.3.1. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan dalam penelitian (Lampiran 1). Wawancara dilakukan kepada teknisi atau pemilik panti benih mengenai fasilitas, air dan udang, manajemen karantina, kesehatan udang, manajemen pemeliharaan dan manajemen personil. Wawancara dilakukan untuk memperoleh hasil penerapan manajemen kesehatan udang yang diterapkan pada masing-masing panti benih. Adapun kriteria wawancara pada panti benih antara lain :

3.3.1.1. Air dan Benur

Air merupakan media hidup dari benih udang yang menjadi unsur terpenting bagi kelangsungan hidup benih udang. Sedangkan benur (benih udang) merupakan organisme budidaya yang akan dibudidayakan. Benih udang yang baik dihasilkan


(59)

40 dari indukan yang baik juga. Kriteria air dan benih udang yang baik antara lain : menggunakan sumber air yang bebas dari hewan air lainnya, air difilter terlebih dahulu menggunakan filter dengan ukuran kecil untuk mencegah telur atau larva hewan masuk melalui air, air diperlakukan desinfeksi yang dirancang untuk mematikan karier udang liar, air yang telah dipersiapkan untuk budidaya telah dipastikan tidak terdapat potensi karier patogen tertentu, fasilitas budidaya dirancang untuk mencegah transmisi patogen melalui udara dari sumber air yang masuk, fasilitas budidaya dirancang untuk mencegah transmisi patogen dari sekitar panti benih dan sumber air yang masuk, naupli yang dipelihara dalam fasilitas budidaya bersertifikat bebas dari patogen target, naupli dikarantina dahulu setelah sampai di fasilitas budidaya, naupli dipindahkan dari dalam panti benih selama transportasi atau kotak kemasan tidak menggunakan air yang berasal dari tempat asal.

3.3.1.2. Karantina

Karantina merupakan sistem yang menanggulangi penularan penyakit dengan cara mengisolasi penyakit agar tidak menginfeksi organisme yang lain. Kriteria karantina antara lain : sistem karantina udang atau udang sakit dirancang lebih awal sesuai dengan prosedur operasional standar perusahaan terhadap panti benih, petak karantina dibedakan pada ruang, gedung, atau area yang terisolasi secara fisik dengan panti benih produksi, karantina digunakan secara tersendiri (isolasi), dengan mengunakan sumber air dan pembuangan air yang terpisah dari panti benih produksi, apakah naupli atau telur baru diaklimatisasi untuk diobservasi ketidaknormalan dalam tingkah laku dan perubahan badan dan untuk mengkonfirmasi konsumsi pakannya,


(60)

41 Saat benih udang teramati tidak normal, apakah sampel benih udangnya diuji, benih udang normal diambil sampelnya untuk diuji pada target patogen tertentu (parasit, bakteri, dan virus), sampel benih udang yang mati (masih segar) dan hidup diambil setiap waktu tertentu, udang yang dipelihara dalam kondisi kepadatan yang sama, pengelola, operator mencuci tangan sampai lengan sebelum pergi antara wilayah sistem karantina dan produksi, operator panti benih bekerja pada panti benih tertentu yang sudah menjadi bagian tanpa bekerja di bagian lain, peralatan karantina hanya digunakan dalam wilayah sistem karantina.

3.3.1.3. Kesehatan Udang

Kesehatan udang merupakan faktor-faktor akumulasi dan sinergi antara beberapa bidang ilmu parsial (penyakit, nutrisi, kualitas air, dan keteknikan) dengan tindakan manajemen sehingga mewujudkan satu kesatuan aksi yang potensial dapat mencegah dan mengurangi akibat dari penyakit ikan. Kriteria untuk kesehatan udang antara lain : pengawasan kesehatan udang direncanakan bersama manajemen fasilitas budidaya, kualitas air diawasi dan diatur untuk kondisi yang sesuai dengan kebutuhan udang, kualitas pakan disediakan untuk memberikan status nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan, naupli dibeli berasal dari induk yang berusia produktif pada masa pematangan yang optimal, bahan kimia yang digunakan untuk pencegahan penyakit dalam sistem manajemen yang baik, pakan bervitamin digunakan untuk pencegahan penyakit dalam sistem manajemen yang baik, obat-obatan termasuk antibiotik digunakan untuk pencegahan penyakit, benih udang abnormal, sakit, dan mati dibunuh untuk mencegah menyebarnya patogen.


(61)

42

3.3.1.4. Pemeliharaan

Pemeliharaan merupakan tahapan benih udang untuk di pelihara untuk mencapai ukuran tertentu dengan pertambahan berat dan panjang serta menghindari kontaminasi dengan patogen. Kriteria pemeliharaan yang baik antara lain : tempat pencucian alas kaki disediakan pada saat memasuki area produksi dan dibersihkan dan larutan diganti pada waktu tertentu, operator mencuci tangan dan lengan sebelum memasuki daerah budidaya, tersedia wilayah untuk desinfeksi dan mencuci perlengkapan budidaya seperti ember, baskom, jaring, pengukur oksigen terlarut, termometer dan perlengkapan lainnya, peralatan yang sudah bersih sudah disediakan tempat tertentu, prosedur pemeliharaan dibuat untuk semua tahapan seperti pembuangan feses, pakan sisa, algae, tanaman air, udang mati dan buangan terdekomposisi dari dasar bak, pipa kedalam dan pipa keluar, peralatan aerasi, pipa oksigen dan peralatan lain dalam petak bak, tangan dicuci dengan sabun mengandung desinfektan pada saat bekerja pada bagian pemeliharaan yang berbeda, terdapat jadwal bekerja pada pemberian pakan benih udang, pada bak panti benih yang sama dalam siklus produksi, setiap bak panti benih diperlakukan terpisah untuk mengetahui meminimalisasi potensi kontaminasi silang pada patogen, peralatan didesinfeksi sebelum digunakan untuk bak panti benih yang berbeda, lingkungan tambak diberi keterangan ”terkontaminasi” dan dibersihkan dengan benar, semua bagian dari sistem pemeliharaan diinspeksi dan dibersihkan, setidaknya satu bulan sekali, lingkungan panti benih yang bersih menjadi kebiasaan, terdapat waktu


(62)

43 tertentu untuk membersihkan lingkungan panti benih secara keseluruhan, binatang peliharaan, rodensia, burung, dan vertebrata lain berada diluar wilayah budidaya.

3.3.1.5. Manajemen Personil

Manajemen personil merupakan proses penting dalam menjalankan budidaya setiap pembudidaya harus menaati peraturan dan menjaga bak pemeliharaan agak tidak terkontaminasi. Kriteria dalam manajemen personil antara lain : terdapat prosedur operasional standar untuk operator panti benih atau pegawai lain untuk penerapan biosekuritas dan manajemen kesehatan, membersihkan diri misalnya mencuci tangan dan lengan dengan sabun antibakteri merupakan standar kerja, jadwal kerja diatur untuk memperkecil jumlah orang yang berbeda bekerja pada petak panti benih , kendaraan di desinfeksi sebelum masuk dalam wilayah budidaya, parkir kendaraan pengunjung sudah disesuaikan dengan tempat yang tersedia jauh dari fasilitas budidaya, akses bak panti benih terlarang untuk jumlah orang yang banyak, jumlah kunjungan diperkecil dan terbatas untuk jumlah sedikit untuk mempermudah pengaturan kelompok orang, terdapat pencatatan setiap kejadian pada setiap bak pemeliharaan, pengunjung dihimbau untuk membersihkan diri misalnya mencuci tangan dan lengan dengan sabun antibakteri selama kunjungan, pengunjung dihimbau untuk tidak memegang apapun dalam panti benih. Setelah jam kunjungan bak pencuci alas kaki dan lantai dibersihkan.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra,Y.T. 2013. Buku Ajar Manajemen Kesehatan Ikan. Universitas Lampung. Lampung. 31-34 hal

Adiwidjaya, D., C. Kokarkin., Supito. 2001. Teknik Operasional Budidaya Udang Ramah Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 29 hal.

Alday-Sanz. 1995. Technical Report Short Course on Shrimp Disease and Health Management. English Edition. Ministry of Higher Education and Culture. Derectorate General of Higher Eduction. Republic of Indonesia. July 1995. SNC-Laavalin International, Inc. In association with International

Devolepment Program of Autralia University and Colleges. PT Hasfarm Dian Consultan.

Alifuddin, M. 2002. Imunostimulan pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1: 87-92.

Alifuddin, M.1993. Penyakit Protozoa Pada Ikan. Lab Kesehatan Ikan. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan – Institut Pertanian Bogor. Bogor. Alifuddin., D. Dana., M. Eidman., M.B. Malole., F.H. Pasaribu.2003. Patogenesis

Infeksi Virus White Spot (WSV) pada Udang Windu (Penaeus monodon FAB.). Lab Kesehatan Ikan. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan – Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2(2): 85-92.

Anggeraheni ED. 2001. Pengaruh β-Glukan Terhadap Sistem Kekebalan Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon Fabr) dalam Kondisi Oksigen Rendah. Tesis, Program Studi Biologi Pascasarjana- IPB. Bogor. 1(3): 149-155. Arifin T., S.N. Amri., Yulius dan D. Gunawan.2012. Riset Pedekatan

Ekologi-Ekonomi untuk Peningkatan Produktivitas Pertambakan Udang Di Kawasan Selat Makasar, Provinsi Sulawesi Selatan. Kementerian Kelautan dan


(2)

Austin, B dan Austin, D.A. 1993. Bacterial Fish Pathogen, Disease in Farm and Wild Fish. Ed ke-2. London : Ellis Herwood. 4th ed. 552 p.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. 2007. Penerapan Best Management Practices (BMPs) pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) Intensif. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 32-35hal

BBAP Situbondo. 2006. Pembenihan Udang Vannamei . Standarisasi dan Informasi.Situbondo

Bower, S.M. 1996. Synopsis of infectious diseases and parasites of commercially exploited shellfish: White spot syndrome baculovirus complex of penaeid shrimp. Annu Rev Fish Dis 4: 1-199

Boyd, C.E., Haws, M.C., Green, B.W. 2001. Improving Shrimp Mariculture in Latin America. Good Management Practices (GMPs) to Reduce Environmental Impacts and Improve Efficiency of Shrimp Aquaculture in Latin America and an Assessment of Practices in The Honduran Shrimp Industry. Coastal Resources Centre. University of Rhode Island. 62-75pp.

Briggs, M, Simon Funge-Smith, Rohana Subasinghe, dan Michael Phillips. 2004. Introductions and Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The Pacific. FAO. Bangkok.

Campbell, N.A., Reece. J.B., Mitchell, L.G. 2002. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Chanratchakool, P. 1998. Management While Spot Disease in Thailand. Aquatic Animal Health Research Institute. Departement of Fisheries.Bangkok. http://www. Facimar.mazuasnet.nixlCamaronlinfo30. htm. 3 hal,

Cheng, T.C. 1974. General Parasitology. Academic Press. London. 821- 886 pp. Davidson. 2002. Nested Primer for PCR. Diakses dari

http://www.bio.davidson.edu/courses/genomics/method/nestedpcr.html pada tanggal 28 November 2014.

Dermawan A., Triyono, Herman, Hadi Prayitno dan Aris Supranoto. 2004. Peningkatan Produktifitas Budidaya Udang Rostris (Litopenaeus stylirostris) Melalui Optimasi Volume Peningkatan Air pada Sistem Tertutup. BPPBAP Jepara.


(3)

Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 1995. Penanggulangan Hama dan Penyakit di Tambak Udang. Proyek Pengembangan Sumberdaya, Sarana dan Prasaran Perikanan Daerah Istimewa Aceh.

Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan . Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya . Jakarta. 20 hal.

Edhy, W.A, Januar, P dan Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari. PT Central Pertiwi Bahari. Tulangbawang.

Elovaara, A.K. 2001. Shrimp Farming Manual : Practical Technology for Intensive Shrimp Production. United States of America (USA)

FAO. 2003. Health Management and Biosecurity Maintenance in White Shirmp (Penaeus vannamei) Hatcheries in Latin America. Food and Agriculture Organization Of The unietid Nations. P: 22-35

FAO. 2007. Improving Penaeus monodon hatchery practices. Manual based on

experience in India

.

Aquaculture Management and Conservation

Department Food and Agriculture Organization of The United Nation. P: 66-73

FAO. 2012. The State Of World Fisheries And Aquaculture. Rome-Italy

Fenner F., P. A. Bachnian, E, P. J. Gibbs. F. A. Murphy, M. J. Studdert, and D.O. White. 1987. Veterinary Virology. Academica Press. Orlando.

Flegel T. W and D, Fegan, 1995. Enviromental Control of Infection Shrimp Disease in Thailand. Disease in Asian Aquaculture II. P:65-68.

Hendrajat, A.E., M. Mangampa., H. Suryanto. 2007. Budidaya Udang Vannamei Pola Tradisional Plus di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Media Akuakultur .2: 4-6.

Hendrix, R.W., Lawrence, J.G., Hatfull, G.F., Casjens, S. 2000. The Origins and Ongoing Evolution of Viruses. Trend in Microbiology. 8: 504-508.

Heryadi, D dan Sutadi.1993. Back Yard Usaha Budidaya Udang Skala Rumah Tangga. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hulten. 2001. Diagnosis of visceral leishmaniasis: the sensitivities and specificities of traditional methods and a nested PCR assay. Ann Trop Med Parasitol. 7:667-676.


(4)

Integrated Taxonomic Information System (ITIS). Litopenaeus vannamei.

http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_v alue=551682. Diakses pada 28 Juni 2014 pukul 10.00 WIB.

Jutono, J., Soedarsono, S., Hartadi, S., Kasibun, S., Suhadi, D., Soetanto. 1980. Praktikum Mikrobiologi Umum. Departemen Fakultas pertanian UGM. Yogyakarta.

Kahfi, A. 2013. Penerapan Managemen Kesehatan Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di Desa Hanura dan Desa Seribu Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurusan Budidaya Perairan. Universitas Lampung. 6 hal.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2010. Pusat Data Statistik dan Informasi. Jakarta.

Kordi, K.M.G.H. 2010. Pakan Udang. Akademia. Jakarta.

Kungvankij, P., L.B. Tiro, Jr., B.J. Pudadera, Jr., I.O. Postestas, K.G., Corre., E. Borlongan., G.A. Talean., L.F. Bustilo., E.T. Tech., A. Unggui., T.E. Chua. 1986. Shirmps Heatchery Design, Opration and Management. Network of Aquaculture Centres In Asia Regional Lead Centre in the Philippines. Philippines.39 PP

Lestari, A. 2009. Manajemen Resiko dalam Usaha Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei), Studi Kasus di PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Levine, N.D. 1990. Text Book of Veterinary Parasitology. G. Ashadi (penerjemah). Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. P : 147 -150, 420-424, 521.

Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Culture Penaeicl Shrimp. World Aquaculture Society, Baton Rouge, LA, USA. Section.15: 579-601.

Lio- Po, G.D., C.R. Lavilla., E.R. Cruz- Lacierda. 2001. Health Management in Aquaculture. Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan. Iloilo. Philippines.

Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan Dan Lingkungan Serang (LP2IL). 2013. Laboratorium Biologi Molekuler. Kementrian Kelautan Dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Serang. Banten.


(5)

Maharani, G., Sunarti, Triastuti, J., Juniastuti, T. 2009. Kerusakan dan Jumlah Hemosit Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) yang Mengalami Zoothamniosis. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 1: 21-29.

Mahmud, U., K. Sumantadinata dan Nora H. Pandjaitan. 2007. Pengkajian Usaha Tambak Udang Windu Tradisional di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan – Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Moore, A. M. and Stuart G. Poss. 1999. While Spot Syndrom Virus.http:I/www. Lionfish.

Ims.Ysn/edu/muswab/nis/White-spot-baculovirus-complex.htm. 4 hal.

Mujiman, A, dan Suyanto, R. 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 211 hal.

Muliani, A. Suwanto dan H. Lala. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asal Laut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Udang Windu

(Penaeus monodon Fab). Hayati, Journal Biosains.

Nur, A. 2011. Manajemen Pemeliharaan Udang Vannamei. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. OIE, 2007. IQ2000TM IMNV Detection.

OIE, 2007. IQ2000TM IMNV Detection and Prevention System. GeneReach Biotechnology, Taiwan

Pemerintah Daerah Lampung, 2010. Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. Lampung. Indonesia. 7-10 hal.

Rukyani,A. 1992. Penanggulangan Penyakit Udang Windu Penaeus monodon dalam Hanafi, A.,M. Atmomarsono, dan S. Ismawati (E ds). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros 16-19 Juli 1993. P. 1-8. Sano, T., H. Fukunda, T. Hayashida dan Ben K. Momoyama. 1985. Baculoviral

Infectifity Trial Kuruma Shrimp Larvae, Penacus javonicus of Different Ages. In Fish and Shellfish Pathology. A.E. Ellis (ed.), p. 397-403. Academic Press, London.

Sinderrnan. CJ. 1990. Principal Diseases of Marine Fish and Shelfish. Academic Press. Inc. San. Diego. California.

SNI 01-7252-2006. 2006. Benih Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Kelas Benih Sebar.


(6)

Soekartawi, S., A, J, Dellon dan B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Peneletian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta

Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon).Kansius.Yogyakarta.78 hal.

Subaidah, Siti dan Pramudjo, Susetyo. 2008. Pembenihan Udang Vaname. Balai Budidaya Air Payau Situbondo.

Subaidah,S. 2006. Juknis Pembenihan udang vannamei di BBAP

Situbondo.Kementrian Kelautan dan Perikanan,Direktorat Jendral Perikanan Budidaya,BBAP Situbondo.

Sukenda, S., H. Dwinanti dan M. Yuhana. 2009. Keberadaan White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrom Virus (TSV) dan Infectious Hypodermal Haematopotic Necrosis Virus (IHHNV) Di Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Bakauheni, Lampung Selatan. Departemen

Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sunarto, A., T.I. Koesharyani., A. Rukyani. 2003. Prosedur PCR Untuk Diagnosa Cepat Penyakit Bercak Putih Pada Udang.

Sunaryanto, A., Arini, M. and P. Pudjiatno. 1987. Penyakit Udang Infis. Manual Series. No : 23.27pp.

Suwignyo S. 1990. Avertebrata Air. Bogor. Lembaga Sumber Daya Informasi, Institut Pertanian Bogor.

Treece, G.D, dan Fox, J.M. 2000. Design, Operation, and Training Manual for an Intensive Culture Shrimp Hatchery. Texas University. Texas

Tricahyo, E. 1995. Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon Fabr). Akademika Preesindo. Jakarta. 43 Hal.

Wardiningsih. 1999. Teknik Pembenihan Udang. Universitas Terbuka. Jakarta Wyban, J.A. dan Sweeney, J.A. 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The

Oceanic Institute. USA

Yanto, H. 2006. Diagnosa dan Identifikasi Penyakit Udang Asal Tambak Intensif dan Panti Benih di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 1: 17-32.