HOLE DALAM BUDAYA SABU

44 Ada dua bentuk pelayanan yang diterapkan dalam gereja ini yaitu pelayanan pastoral dan diakonia. Dalam Pelayanan pastoral yang dilakukan selain dari pemberitaan firman setiap minggu juga dilakukan perkunjungan orang sakit, pelayanan bagi pasangan yang akan menikah, dan anak-anak yang mau dibaptis. Sedangkan pelayanan diakonia dilakukan dengan cara memberi bantuan bagi keluarga yang berduka karena sakit penyakit atau kematian dan yang mengalami bencana. Pelayanan diakonia ini bukan saja diperuntukan bagi jemaat tetapi juga bagi warga yang masih menganut agama suku. Mata pencaharian jemaat Ebenhaeser- Lederabba pada umumnya adalah petani yang masih bersifat tradisional, sedangkan sebagian kecil adalah PNSguru, nelayan, pedagang, tukang. Rata-rata jemaat hanya berpendidikan sampai pada tingkat SMP Sekolah Menengah Pertama.

B. HOLE DALAM BUDAYA SABU

B.1 Makna Hole Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti menurut beberapa tokoh adat hole berasal dari kata “mengusir” atau “memotong” bahagian demi bahagianpemangkasan. Mengusir atau memangkas yang dimaksudkan oleh kedua orang tokoh adat ini yaitu mengusirmemotong yang jahat, yang buruk, baik itu malapetaka, sakit penyakit, peperangan, serta kakacauan. 16 Menurut tokoh adat yang lain hole merupakan ritual budaya “pembersihan” hal–hal buruk yang ada di pulu Sabu untuk menerima berkat atau kebaikan yang baru atau menerima hal–hal baik bagi kemakmuran semua masyarakat di pulau tersebut. Hole adalah upacara sakral 16 Ibid., C. B, B. Dj, B. K 45 yang berasal dari agama suku Jingitiu, yang ditandai dengan ritualadat istiadat pemberian persembahan sebagai tanda ungkapan syukur dari mereka atas tanah yang ditinggalkan oleh para leluhur atau nenek moyang yang ditandai dengan pemberian “upeti” atau “bala” kepada Tuhan atau Zat Ilahi yang “Suci” dan “Kudus” yang disapa sebagai “Deo Ama” dalam sebutan orang Kristen di sapa sebagai Allah Bapa. 17 Persembahan hole ini diberikan kepada Deo Ama karena mereka mempercayai bahwa Dialah yang menciptakan atau menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi ini. Hal ini dilakukan sebagai salah satu wujud ungkapan syukur dari manusia kepada sang pencipta atas segala kebaikan dan kemakmuran yang diperoleh. Deo Ama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat Sabu selayaknya orang Kristen mempercayai Allah Bapa sebagai pencipta manusia dan segala sesuatu di alam semesta. 18 Selain sebagai ungkapan syukur kepada sang pencipta, tradisi hole ini juga dilakukan sebagai keharusan dan memiliki makna sebagai ritual balas jasa atau bentuk ucapan terimakasih kepada para leluhur atas warisan tanah yang subur, bibit tanaman yang baik, alam yang bersahabat serta nilai-nilai kehidupan yang membangun dan mempererat struktur kekerabatan diantara mereka. bisa dikatakan juga benda-benda yang dipersembahkan pada saat tradisi hole berlangsung disebut sebagai “upeti” atau “bala” yang di kirim keluar dari pulau Sabu lewat perahu hole Mapiga Laga yang dipercayai akan diterima oleh para leluhur yang kemudian 17 Ibid., K. J 18 Ibi., C. B 46 dibawa kepada Deo Ama. Upeti atau bala tersebut berupa ketupat-ketupat yang didalamnya berisi padi, sorgum, kacang hijau, kelapa, serta sepotong kayu dadap yang biasanya dipakai untuk menenun, juga kayu cendana. Bukan hanya tumbuhan saja tetapi ada beberapa hewan yang dimasukan juga dalam perahu hole yaitu kambing, ayam, dan anak anjing. 19 Hewan-hewan ini dipersembahan sebagai simbol untuk menebus kesalahan, pelanggaran yang dilakukan karena telah menyakiti para leluhur serta Tuhan yang menciptakan dan memberikan mereka segala sesuatu baik secara sadar maupun tidak sadar. Semua barang yang dimasukan dalam perahu tersebut merupakan apa yang mereka makan dan pakai dalam kehidupan sehari-hari yang melambangkan jiwa mereka. Pelepasan perahu hole bisa dilakukan di pantai manapun dipulau Sabu Sabu Seba, Mesara, Timu, Raijua dan masyarakat meyakini bahwa perahu tersebut akan sampai ke Raijua yang merupakan cikal bakal terbentuknya pulau Sabu dan leluhurnya. Persembahan ini akan melewati arwah nenek moyang sebagai perantara yang sedang menanti di pulau Dana. Pulau Dana adalah pulau yang tidak berpenghuni dan dipercayai merupakan pulau yang sakral. Dengan upeti tersebut juga dipercayai dapat memanggil kebahagiaan dan kemakmuran bagi semua manusia di pulau Sabu, oleh sebab itulah masyarakat Sabu yang dipimpin oleh para dewan adat diharuskan membayar apa yang telah diterimanya tersebut. 20 Bagi orang Sabu adat istiadat merupakan tradisi turun temurun dari para leluhur, berupa janji-janji dan pesan-pesan nenek moyang yang diterima sebagai 19 Ibid., C. B 20 Ibid., B. Dj 47 peraturan yang senantiasa harus diikuti. Orang Sabu percaya bahwa dengan menaati peraturan-peraturan dari nenek moyang yang dipandang sebagai syariat agama dan adat-istiadat, sekaligus juga menaati kepada Deo Ama yang mereka sembah. Karena bagi mereka menghormati nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal adalah kewajiban anak cucu yang masih hidup. Oleh sebab itu semua yang diamanatkan oleh para leluhur harus dijalankan. Bukan hanya itu saja mereka mempercayai bahwa walaupun secara fisik mereka tidak dapat dilihat akan tetapi arwah mereka masih berhubungan dengan anak-cucu mereka. Arwah leluhur merekalah yang menjadi perantara dari setiap ritual dan upacara adat yang mereka lakukan. Upacara adat ini dipimpim oleh Mone ama rai yang adalah ketua dewan adat, yang bertugas untuk memimpin upacara-upacara adat atau ritual yang ada di pulau Sabu selama 6 bulan musim hujan dan 6 bulan musim kemarau. Hole diadakan pada bulan Sabu yaitu bulan Banga liwu dalam kalender tahun Masehi April-Mei, yang merupakan bulan panen dan hari raya besar dalam tahun adat yang berjalan seperti bulan Desember bagi agama Kristen. Hole diadakan pada bulan ini juga, karena merupakan puncak upacara massal yang dipercaya dapat membawa untung, serta bulan untuk bergembira. Secara historis, Hawu Ga Kika Liru dan Luji Liru adalah leluhur pertama orang Sabu yang melakukan perjanjian dengan “Tuan tanah”, sehingga menimbun pulau Sabu menjadi besar, dan memberikan tanah untuk mengusahkan semua hasil alam yang ada sampai saat ini beserta dengan ternak-ternaknya. Maka dari itu orang Sabu harus membayar “ihi rai” pajak atau ulu hasil yang terus dijalankan secara turun temurun. Bagi orang Sabu adat istiadat tidak boleh dilanggar oleh karena 48 merupakan perjanjian yang dilakukan nenek moyang mereka yang adalah kewajiban yang harus terus dijaga secara turun-temurun dari para leluhur. Ritual Hole yang mereka lakukan diyakini mempunyai kuasa yang besar dan membawa harapan baru untuk kehidupan ang labih baik di masa panen yang akan datang. Ini menjadi kepercayaan yang telah tertanam dalam jiwa orang Sabu dan merupakan identitas mereka sehingga tidak ada kekuatan apapyn yang dapat membatasi masyarakat Sabu untuk terus melestarikan tradisi budaya ini. Orang Sabu sellau terikat dengan tradisi atau budaya turun temurun, merekaharus selalu menjalankan tradisi-tradisi yang ada termasuk Hole. Semua masyarakat harus berbaur dan mengambil bagian dalam setiap ritual adat. 21 B.2 Ritual-Ritual Dalam Upacara Adat Hole Sebagaimana lasimnya sebuar kegiatan upacara adat tentu tidak terlepas dari yang mananya ritual-ritual. Demikian juga upacara adat hole sarat dengan ritual-ritual yang merupakan puncak dari semua ritual adat istiadat yang ada di Sabu. Upacara Hole dilakukan selama dua bulan dengan berbagai kegiatan sebelum pelepasan perahu hole yaitu: 22 1. Bersih ladang dalam bahasa Sabu ko’o ma. Sebelum menabur benih maka ladang akan terlebih dahulu dibersihkan. Membersihkan ladang adalah tugas dari Mone Ama Rai sebagai pemimpin adat dalam masyarakat Sabu yang diikuti oleh semua masyarakatnya. Dalam melakukan pembersihan ladang ada upacararitual untuk membersihkannya yaitu; 1. mengusir kekuatan gaib yang 21 Ibid., K. Dj 22 Ibid., B. K dan B. Dj 49 negatif dari tanah Mesara dan pulau Sabu yang kemudian disusul dengan 2. upacara “memaniskan” di sejumlah tempat upacara dalam rangka memohon hujan. Dalam ritual memaniskan itu, selain memohon hujan dan membersihkan, juga untuk memohon kesuburan tanah dan kemakmuran seluruh penduduk, bukan hanya itu saja tetapi juga untuk seluruh dunia rai wawa=bumi. Dengan doa dalam ritual-ritual tersebut Mone Ama Rai beserta masyarakatnya memberikan persembahan kepada “Deo Ama” yang melindungi dan juga menjaga seluruh penduduk. Persembahan berupa sesaji yang mereka berikan adalah benih yang akan mereka tanam, seperti nila, kopi, padi, sorgum, serta kelapa kering yang dipotong kecil-kecil, juga kacang hijau. Deo ama inilah yang dipercaya sebagai sumber yang menjadikan hewan dan manusia berumur panjang dan berkembang biak, serta menumbuhkan semua tanaman. Kepada Deo Ama lah mereka meminta agar hujan turun dan memberkati tanaman serta ternak mereka. 2. Liba Doka atau tabur kebun. Kegiatan tabur kebun ini seperti ritual adat lainnya, dilakukan terlebih dahulu oleh Mone Ama Rai kemudian diikuti oleh seluruh penduduk. Upacara tabur kebun diperuntukkan bagi benih tanaman yang akan ditanam serta hewan dengan tujuan agar dapat berbuah dan berkembang biak dengan baik. Dalam ritual ini biasanya seluruh ternak dan hewan yang berada di ladang digiring ke kampung untuk disertakan agar mendapat berkat. Sebelum benih ditanam maka Mone Ama Rai sebagai pemimpin akan melakukan upacara pengumuman dan mengambil benih dengan membawa gong upacara mengelilingi kampung-kampung diseluruh Mehara 50 sambil dibunyikan, gong tersebut terus diminyaki disetiap tempat pemberhentian. Hal ini dilakukan sebagai symbol yang melambangkan hujan akan menyirami tanah Mehara. Dengan demikian maka kampung tersebut menjadi ramai dengan berbagai ternak maupun manusia. 3. Pengantaran masakan. Dalam kegiatan ini seorang isteri membuat masakan ayam dan kemudian mengantarnya kerumah orangtuanya khusunya suamibapa dan saudara laki-laki. Tujuan pemberiannya adalah selalu terpeliharanya hubungan dengan pihak pemberi perempuan keluarga perempuanisteri yang merupakan sumberpewarispenerus keturunan. Kemudian kegiatan lainnya adalah dilakukan upacara “siram kuburan” atau “bui dere” baik bagi mereka yang mati manis dan mati asin setahun terakhir ini. “Mati manis” adalah mereka yang meninggal karena ajal telah menjemput dan “mati asin” adalah meninggal karena kecelakan, dibunuh, bunuh diri, terjatuh dari atas pohon, tenggelam dan sebagainya. Dalam hal ini mereka percaya bahwa pada saat ritual itu berlangsung roh mereka yang telah mati akan dijemput. 4. “Sabung ayam” atau para ada dilakukan setelah pengantaran masakan. Sabung ayam ini akan dilakukan dua kali yaitu di arena kampung Reamedi dan pada akhir puncak acara di lapangan Altar Besar di Nada Ae. Taji ayam sendiri memiliki arti bukan sebagai arena penghibur atau sarana untuk berjudi, tetapi merupakan suatu ritual tradisi budaya yang melambangkan sebuah “perdamaian abadi” atau “temu sahabat jauh”. Karena pada waktu taji ayam berlangsung bukan hanya masyarakat Mehara saja yang melakukan upacara adat ini tetapi 51 orang-orang dari berbagai suku-suku yang ada di pulau sabu Mehara- Liae, Seba, Sabu Timu, Raijua akan ikut menyaksikan dan terlibat dalam sabung ayam tersebut. Sebagian besar orang-orang Sabu diperantauan akan pulang untuk mengikuti upacara adat besar ini. Sabung ayam dilakukan dengan maksud agar tidak lagi ada pertumpahan darah, dan menjadi symbol perdamaian bagi semua masyarakat Sabu. 5. Tarian adat pedo’a . Setelah diadakan sabung ayam, maka pada malam harinya akan diadakan, tarian adat Pedo’a. Tarian ini adalah suatu ungkapan kebahagiaan dalam bentuk tarian adat, yang terutama bagi para muda-mudi untuk saling bergandengan tangan yang dalam bahasa Sabu pegai pegatti. Bukanhanya itu saja tetapi sebagai sarana untuk mencari pasangan hidup bagi mereka yang belum menikah. Tarian ini dilakukan dengan syair yang dilantunkan oleh mone pejo orang yang bertugas untuk menyanyikan lagu pedo’a yang berupa puji-pujian kepada sang pencipta alam semesta dan para leluhur yang telah memberikan kesuburan, kemakmuran serta, kelimpahan, sehingga mereka telah melakukan panen yaitu kacang hijau, sorgum, padi, kelapa, buah lontar, kapas. 6. “Makan isi ketupat”. Kegiatan ini dilakukan setelah Mone Ama Rai terlebih dahulu memetik buah pinang dari pohon sebelum matahari terbit, dengan melakukan doa syukur kepada Deo Ama yang merupakan sumber segala berkat. Setelah pinang tersebut di turunkan, Pemimpin adat akan melantunkan syair lagu yang diikuti secara bersahutan oleh istri dan anak-anaknya. Syair yang dilantukan tersebut merupakan syair lagu untuk memanggil berkat dan 52 kesuburan serta mengusir yang jahat wangosetanroh jahat dari pulau Sabu. Lalu pinang yang diambil tadi dibersihkan kemudian diikat dengan tiga buah ketupat, setelah didoakan lalu dibagikan kepada orang-orang yang ada dalam kampung adat dan dimakan bersama-sama di atas batu “Luji Liru” 23 . Ketupat tersebut dimakan tanpa dikunyah, tetapi langsung ditelan. Ketika memakan isi ketupat ditempat upacara tersebut dipercaya dan yakin bahwa hasil panen mereka akan menjadi lebih baik dari hari kemarin. 7. Goa dere lingo dere. Kegiatan ini dilakukan pada hari yang sama dengan makan isi ketupat yang berlangsung sampai sore hari. Sambil membawa pinang dan ketupat tadi menuju kampung adat, Mone Ama Rai dan Benny Deo isteri dari Mone Ama Rai akan menyanyi secara bersahut-sahutan. Lagu yang dinyanyikan adalah “hoda ngara Rai”, yang diartikan lagu untuk memuja tanah tempat mereka berpijak. lagu ini merupakan lagu sakral dan dinyanyikan hanya pada hari raya hole untuk memanggil berkat dan kesuburan serta menolak segala yang jahat. Setelah itu akan diturunkan dua buah tambur adat. Dua tambur tersebut adalah Da’u ae menyiduk banyak dan Lattia kilat yang digantungkan di atas pohon nitas. Setelah di turunkan gendang tersebut akan diminyaki dengan minyak kelapa baru yang harum. Kemudian Da’u ae digantungkan kembali ke atas pohon tersebut sedangkan Lattia tetap diletakan diatas batu altar. Sambil di kelilingi oleh masyarakatnya. Mone Ama Rai memainkan gendang Latia dan menyanyikan lagu buro ho dan hoda ngara rai 23 Luji Liru adalah leluhur mereka yang telah menimbun tanah dan ladang menjadi besar yang diambil dari pemilik Tuan tanah Deo Ama. 53 yang merupakana lagu untuk memohon kembalinya hasil panen yang memuaskan. Dengan nyayian ini segala benih dan hasil panen serta tanah dipuja dan dielu-elukan. Mone Ama Rai akan menyanyi secara bersahut-sahutan dengan semua masyarakat yang mengikuti upacar ritual tersebut, sambil mereka meminyaki tubuh mereka dengan minyak kelapa yang dibasuh pada kedua gendang tadi. 8. “Mengambil pucuk”. Ritual yang berikut adalah mengambil pucuk lontar dari pohon lontar yang juga disertai dengan kegiatan ritual meletakkan sesaji di atas pohon dan membacakan doa. Setelah itu baru pucuk tersebut duturunkan dan digunakan sebagai bahan membuat ketupat adat atau kedu’e hole ketupat hole. Kemudian akan diturunkan juga daun lontar beserta batangnya yang akan dipakai sebagai layar dalam perahu hole yang biasa dalam bahasa Sabu dere hole dalam mengantarkan upeti mereka. Setelah Mone Ama Rai selesai menurunkan pucuk lontar itu barulah masyarakat diperbolehkan mengambil daun lontar untuk tiap rumah tangga-rumah tangga mereka, sesuai dengan jumlah jiwa yang ada dalam rumah mereka. Jika ada salah satu dari masyarakat yang sakit dan tidak dapat mengambil daun lontar maka akan diambilkan oleh orang lain. Setelah itu Mone Ama Rai membawa daun lontar pulang ke rumah dan akan diterima oleh Benny Deo lalu disimpan di atas nyiru yang di dalamnya sudah berisi keping kelapa, kacang hijau, sorgum, padi, cendana, yang telah dihitung sesuai dengan banyaknya orang yang ada di dalam rumah. Kemudian pada sore harinya turunkan lagi untuk dianyam. Jumlah ketupat yang dianyampun sesuai dengan jumlah orang yang ada didalam rumah. Pada 54 umumnya dalam upacara hole, ketupat adat kedu’e yang berisi upeti yang akan dipersembahkan, dianyam khusus oleh mereka yang mempunyai rumah tangga adat rumah kampung-kampung adat. Bentuk ketupat tersebut berbeda dengan ketupat yang dibuat untuk di makan sehari-hari. Ketupat adat ini dibedakan lagi yaitu ketupat Beni deo rai perempuan dan Mone ama rai laki- laki. Ketupat ini dimaknai sebagai wadah yang didalamnya dimasukan upeti ihi rai. Ketupa adat ini melambangkan diri atau wadah yang membawa jiwa setiap orang yang memberikan persembahan. 24 Sesudah dianyam maka ketupat itu akan di gantung didepan rumah mereka. Mereka melakukan persembahan secara bersama namun di tempat yang berbeda. Beni Deo akan masak nasi dengan periuk tanah yang telah disiapkan, kemudian menyembelih ayam dan meremas-remas nasi yang dicampur dengan ayam tersebut dan membentuknya seperti bulat-bulat kecil lalu mulai menaikan doa dan melakukan persembahan. Mone Ama Rai di tiang tengah duru, sedangkan Beni Deo di loteng demu. Tiang tengah ini berupa tiang penyangga rumah yang menurut kepercayaan mereka adalah mimbar tempat mereka memuja dan memberikan persembahan. Mimbar ini merupakan tempat pertemuan mereka dengan arwah leluhur yang akan menghantarkan persembahan mereka kepada Deo ama; Tuhan maha pencipta, Tuhan yang suci dan kudus yang menyapa namanya saja merupakan hal yang sangat sakral. Di bagian ujung tiang tersebut terdapat kayu yang diukir pada bagian pinggir-pinggirnya dan pada pangkal dari tiang kayu tersebut berbentuk tajam. Begitu juga dengan Beni deo, ia melakukan udu nga’a di 24 Ibid., K. Dj 55 loteng di demu. Menurut mereka kayu ini seperti halnya salib pada orang Kristen. 25 Di loteng terdapat dua batu berbentuk bulat dan pipih yang biasa disebut batu duduk orang mati sebagai tempat untuk meletakan persembahannya. Di loteng ini tidak seorang pun selain Beni Deo yang boleh naik keatas apa lagi masuk ke dalam, bahkan Deo Rai pun tidak diperkenankan selain isterinya. Bagian dalam loteng ini gelap dan merupakan tempat penyimpanan barang barang perempuan misalnya; makanan, benang, alat kain tenun ikat. Setelah melakukan persembahan maka Beni Deo dan Mone Deo Mone Ama melakukan nga’a kedu”e makan ketupat dalam rumah mereka terlebih dahulu, sebelum di bawa untuk persembahan oleh semua orang dalam perkampungan adat, dan semua masyrakat sabu. Benni Ke menuturkan bahwa banyak juga orang-orang Kristen yang ikut ambil bagian dalam ritual ini, oleh kerena terikat dengan kampung adat dan rumah adat. Adat telah mendarah daging dalam kehidupan semua masyarakat Sabu tanpa kecuali. Ketupat yang dibuat banyaknya berdasarkan jumlah jiwa yang ada dalam tiap- tiap rumah tangga. Bukan hanya untuk anggota keluarga yang masih hidup saja tetapi juga di hitung dengan anggota keluarga yang telah meninggal. Ketupat untuk anggota keluarga yang sudah meninggal wou”o atau ketupat orang mati, berisi kacang ijo dan sorgum yang metah. Sedangkan untuk orang yang masih hidup berisi padi, sorgum, kacang hijau, cendana, sepotong kayu dadap yang di masak terlebih dahulu untuk persembahan hole. Sedangkan katupat 25 Ibid., B. K 56 orang mati tadi tidak diikutsertakan dalam perahu hole tetapi digantung di atas pohon, kerena dalam kepercayaan orang Sabu orang yang telah mati ini sudah berada di alam yang lain. 9. Hole kedu’e. Pada hari terakhirpuncak upacara hole, mereka akan melakukan hole kedu’e melepasksan ketupat, yakni pemberangkatan ketupat dengan perahu simbolik ke Raijua. Ritual ini merupakan ritual puncak dimana setiap ketupat di Dara Emu Rae kampung kemudian diarak ke Lata Mone Weo di pantai dimana dilakukannya upacara pelepasan perahu. Semua ketupat dimasukan kedalam perahu yang pada bagian tengah dasarnya dibuat dari batang kayu nitas, dan kemudian di bentuk seperti tulang pada tubuh manusia. Pada bagian ujung-ujung perahu tersebut diikat dengan tali pada tiang tengah perahu. Layar dari perahu itu dari daun lontar yang diturunkan dari pohon oleh Mone Ama rai yang telah di paparkan pada poin ke 8 diatas. Semua masyarakat akan berbondong-bondong datang membawa “ulu hasil” sambil terus bernyanyi dengan sukacita, tanpa berhenti dan bersahut-sahutan dengan Mone Ama Rai yang akan terus memainkan tambur adat Latia tersebut. Setelah perahut tersebut selesai dibuat secara bahu membahu oleh masyarakat yang hadir maka pemimpin adat akan meminyaki dere hole beserta kedu’e yang dimasukan kedalam perahu itu. Setelah di masukan maka anak anjingayam kambing akan diikat pada bagian depan perahu sebagai simbol bahwa hewan-hewan inilah yang akan mengantar persembahan tersebut sampai kepada tujuannya arwah leluhur yang sedang menanti di pulau dana. Kemudian Mone Ama Rai dan para dewan adat akan menghampiri beberapa batu yang ada di pantai untuk 57 meletakan beberapa biji kopi, padi, sorgum dan kelapa yang di potong-potog berbentuk bulat. Sebagai tanda bahwa mereka telah siap memberikan persembahan tersebut. Setelah itu Mone Ama Rai akan menancapkan parangnya kepasir dan membuat bentuk lingkaran yang memagari masyarakat dengan perahu yang akan mengantarkan upeti atau persembahan hole ini. Maksud dari pemagaran itu bahawa masyarakat akan memperoleh berkat, kemakmuran, dan dipisahkan dari yang jahat, serta bencana. Kemudian perahu mulai ditolak perlahan-lahan menuju laut untuk di hanyutkan, sambil terus melantunkan syair lagu dengan bersahut-sahutan. Pada waktu perahu telah dihanyutkan maka semua orang yang ada di tempat itu harus segera mengosongkan tempat upacara tadi. 26 10. Pehere Jara. Setelah perahu hole di hanyutkan maka akan diteruskan dengan pehere jara. Pehere jara adalah kuda yang ditunggangi dengan berlari-lari indah memutari altar. Hal ini dimaksudkan bahwa sukacita yang dirasakan akan terus ada dalam sepanjang tahun kedepan, serta mereka bersukacita karena akan memasuki musim tanam yang baru dengan harapan yang baru pula bahwa hasil yang mereka dapat akan lebih baik dari tahun kemarin. Ritual ini juga dipercayai dapat menjauhkan mereka dari peperangan sehingga yang ada hanya damai dan sukacita. Setelah itu semua masyarakat akan berbodong-bondong menyaksikan taji ayamsabung ayam di Nada Ae padero dalam altar besar yang biasa di pakai hanya pada waktu ada kegiatan adat saja dan ini disaksikan oleh semua masyarakat yang datang dari berbagai kampungdesa di pulau Sabu. 26 Ibid., B. Dj 58 11. Setelah itu Mone Ama Rai dan para dewan adat akan pulang untuk menyembelih seekor kambing dan melakukan persembahan. Setelah itu maka mereka akan memakannya sebagai tanda upacara hole ini telah selesai dengan harapan bahwa panen kali ini telah berlalu dan panen berikutnya akan datang kembali dengan berhasil di pulau Sabu secara berulang kali dari masa ke masa. 27

C. HOLE BAGI JEMAAT GMIT EBENHAEZER-LEDERABBA MESARA