Respon Phaeophleospora Sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Tembaga Oksida Secara In Vitro

(1)

RESPON

Phaeophleospora sp.

TERHADAP FUNGISIDA

BERBAHAN AKTIF TEMBAGA OKSIDA SECARA IN VITRO

SKRIPSI

ADRIAN DONNELLIUS SIMBOLON 101201067

BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Peneletian : Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Tembaga Oksida secara in vitro Nama : Adrian Donnellius Simbolon

NIM : 101201067

Program Studi : Kehutanan

Minat : Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Nelly Anna S.Hut.,M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut., M.Si, Ph. D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRAK

ADRIAN SIMBOLON : Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Tembaga Oksida secara in vitro. Dibawah bimbingan Edy Batara Mulya Siregar dan Nelly Anna.

Phaeophleospora sp. merupakan patogen utama yang menyerang Eukaliptus. Patogen ini merupakan salah satu masalah utama yang menyerang pertanaman Eukaliptus di manapun di dunia terutama di Indonesia. Fungisida digunakan untuk memberantas dan mencegah perkembangan fungi. Fungisida yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungisida kontak dengan bahan aktif Tembaga Oksida 56%. Penelitian ini bertujuan mengukur luas, diameter, kerapatan spora dan mengkarakterisasi bentuk hifa Phaeophleospora sp. setelah diberi perlakuan. Sampel yang digunakan diambil dari koleksi Phaeophleospora sp. yang di dapat dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi perlakuan tembaga oksida 0 mg/ml, 0.28 mg/ml, 0.56 mg/ml, 0.64 mg/ml, 1.12 mg/ml tidak berpengaruh nyata.


(4)

ABSTRACT

ADRIAN SIMBOLON : Response Phaeophleospora sp. of Active Substance Fungicide Cuprum Oxide At on In Vitro. Under guidance of Edy Batara Mulya Siregar and Nelly Anna.

Phaeophleospora sp. is a major disease that attacks the Eucalyptus. This diseases is seen as one of the main problems that attacks Eucalyptus plantations anywhere in the world. Fungicides are used to eradicate and prevent the development of fungi. Fungicide used is a contact fungicide with active material Cuprum Oxide 56%. This aims research is to measure the area, diameter, density of spores and characterize hyphae form of Phaeophleospora sp. after being treated. The sample used was taken from the collection Phaeophleospora sp. obtained from previous researchs. This research was conducted at Forest Biotechnology Laboratory and Pest and Plant Disease Laboratory , Faculty of Agriculture, University of North Sumatera. The results showed the concentration of fungicide 0 mg / ml, 0.28 mg / ml, 0.56 mg / ml, 0.64 mg / ml, 1.12 mg / ml had no significant effect.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sidikalang pada tanggal 18 April 1992 dari Ayah B. Simbolon, S.pd dan R. Sianturi. Menamatkan Sekolah Dasar dari SDN 030277 pada Tahun 2004. Kemudian melanjutkan sekolah di SMP N 1 Sidikalang yang tamat tahun 2007. Melanjut ke SMA Negeri 1 Sidikalang tamat tahun 2010.

Tahun 2010 melanjutkan ke Perguruan Tinggi Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB dengan jurusan Kehutanan. Penulis melakukan penelitian dengan judul Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Tembaga Oksida secara in vitro.

Penulis masuk organisasi Himpunan Mahasiswa Silva tahun 2010, mengikuti kegiatan P2EH (Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan) tahun 2012 di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Tongkoh selama 10 hari. Penulis melakukan PKL (Praktik Kerja Lapang) di HTI Ichi Hutani Manunggal, Kalimantan Timur pada tanggal 14 Juli sampai 14 Agustus 2014.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Tembaga Oksida secara in vitro ” ini dengan baik. Tujuan penelitian untuk Mengukur efektifitas fungisida dalam mengendalikan penyakit busuk daun, mengukur luas dan diameter koloni jamur Phaeophleospora sp., menghitung kerapatan Phaeophleospora sp., mengkarakterisasi bentuk Phaeophleospora sp. setelah diberi perlakuan. Skripsi ini merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan studi pada jenjang Strata satu (S1) Kehutanan menurut kurikulum Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucakan terima kasih yang sebesar besarnya kepada : kedua orang tua, ayahanda B. Simbolon, S.pd dan ibunda R. Sianturi yang telah banyak memberi dukungan dengan baik kepada penulis, saudara penulis (R. Simbolon, M. Silalahi, Revita, Lia, Imanuel, Septian, Nesya, Guardi) yang selalu memberi semangat dan doa kepada penulis, Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S selaku ketua komisi pembimbing dan Nelly Anna, S.Hut, M.Si selaku anggota komisi pembimbing dalam penulisan skripsi ini, teman-teman satu penelitian,teman-teman seperjuangan Noa, Mario, Riston, Septo, Gusti, dan semua penelitian,teman-teman-penelitian,teman-teman BDH 2010 yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai dasar penelitian-penelitian selanjutnya dan dapat menyumbangkan pengetahuan bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Eukaliptus (Eucalyptus sp.) ... 4

Penyakit Daun Phaeophleospora pada Tanaman Eukaliptus (Eucalyptus spp .). ... 5

Fungisida ... 7

Fungisida sistemik ... 8

Fungisida lokal ... 9

Fungisida sistemik lokal ... 10

Tembaga ... 10

Tembaga Oksida ... 11

Penelitian terkait ... 12

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Prosedur Penelitian ... 13


(8)

Inokulasi jamur patogen ... 13

Pengamatan ... 13

Diameter koloni Phaeophleospora sp ... 14

Luas koloni Phaeophleospora sp ... 14

Persentase hambatan relatif koloni Phaeophleospora sp 14

Kerapatan spora Phaeophleospora sp. ... 15

Luas koloni Phaeophleospora sp ... 15

Analisis data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Respon Phaeophleospora sp ... 17

Tampilan Makroskopis... 17

Diameter koloni Phaeophleospora sp. ... 18

Bentuk dan warna koloni ... 18

Persentase hambatan relatif koloni Phaeophleospora sp ... 21

Luas koloni Phaeophleospora sp ... 22

Tampilan Mikroskopis. ... 23

Kerapatan spora ... 23

Pengamatan bentuk spora ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 26

Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27


(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Bentuk dan warna koloni Phaeophleospora sp. pada pengamatan

14 HSI ... 18

2. Uji F taraf 5% diameter fungi Phaeophleospora sp ... 20

3. Uji F taraf 5% diameter fungi Phaeophleospora sp ... 21

4. Uji F taraf 5 % luas koloni fungi Phaeophleospora sp ... 22

5. Hambatan relatif koloni jamur Phaeophleospora sp. ... 22


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Rumus bangun tembaga oksida... 12

2. Tampilan depan Phaeophleospora sp. ... 17

3. Grafik pertumbuhan diameter Phaeophleospora sp. ... 19


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data diameter fungi Phaeophleospora sp. ... 29 2. Uji F taraf 5% Diameter Fungi Phaeophleospora sp ... 32 3. Uji F taraf 5% Luas Fungi Phaeophleospora sp. ... 34


(12)

ABSTRAK

ADRIAN SIMBOLON : Respon Phaeophleospora sp. Terhadap Fungisida Berbahan Aktif Tembaga Oksida secara in vitro. Dibawah bimbingan Edy Batara Mulya Siregar dan Nelly Anna.

Phaeophleospora sp. merupakan patogen utama yang menyerang Eukaliptus. Patogen ini merupakan salah satu masalah utama yang menyerang pertanaman Eukaliptus di manapun di dunia terutama di Indonesia. Fungisida digunakan untuk memberantas dan mencegah perkembangan fungi. Fungisida yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungisida kontak dengan bahan aktif Tembaga Oksida 56%. Penelitian ini bertujuan mengukur luas, diameter, kerapatan spora dan mengkarakterisasi bentuk hifa Phaeophleospora sp. setelah diberi perlakuan. Sampel yang digunakan diambil dari koleksi Phaeophleospora sp. yang di dapat dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi perlakuan tembaga oksida 0 mg/ml, 0.28 mg/ml, 0.56 mg/ml, 0.64 mg/ml, 1.12 mg/ml tidak berpengaruh nyata.


(13)

ABSTRACT

ADRIAN SIMBOLON : Response Phaeophleospora sp. of Active Substance Fungicide Cuprum Oxide At on In Vitro. Under guidance of Edy Batara Mulya Siregar and Nelly Anna.

Phaeophleospora sp. is a major disease that attacks the Eucalyptus. This diseases is seen as one of the main problems that attacks Eucalyptus plantations anywhere in the world. Fungicides are used to eradicate and prevent the development of fungi. Fungicide used is a contact fungicide with active material Cuprum Oxide 56%. This aims research is to measure the area, diameter, density of spores and characterize hyphae form of Phaeophleospora sp. after being treated. The sample used was taken from the collection Phaeophleospora sp. obtained from previous researchs. This research was conducted at Forest Biotechnology Laboratory and Pest and Plant Disease Laboratory , Faculty of Agriculture, University of North Sumatera. The results showed the concentration of fungicide 0 mg / ml, 0.28 mg / ml, 0.56 mg / ml, 0.64 mg / ml, 1.12 mg / ml had no significant effect.


(14)

11

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tanaman berfokus pada pengembangan jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dan berdaur hidup pendek sebagai tanaman pokoknya. Tanaman eukaliptus merupakan salah satu tanaman yang pertumbuhannya cepat (fast growing species). Eukaliptus merupakan salah satu jenis kayu yang digunakan sebagai bahan baku pulp atau bubur kertas (Widarto, 1996).

Eucalyptus sp. (Myrtaceae) telah banyak ditanam di beberapa negara tropis Tanaman, pada lahan yang luas. Spesies-spesies lain yang telah dicoba penanaman dalam skala kecil, seperti E. Camadulensis, E. Grandis, E. Pellita, E. Tereticornis, dan E. Torreliana. Penanaman Eukaliptus paling banyak dilakukan di Sumatera ( Aceh, Sumatera Utara, Jambi) dan Kalimantan (Nair,2000).

Ditinjau dari segi kualitas hidup eukaliptus mempunyai banyak gangguan penyakit. Menurut Rahayu (1999) penyakit pohon Eucalyptus urophylla berupa bercak daun (leaf spot disease) disebabkan kelas Deutromycetes, Macrophonasp., Curvulariasp., Pestalotia sp., Gleosporium sp., Helmintosporium sp. Bercak daun umum terjadi di persemaian atau tanaman di lapangan.

Phaeophleospora (Kirramyces) adalah patogen yang menyerang daun Eukaliptus di manapun mereka tumbuh. Phaeophleospora sp. ditemukan hampir dimana-mana yang menyebabkan bintik-bintik dan perubahan warna pada tajuk yang lebih rendah, tapi tidak sering menyebabkan kerusakan serius. Namun pada tahun 1996 spesies Phaeophleospora yang baru teridentifikasi pada Eucalyptus


(15)

grandis di Sumatera dan tingkat keparahan hawar daun menyebabkan fungi ini disebut Kirramyces (Old, et al.,2003a).

Penyakit daun Destructans dan hawar pucuk yang disebabkan P. destructans merupakan penyakit utama yang menyerang Eukaliptus di area Danau Toba. Penyakit ini ditemukan pertama kali di Aek Nauli, kira- kira sepuluh tahun yang lalu. Penyakit ini dipandang sebagai salah satu masalah utama yang menyerang pertanaman Eukaliptus di manapun di dunia. Oleh karena kerusakan yang dapat ditimbulkannya maka perlu dilakukan penelitian yang berguna untuk mengetahui resistensi dari tanaman Eucalyptus spp. terhadap Phaeophleospora sp (Silalahi, 2008).

Pengendalian penyakit tumbuhan secara kimia adalah pengendalian penyakit tumbuhan dengan menggunakan senyawa kimia yang beracun bagi patogen. Cara yang paling umum dikenal dalam pengendalian penyakit tumbuhan di lapangan adalah menggunakan senyawa kimia yang beracun bagi patogen. Bahan kimia tersebut baik yang menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangbiakan patogen yang dipengaruhinya, senyawa kimia tersebut dinamakan fungisida (untuk penyakit yang disebabkan oleh fungi), bakterisida (untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri), nematisida (untuk penyakit yang disebabkan oleh nematoda), virusida (untuk penyakit yang disebabkan oleh virus) dan herbisida (penyakit yang disebabkan oleh tumbuhan lain). Keefektifan suatu fungisida terhadap patogen perlu adanya pengujian di laboratorium. Pada dasarnya dikenal tiga cara untuk menguji fungisida dalam laboratorium. Pertama, spora dikecambahkan di dalam air yang mengandung fungisida yang akan di uji. Kedua, jamur patogen ditumbuhkan ditumbuhkan pada medium biakan yang


(16)

mengandung fungisida yang akan di uji. Ketiga, mengukur respirasi dari jamur dalam pengaruh fungisida yang akan diuji (Semangun, 2000).

Tujuan Penelitian

1. Mengukur respon Phaeophleospora sp. (luas, diameter, hambatan relatif, kerapatan spora) terhadap perlakuan konsentrasi fungisida berbahan aktif tembaga oksida (0 mg/ml, 0.28 mg/ml, 0.56 mg/ml, 0.84 mg/ml, 1.12 mg/ml). 2. Mengkarakterisasi pertumbuhan koloni (bentuk, warna, tekstur) dan

perubahan hifa terhadap perlakuan konsentrasi fungisida berbahan aktif tembaga oksida (0 mg/ml, 0.28 mg/ml, 0.56 mg/ml, 0.84 mg/ml, 1.12 mg/ml). Hipotesis Penelitian

Respon Phaeophleospora sp. (luas, diameter, hambatan relatif, kerapatan spora, bentuk, warna, tekstur) terhadap fungisida berbahan aktif tembaga oksida bepengaruh nyata.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi atau masukan tentang konsentrasi yang tepat yang disebabkan oleh Phaeophleospora sp. pada pembibitan tanaman Eucalyptus spp.

2. Sebagai informasi bagi perusahaan-perusahaan HTI yang akan mengusahakan Eucalyptus spp.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Eukaliptus (Eucalyptus spp.)

Tanaman Eucalyptus spp. merupakan famili Myrtaceae, terdiri atas lebih kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus spp. dapat berupa semak dan perdu sampai mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Jenis-jenis yang sudah dikenal umum antara lain E. deglupta, E. urophylla, E. camadulensis, E. grandis, E. pellita, E. tereticornis, dan E. torreliana (Latifah, 2004).

Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing (tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut. (Poerwowidodo, 1991).

Penyakit Daun Phaeophleospora pada Tanaman Eukaliptus (Eucalyptus spp.) Ditinjau dari segi kualitas hidup eukaliptus mempunyai banyak gangguan penyakit. Menurut Rahayu (1999) penyakit pohon Eucalyptus urophylla berupa bercak daun (leaf spot disease) disebabkan kelas Deutromycetes, Macrophona sp.,


(18)

Curvularia sp., Pestalotia sp., Gleosporium sp., Helmintosporium sp. Bercak daun umum terjadi di persemaian atau tanaman di lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian Silalahi (2008) yang telah dilakukan sebelumnya di lokasi pembibitan Toba Pulp Lestari Porsea, diperoleh fungi patogen penyakit tanaman dengan mengamati ciri makroskopik dan mikroskopiknya. Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima spesies fungi yaitu Cylindrocladium reteaudii, Mycosphaerella sp.,Cryptosporiopsis sp. dan ada dua spesies dari Phaeophleospora sp. Berdasarkan pengamatan gejala penyakit tanaman pada pembibitan ditemukan tiga jenis gejala yaitu hawar daun, black mildow, dan bercak daun.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di lokasi pembibitan PT. Toba Pulp Lestari Porsea diperoleh gejala penyakit pada eukaliptus berupa hawar daun atau leaf blight yang berukuran kecil kemudian menyebar menutupi bagian daun. Gejala penyakit ini pada daun berukuran kecil dan berwarna merah dan dapat menyebar pada daun sekitarnya sehingga daun akan kering, mati dan gugur. Fungi penyebab gejala penyakit yang ditemukan di lokasi pembibitan PT.Toba Pulp Lestari Porsea adalah Cylindrocladium reteaudii, Mycosphaerella sp.,Cryptosporiopsis sp. dan ada dua spesies dari Phaeophleospora sp. (Silalahi, 2008).

Penyakit Phaeophleospora ini disebabkan oleh jamur Phaeophleospora sp yang biasanya terdapat pada pembibitan dan menyerang tanaman jenis tertentu. Gejala yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun (Old, et al., 2003b).


(19)

Berikut taksonomi dari Phaeophleospora destructans Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota Kelas : Dothideomycetes Ordo : Capnodiales

Famili : Mycosphaerellaceae Genus : Phaeophleospora

Spesies : Phaeophleospora destructans (M.J. Wingfield & Crous, 1996) Patogen ini ditemukan pada tahun 2000, menyerang perkebunan klonal E. camaldulensis di timur Thailand dan pada tahun 2002 ditemukan untuk pertama kalinya di beberapa lokasi, meliputi selatan, tengah dan utara Vietnam, pada spesies E. camaldulensis, E. urophylla dan klon hibrid. Penyebaran yang cepat menunjukkan adanya serangan patogen ke tanaman hingga bahkan menyerang benih, dan hal ini berpotensi sebagai ancaman serius bagi eukaliptus di Asia Tenggara. Dalam rangka untuk membantu mengatasi penyakit ini, klon toleran dipilih dan ditempatkan di Sumatera (Barber, 2004).

Fungi Phaeophleospora destructans merupakan salah satu patogen daun yang paling banyak dilaporkan dan diteliti di dunia, terjadi pada berbagai spesies di banyak negara termasuk dari daerah subtropis. Dianggap sebagai patogen yang menyerang pembibitan di Australia dan India, menyebabkan kematian tanaman di Malawi dan Afrika Selatan, defoliasi perkebunan di Australia, dan kerusakan yang signifikan di pembibitan dan perkebunan di Indonesia. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, spora dapat tersebar, dan menginfeksi bibit dan kebun klonal di pembibitan dengan sanitasi yang buruk (Barber, 2004).


(20)

Penyakit ini memiliki sifat menginfeksi, apabila satu daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman. Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga mencapai daun bagian ujung tanaman. Patogen ini biasanya berada di bawah tajuk pohon dan dapat menyebabkan penghancuran secara signifikan pada semai di pembibitan (Old et al., 2003).

Penyakit ini umumnya ditemukan pada tanaman eukaliptus di Sumatera Utara. Plot percobaan dari E. globulus di Habinsaran terinfeksi dalam jumlah besar. Penyakit ini ditemukan pada areal pembibitan dan areal penanaman. Penyakit ini biasanya ditemukan pada daun dewasa, terutama pada bibit-bibit yang persediaannya berlebih. Jika tingkat infeksi sudah tinggi, penyakit ini dapat menyebabkan gugurnya daun pada usia muda (Alfenas, 1993).

Fungisida

Fungisida adalah senyawa kimia beracun untuk memberantas dan mencegah perkembangan fungi/ jamur. Penggunaan fungisida adalah termasuk dalam pengendalian secara chemis (kimia). Adapun keuntungan yang diperoleh adalah: mudah diaplikasikan, memerlukan sedikit tenaga kerja, penggunaanya

praktis, jenis dan ragamnya bervariasi, hasil pengendalian tuntas ( Djojosumarto, 2000).

Menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi fungisida dibagi menjadi 3. Pertama fungisida sistematik yaitu fungisida yang diabsorpsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan kebagian tanaman


(21)

fungisida yang tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman, yaitu fungisida ini hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan daun tanaman sehingga perkecambahan spora dan miselia jamur menjadi terhambat. Ketiga fungisida sistem lokal yaitu fungisida yang diabsorpsi oleh jaringan tanaman tetapi tidak ditransformasikan ke bagian tanaman lainnya. Pada fungisida, terutama fungisida sistematik dan nonsistematik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dan aktivitas fungisida terhadap jasad sasarannya (Djojosumarto, 2000).

Fungisida sistemik

Bahan-bahan aktif yang dapat ditemui terkandung di dalam fungisida sistemik adalah Benomyl, Thiram, Carbendazim, Mancozeb, Oksadisil, Propineb, dan Metalaksil. Benomyl adalah fungisida yang diperkenalkan pada tahun 1968 oleh Du Pont. Benomyl adalah fungisida sistemik benzimidazole yang bersifat racun selektif bagi mikroorganisme dan invertebrata, khususnya cacing tanah.

Toksisitas selektif benomyl sebagai fungisida adalah efeknya tinggi terhadap jamur daripada mikrotubulus mamalia. Thiram adalah senyawa dithiocarbamate dimetil yang digunakan sebagai suatu fungisida untuk mencegah penyakit jamur pada biji dan tanaman selain berfungsi juga sebagai bakterisida. Carbendazim adalah fungisida benzimidazole dengan spektrum luas yang banyak digunakan. Mancozeb adalah fungisida bisdithiocarbamate etilen tidak beracun yang banyak diaplikasikan. Mancozeb efektif terhadap penyakit tanaman yang disebabkan Phytophthora, Anthracnose, Botrytis, Fusarium, Pythium, Alternaria, Early and Late Blight, dan lain-lain. (Sastroutomo, 1992).


(22)

Fungisida kontak

Fungisida kontak bekerja melalui paparan langsung pada cendawan. Fungisida kontak akan membunuh cendawan yang terkena paparan bahan aktif. Sebenarnya cara ini adalah cara yang tidak tepat, karena cendawan dewasa memiliki daya tahan hidup lebih kuat, sehingga cendawan yang tidak mati karena terkena paparan bahan aktif kontak dan dosis bahan aktif sistemik yang kurang, dapat menjadi resisten terhadap bahan aktif yang terkandung di dalam fungisida (Sembiring, 2008).

Fungisida dengan kombinasi bahan-bahan beresidu dan bersifat sistemik sangat aktif baik secara in vitro maupun in vivo untuk menekan pertumbuhan patogen golongan Oomycetes, serta penyebab penyakit hawar daun, rebah kecambah, busuk daun dan penyakit daun lainnya dengan daya aktif yang tinggi.

Aplikasinya pada tanah atau daun dengan tekanan rendah (Magallona, et.al., 1991).

Fungisida sistemik lokal

Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Bahan aktif hanya akan terserap ke sel-sel jaringan yang tidak terlalu dalam dan tidak sampai masuk hingga pembuluh angkut. Menurut mekanisme kerjanya, fungisida dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Multisite Inhibitor

Multisite inhibitor adalah fungisida yang bekerja menghambat beberapa proses metabolisme cendawan. Sifatnya yang multisite inhibitor ini membuat


(23)

bersifat multisite inhibitor (merusak di banyak proses metabolisme) ini umumnya berspektrum luas. Contoh bahan aktifnya adalah maneb, mankozeb, zineb, probineb, ziram, thiram.

2. Monosite Inhibitor

Monosite inhibitor disebut juga sebagai site specific, yaitu fungisida yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme cendawan, misalnya hanya menghambat sintesis protein atau hanya menghambat respirasi. Sifatnya yang hanya bekerja di satu tempat ini (spectrum sempit) menyebabkan mudah timbulnya resistensi candawan. Contoh bahan aktifnya adalah tembaga oksida, metalaksil, oksadisil, dan benalaksil.

(Hriday, 2006). Tembaga

Tembaga adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa, dan liat. Tembaga melebur pada 10380C. Karena potensial elektrode standarnya positif, (+0,34V untuk pasangan Cu/Cu2+), tembaga tak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer, meskipun dengan adanya oksigen tembaga bisa larut sedikit. Asam nitrat yang sedang pekatnya (8M) dengan mudah melarutkan tembaga. Ada dua deret senyawa tembaga. Senyawa-senyawa tembaga (I) diturunkan dari senyawa tembaga (I) oksida (Cu2O) yang berwarna merah, dan mengandung ion tembaga (I), Cu+. Senyawa-senyawa ini tak berwarna, kebanyakan garam tembaga (I) tidak larut dalam air, perilakunya mirip perilaku senyawa perak (I). Senyawa tembaga(I) mudah dioksidasikan menjadi senyawa tembaga(II), yang dapat diturunkan dari tembaga (II) oksida, CuO, hitam. Garam-garam tembaga (II) umumnya berwarna biru, baik dalam bentuk hidrat, padat, maupun dalam larutan


(24)

air. Warna ini benar-benar khas hanya untuk ion tetraakuokuprat (II) [Cu(H2O)4]2+ saja. Garam-garam tembaga (II) anhidrat,seperti tembaga (II) sulfat anhidrat CuSO4, berwarna putih (atau sedikit kuning). Dalam larutan air selalu terdapat ion kompleks tetraakuo (Vogel, 1990:229).

Tembaga Oksida

`Tembaga oksida adalah Fungisida/ bakterisida kontak dalam bentuk tepung merah berbahan aktif Tembaga oksida 56% (setara dengan 50% tembaga)

yang dapat disuspensikan dalam air untuk mengendalikan penyakit busuk daun

pada tanaman kentang, cacar daun pada tanaman teh, busuk daun pada tanaman

kakao, karat daun pada tanaman kopi dan cacar daun pada berbagai jenis tanaman

kehutanan. Tembaga oksida digunakan untuk melindungi tanaman dari penyakit- penyakit yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi yang disebabkan oleh jamur (Thomson, 1992).

Rumus bangun Tembaga oksida:

Menurut Djojosumarto (2000) Fungisida disebut bersifat kontak karena Cara kerjanya hanya mematikan bagian yang terkena saja dan tidak Sumber: Nelwati, 2003


(25)

ditranslokasikan dalam jaringan tanaman. Cara kerja tembaga oksida yaitu membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan. Fungisida ini hanya berfungsi mencegah infeksi cendawan dengan cara menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di permukaan tanaman. Karena itu, tembaga oksida berfungsi sebagai protektan dan hanya efektif bila digunakan sebelum tanaman terinfeksi oleh penyakit.

Penelitian terkait

Julinar (2009) dalam uji efektifitas fungisida sistemik dan fungisida non

sistemik terhadap perkembangan penyakit hawar daun (Helminthosporium

turcicum) pada beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L) menyimpulkan

bahwa fungisida non sistemik berbahan aktif mankozeb 80% efektif dalam

mengendalikan penyakit Helminthosporium turcicum dengan dosis 1.7 g/l air.

Tarigan (1998) dalam uji efektifitas fungisida sistemik dan fungisida non

sistemik terhadap perkembangan penyakit bercak kelabu (Cercospora zeae

-maydis) pada beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L) juga menyimpulkan

bahwa fungisida kontak berbahan aktif Klorotalonil 75% efektif mengendalikan penyakit Cercospora zeae -maydis dengan dosis 4.5 g/3 l air.

Muainah (2003) dalam uji efikasi beberapa fungisida untuk

mengendalikan Pythium spp pada pembibitan tanaman tembakau Deli (Nicotiana

tabaccum L) menyimpulkan bahawa fungisida kontak berbahan aktif

Propamocarb HCl efektif dalam mengendalikan penyakit Pythium spp di

lapangan dengan dosis 2 cc/l, namun tidak efektif secara in vitro terhadap jamur


(26)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media PDA, fungisida berbahan aktif tembaga oksida 56%, fungi Phaeophleospora sp., alkohol 70%, aquades, aluminium foil, kertas tissue, kalmicetine.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital, mikroskop, autoklaf, Laminar Airflow, cawan petri, erlenmeyer, pinset, gunting, gelas ukur, tabung reaksi, pipet tetes, overhead stirrer, sarung tangan, masker, timbangan analitik, kaca preparat, haemocytometer, lampu bunsen, gunting, alat tulis, sungkup, plastik clingwrap, millipore dan sprayer.

Prosedur Penelitian Sampel uji

Sampel yang digunakan diambil dari koleksi Phaeophleospora sp. yang di dapat dari penelitian sebelumnya.

Inokulasi jamur patogen

Ditimbang serbuk fungisida berbahan aktif tembaga oksida sebanyak 0.125 gram kemudian dilarutkan ke dalam aquades 250 ml diaduk sampai


(27)

homogen. Fungisida diteteskan dengan konsentrasi 0 mg/ml, 0.28 mg/ml, 0.56 mg/ml, 0.84 mg/ml, 1.12 mg/ml ke media PDA. Inokulum jamur Phaeophleospora sp yang berdiameter 5 mm diletakkan ditengah-tengah cawan petri yang sudah diberi perlakuan sebelumnya, kemudian diinkubasi pada suhu kamar, dan diamati pertumbuhannya selama 14 hari atau sampai kontrol memenuhi cawan petri .

Pengamatan

1. Diameter koloni Phaeophleospora sp.

Pengamatan dan pengukuran diameter dilakukan setiap hari selama 14 hari atau sampai kontrol memenuhi cawan petri. Pengukuran diameter menggunakan kertas millimeter block yang cara perhitungannya dengan membuat garis vertikal dan horizontal yang titik potong kedua garisnya tepat di tengah koloni jamur. Cara pengukuran pada cawan petri berdasarkan rumus sebagai berikut :

� =d1 + d2

2 Keterangan :

D = diameter jamur Phaeophleospora sp.

d1 = diameter vertikal koloni jamur Phaeophleospora sp. d2 = diameter horizontal koloni jamur Phaeophleospora sp 2. Luas koloni Phaeophleospora sp.

Penentuan luas koloni jamur Phaeophleospora sp. berdasarkan jari-jari (r) koloni jamur yang diukur dari masing-masing perlakuan kontrol. Pengukuran jari-jari dilakuan pada keempat sisi koloni jamur tiap perlakuan. Keempat jari-jari-jari-jari koloni jamur lalu dijumlahkan dan hasilnya dibagi empat untuk diketahui rata-rata


(28)

jari-jarinya. Luas lingkaran koloni jamur dihitung menggunakan rumus (A = πr2)

dan masukkan rata-rata jari-jari koloni jamur yang telah diukur (Mahartha, dkk., 2013).

3. Persentase hambatan relatif koloni Phaeophleospora sp.

Kemampuan hambatan relatif fungisida terhadap pertumbuhan jamur Phaeophleospora sp. dihitung sampai jamur telah tumbuh. Persentasi hambatan dihitung menurut rumus Pande et al, (1982) dalam Noveriza dan Tombe (2003) adalah sebagai berikut:

HR =dk−dp

dk x 100%

Keterangan :

HR = hambatan relatif dk = diameter kontrol dp = diameter perlakuan

Pengaruh suatu fungisida dinilai dari kategori yang dikemukakan oleh Irasakti dan Sukatsa (1987) sebagai berikut :

0 = tidak berpengaruh

>0-20 % = sangat kurang berpengaruh >20-40 % = kurang berpengaruh >40 – 60 % = cukup berpengaruh >60 – 80 % = berpengaruh

>80 % = sangat berpengaruh 4. Kerapatan spora Phaeophleospora sp.

Perkembangan kerapatan spora dihitung berdasarkan rumus (Chi, 1997) sebagai berikut :


(29)

S = t−d n x 0,25

Keterangan :

S = kerapatan spora per gram media

t = banyak spora yang dihitung pada kotak d = tingkat pengenceran

n = banyak kotak kecil yang diamati 106 = konstanta kerapatan spora 5. Analisis Data

Data dianalisis secara statistik menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan model linier sebagai berikut:

Y

ij

= μ + τi

+ εij

Keterangan:

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = perlakuan ke-i (1, 2, 3, 4, 5)

j = ulangan ke-j (1, 2, 3, 4, 5) (Hanafiah, 2000)

Data yang diperoleh dari percobaan uji efikasi fungisida di laboratorium dianalisis dengan uji F taraf 5%, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%.


(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tampilan Makroskopis

Pengamatan dilakukan setiap hari selama 14 hari dengan cara mengukur pertambahan diameter fungi setelah diberi perlakuan dan mengamati perubahan fungi seperti bentuk, tekstur dan warna. Pengamatan makroskopis dilakukan dengan mengamati karakteristik diameter, luas dan hambatan relatif. Menurut Burgess et al. (2006) bahwa koloni Phaeophleospora sp. berwarna kemerahmudaan, pertumbuhannya lambat, dan bertekstur lembut seperti bulu. Dari hasil isolasi biakan murni diperoleh isolat dengan ciri fisik yang sama yaitu berwarna kemerahmudaan dan bertekstur lembut seperti bulu.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 2. Tampilan depan Phaeophleospora sp. pada perlakuan 0 mg/ml (a), 0.28 mg/ml (b), 0.56 mg/ml (c), 0.84 mg/ml (d), 1.12 mg/ml (e).


(31)

Pengamatan makroskopis Phaeophleospora sp. membandingkan ciri-ciri dari hasil isolasi sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan. Pada konsentrasi perlakuan 0.28 mg/ml dan 0.56 mg/ml belum terjadi perubahan fisik jika dibandingkan dengan kontrol. Perubahan fisik pada fungi mulai tampak berbeda pada konsentrasi perlakuan 0.84 mg/ml dan 1.12 mg/ml. Penambahan fungisida yang bersifat kontak memberi pengaruh terhadap pertumbuhan Phaeophleospora sp.. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sembiring (2008) yang menyatakan penambahan fungisida pada media tumbuh akan berpengaruh menekan pertumbuhan koloni Phaeophleospora sp. walaupun dengan konsentrasi rendah fungisida kontak cukup kompatibel dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan Phaeophleospora sp.

Bentuk dan warna koloni

Tabel 1. Bentuk dan warna koloni Phaeophleospora sp. pada pengamatan 14 HSI No Perlakuan (mg/ml) Bentuk koloni Warna koloni

1 0 Bulat, tebal,

bertekstur lembut seperti bulu

Kemerahmudaan

2 0.28 Bulat, tebal,

bertekstur lembut seperti bulu

Kemerahmudaan

3 0.56 Bulat, tebal,

bertekstur lembut seperti bulu

Kemerahmudaan

4 0.84 Bulat, tipis, tekstur

tidak lembut

Putih kecoklatan

5 1.12 Tidak teratur, tipis,

tekstur tidak lembut


(32)

Diameter koloni Phaeophleospora sp.

Pertumbuhan diameter Phaeophleospora sp. selama 14 HSI disajikan pada gambar 3;

Gambar 3. Grafik pertumbuhan diameter koloni fungi Phaeophleospora sp.

Pengukuran diameter dilakukan pada hari ke- 4 HSI. Pengukuran dilakukan setiap 4 hari sampai hari ke- 14 HSI. Pertumbuhan diameter koloni fungi Phaeophleospora sp. pada konsentrasi perlakuan 0 mg/ml cukup stabil dalam setiap pengamatan, hal ini berbeda dengan konsentrasi perlakuan 1.12 mg/ml yang mengalami penurunan (Gambar 3).

Pertumbuhan Phaeophleospora sp. pada konsentrasi perlakuan 1.12 mg/ml lambat, dikarenakan penambahan fungisida pada media tumbuh akan berpengaruh menekan pertumbuhan koloni Phaeophleospora sp. walaupun dengan konsentrasi rendah fungisida kontak cukup kompatibel dan berpengaruh positif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

0 mg/ml 0,28 mg/ml 0,56 mg/ml 0,84 mg/ml 1,12 mg/ml


(33)

terhadap pertumbuhan Phaeophleospora sp. Tiancang et al. (2008) juga menyatakan bahwa fungisida tembaga oksida pada dosis tertentu menunjukkan penghambatan pada perkecambahan dan pemencaran konidia pada miselium. Penghambatan perkecambahan konidia akan menurunkan jumlah konidia yang dihasilkan.

Setelah dilakukan uji statistik, respon Phaeophleospora sp. tidak berpengaruh nyata. Data pengujian statistik Phaeophleospora sp. disajikan pada tabel 2;

Tabel 2. Uji F taraf 5% diameter fungi Phaeophleospora sp.

Pengamatan F hitung F table

1 (4 HSI) 0.85 2.86

2 (8 HSI) 0.44 2.86

3 (12 HSI) 0.15 2.86

4 (14 HSI) 0.15 2.86

Uji F taraf 5% diameter fungi Phaeophleospora sp. tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan karena fungisida tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fungi dikarenakan fungisida yang digunakan bersifat kontak dimana cara kerja fungisida kontak menurut Djojosumarto (2000) hanya mematikan bagian yang terkena saja dan tidak di translokasikan dalam jaringan tanaman. Fungisida yang masuk ke bagian-bagian penting jamur memang akan mengganggu fungsi bagian tersebut dan mungkin bekerja dengan merubah susunan dinding sel dengan membatasi enzim esensial di dalam sel atau mungkin juga merubah laju metabolisme, namun tidak berarti menghambat seluruh enzim yang dihasilkan jamur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Misato dan Kakiki (1977) menyatakan bahwa fungisida tidak menghambat respirasi asam nukleat dan


(34)

sintesa protein, tetapi secara umum menghambat dan bereaksi terhadap sel atau bagian-bagian patogen dan menghambat banyak fungsi metabolisme, menghambat penggabungan glicosamine dengan zat kitin pada dinding sel.

Luas koloni Phaeophleospora sp.

Hasil pengamatan rata- rata luas koloni Phaeophleospora sp. disajikan pada tabel 3;

Tabel 3. Rata- rata luas koloni (mm) fungi Phaeophleospora sp.

Pengamatan Perlakuan (mg/ml)

Ke- 0 0.28 0,56 0,84 1,12

4 HSI 10.70 9.12 5.14 5.04 2.69

8 HSI 24.52 25.91 15.62 14.10 9.41

12 HSI 47.11 40.42 33.61 28.37 14.66

14 HSI 62.05 48.56 43.00 35.84 18.12

Berdasarkan hasil pengamatan luas koloni jamur Phaeophleospora sp. luas rata- rata yang terkecil ditunjukkan pada perlakuan yang diberi konsentrasi 1,12 mg/ml sebesar 18.12 mm2. Sedangkan, luas koloni jamur terluas ditunjukkan pada perlakuan kontrol sebesar 62.05 mm2. Luas koloni terluas pada kontrol disebabkan oleh tidak adanya faktor penghambat fungisida, sehingga pertumbuhan terus bertambah. Sedangkan pada konsentrasi perlakuan 1,12 mg/ml petumbuhan Phaeophleospora sp. lambat, hal ini sesuai pernyataan Gortz dan Dias (2011) yang menyatakan bahwa tembaga oksida mengganggu pertumbuhan jamur dengan merubah isothiocyanate dengan mematikan fungsi gugus sulphahydral pada enzim yang dihasilkan jamur sehingga merusak dinding sel


(35)

Hasil uji F taraf 5 % luas koloni fungi Phaeophleospora sp. disajikan pada tabel 4:

Tabel 4. Uji F taraf 5 % luas koloni fungi Phaeophleospora sp.

Perlakuan (mg/ml) F hitung F table

0 0.15 3.05

0.28 0.72 3.05

0.56 0.65 3.05

0.84 0.62 3.05

1.12 0.10 3.05

Berdasarkan uji F taraf 5% luas koloni jamur Phaeophleospora sp. tidak berpengaruh nyata terhadap pemberian fungisida pada setiap perlakuan.

Persentase hambatan relatif (HR) koloni Phaeophleospora sp.

Persentasi hasil hambatan relatif respon fungi Phaeophleospora sp. terhadap fungisida berbahan aktif tembaga oksida disajikan pada tabel 5;

Tabel 5. Hambatan relatif koloni jamur Phaeophleospora sp.

Perlakuan (mg/ml) Hambatan relatif (%)

0 0

0.28 11.72

0.56 17.58

0.84 24.57


(36)

Persentase daya hambat fungisida berbahan aktif tembaga oksida terhadap jamur Phaeophleospora sp. tidak berpengaruh nyata. Hal ini ditunjukkan pada persentase konsentrasi perlakuan 0 mg/ml ( 11.72%), dari persentase yang didapat konsentrasi perlakuan tersebut sangat kurang berpengaruh. Sedangkan pada konsentrasi perlakuan 1.12 mg/ml (45.88%) persentasi yang didapat konsentrasi perlakuan tersebut cukup berpengaruh. ( Irasakti dan Sukatsa, 1987) .

Pengamatan Mikroskopis Kerapatan spora

Kerapatan spora dapat diketahui setelah fungi dipanen (14 HSI) dan diukur dengan mengunakan rumus yang dikemukakan oleh Chi (1997). Berikut tabel kerapatan spora Phaeophleospora sp.;

Tabel 5. Kerapatan spora Phaeophleospora sp.

Perlakuan (mg/ml) Kerapatan spora (cfu)

0 18 x 104

0.28 9 x 104

0.56 6 x 104

0.84 5,5 x 104

1.12 5 x 104

Hasil perhitungan kerapatan spora yang dilakukan didapat hasil bahwa perlakuan konsentrasi fungisida 0.28 mg/ml memiliki kerapatan spora yg lebih besar yaitu sebesar 18 x 104 cfu dan kerapatan spora yg terkecil ditunjukkan fungi yang diberi konsentrasi fungisida 1.12 mg/ml yaitu sebesar 5 x 104 cfu. Tiancang et al. (2008) menyatakan bahwa tembaga oksida pada dosis tertentu menunjukkan


(37)

pembentukan acervuli pada miselium. Penghambatan perkecambahan konidia akan menurunkan jumlah konidia yang dihasilkan. Pembentukan acervuli penting karena acervuli merupakan konidiofor yang berperan dalam penghasilan konidia dan penyebarannya. Tembaga oksida juga menghambat banyak fungsi kerja sel jamur yang berperan dalam terganggunya transfer energi ke seluruh bagian sel. Pengamatan bentuk hifa

Pengamatan bentuk hifa bertujuan untuk mengetahui perubahan bentuk hifa setelah fungi diberi perlakuan. Dari hasil pengamatan didapat hasil sebagai berikut;

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 2. Hifa Phaeophleospora sp. pada perlakuan 0 mg/ml (a), 0.28 mg/ml (b), 0.56 mg/ml (c), 0.84 mg/ml (d), 1.12 mg/ml (e).

Phaeophleospora sp. mempunyai hifa dengan panjang antara 30-150µm dan diameternya 2µm. Sedangkan konidianya dengan panjang antara 20-120µm dan diameternya 2-5µm. Konidianya berbentuk batang agak melengkung dan


(38)

memiliki sekat rata-rata diatas 4. Menurut Old (2003) spora-spora fungi Phaeophleospora sp. berbentuk silindris ataupun berbentuk batang ramping spora secara berkelompok. Pada setiap spora terdapat berupa dinding-dinding kasar yang terdiri dari beberapa buah sekat.

Dari hasil pengamatan mikroskopis yang dilakukan tidak ada perubahan bentuk hifa yang berbeda antara konsentrasi perlakuan 0 mg/ml, 0.28 mg/ml, 0.56 mg/ml, 0.84 mg/ml dan 1.12 mg/ml.


(39)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ;

1. Tidak terdapat perbedaan respon Phaeophleospora sp. terhadap setiap konsentrasi perlakuan fungisida berbahan aktif tembaga oksida terhadap (luas, diameter, hambatan relatif, kerapatan spora) fungi Phaeophleospora sp.

2. Perubahan bentuk hifa setelah diberi perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan, namun memberikan pengaruh pada bentuk, warna, dan tekstur pada konsentrasi perlakuan 0.84 mg/ml dan 1.12 mg/ml.

Saran

Masih diperlukan penelitian lanjutan uji respon Phaeophleospora sp. terhadap fungisida berbahan aktif tembaga oksida 56% terhadap Phaeophleospora sp. diduga jenis fungi ini telah resisten terhadap bahan aktif yang terkandung di dalam fungisida.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Alfenas, A.C. 1993. Potential and Present Status of Eucalyptus and Acacia mangium in Northern Sumatera. Universidade Federal de Vicosa. Departamento de Fitopatologia. Brazil.

Barber, P.A. 2004. Forest Pathology: The Threat of Disease to Plantation Forests in Indonesia. Plant Pathology Journal, 3 (2). pp. 97-104. Murdoch University.

Djojosumarto, P.A, 2000. Tehnik Aplikasi Fungisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 46.

Gortz A & Dias L. 2011. Use of Propineb for Physiological Curative Treatment Under Zinc Deficiency. Bayer Crop Science. Jerman

Hanafiah, K. A. 2005. Rancangan Percobaan:Teori dan Aplikasi. PT Grafindo Persada, Jakarta.

Hriday Chaube, V.S. Pundhir (2006). Crop Diseases and Their Management. Prentice-Hall of India Pvt.Ltd. ISBN 978-81-203-2674-3. Page.292-3 Irasakti, L. dan Sukatsa. 1987. Uji Kemempanan Beberapa Fungisida Terhadap

Penyakit Bercak Coklat pada Tanaman Padi . Gatra Penelitian Penyakit Tumbuhan Dalam Pengendalian Secara Terpadu, PFI, Surabaya, 24-26, November, hal. 55-70.

Latifah, S. 2004. Pertanaman dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis di Hutan Tanaman Indus Magallona, E. D., Soehardjan and H. Lumban tobing, 1990. Pesticides in Estate

Crop Protection in Indonesia. Directorate General Of Estate Crop. p. 38. Misato T & Kakiki. 1977. Inhibition of Fungal Cell Wall Synthesis and Cell

Membrane Function. Antifungal Compounds Vol II. New York.

Nair, K. S. S. 2000. Insects Pest and Diseases in Indonesian Forest an Assessmentof the Major Threats, Research Efforte and Literature. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Nelwati. 2003. Uji Efektivitas Fungisida Sistematik dan Non- Sistematik Terhadap Perkembangan Penyakit Karat (Puccinia arachidis, Speg) pada Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogae L.). Universitas Sumatera Utara. Medan

Old, K.M., K. Pongpanich, P.Q. Thu, M.J. Wingfield, and Z.Q. Yuan. 2003a. Phaeophleospora Destructans Causing Leaf Blight Epidemics in South East Asia.


(41)

Old, K.M., M.J. Wingfield, and Z.Q. Yuan, 2003b. A Manual of Diseases of Eucalypts in South-East Asia. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor.

Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia. Penerbit Rajawali. Jakarta.

Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan d Indonesia: Gejala, Penyebab dan Teknik Pengendaliannya. Kanisius. Yogyakarta.

Sastroutomo, S. S., 1992. Pestisida, Dasar-Dasar Dan Dampak Penggunaanya. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Semangun, H. 2000. Penyakit- penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sembiring, K. W., 2008. Efektivitas Mancozeb Dan Metalaxy Dalam Menghambat Pertumbuhan Cylindrocladium scoparium. Hawley Boedijn et Reitsma Penyebab Penyakit Busuk Daun Teh (Camelia sinensis. L) Di Laboratorium. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Silalahi, N.R. 2008. Inventarisasi Fungi Patogen pada Daun Bibit Tanaman Eucalyptus spp. (Studi Kasus Di Pembibitan PT.Toba Pulp Lestari Porsea Sumatera Utara). Departemen Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Tidak Dipublikasikan.

Thomson, W. T., 1992. Agriculure chemicals. Book IV: Fungicides, Thomson Publication, Fresno, California. p. 153.

Tiancang Z., Zhao H., Huang L., Xi H., Zhou D., & Cheng J. 2008. Efficacy of Propineb for Controling Leaf Blotch Caused by Marssonina coronaria and its Effect on Zinc Content in Apple Leaves. J. Acta Phytophyla Sinica 35(6): 519-524.

Vogel. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jilid I. PT. Kalman Media Pusaka. Jakarta.

Widarto, L. 1996. Perbanyakan Tanaman dengan Biji, Stek, Cangkok, Sambung, Okulasi dan Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta.

Wingfield, M.J. and Crous. 1996. Kirramyces destructans. South African Journal of Botany 62: 325


(42)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data diameter Phaeophleospora sp.

Diameter koloni jamur (mm) Phaeophleospora sp konsentrasi perlakuan 0 mg/ ml

Hari ke - Ulangan Rata- rata

1 2 3 4 5

1 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

2 1.75 1.91 1.28 1.33 1.18 1.49

3 3.00 3.32 2.06 2.16 1.86 2.48

4 4.24 4.75 2.85 3.00 3.25 3.61

5 4.93 4.93 3.33 3.55 3.68 4.08

6 5.61 5.11 3.86 4.10 4.11 4.55

7 6.29 5.29 4.39 4.65 4.49 5.02

8 7.00 5.50 5.00 5.20 5.00 5.54

9 7.30 6.00 5.80 5.70 5.70 6.10

10 7.60 6.60 6.60 6.00 6.00 6.56

11 8.00 7.10 7.30 6.80 6.80 7.20

12 8.30 7.50 8.00 7.40 7.50 7.74

13 8.60 8.00 9.00 7.90 8.00 8.30

14 9.00 8.50 10.0 8.25 8.60 8.87

Diameter koloni jamur (mm) Phaeophleospora sp konsentrasi perlakuan 0.28 mg/ml

Hari ke- Ulangan Rata- rata

1 2 3 4 5

1 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

2 1.33 1.50 1.05 1.66 1.66 1.44

3 2.16 2.50 1.60 2.82 2.62 2.34

4 3.00 3.50 2.70 4.00 3.69 3.33

5 4.12 3.87 3.15 4.50 4.08 3.94

6 5.24 4.24 3.60 5.00 4.47 4.51

7 6.36 4.61 4.05 5.50 4.86 5.07


(43)

10 7.86 5.60 5.40 7.00 5.99 6.37

11 8.04 6.10 5.85 7.50 6.36 6.77

12 8.22 6.40 6.30 8.00 6.73 7.13

13 8.30 6.70 6.85 8.50 7.10 7.49

14 8.40 7.00 7.25 9.00 7.50 7.83

Diameter koloni jamur (mm) Phaeophleospora sp konsentrasi perlakuan 0.56 mg/ml

Hari ke- Ulangan Rata- rata

1 2 3 4 5

1 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

2 0.90 1.33 1.00 0.80 1.60 1.12

3 1.33 2.16 1.50 1.10 2.70 1.75

4 1.77 3.00 2.00 1.50 3.80 2.41

5 2.11 3.81 2.37 1.90 4.16 2.87

6 2.55 4.62 2.74 2.40 4.52 3.36

7 2.99 5.43 3.11 2.70 4.88 3.82

8 3.33 6.25 3.50 3.10 5.25 4.28

9 3.77 6.57 4.13 4.20 5.45 4.82

10 4.21 6.89 4.76 5.10 5.59 5.31

11 4.65 7.31 5.39 6.60 5.76 5.94

12 5.02 7.53 6.02 7.80 5.93 6.46

13 5.49 7.85 6.65 8.10 6.10 6.83

14 5.80 8.20 7.30 8.95 6.30 7.31

Diameter koloni jamur (mm) Phaeophleospora sp konsentrasi perlakuan 0.84 mg/ml

Hari ke- Ulangan Rata- rata

1 2 3 4 5

1 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

2 1.10 0.96 1.20 1.00 1.40 1.13

3 1.70 1.42 1.90 1.50 2.30 1.76

4 2.50 1.90 2.60 2.00 3.40 2.48

5 2.87 3.23 2.95 2.65 3.85 3.11


(44)

7 3.61 2.89 3.65 3.95 4.75 3.77

8 4.00 3.25 4.00 4.50 5.20 4.19

9 4.83 3.58 4.51 4.79 5.45 4.63

10 5.66 3.91 5.02 5.08 5.70 5.07

11 6.49 4.24 5.53 5.37 5.95 5.51

12 7.32 4.57 6.04 5.60 6.20 5.94

13 7.70 4.90 6.55 5.89 6.45 6.29

14 8.15 5.25 7.10 6.25 6.70 6.69

Diameter koloni jamur (mm) Phaeophleospora sp konsentrasi perlakuan 1.12 mg/ml

Hari ke - Ulangan Rata- rata

1 2 3 4 5

1 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

2 0.75 1.03 1.00 0.82 1.10 0.94

3 1.00 1.56 1.50 1.14 1.70 1.38

4 1.50 2.10 2.00 1.46 2.10 1.83

5 1.87 2.57 2.37 1.78 2.55 2.22

6 2.24 3.04 2.74 2.10 3.00 2.62

7 2.61 3.51 3.11 2.42 3.45 3.02

8 3.00 4.00 3.50 2.74 3.90 3.42

9 3.35 4.20 3.73 3.06 3.99 3.66

10 3.70 4.30 3.96 3.38 4.08 3.88

11 4.05 4.40 4.19 3.70 4.17 4.10

12 4.40 4.50 4.42 4.02 4.26 4.32

13 4.75 4.60 4.65 4.34 4.35 4.53


(45)

Lampiran 2. Uji F Taraf 5% Diameter Fungi Phaeophleospora sp. Pengamatan I

Perlakuan Ulangan

(mg/ml) R1 R2 R3 R4 R5

0 4.24 4.75 2.85 3.00 3.25

0.28 3.00 3.50 2.70 4.00 3.69

0.56 1.77 3.00 2.00 1.50 3.80

0.84 2.50 1.90 2.60 2.00 3.40

1.12 1.50 2.10 2.00 1.46 2.10

Tabel ANOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F. Hitung P-value F. Tabel Perlakuan 2.951576 4 0.737894 0.8510

48

0.5097 19

2.8660 81

Galat 17.34084 20 0.867042

Total 20.29242 24

Pengamatan II Perlakuan

(mg/ml) Ulangan

R1 R2 R3 R4 R5

0 7.00 5.50 5.00 5.20 5.00

0.28 7.50 5.00 4.50 6.00 5.25

0.56 3.33 6.25 3.50 3.10 5.25

0.84 4.00 3.25 4.00 4.50 5.20

1.12 3.00 4.00 3.50 2.74 3.90

Tabel ANNOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F. hitung P-value F. tabel Perlakuan 3.049264 4 0.762316 0.4436

66

0.7756 49

2.8660 81

Galat 34.3644 20 1.71822

Total 37.41366 24

Pengamatan III

Perlakuan Ulangan


(46)

0 8.30 7.50 8.00 7.40 7.50

0.28 8.22 6.40 6.30 8.00 6.73

0.56 5.02 7.53 6.02 7.80 5.93

0.84 7.32 4.57 6.04 5.60 6.20

1.12 4.40 4.50 4.42 4.02 4.26

Tabel ANNOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F. hitung P-value F. tabel Perlakuan 1.417344 4 0.354336 0.1531

05

0.9593 73

2.8660 81

Galat 46.28664 20 2.314332

Total 47.70398 24

Pengamatan IV

Perlakuan Ulangan

(mg/ml) R1 R2 R3 R4 R5

0 9.00 8.50 10.0 8.25 8.60

0.28 8.40 7.00 7.25 9.00 7.50

0.56 5.80 8.20 7.30 8.95 6.30

0.84 8.15 5.25 7.10 6.25 6.70

1.12 5.15 4.80 4.90 4.70 4.45

Tabel ANNOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F. hitung P-value F. tabel Perlakuan 1.417344 4 0.354336 0.1531

05

0.9593 73

2.8660 81

Galat 46.28664 20 2.314332


(47)

Lampiran 3. Uji F Taraf 5% Luas Fungi Phaeophleospora sp. Luas fungi Phaeophleospora sp. konsentrasi perlakuan 0 mg/ml

Pengamatan ke- R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 14.11 17.71 6.37 7.06 8.29 10.70

2 38.4 23.74 19.62 21.22 19.62 24.52

3 54.07 44.15 50.24 42.98 44.15 47.11

4 63.58 56.71 78.5 53.42 58.05 62.05

Tabel ANNOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung

P-value F tabel Perlakuan 341.9343 4 85.48357 0.1533

37

0.9585 37

3.0555 68 Galat 8362.331 15 557.4887

Total 8704.265 19

Luas fungi Phaeophleospora sp. konsentrasi perlakuan 0,28 mg/ml

Pengamatan ke- R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 7.06 9.61 5.72 12.56 10.68 9.12

2 44.15 19.62 15.89 28.26 21.63 25.91

3 53.04 32.15 31.15 50.24 35.54 40.42

4 55.38 38.46 41.26 63.58 44.15 48.56

Tabel ANNOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F

hitung P-value F tabel Perlakuan 958.7023 4 239.6756 0.7251

78

0.5882 97

3.0555 68 Galat 4957.589 15 330.5059


(48)

Luas fungi Phaeophleospora sp. konsentrasi perlakuan 0,56 mg/ml

Pengamatan ke R1 R2 R3 R4 R5 Rata-rata

1 2.45 7.06 3.14 1.76 11.33 5.14

2 8.7 30.66 9.61 7.54 21.63 15.62

3 19.78 44.51 28.44 47.75 27.6 33.61

4 26.4 52.78 41.83 62.88 31.15 43.00

Tabel ANNOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F

hitung P-value F tabel Perlakuan 941.7196 4 235.4299 0.6528

25

0.6338 03

3.0555 68 Galat 5409.488 15 360.6325

Total 6351.207 19

Luas fungi Phaeophleospora sp. konsentrasi perlakuan 0,84 mg/ml

Pengamatan ke- R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 4.9 2.83 5.3 3.14 9.07 5.04

2 12.56 8.29 12.56 15.89 21.22 14.10

3 42.06 16.39 28.63 24.61 30.17 28.37

4 52.14 21.63 39.57 30.66 35.23 35.84

Tabel ANNOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F

hitung P-value F tabel Perlakuan 553.3251 4 138.3313 0.6279

47

0.6499 53

3.0555 68 Galat 3304.367 15 220.2912

Total 3857.693 19

Luas fungi Phaeophleospora sp. konsentrasi perlakuan 1,12 mg/ml

Pengamatan ke R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 1.76 3.46 3.14 1.67 3.46 2.69

2 7.06 12.56 9.61 5.89 11.93 9.41


(49)

Tabel ANNOVA Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

F

hitung P-value F tabel Perlakuan 20.91217 4 5.228043 0.1096

45

0.9772 64

3.0555 68 Galat 715.2241 15 47.68161


(1)

7 3.61 2.89 3.65 3.95 4.75 3.77

8 4.00 3.25 4.00 4.50 5.20 4.19

9 4.83 3.58 4.51 4.79 5.45 4.63

10 5.66 3.91 5.02 5.08 5.70 5.07

11 6.49 4.24 5.53 5.37 5.95 5.51

12 7.32 4.57 6.04 5.60 6.20 5.94

13 7.70 4.90 6.55 5.89 6.45 6.29

14 8.15 5.25 7.10 6.25 6.70 6.69

Diameter koloni jamur (mm)

Phaeophleospora sp

konsentrasi perlakuan 1.12

mg/ml

Hari ke - Ulangan Rata- rata

1 2 3 4 5

1 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

2 0.75 1.03 1.00 0.82 1.10 0.94

3 1.00 1.56 1.50 1.14 1.70 1.38

4 1.50 2.10 2.00 1.46 2.10 1.83

5 1.87 2.57 2.37 1.78 2.55 2.22

6 2.24 3.04 2.74 2.10 3.00 2.62

7 2.61 3.51 3.11 2.42 3.45 3.02

8 3.00 4.00 3.50 2.74 3.90 3.42

9 3.35 4.20 3.73 3.06 3.99 3.66

10 3.70 4.30 3.96 3.38 4.08 3.88

11 4.05 4.40 4.19 3.70 4.17 4.10

12 4.40 4.50 4.42 4.02 4.26 4.32

13 4.75 4.60 4.65 4.34 4.35 4.53


(2)

Lampiran 2. Uji F Taraf 5% Diameter Fungi

Phaeophleospora sp.

Pengamatan I

Perlakuan

Ulangan

(mg/ml)

R1

R2

R3

R4

R5

0

4.24

4.75

2.85

3.00

3.25

0.28

3.00

3.50

2.70

4.00

3.69

0.56

1.77

3.00

2.00

1.50

3.80

0.84

2.50

1.90

2.60

2.00

3.40

1.12

1.50

2.10

2.00

1.46

2.10

Tabel ANOVA

Sumber

keragaman

Jumlah

kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

tengah

F.

Hitung

P-value

F.

Tabel

Perlakuan

2.951576

4

0.737894

0.8510

48

0.5097

19

2.8660

81

Galat

17.34084

20

0.867042

Total

20.29242

24

Pengamatan II

Perlakuan

(mg/ml)

Ulangan

R1

R2

R3

R4

R5

0

7.00

5.50

5.00

5.20

5.00

0.28

7.50

5.00

4.50

6.00

5.25

0.56

3.33

6.25

3.50

3.10

5.25

0.84

4.00

3.25

4.00

4.50

5.20

1.12

3.00

4.00

3.50

2.74

3.90

Tabel ANNOVA

Sumber

keragaman

Jumlah

kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

tengah

F.

hitung

P-value

F.

tabel

Perlakuan

3.049264

4

0.762316

0.4436

66

0.7756

49

2.8660

81

Galat

34.3644

20

1.71822

Total

37.41366

24

Pengamatan III

Perlakuan

Ulangan


(3)

0

8.30

7.50

8.00

7.40

7.50

0.28

8.22

6.40

6.30

8.00

6.73

0.56

5.02

7.53

6.02

7.80

5.93

0.84

7.32

4.57

6.04

5.60

6.20

1.12

4.40

4.50

4.42

4.02

4.26

Tabel ANNOVA

Sumber

keragaman

Jumlah

kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

tengah

F.

hitung

P-value

F.

tabel

Perlakuan

1.417344

4

0.354336

0.1531

05

0.9593

73

2.8660

81

Galat

46.28664

20

2.314332

Total

47.70398

24

Pengamatan IV

Perlakuan

Ulangan

(mg/ml)

R1

R2

R3

R4

R5

0

9.00

8.50

10.0

8.25

8.60

0.28

8.40

7.00

7.25

9.00

7.50

0.56

5.80

8.20

7.30

8.95

6.30

0.84

8.15

5.25

7.10

6.25

6.70

1.12

5.15

4.80

4.90

4.70

4.45

Tabel ANNOVA

Sumber

keragaman

Jumlah

kuadrat

Derajat

bebas

Kuadrat

tengah

F.

hitung

P-value

F.

tabel

Perlakuan

1.417344

4

0.354336

0.1531

05

0.9593

73

2.8660

81

Galat

46.28664

20

2.314332


(4)

Lampiran 3. Uji F Taraf 5% Luas Fungi

Phaeophleospora sp.

Luas fungi

Phaeophleospora sp.

konsentrasi perlakuan 0 mg/ml

Pengamatan ke- R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 14.11 17.71 6.37 7.06 8.29 10.70

2 38.4 23.74 19.62 21.22 19.62 24.52

3 54.07 44.15 50.24 42.98 44.15 47.11

4 63.58 56.71 78.5 53.42 58.05 62.05

Tabel ANNOVA

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

F hitung

P-value F tabel Perlakuan 341.9343 4 85.48357 0.1533

37

0.9585 37

3.0555 68 Galat 8362.331 15 557.4887

Total 8704.265 19

Luas fungi

Phaeophleospora sp.

konsentrasi perlakuan 0,28 mg/ml

Pengamatan ke- R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 7.06 9.61 5.72 12.56 10.68 9.12

2 44.15 19.62 15.89 28.26 21.63 25.91

3 53.04 32.15 31.15 50.24 35.54 40.42

4 55.38 38.46 41.26 63.58 44.15 48.56

Tabel ANNOVA

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

F

hitung P-value F tabel Perlakuan 958.7023 4 239.6756 0.7251

78

0.5882 97

3.0555 68 Galat 4957.589 15 330.5059


(5)

Luas fungi

Phaeophleospora sp.

konsentrasi perlakuan 0,56 mg/ml

Pengamatan ke R1 R2 R3 R4 R5 Rata-rata

1 2.45 7.06 3.14 1.76 11.33 5.14

2 8.7 30.66 9.61 7.54 21.63 15.62

3 19.78 44.51 28.44 47.75 27.6 33.61

4 26.4 52.78 41.83 62.88 31.15 43.00

Tabel ANNOVA

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

F

hitung P-value F tabel Perlakuan 941.7196 4 235.4299 0.6528

25

0.6338 03

3.0555 68 Galat 5409.488 15 360.6325

Total 6351.207 19

Luas fungi

Phaeophleospora sp.

konsentrasi perlakuan 0,84 mg/ml

Pengamatan ke- R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 4.9 2.83 5.3 3.14 9.07 5.04

2 12.56 8.29 12.56 15.89 21.22 14.10

3 42.06 16.39 28.63 24.61 30.17 28.37

4 52.14 21.63 39.57 30.66 35.23 35.84

Tabel ANNOVA

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

F

hitung P-value F tabel Perlakuan 553.3251 4 138.3313 0.6279

47

0.6499 53

3.0555 68 Galat 3304.367 15 220.2912

Total 3857.693 19

Luas fungi

Phaeophleospora sp.

konsentrasi perlakuan 1,12 mg/ml

Pengamatan ke R1 R2 R3 R4 R5 Rata- rata

1 1.76 3.46 3.14 1.67 3.46 2.69

2 7.06 12.56 9.61 5.89 11.93 9.41

3 15.19 15.89 15.33 12.68 14.24 14.66


(6)

Tabel ANNOVA

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

F

hitung P-value F tabel Perlakuan 20.91217 4 5.228043 0.1096

45

0.9772 64

3.0555 68 Galat 715.2241 15 47.68161