Latar Belakang BAB I

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pelaksanaan pembangunan nasional di gariskan kebijakan nasional di bidang pertanahan, sebagaimana di muat dalam Pasal 33 ayat 3 Undang- undang Dasar 1945, yang menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 1 Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Seiring bertambahnya jumlah penduduk maka semakin meningkat pula kebutuhan orang akan tanah. Dalam masyarakat kita, perolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak, yaitu dengan melalui jual beli. Pemindahan HakPeralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak antara lain: Jual beli, Hibah, Tukar menukar, Pemisahan dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan atau inbreng. 2 Perbuatan hukum jual beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima pembayaran dan bersamaan dengan itu menyerahkan suatu barang yang dijualnya kepada pembeli. Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional didasarkan pada pengertian jual beli 1 Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Universitas Trisakti, 2009, Hal. 1 2 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1987, hal. 37 tanah menurut Hukum Adat, yaitu perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga baik seluruhnya maupun sebagian dari pembeli kepada penjual, yang dilaksanakan secara terang dan tunai. 3 Terang, mengandung arti bahwa perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan, dihadapan pejabat yang berwenang membuat akta jual belinya Pejabat Pembuat Akta Tanah. 4 Tunai, mengandung arti adanya dua perbuatan yang dilakukan secara bersama serentak. Yaitu: 5 1. Pemindahan Hak pemindahan penguasaan yuridis, dari penjual kepada pembeli. 2. Pembayaran harga baik sebagian maupun seluruhnya, dari pembeli kepada penjual. Berbeda dengan jual beli menurut hukum barat dalam pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata, di mana jual beli diartikan sebagai suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan”. 6 Dalam Hukum pertanahan Indonesia dikenal bahwa jual beli tanah dilakukan secara terang dan tunai dalam artian penyerahan dan pembayaran jual beli hak milik atas tanah dilakukan pada saat bersamaan tunai dihadapan seorang PPAT terang. 7 Penambahan terang dan tunai dalam jual beli hak atas tanah disebabkan karena hukum tanah Indonesia mengadopsi aturan-aturan hukum adat. Pandangan hukum adat menyatakan bahwa jual beli atas bidang tanah 3 Irene Eka Sihombing, Op.cit, hal. 68 4 Ibid. hal. 69 5 Ibid 6 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 366 7 Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, Jual Beli, Jakarta: Raja Grafindo, 2003, hal. 87 telah terjadi antara penjual dan pembeli bila diketahui oleh Kepala Kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh dua orang saksi. 8 Dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak atas tanah, jual beli hak atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagimana diatur dalam Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah Lemabaran Negara Nomor 59 Tahun 1997, Tambahan lembaran Negara Nomor 3696, menyatakan bahwa: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui pula beli, tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan dan perusahaan dan perbuatan hokum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, peralihan hak atas tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi untuk tanah yang berstatus tanah kavling yang dikuasai dengan itikad baik yang belum bersertipikat di mana di atasnya berdiri bangunan maka terhadap tanah tersebut dapat diperjualbelikan dengan menggunakan akta jual beli rumah dan pengoperan hak yang dibuat Notaris, dimana notaris mempunyai kewenangan pula “ membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan. 9 Adapun alasan yang mendasari mengapa menggunakan akta notaris padahal yang dioperkan adalah termasuk penggunaaan sebidang 8 Sahat Sinaga, Jual Beli Tanah dan Peralihan, Jakarta: Pustaka Sutra, 2007, hal.17 9 Undang-undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Uandang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 15 ayat 2 huruf e tanah dengan mengingat belum adanya alas hak atas bidang tanah tersebut. Oleh karena itu untuk mendapatkan status hak atas tanah kavling yang dilakukan dengan akta jual beli dan pengoperan hak yang dilanjutkan dengan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan KotamadyaKabupaten setempat dengan melampirkan akta jual beli dan pengoperan hak sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum jual beli, sedangkan bukti-bukti atau surat-surat yang ada lainnya adalah untuk menegaskan bahwa sebidang tanah tersebut layak untuk di daftarkan dan dibuatkan sertipikat Hak Milik. Menurut pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bahwa “Untuk keperluan pendaftaran hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi-saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftarkan hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Guna menjamin kepastian hukum mengenai kepemilikan bidang tanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA sendiri memerintahkan pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan haknya. Pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA, yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 28, dan kemudian di ganti dengan peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59. Peratuaran ini merupakan pelaksanaan Pendaftaran Tanah dalam rangka Rechtkadaster yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah dapat membuktikan dirinya merupakan pemegang hak yang bersangkutan dan bagi para pihak yang berkepentingan. Salah satu kasus yang ingin penulis angkat dalam penulisan tesis ini adalah mengenai perbuatan hukum pemindahan hak jual beli tanah kavling di Jelambar Jakarta Barat atas tanah seluas 64 m 2 terletak di jalan Setia Jaya III68 RT. 008 RW. 008, Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. tanah tersebut tercatat atas nama Djafar Lubis yang dibuktikan dengan Surat Penunjukan Kavling Nomor 327SPKIIJB2012 tertanggal 24 Pebruari 2012. Pada tanggal 21 April 2014 tanah tersebut dijual kepada Nina Silvia sebagai pembeli dengan dibuatkan akta jual beli dan pengoperan hak di hadapan Notaris. Kemudian dengan dasar Surat Penunjukan Kavling dan akta jual beli dan pengoperan hak, pembeli mengajukan permohonan pendaftaran tanah di Kantor Badan Pertanahan di Jakarta Barat. Melihat latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk menulis dalam sebuah tesis yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERBUATAN HUKUM PEMINDAHAN HAK JUAL BELI TANAH KAVLING SEBAGAI DASAR PENDAFTARAN TANAH DI JELAMBAR JAKARTA BARAT”.

B. Permasalahan