- 11 - BAB VII
PEMBERDAYAAN Pasal 14
1 Pemerintah kabupaten melakukan pemberdayaan
HIPPAGHIPPAIHIPPA dengan menetapkan strategi dan program pemberdayaan berdasarkan kebijakan kabupaten dalam
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dengan kegiatan :
a. Memberi bantuan teknis kepada HIPPAGHIPPAIHIPPA dalam melaksanakan pemberdayaan.
b. melakukan penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat
petani; c. mendorong masyarakat petani untuk menerapkan teknologi
tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan, sumber daya, dan kearifan lokal;
2 Pemberdayaan HIPPAGHIPPAIHIPPA dilakukan secara
berkelanjutan sesuai dengan tingkat perkembangan dinamika masyarakat dan mengacu pada proses pelaksanaan
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara terkoordinasi oleh instansi terkait di kabupaten.
3 Pemberdayaan diarahkan untuk memandirikan organisasi sehingga dapat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi. 4 Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan
melalui penguatan yang meliputi: a. pembentukan organisasi sampai berstatus badan hukum, hak
dan kewajiban anggota, manajemen organisasi, pengakuan keberadaannya, dan tanggung jawab pengelolaan irigasi di
wilayah kerjanya;
b. kemampuan teknis pengelolaan irigasi dan teknis usaha tani; dan
c. kemampuan pengelolaan keuangan dalam upaya mengurangi ketergantungan dari pihak lain.
5 Sasaran pemberdayaan diarahkan pada terbentuknya
HIPPAGHIPPAIHIPPA yang mandiri dalam aspek kelembagaan, teknis, dan pembiayaan agar mampu berpartisipasi dalam
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di wilayah kerjanya.
BAB VIII PENGELOLAAN AIR IRIGASI
Bagian Kesatu Pengakuan atas Hak Adat
Pasal 15
Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumberdaya air mengakui hak hukum adat dan hak yang serupa berkaitan
penggunaan air dan sumber air untuk irigasi sebatas kebutuhan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua Hak Guna Air untuk Irigasi
Pasal 16
1 Hak guna air untuk irigasi berupa hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi.
- 12 - 2 Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan untuk pertanian rakyat.
3 Hak guna usaha untuk irigasi diberikan untuk keperluan pengusahaan di bidang pertanian.
Pasal 17
1 Pengembang yang akan melaksanakan pembangunan sistem irigasi baru, atau peningkatan sistem irigasi yang sudah ada, wajib
mengajukan permohonan ijin prinsip alokasi air kepada bupati. 2 Bupati dapat menyetujui atau menolak permohonan ijin alokasi air
kepada pengembang berdasarkan hasil kajian dengan memperhatikan ketersediaan air, kebutuhan air irigasi, aspek lingkungan, dan
kepentingan lainnya.
3 Dalam rangka keberlanjutan irigasiijin alokasi air untuk pengembangan irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten yang
mempunyai luasan sampai 1.000 ha harus mendapatkan rekomendasi Bupati.
4 Dalam hal permohonan ijin alokasi air disetujui, pengembang dapat melaksanakan pembangunan sistem irigasi baru atau peningkatan
sistem irigasi yang sudah ada. 5 Ijin alokasi air ditetapkan menjadi hak guna air untuk irigasi oleh bupati
sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan ketersediaan air, kebutuhan air irigasi, aspek lingkungan, dan kepentingan lainnya
berdasarkan permintaan HIPPAGHIPPAIHIPPA, badan usaha, badan sosial, atau perseorangan, untuk jaringan irigasi yang telah selesai
dibangun.
6 Ketentuan mengenai ijin alokasi air sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan hak guna air untuk irigasi akan diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 18
1 Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan tanpa ijin kepada masyarakat petani melalui HIPPAGHIPPAIHIPPA dan bagi pertanian rakyat yang
berada dalam sistem irigasi yang sudah ada. 2 Hak guna pakai air untuk irigasi bagi pertanian rakyat pada sistem
irigasi baru dan sistem irigasi yang ditingkatkan diberikan ijin kepada masyarakat petani melalui HIPPAGHIPPAIHIPPA berdasarkan
permohonan ijin pemakai air irigasi.
3 Hak guna pakai air untuk irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diperoleh HIPPAGHIPPAIHIPPA pada pintu pengambilan
di bangunan utama dan diwujudkan dalam bentuk Keputusan Bupati dilengkapi jumlah air yang dapat disediakan dan rincian daftar petak
sawah yang mendapatkan air dari saluran primer, sekunder dan tersier.
4 Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan pada suatu sistem irigasi sesuai dengan luas daerah irigasi yang dimanfaatkan.
5 Hak guna pakai air untuk irigasi dievaluasi setiap 5 lima tahun oleh bupati sesuai kewenangannya atau pejabat yang ditunjuk untuk
mengkaji ulang kesesuaian antara hak guna pakai air untuk irigasi dengan penggunaan air dan ketersediaan air pada sumbernya.
Pasal 19
1 Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan kepada badan usahabadan sosial atau perseorangan berdasarkan ijin bupati berdasarkan
permohonan atas pengusahaan air untuk air irigasi. 2 Persetujuan atas permohonan ijin dilakukan secara selektif dengan
tetap mengutamakan penggunaan air untuk permukaan kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat.
- 13 - 3 Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk daerah pelayanan
tertentu pada pintu pengambilan pada bangunan utama. 4 Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk daerah pelayanan
tertentu paling lama 10 sepuluh tahun dan dapat diperpanjang. 5 Hak guna usaha air untuk irigasi dievaluasi setiap 5 lima tahun sekali
yang ditetapkan oleh bupati sesuai dengan kewenangannya atau pejabat yang ditunjuk untuk mengkaji ulang kesesuaian antara hak
guna usaha air untuk irigasi dengan penggunaan air dan ketersediaan air pada sumbernya.
6 Hasil evaluasi dipergunakan sebagai dasar untuk
keberlanjutanpenyesuaian atau pencabutan hak guna usaha air untuk irigasi.
Pasal 20
Hak guna pakai air atau hak guna usaha air untuk irigasi dapat ditinjau kembali apabila persyaratan yang dijadikan dasar penetapan hak guna air
untuk irigasi mengalami perubahan yang mendasar.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian ijin untuk memperoleh hak guna air untuk irigasi diatur lebih lanjut dengan peraturan
bupati.
Bagian Ketiga Penyediaan air irigasi
Pasal 22
1 Penyediaan air irigasi ditujukan untuk mendukung produktivitas lahan dalam rangka meningkatkan produksi pertanian yang maksimal.
2 Dalam hal tertentu, penyediaan air irigasi dapat diberikan dalam batas tertentu untuk pemenuhan kebutuhan lainnya.
Pasal 23
1 Penyediaan air irigasi direncanakan berdasarkan pada prakiraan ketersediaan air pada sumbernya dan digunakan sebagai dasar
penyusunan rencana tata tanam. 2 Dalam penyediaan air irigasi, pemerintah kabupaten sesuai dengan
kewenangannya mengupayakan: a.Optimalisasi pemanfaatan air irigasi pada daerah irigasi atau antar
daerah irigasi. b.Keandalan ketersediaan air irigasi serta pengendalian dan
perbaikan mutu air irigasi dalam rangka penyediaan air irigasi. 3 Penyusunan rencana tata tanam dilaksanakan oleh dinas kabupaten
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan HIPPA yang dikoordinasi oleh GHIPPAIHIPPA.
4 Rencana tata tanam di seluruh daerah irigasi yang terletak dalam suatu kabupaten, dibahas dan disepakati dalam komisi irigasi
kabupaten serta ditetapkan oleh bupati. 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan air irigasi untuk
penyusunan rencana tata tanam diatur dengan peraturan Bupati.
Pasal 24
1 Penyusunan rencana tata tanam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 3 dilaksanakan oleh dinas kabupaten sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan usulan HIPPA yang dikoordinasi oleh GHIPPAIHIPPA.
- 14 - 2 Rencana tata tanam di seluruh daerah irigasi disusun oleh dinas
kabupaten dibahas dan disepakati dalam komisi irigasi kabupaten serta ditetapkan oleh bupati.
3Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan air irigasi untuk penyusunan rencana tata tanam diatur dengan peraturan bupati.
Pasal 25
1 Penyediaan air irigasi disusun dalam rencana tahunan penyediaan air irigasi pada setiap daerah irigasi.
2 Rancangan rencana tahunan penyediaan air irigasi disusun oleh dinas kabupaten sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan
HIPPAGHIPPAIHIPPA yang didasarkan pada rancangan rencana tata tanam dan dibahas serta disepakati dalam komisi irigasi
kabupaten sesuai dengan daerah irigasinya.
3 Rancangan rencana tahunan penyediaan air irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan oleh komisi irigasi kabupaten
dalam rapat dewan sumber daya air yang bersangkutan guna mendapatkan alokasi air untuk irigasi.
4 Rancangan rencana tahunan penyediaan air irigasi ditetapkan oleh bupati sesuai dengan kewenangannya.
5 Dalam hal ketersediaan air dari sumber air tidak mencukupi sehingga menyebabkan perubahan rencana penyediaan air yang
mengakibatkan perubahan alokasi air untuk irigasi, HIPPAGHIPPAIHIPPA menyesuaikan kembali rancangan rencana
tata tanam di daerah irigasi yang bersangkutan.
Pasal 26
1 Dewan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 3 merupakan suatu wadah koordinasi yang mempunyai
tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air untuk kepentingan irigasi dan non-
irigasi.
2 Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.
3 Susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dengan keputusan
bupati.
Pasal 27
Dalam hal terjadi kekeringan pada sumber air yang mengakibatkan terjadinya kekurangan air irigasi sehingga diperlukan substitusi air irigasi,
pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya dapat mengupayakan tambahan pasokan air irigasi dari sumber air lainnya atau
melakukan penyesuaian penyediaan dan pengaturan air irigasi setelah memperhatikan masukan dari komisi irigasi kabupaten sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat Pengaturan air irigasi
Pasal 28
1 Pelaksanaan pengaturan air irigasi didasarkan atas rencana tahunan pengaturan air irigasi yang memuat rencana tahunan pembagian dan
pemberian air irigasi.
- 15 - 2 Rancangan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi
disusun oleh dinas kabupaten sesuai dengan kewenangannya berdasarkan rencana tahunan penyediaan air irigasi dan usulan
HIPPAGHIPPAIHIPPA mengenai kebutuhan air dan rencana tata tanam.
3 Rancangan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi dibahas dan disepakati oleh komisi irigasi kabupaten sesuai dengan
daerah irigasinya dengan memperhatikan kebutuhan air untuk irigasi yang disepakati GHIPPAIHIPPA di setiap daerah irigasi.
4 Rancangan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi, yang telah disepakati oleh komisi irigasi ditetapkan oleh bupati sesuai
dengan kewenangan danatau wewenang yang ditugaskan kepada pemerintah kabupaten.
Pasal 29
1 Pembagian dan pemberian air irigasi berdasarkan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi, dimulai dari petak primer,
sekunder sampai dengan tersier dilakukan oleh pelaksana pengelolaan irigasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
2 Pembagian air irigasi dalam jaringan primer danatau jaringan
sekunder dilakukan melalui bangunan bagi atau bangunan bagi-sadap. 3
Pemberian air irigasi ke petak tersier harus dilakukan melalui bangunan sadap atau bangunan bagi-sadap.
4 Dalam hal penyediaan air irigasi tidak mencukupi, pengaturan air irigasi dilakukan secara bergilir yang ditetapkan oleh bupati sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 30
1 Penggunaan air irigasi di tingkat tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA.
2 Penggunaan air irigasi dilakukan dari saluran tersier atau saluran kuarter pada tempat pengambilan yang telah ditetapkan oleh HIPPA.
Bagian Kelima Drainase
Pasal 31
1 Setiap pembangunan jaringan dilengkapi dengan pembangunan
jaringan drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang bersangkutan.
2 Jaringan drainase berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air agar tidak mengganggu produktivitas lahan.
3 Kelebihan air irigasi yang dialirkan melalui jaringan drainase harus dijaga kualitasnya dengan upaya pencegahan pencemaran agar
memenuhi persayaratan kualitas berdasarkan peraturan perundang- undangan.
4 Pemerintah Kabupaten, HIPPAGHIPPAIHIPPA, dan masyarakat
berkewajiban menjaga kelangsungan fungsi drainase.
Bagian Keenam Penggunaan Air Untuk Irigasi Langsung dari Sumber Air
Pasal 32
1 Penggunaan air untuk irigasi yang diambil langsung dari sumber air permukaan harus mendapat izin dari Bupati sesuai dengan
kewenangannya. 2 Penggunaan air untuk irigasi yang diambil langsung dari cekungan air
tanah harus mendapat izin dari Bupati sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- 16 - BAB IX
PENGEMBANGAN JARINGAN IRIGASI Bagian Kesatu
Pembangunan Jaringan Irigasi Pasal 33
1 Pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumberdaya air di wilayah sungai dengan
memperhatikan rencana pembangunan pertanian sesuai dengan norma, standar, pedoman dan manual.
2 Pembangunan jaringan irigasi harus mendapat ijin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.
3 Pengawasan pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan oleh
pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 34
1 Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder.
2 Pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh GHIPPAIHIPPA sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya
berdasarkan izin dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.
3 Pembangunan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA.
4 Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan pembangunan jaringan irigasi tersier yang menjadi hak dan tanggung jawabnya, pemerintah
kabupaten dapat membantu pembangunan jaringan irigasi tersier berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip
kemandirian.
5 Badan usaha, badan sosial, atau perseorangan yang memanfaatkan air dari sumber air melalui jaringan irigasi yang dibangun pemerintah
dapat membangun jaringannya sendiri setelah memperoleh izin dan persetujuan desain dari pemerintahan sesuai dengan kewenangannya.
6 Pedoman mengenai tata cara pemberian izin pembangunan jaringan irigasi ditetapkan dengan peraturan bupati.
Bagian Kedua Peningkatan Jaringan Irigasi
Pasal 35
1 Peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai dengan memperhatikan
rencana pembangunan pertanian dan sesuai dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang berlaku.
2 Peningkatan jaringan irigasi harus mendapat izin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.
3 Pengawasan peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.
4 Pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder.
5 Peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh GHIPPAIHIPPA sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya
berdasarkan izin dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya.
6 Peningkatan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA.
- 17 - 7 Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan peningkatan jaringan
irigasi tersier yang menjadi hak dan tanggung jawabnya, Pemerintah kabupaten dapat membantu peningkatan jaringan irigasi berdasarkan
permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian.
8 Badan usaha, badan sosial, atau perseorangan yang memanfaatkan air dari sumber air melalui jaringan irigasi yang dibangun pemerintah
dapat meningkatkan jaringannya sendiri setelah memperoleh izin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 36
1 Pengubahan danatau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder yang mengakibatkan perubahan bentuk dan fungsi jaringan
irigasi primer dan sekunder harus mendapat izin dari Bupati sesuai dengan kewenangannya.
2 Pengubahan danatau pembongkaran jaringan irigasi tersier harus mendapat persetujuan dari HIPPA.
Pasal 37
1 Pembangunan danatau peningkatan jaringan irigasi dilakukan
bersamaan dengan kegiatan pengembangan lahan pertanian beririgasi sesuai dengan rencana dan program pengembangan pertanian dengan
mempertimbangkan kesiapan petani setempat.
2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan lahan pertanian beririgasi diatur dengan peraturan Bupati.
BAB X PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI