DEFINISI EPIDEMIOLOGI GAMBARAN KLINIS

BAB II PEMBAHASAN

II.1. DEFINISI

Hashimoto’s encephalopathy HE adalah suatu bentuk komplikasi dari penyakit tiroid autoimun yang dicirikan dengan berbagai gejala neurologis dan neuropsikiatris yang berhubungan dengan abnormalitas EEG difus, titer antibodi antitiroid yang tinggi pada serum danatau CSS, dan menunjukkan respon yang baik dengan pemberian kortikosteroid. 1

II.2. EPIDEMIOLOGI

Hashimoto’s encephalopathy adalah penyakit yang jarang dengan dugaan prevalensi 2.1100.000. 4 Sebagian besar kasus HE dijumpai pada pasien dewasa, namun insiden pada anak-anak juga telah dilaporkan. 3,9 Suatu tinjauan literatur melaporkan usia rata-rata saat onset adalah 44 tahun, sekitar seperlima merupakan kasus di bawah 18 tahun, dengan rasio wanita : pria sebesar 4:1. 4 Studi lain melaporkan usia rata-rata saat onset adalah 47 tahun dengan rentang 14 hingga 78 tahun. Lebih kurang 85 dari pasien tersebut adalah wanita. 10 Pada suatu studi yang dibuat oleh Oide dkk pada 150.000 pasien dengan berbagai gejala neurologis, dijumpai kadar antibodi antitiroid yang tinggi pada 12 pasien dan HE didokumentasikan pada 9 orang dari pasien-pasien ini. Tidak dijumpai hubungan antara kadar antibodi antitiroid dengan gambaran klinis HE. 3

II.3. PATOGENESIS

Patogenesis HE masih dalam perdebatan dan belum sepenuhnya dipahami, karena masih berdasarkan pada pengamatan dan kesimpulan yang spekulatif dan bukannya bukti histologis ataupun eksperimental. Hipotesis yang ada mencakup vaskulitis autoimun, reaksi autoimun terhadap common brain-thyroid antigens, proses demielinasi dengan encephalomyelitis yang menyebar, hipoperfusi serebral Universitas Sumatera Utara global, disfungsi neuronal akibat edema serebri, efek toksik langsung dari pengeluaran thyrothropine releasing hormone yang berlebihan. 1

II.3.1. Reaksi Autoimun terhadap Antigen pada Kelenjar Tiroid dan Susunan Saraf Pusat SSP

Hipotesis reaktivitas-silang dari epitop kelenjar tiroid dan SSP sebagai faktor potensial untuk patogenitas antibodi antitiroid belum sepenuhnya didukung secara objektif. Belum ada laporan tentang protein dalam SSP yang secara struktur menyerupai protein tiroglobulin dan tiroperoksidase. Bukti untuk mendukung antigen yang sama pada tiroid dan jaringan otak masih minim; walaupun begitu, suatu studi terkini menunjukkan bahwa antibodi anti-TPO berikatan secara spesifik dengan astrosit serebellar pada pasien HE namun tidak pada pasien HT, suatu observasi yang dapat mendukung pandangan bahwa efek antibodi menyebabkan disfungsi neuronal. Menariknya, studi epidemiologis menunjukkan bahwa antibodi antitiroid ditemukan pada 10-20 populasi sehat dan meningkat dengan pertambahan usia, terutama pada wanita. Antibodi antitiroid juga telah dihubungkan dengan miopati, chronic fatigue syndrome, neuropati perifer, gangguan mood dan ansietas, gangguan kepribadian, depresi, Alzheimer’s disease, Wegener’s granulomatosis, juvenile idiopathic arthritis dan pada 34-41 pasien fibromyalgia. Karena antibodi antitiroid telah dihubungkan dengan sejumlah besar kelainan dan dijumpai juga pada populasi sehat, maka tampaknya tidak ada antigen khusus dalam otak yang spesifik untuk penyakit ini. 2,3 Terdapat beberapa alasan yang mendukung dasar autoimun dalam patogenesis penyakit ini perjalanan penyakit yang berfluktuasi, hubungannya dengan penyakit autoimun lain. Studi dari Mahmud dkk 2003 tidak menemukan hubungan kausatif antara autoimunitas tiroid dengan ensefalopati. Sedangkan studi dari Ferraci dkk 2004 dan Katoh dkk 2007 menemukan antibodi tiroid pada CSS pasien HE dan, menariknya, dijumpai penurunan kadarnya seiring dengan perbaikan klinis pasien. Antigen autoimun baru yang ditemukan pada otak pasien HE—NH2 terminal alpha enolase NAE—ditemukan oleh Ochi dkk Universitas Sumatera Utara 2002 yang menemukan kadar tinggi antibodi terhadap antigen ini pada pasien dengan HT, sedangkan antibodi yang serupa tidak dijumpai pada pasien dengan penyakit neurologis lainnya. 3,7

II.3.2. Vaskulitis Autoimun

Patogenesis yang berdasarkan pada vaskulitis serebral didukung oleh beberapa bukti. Infiltrasi dari pembuluh darah kecil serebral telah ditemukan pada pasien HE. Single-photon emission computed tomography SPECT menunjukkan hipoperfusi serebral pada beberapa kasus, yang cocok dengan yang dijumpai pada vaskulitis serebral difus. Kedua pola vaskulitis serebral baik yang fokal maupun difus tampaknya dijumpai pada EAATD, sehingga menyebabkan presentasi klinis yang berbeda. Keterlibatan fokal dari otak dapat menyebabkan manifestasi klinis yang menyerupai serangan stroke, namun dapat juga dijumpai sindroma serebelar sub akut, ganglionopati sensorik atau keterlibatan selektif dari nucleus accumbens. Sebaliknya, hipoperfusi serebral difus dapat menyebabkan kondisi yang memburuk secara progresif, sering ditandai dengan gejala psikiatris dengan onset subakut. 1,3 Selain didukung oleh temuan pada SPECT yang secara umum menunjukkan hipoperfusi fokal atau global, hipotesis ini juga didukung dengan ditemukannya antibodi anti- α-enolase, yang sangat banyak diekspresikan pada sel-sel endotel. 2,3 Vaskulitis menyebabkan edema dan penurunan vaskularisasi pada susunan saraf pusat yang dimediasi autoimun bersama dengan gangguan struktur mikrovaskular. 3

II.3.3. Efek Toksik dari Thyrothropine-Releasing Hormone TRH

Hipotesis efektoksik dari TRH didasarkan pada gagasan bahwa gambaran ensefalopati dari HE—terutama mioklonik dan ataksik—disebabkan oleh peningkatan TRH serebral. TRH dilepaskan oleh hipotalamus dan menstimulasi produksi TSH pada hipofisis, yang kemudian menstimulasi produksi hormon tiroid pada kelenjar tiroid. Hanya satu percobaan pada pasien HE yang Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa infus TRH menyebabkan mioklonus dan tremor yang menyerupai gejala pasien saat eksaserbasi. 2 Sebagian besar kasus HE yang dilaporkan terjadi pada kondisi hipotiroid atau eutiroid sebagai akibat adanya anti-TPO, yang berkontribusi terhadap destruksi tirosit dan menyebabkan hipotiroid. Namun terdapat juga laporan kejadian HE pada keadaan hipertiroid. Patogenesis HE yang berhubungan dengan tirotoksikosis dapat dijelaskan oleh epitop yang berbeda dari reseptor TSH yang terletak pada membran sel epitel tiroid. Oleh sebab itu, subunit A ekstrasel dikenali oleh thyroid stimulating antibodies, sedangkan subunit B yang terletak lebih dekat ke permukaan sel, menunjukkan afinitas terhadap TSH receptor blocking antibodies. Oleh sebab itu, pada beberapa kasus tampaknya antibodi diarahkan terutama ke stimulatory epitope dari reseptor TSH yang menyebabkan tirotoksikosis. 7

II.4. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis dari EAATD terdiri dari tanda fokal sekunder akibat kejadian menyerupai stroke begitu pula gejala umum, mencakup perubahan kesadaran dan kognitif, seizure, gangguan afektif bipolar dan psikiatris, gangguan gait, nyeri kepala dan tanda-tanda inflamasi dari ensefalitis dan meningitis. Gejala neurologis, psikiatris dan sistemik pada suatu literatur yang terdiri dari 145 kasus EAATD terlihat pada tabel 1. Manifestasi klinis sering terdiri dari confusion dengan onset akut dan sub akut yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, aktivitas seizure, atau mioklonus dan dapat disertai dengan halusinasi dan delusi. 1 11,12 Gejala psikiatrik yang menonjol telah dilaporkan pada suatu laporan kasus oleh Arrojo dkk 2007 yang melaporkan seorang wanita dengan riwayat penyakit tiroid, yang menunjukkan episode psikotik akut dan singkat yang didahului oleh gangguan tidur yang berat dan gambaran EEG abnormal. 13 Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Gejala-gejala Pada Hashimoto’s Encephalopathy Dikutip dari : Tamagno G, Federspil G, Murialdo G. Clinical and Diagnostic Aspects of Encepghalopathy Associated with Autoimmune Thyroid Disease or Hashimoto’s Encephalopathy. Intern Emerg Med. 2006 ; 1 1 : 15-23. Para ahli menganggap HE terdiri dari dua tipe. Tipe yang pertama adalah tipe vaskulitis tipe Irelapsingremitting yang dicirikan dengan episode serangan yang menyerupai stroke, dengan defisit neurologis fokal dengan atau tanpa gangguan kognitif dan gangguan kesadaran, kadang-kadang berkombinasi dengan seizure epileptik. Tipe yang kedua bersifat difus progresif tipe II dan memiliki onset yang perlahan dan perjalanan yang memburuk progresif tanpa tanda Universitas Sumatera Utara neurologis fokal, dan merupakan bentuk ensefalopati yang lebih sering dijumpai, yang muncul sebagai confusion, psikosis, somnolens dan koma. Pada kedua tipe juga dapat dijumpai tremor, mioklonus, seizure, sopor atau koma. Ensefalopati biasanya berkembang selama 1 hingga 7 hari, dan pada sebagian besar kasus dijumpai perjalanan dengan relapsremisi, tremor, afasia transien, seizure hampir seperlimanya berupa status epileptikus, hipersomnolens, dan ataksia gait. 3,4,14 4 Keterlibatan sistem saraf sering dijumpai pada penyakit tiroid. Terjadinya gejala neurologis pada pasien dengan hipotiroid dan hipertiroid adalah kondisi yang umum dijumpai. Gambaran ensefalopati yang disertai dengan tanda neurologis ini dapat berhubungan langsung dengan kadar hormon tiroid. Oleh sebab itu, gambaran klinis dapat membaik dengan sempurna dengan normalisasi kadar hormon tiroid. Hal ini dangat berbeda dengan gambaran klinis HE. 3 HE tidak berhubungan dengan gambaran klinis hipotiroid atau tes fungsi tiroid; pada umumnya dijumpai pada pasien dengan eutiroid. Kasus HE yang diumpai bersamaan dengan gambaran klinis hipertiroid juga pernah dilaporkan. 3,7,15 Hipotiroidisme yang berat dapat menyebabkan disfungsi serebral, termasuk penurunan kewaspadaan, mood dan kognisi, bahkan psikosis dan koma. Hipotiroidisme juga dapat menyebabkan perubahan EEG amplitudo rendah dan konsentrasi protein CSS yang tinggi. Seluruh perubahan ini membaik dengan terapi levothyroxine. Hipotiroidisme subklinis memiliki pengaruh yang lebih sedikit, jika ada, terhadap fungsi serebral, EEG dan kandungan protein CSS dan apakah terapi levothyroxine bermanfaat pada keadaan ini masih kurang jelas. Pada suatu studi terhadap 85 pasien HE, 47 55 menunjukkan hipotiroidisme yang nyata atau subklinis; 8 17 dari 47 pasien ini membaik dengan terapi levothyroxine dan 19 40 membaik dengan terapi levothyroxine dan glucocorticoid. Namun begitu, beberapa pasien dengan hipotiroidisme tidak memberikan respon terhadap terapi levothyroxine. Pasien eutiroid, dengan atau tanpa melanjutkan terapi levothyroxine, dan pada pasien hipotiroidisme nyata atau subklinis menunjukkan tanda neurologis yang serupa. Sebagai tambahan, 6 pasien dengan ensefalopati memiliki hipertiroidisme nyata atau subklinis. Universitas Sumatera Utara Mempertimbangkan inkonsistensi dari fungsi tiroid ini, dapat disimpulkan bahwa hipotiroidisme sendiri tidak dapat menyebabkan ensefalopati. 6 Terdapat juga berbagai laporan tentang kejadian HE pada keadaan hipertiroid. Laporan pertama adalah dari Barker dkk 1996 yang melaporkan HE pada wanita 49 tahun penderita tirotoksikosis yang menunjukkan gejala kelemahan tubuh sebelah kiri dan dengan sukses diterapi dengan steroid, carbimazole dan propanolol. Mirip dengan itu, seorang wanita berusia 39 tahun dengan episode serangan kejang umum berulang dan hipertiroidisme yang menunjukkan respon baik dengan steroid dilaporkan oleh Peschen-Rosin dkk tahun 1999. Pasien lain dengan ensefalopati yang disertai dengan Graves’ disease yang menunjukkan respon terhadap terapi corticoid dilaporkan oleh Canton dkk 2000, yang kemudian mengusulkan istilah EAATD. Chong dkk 2003 melaporkan sejumlah 105 pasien HE, dimana 4 diantaranya penderita hipertiroidisme kadar TSH yang rendah dengan tiroksin yang tinggi dan 2 pasien dengan hipertiroid subklinis kadar TSH yang rendah dengan tiroksin normal. Akhir-akhir ini Yuceyar dkk 2007 mengamati penderita wanita berusia 31 tahun dengan HE tirotoksikosis. Perbaikan suboptimal diperoleh setelah pemberian metilprednisolon intravena, IVIG dan plasmaferesis. Penurunan kadar antibodi tiroid menyebabkan perbaikan status pasien dan ia kemudian relaps setelah terapi imunosupresif oral. Pemulihan sempurna diperoleh hanya setelah tiroidektomi. Data-data ini mendukung peran patogenetik dari antibodi tiroid pada HE dan tiroidektomi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan terapi terutama pada pada pasien HE dengan tirotoksikosis dengan relaps yang tidak terkontrol. Penurunan kesadaran, gerakan involunter termasuk tremor dan mioklonus,seizure, gangguan kognitif, tanda neurologis fokal, ataksia, perubahan sensorik, gangguan berbahasa, gejala ensefalitis seperti nyeri kepala dan nausea dan gangguan psikiatris adalah manifestasi klinis dari EAATD yang terjadi pada pasien GD. Seluruh gejala ini menyerupai gambaran klinis EAATD pada pasien HT. Pada kedua kondisi ini, manifestasi klinis EAATD dapat berfluktuasi dan relaps. Pada suatu studi terhadap 12 pasien GD dengan EAATD, seluruhnya menunjukkan peningkatan hormon tiroid pada saat onset EAATD atau beberapa 7 Universitas Sumatera Utara minggu sebelumnya, kecuali satu pasien yang mengalami hipotiroidisme post- radioactive iodine dan satu kasus eutiroid. Seluruh data ini menunjukkan bahwa perubahan hormonal irrelevan dengan terjadinya EAATD yang dapat terjadi independen terhadap kadar hormon tiroid. Hashimoto’s encephalopathy juga dapat terjadi sebelum terjadinya HT. Peschen-Rosin dkk melaporkan suatu kasus seorang pasien yang mengalami kejang umum dan mioklonus. Awalnya, pemeriksaan MRI dan fungsi tiroid tidak dilakukan. Oligoclonal bands dijumpai pada pemeriksaan CSS. Gejala pasien membaik dengan cepat setelah pemberian prednisolone dosis tinggi. Hipertiroid terjadi pada pasien ini setelah serangan mioklonik kelima, dan juga dijumpai kadar yang tinggi dari antibodi antimikrosom. Pada kasus ini, sebelum terjadi HE, HT tidak diketahui; dan HT dan diagnosis HE tersebut dibuat setelah terjadinya gejala neurologis, saat pemeriksaan menunjukkan peningkatan kadar antibodi antitiroid. 8 3,16

II.5. PROSEDUR DIAGNOSTIK