VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS.

(1)

TESIS

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC

ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM

MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK

MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

COKORDE ISTRI YULIANDARI KRISNAWARDANI KUMBARA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TESIS

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC

ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM

MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK

MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

COKORDE ISTRI YULIANDARI KRISNAWARDANI KUMBARA NIM 1014048204

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC

ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM

MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK

MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

Karya Akhir untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

COKORDE ISTRI YULIANDARI KRISNAWARDANI KUMBARA NIM 1014048204

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 4 JANUARI 2016

Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. I Dewa Nyoman Wibawa, SpPD-KGEH NIP.1952 1117 198003 1 003

Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. Raka Widiana, SpPD-KGH NIP.1956 0707 198211 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK NIP.1958 0521 198503 1 002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP.1959 0215 198510 2 001


(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai pada Tanggal 4 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor : 101/UN14.4/HK/2016, Tanggal 4 Januari 2016

Penguji :

Ketua: Prof. Dr. dr. IDN Wibawa, Sp.PD-KGEH Anggota :

1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widana, Sp.PD-KGH 2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH

3. Prof. Dr. dr. N. Tigeh Suryadi, MPH, Ph.D 4. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes


(6)

(7)

vii

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena hanya atas karunia-Nya karya tulis akhir ini dapat saya selesaikan. Karya tulis akhir ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 (PPDS-1) Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

Pada kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan rasa hormat dan penghargaan setinggi-tingginya serta terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2. Prof. DR. Dr. I Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Drg. Triputro Nugroho, M.Kes, selaku Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti PPDS-1 Ilmu Penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 4. DR. Dr. I Ketut Suega, Sp.PD-KHOM, selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah atas kesempatan, dorongan, petunjuk yang diberikan selama saya menjalani pendidikan.

5. Prof. DR. Dr. I Dewa Nyoman Wibawa, Sp.PD-KGEH, selaku Kepala Program Studi Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah dan pembimbing pertama karya akhir atas kesempatan, dorongan yang tiada henti, petunjuk, arahan dan suri tauladan sejak awal sampai akhir saya menjalani pendidikan. 6. Dr. I Nyoman Purwadi, SpPD-KGEH, Dr. IGA Suryadarma, SpPD-KGEH, Dr.

Gde Somayana, SpPD-KGEH, Dr. I Ketut Mariadi, SpPD, dan Dr. Putu Prathiwi Primadharsini, SpPD, M.Biomed selaku staf Divisi


(8)

Gastroentero-viii

Hepatologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah, yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan masukan saat saya melaksanakan tugas sehari-hari maupun saat penyusunan karya akhir ini.

7. Prof. DR. Dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, selaku Ketua Komisi Etik Penelitian FK Unud/RSUP Sanglah, yang telah memberikan masukan tentang kelaikan etik penelitian dan ijin untuk melangsungkan penelitian ini.

8. Prof. DR. Dr. Adiputra selaku penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan tesis

9. Prof. dr. N. Tigeh Suryadi, MPH, Ph.D selaku penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan tesis ini.

10.Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan tesis ini.

11.Semua Kepala Divisi dan Staf Lab./SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah, atas segala bimbingan dan dorongan yang diberikan dalam menjalani program pendidikan sehari-hari, pelaksanaan dan penyusunan penelitian ini.

12.Semua rekan PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK Unud atas kerjasama dan bantuannya selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini.

13.Semua rekan paramedis dan tenaga administrasi di Poliklinik dan ruang rawat Penyakit dalam RSUP Sangah, atas kerjasama dan bantuannya selama saya menjalani pendidikan dan melakukan penelitian ini.

14.Semua sampel penelitian ini, atas kesediaan dan kerelaan untuk ikut berpartisipasi selama penelitian ini berlangsung.

15.Ayahanda Prof. Dr. Anak Agung Ngurah Anom Kumbara, M.A. dan ibunda tercinta Drs. Anak Agung Sagung Kartika Dewi, M.M. yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan dorongan dan doa yang tiada henti sehingga saya mencapai semua ini, serta adik Tjokorda Istri Ratih KD, S.T., Cokorda Istri Ratna KD, S.E., dan Anak Agung Gde Agung Kusuma Astika, S.T. atas dorongan dan doa yang selalu diberikan.


(9)

ix

16.Semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya tulis akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang telah diberikan dan memberi petunjuk agar ilmu yang saya peroleh dapat digunakan pada jalan yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, namun demikian besar harapan penulis semoga apa yang terkandung di dalamnya akan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan dunia kedokteran pada khususnya.

Denpasar, 4 Januari 2016

Penulis,


(10)

x ABSTRAK

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE

(PHES) DALAM MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

Ensefalopati hepatik minimal (EHM) adalah komplikasi yang dapat terjadi pada pasien sirosis hepatis (SH), dengan prevalensi 20% - 60% tergantung dari pemeriksaan yang digunakan. Salah satu pemeriksaan yang direkomendasikan untuk mendiagnosis EHM adalah tes Psychometric Hepatic Encephalopathy Score (PHES). Untuk dapat digunakan, nilai tes PHES harus distandarisasi berdasarkan nilai populasi normal setempat dimana tes tersebut akan digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari nilai tes PHES untuk dapat digunakan mendiagnosis EHM serta mengetahui faktor yang berhubungan dengan nilai tes PHES (umur, pekerjaan, pendidikan, derajat Child Turcotte Pugh/ CTP).

Tes PHES terdiri dari 5 tes psikometri (Digit Symbol Test/DST, Number connection test A and B/NTCA dan NTCB, Serial Dotting Test/SDT, Line Tracing Test/LTT) yang diterapkan pada 3 populasi sampel, yaitu populasi normal, populasi SH dengan ensefalopati hepatik (EH) nyata, dan populasi SH tanpa EH nyata. Analisis pada penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah mencari nilai normal tes PHES dengan menghitung nilai Z. Tahap selanjutnya penentuan titik potong nilai total PHES untuk mendiagnosis EHM. Analisis reliabilitas dan analisis hubungan antara variabel juga dilakukan.

Penelitian ini melibatkan 167 sampel populasi normal, 65 sampel populasi SH dengan EH nyata, dan 69 sampel populasi SH tanpa EH nyata. Rata-rata nilai total tes PHES pada ketiga populasi tersebut adalah 0,40±2,04; 12,89±2; -3,44±3,48 secara berurutan. Hasil uji reliabilitas didapatkan konsistensi yang baik (α Cronbach 0,93). Nilai tes PHES berhubungan dengan umur serta education years pada populasi normal, dan berhubungan dengan derajat CTP pada populasi SH. Titik potong nilai PHES < -4 ditetapkan pada penelitian ini untuk mendiagnosis EHM, dan didapatkan prevalensi sebesar 37,7%. Derajat CTP didapatkan berbeda secara bermakna pada kelompok SH dengan EHM dan kelompok SH tanpa EHM. Sensitivitas PHES adalah sebesar 98% dan spesivisitas 62%.

Tes PHES yang sudah distandarisasi pada populasi normal setempat dapat digunakan untuk mendiagnosis EHM pada pasien SH di Indonesia

Kata Kunci: Ensefalopati hepatik minimal, Psychometric Hepatic Encephalopathy Score (PHES)


(11)

xi ABSTRACT

VALIDATION OF THE PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) TO DIAGNOSE MINIMAL HEPATIC ENCEPHALOPATHY IN LIVER CIRRHOSIS PATIENTS

Minimal hepatic encephalopathy (MHE) is one of the liver cirrhosis complication with prevalence about 20%-60% depending on the diagnostic tool used. Psychometric Hepatic Encephalopathy Score (PHES) is one of the recommended tool to diagnose MHE. Before PHES can be used to diagnose MHE, it must be standardized with local reference population. The purpose of this research was to standardized PHES with normal reference population to diagnose MHE in cirrhosis patient and to identifying factors that correlate to PHES value (age, education, jobs, Child Turcotte Pugh/ CTP degree.

The PHES consist of 5 psychometric test (Digit Symbol Test/DST, Number connection test A and B/NTCA and NTCB, Serial Dotting Test/SDT, Line Tracing Test/LTT) which applied to normal population, cirrhosis with overt encephalopathy population, and cirrhosis without overt encephalopathy population. Several analysis was done in this research. The first one is to calculate Z score to standardized and find a normal value for PHES. Then analysis was done to determinate the cut off point PHES value for diagnose MHE. Reliability and correlation analysis was also done.

This research involving 167 samples of normal population, 65 samples of cirrhosis with overt encephalopathy population, and 69 samples of cirrhosis without overt encephalopathy population. The means value of PHES was -0,40±2,04; -12,89±2; -3,44±3,48 respectively for those population. The PHES had a good consistency result (α Cronbach 0,93). In normal population, the PHES value was correlated with age and education years, and in cirrhosis patient it was correlated with CTP degree. In this research cut off point PHES was set at < -4 to diagnose MHE, and the prevalence of MHE was 37,7%. We found the CTP degree was significantly different between cirrhosis with MHE group and cirrhosis without MHE group. The MHE group tent to have worse degree liver function than non MHE group. The sensitivity PHES was 98% with spesivicity 62%.

The standardized PHES can be used to diagnose MHE in Indonesian liver cirrhosis patients.

Key Word: Minimal hepatic encephalopathy, Psychometric Hepatic Encephalopathy Score (PHES)


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ii

PRASYARAT GELAR ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1


(13)

xiii

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat akademik ... 7

1.4.2 Manfaat klinik praktis... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Definisi dan Klasifikasi Ensefalopati Hepatik ... 9

2.2 Patogenesis Ensefalopati Hepatik ... 13

2.2.1 Hipotesis amonia awal ... 14

2.2.2 Hipotesis amonia unifying ... 14

2.2.3 Hipotesis neurotransmiter palsu ... 15

2.2.4 Hipotesis gama amino butyric acid (GABA)/benzodiazepin ... 15

2.2.5 Hipotesis tumor necrosis factor α(TNF α) ... 15

2.2.6 Stress oksidatif dan nitrasi protein tirosin ... 16

2.3 Diagnosis Ensefalopati Hepatik Minimal ... 17

2.3.1 Tes psikometrik atau tes neuropsikologis... 18

2.3.2 Tes elektrofisiogis atau neurofisiologis ... 19

2.3.3 Tes pencitraan otak ... 20

2.3.4 Critical flicker frequency ... 20

2.4 PHES ... 21

2.5 Validitas dan Reliabilitas ... 24

2.5.1 Validitas ... 25


(14)

xiv

2.5.1.2 Validitas kriteria (criterion validity) ... 25

2.5.1.3 Validitas kontruksi (Construct Validity) ... 26

2.5.2 Reliabilitas ... 26

2.5.2.1 Reliabilitas test-retest (Intra-Observer Reliability) ... 26

2.5.2.2 Reliabilitas inter-observer ... 27

2.5.2.3 Reliabilitas konsistensi interna ... 27

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 29

3.1 Kerangka Pikir ... 29

3.2 Kerangka Konsep ... 30

3.3 Hipotesis ... 30

BAB IV METODE PENELITIAN ... 31

4.1 Rancangan Penelitian ... 31

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

4.2.1 Populasi Target... 31

4.2.2 Populasi terjangkau ... 31

4.2.3 Sampel penelitian ... 32

4.2.3.1 Kriteria inklusi sampel SH tanpa EH nyata ... 32

4.2.3.2 Kriteria eksklusi sampel SH tanpa EH nyata ... 32

4.2.3.3 Kriteria inklusi sampel SH dengan EH nyata ... 33


(15)

xv

4.2.3.5 Kriteria inklusi sampel normal ... 33

4.2.3.6 Kriteria eksklusi sampel normal ... 33

4.2.4 Besar sampel ... 34

4.3 Variabel Penelitian ... 35

4.3.1 Variabel bebas ... 35

4.3.2 Variabel tergantung ... 35

4.4 Definisi Operasional... 35

4.5 Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

4.6 Prosedur Penelitian... 42

4.7 Analisis Data ... 45

4.7.1 Analisis deskriptif ... 45

4.7.2 Analisis validasi ... 45

4.7.3 Analisis penentuan titik potong nilai PHES ... 47

4.7.4 Analisis hubungan antar variabel ... 48

4.7.5 Analisis reabilitas ... 48

4.8 Instrumen Penelitian... 48

BAB V HASIL PENELITIAN ... 49

5.1 Hasil Penelitian ... 49

5.1.1 Populasi normal ... 49

5.1.1.1 Titik potong nilai PHES ... 52

5.1.1.2 Hasil uji realibilitas ... 53


(16)

xvi

5.1.3 Populasi Sirosis Hepatis ... 57

5.2 Pembahasan ... 63

5.2.1 Karakteristik sampel... 63

5.2.2 PHES ... 65

5.2.3 Ensefalopati hepatik minimal ... 70

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 74

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 75

6.1 Simpulan ... 75

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Perjalanan klinis ensefalopati hepatik (Bajaj et al. 2009) ... 12

2.2 Patogenesis ensefalopati hepatik (Sherlock & Dooley, 2002) ... 16

2.3 Patogenesis ensefalopati hepatik (Haussinger & Schliess, 2005) ... 17

4.1 Alur penelitian ... 44

4.2 Rumus perhitungan nilai Z (Seo Seok Yeon, et al. 2012) ... 46


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Tipe ensefalopati hepatik ... 10

2.2 Derajat ensefalopati hepatik berdasarkan kriteriaWest Haven ... 11

4.1 Kriteria CTP untuk menilai beratnya penyakit hati (Wolf, 2004) ... 39

4.2 Konversi nilai Z pada tes DST ... 46

4.3 Konversi nilai Z pada tes NTCA, NTCB, LTT, SDT ... 47

5.1 Karakteristik populasi normal ... 50

5.2 Hubungan masing-masing tes PHES dengan umur dan education years ... 50

5.3 Persamaan untuk memprediksi nilai tes berdasarkan umur dan education years ... 51

5.4 Sebaran nilai tes berdasarkan jenis kelamin dan pekerjaan pada populasi normal ... 52

5.5 Uji Reliabilitas PHES pada 33 sampel populasi normal... 53

5.6 Karakteristik Sampel Sirosis dengan EH nyata ... 54

5.7 Hubungan antara tes PHES dengan derajat CTP pada Populasi Sirosis dengan EH nyata ... 55

5.8 Hubungan antara nilai tes PHES dengan umur, education years, jenis kelamin, dan pekerjaan populasi sirosis dengan EH nyata ... 56


(19)

xix

5.10 Karakteristik Kelompok EHM dan Non EHM pada populasi SH tanpa EH nyata ... 58 5.11 Hubungan antara umur, education years, jenis kelamin, dan pekerjaan

dengan nilai tes PHES pada populasi Sirosis ... 59 5.12 Hubungan antara tes PHES dengan derajat CTP pada Populasi Sirosis .. 60 5.13 Parameter diagnostik untuk titik potong nilai total PHES < -4 ... 61 5.14 Hasil uji ANCOVA nilai total tes PHES pada tiga populasi sampel .... 62


(20)

xx

DAFTAR SINGKATAN

BAEP : Brain Stem auditory-Evoked Potentials

CTP : Child-Turcotte-Pugh

CFF : Critical Flicker Frequency

CT : Computed Tomography

DST : Digit Symbol Test

EEG : Elektroensefalografi

EH : Ensefalopati hepatik

EHM : Ensefalopati hepatik minimal

GABA :Gama Amino Butyric Acid

INR : International Normalized Ratio

ISHEN : International Society for Hepatic Encephalopathy and Nitrogen Metabolism

LTT : Line Tracing Test


(21)

xxi MRI : Magnetic Resonance Imaging

NASH : Nonalcoholic Steatohepatitis

NCT A/B : Number Connection Test A/B

PET : Positron Emission Tomography

PHES : Psychometric hepatic encephalopathy score

ROC : Receiver Operating Characteristic

ROI/RNI : Reactive Oxygen/Nitrogen Intermediates

SD : Standar deviasi

SDT : Serial Dotting Test

SH : Sirosis hepatis

SPECT : Single Photon Emission Computed Tomography

SSEP : Somatosensory-evoked Potentials

TNF α : tumor necrosis factor α


(22)

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Informasi Tentang Penelitian ... 82 Lampiran 2 Informed Consent ... 84 Lampiran 3 Formulir Data Subyek ... 85 Lampiran 4 Petunjuk Melakukan PHES ... 88 Lampiran 5 Tes PHES ... 92 Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian ... 98 Lampiran 7 Surat Kelaikan Etik ... 99 Lampiran 8 Hasil Analisis Statistik ... 100


(23)

B A B I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Penyakit hati kronis termasuk sirosis telah menjadi masalah bagi dunia kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang komplek, meningkatnya komplikasi penyakit dan mortalitas. Disamping menimbulkan masalah medis penyakit sirosis juga menimbulkan berbagai masalah psikososial dan ekonomi yang sangat besar pada pasien dan keluarganya. Pasien dengan penyakit sirosis dibandingkan individu normal dengan umur yang sama pada populasi umum tentu memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dan angka harapan hidup yang lebih pendek.

Sirosis hepatis (SH) adalah penyakit hati menahun yang ditandai oleh kerusakan parenkim hati difus dengan fibrosis luas disertai pembentukan nodul regeneratif. Gambaran klinis sirosis hati secara umum disebabkan adanya kegagalan faal hati dan hipertensi portal (McCormic Aiden, 2011).

Kejadian SH untuk tiap negara adalah berbeda-beda. Data mengenai prevalensi SH di Indonesia belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari penelitian yang dilakukan oleh Somia et al., (2004) diperoleh 95 kasus sirosis dengan usia rata-rata 54,32 tahun.

Penyebab SH adalah multifaktorial, namun penyebab yang paling sering adalah penyalahgunaan alkohol, hepatitis virus kronis dan perlemakan hati yang


(24)

mengakibatkan nonalcoholic steatohepatitis (NASH) (Hidelbaugh & Bruderly, 2006).

Diagnosis SH ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis standar yang dikeluarkan oleh International Hepatology Informatics Group (1994), yaitu secara klinis didapatkan tanda-tanda SH seperti adanya varises esofagus, splenomegali (dan atau perubahan darah tepi yang sesuai dengan hipersplenisme), asites, muscle wasting, perubahan dermovaskuler seperti spider angioma, pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan tanda yang menyokong sirosis seperti adanya nodulasi pada parenkim hati, asites, splenomegali, atau perubahan vaskuler akibat sirosis (Carroll et al., 1994). Derajat beratnya gangguan fungsi hati pada SH dapat diklasifikasikan berdasarkan criteria Child-Turcotte-Pugh (CTP), yaitu Child A, B, dan C. Pengelompokan pada kriteria ini adalah berdasarkan pemeriksaan klinis adanya ensefalopati hepatikum, asites, pemeriksaan kadar albumin, bilirubin serum dan waktu protrombin atau International Normalized Ratio (INR) (Wolf, 2004).

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang terjadi pada 30-45% pasien sirosis. Ensefalopati hepatik adalah kelainan neuropsikologis yang terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau pasien dengan pintas porto-sistemik tanpa adanya kelainan otak organik yang diketahui. Terdapat banyak hipotesis patogenesis terjadinya EH, namun sampai saat ini patogenesis mengenai amonia memiliki bukti yang paling kuat (Haussinger & Schliess, 2008). Pada keadaan SH, struktur sel-sel hati yang sehat akan digantikan oleh jaringan ikat sehingga terjadi penurunan fungsi detoksifikasi. Selain itu hipertensi portal yang


(25)

terjadi pada SH akan menimbulkan banyak pembuluh darah kolateral. Adanya pembuluh darah kolateral ini menyebabkan darah yang belum didetoksifikasi dapat langsung menuju sirkulasi sistemik tanpa melewati hati. Mekanisme ini menyebabkan neurotoksin amonia cepat mencapai otak yang selanjutnya akan mengganggu fungsi neuron dan astrosit sehingga menimbulkan gejala ensefalopati. Derajat EH dibedakan menjadi 4 berdasarkan kriteria West Haven sesuai dengan gejala klinis yang muncul (Ferenci et al., 2002; McCormic Aiden, 2011; Mullen, 2006).

Dalam literatur disebutkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Zeegen pada tahun 1970 menemukan adanya kegagalan pada pasien-pasien yang sudah menjalalani operasi pintas porto-sistemik dalam mengerjakan tes psikometrik walaupun secara klinis pasien terlihat normal. Hal yang serupa juga ditemukan oleh peneliti lain yang diketuai oleh Rikkers pada tahun 1978, yaitu adanya kelainan pada hasil tes psikometrik pasien tanpa adanya gejala klinis ensefalopati yang nyata dan menyebut kondisi ini sebagai ensefalopati hepatik subklinis, yaitu suatu terminologi di luar kriteria West Haven. Sejak itulah berbagai kontroversi mengenai kepentingan klinis ensefalopati hepatik minimal muncul ke permukaan. Ensefalopati hepatik minimal (EHM) adalah perubahan minimal yang terjadi pada fungsi kognitif, parameter elektrofisiologis, aliran darah, metabolisme, dan homeostatis di otak yang dapat diobservasi pada pasien sirosis tanpa adanya tanda ensefalohepatik yang nyata. Tidak adanya gejala EH yang nyata pada pasien merupakan kunci utama dalam mendiagnosis EHM (Amodio et al., 2004). Keadaan EHM ini telah dibuktikan menjadi faktor risiko terjadinya EH yang nyata


(26)

dan bahkan kematian. Prevalensi EHM bervariasi antara 20-60% tergantung dari pemeriksaan yang dilakukan, namun alat yang digunakan untuk mendiagnosis sangat kompleks dan kebanyakan tidak tersedia bagi para klinisi dilapangan. Beberapa pusat yang khusus menangani pasien dengan sirosis telah membuat kriteria diagnosisnya sendiri atau dengan menggunakan tes neuropsikologis dalam berbagai cara. Hal ini telah menciptakan kebingungan karena tidak adanya konsensus yang jelas tentang alat baku yang dapat digunakan untuk mendeteksi EHM (Rojo et al., 2011).

Salah satu cara yang mudah untuk mendiagnosis EHM adalah dengan menggunakan tes neuropsikologis atau tes psikometrik. Tes ini dapat mendeteksi gangguan kognitif yang ringan yaitu berupa gangguan pemusatan perhatian dan kecepatan psikomotor (Amodio et al., 2008). Berdasarkan konsensus gastroenterologi sedunia ke 11 di Vienna pada tahun 1998, serangkaian tes neuropsikologis yang dikenal dengan Psychometric hepatic encephalopathy score (PHES) sudah direkomendasikan untuk mendiagnosis EHM. Tes tersebut terdiri dari 5 pemeriksaan psikometrik yaitu tes simbol digit (digit symbol test), tes koneksi angka A dan B (number connection test A and B), tes menggambar titik serial (serial dotting test), tes menggambar garis (line tracing test). Tes PHES dikatakan dapat dianggap sebagai baku emas dalam diagnosis EHM karena meliputi semua aspek kognitif yang berpengaruh pada EHM, yaitu dapat menilai fungsi domain kognitif yang multipel khususnya gangguan pemusatan perhatian, kemampuan visuospasial dan gerakan motorik halus. Selain itu tes PHES ini mudah dikerjakan oleh para klinisi, dapat dikerjakan dalam waktu singkat, dan


(27)

dapat diaplikasikan lintas budaya. Alat ini sudah divalidasi di Spanyol, Italia, Jerman, Meksiko, Inggris. Hasil studi yang telah dilakukan di Spanyol dan Jerman menunjukkan bahwa umur dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap nilai dari PHES. Studi di Itali didapatkan pekerjaan hanya berpengaruh terhadap item tes menggambar titik serial dalam PHES dan tidak memiliki pengaruh pada item tes lain. Pada studi yang dilakukan di Meksiko didapatkan bahwa derajat sirosis berdasarkan fungsi hati (sesuai kriteria CTP) tidak ditemukan berpengaruh pada PHES walaupun terdapat peningkatan prevalensi EHM seiring dengan meningkatnya derajat CTP, sedangkan pada studi yang dilakukan di Italia didapatkan bahwa fungsi hati ada hubungannya dengan PHES. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dari versi validitas negara-negara tersebut, namun semuanya berhasil mendapatkan PHES yang valid dan dapat digunakan untuk mendiagnosis EHM pada masing-masing negara tersebut. Referensi nilai normal untuk tes PHES pada tiap negara adalah berbeda, masing-masing negara harus membuat nilai referensi atau nilai standar PHES dengan menggunakan populasi kontrol yang representatif yang sesuai dengan latar belakang budaya negara tersebut (Rojo et al., 2011).

Banyak penelitian tentang EHM telah dilakukan dan menyatakan adanya efek negatif pada kualitas hidup pasien dibandingkan dengan pasien sirosis tanpa EHM, penurunan kemampuan dalam berkendara, penurunan kemampuan koordinasi psikomotor, mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjadinya EH yang nyata dan bahkan mempengaruhi prognosis pasien. Mengingat besarnya dampak yang bahkan sudah ditimbulkan sejak pasien mengalami ensefalopati


(28)

hepatik minimal, maka diagnosis EHM harus ditegakkan sehingga terapi segera dapat diberikan tanpa perlu menunggu sampai ensefalopati tersebut sudah nyata secara klinis (Ferenci et al., 2002; Amodio et al., 2004; Randolph et al., 2009).

Di Indonesia belum ada alat yang dibakukan untuk mendiagnosis adanya EHM pada pasien sirosis, sehingga penyakit ini mungkin seringkali terlewatkan sampai pada akhirnya pasien jatuh dalam kondisi EH yang nyata yang tentu saja dengan risiko mortalitas yang lebih besar. Sampai saat ini sepengetahuan kami, belum ada penelitian di Indonesia yang meneliti tentang nilai standar PHES yang sesuai dengan populasi di Indonesia dan belum ada penelitian tentang performa PHES di Indonesia. PHES yang menggunakan nilai standar populasi lokal Indonesia dan valid diharapkan dapat mendeteksi adanya ensefalopati minimal pada pasien sirosis sehingga terapi dapat segera diberikan sehingga diharapkan mortalitas dapat diturunkan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah tes PHES dapat dipakai untuk mendiagnosis EHM pada pasien sirosis hepatis di Indonesia?

2. Apakah faktor umur, pendidikan, pekerjaan, dan derajat CTP berhubungan dengan tes PHES pada populasi sampel normal, sampel SH tanpa EH nyata, dan sampel SH dengan EH nyata?


(29)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk memvalidasi tes PHES termasuk di dalamnya mendapatkan referensi nilai normal tes PHES yang sesuai dengan populasi di Indonesia sehingga dapat digunakan secara luas di Indonesia sebagai salah satu alat untuk mendiagnosis EHM pada pasien sirosis.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang berhubungan dengan tes PHES.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat akademik

Penelitian ini secara akademik bermanfaat untuk menambah pengetahuan khususnya ilmu kedokteran di Indonesia dengan memberikan informasi mengenai performa tes PHES di Indonesia dalam mendiagnosis ensefalopati minimal pada pasien sirosis, serta dapat dijadikan sebagai dasar dalam kebijakan penatalaksanaan pasien SH dengan komplikasi ensefalopati di Indonesia.

1.4.2. Manfaat klinik praktis

 Bagi para dokter, diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu mendiagnosis adanya EHM pada pasien sirosis sehingga terapi yang tepat dapat segera diberikan, yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari penyakit itu sendiri.


(30)

 Bagi para pasien SH di Indonesia diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari komplikasi EH.


(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Klasifikasi Ensefalopati Hepatik

Ensefalopati dalam arti luas adalah reaksi akut otak terhadap paparan agen berbahaya tanpa adanya inflamasi, atau adanya perburukan dari fungsi dan struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini diterapkan abnormalitas serebral pada pasien sirosis, maka adanya kegagalan hepatoselular dan pintas porto-sistemik inilah yang menyebabkan perubahan pada fungsi dan metabolisme neuron, perubahan astrosit, disposisi mangan pada otak, edema serebri, dan bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian neuron (Amodio et al., 2004). Kondisi ini menyebabkan penurunan yang nyata dari kualitas hidup pasien, memerlukan biaya yang tinggi, prognosis yang buruk dan peningkatan risiko kematian. Prevalensinya adalah 30-45% pada pasien dengan sirsosis (Ferenci et al., 2002).

Terdapat 3 tipe dari EH berdasarkan jenis kelainan pada hati yaitu tipe A, B, dan C. Pada tipe A, EH yang terjadi berhubungan dengan kegagalan akut hati, pada tipe B, EH berhubungan dengan pintas porto-sistemik tanpa adanya kelainan hati, dan tipe C adalah EH yang terjadi pada pasien sirosis. Episodik EH adalah ensefalopati yang terjadi dalam waktu yang pendek dan berfluktuasi dalam derajat keparahannya. Selanjutnya episodik ensefalopati dibagi berdasarkan ada tidaknya faktor pencetus (precipitated dan spontaneous), seperti misalnya perdarahan saluran cerna, infeksi, kelainan elektrolit, dehidrasi, ataupun penggunaan diuretik.


(32)

Ensefalopati recurrent adalah istilah yang digunakan bila EH terjadi 2 kali dalam satu tahun. Ensefalopati hepatik persisten adalah ensefalopati berulang dengan defisit fungsi kognitif, manifestasi ekstrapiramida, dan perubahan pola tidur yang terjadi secara berkelanjutan. Ensefalopati hepatik persisten dibagi menjadi ensefalopati derajat ringan dan derajat berat (Burrough, 2011; Ferenci et al., 2002; Monuz, 2008). Tabel 2.1 menunjukkan tiga tipe dari EH.

Tabel 2.1

Tipe ensefalopati hepatik (Ferenci et al., 2002)

Berdasarkan gejala klinis yang muncul, derajat EH dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria West Haven (Tabel 2.2). Secara klinis, EH bermanifestasi sebagai sindrom neuropsikiatri yang meliputi spektrum yang luas dari gangguan status mental dan fungsi motorik. Perubahan status mentalis dapat bervariasi dari gejala yang ringan sampai pada keadaan koma. Perubahan pada fungsi motoris


(33)

dapat berupa ridgiditas, tremor, asterixis, perlambatan pada gerakan diadokokinetik, hiper atau hiporefleksia, chorea, tanda babinsky. Abnormalitas lain yang dapat muncul adalah gangguan psikomotor dan neuropsikologis, perubahan neurotransmiter, penurunan aliran darah otak dan metabolisme, dan perubahan pada homeostatis cairan serebral (Amodio et al., 1999).

Tabel 2.2

Derajat ensefalopati hepatik berdasarkan kriteriaWest Haven (Ferenci et al., 2002) Stadium Status Mental

I. Kebingungan ringan, euforia atau depresi, penurunan pemusatan perhatian, euforia atau cemas, gangguan tidur, penurunan kemampuan untuk

melakukan perintah yang berhubungan dengan mental, bisa didapatkan asterixis.

II. Drowsiness, letargi, penurunan berat kemampuan untuk melakukan perintah yang berhubungan dengan mental, gangguan berhitung, perubahan tingkah laku, disorientasi minimal terhadap tempat dan waktu, asterixis.

III. Somnolen tetapi masih bisa dibangunkan, tidak dapat meakukan perintah yang berhubungan dengan mental, disorientasi yang nyata, kadang-kadang dijumpai agitasi atau gelisah, bicaranya sulit dimengerti.

IV. Koma

Kelainan neuropsikiatri yang dapat terjadi pada pasien EH meliputi kelainan kognitif (kecepatan psikomotor, visuopraxis, perhatian dan konsentrasi, kemampuan abstraksi, dan derajat kesadaran), afektif atau emosional, tingkah laku, dan domain bioregulatory (tidur, nafsu, seksualitas) (Ferenci et al., 2002).

Sebagian besar pasien SH yang tidak menunjukkan gejala ensefalopati ternyata memiliki perubahan minimal yang terjadi pada fungsi kognitif, parameter elektrofisiologis, aliran darah, metabolisme dan homeostatis otak (Amodio et al., 2004). Keadaan tersebut awalnya dikenal sebagai ensefalopati subklinis, namun


(34)

berdasarkan kongres gastroenterologi di Viena tahun 1998, istilah tersebut dianggap tidak tepat karena adanya implikasi bahwa ensefalopati subklinis mempunyai patogenesis yang berbeda, sehingga istilah yang digunakan adalah EHM (Ferenci et al., 2002). Jadi pasien dengan EHM adalah pasien sirosis yang terlihat normal namun menunjukkan gangguan fungsi kognisi dan atau neurospikologis yang bervariasi. Fungsi kognitif utama yang terganggu pada pasien sirosis adalah kemampuan pemusatan perhatian yang kompleks dan ketrampilan motorik yang halus, selain itu gangguan memori jangka pendek, penurunan psikomotor dan fungsi eksekutif juga bisa terjadi (Groeneweg et al., 1998; Amodio et al., 2004).

Gambar 2.1

Perjalanan klinis ensefalopati hepatik (Bajaj et al., 2009)

Pada ensefalopati yang dini, tidak semua bagian fungsi kognitif yang terganggu. Beratnya gangguan kognitif yang terjadi pada pasien SH semakin nyata dengan perburukan sirosis, dan tidak tergantung penyebab sirosisnya (Amodio et al., 1999). Kemampuan berbahasa dilaporkan tidak terganggu kecuali dalam hal menurunnya kefasihan berbicara, hal ini terjadi sekunder akibat


(35)

penurunan dari kecepatan prosesi kognitif. Deteksi dini adanya EHM adalah sangat penting karena penyakit ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien, dan dapat memprediksi terjadinya EH yang nyata, selain itu dapat menjadi indikator prognosis pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir. Mengatasi EHM dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah terjadinya EH yang nyata (Randolph et al., 2009).

2.2. Patogenesis Ensefalopati Hepatik

Patogenesis EH adalah multifaktorial melibatkan aksi neurotoksin amonia, gangguan neurotranmisi otak, serta perubahan permeabilitas sawar darah otak. Secara teoritis pada gagal hati terjadi penurunan sintesis bahan-bahan yang diperlukan untuk fungsi otak yang normal, sintesis bahan-bahan yang ensefalopatogenik, penurunan metabolisme dari bahan yang ensefalopatogenik tersebut. Ketidakseimbangan metabolik dan peningkatan konsentrasi neurotoksin yang terjadi pada gagal hati dapat mengganggu polarisasi neuron, metabolisme neurotransmiter, sensitifitas pada reseptor neuron, dan metabolisme sel neuron. Gejala akan timbul bila terjadi dominasi neurotransmisi yang bersifat inhibisi seperti γ-aminoburtyric acid (GABA) dan glisin baik dengan atau tanpa penurunan neurotransmisi yang bersifat eksitasi seperti glutamat dan aspartat (Jones, 2000). Terdapat beberapa macam hipotesis patogenesis terjadinya EH.


(36)

2.2.1. Hipotesis amonia awal

Dasar dari hipotesis ini adalah amonia yang secara langsung bersifat neurotoksik. Hati mempunyai fungsi khusus dalam metabolisme amonia menjadi urea dan glutamin sehingga besar perannya dalam homeostatis amonia. Pada keadaan sirosis hepatis kapasitas hati untuk sintesis glutamin dari amonia menurun hingga 80%. Penelitian yang diketuai oleh Ong tahun 2003 menemukan korelasi yang konsisten (r=0,6 atau lebih tinggi) antara level amonia darah dan derajat beratnya klinis EH. Keberatan dalam teori ini adalah ketidaksesuaian antara EH pada SH dan ensepalopati pada hiperamonia murni akibat defek pada enzim siklus urea, dimana pemberian amonia per oral gagal mencetuskan EH (Amodio et al., 2004; Mullen, 2006; Haussinger & Schliess, 2008).

2.2.2. Hipotesis amonia unifying

Pada hipotesis ini penyebab EH adalah edema serebral yang disebabkan oleh edema astrosit karena influks amonia. Astrosit mempunyai enzim glutamin sintase untuk menghasilkan glutamin dari amonia dan glutamat, yaitu suatu mekanisme untuk mengatasi kelebihan amonia pada otak, namun pada keadaan kronis akan menyebabkan penumpukan glutamin, dimana penumpukan glutamin ini akan menyebabkan pembengkakan astrosit. Hipotesis ini didukung oleh adanya studi pada tikus yang diikat duktus koledokusnya sampai terjadi fibrosis, kemudian diberikan diet tinggi amonia. Pemeriksaan biopsi didapatkan adanya edema otak dengan pembengkakan astrosit dan inflamasi yang meningkat (Mullen, 2006; Aguirre et al., 2009).


(37)

2.2.3. Hipotesis neurotransmiter palsu

Pada hipotesis ini dikemukakan bahwa EH terjadi karena pembentukan neurotransmiter palsu pada pasien gagal hati untuk menggantikan neurotransmiter normal seperti dopamin di otak. Neurotransmiter palsu memiliki efek yang jauh lebih rendah dibandingkan normal. Hipotesis ini sejalan dengan hipotesis ketidakseimbangan asam amino plasma dimana didapatkan adanya pola yang abnormal dari asam amino pada pasien sirosis yaitu peningkatan kadar tirosin dan fenilalanin yaitu suatu prekursor neurotransmiter palsu diotak sebagai kompensasi penurunan konsentrasi asam amino rantai cabang dalam darah (Mullen, 2006).

2.2.4. Hipotesis gama amino butyric acid (GABA)/benzodiazepin

GABA merupakan neurotransmiter utama pada otak dengan fungsi inhibisi. Reseptor-reseptornya terdapat pada kebanyakan neuron-neuron di otak. Pada hipotesis ini terdapat peningkatan produksi GABA di otak sehingga mengakibatkan gangguan kesadaran dan fungsi motorik. Hipotesis benzodiazepin sejalan dengan hipotesis GABA, yaitu pada pasien sirosis terdapat peningkatan jumlah endogenous benzodiazepin dan juga jumlah reseptornya di astrosit yang berefek pada penguatan efek inhibisi GABA (Mullen, 2006).

2.2.5. Hipotesis tumor necrosis factor α(TNF α)

Pada hipotesis ini terdapat produksi yang berlebihan dari TNF α yang bersifat neurotoksik dan dapat mencetuskan ensefalopati. TNF α merupakan


(38)

makrofag, monosit, netrofil, limfosit dan natural killer cells, astrosit, sel

mikroglia, sel kuffer di hati. Beberapa studi mengatakan level TNF α meningkat

pada penyakit hati akut dan kronis, tertinggi pada keadaan sirosis dekompensata (Odeh, 2007).

Gambar 2.2

Patogenesis ensefalopati hepatik (Sherlock & Dooley, 2002)

2.2.6. Stress oksidatif dan nitrasi protein tirosin

Sampai saat ini hanya sedikit bukti yang langsung dapat menjelaskan keterlibatan stres oksidatif pada patogenesis terjadinya EH. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis ensefalopati menghasilkan radikal bebas dan menurunkan antioksidan di otak (Aguirre et al., 2009). Pada studi yang dilakukan pada sel astrosit tikus yang dikultur dan diberikan cairan hipoosmotik menunjukkan bahwa sel astrosit yang membengkak menghasilkan respon stres oksidatif (reactive oxygen species seperti


(39)

misalnya nitrit oxide) dan peningkatan nitrasi dari protein tirosin (peroxynitrite). Hal ini berakibat pada kerusakan astrosit yang lebih lanjut seperti misalnya kerusakan pada mitokondria, membran sel, perubahan aktivitas enzim dan meningkatnya degradasi protein oleh protease, dan lain-lain yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya gejala ensefalopati (Haussinger & Schliess, 2005).

Gambar 2.3

Patogenesis ensefalopati hepatik (Haussinger & Schliess, 2005) ROI/RNI: reactive oxygen/nitrogen intermediates

2.3. Diagnosis Ensefalopati Hepatik Minimal

Pada awal tahun 1970-an, penelitian yang diketuai oleh Zeegen pertama kali menggunakan Reitan trailmaking test (tes koneksi angka) untuk mendiagnosis EHM. Delapan tahun kemudian istilah EHM digunakan pada pasien


(40)

dengan abnormalitas pada tes psikometrik dan pada gambaran elektroensefalografi (EEG). Selanjutnya istilah EHM semakin banyak dikenal dan semakin banyak tes diagnostik yang berbeda yang dikembangkan dan digunakan untuk diagnosis EHM, dari tes psikometrik sederhana sampai tes psikometrik dengan bantuan komputer, tes neurofisiologi, bahkan dengan menggunakan pemeriksaan imaging dan spektroskopi (Bajaj et al., 2009; Dhiman & Chawla, 2009; Dhiman et al., 2010). Untuk lebih mudahnya alat-diagnostik ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok besar.

2.3.1. Tes psikometrik atau tes neuropsikologis

Berdasarkan hipotesis “perubahan mental dapat mendahului timbulnya

gejala neurologis EH yang nyata”, pada tahun 1970 Zeegen menemukan kurang lebih sepertiga dari 39 pasien pasca operasi dekompresi portal yang tampaknya sehat ternyata memiliki nilai yang abnormal pada Reitan Trail Making Test. Sejak itulah ahli neuropsikologi telah mendisain lebih dari 25 tes psikometrik untuk mendiagnosis EHM. Tes psikometrik memiliki sensitivitas yang tinggi dan cara pemakaian yang sederhana. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilainya seperti usia, tingkat pendidikan, latar belakang kultural, dan efek pembelajaran pada paparan yang berulang. Konsensus gastroenterologi sedunia ke 11 di Viena pada tahun 1998 merekomendasikan suatu tes neuropsikologis untuk mendiagnosis ensepalopati minimal pada pasien sirosis yaitu PHES yang terdiri dari 5 tes psikometri yaitu Digit Symbol Test (tes simbol digit), Number connection test A and B ( tes koneksi angka A dan B), Serial Dotting Test (tes


(41)

menggambar titik serial), Line Tracing Test (tes menggambar garis) (Ferenci et al., 2002).

2.3.2. Tes elektrofisiogis atau neurofisiologis

Tes neurofisiolgis memeriksa aktivitas listrik korteks serebral dalam bentuk gelombang otak (elektroensefalografi/ EEG) atau pola cetusan-cetusan listrik dari sel otak (teknik evoked potential). Pada beberapa penelitian menunjukkan adanya perubahan pada EEG atau respon dari evoke pada pasien sirosis tanpa adanya gejala ensefalopati, sehingga alat tersebut adalah tidak spesifik dan tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis ensefalopati. Yang dapat dijadikan patokan untuk menilai EH adalah derajat perubahan dari gelombang dasar. Untuk penilaian yang lebih akurat dapat menggunakan analisis dengan bantuan komputer, yaitu dengan mengetahui nilai rata-rata gelombang EEG pada tiap domain dan kekuatan dari masing-masing gelombang (Ferenci et al., 2002). Namun alat ini dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya EHM bila terjadi perubahan EEG atau respon evoke tanpa adanya penyebab lain yang diketahui karena telah dibuktikan adanya korelasi antara perubahan EEG dengan konsentrasi amonia plasma yang mengindikasikan adanya disfungsi hati (Amodio et al., 2004). Yang termasuk dalam pemeriksaan neurofisiologis diantaranya: elektroensefalografi (EEG), P300 evoked potentials, somatosensory-evoked potentials (SSEP), brain stem auditory-evoked potentials (BAEP), dan visual-evoked potentials (VEP). Pada praktik sehari-hari pemeriksaan-pemeriksaan


(42)

tersebut tidak dapat digunakan secara luas karena dibutuhkan peralatan yang canggih dan tenaga yang ahli untuk menginterpretasi hasil tes.

2.3.3. Tes pencitraan otak

Pada beberapa dekade terakhir terjadi revolusi yang besar pada bidang neuroimaging. Modalitas seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan spektroskopi, computed x-ray tomography (CT), dan positron emission tomography (PET) dapat menyediakan evaluasi struktural, fisiologikal, dan biokimia otak secara non invasif. Peran pentingnya dalam diagnosis EH adalah mengeksklusi adanya penyakit otak organik yang lain. MRI otak sebenarnya dapat menunjukkan abnormalitas yang khas untuk EH yaitu adanya hipertens yang simetris pada area globus palidus. Tetapi perubahan ini tidak berkolerasi dengan derajat EH. Penyebab hipertens pada daerah globus palidus ini diduga akibat resonansi adanya pengendapan mangan didaerah ganglia basalis karena bersihan oleh hati yang berkurang (Ferenci et al., 2002; Fleming, 2011). Perubahan regional aliran darah otak telah diteliti pada pasien hepatitis kronik, sirosis hepatis, dan ensefalopati hepatik minimal menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT). Pada pasien dengan EHM didapatkan penurunan yang signifikan dari aliran darah pada thalamus kanan dibandingkan pasien tanpa ensefalopati minimal. Pada penelitian lain didapatkan aliran darah yang berkurang adalah pada area frontotemporal bilateral dan ganglia basalis kanan (Yazgan et al. , 2003).


(43)

2.3.4 Critical flicker frequency

Critical Flicker Frequency (CFF) dapat didefinisikan sebagai respon tercepat dari suatu sumber cahaya yang dapat diinterpretasi oleh korteks serebri sebagai suatu kedipan. Pemakaian alat CFF pada awalnya digunakan sebagai tes untuk pemeriksaan respon sistem saraf sentral terhadap obat-obatan yang bekerja sentral (Turner, 1968). Penelitian-penelitian selanjutnya telah mempergunakan CFF pada beberapa penyakit.

Salah satu hipotesis terjadinya EH adalah terjadinya pembengkakan astrosit akibat influks amonia, dan pembengkakan tersebut juga terjadi di retina yang dikenal sebagai retinopati hepatik (Reichenbach et al., 1995; Mullen, 2006). Berdasarkan hipotesis tersebut maka gangguan di retina dapat dijadikan suatu petanda terjadinya gangguan serebral pada EH. Hal ini mendasari Kircheis pada tahun 2002 melakukan penelitian untuk mengetahui fungsi CFF dalam mendiagnosis EHM dan didapatkan sensitifitas dan spesifisitas sebesar 50% dan 100% pada ambang nilai CFF sebesar 39 Hz (Kircheis et al., 2002). CFF juga dapat mengukur derajat keparahan dari EH, dimana CFF menurun secara paralel sejalan dengan peningkatan derajat beratnya sirosis (Haussinger & Schliess, 2008).

2.4. PHES

Istilah PHES pertama kali diciptakan oleh Dr Andres Blei pada tahun 2001 (Weissenborn, 2008). Tes ini khusus dibuat untuk mendiagnosis adanya EH dan telah terbukti sensitif untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada pasien


(44)

sirosis. Tes PHES terdiri dari 5 tes psikometrik yaitu Digit Symbol Test/DST (tes symbol digit), Number connection test A and B/NCT A and B (tes koneksi angka A dan B), Serial Dotting Test/SDT (tes menggambar titik serial), Line Tracing Test/LTT (tes menggambar garis). Pada tes simbol digit, terdapat kotak yang terisi angka 1-9 dan simbol-simbol yang mewakili masing-masing angka tersebut. Subjek diminta untuk membuat simbol yang sesuai dengan angka pada bagian kotak yang kosong. Tes ini adalah untuk menilai fungsi kecepatan graphomotor/menulis, kecepatan prosesi kognitif, persepsi visual, dan working memory. Pada tes menggambar titik serial, subjek diminta untuk menggambar titik pada lingkaran yang telah disediakan dan subjek diharapkan menyelesaikannya dalam waktu secepat mungkin. Tes ini adalah untuk menilai kecepatan motorik. Pada tes menggambar garis, subjek diminta untuk menggambar garis kontinyu diantara 2 garis paralel yang sudah ada. Tes ini adalah untuk menilai akurasi dan kecepatan motorik. Pada tes koneksi angka A, subjek diminta untuk mengambar garis yang menghubungkan tiap angka secara berurutan secepat mungkin. Tes ini adalah untuk menilai kecepatan psikomotor, efisiensi dari visual scanning, pemusatan perhatian, merangkai, dan konsentrasi. Pada tes koneksi angka B, subjek diminta untuk menggambar garis yang menghubungkan antara angka dan huruf secara berurutan sesuai dengan urutan sewaktu menghitung dan urutan alfabet. Tes ini adalah untuk menilai attention set shifting ability, kecepatan psikomotor, efisiensi viual scanning, pemusatan perhatian, merangkai, dan konsentrasi. Adapun kelebihan dari tes PHES ini dalah memiliki sensitivitas, spesifisitas dan reliabilitas yang tinggi, mudah dikerjakan, bedside test, dan


(45)

murah. Sedangkan kekurangan dari tes ini adalah memerlukan data normatif yang representatif, dipengaruhi oleh umur, pendidikan, latar belakang sosial budaya. Selain itu tes koneksi angka B tidak dapat dikerjakan pada pasien yang buta huruf (Weissenborn, 2008).

Tes PHES harus distandarisasi dan divalidasi pada populasi dimana tes tersebut akan diterapkan karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan, dan bahasa. Hasil International Society for Hepatic Encephalopathy and Nitrogen Metabolism (ISHEN) merekomendasikan bahwa tes neuropsikologis yang akan digunakan dalam mendiagnosis EHM harus distandarisasi pada populasi lokal karena untuk mendiagnosis EHM adalah berdasarkan pada penyimpangan atau deviasi dari nilai normal tersebut. Tes PHES sudah divalidasi di Jerman, Spanyol, Italia, Meksiko dan Inggris. Pada studi yang dilakukan di Meksiko umur dan pendidikan berpengaruh terhadap hasil tes, usia yang lebih muda dengan pendidikan yang lebih tinggi mempunyai nilai yang lebih tinggi. Pasien yang ditemukan dengan EHM adalah kebanyakan berusia tua, berpendidikan rendah dan seringkali tidak bekerja. Pada studi ini juga didapatkan bahwa derajat sirosis berdasarkan kerusakan fungsi hati (berdasarkan kriteria Child Turcotte Pugh/CTP) tidak ditemukan berpengaruh pada PHES walaupun terdapat peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya derajat CTP, sedangkan pada studi yang dilakukan di Italia didapatkan bahwa fungsi hati ada hubungannya dengan PHES. Pada studi ini EHM didiagnosis bila total skor PHES adalah kurang dari -4 standar deviasi dari standar nilai populasi normal, sama dengan penelitian di German dan Spanyol, sedangkan di Italia nilai cut off yang digunakan adalah ≤ -4 standar


(46)

deviasi. Pengulangan tes untuk menilai reabilitas juga dilakukan pada studi di Meksiko dan menunjukkan adanya peningkatan nilai dibandingkan dengan nilai pada tes pertama. Hal ini diperkirakan karena adanya efek pembelajaran karena pengulangan. Hal serupa juga ditemukan pada studi di Italia. Namun pada studi yang dilakukan oleh Bajaj et al. tidak menunjukkan adanya peningkatan nilai setelah dilakukan pengulangan tes pada pasien EHM (Rojo et al., 2011).

2.5. Validitas dan Reliabilitas

Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) adalah dua karakteristik yang amat penting dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Sugiyono, 2011). Validitas merupakan produk dari validasi. Validasi adalah proses untuk menentukan kemampuan dari suatu alat untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga meliputi analisis karakteristik performa dari suatu tes diagnostik seperti misalnya spesifisitas, sensitivitas, standarisasi, repeatability, cut off (Ederven, 2010). Yang dimaksud dengan performa dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suatu penyakit (Gatsonis & Paliwel, 2006; WHO, 2011).

Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran yaitu suatu alat atau instrumen memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang. Namun harus dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang memiliki validitas dan reliabilitas yang sempurna (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).


(47)

2.5.1. Validitas

Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau instrumen dapat menggambarkan hal yang sebenarnya ingin diukur. Validitas mengacu pada kebenaran dan kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe validitas.

2.5.1.1. Validitas isi (Content Validity)

Menggambarkan seberapa jauh kumpulan variabel dalam instrumen dapat mewakili atau merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian validitas isi adalah secara judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009).

2.5.1.2. Validitas kriteria (criterion validity)

Menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold standar). Penilaian validitas kriteria dilakukan dengan membandingkan secara statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap baku emas. Bila suatu instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan dengan kemampuan diskriminan (discriminant ability) atau dengan menggunakaan known group validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang bermakna pada subjek yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran dari subjek atau kelompok pembanding. Kelompok pembanding diambil dari populasi yang berbeda karakteristiknya dengan populasi yang akan diukur (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).


(48)

2.5.1.3. Validitas kontruksi (Construct Validity)

Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur sesuai dengan konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam penilaian validitas kontruksi dilakukan analisis untuk membuktikan apakah pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur mewakili apa yang hendak diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien korelasi tiap butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang kuat (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang stabil pada pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Terdapat 3 macam pendekatan reliabilitas yang akan dijelaskan di bawah (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.2.1. Reliabilitas test-retest (Intra-Observer Reliability)

Pengukuran pada subjek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang berbeda menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini


(49)

adalah bahwa suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila dikenakan 2 kali pada waktu yang berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu diperhatikan adanya kemungkinan perubahan kondisi subjek sejalan dengan perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan dapat terjadi karena masih ingatnya subjek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu pertama kali tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama kali dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang disediakan diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang waktu terlalu singkat akan sangat mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan terjadi perubahan aspek yang akan diukur dalam diri subjek (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.2.2. Reliabilitas inter-observer

Pengukuran suatu instrumen pada subjek yang sama oleh pemeriksa yang berbeda menunjukkan hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subjek yang sama, maka kemungkinan-kemungkinan seperti pada cara test-retest dapat terjadi (Azwar, 2010).

2.5.2.3. Reliabilitas konsistensi interna (Internal Consistency Reliability)

Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu tes yang hanya dikenakan pada satu kali pengukuran pada sekelompok subjek ( single-trial administration). Dengan menyajikan tes hanya sekali maka kemungkinan-kemungkinan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dihindari. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Untuk


(50)

melihat kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui teknik korelasi (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009).


(1)

murah. Sedangkan kekurangan dari tes ini adalah memerlukan data normatif yang representatif, dipengaruhi oleh umur, pendidikan, latar belakang sosial budaya. Selain itu tes koneksi angka B tidak dapat dikerjakan pada pasien yang buta huruf (Weissenborn, 2008).

Tes PHES harus distandarisasi dan divalidasi pada populasi dimana tes tersebut akan diterapkan karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan, dan bahasa. Hasil International Society for Hepatic Encephalopathy and Nitrogen Metabolism (ISHEN) merekomendasikan bahwa tes neuropsikologis yang akan digunakan dalam mendiagnosis EHM harus distandarisasi pada populasi lokal karena untuk mendiagnosis EHM adalah berdasarkan pada penyimpangan atau deviasi dari nilai normal tersebut. Tes PHES sudah divalidasi di Jerman, Spanyol, Italia, Meksiko dan Inggris. Pada studi yang dilakukan di Meksiko umur dan pendidikan berpengaruh terhadap hasil tes, usia yang lebih muda dengan pendidikan yang lebih tinggi mempunyai nilai yang lebih tinggi. Pasien yang ditemukan dengan EHM adalah kebanyakan berusia tua, berpendidikan rendah dan seringkali tidak bekerja. Pada studi ini juga didapatkan bahwa derajat sirosis berdasarkan kerusakan fungsi hati (berdasarkan kriteria Child Turcotte Pugh/CTP) tidak ditemukan berpengaruh pada PHES walaupun terdapat peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya derajat CTP, sedangkan pada studi yang dilakukan di Italia didapatkan bahwa fungsi hati ada hubungannya dengan PHES. Pada studi ini EHM didiagnosis bila total skor PHES adalah kurang dari -4 standar deviasi dari standar nilai populasi normal, sama dengan penelitian di German dan Spanyol, sedangkan di Italia nilai cut off yang digunakan adalah ≤ -4 standar


(2)

deviasi. Pengulangan tes untuk menilai reabilitas juga dilakukan pada studi di Meksiko dan menunjukkan adanya peningkatan nilai dibandingkan dengan nilai pada tes pertama. Hal ini diperkirakan karena adanya efek pembelajaran karena pengulangan. Hal serupa juga ditemukan pada studi di Italia. Namun pada studi yang dilakukan oleh Bajaj et al. tidak menunjukkan adanya peningkatan nilai setelah dilakukan pengulangan tes pada pasien EHM (Rojo et al., 2011).

2.5. Validitas dan Reliabilitas

Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) adalah dua karakteristik yang amat penting dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Sugiyono, 2011). Validitas merupakan produk dari validasi. Validasi adalah proses untuk menentukan kemampuan dari suatu alat untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga meliputi analisis karakteristik performa dari suatu tes diagnostik seperti misalnya spesifisitas, sensitivitas, standarisasi, repeatability, cut off (Ederven, 2010). Yang dimaksud dengan performa dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suatu penyakit (Gatsonis & Paliwel, 2006; WHO, 2011).

Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran yaitu suatu alat atau instrumen memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang. Namun harus dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang memiliki validitas dan reliabilitas yang sempurna (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).


(3)

2.5.1. Validitas

Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau instrumen dapat menggambarkan hal yang sebenarnya ingin diukur. Validitas mengacu pada kebenaran dan kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe validitas.

2.5.1.1. Validitas isi (Content Validity)

Menggambarkan seberapa jauh kumpulan variabel dalam instrumen dapat mewakili atau merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian validitas isi adalah secara judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009).

2.5.1.2. Validitas kriteria (criterion validity)

Menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold standar). Penilaian validitas kriteria dilakukan dengan membandingkan secara statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap baku emas. Bila suatu instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan dengan kemampuan diskriminan (discriminant ability) atau dengan menggunakaan known group validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang bermakna pada subjek yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran dari subjek atau kelompok pembanding. Kelompok pembanding diambil dari populasi yang berbeda karakteristiknya dengan populasi yang akan diukur (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).


(4)

2.5.1.3. Validitas kontruksi (Construct Validity)

Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur sesuai dengan konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam penilaian validitas kontruksi dilakukan analisis untuk membuktikan apakah pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur mewakili apa yang hendak diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien korelasi tiap butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang kuat (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang stabil pada pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Terdapat 3 macam pendekatan reliabilitas yang akan dijelaskan di bawah (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.2.1. Reliabilitas test-retest (Intra-Observer Reliability)

Pengukuran pada subjek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang berbeda menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini


(5)

adalah bahwa suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila dikenakan 2 kali pada waktu yang berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu diperhatikan adanya kemungkinan perubahan kondisi subjek sejalan dengan perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan dapat terjadi karena masih ingatnya subjek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu pertama kali tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama kali dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang disediakan diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang waktu terlalu singkat akan sangat mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan terjadi perubahan aspek yang akan diukur dalam diri subjek (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.2.2. Reliabilitas inter-observer

Pengukuran suatu instrumen pada subjek yang sama oleh pemeriksa yang berbeda menunjukkan hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subjek yang sama, maka kemungkinan-kemungkinan seperti pada cara test-retest dapat terjadi (Azwar, 2010).

2.5.2.3. Reliabilitas konsistensi interna (Internal Consistency Reliability)

Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu tes yang hanya dikenakan pada satu kali pengukuran pada sekelompok subjek (single-trial administration). Dengan menyajikan tes hanya sekali maka kemungkinan-kemungkinan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dihindari. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Untuk


(6)

melihat kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui teknik korelasi (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009).