Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46)

(1)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

O l e h :

ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair, SH, M. Hum) NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing IDosen Pembimbing II

(Prof. DR. Syariffuddin Kallo, SH. M.Hum) (M. Nuh, SH, M.Hum)

NIP. NIP.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

PENANGANAN DAN PENEGAKKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007

O l e h :

ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA


(3)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah mendurahkan nikmat dan karunia-Nya kepad penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat teriring salam kita panjatkan kepad junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari jaman jahiliah kealam reformasi ini, dam juga salam kepada keluarga, sahabat dan saudara seiman seaqidah.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah :

“PENANGANAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

(STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)”

Sebagai seorang hamba Allah, penulis sadar bahwa benar sripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki, sedikitnya pengalaman dan literatur-literatur yang belum menunjang judulyang penulis majukan dalam skripsi ini.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif guna lebih terciptanya suasana untuk mendekati kesempurnaan dalam skripsi ini.


(4)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak lansung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. DR. Syarifuddin Kallo, SH. M.Hum, selaku Dosen

Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak M. Nuh, SH. M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan.

Dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh perjuangan, penulis ingin mengaturkan terima kasih yang tak terhingga pada :

1. Kedua orang tua yang tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan yang tak terhingga baik dimasa perkuliahan sampai selesai. 2. Saudara-saudaraku tercinta, seluruh keluarga besarku yang telah

memberikan segala perhatian dan dorongan semangat serta ketulusan kasih sayang yang begitu dalam kepada penulis.


(5)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

3. Rekan – rekan seangkatan Stb’03 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Teruslah berjuang dan berkarya, semoga persahabatan kita akan tetap abadi.

Terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh pihak yang turut mendukung proses penyelesaian skipsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri dan memohon ampunan.

Semoga skripsi ini memberi manfaat bagi yang membacanya.

Medan, September 2007


(6)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

ABSTRAK

Salah satu semangat diundangnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya, dengan demikian dalam jangka panjang di harapakan tindak pidana korupsi dapat berkurang.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintahan maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan meperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, dan bagaimanakah penanganan dan penegakan huku terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana Korupsi di indonesia.

Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum sosiologis atau empiris dengan melakukan pendekatan penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam upaya menganlisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Unsur/elemen yang terkandung dalam korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU TPPK adalah adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum, tujuan dari perbuatan tersebut yakni memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Modus pencucian uang dapat dilakikan untuk menyembunyikan hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah Placement (upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan melalui sistem keuangan). Layering (Upaya untuk memisahkan atau lebih menjauhkan hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan serangkain transaksi yang kompleks untuk menyamarkan/ mengelabui sumber sumber dana ”haram”tersebut). dan integration (upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan). Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian unag melibatkan suatu institusi yang relatif baru yaitu : PPATK. Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang mendasarkan pada KUHAP diatur dalam UU TPPU, seperti adanya memberikan perlindungan saksi dan pelapor pada setiap tahap pemeriksaan : penyidikan, penuntutan dan peradilan, adanya pembuktian terbalik, dan lain-lain.


(7)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 3

ABSTRAK ... 6

DAFTAR ISI ... 7

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 13

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 13

B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 23

C. Peraturan-Peraturan Yang Terkait Dengan Pemberantasan Korupsi... 38

D. Jenis – jenis Delik Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Korupsi... 42

BAB III MODUS PENCUCIAN UANG YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENYEMBUYIKAN UANG HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI ... 44


(8)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

A. Pengertian Pencucian Uang ... 44

B. Lahirnya International Legal Regime dalam upaya Pemberantasan Pencucian Uangdi Dunia ... 49

C. Pengaruh International Legal Regime Anti Money Loundering Terhadap Indonesia ... 55

D. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana PencucianUang (UU No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004) ... 58

E. Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 61

BAB IV PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46 ... 67

A. Kasus L/C FIKTIF BNI 46 ... 67

B. Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46 ... 89

C. Hambatan-Hambatan Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 105


(9)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dengan kemajuan teknologi informasi dan globalisasi keuangan mengakibatkan makin mandunianya perdagangan barang dan jasa arus finansial yang mengikutinya. Kamujuan tersebut tidak selamanya memberikan dampak yang positif bagi suatu negara, karena terkadang justru sarana yang subur, bagi perkembangan kejahatan, khusunya kejahatan kerah putih (white collar crime).

Kejahatan kerah putih sudah berkembang pada taraf transnational yang tidak lagi mengenal batas-batas teritorial negara. Bentuk kejahatannya pun semakin canggih dan terorganisir secara rapih, sehingga sulit untuk dideteksi. Pelaku kejahatan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui berbagai cara, salah satunya dengan melakukan pencucian uang (money laundering). Dengan cara ini mereka mencoba untuk mencuci sesuatu yang didapat secara illegal menjadi suatu bentuk yang telihat legal. Dengan pencucian ini, pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal usul yang sebenarnya dana atau uang hasil kejahatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan ini pula para pelaku kejahatan dapat menikmati hasil kejahatan secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil dari suatu kegiatan yang legal.

Paling tidak ada tiga motovasi mengapa pelaku kejahatan melakukan pencucian uang hasil kejahatan yang dilakukannya, yaitu kekhawatiran para


(10)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

pelaku akan berhadapan dengan petugas pajak, penuntutan oleh aparat penegak hukum, dan kekhawatiran hasil kejahatan tersebut disita.

”The motivation for all of this activity arises from a situation where a person attempts to spend illegally-acquired money without first hiding its origin. When this accurs, one of there possibilite is likely tp result: (1) the individual may be held liable for taxes on the fund and/or for non-payment of taxes; (2) the money may be linked to the crime, making the owner a target for persecution; (3) the money may be subject to forfeiture if the government find that’s it was illegally acquired”.1

Indonesia termasuk “surga” bagi para pelaku kejahatan sebagai tempat untuk mencuci hasil kejahatan, bahkan menurut Harry Azhar Azis, Direktur Institute for Transformation Studies memperkirakan banyaknya uang yang dicuci di Indonesia mencapai jumlah Rp. 50 triliun.

Untuk memberantas praktek pencucian uang, maka pada tahun 2002 Indonesia telah menkriminalisasi pencucian uang, yaitu dengan diundangkannya. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

2

1

Emily G Lawrence, Let Seller Beware : Money Laundering, Merchants and 18 USC , 1956, 1957, vol. 37, Colledge 1, Rev. (1992), hal. 841.

2

Harry Azhar Azis, Uang haram Rp. 50 Trilliun beredar di Indonesia, Republika (27 Januari 2001).

Uang hasil kejahatan yang dicuci tersebut biasanya berasal dari kejahatan kerah putih (Hhitte collar crime). Di Indonesia uang hasil kejahatan tersebut terutama di peroleh dari tindak pidana korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa core crime yang dominan dalam tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana korupsi.


(11)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonimian serta penataan ruang wilayah.

Di Indonesia korupsi dikenal dengan istillah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paing rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai “Penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum”.3

Sedangkan pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia.

Berdasarkan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya.

4

Transparansi International menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar yang terkorup didunia dalam hasil surveinya.5

3

Hamilton-Hart, Natasha. Anti Corruption Startegies in Indonesia. (Jakarta : Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (1), 2001), hal. 65 – 82.

4

Kompas, 19 Maret, 2005, http://www.kompas.com/

5


(12)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Salah satu semangat diundangkannya Undang – undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil Kejahatannya, dengan demikian dalam jangka panjang diharapkan tindak pidana korupsi dapat berkurang.

Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap penanganan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia? 3. Bagaimanakah penanganan dam penegakan hukum terhadap tindak pidana

pencucian uang dari hasil tindak pidana dari hasil korupsi di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk menjelaskan modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia. 3. Untuk mengetahui dan menganalisa penanganan dan penegakan hukum

terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.


(13)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

1. Segi teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum Pidana khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

b. Hasil penelitian ini diharpakan memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidah –kaidah hukum di abad ini.

c. Penelitian ini diharapkan dapar meberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Segi Praktis

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan kepada apartur negara dan pihak-pihak lainnya dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian baik di kepustakaan maupun di lapangan, perihal Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak

Pidana Pencucian Uang Dari hasil tindak Pidana korupsi di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46) ini memang sudah ada yang meneliti

atau membahas dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-bahan diskusi, seminar dan lokakarya, namun dengan pokok permasahan


(14)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

yang berbeda. Oleh karena itu maka dapat dianggap. Oleh karena itumaka dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.

E. Tinjauan Kepustakaan

Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintas batas wilayan negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, terorisme, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya.

Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system).

Dengan demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan inilah yang dikenal dengan pencucian uang (money laundering).6

Sutan Remy Sjahdeni mengartikan pencucian uang sebagai:

6

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian


(15)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan asal usulnya dari pihak yang berwenang agar tidak dilakukan penindakan terhadap tindak pidana tersebut dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila akhirnya uang tersebut dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka uang itu telah berubah menjadi uang sah.7

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 2003 disebutkan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga tenaga kerja, penyelundupan imigran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal, tindak pidana di bidang asuransi. Tindak pidana narkotika, Melalui proses pencucian uang, maka pelaku kejahatan dapat mempergunakan uang hasil kejahatannya seolah-olah uang tersebut didapatkan dari suatu hasil yang sah. Hal ini merupakan salah satu pemicu tumbuh berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia, karena pada koruptor dapat dengan mudahnya memasukkan uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukanya kedalam sistem keuangan dan kemudian mempergunakannya kembali seolah-olah didapat dari hasil yang sah.

Hal tersebut mendorong FATF (Financial Action Task Force) pada tahun 1990 mengeluarkan Forty Recommendation, yaitu rekomendasi bagi negara-negara untuk mengurangi pencucian uang, salah satu caranya adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang. Atas Forty Recommendation tersebut, pada tahun 2002 diundangkanlah Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

7


(16)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, Penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, Prostitusi, tindak pidana dibidang perpajakan, tindak pidana dibidang kehutanan, tindak pidana di bidang lingkungan hidup, tindak pidana di bidang kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

Dari rumusan pasa l2 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2003 tersebut maka jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari tindak pidana pencucian uang.

Untuk memberantas tindak pidana korupsi maka indonesia melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Meskipun demikian tindak pidana korupsi tetap terjadi, Undang-undang no. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang diharapkan dapat membatasi ruang gerak para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya.

Guna tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami penelitian ini, maka penulis memberikan batasan terhadap istilah yang di pergunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. WPJ Pompe mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.8

Mengenai sifat melawan hukum, M. Sudrajat Bassar, membagi sifat melawan hukum menjadi 2, yaitu :

8


(17)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

a. Sifat melawan hukum materil merupakan sifat melawan hukum yang luas, yaitu melawan hukum itu sebagai suatu unsur yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar pada umumnya)

b. Sifat melawan hukum formal merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru merupakan unsur daripada tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana.9

Sedangkan Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 10

2. Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,

membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.11

3. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang untuk dipergunakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa.12

Subekti menyatakan bahwa pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam surat

9

Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, makalah dalam majalah hukum Varia Peradilan Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007,

hal. 24.

10

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hal. 54.

11

Indonesia, Undang Republik Indonesia tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 25 Tahun 2003,

LN, No. 108 Tahun 2003, Pasal 1 butir 2.

12

M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 252.


(18)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

persengketaan.13 Sedangkan Martiman Projokawidjojo mengemukakan,

membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.14

4. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tak berwujud.15

F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptip analitis yang menggambarkan secara sistematis data mengenai masalah yang akan dibahas. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalamm praktik di Indonesia.

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, yaitu kegiatan mengumpulkan data-data sekunder yang terdiri dari:

13

Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 7.

14

Sasangka Hari, dan Rasita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kelima 2001), hal. II.

15


(19)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional. 2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.

4. Analisa Data

Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis normatif kualitatif. Dengan demikan akan merupakan analisis data tanpa mempergunakan rumus dan data matematis.

G. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan

Pada bab ini berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan Tindak Pidana Korupsi

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian tindak pidana korupsi, kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia, peraturan-peraturan yang terkait dengan pemberantasan korupsi, jenis-jenis delik tindak pidana korupsi menurut UU Korupsi.


(20)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Bab III Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang unsur-unsur pokok pencucian uang, lahirnya International Legal Regime dalam upaya

pemberantasan pencucian uang di dunia, pengaruh International Legal Regime Anti Money Laundering terhadap Indonesia, asas-asas dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004), modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil tindak pidana korupsi.

Bab IV Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang kasus L/C Fiktif BNI 46 (posisi kasus dan analisa kasus), penanganan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia studi kasus L/C fiktif BNI 46, hambatan-hambatan penanganan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dan mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan.


(21)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi berarti perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang suap dan sebagainya.16

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang berarti menyuap. Dan selanjutnya dikatakan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere yang berarti merusak.17 Dari bahasa latin ini kemudian turun ke

banyakbahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Menurut Jur Andi Hamzah, kata korupsi dalam bahasa Indonesia adalah turunan dari Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie) yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah.18

Di Indonesia istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsiderans peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran

16

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), cet. VII, hal. 524.

17

Fockema Andreae, Kamus Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983).

18

Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan


(22)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi perlu segera menetapkan sesuatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya ...19

Berdasarkan konsideran peraturan tersebut, korupsi memiliki dua unsur: pertama, perbuatan yang berakibat pada kerugian perekonomian Negara. Kedua, perbuatan yang berbentuk penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan tertentu.20

(… suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/ pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi).

Menurut Edelherz, dalam bukunya The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies disebutkan sebagai berikut:

“White collar crime: … an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain money or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage.”

21

1. Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publi (public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan seseorang penjabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan Menurut Philip (1997) sebagaimana dikutip Munawar Fuad Noeh ada tiga pengertian luas yang sering dipakai dalam berbagai pembahasan tentang korupsi, yaitu:

19

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 115. Lihat juga Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 33.

20

Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 33-35.

21

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra aditya Bakti, 2005), hal. 34.


(23)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya, seperti keluarga, karib kerabat, dan teman. Pengertian itu, seperti terlihat, juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.

2. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seseorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberi imbalan (apakah uang atau yang lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.

3. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.22

Lebih lanjut Munawar Fuad Noeh menyimpulkan bahwa sedikitnya terdapat tujuh macam korupsi, yaitu:

1. Pertama, korupsi transaksional, yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak. Keduanya sama-sama mendapat keuntungan dan karenanya sama-sama mengupayakan secara aktif terjadinya korupsi.

2. Kedua, korupsi yang bersifat memeras, yaitu apabila pihak pertama harus melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan usaha dari pihak kedua itu.

3. Ketiga, korupsi yang bersifat ontogenik, yaitu hanya melibatkan orang yang bersangkutan. Misalnya, seseorang anggota parlemen mendukung golnya sebuah rancangan undang-undang, semata karena undang-undang tersebut akan membawa keuntungan baginya.

4. Keempat, korupsi defensive, yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk membela dirinya.

5. Kelima, korupsi yang berarti investasi. Misalnya memberikan pelayanan barang atau jasa dengan sebaik-baiknya agar nantinya mendapat ’uang terima kasih’ atas pelayanan yang baik itu.

6. Keenam, korupsi yang bersifat nepotisme. Yaitu penunjukan ’orang-orang saya’ untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa ’keluarga’ sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.

7. Ketujuh, korupsi supportif, yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan uang, jasa atau pemberian apapun. Misalnya, membiarkan

22


(24)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

berjalannya sebuah tindakan korupsi dan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dan situasi yang korup.23

Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Beliau membagi korupsi membagi ke dalam tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik dan dukungan.24

Dari bunyi pasal yang demikian, jelas Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah ”setiap orang”. Istilah ”setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus dipahami sebagai orang perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum (Rechtspersoon) untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa juga korporasi (lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan Dalam kajian ilmu pengetahuan, korupsi merupakan objek hukum yang pada konteks di Indonesia dikategoriukan sebagai salah satu delik kasus di luar KUHP dan pada saat ini telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, disebutkan bahwa:

Setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memeperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).

23

Ibid., hal. 5.

24

Yunus Husein, Alasan Orang Banyak Korupsi, Dimuat di Harian Seputar Indonesia pada Hari Senin, 12 Juni 2006.


(25)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini.

Sedangkan bagi siapa saja terbukti melakukan tindak pidanan korupsi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penangggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat dipidana mati.

Menurut Darwin Prinst (2002 : 23), keseluruhan sanksi yang terdapat dalam UU PTPK dan khususnya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) pada dasarnya menganut 3 sifat dari ancaman pidana, yakni: pertama, kata ”dan atau” yang tertuang dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat komulatif dan alternatif. Kedua, kata ”dan” yang terdapat dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut adalah bersifat komulatif. Ketiga, kata ”atau” yang tertera dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat alternatif.25

Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, juga menghendaki agar istilah korupsi diartikan sebagai setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

25

Paul Sinlaeloe, Korupsi Dalam Perspektif Yuridis Selasa 18 September 07 (18: 17).


(26)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu berarti, unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah pertama, adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum. Kedua, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Ketiga, akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

1. Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, seharusnya dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berarti perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidanda korupsi adalah yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana.

Pengertian melawan hukum secara materi (Materiele Wederrechttelijkeheid) dalam Hukum Pidana diartikan sama dengan pengertian ”melawan hukum (Onrechtmatige Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas legalitas yang bahasa latin, disebut: ”Nullum Delictum Nulla Poena Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana Indonesia pengertiannya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: ”suatu perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan yang telah ada”.


(27)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Di dalam Yuresprudensi yang sudah ada, dalam teori hukum juga diakui bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu tidak saja bertentangan dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati oleh masyarakat.26

1) Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efifisiensi tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary efforts).

Dalam kaitannya dengan perluasan unsur melawan hukum ini, berpendapat bahwa mengikat kharateristik tindak pidana korupsi yang muncul akhir-akhir ini, idealnya unsur perbuatan melawan hukum harus dipahami baik secara formil maupun materil karena:

2) Kedua, dalam merespon perkembangannya kebutuhan hukum dalam

masyarakat , agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.27

2. Memperkaya Diri Sendiri, Oran Lain Atau Korporasi

Ada 3 point yang harus dikaji dalam unsur/elemen ini berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi, yaitu:

1) Pertama, memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.

2) Kedua, memperkaya orang lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.

26

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Penerbit Politea Bogor, 2000), hal. 294.

27

Marwan Effendi, Tindak Pidana Korupi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia ), 2002, hal. 14


(28)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

3) Ketika, memperkaya korporasi yakni akbat dari perbuatan mekawan Hukum dari pelaku, suatu korporasi, yaitu kumpulan orang-atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum Maupun bukan badan hukum. (Pasal 1 ayat (1) UU PTPK) yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. 28

Unsur/elemen ini pada dasarnya merupakan unsur/elemen yang sifatnya alternatif. Artinya jika salah suatu point diantara ketiga point ini terbukti, maka unsur ”memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” ini dianggap telah terpenuhi. Pembuktian unsur/elemen ini sanagt tergantung pada bagaimana cara orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau memperkaya korporasi, yang hendaknya dikaitkan dengan unsur/ elemen ”menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ”yang tercantum dalam Pasal 3 UU PTPK.

Pasal 3 UU PTPK, disebutkan bahwa:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).

Dari bunyi Pasal 3 UU PTPK yang seperti ini, maka perlu dipahami bahwa yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsinya adalah korporasi dan orang-perorangan (Persoonlijkheid). Namun jika dipahami secara teliti, maka kalimat ”setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan...”,

28


(29)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 UU PTPK haruslah orang-perorangan (Persoonlijkheid) dalam hal ini seorang pejabat/pegawai negeri.

Menurut Pasal 1 ayat (2) UU PTPK, yang dimaksud dengan pegawai negeri meliputi :

1) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang kepegawaian (UU No. 8 Tahun 1974).

2) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 92 KUHP 3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara

4) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah

5) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.29

Unsur/elemen menyalahgunakan wewenang, kesempata atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan dari Pasal 3 UU PPTK ini pada dasarnya merupai unsur/elemen dalam Pasal 52 KUHP. Namun, rumusan yang menggunakan istilah umum ”menyalahgunakan” ini lebih luas jika dibandingkan dengan Pasal 52 KUHP yang merincinya dengan kata, ” ... oleh karena melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya ... ”

Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi berkaitan dengan unsur/elemen yang bersifat alternatif ini, maka ada 3 point yang harus dikaji, yakni :

1) Menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan/hak yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan .

2) Menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu/moment yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

29 Ibid.,


(30)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

3) Menyalahgunakan sarana artinya menyalahgunakan alat-alat atau

perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.30

3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Point yang harus dibuktikan dalam unsur/elemen ” dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah :

1) Merugikan Keuangan Negara

Menurut Penjelasan Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah

Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena :

a) berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah

b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berbasarkan perjanjian dengan negara 2) Perekonomian Negara

Menurut Penjelasan Umum UU PPTK, perekonomian negara adalah :

Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakn pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan memberi mamfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Kedua point dalam unsur/elemen ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” ini adalah bersifat alternatif. Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur/elemen ini, maka cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun, yang harus dingat dan diperhatikan dalam

30 Ibid.,


(31)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

pembuktian dan dpoerhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah kata

“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara” menujukkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK mengamanatkan agar tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai delik Formil dan bukannya delik materil.

Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang bersalah atau koorporasi dapa disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur pembuatan melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia

Secara kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia di bagi dalam 8 (delapan) fase31

1. Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana (ambtsdelicten) dalam KUHP untuk Menanggulangi Korupsi

, yaitu :

Dalam KUHP teradapat beberapa ketentuan perbuatan oleh pejabat dalam menjalankan jabatannya, seperti : Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terdapat perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu atau memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418,

31

Seiring dengan perkembangan peraturan terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, sebelumnya hanya dikenal 6 (enam) fase perkembangan peraturan korupsi (Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi ( Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.1-12 ) dan kini menjadi 8 (delapan) perkembangan yaitu ditambah perkembangan fase ketujuh mengenai UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan fase kedelapan tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (disingkat KAK) 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006.


(32)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

419, dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum (Pasal 423, 425, dan 435 KUHP).

Pada hakekatnya, ketentuan-ketentuan tundak pidana korupsi ini ternyata kurang efektif dalam menanggulangi korupsi seperti diintrodusir Sudjono Dirdjosisworo sebagai berikut :

”Tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat itu. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya.”32

2. Fase Kepres No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan darurat Perang

Dengan tolak ukur referensi ilmu Hukum, perkembangan fase kedua ini dikenal munculnya peraturan-peraturan mengenai korupsi, yaitu :

a. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi b. Prt/PM-08/1957 tanggal 27 Mei 1957 tentang Penilikan Terhadap Harta

Benda

c. Prt/PM-011/1957 tanggal 01 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-barang.33

Konsideran dari Prt/PM-06/1957 mengatakan sebagai berikut :

”Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya.”34

32

Soedjono Dirdjosisworo, Masalah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, (Jakarta: Penerbit Mahkmah Agung RI, 1995), hal. 172.

33

Lilik Muliyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan

Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007), hal. 6. 34

Jur Andi Hamzah, Op. Cit.,hal. 41.


(33)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara;

b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kekuasaan yang diberikan padanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan materiel baginya.35

Dalam perkembangan selanjutnya, karena melihat fakta-fakta sendiri (ipso facto) dan menurut dan menurut hukum (ipso jure) terdapat kekurangefektifan peraturan tersebut, kemudian lahirnya Prt/PM-08/1957. Pada peraturan ini berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf a Penguasa Militer mempunyai kewenangan mengadakan penilikan harta benda terhadap setiap orang atau badan didaerahnya yang kekayaannya diperoleh dengan mendadak atau mencurigakan. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf b, pengertian harta benda disini adalah sama dengan harta benda yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Prt/PM-06/1957, yaitu

”segala penghasilan baik tetal maupun yang tidak tetap, segala yang simpanan dimanapun juga, surat-surat berharga, mata uang, barang-barang yang berupa tanah, sawah, perkebunan, perusahaan, rumah, bungalow atau bangunan lain, kendaraan bermotor, perabot rumah tangga yang mahal, mas, intan, barang-barang perhiasan dan lain sebagainya yang berlimpah-limpah, semua itu baik yang atas nama diri sendiri, suami atau istri, anaknya, orang lain maupun atas nama suatu badan yang diurusnya.”36

Akan tetapi, peraturan Prt/PM-08/1957 tidak lama, kemudian diganti dengan Prt-PM-011/1957, dalam konsiderans butir a ditentukan perlunya diadakan aturan tentang kekuasaan Penguasa Militer untuk menyita danmerampas harta benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum

37

35

Lilik Mulyadi, Op. Cit.,

36

Ibid, hal,.7-8 37

Dalam ketentuan Pasal 1 Prt/PM-011/1957 tanggal 1 Juli 1957 yang dimaksud dengan perbutan melawan hukum adalah tiap perbuatan atau kelalaian yang: a.mengganggu hak


(34)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

dasar kepada kewenangan Penguasa Militer untuk dapat menyita dan merampas barang –barang yang tidak sengaja atau karena kelalaian tidak ditearangkan oleh pemiliknya/pengurusnya, harta benda yang terang siapa pemilik atau pemilik pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.

Dari ketiga peraturan Penguasa Militer ini, secara eksplisit Soedjono Dirdjosisworo menyimpulkan :

“Di samping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan darurat sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka pada ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik (polotical will) dengan tekad yang sungguh-sungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendak politik yang dituangkan dengan peraturan-peraturan Penguasa Militer tersebut merupakan ”modal” berharga untuk dikembangkan dan disempirnakan dalam rangka membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia.”38

3. Fase Keppres No. 225 Tahun 1957 jo UU No.74 Tahun 1957 jo. UU No. 79 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya

Latar belakang dikeluarkannya peraturan ini disebabkan begitu merajalela perbuatan-perbuatan korupsi pada saat tersebut sehingga diharapkan dalan waktu sesingkat mungkin perbuatan korupsi dapat diberantas. Akan tetapi, walau harapan itu jauh dari kenyataan, sejarah mencatat bahwa peraturean Penguasa Perang ini memperkenalkan dan mengklasifikasikan batasan perbuatan korupsi lainnya sebagaimana disebutkan pada bagian I Pasal 1 yang dijabarkan oleh Pasal 2 dan Pasal 3 dengan perumusan sebagai berikut :

a. Perbuatan korupsi pidana

Yang disebut sebagai perbuatan korupsi adalah :

orang lain, b) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, c) bertentangan dengan kesusilaan, d) bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan atau kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat terhadap tubuh atau harta benda orang lain.

38


(35)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

1) Perbuatan seseoranag yang dengan sengaja atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelongaran-kelonggaran dari masyarakat.

2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatau kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain aau suatu badan , serta dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan . 3) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 418, 419,

dan 420 KUHP. b. Perbuatan korupsi lainnya

Yang disebut sebagai perbuatan korupsi lainnya :

1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempegunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.39

Kemudian bedasarkan peraturan ini, ditiap-tiap wilayah Pengadilan Tinggi diadakan suatu Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi yang dipimpin oleh Pengawas Kepala kejaksaan Pengadilan Negeri Propinsi setempat dan yang mempunyai hak mengadakan penilikan harta benda setiap orang dan setiap badan, jika ada petunjuk kuat untuk itu. Harta benda yang dapat dirampas atau disita oleh Badan Koordinasi dapat berupa :

a. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya;

b. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya;

39


(36)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

c. Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki tidak seimbang denga penghasilan mata pencahariannya;

d. Harta benda yang asal usulnya melawan hukum;

e. Harta benda seseorang atau suatu badan yang keterangannya ternyata tidak benar;

f. Harta benda yang dipindah atas nama orang lain jika ternyata, bahwa pemindahan nama dilakukan untuk menghindari beban, berhubung dengan ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tida dapat membuktikan, bahwa ia memperoleh barang itu dengan itikad tida baik.40

Dalam Pasal 13 ditentukan tentang penyitaan dilakukan dengan cara :

a. Mengenai barang tidak tetap dengan mengambil barang itu dan

menyampaikan berita acara tertulis tentang penyitaan itu kepada orang lain yang bersangkutan ;

b. Mengenai harta yang seperti dimaksud dalam Pasal 511 KUHPerdata dengan pemberitahuan kepada orang yang bersangkutan dengan surat tercatat tentang penyitaan itu dan kemudian, sekedar merupakan barang yang berwujud, dengan diambilnya, atau jika harta terdaftar, dengan dicatatnya pemberitahuan tersebut dalam daftar harta harga itu;

c. Mengenai piutang yang tidak disebut dalam pasal 511 KUHPerdata dengan memberitahukan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kemudian dicatatkannya pemberitahukan tersebut dalam daftar menurut overscgrijvings-ordonantie (Stb. 1831 No.27)

d. Mengenai barang tetap yang dikuasai oleh hukum adat, dengan

pemberitahuan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kepada Kepala Desa yang bersangkutan atau yang sejenis dengan itu.41

Pada dasarnya, berdasarkan ketentuan Pasal 19, 26, 27, 35, 38, dan 55 Peraturan di atas, dikenal adanya pemeriksaan harta benda oleh Pengadilan Tinggi yang dalam pemeriksaan harta benda ini, terhadap Pengadilan Tinggi tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. Kemudian pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan perbuatan korupsi pidana diperiksa dan diadili oleh Pengadilan-Pengadilan di daerah masing-masing menurut undang-undang dan hukum acara pidana yang berlaku sekedar dalam Peraturan Perang Pusat ini tidak ditentukan lain. Berikutnya, terhadap cara mengadili anggota angkaan perang yang

40

Ibid., hal. 11-12.

41


(37)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

melakukan perbuatan korupsi pidana harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan ketentaraan (sekarang Pengadilan Militer ) dan Peraturan Penguasa Perang Pusat ini disebut sebagai ”Peraturan Pemberantasan Korupsi”.

4. Fase Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Dalam konsiderans huruf a sampai dengan d Perpu No. 24 Tahun 1960. Ditegaskan sebagai berikut :

a. Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang meyangkut keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan seperti tindak pidana, perlu diadakan beberapa aturan pidana khusus dan peraturan-peraturan khusus tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan itu yang disebut tindak pidana korupsi.

b. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut sub a telah diadakan peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958, No. Prt/Peperpu/013/1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaanya peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 Tanggal 17 April 1958;

c. Bahwa peraturan-peraturan Peperpu tersebut perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan;

d. Bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang. 42

Kemudian, berdasarkan Bab I tentang Pengertian Tindak Pidana Korupsi pada pasal 1 diberikan batasan yang disebut Tindak Pidana Korupsi , adalah :

a. tindakan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara lansung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugiakan merugikan keuangan suau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;

b. perbuatan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;

42


(38)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

c. kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. 43

Dalam ketentua UU No.24 Prp 1960, adanya kekuatan bahwa dalam jangka 3 (tiga ) bulan setelah orang ditahan sementara perkaranya harus diajukan di muka hakim, kemudian jaksa hanya diperbolehkan mengenyampingkan perkara korupsi diadili oleh Pengadilan Negeri dan khusus terhadap pengusutan, penuntut dan pemeriksaan di muka pengadilan dari anggota angkatan perang atau oleh orang-orang yang ada di bawah kekuasaan Pengadilan ketentaraan dilakukan oleh petugas petugas menurut atauran yang ditentukan dalam aturan acara pidana ketentaraan da dikenal pula adanya peradilan terpisah.

5. Fase UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi

Kalau dijabarkan kalau terinci, detail dan intens, UU No. 3 Tahun 1971 tediri dari 7 bab dan 37 Pasal disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Maret 1971. Adapun dasar pertimbangan/konsiderans huruf a dan b UU No. 3 Tahun 1971 mengenai dicabutnya UU No. 24 Prp 1960 adalah bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan /perekonomian negara dan menghambat Pembangunan Nasional serta berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan sehingga undang-undang tersebut perlu diganti.

Apabila diperhatikan dengan seksama pada ketentuan UU No. 3 tahun 1971 ada beberapa aspek khusus dalam pengaturan Tindak Pidana Korupsi Jikalau dibandingkan dengan UU No. 24 Prp 1960, yaitu pada dimensi-dimensi :

a. Bahwa dalam ketentuan UU No.3 Tahun 1971 tidak diisyaratkan dalam tindak pidana korupsi adanya anasir kejahatan atau pelanggaran

43


(39)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

sebagaimana diintrodusir oleh UU No. 24 Prp 1960. Akan tetapi, diganti dengan terminoloi pengertian dengan melawan hukum yang diartikan pengertian melawan hukum formal dalam artian khusus saja da melawan hukum materiel dalam artian bukan saja hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis.

b. Perluasan pengertian pegawai negeri dalam UU No. 3 Tahun 1971 dimana diartikan juga meliputi orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan-badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.

c. Adanya pengaturan mengenai percobaan atau pemufukatan untuk

melakukan Tindak Pidana Korupsi karena pembentk undang-undang memandang tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara, percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi tinda pidana yang telah diselesaikan.

d. Adanya penambahan Pasal-Pasal KUHP yang ditarik dala tindak pidana korupsi bukan saja pasal 209, 210, 415, 418, 419, 420, 423 dan 425, tetapi ditambahkan lagi dengan pasal 387, 388, KUHP dan dalam UU No. 3 tahun 1971 diatur juga mengenai hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun penjara dan denda setinggi-tingginya Rp.30.000.000, 00 ( tiga puluh juta rupiah )

e. Dikenal adanya pidana tambahan sebaimana dikenal dalam KUHP yaitu berupa perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud mupun yang tak berwujud.

f. Dalam pasal 9 UU No. 3 Tahun 1979 diatur tentang Menteri Keuangan dapat memberi izin kepada jaksa untuk minta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan tersangaka dan dengan izin Menteri Keuangan, Bank wajib memperlihatkan surat-sarat Bank dan memberikan keterangan tentang keuang an dari tersangka.44

6. Fase UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada hakikatnya ada bebeapa aspek krusial yang membedakan UU No.3 Tahun 1971 dengan UU No. 31 tahun 1999, yaitu sebagai berikut :

a. Pengertian pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999.

44


(40)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Pegawai Negeri adalah

1) pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;

2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-undang Hukum pidana;

3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;

5) atau orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. b. Perluasan adanya pengertian perbuatan melawan hukum yaitu mencakup

perbuatan melawa hukum dalam arti formil maupun materil. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) maka kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah sirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

c. Adanya perluasan terhadap pengertian keuangan negara dan

perekonomian negara.

d. Adanya pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi, penentuan ancaman minimum khusus dan maksimun ( Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 21, 22, dan 23), adanya pidana tambahan ( Pasal 18 ), pidana denda yang lebih tinggi dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.

e. diperkenalkan tim Gabungan yang dikordinasikan Jaksa Agung terhadap tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peratura perundangan-undangan yang berlaku.


(41)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

f. Diperkenalkannya asas beban pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri, atau suami, anak dan dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkut an.

g. Bahwa UU No.31 Tahun 1999 menentukan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana serta adanya peran Kejaksaaan sebagai Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata kepada yang bersangkutan atau ahli warisnya atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

h. Adanya peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan korupsi

i. Adanya penghargaan dari pemerintah kepada anggota masyrakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Dan 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini berlaku dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemudian, untuk menambah dinamika dan kesinambungan pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2001. Pada prinsipnya perubahan ini beorientasikan aspek-aspek berikut :

a. Adanya ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001, ditentukan dalam penjelasan Pasal kemudian diubah sehingga rumusannya


(42)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 UU No. 20 Tahun 2001 menjadi berbunyi :

”Yang dimaksud dengan ’keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku

tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut

dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penaggulangan

keadaan bahaya, bencana alam nasioanl, penanggulangan akibat

kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.”

b. Ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu Pasal-pasal dalam KUHP, tetapi lansung menyebutkan unsur – unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.

c. Diantara Pasal 12 dan 13 UU No. 31 Tahun 1999 disisipkan adanya 3 (tiga) buah Pasal baru yakni pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C yang pada dasarnya bahwa ketentuan mengenai Pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal 5, 6, 7, 9, 10, 11, dan 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan dipidana paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Kemudian adanya pembuktian terbalik yang bersifat mutlak.

d. Bahwa mengenai alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP khusus untuk tindak pidana korupsi dapat juga diperoleh dari : a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu; b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat


(1)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

c. hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan

keadilan.

d. tidak mengikuti perkembangan zaman 2. Kelemahan Apatur

a. Ketidaksiapan bank-bank dan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan kewajiban pelaporan.

b. Ketidakmampuan para petugas penyedia jasa keuangan dalam mendeteksi transaksi dan rekening yang ada, atau yang menimbulkan kecurigaan. c. Kinerja atau profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai dalam

mengungkap kejahatan ini.

3. Budaya Hukum masyarakat belum mendukung anti pencucian uang a. Belum adanya budaya anti korupsi di dalam masyarakat.

b. Perbedaan pemahaman masyarakat (nasabah bank) mengenai praktik pencucian uang. Karena masih banyak masyarakat yang berpandangan bahwa pencucian uang tidak langsung akan merugikan masyarakat.

4. Kesulitan terhadap penerapan sistem hukum dalam kerjasama internasional untuk memberantas tindak pidana pencucian.

BAB V


(2)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009 A. Kesimpulan

1. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, korupsi diartikan sebagai setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini adalah adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 2. Modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang

dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah

placement (upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas

kejahatan melalui sistem keuangan), layering (upaya untuk memisahkan atau lebih menjauhkan hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan serangkaian transaksi yang kompleks untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana ”haram” tersebut) dan integration (upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legimate explanation’ bagi hasil kejahatan).

3. Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu PPTAK.

Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada KUHAP seperti proses


(3)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam UU TPPU, seperti adanya memberikan perlindungan saksi dan pelapor pada setiap tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, adanya pembuktian terbalik, dan lain-lain.

B. Saran

1. Pemberantasan tindak pidana pencucian uang dari hasil korupsi harus dilakukan secara sistemik dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem. Upaya memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya oleh presiden dan penjabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti menteri, kepala kepolisian, kepala kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-ketua Pengadilan, selain tentunya, ketua dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuasaan dan kepentingan lainnya.

2. Selain itu, diperlukan peran serta masyarakat untuk melaporkan setiap transaksi (perbankan) yang mencurigakan serta lembaga-lembaga suatu ”kelompok pengawas” yang secara konsisten melakukan pengawasan terhadap penguasa dan jajaran pemerintahannya misalnya lembaga seperti ICW di setiap Kabupaten/Kota untuk mengawasi perilaku penguasa dan pemerintahan daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA


(4)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Andi, Jur Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Edisi Revisi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia di

Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, Jakarta: Penerbit

Mahkamah Agung RI, 1995.

Effendi, Marwan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 2005.

Emily G Lawrence, Let Seller Beware: Money Laundering, Merchants and 18 USC, 1956, 1957, vol. 37, College 1. Rev (1992).

Emong, Komariah Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam

Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001.

Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983.

Fuady, Munir, Hukum PerbankanModern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Hamilton-Hart, Natasha. Anti Corruption Startegies in Indonesia. Jakarta: Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (1), 2001.

Hari, Sasangka, dan Lily, Rasita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan Kelima 2001.

Irman, Tb. S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta: MQS Publishing & Ayyccs Group, 2006.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Kedua, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Moeljatno, Asas-asas HukumPidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik


(5)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009

Nawawi, Barda Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Prayudi, Guse, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, makalah dalam majalah hukum Varia Peradilan

Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007.

Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.

Prodjohanidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung: CV

Mandar Maju, 2001.

Siahaan, NHC, Money Laundering (Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.

Sianturi, SR, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Gramedia, 2004.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Penerbit Politea Bogor, 2000.

Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987. Sutan Remi Sjahdeini, Money Laundering, Jakarta: FHPSUI, 2003. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,Bandung: Alumni, 1986.

---, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1993. Syahrul, Kamus Akuntasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

Yahya, M. Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi


(6)

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.

USU Repository © 2009 Surat Kabar

Azhar, Harry Azis, Uang Haram Rp. 50 triliun Beredar di Indonesia, Republika (27 Januari 2001).

Fuad, Munawar Noeh, Kiai di Republik Maling, Jakarta: Republika, 2005.

Husein, Yunus, Alasan Banyak Orang Korupsi, Dimuat di Harian Seputar Indonesia pada Hari Senin, 12 Juni 2006.

Internet

Undang-Undang

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 15 Tahun 2002.

Indonesia, Undang Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 25 Tahun 2003, LN, No. 108 Tahun 2003.