10
Di Indonesia, terutama peternakan sapi rakyat belum melakukan program pengendalian penyakit parasit sehingga dapat diyakini bahwa penyakit ini merupakan
penyebab rendahnya produktivitas ternak sehingga berdampak pada rendahnya pendapatan peternak dari usaha ternak yang dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu program
pengendalian parasit pada sapi yang selektif dan efisien dengan melibatkan peternak melalui pembinaan kelompok tani ternak BINAPOKTAN.
BAB 2. STUDI PUSTAKA
Sapi Bali Bibos banteng merupakan salah satu jenis ternak potong asli Indonesia yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Hal ini tercermin
dari tingginya tingkat reproduksi dan sifat yang tidak terlalu selektif terhadap pakan yang tersedia, sehingga sapi Bali sangat berpotensi untuk ditingkatkan produktifitasnya.
Populasi sapi bali di Bali selama lima tahun terakhir sekitar 600 – 700 ribu ekor. Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan populasi adalah ketersediaan bibit sapi bali yang
berkualitas masih kurang. Kondisi ini sangat menghambat peningkatan produksi ternak dalam upaya memenuhi swasembada daging tahun 2014. Oleh karena itu perlu upaya-
upaya yang lebih riil dalam meningkatkan populasi ternak yang salah satunya adalah menyediakan bibit ternak dengan kualitas yang baik.
Badan Pusat Satatistik tahun 2010 menyatakan bahwa 99,81 sapi dipelihara secara tradisional oleh peternak kecil dengan skala 2 – 3 ekor. Dengan kondisi seperti ini
penanggulangan penyakit parasit tidak menjadi perhatian peternak. Salah satu yang menghambat produktivitas ternak sapi adalah adanya penyakit parasit seperti cacingan atau
infeksi protozoa Neospora caninum yang menyebabkan gangguan reproduksi seperti keguguran atau gangguan reproduksi lainnya.
Salah satu contoh penyakit cacingan pada sapi adalah Penyakit cacing hati fascioliasisdistomatosis yang merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau
kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium Kaufmann,1997. Pada tahun 1991 pernah dilaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat
penyakit ini diperkirakan sekitar 500 milyar setiap tahun Anonymous, 1990. Kerugian tersebut akibat kerusakan hati yang harus diafkir, pertumbuhan terhambat serta kerugian
lainnya. Prevalensi fasciolosis pada sapi pernah dilaporkan mencapai 90 Suhardono et al., 1991
11
Contoh lain dari infeksi parasit protozoa pada sapi yang belakangan ini menjadi pusat perhatian para pakar parasitologi dunia adalah neosporosis. Penyakit ini disebabkan
oleh protozoa Neospora caninum yang menyebabkan keguguran serta gangguan reproduksi lainnya Dubey et al., 2007 . Di beberapa negara dilaporkan bahwa kerugian ekonomi
akibat penyakit ini pada sapi sangat tinggi, misalnya di California parasit ini menyebabkan 40.000 kassus keguguran pada sapi dengan kerugian diperkirakan 35 juta dolar per tahun
Barr et al., 1998, di Australia dan New Zealand diperkirakan menyebabkan kerugian 100 juta dolar per tahun Richel, 2000. Secara serologis penyakit ini juga ditemukan pada sapi
bali Damriyasa et al., 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit ini merupakan ancaman terhadap populasi sapi bali.
Dwinata et al., 2009 melaporkan hasil pemeriksaan koproskopis pada sapi di Kelompok ternak Kerta Nandini Kabupaten Badung ditemukan 87 sapi yang dipelihara
terinfeksi oleh cacing. Kondisi yang sama dapat diasumsikan terjadi juga pada kelompok ternak lainnya di Bali. Dari uraian diatas maka untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh penyakit parasit pada sapi, maka strategis yang tepat dan efisien serta ramah lingkungan sangat mendesak perlu dilakukan.
Strategi dengan obat cacing deworming telah banyak dilakukan dan hasilnya cukup memuaskan terutama pada ternak yang digembalakan Williams et al, 1986.
Misalnya dengan pemberian salah satu obat cacing seperti Moxidectin yang merupakan generasi kedua dari komponen endectocide yang sangat potensial membunuh endo dan
ektoparasit pada sapi Hubert et al., 1995; Morin et al., 1996; Chick et al., 1993. Pengendalian dengan obat-obatan kimiawi telah berhasil dilakukan dalam beberapa
dekade, namun belakangan ini diketahui dapat menyebabkan evolusi parasit tertentu. Situasi ini menyebabkan fokus perhatian pengendalian tidak terlalu optimistis dengan
penggunaan obat-obatan kimia. Banyak dilaporkan adanya resistensi parasit tertentu Nematoda and Arthropoda terhadap obat obatan kimia akibat penggunaan yang kurang
tepat. Penggunaan obat-obatan kimia secara masif dan kurang tepat juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan karena membunuh ornasime yang bukan menjadi
target non-target organisms. Penggunaan obat antiparasit kimiawi yang kurang tepat juga dapat menyebabkan penurunan kualitas pupuk kandang serta mempengaruhi ekosistem
mikroorganisme pada kotoran sapi. Hal ini juga mempengaruhi ekosistem serangga yang siklus hidupnya memerlukan kotoran sapi Barth, 1993; Halley et al., 1989; Herd, 1995;
12
Lumaret et al., 1993; McKellar 1992; Wall and Strong 1987; Wrdhaugh et al., 1998; Wardhaugh et al., 2001.
Mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan beberapa langkah antara lain; pengobatan yang selektif, pengembangan organic breeding dengan membatasi penggunaan
obat-obatan kimia serta penggunaan obat-obatan herbal yang telah terbukti secara ilmiah terbuksi sebagai antiparasit. Penggunaan obat-obatan kimia sebagai antiparasit yang
kurang efetif dan tidak selektif dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut ; i dampak negatif terhadap perkembangan kekebalan alami natural immunity, ii adanya residu
kimia pada daging atau produknya, iii dampak lingkungan, iv munculnya resistensi parasit terhadap obat antiparasit tertentu Ketzis et al., 2006; Stear et al., 2007; Bisset et
al., 2001. Obat anti parasit tertentu yang telah terbukti menimbulkan resistensi terutama pada cacing nematoda adalah benzimidazole Le Jambre et 1979, levamizole Sangster et
al., 1998. Dari kajian pustaka diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi dampak
ekonomi akibat penyakit parasit pada sapi terutama pada peternakan tradisional sangat mendesak dilakukan program pengendalian penyakit tersebut. Dalam program
pengendalian penyakit tersebut juga harus menjadi perhatian dampak negatif seperti resistensi dan kerusakan ekosistem mikroorganisme yang ditimbulkan akibat penggunaan
obat obatan kimia yang kurang tepat. Oleh karena strategi pengendalian yang tepat untuk wilayah Indonesia adalah pengendalian yang selektif, aman dan efisien berbasis
pemeriksaan laboratorium melalui pembinaan kelompok ternak BINAPOKTAN.
13
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian