POLA PEMELIHARAAN TERNAK SAPI BALI DI LA

POLA PEMELIHARAAN TERNAK SAPI BALI DI LAHAN KERING DATARAN RENDAH
LOMBOK TIMUR
Sasongko WR, Yohanes G Bulu dan Arif Surahman
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK
Sebagian besar usaha ternak sapi

di Kabupaten Lombok Timur berada dalam

penguasaan petani kecil dengan berbagai keterbatasannya yaitu : pengetahuan, lahan serta
modal usaha. Sapi yang dipelihara umumnya sapi Bali. Pengiriman bibit sapi ke luar daerah
secara terus menerus menjadi salah satu penyebab menurunnya mutu. Bobot jual saat ini
berkisar 250-350 kg sementara potensi sapi Bali 450-500 kg. Upaya perbaikan kualitas
mengalami banyak hambatan dengan sistem pemeliharaan yang ada. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pola pemeliharaan dan permasalahan yang dihadapi dalam
menghasilkan ternak sapi Bali dan strategi untuk mengatasi permasalahan.

Penelitian

dilaksanakan di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi Kabupaten Lombok Timur, selama tahun

2004. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA).
Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pola pemeliharaan ternak yang masih konvensional sehingga produktivitas ternak sapi
rendah. Sumber daya manusia sebagai pelaku uasaha pada kedua desa rata-rata memiliki
tingkat pendidikan yang masih rendah. Ketersediaan pakan alami menjadi andalan petani,
belum berkembangnya ekstensifikasi sumber pakan. Keterbatasan sumberdaya alam serta
kondisi iklim menyebabkan seringkali terjadi kekurangan pakan. Demikian pula dengan
manajemen reproduksi yang lemah untuk mendukung usaha ternak yang bersifat sebagai
usaha pembibitan karena adanya pola kadasan atau gaduhan. Kesimpulan sementara bahwa
pola pemeliharaan dengan sistem semi-intensif dimana pakan diberikan berupa rumput
alam, leguminosa dan sedikit yang memberikan limbah pertanian seperti jerami kacang
tanah. Perkawinan ternak dilakukan secara alami ketika ternak digembalakan atau diikatpindah, sebagian kecil dengan IB. Dengan kondisi penerapan teknologi saat ini, ditemui
permasalahan

ketersediaan pakan, sulitnya mendapatkan bibit ternak sapi Bali yang

berkualitas baik, calving interval yang panjang, serta kematian anak sapi yang tinggi. Untuk
mengatasi permasalahan, diperlukan adanya upaya pemberdayaan petani dan meningkatkan
sumberdaya manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara efektif dan
efisien. Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan strategi yang cukup efektif didalam


penyediaan pakan ternak sepanjang tahun, dan sistem kandang kolektif dapat diterapkan
untuk mendukung penyediaan bibit sapi Bali yang berkualitas.
Kata Kunci : Sapi Bali, lahan kering

PENDAHULUAN
Pembangunan perekonomian di Nusa Tenggara Barat masih menitik beratkan pada
sektor pertanian, sebagaimana yang disampaikan Gubernur NTB dalam sambutannya pada
Seminar Nasional 2004, bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua
setelah sektor pertambangan terhadap produk domestik bruto (PDRB) yaitu sebesar 26,13%.
Selain itu sektor pertanian dalam arti luas merupakan mata pencaharian utama masyarakat
NTB. Berdasarkan data BPS (2002), bahwa jumlah usia produktif (NTB) umur 15 tahun
keatas yang bekerja pada sektor pertanian mencapai 57,50% atau lebih dari 2,7 juta orang.
Sehingga pembangunan pertanian melalui pemberdayaan masyarakat petani khususnya di
lahan marginal merupakan upaya yang cukup strategis mengatasi keterbatasan yang dimiliki
baik itu sumberdaya alamnya maupun sumber daya manusianya.
Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki di lahan kering menyebabkan terjadinya
kecenderungan terbentuknya pola usahatani yang subsisten (tradisional). Sebagai basis pola
usahatani adalah tanaman pangan dan juga merupakan upaya ketahanan pangan. Seringkali
dijumpai pola usahatani kombinasi antara perkebunan, tanaman pangan dan ternak. Ternak

sebagai bagian dari subsistem usahatani, memegang peranan cukup penting terutama dalam
menunjang pendapatan petani. Sapi merupakan jenis ternak yang memiliki peran yang cukup
besar sebagai tabungan hidup yang dapat memberikan sumbangan pendapatan. Namun
disatu sisi kebutuhan modal cukup besar sehingga tidak semua petani mampu
mengusahakannya.

Hal ini menyebabkan munculnya tipe

usaha sistem kadasan atau

gaduhan. Hendrawan, (2002) menyatakan bahwa sebagian besar sapi potong di Indonesia
(umumnya) berada dalam penguasaan peternak kecil yang tidak memiliki lahan cukup serta
modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya
mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai yang dapat dicairkan
sewaktu-waktu diperlukan
Sistem pemeliharaan yang masih semi intensif – tradisonal dalam arti sudah terjadi
sedikit kemajuan pada sistem pemeliharaan dari dilepas atau digembalakan menjadi
dikandangkan pada malam hari sedangkan siang hari diikat-pindah pada kebun atau lahanlahan kosong yang tidak ditanami tanaman semusim. Namun dari segi pemeliharaannya yang
masih tradisional, pakan diberikan sepenuhnya berupa hijauan segar seperti rumput alam,


walaupun sebagian kecil telah memanfaatkan limbah pertanian seperti jerami kacang (pada
saat musim panen).
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan populasi ternak sapi
hinggan 11,9% (BPS 2003). Pengiriman bibit sapi ke luar daerah secara terus menerus dalam
kurun waktu yang lama bisa mengakibatkan terjadinya penurunan mutu, bobot jual saat ini
berkisar 250-350 kg sementara potensi sapi Bali berkisar 450-500 kg. Perbaikan kualitas
mengalami cukup banyak hambatan dengan sistem pemeliharaan yang ada. Puspadi dkk.,
2004, menyatakan bahwa penurunan produksi sapi Bali di NTB disebabkan oleh faktor teknis
dan sosial. Ditinjau dari faktor teknis, pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak relatif
sederhana dengan tingkat penerapan teknologi tepat guna sangat rendah. Kondisi yang
demikian disebabkan oleh faktor sosial masyarakat, dimana belum adanya perubahan sifat
usaha ternak sapi yang masih menganggap sebagai usaha sampingan pada sistem usahatani
secara umum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemeliharaan dan

permasalahan yang dihadapi dalam menghasilkan ternak sapi Bali pada lahan kering dataran
rendah.

MATERI DAN METODA

Waktu penelitian :
Penggalian informasi melalui teknik Partisipatory Rural Appraisal (PRA) dilaksanakan
selama tahun 2004.
Lokasi penelitian :
Desa Rarang Selatan Kecamatan Terara dan Desa Perigi Kecamatan Suela, keduanya
berada di wilayah Kabupaten Lombok Timur.

Pemilihan lokasi didasarkan pada

pertimbangan prioritas pembangunan pedesaan di lahan kering yang sebagian besar
penduduknya berusaha pada bidang pertanian dan ternak sapi merupakan bagian dari sistem
usahatani.
Metode penelitian
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memahami dan menghayati tujuan kegiatan proyek
perbaikan pendapatan petani miskin melalui inovasi, melalui penggalian informasi untuk
memahami dinamika petani miskin sebagai pelaku pada suatu sistem usahatani pada wilayah
pedesaan di lahan kering/marginal; studi dilaksanakan dengan menggunakan teknik
Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif. Kedua
desa lokasi penelitian yang terpilih, salah satunya adalah ternak sapi khususnya sapi Bali


menjadi subsistem pada usahataninya. Kedua wilayah tersebut memiliki persamaan karena
lahan keringnya sebagian besar berada pada ketinggian yang sama. Perbedaannya terletak
pada topografi desa secara keseluruhan, dan luasan sawah tadah hujan yang ada di wilayah
masing-masing serta Desa Perigi memiliki wilayah Hutan.
Survey langsung di lapangan untuk melihat sumberdaya alam masing-masing desa
dilakukan menggunakan instrumen PRA yaitu: Peta Transek, atas dasar peta desa yang ada.
Data-data yang terkumpul, kemudian dianalisis secara diskriptif. Dilanjutkan dengan desk
study guna melengkapi data-data kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi memiliki beberapa persamaan dan juga
perbedaan.

Persamaannya adalah pada pola usahataninya dan pada lahan keringnya.

Sedangkan perbedaan terletak pada kondisi lingkungan biofisiknya dilihat dari topografi
wilayah desa secara keseluruhan ada perberbedaan namun lahan keringnya berada pada
ketinggian yang sama yaitu antara 25 – 400 mdpl. Desa Rarang Selatan memiliki sawah tadah
hujan berada pada elevasi antara 25 – 250 m dpl, kelas kelerengan antara 0 – 3%. Lahan

kering berada pada elevasi 25 – 400 m dpl. Relief tanahnya berbukit kecil dengan kelerengan
antara 15 – 30%. Desa Perigi memiliki lahan sawah berada di ketinggian antara 400-700 m
dpl. kelas kelerengan antara 20-30%, lahan kering berada pada elevasi 25-400 m dpl dan di
antara 400 – 700 m dpl. kelerengan bervariasi, yaitu antara 3-5%, 8-12% dan 20-30%.
Hutan pada ketinggian antara 700-1.200 m dpl dan antara 1.200 – 2.250 m dpl. kelerengan
lebih dari 75%.

Peta transek menggambarkan situasi masing-masing desa dimana secara umum
ternak sapi dipelihara atau terdapat pada setiap wilayah pemukiman. Memelihara ternak
yang dikandangkan di pekarangan rumah, untuk memudahkan mereka mengawasi ternaknya
karena faktor keamanan ternak masih merupakan permasalahan yang sulit diatasi. Melihat
potensi yang ada di masing-masing desa menunjukkan bahwa dari potensi pakan dan
ketersediaannya cukup. Jenis tanaman dan pola tanam yang dilakukan oleh petani di lahan
sawah tadah hujan dan lahan kering memiliki potensi limbah pertanian yang dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak.

Seperti yang dituturkan oleh Suwardji dan Tejowulan (2003) yang disitasi oleh
Suwardji, (2004) bahwa walaupun potensi lahan kering di NTB yang cukup besar, lahan
kering yang ada memiliki ekosistem yang rapuh dan mudah terdegradasi apabila
pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat, topografi umumnya berbukit

dan bergunung, ketersediaan air tanah yang terbatas, lapisan oleh tanah dangkal, mudah
tererosi, teknologi diadopsi dari teknologi lahan basah yang tidak sesuai untuk lahan kering,
infrasturktur tidak memadai, sumberdaya manusia rendah, kelembagaan sosial ekonomi
lemah.
Sumberdaya Manusia
Jumlah penduduk Desa Rarang Selatan adalah ± 5.558 jiwa dengan penduduk usia
produktif (16 – 79 tahun) sebanyak 3.752 jiwa, 750 jiwa diantaranya hanya berpendidikan
Sekolah Dasar. Sekitar 1.338 jiwa adalah bermata pencaharian sebagai petani dan 1.153 jiwa
sebagai buruh tani. Sedangkan di Desa Perigi jumlah penduduk sekitar 9.958 jiwa, dengan
penduduk usia produktif 15 – 54 t ahun berjumlah 6.288 jiwa, sebagian besar penduduk desa
berpendidikan rendah. Warga yang belum sekolah 1.399 orang, tidak pernah sekolah 2.125
orang, SD tidak tamat 2.429 orang, Petani 2.400 orang dan buruh tani 753 orang. Dengan
kepemilikan lahan yang sempit rata-rata kepemilikan lahan di Rarang Selatan antara 0,10 –
0,49 ha, dengan kepemilikan lahan kering ± 0,12 ha.
kepemilikan hampir sama.

Sedangkan di Desa Perigi luas

Pola Pemeliharaan
Di kedua Desa Rarang Selatan dan Perigi, ternak sapi yang dipelihara adalah sapi Bali

tersebar di seluruh wilayah masing-masing desa, yang dipelihara oleh petani sebagai usaha
sampingan atau bersifat sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan saat
dibutuhkan. Salah satu sistem usaha yang dilakukan adalah dengan sistem kadasan atau
gaduhan, dengan sistem bagi hasil. Ternak sapi umumnya dipelihara atau dikandangkan
disekitar pekarangan rumah kecuali di Desa Perigi yang memiliki sekitar 6 kandang kolektif
dengan populasi sapinya berkisar antara 20 -100 ekor. Sedangkan di Desa Rarang Selatan
belum ada sistem pemeliharaan kandang komunal atau kandang kolektif.
Persoalan pakan menjadi permasalahan yang klise dan seringkali menjadi hambatan
bagi pengembangan usaha ternak sapi. Jumlah ketersediaan pakan yang tidak memadai pada
musim kemarau mengharuskan seorang peternak harus mencari hijauan hingga keluar
daerah, seperti wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat yang jaraknya cukup
jauh. Rumput masih menjadi pakan utama ternak sedangkan tanaman leguminosa seperti
turi, lamtoro dan lainnya sebagai pakan alternatif. Biaya yang dikeluarkan untuk mencari
rumput cukup besar berupa biaya transportasi dan bahkan rumputnya juga harus dibeli. Hal
ini sebagai salah satu dampak perubahan sistem pemeliharaan yang dilakukan, sebelumnya
digembalakan atau diikat pindah kemudian menjadi sistem dikandangkan (semi intensif dan
intensif).

Pakan harus tersedia sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan ternaknya.


Selain itu dengan makin menyempitnya lahan-lahan umum tempat mencari rumput (padang
penggembalaan), yang selama ini menjadi salah satu sumber pakan bagi ternaknya,
menyebabkan seringkali terjadi pakan pada musim kemarau.
Perubahan sistem pemeliharaan yang berlaku tidak diimbangi oleh sistem
pengelolaan pakannya yang masih bertahan dengan sifat tradisionalnya. Yang selama ini
dikenal adalah mencari rumput, membawanya ke kandang kemudian diberikan pada ternak
untuk dikonsumsi oleh ternaknya. Namun upaya lain untuk mendukung sistem pengelolaan
pakan seperti menanam hijauan pakan ternak atau pemanfaatan limbah pertanian belum
dilaksanakan. Namun bila dilihat sistem usahatani yang ada di dua desa (Rarang Selatan dan
Perigi), keduanya memiliki sumber-sumber pakan yang potensial seperti limbah pertanian
yang berupa jerami.
Ciri-ciri peternakan rakyat yakni skala usaha relatif kecil, merupakan usaha rumah
tangga, merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana bersifat padat karya
serta berbasis organisasi kekeluargaan (Aziz, 1993 disitasi oleh Yusmichad Y dan Nyak Ilham,
2005). Usaha peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka terhadap
perubahan.

Alternatif pengembangannya adalah dengan melakukan reformasi modal,

penciptaan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi. Menurut Kasryno (1996), terjadi

perubahan struktur penggunaan lahan, dari persawahan menjadi lahan untuk keperluan
sektor non pertanian. Demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya pembukaan lahanlahan usahatani baru berasal dari padang penggembalaan. Berarti dengan menyusutnya
lahan pertanian, lahan penggembalaan akan berdampak pada penyusutan populasi ternak.

Tabel 1.

Bagan Kecenderungan Populasi Ternak Sapi Bali di Desa Rarang Selatan

dan Desa Perigi Kabupaten Lombok Timur
FENOMENA

TAHUN
1980 - 1985

1990 - 1995

2000 – 2004

Produksi Ternak
Sapi
Desa Rarang Selatan
Desa Perigi
Fenomena yang terjadi di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi hampir sama,
peningkatan produktivitas rendah (hasil penggalian informasi melalui PRA). Pada Grafik 1.
terlihat bahwa populasi sapi Bali di Kabupaten Lombok Timur selama 10 tahun terakhir
menunjukkan terjadinya fluktuasi dari tahun-ketahun, bahkan ada kecenderungan terjadinya
penurunan populasi. Namun bisa dilihat bahwa pemotongan ternak justru selalu meningkat
jumlahnya dan ditambah dengan jumlah pengeluaran ternak ke daerah lain setiap tahunnya.
Banyak hal lain yang dapat menyebabkan produktivitas sapi Bali tidak optimal sehingga tidak
terjadi peningkatkan populasi yang berarti. Salah satunya adalah pola pemeliharaan ternak
yang selama ini dilakukan oleh petani-peternak di lahan kering. Sistem pemeliharaannya
belum mengarah pada efisiensi penggunaan input untuk menghasilkan output yang
menguntungkan. Kemampuan produksi dari ternaknya belum terukur dengan baik seperti
kuantitas dan kaulitasnya.

Selain terjadi penurunan populasi

yang disebabkan oleh

kemampuan menghasilkan ternak dalam kurun waktu tertentu dan mendapatkan ternak yang
berkualitas baik terutama dalam memenuhi segmen pasar.

Grafik 1. Populasi, jumlah pemotongan dan jumlah pengeluaran ternak selama 10 tahun sapi
Bali di Kabupaten Lombok Timur.
Populasi ternak sapi di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan data-data BPS selama
10 ahun terakhir mengalami fluktuasi dan ada kecenderungan terjadi penurunan.
Pemotongan ternak mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedangkan pengeluaran ternak
ke daerah lain mengalami penurunan. Penyebab penurunan jumlah ternak yang dikirim ke
luar daerah, belum diketahui dengan pasti.

Kemungkinan kualitas ternak yang makin

menurun dan sulitnya memperoleh ternak dengan bobot tertentu sesuai persyaratan
pengiriman ternak yaitu diatas 300 kg.
Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Sumber pakan dilahan kering cukup beragam dan bervariasi, selain yang bersumber
dari lahan penggembalaan atau lahan umum yang selama ini berfungsi sebagai penyuplai
HMT. Tanpa adanya upaya-upaya perbaikan dan pelestarian vegetasi maka akan terjadi
penurunan kemampuan daya suplainya. Berkaitan dengan bertambahnya populasi ternak
tanpa adanya eksplorasi sumber pakan maka akan terjadi kekurangan pakan pada musim
kemarau, hal ini yang seringkali terjadi pada daerah lahan kering. Namun bila kita melihat
pola usahatani yang ada di suatu wilayah pedesaan memiliki potensi sebagai sumber-sumber
pakan alternatif. Disamping itu lahan-lahan usahatani masih memungkinkan untuk ditanami
jenis hijauan pakan ternak unggul dengan kriteria tahan kekeringan, produksi tinggi dan
memiliki kandungan nutrisi yang baik. Sehingga akan menjamin kontinuitas pakan ternak
sepanjang tahun.

Tabel 2. Kalender Musiman
Bulan
Usahatani

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1

1

0

1

12

1.Padi (Lahan sawah
tadah hujan)
2.Jagung
3.Padi gogo
4.Tembakau
5.Peternakan
- Pemeliharaan Sapi
Pola pertanaman di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi umumnya memiliki
kesamaan, pada Tabel 2. pada kalender musiman selama satu tahun terlihat adanya potensi
dan peluang diversifikasi sumber pakan ternak sapi yang berasal dari limbah-limbah
pertanian.

Pola usahatani yang dimaksud di atas adalah termasuk pertanaman yang

diusahakan pada lahan-lahan sawah tadah hujan. Potensi sumber-sumber pakan baik dari
lahan-lahan umum maupun lahan usahatani.
Didalam meningkatkan produksi ternak sapi, penyediaan pakan dalam jumlah cukup
dan kualitas yang memadai harus mendapat perhatian yang besar. Dalam penyediaan hijauan
pakan, selain rumput, peranan hijauan yang berasal dari tanaman budidaya, baik itu sebagai
hasil samping (limbah) atau produk utama pertanian adalah cukup penting. Oleh karena itu,
dewasa ini pola integrasi “tanaman-ternak” telah memperoleh perhatian besar dari
pemerintah (Fagi et al., 2004, disitasi oleh Subandi dan Zubachtirodin, 2004).

Gambar 1. Bagan alir sumber pakan ternak sapi.
Peluang penyediaan pakan ternak segar terutama dalam memanfaatkan kekosongan
diantara akhir musim hujan hingga akhir musim kemarau dengan penanaman jagung untuk
memproduksi biomasa. Menurut Subandi dan Zubachtirodin (2004), produksi biomas jagung
cacah, bahwa pertanaman jagung dipanen semasa tongkolnya muda, umur 65 – 75 hari
setelah tanam. Untuk tujuan ini tanaman jagung dipanen dengan cara dipotong batangnya
pada permukaan tanah, kemudian seluruh bagian tanaman dicacah berukuran 5 cm
kemudian diproses menjadi hay atau silage. Perlunya penerapan teknologi pengawetan
pakan berupa rumput yang melimpah pada musim hujan atau jerami padi atau kacang tanah
yang cukup banyak saat musim panen.
Reproduksi Ternak
Penangan reproduksi ternak sapi yang diusahakan di Desa Rarang Selatan dan Desa
Perigi umumnya belum ada upaya-upaya yang mengarah pada perbaikan mutu. Walaupun
sifat usaha peternakan sapi di wilayah Kabupaten Lombok Timur umumnya adalah mengarah
pada pembibitan. Namun terbatas pada pemeliharaan induk untuk mendapatkan anak
dalam kurun waktu tertentu.

Hal ini didasari oleh kondisi

sosial-budaya masyarakat

setempat yaitu adanya pola kadasan atau gaduhan dengan melalui sistem bagi hasil dari anak
yang dilahirkan.

Usaha ternak yang mengarah pada pembibitan umumnya lebih cocok

dengan sistem tersebut yaitu pembagian
kesepakatan.

hasil berupa ternak (anak sapi), atau sesuai

Pola kadasan atau gaduhan cukup populer terutama pada lingkungan petani kecil
yang disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki. Disamping itu kemampuan petani
untuk mengakses lembaga keuangan formal sangat lemah, terutama untuk memenuhi
berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah kepemilikan jaminan
(sertfikat tanah dsb).
Dalam hal ini permasalahan yang dihadapi oleh petani-peternak adalah jarak beranak
atau calving interval 18 bulan. Kondisi yang demikian menyebabkan baik petani maupun
pemilik ternak yang dikadaskan (digaduhkan) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
dapat menikmati hasilnya. Sehingga petani membutuhkan adanya kelembagaan perbibitan di
desanya. Namun untuk membangun kelembagaan semacam ini tentu tidak mudah, salah satu
langkah yang bisa ditempuh adalah menggunakan sistem kandang kolektif. Karena sistem
pemeliharaan kandang kolektif merupakan suatu aset sosial artinya umumnya di wilayah
pulau Lombok sudah membudaya, sehingga sistem ini dirasa cukup efektif dalam
menghasilkan bibit ternak yang berkualitas.
Telah dibuktikan dari hasil pengkajian/penelitian yang dilaksanakan oleh BPTP NTB
bekerjasama dengan ACIAR-Australia yang dilaksanakan pada beberapa kandang kolektif
seperti di Desa Kelebuh, Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah. Dengan
menggunakan pejantan unggul dan penerapan waktu kawin yang tepat agar diperoleh anak
sapi yang memiliki kualitas baik.

Introduksi terhadap majamen perkawinan sapi yang

menyarankan sapi dikawinkan pada akhir musim hujan sehingga anak diperkirakan lahir
pada awal musim hujan. Hasil yang didapat dengan penerapan waktu kawin yang tepat, yaitu
96% dari induk dan dara yang ada dikawinkan dengan pejantan terseleksi dengan service
perconception 1.41, tingkat kebuntingannya 94%, Persentase kelahiran 91% dan berat lahir
anak sapi 16.41 ± 2.25 Kg.

Disamping itu untuk mengatasi kekurangan pakan musim

kemarau yaitu introduksi manajemen penyapihan, didapatkan hasil yaitu: menurunnya
kegiatan mencari pakan keluar desa hingga dibawah 50%; kondisi tubuh induk dapat
dipertahankan sampai bulan Oktober bila anak disapih pada bulan Mei-Juni; pertumbuhan
bobot badan betina (induk) paska sapih (6-12 bulan) ± 0.24 kg, sedang tanpa sapih dengan
pakan yang lebih baik ± 0.19 kg.
Sementara ini pemilihan bibit ternak (betina) seperti yang dilakukan pada saat petani
membeli ternak dipasaran belum menjamin akan mendapatkan hasil ternak yang baik.
Menurut Mashur dan Muzani (2004), agar usaha pengembangan breeding dapat
menguntungkan petani maka pengembangan model yang perlu dibangun adalah sistem
integrasi tanaman-ternak (semusim atau tahunan), perbaikan manajemen pemeliharaan
(reproduksi) dan penerapan sistem kandang kolektif sebagai basis pengembangan pusat-

pusat pembibitan sapi Bali di pedesaan.

Selanjutnya Kedi, (2004), menyatakan bahwa

masalah yang dihadapi dalam upaya integrasi usahatani lahan kering terutama meliputi
masalah teknis dan sosial-budaya. Baik kegiatan usahatani lahan kering maupun kegiatan
beternak sapi secara ekstensif merupakan kegiatan masyarakat tradisional di Kawasan Timur
Indonesia (KTI).

Tidak dapat diingkari bahwa teknik integrasi ternak-tanaman tetap

merupakan suatu budaya intrusif bagi masyarakat tradisional KTI yang belum tersebar luas
sehingga perlu dikaji secara cermat pola dan teknik integrasi yang selaras dengan kondisi
ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat
Menurut Suwardi (2004), bahwa model usahatani yang ingin dikembangkan
hendaknya ditujukan pada peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta
kelestarian lingkungan dalam jangka panjang. Pemilihan tanaman dalam pola usahatani
untuk jangka pendek diarahkan pada kecukupan pangan dan kebutuhan gizi petani serta
dalam jangka panjang ditujukan pada keseimbangan antara kebutuhan pangan dan tanaman
pakan ternak untuk meningkatkan pendapatan. Selanjutnya Kedi (2004), menegaskan bahwa
pendekatan kebijakan pengembangan sektor pertanian pada umumnya cenderung bersifat
teknis dan ekonomis, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Terlepas dari tuntutan
tehno-ekonomi, pada hakekatnya sifat kegiatan usahatani di Indonesia lebih bersifat sosiokultural dari pada bersifat tekno-ekonomi. Sifat ini sangat terlihat pada kasus pemeliharaan
ternak sapi sebagai bagian dari dari strategi integratif usahatani pada etnis jawa dimana
ternak sapi lebih sering dipandang sebagai salah satu elemen keluarga tani dari pada sebagai
bagian komplementer dari kegiatan usahatani (Kedi, 2004).

KESIMPULAN
Pola pemeliharaan ternak sapi di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi relatif sama
yaitu ternak dipelihara dengan sistem semi-intensif dengan cara-cara yang masih tradisional.
Pakan yang diberikan berupa rumput alam, leguminosa dan sedikit yang memberikan limbah
pertanian seperti jerami kacang tanah.
Perkawinan ternak dilakukan secara alami ketika ternak digembalakan atau diikatpindah, sebagian kecil sudah menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB).
Dengan teknologi eksisting yang diterapkannya, menyebabkan munculnya beberapa
permasalahan yaitu ketersediaan pakan pada musim kemarau terbatas, sulitnya
mendapatkan bibit ternak sapi Bali yang berkualitas baik, calving interval yang panjang, serta
kematian anak sapi yang tinggi.

Untuk mengatasi permasalahan usaha ternak sapi

sebagai bagian dari sistem

usahatani di lahan kering, diperlukan adanya upaya pemberdayaan petani melalui
pengembangan kelembagaan tani yang optimal guna meningkatkan sumberdaya manusia
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara efektif dan efisien.

Kelembagaan

perbibitan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi baik kualitas maupun
kuantitasnya.

Berdasarkan perilaku sosial budaya masyarakat setempat maka

sistem

kandang kolektif menjadi alternatif pilihan dalam mengatasi permasalahan kualitas ternak
sapi (meningkatkan mutu genetis) selain itu sistem kandang kolektif merupakan modal
sosial yang sangat penting di masyarakat dalam pengembangan usaha perbibitan ternak sapi
Bali.
Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan strategi yang cukup efektif didalam
penyediaan pakan ternak sepanjang tahun mengingat usaha ternak sapi merupakan
subsistem usahatani di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi.

DAFTAR PUSTAKA
Hendrawan Sutanto. 2002. Strategi Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya dan Teknologi Tepat
Guna Pertanian untuk Meningkatkan Pendapatan Peternak Sapi Potong. Prosiding
Seminar Nasional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.

Badan Litbang

Pertanian. Departemen Pertanian.
Kedi Suradisastra. 2004. Konteks Ekologi Kultural Kawasan Timur Indonesia dalam
Optimalisasi Lahan Kering. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin
di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan
Litbang Pertanian.
Mashur dan A. Muzani. 2004. Prospek Pengembangan Pusat-Pusat Pembibitan Sapi Bali di
Lahan Marginal untuk Mendukung Penyediaan Sapi Bakalan di Nusa Tenggara Barat.
Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui
Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan Litbang Pertanian.
Puspadi, Ketut., Yohanes G.B., Sri Hastuti, I Made Wisnu W., Prisdiminggo, Kuku Wahyu W.,
Sasongko WR. Mashur, 2004. Laporan Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif di
Wilayah Poor Farmer Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.
Puspadi, Kt., Yohanes G. B., A. Muzani, Mashur. 2004. Buku Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
Tanaman Ternak PRA Draft Bab II : Kearifan Lokal Pola Pengandangan Ternak Sapi
Bali dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak (Kasus Nusa Tenggara Barat).
Disampaikan pada Workshp Buku Crop Livestock Sistem di Bogor 25 Mei 2005.
Belum diterbitkan.
Puspadi, Kt., Yohanes G. B., A. Muzani, Mashur. 2004. Dalam Makalah berjudul : Peluang
Kelembagaan Kandang Kolektif Sebagai Basis Pengembangan Usaha Agribisnis
Pembibitan Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat.

Disampaikan pada lokakarya

Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman Ternak (CLS). Denpasar, 30 Desember 2004
– 2 Januari 2005.
Sambutan Gubernur NTB. 2004. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di
Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan
Litbang Pertanian.
Subandi dan Zubachtirodin. 2004. Prospek Pertanaman Jagung dalam Produksi Biomas
Hijauan Pakan. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan
Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan Litbang
Pertanian.

Suwardji. 2004.

Mencari Skenario Pengembangan Pertanian Lahan Kering yang

Berkelanjutan di Propinsi NTB. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani
Miskin di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek.
Badan Litbang Pertanian.
Yohanes G. Bulu, Sasongko WR., Tanda S Panjaitan dan Sudarto. 2004. Persepsi Petani
Terhadap Kebutuhan Pakan Ternak pada Berbagai Status Fisiologis Ternak Sapi Bali.
Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui
Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan Litbang Pertanian.
Yumichad Yusdja dan Nyak Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agrbisnis Sapi
Potong.

Buletin Analisis Kebjakan Pertanian.

Pertanian. Bogor.

Puslibangsosek. Badan Litbang