Morgan, A. D. 2001. Husbandry and spawning of sea cucumber Holothuria scabra Echinodermata: Holothuroidea. SPC Beche de Mer Info. Bull. No.
12: 35.
Moriaety, D. J. W. 1982. Feeding of Holothuria atra and Stichopus chloronatus on Bacteria, Organic Carbon and Organic Nitrogen in Sediments of the Great
Barrier Reef. Aust. J. Mar. Frehwater Res. 33 : 255 – 262. Nessa, M. N. dan A. Arahman. 1987. Pengembangan Pengelolaan Teripang Di
Bagian Selatan Sulawesi. Makalah Penunjang No. B 16. Seminar Laut Nasional II.Jakarta. 6 hal.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan Jakarta, 367p. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Penerjemah M.
Eidmen, Koesoebiono, DG Bengen, M Hutomo dan S Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta.
Ong Che, R. G. 1990. Aspects of the Feeding Biology of Holothuria leucospilota Brandt Echinodermata : Holothuroidea in Hongkong. Asian Marine Biol. 7 :
133 – 146. Ong Che, R. G. and E. D. Gomez, 1983. Reproductive Periodecity of Holothuria
scabra Jaeger at Calatagan, Batangas, Philippines. Philippine Journal of Biol. 12 : 21 – 28.
Panggabean, T.M. 1987. Budidaya Teripang Ketimun Laut dalam Rangka Meningkatkan Produksi Hasil Laut di Indonesia. Ditjen Perikanan
Bekerjasama dengan International Development Research Centre. INFIS Manual No. 44.
Pauly D, 1983. Some Simple Method for The Assessment of Tropical Fish Stocks FAO Fisheries Technical Paper No. 234.52p.
Pawson, D.L. 1970. The Marine Fauna of New Zealand. Sea Cucumbers Echinodermata Holothuridea. Bull. N.Z. Dept. scient. Ind. Res. 201. New
Zealand 69 p. Pedrotti, M.L,. and L.Fenaux. 1992. Dipersal of Echinoderm Larvae in a
geographiea area marked by upweling Ligurian Sea.N.W. Mediteran-can, Mar. Ecol. Prog. Ser. 86:217-227.
Post JR, Mushens C, Paul A, Sullivani M. 2003. Assessment of Alternative Harvest
Regulations for
Sustaining Recreation
Fisheries: Model
Development and Application to bull trout. North American Journal of Fisheries Management. 23:22 - 34
Prescod. 1973. Coastal Aquaculture in the Indo Pasific Region. Fisihing News Books. Manila, Philippines.
Ricker, W.F. 1969. Methods for Assesment of Fish Production in Fresh Water. Blacwell Scientific Publication, Oxford and Edimburg. P.159-181.
Santoso, S. 2002. SPSS: Statistik Multivariatif. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta
Scheltema and M.E.Rice. 1990. Occurrence of teleplanic pelagosphera larvae of sipunculans in tropical regions of the Pacific and Indian Oceans.
Bull.Mar.Sei. 47:159-181. Setyobudiandi, I. Sulistiono. Fredinan Y. Cecep K. Sigit H. Ario D. Agustinus S.
Bahtiar 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Siro, I. Hitoshi, K. 1998 Technical Development in Seed Production of the Japanese Sea Cucumber, Stichopus Japonicus. SPC Beche de Mer Info. Bull.
No. 10: 24–28.
Soegianto. A. 1994. Ekologi Kuantatif Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya - Indonesia.
Sparre, P. SC. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1: Manual diterbitkan oleh FAO dan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Star,M. J.H. Himmelman, and J.C. Theriault. 1990. Dirrect. Coupling of marine
invetebrate spawning with phytoplankton blooms. Science: 247: 1071-1074. Steel, R. G. D. and Torrie. J. H. T. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Ed ke-2. Bambang Sumantri, Penerjemah PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Terjemahan dari : Principles and
Procedures of Statistics
Storer, T.I. R.C. Stebbins, R.L. Usinger, dan J.W. Nybakken, 1979. General Zoology. Sixth Edition. McGraw-Hill Inc. New York. 902 p.
Sutaman, 1993.Petunjuk Praktis Budidaya Teripang. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 68p.
Tan Tiu, A. 1981. he Intertidal Holothurian Fauna Echinodermata: Holothuroidea of Mactan and Neighbouring Islands, Central Philippines.
Philip.Sci,. 18:45-119.
Trijoko, Penyebaran Teripang Holothuridea di Pulau Bawean. Buletin Budidaya Laut 2:37-40
Tuwo A and C. Conand 1992. Development in Beche-de-mer production in Indonesia during the last decade. Beche-de-mer, inform. Bull. 4 July 1992 :
2-3. Tuwo, A. dan M.N. Nessa, 1991. Beberapa Aspek Biologi Teripang Ekonomis
Bulletin Ilmu Kelautan, Torani 1 1 : 1-20. Walpole RE. 1995 Pengantar Statistik. Ed ke-3. Sumantri B. Penerjemah Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari Introduction to statistics 3
rd
Edition Wibisono Y. 2005. Metode Statistika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Widodo and D. G. Bengen. 1984. Studi Beberapa Aspek Biologi dan Ekologi
Teripang Holothuria sp Beserta Analisis Protein di Perairan Terumbu Karang, Pulau Pari. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Wilmoth, J.H. 1967. Biology of Invetebrate. McGraw-Hill. New York. 465 p. Wood, M.S. 1987. Subtidal Ecology. Edward Arnold Pty. Limited, Australia.
Lampiran. 1: Keadaan lokasi penelitian Stasiun.1: Kedalaman 0-5 m 5-10 m
10-15 m
Stasiun.II: Kedalaman 0-5 m 5-10 m 10-15 m
Stasiun III: Kedalaman 0-5 m 5-10 m 10-15 m
Lampiran 2: Line traset dan kuadran
Lampiran 2 Lanjutan
Lampiran.3: Alat pengukuran parameter perairan dan sarana
Lampiran 4: Hasil tangkapan saat penelitian
Lampiran 5: Pengukuran, penimbangan teripang pasir dan teripang hitam
Lampiran 5 Lanjutan
Lampiran 6: Aktifitas nelayan penangkap dan pengolahan teripang
Lampiran 7: Parameter kondisi lingkungan Desa Laluin Kec,Kayoa Selatan
Stasiun I
Parameter Fisika - Kimia Perairan Sedimen
Kedalaman Suhu
Substrat Kec
Arus Salinitas
Oksigen Terlarut
pH Pasir
Debu Liat
m ⁰C
cmdt permil
Sampling 1 0 -5
30 1.92
32 6.998
8.1 92.69
5.08 2.23
5 - 10 30
1.5 32
6.366 7.1
93.32 3.77
2.91 10 - 15
29 0.54
31 6.298
7.1 95.54
1.24 3.22
Sampling 2 0 -5
28 1.94
32 6.972
7.1 5 - 10
29 0.19
31 6.977
8.1 10 - 15
30 0.51
31 6.436
7.0 Sampling 3
0 -5 27
3.67 33
6.177 8.1
5 - 10 28
1.50 33
5.999 7.1
10 - 15 28
0.73 31
6.274 7.1
Sampling 4 0 -5
30 2.18
33 6.426
7.1 5 - 10
30 1.49
32 5.875
7.1 10 - 15
29 0.82
32 5.926
7.1
Stasiun II
Parameter Fisika - Kimia Perairan Sedimen
Kedalaman Suhu
Substrat Kec
Arus Salinitas
Oksigen Terlarut
pH Pasir
Debu Liat
m ⁰C
cmdt permil
Sampling 1 0 -5
31 1.04
30 6.783
8.1 96.20
2.02 1.78
5 - 10 30
0.73 30
6.311 7.1
94.96 1.18
3.86 10 - 15
30 0.19
32 6.321
7.1 96.32
1.27 2.41
Sampling 2 0 -5
30 1.41
30 6.836
7.1 5 - 10
30 1.24
30 6.815
7.1 10 - 15
29 0.51
30 6.824
7.1
Sampling 3 0 -5
30 1.53
31 6.922
8.1 5 - 10
29 1.27
31 5.999
7.1 10 - 15
29 0.83
30 6.275
7.1 Sampling 4
0 -5 30
1.42 30
6.649 7.1
5 - 10 29
1.27 30
6.618 7.1
10 - 15 29
0.34 30
6.691 7.1
Stasiun III Parameter Fisika - Kimia Perairan
Sedimen
Kedalaman Suhu
Substrat Kec
Arus Salinitas
Oksigen Terlarut
pH Pasir
Debu Liat
m ⁰C
cmdt permil
Sampling 1 0 -5
30 2.16
30 6.713
7.1 97.16
1.20 1.64
5 - 10 30
1.94 31
6.316 7.1
95.12 3.29
1.59 10 - 15
29 0.44
31 6.329
7.1 96.96
1.85 1.19
Sampling 2 0 -5
30 1.98
30 6.822
7.1 5 - 10
30 0.81
30 6.859
7.1 10 - 15
29 0.63
31 6.735
7.1 Sampling 3
0 -5 31
2.13 31
6.694 8.1
5 - 10 31
1.81 31
6.815
7.1
10 - 15 30
1.27 31
6.739 7.1
Sampling 4 0 -5
30 1.83
31 6.864
7.1 5 - 10
30 1.26
30 6.755
7.1 10 - 15
29 0.69
30 6.811
7.1
Lampiran 8: Analisis komponen utama hubungan korelasi antar variable dan nilai egenvalue.
F1 F2
Suhu Substrat -0.104
0.498 Kec. Arus
0.392 0.221
Salinitas 0.342
-0.295 DO
0.082 0.520
pH 0.363
0.157 Pasir
-0.348 0.324
Debu 0.408
-0.101 Liat
-0.106 -0.431
Trp. Pasir 0.407
0.096 Trp. Hitam
0.340 0.104
Lampiran 9: Analisis komponen utama hubungan korelasi antar variable total dan nilai egenvalue
F1 F2
Eigenvalue 4.63
3.09 Variability
46.28 30.87
Cumulative 46.28
77.16
Lampiran 10: Uji Kruskal-Wallis kelimpahan teripan pasir pada tiap stasiun dan kedalaman
Stasiun I
Kruskal-Wallis Test
Kedalaman m N
Mean Rank 0-5
52 55.9
5-10 37
41.5 10-15
9 45.7
Total 98
Stasiun II Kruskal-Wallis Test
Kedalaman m N
Mean Rank 0-5
34 40.91
5-10 29
33.76 10-15
13 42.77
Total 76
Lampiran 10 Lanjutan
Stasiun III Kruskal-Wallis Test
Kedalaman m N
Mean Rank 0-5
38 32.57
5-10 19
34.53 10-15
10 38.45
Total 67
Lampiran 11: Uji Kruskal-Wallis kelimpahan teripan hitam pada tiap stasiun dan kedalaman
Stasiun I
Kruskal-Wallis Test
Kedalaman m N
Mean Rank 0-5
31 36.42
5-10 44
46.51 10-15
10 47.95
Total 85
Stasiun II
Kruskal-Wallis Test Kedalaman m
N Mean Rank
0-5 21
33.33 5-10
23 17.54
10-15 5
24.3 Total
49 Stasiun III
Kruskal-Wallis Test Kedalaman m
N Mean Rank
0-5 35
46.54 5-10
36 44.53
10-15 16
37.25 Total
87
Lampiran 13: Distribusi kelompok nilai tengah ukuran teripang pasir di setiap stasiun berdasarkan waktu sampling Sampling 1,Sampling 2,
Sampling 3 dan Sampling 4 dan tiap kedalaman 0-5, 5-10 dan 10- 15 Di Desa Laluin Kec.Kayoa Selatan Agustus-September 2010.
Stasiun I: Kedalaman 0-5 m Sampling 1
Sampling 2
Sampling 3 Sampling 4
Kedalaman 5-10 m Sampling 1 Sampling 2
Lampiran 13 Lanjutan Sampling 3
Sampling 4
Kedalaman 10-15 m Sampling 2 Stasiun II. Kedalaman 0-5 m. Sampling 1
Sampling 2 Sampling 3
Lampiran 13 Lanjutan Sampling 4
Kedalaman 5-10 m Sampling 1
Sampling 2 Sampling 4
Kedalaman 10-15 m Sampling 1 Sampling 2
Lampiran 13 Lanjutan Stasiun III Kedalaman 0-5 m
Sampling 1 Sampling 3
Sampling 4 Kedalaman 5-10 m Sampling 1
Kedalaman total pada setiap stasiun Stasiun I Kedalaman 0-5 m 5-10 m
Lampiran 13 Lanjutan 10-15 m
Stasiun II Kedalaman 0-5 m
5-10 m 10-15 m
Stasiun III Kedalaman 0-5 m 5-10 m
Lampiran 13 Lanjutan 10-15 m
Lampiran 14: Distribusi kelompok nilai tengah ukuran teripang hitam di setiap
stasiun berdasarkan waktu sampling Sampling 1,Sampling 2, Sampling 3 dan Sampling 4 dan tiap kedalaman 0-5, 5-10 dan 10-
15 Di Desa Laluin Kec.Kayoa Selatan Agustus-September 2010.
Stasiun I Kedalaman 0-5 m Sampling 1
Sampling 2
Sampling 3 Sampling 4
Lampiran 14 Lanjutan Kedalaman 5-10 m. Sampling 1
Samling 2
Samling 3 Kedalaman 10-15m. Sampling 1
Stasiun II kedalaman 0-5. Samling 1 Sampling 2
Sampling 3 Kedalaman 5-10. Sampling 1
Lampiran 14 Lanjutan Sampling 2
Sampling 3
Kedalaman 10-15. Samling 1 Stasiun III Kedalaman 0-5. Sampling 1
Sampling 2 Sampling 3
Lampiran 14 Lanjutan Sampling 4
Kedalaman 5-10 m. Sampling 1
Sampling 2 Sampling 3
Sampling 4 Kedalaman 10-15 m. Sampling 1
Lampiran 14 Lanjutan Sampling 2
Sampling 3
Kedalaman total pada setiap stasiun Stasiun I Kedalaman 0-5 m
5-10 m
10-15 m Stasiun II Kedalaman 0-5 m
Lampiran 14 Lanjutan 5-10 m
10-15 m
Stasiun III Kedalaman 0-5 m 5-10 m
10-15 m
Lampiran 15 Kurva pertumbuhan L
00
dan K teripang pasir berdasarkan gabungan waktu sampling dan pada stasiun I, II, III di Desa
Laluin Kec.Kayoa Selatan Agustus-September 2010 Stasiun I
Kedalaman 0-5 m 5-10 m
10-15 m
Stasiun II Kedalaman 0-5 m
5-10 m 10-15 m
Stasiun II Kedalaman 0-5 m
5-10 m 10-15 m
Lampiran 16 Kurva pertumbuhan L
00
dan K teripang hitam berdasarkan gabungan waktu sampling dan pada stasiun I, II, III di Desa
Laluin Kec.Kayoa Selatan Agustus-September 2010 Stasiun I
Kedalaman 0-5 m 5-10 m
10-15 m
Stasiun II Kedalaman 0-5 m
5-10 m 10-15 m
Stasiun III Kedalaman 0-5 m
5-10 m 10-15 m
Lampiran 17: Data hasi tangkapan nelayan teripang di Desa Laluin Kecamatan Kayoa Selatan pada bulan Agustus-September tahun 2010
Minggu Produksi
Effort CPUE
1 927.80
136 33.98
2 376.00
66 22.39
3 1122.30
178 30.43
4 1252.60
170 36.88
5 1341.20
196 34.12
6 336.50
66 20.35
7 1211.10
191 31.91
8 1137.50
187 30.70
Lampiran 18: Data effort standarisasi
Minggu Effort std
CPUE std 1
7.29 127.21
2 4.82
78.03 3
6.55 171.45
4 7.91
158.44 5
7.32 183.2
6 4.28
78.69 7
6.83 177.28
8 6.53
174.3
ABSTRACT
Hamdi M.Madang Ecobiology and Dynamics Stocks of Sandfish Holothuria scabra, Black Sea Cucumber Holothuria edulis and Relation With Exploitation
At Laluin Village, North Maluku Province Under Direction ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and ZAIRION.
Sandfish Holothuria scabra and black sea cucumber Holothuria edulis which also known as”bala poteng and bala lohong” by the local community of
Laluin Village, North Maluku is an important resources of fisheries production. It generated from the fact that sea cucumber is the household income and source of
animal protein. Intensive exploitation to the sea cucumber could cause changes in potencial stocks and threathen it sustainability. The demands of local community
economic requirements causing catching of sea cucumber happen almost all the time. Eventhough the stocks of sea cucumber not reach the endangered level, but
it needs to do some management efforts and make it as priority so that symptoms that led to the decline of resource can be identified early on.
The aim of this research is to analyze the bioecological condition, stocks potency and relation between sea cucumber stocks and degree of explotation. This
research was expected could give description or information to the community about management and development of sea cucumber which apply the sustainable
use. There are many species of sea cucumber that already known but still not have the economic value that needs to be analyze to become references for sea
cucumber development whether it for the aim of sustainable management or conservation.
This research was conduct at Laluin Village, South Kayoa regency, South Halmahera Residence, North Maluku Province on August till September 2010.
The fields study was done by quadran transect or systematic random sampling with 1x1 meter size and assembly of 3 line transect with 50 m space between.
Start from the shoreline towards to sea at the low tide condition with 0-5 m, 5-10 m, and 10-15 m deepness, then it assembly with 1x1 m quadran at each line
transect. All sea cucumbers were collected based on station research location then it numbered and identified. At the same time the assessment of water quality
parameter were conduct.
The analyze results shown that the sandfish distribution at station I with 0- 5 m deepness were 52, 37 at 5-10 m and 9 at 10-15 m. At station II there were 34
sandfish at 0-5 m deepness, 29 at 5-10 m, and 13 at 10-15 m, and at station III there were 38 sandfish at 0-5 m deepness, 19 at 5-10 m and 10 at 10-15 m.
Quantity of all sandfish without considering the deepness is 98 at station I, 76 at station II, and 67 at station II which the less of all, quantity of all sandfish from
station I, II, III is 241. The black sea cucumber that catched at station I with 0-5 deepness were 31, 44 at 5-10 m, and 10 at 10-15 m, at station II there were 21 at
0-5 m deepness, 23 at 5-10 m, and 5 at 10-15 m, while at station III there were 35 at 0-5 m deepness, 36 at 5-10 m and 16 at 10-15 m. Over all it shows that the
station III have more black sea cucumber than the station II, and based on deepness, the 5-10 m dominate it availability. It could be conclude that both
sandfish and black sea cucumber were widespread in every deepness at all station on Laluin Village. Eventhough the abundance of station I and II were bigger than
station III but the difference number of sea cucumber at each deepness was not significant and the average density of sandfish at station I is 2.18 indm
2
, 1.69 indm
2
at station II and 1.49 indm
2
at station III. While for the black sea cucumber, the higer density were at station III with 1.93 indm
2
average. Based on middle-class grouping length by Bhattacharya method, it known
that there were two groups of middle-class length at station I in 0-5 m deepness on August 2010 sampling sampling 1, 2, 3 and 4 is 97 mm with 15 sandfish of
estimates population and 51 populations with 138 mm length, on 5-10 m there were 36 populations with 123 mm length while on the 10-15 m there were 8
populations with 123 mm length. For the station II on 0-5 m deepness there were 61 populations with 142 mm length, 23 populations with 108 mm length and 7
populations with 144 length on 5-10 m, while on 10-15 m deepness there were 9 populations with 177 mm length. Then at station III on 0-5 m deepness there were
two groups of middle-class length, is 120 lengths as much as 23 populations and 18 populations with 163 mm length, on 5-10 m deepness there were 20
populations with 144 mm length and on 10-15 m deepness there were 16 populations with 93 mm length. For the black sea cucumber at station I on 5-10 m
deepness there were 46 populations sea cucumber with 193 mm length, on 5-10 m deepness there were 18 populations with 109 mm length and 31 populations with
168 mm length while on 10-15 m deepness there were 24 populations with 200 mm length. At station II on 0-5 m deepness there were 36 populations with 231
mm, 13 populations with 133 mm length and 9 populations with 144 mm length on 5-10 m deepness. Then at station III there were three middle-class length on 0-
5 m and 5-10 m deepness, where on 0-5 m deepness is 112 mm, 170 mm and 219 mm lengths with estimates populations 19, 14 and 3, subsequently, while on 5-10
m deepness is 114 mm, 156 mm and 219 mm with estimates populations 19, 19 and 3, subsequently, on 10-15 m deepness there were 12 populations with 132
mm length.
Based on the results, every fisherman could obtain average catchment between 10-118.2 kg for each day and 590.5-821.3 in a month. Thus the equation
of sea cucumber CPUE at Kayoa Laluin Village is CPUE 27.67-34.66, correlation coefficient where r = √R
2
, thus r = √0.64, then the correlation coefficient value r is 0.67, which is means that there were 67 relation. It describes that quantum of
catchment influence the haul production as much as 67. Based on the value from analysis, it could see that sea cucumber stocks at
Laluin Village, North Maluku were decrease and being under over exploitation condition. Thus, utilization of sea cucumber resource needs to note in relation
with the management, therefore it needs some control efforts for the exploitation degree by limiting the catchment based on catching decent size that could give
benefit both in ecology and economy.
Keywords: sea cucumber, stocks, Laluin Village exploitation, North Maluku.
RINGKASAN
Hamdi M.Madang Ekobiologi dan Dinamika Stok Teripang Pasir Holothuria scabra, Teripang Hitam Holothuria edulis Serta Hubungannya Dengan
Eksploitasi Di Desa Laluin, Provinsi Maluku Utara Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ZAIRION.
Teripang pasir Holothuria scabra dan teripang hitam Holothuria edulis yang biasa dikenal dengan nama “bala pote dan bala lohong” oleh masyarakat
Desa Laluin, Maluku Utara merupakan salah satu sumberdaya yang penting dalam produksi perikanan. Hal ini disebabkan karena teripang sebagai sumber mata
pencaharian dan sumber protein hewani. Eksploitasi yang intensif terhadap teripang ini dikawatirkan dapat mengakibatkan terjadinnya perubahan potensi stok
dan mengancam kelestariannya. Hal ini adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat setempat, sehingga aktivitas penangkapan dilakukan hampir
setiap saat. Walaupun sampai saat ini belum sampai pada taraf yang menghawatirkan, tetapi upaya pengelolaan perlu dilakukan dan menjadi prioritas
agar gejalah yang mengarah ke arah penurunan sumberdaya tersebut teridentifikasi sejak dini.
Tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis kondisi bioekologi, menganalisis potensi stok dan Menganalisis hubungan antara stok teripang dan
tingkat eksploitasi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau informasi pada masyarakat tentang pengelolaan dan pengembangan teripang
melalui pemanfaatan secara berkelanjutan, Banyaknya jenis yang terdapat namun belum memiliki nilai ekonomis sehingga perlu dilakukan kajian sehingga menjadi
bahan referensi untuk pengembangan teripang untuk tujuan pengelolaan secara berkelanjuatan maupun konservasi.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Laluin, Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara dan dimulai dari bulan
Agustus sampai September 2010. Penelitian di lapangan di lakukan dengan metode transek kuadran atau systematic random sampling yang berukuran 1X1
meter dan dilakukan pemasangan 3 buah transek garis line transek dengan jarak antara transek 50 m, mulai dari garis pantai kearah laut pada saat surut dengan
kedalaman 0-5 m, 5-10 m dan 10-15 m kemudian pada masing-masing garis transek diletakkan kuadran berukuran 1X1 m. Seluruh teripang yang diambil di
kelompokkan berdasarkan lokasi stasiun penelitian dan dihitung jumlahnya serta diidentifikasi. Kemudia disaat yang bersamaan akan dilakukan pengukuran
parameter kualitas perairan.
Hasil analisis selama penelitian menunjukkan bahwa distribusi teripang pasir di stasiun I kedalaman 0-5 m terdapat 52 ekor, kedalaman 5-10 m 37 ekor
dan kedalaman 10-15 m sebanyak 9 ekor. Stasiun II menunjukkan bahwa pada kedalaman 0-5 m ada 34 ekor, 5-10 m 29 ekor dan kedalaman 10-15 m 13 ekor,
sedangkan stasiun III kedalaman 0-5 m jenis teripang pasir yang tertangkap berjumlah 38 ekor, kedalaman 5-10 m 19 ekor dan kedalaman 10-15 m 10 ekor.
Apabila dilihat jumlah total per stasiun tanpa melihat kedalaman maka yang mendominasi jumlah teripang berada pada stasiun I dengan jumlah 98 ekor,
stasiun II 76 ekor dan yang paling sedikit pada stasiun III dengan jumlah 67 ekor, jumlah keseluruhan teripang pasir yang tertangkap pada stasiun I, II, III sebanyak
241 ekor. Selanjutnya untuk teripang hitam yang tertangkap pada stasiun I kedalaman 0-5 m adalah 31 ekor, kedalaman 5-10 m 44 ekor dan kedalamana 10-
15 m sebanyak 10 ekor, Stasiun II pada kedalaman 0-5 m terdapat 21 ekor, kedalaman 5-10 m 23 ekor dan kedalaman 10-15 m 5 ekor, selanjutnya pada
stasiun III teripang hitam yang tertangkap berjumlah 35 ekor pada kedalaman 0-5 m, kedalaman 5-10 m berjumlah 36 ekor dan kedalaman 10-15 m sebanyak 16
ekor. Secara keseluruhan tampak bahwa teripang hitam lebih banyak ditemukan pada stasiun III dan terendah pada stasiun II, jika berdasarkan kedalaman maka
teripang hitam lebih dominan pada kedalaman 5-10 m. Hal ini dapat disimpulkan bahwa teripang pasir maupun teripang hitam menyebar luas pada tiap kedalaman
di semua stasiun yang ada di Desa Laluin Meskipun secara keseluruhan jumlah individu teripang pasir terbanyak pada stasiun I, II dan yang paling sedikit pada
stasiun III akan tetapi jumlah individu di tiap kedalaman tidak terlalu besar selisihnya dan secara keseluruhan kepadatan teripang pasir ini berada pada stasiun
I dengan nilai rata-rata 2.18 ind.m² kemudian pada stasiun II dengan nilai rata- rata 1.69 ind.m² dan stasiun III memiliki kepadatan rata-rata 1.49 ind.m².
Sementara itu teripang hitam Apabila dilihat secara keseluruhan dari kepadatan tertinggi berada pada stasiun III dengan nilai rata-rata 1.93 ind.m².
Berdasarkan hasil Pengelompokkan kelas tengah ukuran panjang dengan metode Bhattacharya dapat diketahui secara keseluruhan bahwa pada stasiun I
dikedalaman 0-5 m terdapat dua kelompok nilai tengah ukuran panjang teripang pasir pada periode Agustus-Sampling 2010 Sampling 1, Sampling 2, Sampling 3
dan Sampling 4 yaitu yang pertama nilai tengah ukuran 97 mm dengan populasi dugaan 15 ekor serta nilai tengah ukuran yang kedua adalah 138 mm dugaan
populasi 51 ekor, kedalaman 5-10 m nilai tengah ukuran 123 dugaan populasi 36 ekor dan pada kedalaman 10-15 m nilai tengah ukuran adalah 123 mm dan
populasi dugaannya adalah 8 ekor. Sementara pada stasiun II kedalaman 0-5 m terdapat nilai tengah ukuran 142 populasi dugaan 61 ekor, kedalaman 5-10 m
diketahui ada dua nilai tengah ukuran yaitu 108 dengan populasi dugaan 23 ekor kemudian yang kedua nilai tengah ukuran 144 populasi dugaan 7 ekor kemudian
pada kedalaman 10-15 m nilai tengah ukuran 177 mm dengan populasi dugaan 9 ekor. Selanjutnya pada stasiun III dikedalaman 0-5 m terdapat dua nilai tenga
ukuran yang pertama nilai tengah ukuran 120 dugaan populasi 23 ekor dan yang kedua nilai tengah ukuran 163 mm dengan populasi dugaan 18 ekor kedalaman 5-
10 m nilai tengah ukuran 144 mm dugaan populasi 20 ekor dan pada kedalaman 10-15 m nilai tengah ukuran 93 mm populasi dugaan 16 ekor dan pada teripang
hitam di stasiun I kedalaman 0-5 m terdapat nilai tengah kelas ukuran 193 mm dengan dugaan populasi 46 ekor dikedalaman 5-10 ada dua nilai kelas ukuran
yaitu yang pertama nilai tengah ukuran 109 mm dugaan populasinya 18 ekor dan yang kedua nilai kelas ukurannya 168 mm dengan populasi 31 ekor sementara
pada kedalaman 10-15 mm terdapat nilai tengah kelas ukuran 200 mm dan dugaan populasi 24 ekor. Di stasiun II kedalaman 0-5 m nilai tengah ukuran 231 mm
dugaan populasi 36 ekor, kedalaman 5-10 m ada dua nilai kelas ukuran yaitu 133 dan 141 mm dengan dugaan populasinya masing-masing 13 dan 9 ekor.
Selanjutnya pada stasiun III ada tiga nilai tengah yang terdapat pada kedalaman 0- 5 dan 5-10 m dimana pada kedalaman 0-5 m mempunyai nilai tengah kelas ukuran
112 mm, 170 mm dan 219 mm dimana masing-masing memiliki dugaan populasi 19 ekor, 14 ekor dan 3 ekor sementara dikedalaman 5-10 nilai tengah ukuran yang
pertama 114 mm, kedua 156 mm dan yang ketiga 219 mm dengan dugaan populasi yang pertama 19 ekor, kedua 19 ekor dan yang ketiga 3 ekor, kedalaman
10-15 m mempunyai nilai tengah ukuran 132 mm dugaan populasinya 12 ekor
Berdasarkan hasil penelitian, setiap harinya seorang nelayan memperoleh hasil tangkapan rata-ratanya berkisar antara 10-118.2 kg per harinya dan 590.5-
821.3 per bulannya. Dengan demikian CPUE teripang di Desa Laluin Kayoa diperoleh persamaannya adalah CPUE 27.67-34.66, koefisien korelasi dimana r =
√R
2
, dengan demikian r = √0.64, maka akan didapat nilai koefisien korelasinya r 0.67 yang artinya terdapat hubungan keeratan sebesar 67. Hal ini
mengambarkan bahwa ternyata lama waktu penangkapan effort mempengaruhi hasil tangkapan produksi teripang sebesar 67.
Berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh dari beberapa hasil analisis, ternyata diketahui bahwa stok teripang di Desa Laluin, Maluku Utara mengalami
penurunan dan terjadi kondisi over eksploitasi. Oleh karena itu maka pemanfaatan sumberdaya teripang perlu menjadi perhatian dalam pengelolaannya, sehingga
diperlukan suatu tindakan pengaturan tingkat eksploitasi yaitu membatasi penangkapan , ukuran layak tangkap sehingga dapat menguntungkan baik secara
ekologi maupun ekonomi. Kata Kunci: Teripang, stok, eksploitasi Desa Laluin, Maluku Utara
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teripang atau yang juga disebut dengan timun laut, merupakan hewan tidak bertulang belakang yang termasuk dalam famili Holothuridae dan Stichopodidae.
Teripan pasir Holothuria scabra termasuk kedalam kelas Holothuroidea yang merupakan salah satu produk perikanan yang telah lama di kenal dan dikonsumsi
oleh masyarakat pesisir Indonesia dan juga dikenal di negara Eropa, Jepang dan Amerika serikat karena bernilai ekonomis. Di Indonesia ditemukan tiga genus
teripang, yaitu Holothuria, Muelleria, dan Stichopus. Ketiga genus tersebut jenis yang banyak dieksploitasi adalah Teripang pasir Holothuria scabra.
Ada tiga genus yang ditemukan di perairan Indonesia, ketiga genus tersebut ádalah Holothuria, Muelleria, Stichopus. Dari ketiga genus tersebut
ditemukan sebanyak 23 spesies dan baru lima spesies dari genus Holothuria yang suda dieksploitasi atau dimanfaatkan serta mempunyai nilai ekonomis penting.
Teripang tersebut ádalah teripang pasir Holothuria scabra, teripang hitam Holothuria edulis, teripang getah Holothuria vacabunda, teripang merah
Holothuria vatiensis dan teripang cokelat Holothuria marmorata, antara spesies tersebut yang banyak di pasarkan adalah jenis teripang pasir Sutaman
1993; Martoyo et al. 2007. Perairan Halmahera Selatan saat ini terdapat kurang lebih 18 jenis teripang
komersial. Teripang ini termasuk kedalam Holothuroidea, suku Holothuriidae dan Stichopodidae. Jenis teripang yang termasuk kedalam kategori utama adalah
teripang pasir Holothuria scabra, teripang perut hitam Holothuria atra, teripang susuan Holothuria nobilis, teripang perut merah Holothuria edulis
teripang getah atau teripang keling Holothuria vagabunda, teripang cokelatHolothuria marmorata dan teripang nanas Thelenota ananas.
Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori bernilai ekonomis sedang adalah teripang lotong Actinopyga lecanopra, dan teripang bilalo Actinopyga
mauritiana, yang termasuk kedalam marga Actinopyga. Jenis-jenis lainnya termasuk kedalam kategori rendah.
Berdasarkan hasil pengamatan dibeberapa lokasi penangkapan teripang, khususnya di Desa Laluin, Provinsi Maluku Utara, teripang yang banyak
dieksploitasi adalah teripang pasir, teripang getah, teripang nanas dan beberapa jenis teripang lainnya. Nelayan setempat mulai merasakan adanya penurunan
produksi, Hal ini karena peningkatan aktivitas penangkapan yang dilakukan dengan cara terus-menerus di alam tanpa memperhitungan akan mengancam
kelestarian sumberdaya ini. Dibeberapa daerah penangkapan, produksi teripang cenderung menurun, dalam hal ini teripang sangat mudah ditangkap sehingga
mudah mengalami padat tangkap. Penangkapan teripang yang di lakukan oleh masyarakat Desa Laluin saat ini hanya bersifat penampungan, hasil tangkapan dari
masyarakat laluin pada tahun 1999, dimana hasil tangkapan Taripang ini sebelumnya 10-15 kg per hari. Bedasarkan data produksi teripang khusus Desa
Laluin dalam periode 5 tahun 2005-2009 mencapai 1615 kg sedangkan produksi secara keseluruhan di Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan
dalam periode 5 tahun 2005-2009 yaitu Desa Posi-posi 1220 kgtahun,Desa Pasir Putih 850tahun, Desa Ngute-ngute 891tahun dan Desa Sagawele
750tahun. Total produksi teripang di Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan 2005-2009 adalah : 5.326 tontahun Data produksi teripang
KUD Katulistiwa, 2009. Berdasarkan data dari Dinas Perikan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara
pada tahun 2004 menunjukan bahwa produksi teripang untuk Maluku Utara adalah 5,75 tontahun. penyumbang teripang terbesar untuk Provinsi Maluku
Utara salah satunya adalah Desa Laluin Laporan Tahunan DKP Prov Maluku Utara 2004, sedangkan data produksi tahun 2009 per jenis komoditi khusus jenis
teripang Kabupaten Halmahera Selatan adalah 768.00 ton. Meningkatnya pemanfaatan teripang Holthuria sp mengakibatkan laju
penangkapan semakin meningkat dari tahun ke tahun, dengan produksi saat ini tergantung penangkapan di alam oleh para nelayan. Upaya-upaya yang telah
dilakukan guna meningkatkan produksi selalu mengalami penurunan, hal ini karena populasi teripang semakin menurun dan diperparah lagi dengan sistem
eksploitasi yang berlebihan. Tingginya intensitas penangkapan teripang