Efisiensi Dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah Di Indonesia Analisis Meta Frontier

DISERTASI

EFISIENSI DAN KESENJANGAN TEKNOLOGI
USAHATANI PADI SAWAH DI INDONESIA:
ANALISIS META-FRONTIER

MOHAMMAD JUNAEDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Efisiensi dan
Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Indonesia: Analisis MetaFrontier adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari disertasi saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, 23 Agustus 2016

Mohammad Junaedi
NIM. H363110131

RINGKASAN
MOHAMMAD JUNAEDI. Efisiensi dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi
Sawah di Indonesia: Analisis Meta-Frontier. Dibimbing oleh HENY K. S.
DARYANTO, BONAR M. SINAGA dan SRI HARTOYO.
Karakteristik antarwilayah yang berbeda-beda menyebabkan penggunaan
teknologi yang berbeda dalam usahatani padi sawah di Indonesia. Setiap wilayah
akan menggunakan ukuran jumlah produksi maksimal (frontier) wilayah masingmasing sebagai acuan (benchmark) dalam mengukur efisiensi usahataninya.
Adanya kesenjangan teknologi tersebut menyebabkan ukuran efisiensi masingmasing wilayah tidak dapat diperbandingkan sehingga memungkinkan terjadinya
bias jika digunakan dalam penentuan kebijakan dalam skala yang lebih luas yang
melibatkan antarwilayah. Salah satu bias yang mungkin terjadi adalah benarkah
suatu wilayah sudah bisa dikatakan efisien dibandingkan wilayah lain jika
menggunakan ukuran efisiensi yang tidak terbanding?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi dan

kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia dengan pendekatan
fungsi produksi meta-frontier. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat produksi dan
menganalisis efisiensi teknis usahatani padi sawah di Indonesia, (2) menganalisis
kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia, serta (3) menganalisis
efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani padi sawah di Indonesia.
Penelitian ini mengunakan data 4202 petani padi sawah pada 4 wilayah di
Indonesia yang diperoleh dari Survei Struktur Ongkos Usahatani tahun 2011 yang
dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2011. Untuk menyelidiki
bahwa ukuran tingkat efisiensi di 4 wilayah tersebut tidak bisa saling
dibandingkan, maka pada penelitian ini digunakan analisis meta-frontier.
Secara umum semua koefisien variabel fungsi produksi sesuai harapan
bernilai positif dan signifikan. Luas lahan (ha) di semua wilayah sangat dominan
dalam memengaruhi produksi padi sawah, dibandingkan variabel tenaga kerja,
dan pupuk. Kesepuluh variabel sosial ekonomi dalam penelitian ini berpengaruh
beragam terhadap inefisiensi usahatani padi di setiap wilayah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tanpa mempertimbangkan aspek kesenjangan teknologi
maka di semua wilayah bisa dianggap efisien jika menggunakan batasan minimal
70 persen, namun jika digunakan batas minimal 80 persen maka hanya wilayah
Bali yang belum efisien dalam usahataninya. Jika menggunakan frontier lokal

masing-masing wilayah sebagai acuan, secara rata-rata wilayah Sumatera
merupakan wilayah yang paling efisien dengan nilai efisiensi teknis sebesar 95.71
persen dan wilayah Bali merupakan wilayah paling tidak efisien dengan nilai
efisiensi teknis sebesar 78.47 persen.
Nilai rata-rata rasio kesenjangan teknologi (TGR) beragam antar wilayah,
mulai dari 83.83 persen di wilayah Bali hingga 94.19 persen di wilayah Sumatera.
Berdasarkan nilai rata-rata TGR wilayah Sumatera kesenjangan teknologinya
paling kecil, artinya penggunaan teknologi di Sumatera relatif lebih baik
dibandingkan wilayah lain. Sementara TGR wilayah Bali sebesar 83.83 persen
dapat diartikan bahwa petani di wilayah Bali dengan kondisi teknologi yang
tersedia secara rata-rata menghasilkan padi sebesar 83.83 persen dari produksi

padi potensial di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai efisiensi
teknis (TE*) di semua wilayah setelah mempertimbangkan aspek kesenjangan
teknologi menjadi lebih rendah dibandingkan nilai efisiensi teknis (TE) dengan
acuan frontier masing-masing wilayah. Wilayah Sumatera efisiensi teknisnya
turun menjadi sebesar 90.15 persen. Wilayah Jawa menjadi 84.76 persen dan
wilayah Bali turun efisiensi teknisnya menjadi 65.76 persen. Berdasarkan hal
tersebut, maka untuk kebijakan di suatu wilayah diperlukan penjelasan khusus
bahwa penggunaan ukuran efisiensi teknis yang didasarkan pada ukuran frontier

suatu wilayah tidak dapat diperbandingkan dengan wilayah lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara alokatif rata-rata usahatani di
seluruh wilayah di Indonesia (kecuali wilayah Bali) belum efisien secara alokatif,
dan hal ini mengakibatkan usahatani di seluruh wilayah di Indonesia belum
efisien secara ekonomi. Permasalahan rendahnya efisiensi ekonomi petani padi
sawah di Indonesia juga bersumber dari kurang tepatnya alokasi penggunaan input
sehingga menyebabkan total biaya yang mahal. Masalah rendahnya efisiensi
ekonomi juga dipicu dari faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh
petani, seperti harga input yang mahal dan harga gabah yang cenderung murah.
Hal ini menyebabkan berkurangnya keuntungan petani, dan berkurangnya
keuntungan petani akan mengurangi kesejahteraan petani yang diharapkan akan
menjadi tulang punggung pasokan pangan nasional.
Peningkatan produktivitas usahatani padi sawah tetap perlu didorong karena
ini merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan kesejahteraan petani padi
sawah. Peningkatan produktivitas bisa dicapai dengan cara penggunaan teknologi
yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi. Karenanya untuk bisa mendorong
besaran efisiensi ekonomi petani padi sawah di seluruh wilayah agar semakin
meningkat, maka kebijakan yang bisa mendorong peningkatan besaran efisiensi
alokatif perlu diprioritaskan dibandingkan kebijakan peningkatan besaran efisiensi
teknis agar kebijakan yang diterapkan bisa efektif.

Kebijakan yang bisa meningkatkan besaran efisiensi alokatif adalah
kebijakan peningkatan peran lembaga penyuluhan dalam meningkatkan
kemampuan petani padi sawah agar lebih efisien dalam mengalokasikan
penggunaan input-inputnya sesuai standar dan anjuran dalam berusahatani padi
sawah. Peranan lembaga penyuluhan juga perlu ditingkatkan fungsinya agar tidak
hanya fokus kepada aspek teknis usahatani, namun juga bisa berperan dalam
penyebarluasan informasi terkait harga-harga, teknologi terkini yang tepat guna
dan informasi pasar lainnya. Selain itu diperlukan penguatan kebijakan terkait
perlindungan harga-harga input agar lebih terjangkau oleh petani dan pengamanan
harga gabah agar - saat panen dan menjual gabahnya - petani tidak merugi dan
mendapat insentif untuk tetap mau bertani. Jika petani sudah efisien dalam
mengalokasikan inputnya sesuai standar anjuran dan harga input terkendali
dengan baik, maka petani akan memperoleh produktivitas yang tinggi sehingga
penerimaannya juga akan meningkat, sementara total biaya usahatani yang
dikeluarkan juga akan menurun, dan hal ini pada akhirnya akan meningkatkan
keuntungan petani. Dengan adanya peningkatan keuntungan maka diharapkan
akan terjadi peningkatan kesejahteraan petani.
Kata kunci: efisiensi, kesenjangan teknologi, meta-frontier, usahatani padi sawah

SUMMARY

MOHAMMAD JUNAEDI. Efficiency and the Technology Gap of Wetland Rice
Farming in Indonesia: Meta-Frontier Analysis. Supervised by HENY K. S.
DARYANTO, BONAR M. SINAGA and SRI HARTOYO.
Diversity in characteristics among regions leads to the use of different
technology in the wetland rice farming in Indonesia. Each region would use their
own maximum production size (frontier) as a benchmark for assessing the
efficiency of their agribusiness. The technological gap causes the efficiency
assessment in each region to be impossible to compare, leading to a possibility of
a bias if used in large-scale policy-making involving several regions. One of the
biases that may occur is whether one region could really consider efficient
compared to another region if the efficiency measurement used is not comparable.
In general, this study aimed to analyze the efficiency and the technology gap
in the wetland rice farming in Indonesia using the meta-frontier production
function. Whereas specifically, this study aimed to: (1) identify the factors that
influence the production level and analyze the technical efficiency of the wetland
rice farming in Indonesia, (2) analyze the technological gap in the wetland rice
farming in Indonesia, and (3) analyze the allocative and economic efficiency of
the wetland rice farming in Indonesia.
This study used data from 4202 wetland rice farmers in 4 regions in
Indonesia which were obtained from the 2011 Cost Structure of Food Crops

Production Survey collected by the Central Bureau of Statistics (BPS-Statistics
Indonesia) in 2011. To investigate whether the efficiency level assessment in the 4
regions was incomparable, this study employed the meta-frontier analysis.
In general, all the coefficients of the production function variables were
positive and significant as expected. The farmland area in all regions was strongly
dominant in influencing the wetland rice production compared to the labor and
fertilizer variables. The ten socio-economic variables in this study had varying
effects on the inefficiency of the wetland rice farming in each region. The results
of this study demonstrated that if the technological gap aspect was not considered,
all regions could be considered efficient when the limit was a minimum of 70
percent. However, if the limit was a minimum of 80 percent, only Bali was not
efficient in its agribusiness. Using the local frontier for each region as a reference,
the Sumatra region were in average the most efficient with a technical efficiency
of 95.71 percent, whereas Bali was the most inefficient with a technical efficiency
of 78.47 percent.
The average Technology Gap Ratio (TGR) varied between regions, from
83.83 percent in Bali to 94.19 percent in Sumatra. The average TGR in Sumatra
proved that the technology gap there was the smallest, meaning that the use of
technology in Sumatra was relatively better than in the other regions. On the other
hand, the TGR in the region of Bali was 83.83 percent, which could be interpreted

as the farmers in Bali with the existing technology in average produced 83.83
percent of the Indonesian rice production potential. The results of this study
demonstrated that the technical efficiency (TE*) in all regions after considering
the technology gap aspect became lower than the technical efficiency (TE) using
the each region’s frontier as the benchmark. The technical efficiency of Sumatra

region decreased to 90.15 percent. Java became 84.76 percent and Bali’s technical
efficiency dropped to 65.76 percent. Based on these facts, in making policies for
one region there needs to be additional explanation that the technical efficiency
assessment conducted based on one region’s frontier could not be compared to
with another region’s.
The results of the study demonstrated that in average the farmers in
Indonesia were still allocatively inefficient because all regions had allocative
efficiency values of less than 70 percent, and this led to the farmers’ economic
inefficiency. The main issue in wetland rice farming in Indonesia was not the
farmers’ internal problems as they were relatively successful in handling
managerial issues related to the technical efficiency of their agribusiness. The
wetland rice farmers in Indonesia in fact had issues that originated from the
outside that were out of their control, such as the high prices of input and the
relatively low price of unmilled rice. These made the farmers inefficient in

allocating their resources and input.
Increasing the productivity of wetland rice farming needs to be encouraged
because it is one of the factors that could improve the wetland rice farmers’
welfare. Increasing the productivity could be done by applying better technology
and increasing efficiency. Therefore, to improve the wetland rice farmers’
economic efficiency in all regions, there needs to be policies that prioritize
improvement in allocative efficiency above technical efficiency so that the applied
polices could be effective.
Policies that could increase the amount of allocative efficiency is the policy
of increasing the role of extension services in improving the ability of paddy rice
farmers to be more efficient in allocating the use of the inputs according to the
standard and suggestion in lowland rice farming. The role of the extension
services also need to be improved functionalities to not only focus on the
technical aspects of farming, but also can play a role in the dissemination of
information related to prices, the latest technology that is appropriate and other
market information. Besides the necessary strengthening polices that are related to
the protection of the prices of input so that they are more affordable for the
farmers and securing the price of unmilled rice so that the farmers are do not incur
losses and receive incentive to continue farming. If farmers are efficient in
allocating its inputs according to the standard advice and input prices under

control, then the farmers will get high productivity so that revenues will also
increase, while total farming costs incurred will also decrease, and it will
ultimately improve farmers' profits. With an increase in profits, it is expected
there will be an increase in the welfare of farmers.
Keywords: efficiency, meta-frontier, technology gap, wetland rice farming

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

Judul
EFISIENSI DAN KESENJANGAN
TEKNOLOGI
USAHATANI PADI SAWAH DI INDONESIA:
ANALISIS META-FRONTIER


MOHAMMAD JUNAEDI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi;
Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
2. Dr Alla Asmara, SPt. MSi;
Staf pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.

Komisi Promosi Luar pada Sidang Promosi Terbuka:
1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi;
Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
2. Dr Kadarmanto, MA;
Kasubdit. Statistik Tanaman Pangan. Direktorat Tanaman Pangan,
Hortikultura dan Perkebunan, Badan Pusat Statistik.

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil‘alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan keharibaan
ALLOH SWT yang maha segalanya, karena atas ridho dan rahmat-NYA sehingga
disertasi ini berhasil penulis selesaikan. Disertasi ini berjudul “Efisiensi dan
Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Indonesia: Analisis MetaFrontier”. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Institut Pertanian
Bogor. Penelitian mulai dilakukan sejak tahun 2012 mengunakan data 4202 petani
padi sawah pada 4 wilayah di Indonesia yang diperoleh dari Survei Struktur
Ongkos Usahatani tahun 2011 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik pada
tahun 2011.
Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak
langsung dalam penyelesaian disertasi ini, di antaranya:
1. Jajaran pimpinan Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik Provinsi
Sumatera Utara dan Badan Pusat Statistik Kota Medan yang telah memberikan
izin dan kesempatan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.
2. Istri tercinta Yanti Marlini, dan anak-anak tersayang Mentari Tatsbita Rusyda
Junaedi, Muhammad Rafa Rizqullah Junaedi dan Muhammad Rafie Addien
Junaedi yang dengan setia mendampingi dalam suka dan duka, serta dorongan
semangat dan doa dari keluarga besar Achmad Syafi’i (alm) dan keluarga
besar Untung Suyanto, juga mas Agus Abdurrachman Saleh dan mas Imam
Rizqi.
3. Komisi pembimbing yang luar biasa, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, MEc atas
bimbingan menyemangatkan dan menenangkan, Prof. Dr. Ir. Bonar M.
Sinaga, MA atas petuah bijaknya dan juga Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS yang
tak kenal lelah mendorong dan mendampingi agar tidak mudah menyerah.
4. Penguji luar komisi Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi. dan Dr. Alla Asmara, SPt.
MSi. serta anggota komisi promosi Dr. Kadarmanto, MA. yang telah
memberikan banyak masukan untuk perbaikan disertasi ini.
5. Sekolah pasca sarjana IPB beserta jajarannya yang telah membantu
memfasilitasi studi penulis.
6. Sekretariat Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan kru yang selalu bersedia
melayani dan direpotkan.
7. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian khususnya program
Doktor angkatan 2011.
8. Dan banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut
berkontribusi dalam penyelesaian penelitian ini.
Tak ada gading yang tak retak adalah ungkapan yang paling tepat bagi
capaian penulisan disertasi ini, namun penulis berharap semoga karya ini dapat
memberikan manfaat bagi kemaslahatan banyak pihak.
Bogor, 23 Agustus 2016
Penulis,

Mohammad Junaedi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xix

DAFTAR GAMBAR

xx

DAFTAR LAMPIRAN

xx

DAFTAR ISTILAH

xxi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Permasalahan

4

Tujuan

6

Kebaruan dan Keunggulan Penelitian

6

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa Faktor yang Memengaruhi Produksi dan Efisiensi

7
8

Pengaruh Lahan

8

Pengaruh Teknologi

9

Pengaruh Jenis Kelamin Petani

11

Pengaruh Pendidikan Petani

12

Pengaruh Lembaga Pendukung

13

Penelitian tentang Efisiensi dengan Analisis Meta-Frontier
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis

14
15
16

Konsep Produksi

16

Konsep Produktivitas dan Efisiensi

18

Konsep Efisiensi Berorientasi Input

19

Konsep Efisiensi Berorientasi Output

21

Konsep Fungsi Produksi Frontier

22

Konsep Fungsi Produksi Meta-Frontier dan Kesenjangan Teknologi

25

Kerangka Pemikiran Operasional
4 METODE PENELITIAN

27
29

Pewilayahan

29

Definisi dan Pengukuran Variabel

31

Metode Pengolahan dan Analisis

33

Fungsi Produksi Stochastic Frontier

34

Fungsi Produksi Meta-Frontier

36

Efisiensi Teknis dan Kesenjangan Teknologi

37

Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Padi Sawah di
Indonesia
39
5 HASIL DAN PEMBAHASAN

41

Karakteristik Petani dan Usahatani Padi Sawah

41

Analisis Produksi dan Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah di Indonesia

48

Pengujian Hipotesis

49

Efisiensi Teknis Wilayah Sumatera

56

Efisiensi Teknis Wilayah Jawa

59

Efisiensi Teknis Wilayah Bali

62

Analisis Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Indonesia

65

Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Padi Sawah di
Indonesia
67
Kinerja Usahatani Padi Sawah
6 SIMPULAN DAN SARAN

69
70

Simpulan

70

Saran

71

DAFTAR PUSTAKA

74

LAMPIRAN

79

RIWAYAT HIDUP

112

DAFTAR TABEL

1. Rumah tangga pertanian yang melakukan mutasi lahan tahun 2013

3

2. Jumlah observasi menurut wilayah

30

3. Definisi dan pengukuran variabel fungsi produksi

32

4. Definisi dan pengukuran variabel fungsi inefisiensi

33

5. Persentase petani padi sawah menurut luas lahan dan wilayah

41

6. Persentase petani padi sawah menurut kelompok umur dan wilayah

41

7. Persentase petani padi sawah menurut jenis kelamin dan wilayah

42

8. Persentase petani padi sawah menurut pendidikan dan wilayah

43

9. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah
menurut pembiayaan usahatani dan wilayah
43
10. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah
menurut penggunaan alat bantu pengolahan lahan dan wilayah
44
11. Persentase petani dan rata-rata luas lahan padi sawah menurut perolehan
penyuluhan dan wilayah
45
12. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah
menurut bantuan usahatani dan wilayah
46
13. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah
menurut keanggotaan kelompok tani dan wilayah
46
14. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah
menurut musim tanam dan wilayah
47
15. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah
menurut status kepemilikan lahan dan wilayah
47
16. Persentase petani, rata-rata luas lahan dan produktivitas padi sawah
menurut penggunaan benih dan wilayah
48
17. Produksi, produktivitas dan penggunaan input usahatani padi sawah
menurut wilayah
49
18. Fungsi produksi dan inefisiensi wilayah, pooled dan meta-frontier

51

19. Persentase petani dan rata-rata efisiensi teknis usahatani padi sawah
menurut variabel yang memengaruhi di wilayah Sumatera
57
20. Persentase petani dan rata-rata efisiensi teknis usahatani padi sawah
menurut variabel yang memengaruhi di wilayah Jawa
60
21. Persentase petani dan rata-rata efisiensi teknis usahatani padi sawah
menurut variabel yang memengaruhi di wilayah Bali
63
22. Efisiensi teknis dan kesenjangan teknologi usahatani padi sawah menurut
wilayah di Indonesia
66

23. Jumlah dan persentase petani menurut rentang efisiensi alokatif dan
wilayah di Indonesia
67
24. Jumlah dan persentase petani menurut rentang efisiensi ekonomi dan
wilayah di Indonesia
68
25. Kinerja usahatani padi sawah menurut wilayah intensifikasi

70

DAFTAR GAMBAR

1. Produktivitas padi di Indonesia tahun 1993 - 2015 (ton/ha)

2

2. Konsep efisiensi yang berorientasi input

19

3. Konsep efisiensi yang berorientasi output

21

4. Perbedaan fungsi produksi frontier dengan rata-rata

22

5. Ilustrasi fungsi produksi frontier

25

6. Ilustrasi fungsi froduksi meta-frontier dan individual frontier

26

7. Alur kerangka pemikiran

28

8. Peta Indonesia dikelompokan menurut wilayah penelitian

29

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penarikan Sampel

81

2. Penurunan Fungsi Biaya Dual Frontier

84

3. Uji Return to Scale

89

4. Syntax dan Output Program FRONTIER 4.1, Estimasi Fungsi Produksi
Frontier dan Efisiensi Teknis
90
5. Syntax dan Output Program Aplikasi SHAZAM, Estimasi Fungsi
Produksi Meta-Frontier dan Technology Gap Ratio (TGR)
106

DAFTAR ISTILAH

BPS

Badan Pusat Statistik

Balitbangtan

Badan
Penelitian
dan
Kementerian Pertanian

Benih hibrida

Padi hibrida adalah keturunan pertama (F1) yang dihasilkan
dari persilangan antara dua galur atau lebih tetua
pembentuknya
dan/atau
galur/inbrida
homozigot.
Contohnya: Bernas Super, Bernas Prima, Sembada B3, SL
11 SHS

Benih unggul

Padi Varietas Unggul (Non Hibrida) adalah varietas yang
telah dilepas oleh pemerintah yang mempunyai kelebihan
dalam potensi hasil dan/atau sifat-sifatnya. Contohnya :
Memberamo, Mekongga, Ciherang, IR-64, Inpari, Inpara,
Inpago.

Benih lokal

Padi Varietas Lokal adalah varietas yang telah ada dan
dibudidayakan secara turun temurun oleh petani, serta
menjadi milik masyarakat dan dikuasai oleh negara.

Efisiensi Alokatif

Ukuran
kemampuan
perusahaan
(petani)
untuk
menggunakan input dalam proporsi yang optimal dengan
kondisi harga input tertentu dan teknologi yang ada.

Efisiensi Ekonomi

Kombinasi dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif, yaitu
ukuran kemampuan petani dalam menghasilkan output
maksimum dengan alokasi input yang optimal (biaya
minimal) pada kondisi input dan teknologi yang ada

Efisiensi Teknis

Ukuran
kemampuan
perusahaan
(petani)
dalam
menghasilkan output maksimum dengan sejumlah input
tertentu dan teknologi yang ada.

Gurem

Rumah tangga petani gurem adalah rumah tangga pertanian
pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0.5
hektar.

IRRI

International Rice Research Institute

Kementan

Kementerian Pertanian

Lahan Sawah

Lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh
pematang (galengan) atau saluran untuk menahan atau
menyalurkan air. Lahan sawah bisa berupa lahan sawah
irigasi, tadah hujan, rawa pasang surut, rawa lebak.

Padi Sawah

Padi yang ditanam di lahan sawah

PDB

Produk Domestik Bruto

Usahatani

Proses pengorganisasian faktor-faktor produksi berupa alam,

Pengembangan

Pertanian,

modal, manajerial (pengelolaan) dan tenaga kerja serta input
lainnya, yang diusahakan oleh perorangan ataupun
sekumpulan orang untuk menghasilkan output di sektor
pertanian.

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Secara umum kelangsungan hidup suatu bangsa sangat bergantung pada
kecukupan pangan yang dihasilkan dari sektor pertanian terutama subsektor
pertanian tanaman pangan. Sampai saat ini beras masih merupakan makanan
pokok utama di Indonesia, walaupun di beberapa daerah ada penduduk yang
mengonsumsi makanan pokok selain beras. Menurut Suswono1, menteri pertanian
di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2012
tingkat ketergantungan masyarakat terhadap beras sangat tinggi, 95 persen rakyat
Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Padahal, Indonesia
memiliki 77 bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat sama atau lebih
tinggi dibanding beras.
Saat ini Indonesia menghadapi hambatan/kendala teknis di sektor pertanian
terutama yang terkait dengan sub sektor tanaman pangan yang bisa mengancam
ketersediaan pangan nasional. Menurut BPS (2015) diantara kendala teknis
tersebut adalah (1) banyaknya daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami
kerusakan, (2) banyaknya kerusakan dan tidak terpeliharanya sarana irigasi, (3)
semakin sempitnya kepemilikan lahan oleh petani tanaman pangan dan, (4)
semakin maraknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian tanaman pangan menjadi
lahan pertanian lain atau lahan non pertanian. Kecukupan pangan merupakan
suatu keniscayaan, terlepas dari adanya masalah bagaimana cara mengatasi laju
pertumbuhan penduduk yang menuntut ketersediaan pangan dan juga semakin
berkurangnya lahan untuk pertanian tanaman pangan.
Melihat pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dan besarnya konsumsi
beras di Indonesia, sementara pasar beras internasional kondisinya berupa thin
market sebab negara produsen beras juga merupakan negara konsumen beras,
maka Indonesia tidak bisa mengandalkan pemenuhan kebutuhan beras dari
pasokan impor saja, sehingga dalam hal ini kebijakan swasembada diiringi dengan
diversifikasi pangan merupakan alternatif penting. Swasembada pangan harus
didukung dengan produktivitas yang tinggi, dan produktivitas yang tinggi sangat
ditentukan oleh efisiensi usahatani yang tinggi pula. Proses produksi dikatakan
secara teknis tidak efisien (inefisien), karena ketidakberhasilan mewujudkan
produktivitas maksimum, artinya penggunaan per unit paket input (input bundle)
tidak dapat menghasilkan produksi maksimum (frontier). Masalah inefisiensi ini
ditengarai menyebabkan rendahnya pendapatan dan kesejahteraan petani, karena
menurut Saptana (2012) tingkat pencapaian efisiensi yang tinggi dalam usahatani
sangat menentukan tingkat kesejahteraan petani.

1

Suswono. 2012. Mentan: Diversifikasi Pangan Masih Sulit [Internet]. Diperbaharui 2012 Jul 30.
Diakses 2014 Feb 19 pada: http://www.beritasatu.com/nusantara/63049-mentan-diversifikasipangan-masih-sulit.html.

2
Secara umum produktivitas padi di Indonesia sejak tahun 1993 - 2015
cenderung meningkat seperti terlihat pada Gambar 1, walaupun pada tahun-tahun
terakhir terlihat cenderung melandai (leveling off). Beberapa peneliti menganggap
bahwa Perkembangan produktivitas padi sawah perhektar yang melambat
menunjukkan bahwa produktivitas marjinal lahan sawah hampir maksimum

5.00
4.50
4.00
3.50
3.00
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015

Produktivitas (ton/ha)

5.50

Sumber: diolah dari data BPS (2016a)

Gambar 1

Produktivitas padi di Indonesia tahun 1993 - 2015
(ton/ha)

mendekati leveling off yang berarti seolah tidak ada lagi ruang untuk
meningkatkan produksi melalui peningkatan produktivitas masing-masing
provinsi dikarenakan kondisinya telah efisien. Namun menurut Tinaprilla (2012),
pelandaian produktivitas ditengarai lebih banyak disebabkan oleh faktor
ketidakseimbangan hara dan menurunnya kandungan organik tanah sebagai
dampak penggunaan pupuk dan pestisida anorganik yang berlebihan, yang berarti
masih terbuka peluang dengan menggunakan paket teknologi baru sehingga bisa
mendongkrak pertumbuhan produktivitas dan sampai batas tertentu leveling off
kembali diangkat dengan terobosan teknologi yang terus berkembang.
Ketersediaan pangan nasional bisa juga dipenuhi dengan menambah luas
areal tanam. Namun untuk pertambahan luas areal tanam baru (ekstensifikasi)
semakin sulit dilakukan disebabkan biaya pembukaan lahan sawah baru dan
pembuatan atau rehabilitasi jaringan irigasi yang mahal (Tinaprilla 2012).
Sementara itu, selama program diversifikasi pangan belum berhasil, maka
kebutuhan akan ketersediaan beras sebagai makanan pokok tetap merupakan hal
yang sangat penting. Solusi alternatif yang penting untuk diperhatikan agar tetap
bisa menjamin ketersediaan beras adalah dengan meningkatkan produktivitas
melalui intensifikasi atau perbaikan teknologi dan meningkatkan efisiensi
usahatani padi.
Wilayah sentra produksi padi di Indonesia yang perlu menjadi perhatian
dalam program intensifikasi adalah wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali. Menurut
data BPS (2016a), sebanyak 58.18 juta ton dari 75.36 juta ton produksi padi
nasional (77.2 persen) pada tahun 2015 dihasilkan di wilayah Sumatera, Jawa, dan
Bali. Pada wilayah-wilayah ini, tantangan untuk mempertahankan penggunaan
lahan sawah semakin berat karena penggunaan lahannya bersaing dengan
komoditas pertanian lain yang relatif lebih menguntungkan, ditambah lagi dengan
terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
sebagai tuntutan industrialisasi dan pertumbuhan jumlah penduduk. Menurut data

3
BPS (2014) seperti terlihat di Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 829 196 rumah
tangga pertanian di Indonesia yang melakukan mutasi lahan, ada 268 164 rumah
tangga (32.34 persen) diantaranya adalah pemilik lahan sawah yang
menjual/menghibahkan sawahnya. Dari 268 164 rumah tangga tersebut, 83.3
persen berada di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali. Hal ini merupakan ancaman
dan bisa menjadi permasalahan bagi pasokan pangan nasional terutama beras.
Tabel 1

Wilayah

Rumah tangga pertanian yang melakukan mutasi lahan tahun
2013

Rumah tangga
pertanian

Jumlah
Sumatera
Jawa
Bali
Lainnya
Indonesia

%

Rumah tangga
pertanian yang
melakukan mutasi
(menjual/
menghibahkan)
lahan

Rumah tangga
pertanian yang
melakukan mutasi
lahan sawah

%

Jumlah

%

Jumlah

Rumah tangga
pertanian yang
memiliki lahan
Jumlah

%

6 353 106

24.11

6 026 963

23.53

218 617

26.36

38 541

14.37

13 511 025

51.26

13 284 535

51.87

394 462

47.57

182 197

67.94

412 988

1.57

385 129

1.50

6 226

0.75

2 639

0.98

6 078 673

23.06

5 912 870

23.09

209 891

25.31

44 787

16.70

26 355 792

100.00

25 609 497

100.00

829 196

100.00

268 164

100.00

Sumber: diolah dari data BPS (2014)

Sayangnya undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan peraturan pemerintah
pendukungnya tidak sanggup melakukan pengendalian terhadap terjadinya alih
fungsi lahan pertanian (Kementan 2015). Sementara wilayah selain Sumatera,
Jawa, dan Bali seperti wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kawasan timur
Indonesia merupakan wilayah potensi untuk program ekstensifikasi, namun jika
diterapkan program ekstensifikasi di wilayah ini juga menghadapi tantangan
dengan besarnya biaya pembukaan lahan baru dan pembuatan/rehabilitasi jaringan
irigasi, dan juga adanya trade off dengan lahan perkebunan yang lebih
menjanjikan sebagai komoditi ekspor serta kepentingan untuk mempertahankan
kelestarian hutan dalam rangka carbon trading.
Petani-petani dari wilayah berbeda, pulau berbeda ataupun negara yang
berbeda akan menghadapi oportunitas produksi yang berbeda pula (O’Donnell et
al. 2008). Secara teknis petani-petani tersebut akan membuat pilihan dari
sekumpulan kombinasi input-output yang berbeda atau disebut juga sekumpulan
teknologi yang berbeda karena perbedaan ketersediaan cadangan sumberdaya di
wilayahnya. Perbedaan kondisi tingkat kesuburan tanah, kondisi cuaca, curah
hujan, serangan hama pada wilayah yang berbeda akan memberikan pengaruh
efisiensi usahatani yang berbeda pula di masing-masing wilayah. Demikian juga
tingkat perekonomian, sarana prasarana, kualitas SDM dan tingkat pendidikan
petani yang dapat memengaruhi aksesibilitas dan penguasaan teknologi juga akan
berpengaruh terhadap tingkat efisiensi usahatani tersebut (Chen dan Song 2006).
Variasi antar wilayah yang berbeda dalam penggunaan input, teknik produksi,
kondisi lingkungan dan lain-lain inilah yang disebut sebagai technology gaps atau
kesenjangan teknologi (Villano et al. 2010). Variasi antar wilayah yang

4
disebabkan oleh indikasi adanya kesenjangan teknologi ini menyebabkan ukuran
produksi maksimal (frontier) antar wilayah menjadi tidak dapat diperbandingkan
satu sama lain karena masing-masing wilayah memiliki acuan (benchmark) yang
berbeda-beda dan tidak dapat diperbandingkan. Berdasarkan masing-masing
frontier produksinya, maka masing-masing wilayah bisa jadi merasa sudah
mencapai tingkat efisiensi yang tinggi, padahal jika dibandingkan dengan tingkat
efisiensi di wilayah lain maka belum tentu wilayah tersebut sudah efisien. Hal ini
akan memberikan hasil analisis dan simpulan yang bias, sehingga diperlukan
sebuah metode yang bisa mengakomodasi adanya kesenjangan teknologi di
masing-masing wilayah tersebut yaitu dengan pendekatan analisis Meta-Frontier
(Battese dan Rao 2002; Chen dan Song 2006; Villano et al. 2010). Melihat
kondisi dan fakta tersebut, maka sangat penting dilakukan penelitian tentang
efisiensi usahatani padi pada cakupan yang lebih luas yang mempertimbangkan
keterbandingan ukuran frontier antar wilayah, agar kebijakan pemerintah yang
bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani dapat menjadi
insentif bagi petani untuk tetap mau berusahatani padi sawah.

Permasalahan
Seiring dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduk dan berkembangnya
industrialisasi, menyebabkan semakin berkurangnya lahan sawah sebagai modal
utama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Peningkatan produksi melalui
ekstensifikasi atau perluasan lahan sawah dirasakan semakin tidak efisien karena
besarnya biaya pembukaan lahan baru dan pembuatan atau rehabilitasi jaringan
irigasi. Walaupun secara teknis, kebutuhan pangan bisa diperoleh dengan
melakukan impor, namun melihat jumlah beras yang diperdagangkan secara
global tidak mencukupi, maka Indonesia tidak bisa mengandalkan pemenuhan
ketersediaan beras dari pasokan impor semata. Sementara ketergantungan impor
juga dianggap tidak sejalan dengan tujuan kemandirian pangan. Oleh sebab itu,
usaha untuk meningkatkan produktivitas padi tidak lagi difokuskan dengan
melakukan ekstensifikasi, tetapi dengan cara intensifikasi, yaitu dengan
penggunaan teknologi yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi usahatani.
Secara umum produktivitas padi sawah di Indonesia sejak tahun 1993 - 2015
meningkat seperti ditunjukkan sebelumnya pada Gambar 1, walaupun pada tahuntahun terakhir terlihat cenderung melandai (leveling off). Pelandaian produktivitas
ditengarai lebih banyak disebabkan oleh faktor ketidakseimbangan hara dan
menurunnya kandungan organik tanah sebagai dampak penggunaan pupuk dan
pestisida anorganik yang berlebihan. Produktivitas yang ada saat ini masih di
bawah produktivitas padi hasil penelitian beberapa varietas unggul padi. Hasil
penelitian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi2, puslitbangtan Kementerian
Pertanian, padi hibrida dengan varietas “Hipa Jatim β” secara rata-rata bisa

2

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, puslitbangtan Kementan.
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/varietas/hibrida-padi-hipa/content/item/55-hipajatim-2 23 Juli 2013. Diakses Kamis, 13 Maret 2014.

5
menghasilkan 9.3 ton/ha gabah kering giling (GKG) dengan potensi hasil
mencapai 10.9 ton/ha GKG pada musim kemarau dan 10.7 ton/ha GKG pada
musim hujan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada potensi untuk meningkatkan
produktivitas dengan melakukan efisiensi dan penggunaan teknologi yang lebih
baik dalam usahatani padi sawah.
Banyak faktor yang bisa mendukung kelangsungan usahatani, mulai dari
peran pembiayaan yang sangat penting dalam mendukung kelangsungan usahatani
terutama dalam pengadaan input produksi mulai dari sewa lahan, pembelian
benih, pupuk, obat-obatan hingga upah tenaga kerja. Menurut data BPS (2011),
sebanyak 81.95 persen petani tanaman pangan menggunakan biaya sendiri dalam
usahataninya, hanya 5.48 persen petani tanaman pangan yang semua biaya
usahataninya tidak menggunakan biaya sendiri dalam usahataninya, dan sisanya
sebagian pembiayaannya berasal dari pihak lain (rentenir, bank, BPR, koperasi,
lembaga keuangan lainnya). Tiga alasan utama yang menyebabkan petani tidak
mau meminjam dari bank untuk usahataninya adalah tidak punya agunan (20.17
persen), proses berbelit-belit (19.82 persen), dan tidak tahu prosedur (17.81
persen). Hal ini menunjukkan bahwa petani mengalami kendala dalam akses
pembiayaan usahataninya, dan kendala akses pembiayaan diduga sebagai salah
satu penyebab terjadinya inefisiensi usahatani.
Sejalan dengan perkembangan teknologi pertanian, pengetahuan dalam
pengelolaan usahatani sangat penting dalam meningkatkan produktivitas
pertanian. Namun fakta bahwa sekitar 75 persen petani tanaman pangan hanya
berpendidikan maksimal tamat SD, diduga menjadi kendala dalam proses adopsi
teknologi pertanian. Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) juga memegang
peranan penting dalam menjembatani proses adopsi teknologi dan meningkatkan
efisiensi usahatani. Dari seluruh petani tanaman pangan, 60.82 persen di
antaranya tidak memperoleh penyuluhan/bimbingan mengenai pengelolaan
usahatani (BPS 2011). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pertanyaan selanjutnya
adalah seberapa jauh faktor-faktor tersebut memengaruhi efisiensi dalam
usahatani padi sawah di Indonesia?
Penelitian tentang efisiensi usahatani padi dengan menggunakan fungsi
produksi frontier dan menggunakan data di tingkat petani, sudah banyak
dilakukan di banyak negara. Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) pernah melakukan
kajian dan kritikan terhadap 30 penelitian dari 14 negara yang semuanya meneliti
efisiensi teknis dengan menggunakan fungsi produksi frontier. Penelitian tentang
efisiensi usahatani padi di Indonesia di antaranya adalah penelitian Daryanto
(2000) yang meneliti bagaimana dan faktor apa saja yang memengaruhi efisiensi
teknis usahatani padi dari 1 879 petani di Provinsi Jawa Barat yang dibedakan ke
dalam empat jenis teknik irigasi pada tiga musim tanam yang berbeda di tahun
1995. Penelitian lainnya dilakukan oleh Tinaprilla (2012) yang mengkaji
bagaimana efisiensi teknis, efisiensi alokasi dan efisiensi ekonomi usahatani padi
dari 592 observasi di 5 provinsi di Indonesia. Namun efisiensi teknis untuk metafrontier (71.16 persen) yang diperoleh dari penelitian tersebut nilainya lebih kecil
dibandingkan efisiensi teknis dari fungsi frontier provinsi Sumatera Utara (73.56
persen) dan provinsi Jawa Timur (72.89 persen), sehingga memungkinkan bahwa
kesimpulan dan implikasi kebijakan yang diambil menjadi bias.
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah, rumusan
permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah: (1) faktor-faktor

6
apa saja yang memengaruhi tingkat produksi dan efisiensi teknis usahatani padi
sawah pada 4 wilayah di Indonesia? (2) bagaimana potensi efisiensi teknis
usahatani maksimum nasional (meta-frontier) dan bagaimana kondisi efisiensi
teknis masing-masing wilayah dengan pertimbangan potensi efisiensi maksimum
nasional? dan (3) bagaimana efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi pada
wilayah-wilayah tersebut?

Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi dan
kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia dengan pendekatan
fungsi produksi meta-frontier. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat produksi dan
menganalisis efisiensi teknis usahatani padi sawah di Indonesia.
2. Menganalisis kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia.
3. Menganalisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani padi sawah di
Indonesia.
Penggunaan analisis meta-frontier bisa digunakan oleh pengambil kebijakan
untuk menilai potensi hasil yang akan diperoleh dari suatu kebijakan ataupun
program yang diimplementasikan secara lebih baik (O’Donnell et al. 2008),
sehingga penelitian ini diharapkan berguna bagi pemerintah dalam merumuskan
strategi khususnya kebijakan intensifikasi dengan sasaran meningkatkan teknologi
dan adopsinya, meningkatkan efisiensi dan produktivitas padi sawah sehingga
pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Hasil analisis
efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi juga bisa dimanfaatkan oleh pemerintah
dalam merancang kebijakan terkait dengan harga input dan harga output, serta
kebijakan perlindungan petani padi sawah.

Kebaruan dan Keunggulan Penelitian
Penelitian tentang efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi
dengan pendekatan fungsi produksi frontier sudah banyak dilakukan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Penelitian dengan pendekatan fungsi
produksi meta-frontier dengan komoditas padi sawah belum banyak dilakukan di
Indonesia. Namun penelitian dengan pendekatan fungsi produksi meta-frontier
dengan pengelompokan wilayah (pewilayahan) yang digunakan pada penelitian
ini merupakan hal baru yang belum pernah ada pada penelitian sebelumnya.
Aspek data yang membedakan pada penelitian ini adalah belum ada penelitian
analisis meta-frontier yang menggunakan data yang bersumber dari hasil Survei
Struktur Ongkos Usahatani-Tanaman Pangan (SOUT-TP) tahun 2011 yang
dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik. Aspek sampling yang representatif
dengan cakupan yang lebih luas dibandingkan penelitian terdahulu, pada
penelitian ini menggunakan data yang besar melibatkan responden petani padi

7
sawah dari 148 kabupaten yang tersebar di 13 provinsi sentra produksi padi sawah
di Indonesia yang dikelompokkan menjadi 4 wilayah. Metode yang digunakan
pada penelitian ini mampu mengoreksi penelitian terdahulu, karena metode pada
penelitian ini bisa menjamin estimasi fungsi produksi meta-frontier bisa
melingkupi fungsi-fungsi produksi frontier masing-masing kelompok wilayah.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan
1. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Survei Struktur Ongkos
Usahatani-Tanaman Pangan (SOUT-TP) tahun 2011 yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik. Jumlah data yang diolah bersumber dari 4202
responden petani padi sawah dari 148 kabupaten yang tersebar di 13 provinsi
sentra produksi padi sawah, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Provinsi Sulawesi
Selatan. Sesuai dengan titik berat penelitian terkait dengan wilayah program
intensifikasi, maka wilayah penelitian dikelompokkan menjadi wilayah
Sumatera, wilayah Jawa, wilayah Bali dan wilayah Lainnya.
2. Jenis tanaman pangan yang dicakup dalam penelitian ini hanya padi sawah.
3. Beberapa variabel yang bersumber dari data hasil survei Struktur Ongkos
Usahatani-Tanaman Pangan (SOUT-TP) tahun 2011 pada penelitian ini tidak
dapat digunakan sebagaimana diharapkan, diantaranya adalah variabel tenaga
kerja yang tidak bisa disajikan menurut jenis kelamin, variabel pupuk tidak
bisa disajikan menurut jenis pupuk yang digunakan, dan variabel benih hanya
bisa digunakan dalam bentuk variabel dummy. Variabel penting lain seperti
teknik irigasi juga tidak tersedia pada data SOUT-TP 2011.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang efisiensi usahatani masih banyak dilakukan baik di negara
berkembang maupun di negara maju, termasuk di Indonesia. Indonesia sebagai
negara berkembang yang laju pertumbuhan penduduknya relatif tumbuh lebih
cepat dibandingkan dengan kecepatan peningkatan produksi usahatani tanaman
pangan, memerlukan penelitian terkait dengan efisiensi usahatani, karena
penyediaan lahan pertanian dan pembangunan jaringan irigasi yang baru
membutuhkan waktu yang lama dan biaya mahal. Diharapkan penelitian terkait
efisiensi usahatani ini dapat membantu dengan menentukan sejauh mana
peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usahatani
berdasarkan sumber daya dan teknologi yang tersedia. Analisis terhadap faktorfaktor produksi dilakukan untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang dapat
memengaruhi produktivitas dan tingkat efisiensi. Dari beragam penelitian yang

8
terkait faktor-faktor yang dapat memengaruhi produksi dan tingkat efisiensi, akan
diulas secara singkat pada subbab berikut.

Beberapa Faktor yang Memengaruhi Produksi dan Efisiensi
Pengaruh Lahan
Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa semakin luas lahan yang
digunakan untuk usahatani, maka semakin besar pula produksinya. Dari hasil
penelitian terdahulu, faktor luas lahan merupakan faktor produksi yang paling
berpengaruh terhadap jumlah produksi dibandingkan faktor produksi lainnya,
karenanya seringkali luas lahan digunakan sebagai ukuran usahatani (farm size).
Penelitian Okoruwa et al. (2006) tentang efisiensi teknis produksi padi varietas
tradisional dan varietas unggul di Niger State Nigeria membuktikan bahwa faktor
yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi adalah
perluasan lahan. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Ogundele dan Okoruwa
(2006) di Nigeria tentang efisiensi teknis pada usahatani padi dengan varietas baru
dan varietas tradisional, membuktikan bahwa perluasan lahan merupakan faktor
utama dalam peningkatan produksi padi. Bukti lain juga ditunjukkan oleh
Harianto dan Susila (2008) bahwa luas lahan memberikan kontribusi paling besar
terhadap peningkatan produksi yaitu setiap terjadi peningkatan luas lahan sebesar
1 persen akan berpengaruh pada peningkatan hasil produksi sebesar 0.8799
persen. Demikian halnya pengaruh luas lahan terhadap produksi padi dalam
penelitian Tinaprilla (2012), variabel lahan signifikan terhadap produksi pada
taraf α=5 persen, dugaan parameter lahan bernilai paling besar (+0.985)
dibandingkan dengan variabel lain.
Secara umum, semakin luas ukuran lahan yang digunakan dalam usahatani
maka produksi akan semakin meningkat. Namun peningkatan luas lahan belum
tentu meningkatkan produktivitas. Beberapa peneliti mendukung hipotesis bahwa
semakin kecil ukuran usahatani (luas lahan garapan semakin sempit) maka akan
semakin efisien usahataninya. Hasil penelitian Daryanto (2000) di provinsi Jawa
Barat pada beberapa kasus menunjukkan bahwa petani dengan luas lahan sempit
lebih efisien dibandingkan petani dengan lahan yang luas. Beberapa argumen
mengapa petani dengan lahan sempit dianggap lebih efisien dibandingkan petani
berlahan luas adalah karena petani berlahan sempit cukup menggunakan tenaga
kerja tak dibayar (pekerja keluarga), sehingga dapat mengurangi ongkos
usahataninya. Sementara bagi petani dengan lahan yang luas, maka harus
mengeluarkan ongkos tambahan untuk membayar tenaga kerja upahan. Petani
lahan sempit juga tidak perlu khawatir dengan kinerja pekerja keluarga dalam
mengelola usahataninya, karena pekerja keluarga lebih termotivasi untuk
memperoleh hasil yang optimal jika dibandingkan menggunakan pekerja dibayar,
sehingga pekerja keluarga lebih optimal dalam menggunakan waktu dan kualitas
hasil pekerjaannya lebih terjamin.
Pengaruh ukuran usahatani (farm size) terhadap efisiensi sebagai sesuatu
yang ambigu (Abedullah et al. 2007). Hal ini didasarkan pada hasil penelitian

9
terhadap usahatani dengan luas tanam yang lebih besar cenderung lebih efisien
dibanding usahatani dengan luas tanam yang lebih sempit, karena dengan luas
tanam yang lebih besar maka semakin besar kemungkinan untuk kesempatan
menggunakan teknologi modern seperti penggunaan traktor dan sistem irigasi
dengan lebih baik, karenanya petani dengan luas tanam yang lebih besar bisa lebih
efisien. Sementara dari penelitian yang lain menganggap bahwa petani-petani
dengan lahan sempit justru bisa lebih efisien dengan alasan bahwa petani kecil
bisa lebih efisien dalam memanfaatkan sumber daya terbatas yang tersedia untuk
kelangsungan hidup rumah tangga petani karena tekanan ekonomi.
Kepemilikan lahan merupakan faktor lain yang memengaruhi tingkat
efisiensi dan produksi pertanian. Penelitian Rahman dan Umar (2009) di Lafia,
Nasarawa State Nigeria, yang meneliti efisiensi teknis dan faktor-faktor yang
memengaruhinya dengan menggunakan model Stochastic Frontier Production
Function, menunjukkan bahwa kepemilikan lahan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap efisiensi teknis, artinya lahan milik sendiri dianggap lebih
produktif dan lebih efisien dibandingkan status lahan lainnya seperti lahan sewa,
lahan bebas sewa dan lainnya. Hal ini bisa dimengerti karena mengelola lahan
milik sendiri tentunya akan memotivasi pemilik lahan untuk menghasilkan
produksi yang lebih banyak dengan tetap mempertimbangkan kualitas lahan. Pada
beberapa kasus, status kepemilikan lahan sewa justru memberikan hasil panen
yang lebih banyak dibandingkan lahan milik sendiri, karena penyewa lahan lebih
cenderung mengeksploitasi lahan tersebut dengan harapan hasil yang lebih banyak
dalam jangka pendek. Bentuk eksploit