Proteksi Hak Konstitusional Masyarakat dalam Kehidupan dan Kebebasan Beragama di Indonesia melalui Mekanisme Constitutional Complaint

3. Proteksi Hak Konstitusional Masyarakat dalam Kehidupan dan Kebebasan Beragama di Indonesia melalui Mekanisme Constitutional Complaint

Kehidupan dan kebebasan beragama merupakan hal yang diatur dalam UUD 1945 tepatnya pada Pasal 28I ayat ke-1 dan Pasal 29 ayat ke-1 dan ke-2. Tidak mengherankan kehidupan sosial masyarakat Indonesia tak lepas dari nilai-nilai religius yang mewarnainya. Fenomena sosial pun menjadi bukti nyata bahwa hal-hal yang menyangkut kehidupan dan kebebasan beragama selalu menjadi isu penting yang masih perlu mendapatkan perhatian ekstra terlebih lagi dalam kajian ketatangeraan. Mengingat negara

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 249-251.

Jurnal Konstitusi , Volume 7, Nomor 3, Juni 2010

Wacana Hukum dan Kontitusi

ini didasarkan pada Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila yang pertama.

Menurut Mahfud MD dalam artikel Pan Mohammad Faiz, Indonesia sebagai negara Pancasila bukanlah suatu negara agama karena tidak mendasarkan pada suatu agama tertentu, tetapi tidak bisa disebut sebagai negara sekuler yang sama sekali tidak mau ikut campur masalah agama. Negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing. 369 Lain halnya dengan Turki misalnya, yang jelas-jelas dalam konstitusinya menyebutkan bahwa Turki merupakan negara sekuler bahkan bersifat melarang agama. Bukan lagi memisahkan antara urusan negara dengan agama. 370

Contoh yang bisa diambil dalam memahami kebebasan beragama dapat ditemui pada zaman Nabi Muhammad SAW di Madinah yang pada waktu itu didasari oleh sebuah hukum yang bernama Konstitusi Madinah yang terdiri dari 47 pasal. Di Indonesia pun demikian, yang kehidupan kemajemukannya ditampung ke dalam UUD 1945. Artinya ketika hidup dalam bernegara maka setiap warga negara wajib mentaati hukum yang berlaku secara umum. Tetapi setiap warga negara pun tidak dilarang untuk melakukan syariat agama dan kepercayaan yang telah dianutnya. Hal yang dilarang adalah ketika memaksakan suatu agama tertentu kepada orang lain. Paksaan yang dimaksud tidak hanya terbendung pada paksaan yang nyata, tetapi juga melalui tipu daya. Dalam hal ini yang perlu dilihat adalah kesalahan dari personalnya bukan dari ajaran agamanya.

Kebebasan beragama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan beragama walaupun berbeda. Apabila kehidupan beragama

Pan Mohamad Faiz, “Constitutional Review dan Perlindungan Kebebasan Beragama”, http://panmohamadfaiz.com/, diakses pada tanggal 25 juli 2009.

Misalnya adanya larangan untuk berjilbab di area perkantoran, belum lagi Mahkamah Konstitusi Turki membatalkan amandemen konstitusi tentang larangan berjilbab di area pendidikan. Lihat: Anonim, “Mahkamah Konstitusi Turki Batalkan Pencabutan Larangan Jilbab”, http://taghrib.ir.htm/, diakses pada tanggal 28 juli 2009.

Jurnal Konstitusi , Volume 7, Nomor 3, Juni 2010

Menggagas Constitutional Complaint Dalam Memproteksi Hak Konstitusional Masyarakat Mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama Di Indonesia

merupakan suatu interaksi ummat agama yang satu dengan yang lain, maka kebebasan beragama adalah mengenai keadaan internal dari si pemeluk agama untuk melakukan dan menerapkan ajaran- ajaran agamanya berdasarkan keyakinannya. Kehidupan beragama tidak akan bisa terwujud tanpa adanya kebebasan beragama.

Ada satu kasus menarik yang bisa menggambarkan mengenai kehidupan dan kebebadan beragama yaitu mengenai Jemaat Muslim Ahmadiyah (JMA). Aliran ini lahir di India dan didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang sudah lama masuk ke Indonesia bahkan sempat menjadi badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Pengakuan legal itu didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. 371

Permasalahan yang timbul adalah ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan keputusan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan aliran sesat dan menyesatkan. Akibatnya timbul suatu gerakan massa yang melakukan penyerangan ke Jemaat Ahmadiyah Indonesia entah itu ke personal maupun ke bangunan-bangunan fisiknya baik asrama dan tempat-tempat ibadahnya. Jemaat Ahmadiyah dalam hal ini sudah kehilangan hak untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dengan tenang akibat dari keputusan MUI tersebut.

Adapun keputusan dari MUI diajukan ke MK oleh Ahmadiyah untuk diselesaikan melalui constitutional complaint, seharusnya juga melihat posisi MUI yang berusaha melindungi ummat Islam dari ajaran-ajaran yang menyimpang dari Islam. Oleh karena itu, timbulah suatu dilema di satu sisi memiliki unsur perlindungan terhadap ummat agama tertentu, tetapi di sisi lain perlindungan tersebut dianggap menindas Hak Konstitusional golongan tertentu.

Data mengenai sejarah Ahmadiyah, Penulis dapatkan dari Massad Masrur, “Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama”, http://masadmasrur.blog. co.uk.htm/, diakses pada tanggal 29 Juli 2009.

Jurnal Konstitusi , Volume 7, Nomor 3, Juni 2010

Wacana Hukum dan Kontitusi

Kasus lain mengenai kehidupan dan kebebasan beragama adalah mengenai diaturnya pendirian rumah ibadah oleh pemerintah melalui Peraturan Bersama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Dalam Pasal 14 ayat (2) peraturan tersebut, untuk dapat mendirikan rumah ibadah antara lain harus memperoleh dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh Lurah atau Kepala Desa. Dalam kasus ini juga terjadi suatu dilema ketika efektivitas tata ruang di suatu daerah berbenturan dengan pembangunan rumah ibadah. 372

Dengan diwacanakannya mekanisme constitutional complaint yang telah diadaptasikan ke Indonesia, tentu kasus-kasus yang berkaitan dengan kehidupan dan kebebasan beragama di Indonesia bisa diselesaikan dengan lebih baik Mahkamah Konstitusi. Mengingat putusan MK yang bersifat final maka diharapkan filterisasi perkara atau kasus yang masuk ke MK lebih hati-hati dan dalam hal ini MK-lah yang harus membatasi diri mengingat adanya kemungkinan banyaknya permohonan yang akan masuk terutama mengenai kasus yang berkaitan dengan kehidupan dan kebebasan beragama. Meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, ketika Konstitusi berada di salah satu tangan kita, maka kitab suci agama selalu berada di satu tangan lainya. 373