Paradigma Interpretivisme Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

Universitas Sumatera Utara d. Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik. e. Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan. Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan sosial dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Keempat paaradigma itu ialah: positivisme, postpositivisme, konstruktivisme constructivism dan teori kritik critical theory. Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologisasumsi tentang realitas, asumsi epistemologis asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti, dan asumsi metodologis asumsi tentang caraproses peneliti memperoleh pengetahuan. Thomas Schwandt tentang pendekatan konstruktivis dan interpretivis dalam Handbook of Qualitative Research, mengidentifikasi perbedaan dan aliran pemikiran utama yang ada dalam kedua pendekatan ini, yang dipersatukan oleh penentangan keduanya terhadap positivisme dan komitmennya untuk mempelajari dunia dari sudut pandang individu yang berinteraksi. Namun kedua perspektif ini, seperti yang diyakini oleh Schwandt, lebih dibedakan oleh komitmennya pada soal-soal tentang cara mengetahui epistemologi dan wujud ontologi daripada oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik dan idiografik terhadap penelitianDenzin Lincoln, 2009 : 124.

2.1.1 Paradigma Interpretivisme

Interpretivisme dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi hermeneutika intelektual Jerman dan tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik-kritik terhadap saintisme dan positivisme dalam ilmu sosial yang dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang mengkritik empirisisme logis misalnya, Peter Winch, A.R. Louch, Isaiah Berlin. Secara historis, paling tidak para interpretivis menegaskan kekhasan penelitian manusia. Mereka menyatakan berbagai penolakan terhadap interpretasi naturalistik atas ilmu sosial yakni pandangan bahwa tujuan dan metode ilmu sosial identik dengan tujuan dan metode ilmu alam. Mereka menyatakan bahwa ilmu jiwa Geisteswissenschaften atau ilmu budaya Kulturwissenschaften Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara berbeda dengan ilmu alam Naturwissenschaften. Tujuan ilmu alam adalah untuk memberikan penjelasan ilmiah Erklaren, sedangkan tujuan ilmu jiwa dan budaya adalah memahami atau mengetahui Verstehen “makna” fenomena sosial Denzin Lincoln, 2009: 148. Kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi keterlibatan dan objektivikasi internalisasi nilai-nilai. Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian dengan peneliti.Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna, dalam usaha Max Weber untuk menghubungkan interpretasi makna dengan penjelasan-penjelasan kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen Denzin Lincoln, 2009: 148. Para penerus teoritis kontemporer dari para pendiri interpretivis ini telah memusatkan perhatian mereka kepada paradoks tersebut dengan beberapa cara. Hammersley merupakan wakil dari para kalangan pakar interpretivis yang mengupayakan sintetis antara realisme dengan konstruktivisme sosial.LeCompte dan Preissle 1993 serta Kirk dan Miller 1986 mengandalkan metode sebagai strategi untuk mengeliminasi kekeliruan. John K. Smith menyebutnya dengan metodologi “jalan tengah”. Para penganjur solusi ini berpendapat bahwa meskipun ide-ide tentang objektivitas, penjarakan dan hambatan metodologis sebagaimana yang didefinisikan oleh kaum empiris adalah sebuah fiksi, penelitian interpretif harus dibuat lebih sistematisdan lebih menyeluruh rigorous. Alasannya disini adalah bahwa meskipun metode tidak dapat menghilangkan subjektivitas peneliti, ia tentu dapat menguranginya. Dengan demikian layak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara menjadi kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan bahwa sejumlah hasil lebih objektif daripada yang lain Bryman, 2008: 17. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi, fokus pendekatan interpretif ini terletak pada arti individu dan persepsi manusia terhadap realitas, bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka. Menurut Alfred Schutz, manusia secara terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian. Pendekatan interpretif mengajak untuk menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan deduktif serta logika materil dan logika probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan teori dan konsep yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep Sumaryono, 1999: 23. Karena mereka memusatkan perhatian kepada makna sebagai sesuatu yang primer, kalangan interpretivis menafsirkan dunia realitas sosial secara sangat berbeda dengan kalangan pakar yang mendukung kerangka kerja ilmu sosial empiris. Di mata kaum empiris, realitas sosial terdiri atas serangkaian fakta sosial yang meliputi tindakan kasat mata perilaku para individu yang dapat dijelaskan secara fisik atau institusional dan kepercayaan–kepercayaan, keadaan-keadaan afektif dan seterusnya yang menjelaskan motivasi-motivasi tindakan. Kedua jenis fakta ini dianggap sebagai data kasar, yakni data yang dapat diidentifikasi dan diverifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi membutuhkan interpretasi. Dengan cara ini, kaum empiris menjelaskan perilaku manusia sekaligus makna perilaku tersebut bagi para pelaku yang terlibat. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Pandangan-pandangan interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut inilah yang disebut Verstehen atau pemahaman Bryman, 2008: 16.

2.1.2 Analisis Resepsi