Peran Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia 1945-1961

B. Peran Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia 1945-1961

1. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat Pasca diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tatanan mengenai kehidupan kenegaraan dan perlengkapan sebuah negara merdeka segera dibutuhkan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pancasila sebagai Dasar Negara, lembaga eksekutif dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden. Kabinet pun dibentuk berupa kabinet Presidensial sesuai dengan Undang Undang Dasar. Pada 19 Agustus 1945 ditetapkan bahwa adanya 12 Kementerian Negara dan wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan (Raliby, 1953: 14-15).

Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bermarkas di Jakarta. Mulai tanggal 5 Oktober BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang nantinya pada 7 Januari 1946 TKR berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada 25 Januari 1946 Tentara Keselamatan Rakyat diganti menjadi Tentara Republik Indonesia. Sejak 3 Juni 1947 ditetapkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia yang merupakan gabungan dari laskar laskar dengan Tentara Republik Indonesia. Panitia Persiapan Kemerdekaan yang sebelumnya bertindak sebagai penasihat presiden dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Presiden dan Wakil Presiden melantik 135 orang. KNIP kemudian mengangkat salah seorang anggotanya yang berasal dari tiap daerah untuk mendirikan Komite Nasional Indonesia di daerah, yang bertugas membantu gubernur masing-masing provinsi (Poespaonagoro & Notosusanto, 1993: 145-146).

commit to user

Pembentukan Komite Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan dilangsungkan pada hari Jumat tanggal 24 Agustus 1945. Pengurus yang terbentuk ialah, Niti Sumantri sebagai ketua, Ir. Oekar Bratakoesoemah sebagai Wakil Ketua, Anwar Sutan Pamuntjak dan Hamdani sebagai anggota. Dibentuk juga sekretariat yang pimpinannya diserahkan pada Sjafruddin. Dalam pertemuan- pertemuan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Indonesia daerah Priangan di Bandung, tidak hanya membahas persoalan setempat saja. Para anggota Komite Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan sering mendiskusikan masalah yang bersifat nasional, untuk membantu pemerintah pusat dengan usul dan saran yang bermanfaat. Salah satu hasil pertemuan itu lahirlah usul agar pemerintah mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri, menggantikan uang Jepang yang masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Usul tentang pembuatan uang Republik Indonesia akan disampaikan kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta (Rosidi, 2011: 99-102).

Sjafruddin bersama Oekar Bratakoesoemah menemui Mohamad Hatta dan menyampaikan tentang perlunya membuat uang Republik. Mohamad Hatta memandang tidak perlu membuat uang sendiri karena kawatir kalau dituduh memalsukan uang oleh dunia internasional. Menurut Hatta, dilanjutkan saja pemakaian uang yang dicetak Jepang tanpa membuang waktu dan tenaga untuk mengeluarkan uang baru. Sebagai contoh pemerintahan Bolsyewik di Rusia tatkala pemerintahan Tsar yang berhasil digulingkan pada tahun 1917. Permerintah komunis tidak mengeluarkan uang baru, tetapi memakai uang lama. Sjafruddin berusaha meyakinkan Wakil Presiden dengan memberikan pendapat bahwa contoh dari Rusia itu tidak berlaku bagi Indonesia. Pemerintah Bolsyewik tidak mendirikan negara baru, hanya pemerintahannya yang ditukar. Di Indonesia tidak hanya menukar pemerintahan Belanda dengan pemerintahan Indonesia, tetapi status jajahan ditukar dengan status negara yang merdeka dan berdaulat. Maka perlu adanya uang baru sebagai salah satu atribut kemerdekaan (Prawiranegara, 1972: 323).

commit to user

Pada awal bulan Oktober 1945 beberapa anggota KNIP mengemukakan saran untuk mengubah sistem pemerintahan Presidensil menjadi sistem Parlementer dengan kekuasaan legislatif berada ditangan KNIP. KNIP tidak hanya sebagai penasihat presiden, melainkan sebagai lembaga legislatif kepada siapa kabinet harus bertangungjawab. Ditetapkan bahwa KNIP akan membentuk Badan Pekerja yang akan bertugas sebagai wakil pleno yang sulit bersidang lengkap karena anggota-anggotanya bertebaran diseluruh tanah air sedangkan perhubungan saat itu sangat sulit (Rosidi, 2011: 107). Dalam rapat Pleno KNIP pada tanggal 16 dan 17 Oktober 1945, dibentuklah Badan Pekerja dengan Sutan Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifudin sebagai wakil. Seluruh Badan Pekerja terdiri atas 1 orang teramsuk ketua dan wakil ketua. Adapun kelima belas anggota Badan Pekerja itu ialah: Sutan Sjahrir(ketua), Amir Sjarifudin (wakil ketua), Mr. Suwandi, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Wachid Hasjim, Mr. R. Hindromartono, Mr. R. M. Sunaria Kolopaking, Dr. A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Tan Ling Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tadjaludin, dan Dr. Sudarsono (Koesnadi Prodjo, 1951: 141).

Hasil pertama Badan Pekerja KNIP ialah sebuah rancangan undang- undang tentang pembentukan KNI di daerah-daerah dan perubahan sistem pemerintahan dari presidensil ke parlementer dengan banyak partai. Tentang pembentukan partai-partai dibuat maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden, terkenal sebagai Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal 3 November 1945. Setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal

3 November 1945, mengenai anjuran Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Pembentukan partai-partai ini untuk memperlihatkan kepada luar negeri bahwa Indonesia benar-benar menjunjung demokrasi dengan menciptakan sistem multi partai. Sebab ada kekuatiran dari kalangan kaum intelektual khususnya Sjahrir dan pengikut-pengikutnya bahwa jika hanya satu partai politik saja, nanti akan dipandang sebagai negara totaliter buatan Jepang (Prawiranegara, 1986: 256). Pendirian Partai-Partai politik ini pula hendaknya memperkuat perjuangan, mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Pemerintah

commit to user

menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur. Pemerintah berharap supaya partai-partai tersusun sebelum pelaksanaan Pemilihan anggaota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946 (Koesnadi Prodjo, 1951: 76).

Dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, maka setiap anggota KNIP harus memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Pembentukan partai politik ini menimbulkan kebingungan dalam diri Sjafruddin, akan memilih partai Sosialis atau Masyumi. Sutan Sjahrir bersama kelompoknya mencalonkan Sjafruddin sebagai anggota Badan Pekerja KNIP atas dasar keyakinan yang sepaham, dan setelah pembentukan partai wajar jika mengharapkan Sjafruddin masuk dalam partai yang dibentuk Sjahrir, yakni Partai Sosialis. Tetapi Sjafruddin pun sadar sebagai muslim, akan keluarganya yang taat menjalankan syariat, ayahnya yang rajin beribadah dan meninggal pada saat sedang berpidato sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’an. Sepantasnya Sjafruddin masuk Masyumi. Tetapi jika masuk Masyumi, akan mengecewakan orang-orang yang sudah menaruh simpati dan kepercayaan padanya. Jika menjadi anggota Partai Sosialis, Sjafruddin merasa mengkhianati ayahnya (Rosidi, 2011: 110-111). Rasa cinta kepada orang tuanya terutama kepada ayahnya sebagai muslim yang saleh, maka pilihannya jatuh pada Masjumi. Sadar akan kekurangan pengetahuan tentang Islam, Sjafruddin berjanji akan memperbaiki kelemahan-kelemahan itu dengan mempelajari Bahasa Arab (Prawiranegara, 1986: 256).

Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masjumi) dibentuk pada tanggal 7 November 1945 (Raliby, 1953: 84) yang meliputi praktis semua organisasi- organisasi Islam yang berarti kecuali Perti yang organisasi dan pengaruhnya terutama di Sumatera Barat (Prawiranegara, 1986: 256). Masyumi secara organisasi adalah sebuah badan federasi, di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan), dan anggota luar biasa (kolektif), seperti Muhammadiyah dan NU. Sjafruddin masuk Masyumi melalui perorangan. Dalam Dewan eksekutif yang umumnya terdiri dari kelompok modernis terdapat dua atau tiga kelompok yang

commit to user

mempunyai orientasi ideologi politik yang sedikit berbeda. Menurut Abu Hanifah kelompok pemikir terdiri dari pemimpin-pemimpin intelektual muslim yang lebih muda seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Kasman, Jusuf Wibisono dan Abu Hanifah sendiri. Kelompok yang lebih muda ini termasuk kedalam sosialis religius (Maarif, 1985: 112-113).

2. Menteri Keuangan

Pada kabinet pertama setelah sistem pemerintahan menjadi Parlementer, Sjahrir ditunjuk sebagai formatur kabinet pada tanggal 14 November 1945 (Ricklefs, 1991: 327). Sjahrir mencari Mentri Keuangan dan ditawarkan pada Sjafruddin, namum ditolak. Sjafruddin merasa belum pantas untuk memikul tanggungjawab sebesar itu, belum cukup pengalaman dalam keuangan, dan tidak pernah berkecimpung dalam politik (Thee Kian Wie, (ed)., 2005:41). Sjahrir menyerahkan mandatnya pada Presiden pada bulan Februari 1946 karena tidak mendapat kepercayaan dari KNIP (Rosidi, 2011: 113). Presiden menerima penyerahan itu, namun untuk kedua kalinya Sjahrir ditunjuk sebagi formatur. Dalam kabinet Sjahrir ke-2 yang dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946, Sjafruddin duduk sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada tanggal 2 Oktober 1946 Kabinet Sjahrir III dilantik. Pada Kabinet Sjahrir III ini Sjafruddin duduk sebagai Menteri Keuangan (Raliby, 1953:419).

Wakil presiden menyetujui gagasan yang dikemukakan delegasi dari Bandung untuk membuat uang Republik Indonesia yang baru menggantikan uang Jepang, maka masalah itu secara teknis selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis, pada tanggal 7 November 1945 membentuk suatu panitia yang dinamakan Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh T. R. B. Sabaruddin, Direktur Bank Rakyat Indonesia. Tugasnya ialah menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang. Ketika ditawari untuk menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III, Sjafruddin menyatakan kesediannya. Salah satu faktornya ialah karena Sjafruddin ingin segera

commit to user

mempercepat proses pencetakan “Oeang Republik Indonesia” (ORI). Sjafruddin yakin bahwa terwujudnya ORI dapat menjadi alat perjuangan yang ampuh dalam mencerminkan eksistensi negara Republik Indonesia yang berdaulat dan besar pula artinya untuk membiayai perjuangan seperti menggaji pegawai negeri dan tentara, membeli perlengkapan administrasi pemerintah dan lain-lain. Keluarnya ORI bukanlah tujuan utama. Tujuan ini baru akan tercapai apabila ditempuh dengan kerja keras yang ditinjau dari sudut ekonomi berarti meningkatkan produksi, bukan dengan mencetak uang (Rosidi, 2011: 127-137).

Dalam pelaksanaan tugasnya, panitia menghadapi kesulitan dan rintangan. Pencetakan ORI menggunakan alat yang harus dicari di dalam negeri. Tidak mungkin mendatangkan mesin pentjetak uang dari luar negeri melihat kondisi saat itu (Sikap, Bagian III no 11-24 Maret1949). Kesukaran memperolah bahan-bahan baku yang diperlukan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat lainnya seperti mesin aduk untuk membuat tinta. Pembuatan klise dikerjakan di percetakan de Unie dan percetakan Balai Pustaka. Pembuatan gambar lithografi dilakukan di percetakan

de Unie. Percetakan perdana dilakukan di percetakan Balai Pustaka dengan pertama-pertama mencetak lembaran uang seratus rupiah (Rosidi, 2011: 129). Terjadinya pertempuran Surabaya November 1945 dan kondisi politik Indonesia saat itu menyebabkan pencetakan uang yang beberapa bulan dilaksanakan di Jakarta dipindahkan ke pedalaman dengan alat yang serba kurang lengkap (Sikap,

24 Maret 1949). Pihak Inggris yang pro Belanda memberikan pendapat tentang rencana pemerintah mengeluarkan uang sendiri, bahwa lebih baik menerima uang Hindia Belanda karena mempunyai kurs internasional, dan dapat dipergunakan untuk membayar keluar negeri. Ditambahkan, kalau pemerintah RI mengeluarkan uang sendiri, uang itu tidak laku di luar negeri. Pada kenyataannya uang NICA sekalipun mempunyai kurs internasional tidak diterima dan ditolak oleh rakyat. Uang Jepang ditarik, sebagai gantinya, ORI yang diterima penuh kepercayaan oleh rakyat. Penolakan terhadap uang Belanda merupakan suatu bukti nyata

commit to user

bahwa selain ORI uang lain sudah tidak dapat dijadikan alat penukar. Oleh karena itu, tidak perlu uang yang memiliki kurs luar negeri, yang dibutuhkan adalah uang yang diterima rakyat (Kedaulatan Rakyat, 26 Desember 1945).

Pada tanggal 29 sampai 30 Oktober 1946 uang yang dibuat sendiri oleh pemerintah Republik Indonesia dikeluarkan secara resmi sebagai alat penukaran, alat pembayaran yang sah, dan alat pengukur harga di seluruh wilayah yang secara

de facto berada dibawah kekuasaan negara Republik Indonesia, yaitu Jawa, Madura dan Sumatra. Sebelum ORI dikeluarkan, pemerintah terlebih dahulu menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara yang sedikit sekali menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menggantinya dengan uang baru, yang mempunyai harga tinggi serta dapat diawasi peredarannya (Sikap, 12 Maret 1949).

Langkah pertama dimulai tanggal 22 Juni 1946 pemerintah Republik Indonesia melarang orang Indonesia membawa uang lebih dari ƒ 1.000 dari daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerah- daerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin lebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Demikian juga dilarang membawa uang dari luar masuk ke pulau Jawa dan Madura melebihi ƒ 5.000 uang Jepang tanpa seijin Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura, seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat, perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai (Beng To, 1991: 76-77).

Pengeluaran ORI didasarkan atas dua undang-undang yaitu pertama Undang-Undang no. 17/1946 tertanggal 1 Oktober 1946 yang berisi pemerintah akan mengeluarkan uang sendiri yakni Uang Republik Indonesia, sedangkan tentang bentuk, warna, harga uang tersebut dan lain-lain yang berhubungan dengan pengeluaran uang itu pengaturannya diserahkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Kedua Undang-Undang no 19/1946 yang diumumkan tanggal

commit to user

24 Oktober 1946 disebut sebagai Undang-Undang tentang pengeluaran Uang Republik Indonesia, mengatur dasar nilai uang baru dengan uang Jepang, tentang pembayaran hutang lama yang belum lunas pada waktu berlakunya ORI, tentang uang Jepang yang masih berlaku sekarang, dan pengaturan harga-harga maksimum bagi barang-barang yang dipandang perlu yang penetapannya diserahkan kepada Menteri Kemakmuran. Dasar nilai ditentukan 10 rupiah ORI sama dengan emas murni seberat 5 gram. Emas murni jang dimaksud dalam pasal ini yaitu emas 24 karat. Sebagai dasar penukaran 50 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Jawa dan Madura serta 100 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Sumatera (Arsip Kementerian Penerangan no 1).

ORI berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada tanggal 29 malam

30 Oktober 1946 jam 24.00. Pada saat itu juga menurut putusan tersebut ORI menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah di daerah Republik di Jawa dan Madura. Di Sumatera, peredaran ORI, karena kesukaran-kesukaran dalam lapangan tehnik (kesulitan mengadakan pengangkutan dan menjamin keamanannya) tidak dapat diadakan dengan segera. Di Sumatera uang Jepang masih terus berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, di samping uang sementara (Uang Republik Indonesia untuk provinsi Sumatera) sampai kira kira pertengahan tahun 1948 (Sikap, 12 Maret 1949).

Pada awal penyebarannya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 19/1946 yang memuat tentang pembagian uang sebesar 1 rupiah ORI pada setiap orang, dan ditambah 3 sen untuk tiap kepala keluarga. Uang itu dimaksudkan sebagai modal untuk setiap orang. Adapun pertimbangan pemerintah mengenai jumlah uang 1 rupiah tersebut adalah dengan dasar bahwa pada saat itu setiap orang mempunyai uang tunai sebesar 50 rupiah uang Pendudukan Jepang, yang sebelumnya sudah diputuskan. Pembagian uang dilakukan secara serentak pada hari dan waktu yang bersamaan di seluruh Jawa dan Madura. Pembagian uang baru diberikan langsung kepada masyarakat secara

commit to user

merata sebagai imbalan atas uang lama yang tidak berlaku lagi, dan juga agar masyarakat tidak dirugikan (Nurhajarini, 2006: 36).

Pada tanggal 29 Oktober 1946 malam, sebelum keluarnya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara menyampaikan pidato melalui RRI. Dalam pidato itu disampaikan pemberitahuan tentang keluarnya dan diresmikannya ORI pada pagi hari tanggal 29 Oktober 1946 sebagai alat pembayaran yang sah. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan menyampaikan pesan guna mengurangi keguncangan ekonomi dengan keluarnya ORI tersebut. Isi pesan Sjafruddin antara lain mengajak rakyat untuk berhemat, bagi perusahaan-perusaan terutama toko-toko, warung-warung jangan menjual barang terlalu banyak untuk keperluan sehari-hari dan jangan menutup toko, pembeli dibatasi, toko-toko dan warung-warung diberi kesempatan untuk menyimpan uangnya di bank-bank sampai tanggal 30 Oktober 1946, memberi kelebihan persediaan makanan kepada tetangga yang kekurangan, jangan pergi ke bank untuk jumlah kecil untuk mencari untung, tetapi harus berani menderita kerugian (Prawiranegara, 2011: 32).

ORI tidak dapat diedarkan di Sumatra, maka untuk mengatasi kesullitan keuangan, pada akhir tahun 1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis uang sendiri. Diantaranya, ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra), URISU (Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra Utara), URIDJA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Djambi), URIDA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Aceh), ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia daearah Tapanuli), dan Uang Mandat yang dikeluarkan oleh Dewan Perahanan daerah sumatra Selatan. Bahkan daerah Banten yang terisolasi, dikeluarkan URIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Banten) (Beng To, 1991: 71).

Di wilayah Indonesia tidak hanya ada satu jenis uang. Pihak NICA (Belanda) mengeluarkan uang baru sendiri yang dinamakan uang NICA. Peredaran uang NICA bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kesukaran bagi rakyat, khususnya penduduk daerah perbatasan anatara daerah yang dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasai Republik. Pada satu pihak penduduk takut

commit to user

diketahui memiliki ORI oleh tentara NICA, dipihak lain takut pula diketahui memiliki uang NICA oleh pasukan Republik. Ternyata makin lama uang Republik makin populer dikalangan rakyat (Rosidi, 2011: 141).

ORI dalam sejarah kemerdekaan Indonesia telah menjalankan peranan sebagai alat yang mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama dengan pemerintah Republik yang masih muda itu berjuang mempertahankan dan menegakkan negara Indonesia. Dengan kata lain ORI telah berperan sebagai alat perjuangan kemerdekaan, baik dalam menghimpun tenaga maupun dalam membiayai berbagai macam keperluan negara. ORI berfungsi juga sebagai alat revolusi yang mendukung dan memungkinkan pemerintah Indonesia mangatur administrasinya, mengorganisasi dan memperkuat tentaranya, memelihara keamanan dan ketertiban, mengurus kesejahteraan rakyat dalam menentang agresi Belanda (Beng To, 1991: 69-84).

ORI telah berfungsi tidak hanya sebagai alat pembayaran yang sah, alat penukaran, alat pengukur harga, alat pembayaran yang mempunyai tenaga pembeli jauh lebih besar dari uang Jepang yang baru saja dicabut dari peredaran di daerah Republik Indonesia, melainkan ORI adalah Uang Republik Indonesia. Negara baru dengan segala cita-cita dan semangat yang terkandung didalamnya. Belum pernah dalam sejarahnya rakyat Indonesia mengalami uang yang memuat gambar seorang dari bangsanya sendiri sebagai kepala negara (Sikap, 31 Maret 1949).

3. Sebagai Menteri Kemakmuran

Presiden Soekarno mengangkat Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet setelah Amir Sjarifuddin mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Alasan Amir Sjarifuddin mengundurkan diri karena masyarakat sudah tidak mempercayai lagi kepemimpinan berpolitiknya, baik melalui delegasi partai-partai yang terdiri dari Masyumi dan PNI, maupun langsung kepada Perdana Menteri melalui demonstrasi secara tertib ke Istana Negara. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Mohammad Hatta sendiri sebagai Perdana

commit to user

Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Dr. Soekiman Wirjosandjojo sebagai Menteri Dalam Negeri, H. Agoes Salim sebagai Menteri Luar Negeri, M. Natsir sebagai Menteri Penerangan, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran, dan K.H. Masjkur yang menjadi Menteri Agama (Kahin, 292-293).

Program kabinet Hatta ialah melaksanakan Persetujuan Renville yang dibuat oleh Amir Sjarifuddin dengan perantaraan Komisi Tiga Negara (KTN), mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat, melakukan reorganisasi dan rasionalisasi dalam tubuh ketentaraan dan sedapat mungkin menyelenggarakan pembangunan ekonomi. Sebagai Menteri Kemakmuran, Sjafruddin mendapat tugas untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk perekonomian (Poespaonagoro & Notosusanto, 1993: 151).

Pada awal tahun 1948 keadaan perekonomian rakyat di daerah Republik Indonesia sangat buruk sekali. Agresi Militer Belanda mengakibatkan berbagai daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti daerah perkebunan, kawasan industri dan pelabuhan jatuh ketangan Belanda. Blokade ekonomi atas daerah perairan yang dikuasai Republik Indonesia mengakibatkan lumpuhnya kegiatan perdagangan dan sulitnya pemasukan uang ke kas negara (Ricklefs, 1991:338- 339). Sementara itu pihak Belanda pun mengacaukan nilai uang Republik Indonesia dengan jalan mencetak dan mengedarkan ORI palsu sehingga ORI mengalami inflasi yang hebat. ORI itu tidak memenuhi syarat penting yang harus ada pada tiap macam uang yaitu harus sukar sekali dipalsu orang. Kekurangan ini tidak dapat dibebankan kepada pengusaha-pengusaha yang mencetak uang tersebut, karena mencegahnya itu di luar kemampuan pencentaknya. Demikian maka mudah sekali Belanda mencetak uang palsu di dalam peredaran (Sikap, 24 Maret 1949).

Menghadapi situasi yang demikian, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran melakukan usaha-usaha seperti mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 1948 tertanggal 22 Maret 1948 tentang pengumpulan bahan makanan rakyat oleh pemerintah. Peraturan ini dimaksudkan untuk menjaga persediaan bahan makanan yang cenderung semakin menipis dan terjadi

commit to user

pula pemindahan makanan ke daerah pendudukan Belanda. Pada tanggal 9 Juli 1948 ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 15 untuk menghitung ternak berupa kuda, kerbau, kambing, domba dan sapi. Peraturan ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa untuk memajukan perekonomian perlulah diketahui jumlah ternak yang sebenarnya yang ada di seluruh daerah Republik. Data statistik tersebut dapat dijadikan dasar rencana pekerjaan dalam pembangunan, baik dalam lapangan peternakan, lapangan pertanian maupun lapangan perekonomian rakyat pada umunya. Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1948 tentang pemberantasan penimbunan barang-barang penting seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula, minyak tanah, jagung, gaplek, tapioka, garam, kopi dan teh. Peraturan ini ditetapkan untuk memberantas penimbunan bahan makanan penting supaya peredaran barang-barang tersebut berjalan lancar (Rosidi, 2011: 163).

Program lain Kementerian Kemakmuran yang lain adalah memberikan kepada rakyat kesempatan yang sepenuh-penuhnya untuk berusaha sendiri. Caranya ialah dengan melakukan propaganda dan mencetak berbagai buku tentang pembuatan bermacam-macam barang keperluan hidup sehari-hari, seperti cara membuat sabun, gelas, sikat gigi dan sebagainya. Mengadakan transmigrasi besar-besaran ke Sumatera. Kalau bisa akan dilakukan dalam sepuluh tahun sepuluh juta pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera. Di berbagai daerah telah dilaksanakan dengan menggali waduk-waduk dan memperbaiki usaha irigasi yang sudah ada. Berusaha sekeras-kerasnya untuk memperbesar produksi. Pendapat Sjafruddin tentang program yang dibuat, sebagian besar penduduk Indonesia adalah tani dan tani ini hampir semua tergabung dalam persatuan tani. Oleh karena kebanyakan rakyat Indonesia beragama Islam, dengan demikian Sjafruddin yakin bahwa selama mentri kemakmuran dari Masjumi tentu program ini dapat dijalankan dengan pertolongan penuh dari pihak rakyat (Arsip Kementerian Penerangan No 216).

Pandangan mengenai kapital asing menurut Sjafruddin sama sekali tidak keberatan bahwa kapital asing masuk di Indonesia, syaratnya rakyat Indonesia jangan menderita. Untuk membangun negara yang masih muda ini dibutuhkan

commit to user

sekali kapital asing misalnya untuk usaha membangun yang sangat membutuhkan banyak mesin-mesin dari luar (Arsip Kementerian Penerangan No 216).

Kesulitan yang dihadapi Menteri Kemakmuran dalam usahanya menyehatkan dan meningkatkan perekonomian rakyat dan negara adalah dengan rasionalisasi yaitu penyesuaian antara beban kerja dengan jumlah karyawan. Namun program rasionalisasi sukar dilaksanakan karena terpaksa mengurangi karyawan. Tindakan ini akan menimbulkan gejolak hebat dari kaum buruh yaitu peristiwa pabrik karung Delanggu, Klaten yang terjadi pada tanggal 26 Februari 1948 yang dipimpin OBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Sikap terbuka dan kesediaan pemerintah menyelesaikan kasus Delanggu itu ternyata tidak mendapat sambutan baik dari pihak penuntut (buruh). Pihak penuntut melontarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap pemerintah dan orang-orang dari kalangan pemerintah (BTN). Jelaslah bahwa kasus Delanggu bukan hanya masalah buruh, melainkan telah berkembang menjadi masalah politik yang berkaitan dengan sikap oposisi dengan golongan kiri yang bergabung dibawah naungan FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 1948, terhadap Kabinet Hatta (Rosidi, 2011: 164-167).

Selama beberapa bulan pihak FDR telah menghasut dan menyiarkan berita-berita bohong terhadap dan tentang pemerintah. Untuk itu, menurut Sjafruddin penting dikemukakan tentang politik perekonomian pemerintah Republik Indonesia yang prinsipnya berbeda dengan politik kolonial Belanda. Belanda kolonial mengutamakan kepentingan negeri Belanda dan warganya dengan menjalankan politik perekonomian yang bersifat export bahan-bahan mentah untuk pasar dunia. Politik ini dijalankan dengan konsekuen dan berpedoman mendapat keuntungan sebesar-besarnya untuk kaum modal barat (Belanda): upah pekerja dan sewa tanah untuk perusahaan-perusahaan dipertahankan serendah-rendahnya; pengangkutan bahan dari Indonesia sedapat mungkin dikerjakan oleh maskapai-maskapai Belanda; penjualan bahan ke pasar

commit to user

dunia sebanyak mungkin dijalankan lewat negeri Belanda, sehingga keuntungan menjadi berlipat ganda (Arsip Kementerian Penerangan no 139).

Sebaliknya pemerintah Republik Indonesia sebagai suatu pemerintah nasional, suatu dari, oleh, dan untuk rakyat, dalam segala tidakan-tindakannya terutama berpedoman pada kepentingan rakyat banyak. Begitupun politik ekonominya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, sehingga perekonomian yang berdasar export, sedang keperluan barang-barang penting guna hidup rakyat sehari-hari digantungkan pada import, ditinggalkan sama sekali. Export masih perlu, yaitu untuk membiayai import barang-barang yang memang tidak/belum mungkin dibuatnya dinegeri kita sendiri dan untuk membiayai keperluan-keperluan kota di luar negeri. Akan tetapi yang didahulukan ialah membangun industri. Disamping membangun industri, maka transmigrasi secara besara-besaran dari Jawa ke Sumatera dan pulau-pulau lain, akan memberi perluasan tanah kepada petani di Jawa dan akan membuka tanah-tanah baru yang amat subur (Arsip Kementerian Penerangan no 139).

Menasionalisir seluruh perusahaan bangsa asing tidak mungkin dan tidak perlu karena sempitnya keuangan negara; Perusahaan yang dinasionalisir pada masa sekarang tidak selalu memberi jaminan memberi faedah yang sebesar- besarnya. Sering lebih efisien dalam tangan partikelir tetapi dibawah pengawasan negara; Banyak perusahaan-perusahaan asing berdasar atas export ekonomi lama yang tidak cocok dengan politik ekonomi pemerintah sekarang. Modal asing dibutuhkan oleh Indonesia, perlu pada modal tersebut diberikan kemungkinan mendapat keuntungan yang cukup besar untuk menarik modal asing (baru) ke Indonesia. Supaya modal asing itu tidak akan merajalela disini, dengan menetapkan syarat-syarat mengenai jaminan buruh, sewa tanah dan sebagainya (Undang-Undang Sosial). Pemerintah tidak menghalang-halangi gerakan buruh dan tani, bahkan sebaliknya: pemerintah menghendaki gerakan buruh dan tani yang kuat (Arsip Kementerian Penerangan no 139).

4. Memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

commit to user

Pemerintah Republik Indonesia dengan segenap bangsa Indonesia sebenarnya tidak dapat menerima Persetujuan Renville. Oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia dengan Kabinet Hatta ketika telah mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan datangnya serangan-serangan dan aksi militer dari pihak Belanda dengan tiba-tiba. Sehubungan dengan itulah maka dalam bulan November 1948 Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta beserta Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara telah mengadakan perjalanan ke Bukittinggi di Sumatera Tengah (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran Republik Indonesia berada di Bukittinggi untuk meninjau keadaan kemakmuran di Sumatera (Rasjid, 1982: 10) dan untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan pemerintahan darurat di Sumatera seandainya ibukota Republik jatuh ke tangan Belanda (Kahin, 2005: 211). Selain Sjafruddin, ada pula Mr. Lukman Hakim (Komisaris Negara Urursan Keuangan), dan Ir. Mananti Sitompul (Pegawai Tinggi Jawatan Pekerjaan Umum) (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 60).

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan mendadak di lapangan terbang Maguwo dengan mengkhianati Persetujuan Renville. Gerakan ke Yogya dimulai pukul 12.00 pada waktu pertempuran di Maguwo masih berlangsung, Belanda menembaki beberapa bangunan penting dalam kota Yogya. Yang menjadi sasaran utama ialah Markas Besar Komando Djawa (MBKD), Markas Besar AURI, dan gedung-gedung disekitar Istana Presiden (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 43). Belanda yakin dengan ditangkapnya Bung Karno dan Bung Hatta dan sebagian besar pemimpin-pemimpin yang lainnya yang merupakan inti dari pimpinan pusat Republik, Republik Indonesia tidak ada lagi (Prawiranegara, 1986: 241). Pembatalan secara sepihak atas Perjanjian Renville diumumkan jam 23.30 tanggal 18 Desember 1948, jadi hanya beberapa jam sebelum melakukan agresi. Pihak Belanda tentu saja sengaja melakukan hal itu supaya penyerangannya ke kota Yogyakarta mengejutkan tentara Indonesia sehingga dapat dengan mudah dilumpuhkan (Rosidi, 2011: 174-175).

commit to user

Dalam suasana pertempuran pada tanggal 19 Desember 1948 itu, kabinet RI masih sempat mengadakan sidang kilat istimewa di Istana Negara Yogyakarta (Moehadi, 1981:17). Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota. Keputusan penting yang lain yaitu memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu sudah ada di Bukittinggi untuk memebentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera jika dalam keadaan mendesak pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi. Mandat lainnya diberikan kepada dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis dengan alamat New Delhi (India) untuk membentuk pemerintahan di luar negeri jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Rasjid, 1982: 19-21). Menurut Mohammad Hatta kemudian, dipilihnya Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat adalah dengan pertimbangan bahwa Sjafruddin yang dipandang oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta anggota kabinet yang paling cakap dan paling cepat bergerak (Rosidi, 2011: 177). Keputusan untuk memberikan mandat kepada Sjafruddin, dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa Pemerintah Pusat Republik Indonesia yang berada di Yogyakarta tidak mungkin lagi meneruskan tugas-tugasnya memimpin bangsa dan negara Indonesia, disebabkan serdadu-serdadu Kolonial Belanda sudah memasuki kota Yogyakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14).

Pemboman serentak oleh Belanda atas Yogyakarta dan Bukittinggi pada hari minggu pagi tanggal 19 Desember 1948 tidak diduga. Setelah Bukittinggi di bom oleh serdadu-serdadu kolonial Belanda pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 itu juga, maka pada sorenya Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara dan Panglima Tentara Teritorial Sumatera Kolonel R. Hidajat, mengunjungi ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr. T.M. Hasan untuk mengadakan perundingan Yogjakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengusulkan bahwa karena belum diketahui nasib pemimpin-pemimpin pemerintahan di Yogyakarta, apakah tidak lebih baik

commit to user

didirikan Pemerintahan Darurat yang diketahui oleh Sjafruddin sendiri karena saat itu Sjafruddin merupakan salah satu anggota Kabinet Hatta. Menjadi wakilnya adalah T.M Hasan. Keputusan ini belum dapat diambil, karena teman-teman sejawat yang lain perlu diminta pendapat (Rasjid, 1982: 11).

Sjafruddin hampir tidak percaya berita tentang jatuhnya Ibukota Yogyakarta dan tertangkapnya Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pembesar tinggi lainnya. Sjafruddin menduga berita radio tersebut hanya propaganda Belanda. Karena kurang pasti dengan legalitas kekuasaannya, Sjafruddin menunda pembentukan Pemerintah Darurat (Kahin, 2005: 212). Gagasan untuk membentuk PDRI diambil didasarkan rasa tanggungjawab terhadap kelanjutan perjuangan kemerdekaan yang telah membawa korban begitu banyak. Perjuangan itu tidak boleh dihentikan begitu saja dengan ditawannya Presiden, Wakil Presiden dan anggota kabinet RI lainnya. Menghentikan perjuangan berarti pengkhianatan pada cita-cita semula dan terhadap korban yang telah mati, cacat seumur hidup di medan juang. Sambil menunggu konfirmasi lebih lanjut dari Yogyakarta, Sjafruddin mengambil inisiatif untuk bergerak (Rosidi, 2011: 179).

Pemerintah Daerah Sumatera Barat di Bukittinggi di bawah pimpinan komisaris negara/residen telah mengadakan pula musyawarah dengan segenap lapisan masyarakat, pimpinan-pimpinan jawatan dan angkatan perang RI. Setelah memberi petunjuk kepada segenap aparat pemerintahan maupun kepada rakyat di Bukittinggi akan tetap tinggal di dalam kota, maka dilancarkan bumi hangus dan kemudian kota Bukittinggi dinyatakan sebagai kota terbuka (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14).

Tokoh-tokoh di Bukittinggi sepakat untuk meninggalkan kota. Dengan demikian mereka terhindar dari penangkapan Belanda dan selanjutnya mempunyai kesempatan untuk melanjutkan perjuangan. Pengungsian para pejabat pun diatur. Gubernur Sumatera Tengah M. Nasrun dan Ketua DPRST Ilyas Yacoub disertai beberapa pejabat lain dengan kawalan pasukan Brimob mengungsi ke Lubuk Sikaping. PTTS Kolonel Hidayat bergerak ke Utara dan

commit to user

selanjutnya menetap di Aceh. Sjafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lain termasuk T. M. Hasan mengungsi ke Halaban (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 81).

Di dusun Halaban pada tanggal 22 Desember 1948 jam 03.00 rombongan Mr. Sutan Mohamad Rasjid bertemu dengan rombongan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Ada pula Ketua Kompempus untuk Sumatera Mr. T. M. Hasan, Komisaris Negara Urusan Keuangan Mr. Lukman Hakim dan stafnya, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Ir. Indratjaja, Kepala Djawatan PU Sumatera Ir. Mananti Sitompul, Kolonel Laut M. Hazir, Kolonel Laut Adam, Kolonel Udara H. Soejono, M. Danu Broto, Direktur BNI, Mr. A. Karim, Kepala Djawatan Kooperasi Pusat Rusli Rahim, Koordinator Kementerian Kemakmuran untuk Sumatera Mr. Latif, semuanya masing-masing dengan stafnya (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14).

Setelah rombongan berkumpul, rapat segera dimulai. Waktu menunjukkan pukul 04.30 tanggal 22 Desember 1948. Kesepakatan yang kemudian disetujui bersama untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 82). Lahirnya PDRI semata- mata menjamin kelangsungan hidup Republik Indonesia dan memenuhi tuntutan hukum internasional. Seperti diketahui bahwa menurut hukum internasional, satu negara terdiri atas 3 unsur pokok yaitu, satu wilayah, sejumlah penduduk, dan pemerintahan. Serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 hendak menghancurkan pemerintahan Indonesia untuk menghilangkan salah satu syarat hukum internasional, sehingga Republik Indonesia tidak lagi menjadi suatu negara. Itulah salah satu peranan penting PDRI (Rasjid, 1982: 13-14). Lahirnya PDRI atas kehendak dan inisiatif dari pemuka-pemuka Pemerintahan di Sumatera, didorong oleh rasa tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup Republik Indonesia dan untuk melanjutkan Perjuangan (Prawiranegara, 1986: 242).

Adapun susunan dari PDRI sebagai berikut:

a. Ketua, merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

commit to user

b. Wakil ketua, merangkap menteri kehakiman, Mr. Soesanto Tirtoprodjo. Setelah terdengar kabar bahwa sdr. Supeno gugur karena dibunuh Belanda, maka Beliau merangkap juga Menteri Pembangunan dan Pemuda.

c. Menteri Luar Negeri, Mr. A. A. Maramis.

d. Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan, dr. Soekiman.

e. Menteri Keuangan, Mr. Loekman Hakim.

f. Menteri Kemakmuran (termasuk pmr), I. Kasimo.

g. Menteri Agama, Masjkoer.

h. Menteri Pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. TM. Hasan.

i. Menteri Perhubungan, Ir. Indratjaja. j. Menteri Pekerjaan Umum Ir. Sitompoel. k. Menteri Perburuhan dan Sosial, Mr. ST. Mohd. Rasjid.

Menteri-menteri yang ada di Jawa melakukan pekerjaan komisariat pemerintah pusat yang dapat memutuskan segala urusan yang khusus mengenai Jawa (Arsip M. Rasjid no 57).

Setelah diadakan perundingan, dilanjutkan untuk penyempurnaan pemerintahan yang selaras dengan keadaan saat ini, susunan PDRI dirubah dan diperlengkap dengan memasukkan menteri-menteri yang sekarang di Jawa masih dapat melakukan kewajibannya sebagai para anggota juga. Kabinet itu dapat disusun sebagai berikut: Mr. Sjafruddin prawiranegara sebagai ketua, Menteri Pertahanan dan Penerangan; Mr. AA. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri; dr. Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan; Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan; I. Kasimo sebagai Menteri Kemakmuran termasuk PMR; Mr. Susanto Tirtoprodjo sebagai Menteri Kehakiman; Maskur sebagai Menteri Agama; Mr. Teuku Mohamad Hasan sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan; Ir. Indradjaja sebagai Menteri Perhubungan; Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerdjaan Umum; Mr. St. Moh Rasjid sebagai Menteri Perburuhan dan Sosial; Supeno sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Kementerian PMR dihapuskan dan urusan PMR dimasukkan dalam kementerian kemakmuran (Arsip M. Rasjid no.44).

commit to user

Menanggapi surat dari PDRI, Kasimo setuju dengan susunan baru dari PDRI dan dengan nama darurat. Ketika anggota-anggota kabinet yang ada di Jawa belum berkumpul disatu tempat, hendaknya tiap-tiap menteri di Jawa dalam keadaan mendesak diberi hak mengatur soal yang masuk kekuasaan menteri lain yang bertindak atas nama menteri lain (misalnya, saya sendiri sampai kini sering bertindak pada lapangan kementerian penerangan (Arsip M. Rasjid No 80).

Dalam sidang pada tangal 16 Mei 1949 telah diputuskan oleh PDRI bahwa segala urusan yang mengenai Sumatera diselesaikan oleh para anggota yang berada di Sumatera, yang disamping kewajibannya masing-masing diserahi pula urusan-urusan yang termasuk kewajibannya salah seorang anggota PDRI di luar sumatera, yakni sebagai berikut:

a. Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Ketua, Menteri Pertahanan dan Penerangan mewakili Menteri Luar Negeri)

b. Mr. Teuku Mohamad Hasan (Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan mewakili Menteri Dalam Negeri dan Agama)

c. Mr. St. Mohamad Rasjid (Menteri Perburuhan dan Sosial mewakili Menteri Pembangunan dan Pemuda serta mengurus soal-soal keamanan)

d. Mr. Likman Hakim (Menteri Keuangan mewakili menteri Kehakiman)

e. Ir. Sitompul (Menteri Pekerdjaan Umum mewakili Menteri Kesehatan)

f. Ir. Indradjaja (Menteri Perhubungan mewakili Menteri Kemakmuran) (Arsip M. Rasjid No 80).

Menyambung pengumuman pada tg 19 Bulan Mei no 457/pem/pdri mengenai pembagian pekerjaan antara anggota-anggota PDRI di Sumatera maka perlu kiranya ditegaskan, bahwa segala urusan yang khusus mengenai Jawa diselesaikan oleh para menteri yang berada di Jawa, yakni:

commit to user

a. Mr. Soesanti Tirtiprodjo - Menteri Kehakiman

b. I. Kasimo

- Menteri Kemakmuran

c. Hadji Maskoer - Menteri Agama Urusan Dalam Negeri sementara dipegang oleh R. P Soeroso. Putusan- putusan yang mengenai politik umum diambil bersama-sama oleh menteri-menteri di Sumatera dan Jawa seperti umum mengetahui Menteri Luar Negeri Mr. A. Maramis masih berada di Luar Negeri (Arsip M. Rasjid No 80).

Selain mengangkat para menteri tersebut diangkat pula beberapa pejabat lain. Marjono Danubroto ditetapkan sebagai Sekretaris PDRI. Jenderal Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar Angkat Perang RI, sedangkan Kolonel Hidayat ditetapkan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera (PTTS). Kolonel Laut M. Nazir sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Muda Hubertus Soejono sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, dan Komisaris Besar Umar Said sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara. Jabatan Menteri Luar Negeri kemudian di serahkan kepada Mr. A. A. Maramis. Maramis diberi wewenang untuk mewakili PDRI dalam persoalan luar negeri. Maramis juga diminta agar selalu mengadakan hubungan dengan PDRI untuk menyampaikan masalah- masalah penting (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 81-86).

Sehari setelah PDRI didirikan, Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua PDRI menyampaikan pidato radio yang ditujukan kepada semua stasiun radio. Pidato tersebut dapat ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap oleh Radio Belanda di daerah Riau. Isi pidato itu antara lain: mengemukakan serangan yang tiba-tiba dari Belanda telah berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden, Perdana Menteri dan beberapa pembesar lain. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimin yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno- Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Hilang pemerintahan Soekarno-Hatta, sementara atau selama-lamanya, rakyat Indonesia akan menghadirkan pemerintahan yang baru, hilang pemerintahan ini akan timbul yang baru lagi. Pemerintahan PDRI dibentuk karena ada

commit to user

kemungkinan besar bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan tugasnya seperti biasa. Kepada seluruh angkatan perang Republik Indonesia kami serukan: bertempurlah, gempurlah Belanda dimana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 86-87).

Sjafruddin mengirim surat kepada Maramis yang membicarakan tentang keadaan militer di Indonesia jauh lebih baik dari pada segala dugaan semula. Di Jawa, kedudukan Belanda merupakan kantong-kantong dibandingkan dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh pejuang Indonesia. Di Bukittinggi telah timbul pemberontakan di kalangan tentara Belanda, 213 serdadunya ditembak mati dan Spoor datang sendiri untuk mencoba untuk menyelesaikan. Keadaan sekarang terbalik, bukan bangsa Indonesia yang bertahan tetapi Belanda bersusah payah menahan serangan-serangan yang dilakukan di semua tempat di mana tentara Belanda berada. Kelau keadaan terus menerus begini dan gelora semangat perjuangan rakyat tak dapat ditahan lagi oleh kekuatan apa dan siapa pun juga, maka dalam masa yang singkat pertahanan Belanda akan ambruk. Tentang kekuatan dan kesanggupan bangsa Indonesia untuk terus berjuang kendaknya jangan ada ragu-ragu dikalangan wakil Indonesia di luar negeri serta pemimpin dan rakyat yang berada didaerah-daerah yang sementara dikuasai Belanda (Arsip M. Rasjid No 25).

Langkah selanjutnya yang dilakukan ialah memaklumkan eksistensinya kedunia luar, baik didalam wilayah Republik Indonesia maupun diluar negeri. Siaran disampaikan menggunakan zender trasnsmitter. Transmitter buatan Amerika ini milik AURI, ditangani oleh Kapten D. Tamimi (Rosidi, 2011: 194). Di India para pemuda Indonesia yang berkumpul di bawah organisasi PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) mengorganisasi unjuk rasa secara besar-besaran. Tujuan aksi demonstrasi ialah menarik perhatian dunia, dengan cara melakukan aksi boikot terhadap kapal-kapal Belanda yang menggunakan jasa pelabuhan udara dan laut India. Hal yang sama diikuti pula oleh Pakistan dan Sri Lanka tanggal 22 Desember 1948, pemerintah Sri Lanka mengumumkan bahwa fasilitas pelabuhan laut dan udara di negerinya tertutup untuk kapal-kapal dan pesawat

commit to user

terbang Belanda. Filipina juga menyatakan perasaan simpatinya sambil menyerukan agar negeri Asia bangkit melawan setiap usaha Den Haag melancarkan tindakan militernya (Zed, 1997: 220). Liga Arab di Kairo juga mengajukan imbauan keapada Dewan Keamanan PBB supaya Belanda segera menghentikan agresi militernya dan menarik mundur pasukannya dari daerah Republik Indonesia. Amerika Serikat pun menghentikan bantuan ekonominya kepada Hindia Belanda mulai tangal 22 Desember 1948 (Rosidi, 2011: 195-196).

Pemerintah Darurat Republik Indonesia bersifat mobil, selalu berpindah- pindah. Perpindahan tempat dilakukan untuk mempertahankan keaman dan keselamatan para pemimpin PDRI. tempat yang dijadikan markas oleh PDRI antara lain Halaban, Bangkinang, Tratak Buluh, Sungai Pagar, Teluk Kuantan, Kota Baru, dan Muara Lembu, Kiliranjao, Sungai Daerah, Bidar. Di daerah Bidar Alam, masyarakat menyiapkan beberapa rumah dan sebuah surau tua untuk tempat tinggal rombongan PDRI. Rumah-rumah itu adalah:

a. Rumah Djamilah, ditempati oleh Sjafruddin Prawiranegara dan dr. Sambijono beserta istri.

b. Rumah Biah, ditempati oleh Teuku Mohamad Hasan.

c. Rumah Sitjah, ditempati oleh Lukman Hakim, Indratjaja dan Mardjono Danubroto.

d. Rumah Lamisah, ditempati oleh dua puluh orang pegawai sipil dan militer.

e. Rumah Sakidah, ditempati oleh sepuluh orang kurir dan pasukan pengawal.

f. Rumah Sawida, ditempati oleh dua orang anggota staf keuangan, yakni Nasrul dan Hamid.

Pada waktu kemudian Sjafruddin beserta dr. Sambijono dan Istri pindah ke rumah Siti Rapat. Letak rumah-rumah itu cukup berdekatan, umumnya di pinggir pasar, kecuali rumah Siti Rapat (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 89-106).

Sjafruddin dan rombongan meninggalkan Bidar Alam pada tanggal 23 April 1949. Pada saat Sjafruddin meninggalkan Bidar Alam, sedang berlangsung perundingan antara RI dan Belanda (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 259).

commit to user

Perundingan dibawah pengawasan UNCI ini bertujuan untuk mengadakan pertemuan pendahuluan di Jakarta. Adanya perundingan pendahuluan ini berawal dari Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia, Timur Tengah, Australia dan Selandia Baru (Zed, 1997: 224). Perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda mencetuskan apa yang dikenal dengan Pernyataan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949 (Rasjid, 1982: 41).

Diadakanlah Pertemuan di Sumpur Kudus dimulai pada tanggal 14 Mei 1949. Dalam musyawarah itu PDRI membicarakan sikap yang harus diambil sehubungan dengan prakarsa pihak Bangka mengadakan perundingan tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan PDRI. Sjafruddin menyatakan kekecewaannya dan dengan tegas menolak perundingan. Sjafruddin mengatakan sudah dua kali RI mengadakan perundingan dengan pihak Belanda yang menghasilkan Perjanjian Linggajati dan Persetujuan Renville, dan dikhianati Belanda, lebih-lebih perundingan diadakan dengan pemimpin yang masih berada dalam status tawanan. Sjafruddin menganggap pihak Bangka dengan sengaja telah melecehkan PDRI, termasuk Dirinya. Padahal Sjafruddin telah diberi mandat untuk mendirikan pemerintahan darurat dan memimpin perjuangan (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 261-262).

Sebagai konsekuensi dari sikap PDRI, Sjafruddin mendesak keras untuk secepatnya mengembalikan mandat pada Soekarno-Hatta. Alasannya yaitu, pertama, pada kenyataannya Sjafruddin merasa tidak lagi memiliki wewenang untuk memimpin Republik, sesuai dengan posisi yang diserahkan kepadanya sebagai ketua PDRI. Kedua, lebih terhormat kiranya bagi Sjafurddin untuk mengembalikan mandat lebih dahulu dari pada mandat itu dicabut oleh Soekarno- Hatta (Zed, 1997: 273-274).

Dalam musyawarah di Sumpur Kudus pada umumnya mengecam kebijaksanaan Bangka. Akan tetapi Sjafruddin menambahkan, bahwa dunia luar mengakui Soekarno dan Hatta (Zed, 1997: 275). Kalau yang hadir dalam musyawarah di Sumpur Kudus hendak berpegang teguh pada pendirian masing- masing, maka akan terlihat dua golongan yaitu golongan Soekarno dan golongan

commit to user

yang mendukung PDRI. Sjafruddin memperingatkan adanya perbedaan paham akan sangat tidak menguntungkan perjuangan dan membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Untuk mencegah perpecahan, Sjafruddin mengatakan bersedia mundur dan menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno-Hatta (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 263).

Protes-protes PDRI dan pimpinan angkatan perang terhadap Pernyataan Roem-Royen tentu saja terdengar oleh para pemimpin yang ada di Bangka. Hatta menanggapinya dengan usaha menemui Sjafruddin utnuk memberikan penjelasan mengenai latar belakang kabijakan yang diambil pihak Bangka. Hatta ditemani oleh Ali Sastroamidjojo dan Moh. Natsir. (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 264). Pada 5 Juni 1949, Hatta bersama anggota rombongannya berangkat berangkat ke Aceh. Hattalah yang paling merasa berkepentingan utuk mencari Sjafruddin ke sumatera, guna menunjukkan bahwa para pemimpin di Bangka sama sekali tidak mengabaikan PDRI. Akan tetapi Hatta tidak bertemu dengan Sjafruddin di Kotaraja. Hatta bertemu dengan Kol. Hidayat, Panglima Sumatera (Zed, 1997: 279).

Dalam pertemuan dengan rombongan Hatta, kolonel Hidayat menyampaikan isi radiogram dari Sjafruddin tanggal 2 Juni yang ditujukan kepada Hatta. Isinya antara lain:

a. PDRI merasa menyesal bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah menyetujui terhadap persetujuan yang tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan PDRI. Kalau KTN didesak, kami yakin bahwa Belanda pasti mengijinkan pemimpin-pemimpin di Bangka berhubungan dulu dengan pihak PDRI. PDRI kurang digunakan oleh para pemimpin di Bangka dalam perundingan.

b. Persetujuan itu memberi kesan:

1) Tidak ada jaminan yang nyata bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan sepenuhnya dan tidak bersyarat.

2) PDRI tidak akan menghalang-halangi penyerahan kembali kekuasaan kepada pemerintah Soekarno Hatta, tetapi apabila persetujuan dipandang

commit to user

tidak memuaskan, mungkin beberapa anggota akan meletakkan jabatannya.

3) Untuk penyerahan kekuasaan di Yogya, harap kami dijemput dari Piobang (Payakumbuh). Untuk penyiapan lapangan terbang dibutuhkan sekitar 2 hari. Kami menunggu ditempat Zender (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 265-267). Sebelum Hatta meninggalkan Aceh apda 10 Juni 1949, Sjafruddin

mengirimkan lagi radiogram tertanggal 8 Juni 1949. Isinya antara lain mengucapkan selamat jalan dan menyampaikan ucapan terima kasih dari PDRI atas ikhtiar Wakil Presiden mencari hubungan dengan PDRI. Hatta menyambut radiogram Sjafruddin dengan penuh perhatian. Hal ini terbukti, Hatta mengirimkan orang-orangnya untuk menemui Sjafruddin (Zed, 1997: 279).

Setelah tiba di Bangka, Hatta membentuk tim yang akan ditugasi menemui PDRI. Tujuan utusan Hatta adalah meyakinkan Mr. Sjafruddin Prawiranegara bahwa inisiatif yang diambil kelompok Bangka merupakan hasil maksimal yang dapat dilakukan pemerintah pada waktu itu. Diharapkan Sjafruddin dapat menerima keputusan itu apa adanya, dan dengan demikian bersedia ikut kembali Yogyakarta (Zed, 1997: 284). Tim ini diketuai oleh dr. Leimena, Natsir dan dr. A. Halim sebagai anggota dan Agus Jamal sebagai sekretaris. Pada tangal 5 Juli 1949 tim Leimena tiba di Suliki. Dan pada 6 Juli 1949 bertemulah utusan Hatta dan utusan PDRI (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 270).

Sjafruddin bersedia untuk kembali ke Yogyakarta dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. TNI harus tinggal tetap pada posisinya yang diduduki pada waktu itu.

b. Tentara Belanda harus berangsur-angsur ditarik kembali dari kedudukannja.

c. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta, setelah daerah Yogyakarta dikosongkan harus mutlak dilaksanakan oleh Belanda.

commit to user

d. Belanda harus mengakui kedaulatan RI atas daerah Jawa , Sumatera, Madura, dan kepulauan-kepulauan disekitarnya sesuai dengan Persetujuan Linggajati (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14).

Sjafruddin bersedia untuk memenuhi permintaan utusan Hatta, dan Leimena beserta anggota memberikan jaminan bahwa tuntutan PDRI seperti yang diajukan Sjafruddin akan disampaikan dalam sidang BP KNIP (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 271-272). Sebelum meninggalkan Nagari Padang Japang, pada tanggal 8 Juli 1949 Sjafruddin mengadakan pertemuan dengan para pemuka mayarakat. Sjafruddin mengatakan adalah lebih baik menerima Pernyataan Roem- Royen walaupun kurang menguntungkan dari pada mengorbankan persatuan. Dan juga disampaikannya bahwa Sjafruddin berjanji akan memimpin perjuangan kalau persetujuan yang dicapai tidak sesuai dengan tujuan perjuangan Indonesia. Sjafruddin juga masih menghormati pentingnya kedudukan Soekarno-Hatta bagi persatuan Republik Indonesia di mata dunia luar, dan ingin memelihara kesatuan kepemimpinan Republik Indonesia secara keseluruhan (Zed, 1997: 287).

Pada tangal 10 Juli 1949, Sjafruddin kembali ke Yogyakarta. Sjafruddin disambut oleh Soekarno setibanya di Yogyakarta. Sjafruddin menerangkan bahwa PDRI tidak berada di belakang Roem-Royen, tapi berada di belakang rakyat, berjuang dengan rakyat dan untuk rakyat (Kedaulatan Rakyat, 11 Juli 1949). Pada tanggal 13 Juli 1949, kabinet Hatta bersidang. Hatta melakukan perombakan kabinet. Kabinet yang baru terbentuk itu disebut Kabinet Hatta II. Dalam kabinet ini, Sjafruddin diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (Noer, 2000: 207).

Pada sidang kabinet Hatta ini juga, Sjafruddin menegaskan bahwa mandat yang dikirimkan kepadanya oleh Soekarno dan Hatta tidak pernah diterima. Sjafruddin dan tokoh-tokoh lain di Sumatera membentuk PDRI semata- mata beradasarkan ilham untuk mengisi kevakuman pemerintahan. Dalam sidang itu pula, Sjafruddin mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Pengembalian mandat oleh Sjafruddin kepada Soekarno yang pada tanggal 1 Juli 1949 diartikan sebagai bersatunya dua komponen kedalam Republik Indonesia. Tinggal dua kelompok yang ada yakni kelompok Republik

commit to user

Indonesia dan BFO. Kedua kelompok ini akan menghadapi Belanda dalam Konferensi Meja Bundak (KMB) di Den Haag, Belanda. Untuk menyatukan pandangan dalam menghadapi Belanda, RI dan BFO mengadakan dua kali Konferensi. Konferensi Inter-Indonesia pertama dilaksanakan pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta, dan Sjafruddin hadir dalam Konferensi pertama ini. Pada tanggal 30 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta diadakan Konferensi Inter-Indonesia yang kedua. Konferensi berhasil mencapai persetujuan untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional yang siap mengadakan suasana tertip sebelum dan sesudah KMB (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 272-289).

5. Menteri Keuangan

Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Hag dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Pokok-pokok yang penting dari hasil Konferensi Meja Bundar ialah bahwa pemerintah Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk oleh negara Republik Indonesia dengan negara-negara bagian yang sudah ada. Dalam bidang ekonomi-keuangan ada beban yang harus dipikul oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk, yaitu pembayaran utang-utang pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1949. Termasuk di dalamnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan militer yang memerangi Republik Indonesia (Kahin, 1995: 549-557).

Pada tanggal 16 Desember 1949 dilakukan pemilihan presiden RIS yang pertama oleh wakil-wakil negara bagian dan wakil Republik Indonesia. Ir. Soekarno terpilih secara bulat sebagai presdien Republik Indonesia Serikat yang pertama. Pada tanggal 21 Desember 1949, Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri mengumumkan kabinetnya, yang merupakan kabinet pertama bagi Republik Indonesia Serikat (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 205).

Di dalam kabinet Republik Indonesia Serikat, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Keuangan (Kahin, 1995: 569). Tugas Menteri Keuangan,

commit to user

termasuk dalam program kabinet RIS yang pertama itu nomor 4, yaitu: berusaha memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan; mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kembali ke dalam masyarakat; mengadakan peraturan tentang upah minimum; pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar kegiatan terwujud kepada kemakmuran rakyat seluruhnya (Rosidi, 2011: 244).

Banyak kesulitan dalam bidang keuangan yang dihadapi oleh pemerintah yang baru itu, yang harus segera diselesaikan. Mata uang yang beredar dalam masyarakat bermacam-macam; ada uang NICA atau secara populer disebut “uang merah” ada ORI (di daerah) dan bermacam uang Republik lain yang berlaku di wilayahnya sendiri-sendiri. Uang itu semuanya harus diganti dengan uang baru yang berlaku di seluruh Indonesia. Tetapi masalahnya bukan semata-mata mengganti uang, karena segala macam uang itu mengalami inflasi yang tingkatnya tinggi. Penukaran dengan uang baru menimbulkan masalah praktis pula seperti penentuan kurs dari macam-macam uang itu terhadap uang baru, yang menyangkut pula utang-piutang dan lain-lain. Neraca perdagangan dari tahun ketahun yang memperlihatkan defisit yang kian membengkak. Ini menyebabkan cadangan devisa dan emas di bank kian menyusut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia Serikat menerima beban utang pemerintah Hindia Belanda, baik utang dalam maupun luar negeri (Beng To, 1991:116).

Semua masalah yang bertimbun itu merupakan tantangan buat Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan. Suatu tindakan drastis harus dilakukan. Masalah pokok ekonomi yang dihadapi ialah karena produksi yang rendah, karena banyaknya mesin yang rusak, perkebunan yang tidak terpelihara, jalan yang tidak dapat dilalui, transportasi yang buruk, pegawai yang terlalu banyak ditambah pula oleh adanya masalah kepegawaian kembar, penyelundupan, dan lain-lain. Bagi Menteri Keuangan RIS tidak dibatasinya kebebasan dalam langkah-langkah persetujuan KMB dalam bidang keuangan telah mengikat langkah-langkahnya. Seperti penentuan langkah-langkah kebijaksanaan devisa, bahkan pengangkatan Presiden dan para direktur Bank Sirkulasi itu pun hanya dapat dilakukan setelah

commit to user

mengadakan perundingan dengan Belanda. Begitu pula lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan negara-negara luar hampir seluruhnya harus disalurkan melalui negeri Belanda (Parera,ed., 2005: 27).

Pada tanggal 11 Maret 1950 dikeluarkanlah peraturan oleh Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (yang mulai berlaku tanggal 13 Maret 1950) untuk memperbaiki perkembangan neraca pembayaran dengan memakai sistem Sertifikat Devisa. Tanpa melakukan perubahan kurs resmi rupiah terhadap mata uang asing, peraturan itu menetapkan kurs efektif bagi pembelian dan penjualan devisa yang berbeda. Orang-orang yang mengekspor barang dari Indonesia, selain memperolah uang sebanyak harga barang-barangnya dalam rupiah Indonesia, juga memperoleh Sertivikat Devisa sebesar 50% dari harga barang yang diekspornya itu (Beng To, 1991:200-201).

Setiap orang yang hendak mengimpor barang, selain harus mempunyai ijin untuk memperoleh devisa, juga harus mempunyai Sertifikat Devisa yang besarnya sama denagn harga barang yang hendak diimpornya. Maksud peraturan ini adalah hendak menggiatkan ekspor dan menekan impor. Timbul reaksi yang bermacam-macam terhadap peraturan baru. Di samping yang menggerutu (kebanyakan importir pendatang baru yang tidak mempunyai modal yang cukup kuat), banyak menyambut dengan antusias, karena menganggap peraturan baru ini akan mendorong ekspor dan memberikan perangsang kepada penghasil bahan ekspor yang kebanyakan petani kecil (Rosidi, 2011: 248-249).

Akibat dari peraturan Devisa yang baru ini antara lain, apabila ekspor meningkat maka akan terjadi lebih banyak lagi alat-alat pembayaran asing guna pembelian di luar negeri; Kurs rupiah Indonesia sesudah beberapa lama akan tetap pada tingkat yang semestinya; adanya sistem baru ini, perdagangan gelap akan kurang menarik; dan dengan penyehatan peredaran uang ini, maka luar negeri akan menunujukkan kesediaan yang lebih besar untuk menanamkan modal di Indonesia berupa perbungaan oleh kaum partikelir asing dan berupa pinjaman- pinjaman pemerintah (Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 1950).

commit to user

Peraturan Sertifikat Devisa kemudian disusul dengan Putusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 Maret 1950 tentang “Operasi Gunting Sjafruddin” karena sebagi Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengambil keputusan untuk memotong dua dengan gunting uang merah dengan uang de Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas. Pecahan Rp 2,50 dan yang lebih kecil tidak mengalami pengguntingan. Uang ORI juga tidak digunting. Keputusan ini menembak beberapa sasaran: pengganti uang yang bermacam- macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib (Beng To, 1991: 209). Pengguntingan uang pada tanggal 19 Maret 1950 dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.PU/1 tanggal 19 Maret 1950 terhadap uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan Belanda (Parera,ed., 2005: 96).

Sejak pukul 8 malam tanggal 19 Maret 1950, uang kertas pecahan Rp 5 keatas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagi alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nominalnya, tetapi sejak tanggal 22 Maret 1950 bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat- tempat lain yang ditentukan. Batas terakhir penukaran itu sampai dengan tangal

16 April 1950. Sesuah itu, kalau belum ditukarkan juga, bagian kiri itu tidak laku. Sedangkan bagian kanan dari uang itu dinyatakan tidak laku, tetapi dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai nominalnya. Obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dinamakan Obligasi Pinjaman Darurat 1950. Bunganya ditetapkan sebesar 3% setahun (Rosidi, 2011: 250-251).

Pemaroan dilakukan juga terhadap simpanan-simpanan pada bank dan surat-surat perbendaharaan. Yang dimaksud dengan simpanan pada bank ialah simpanan pihak ketiga yang dapat ditagih sewaktu-waktu maupun yang penagihannya tergantung pada suatu masa, serta segala simpanan yang dipandang oleh atau atas nama Menteri Keuangan sebagai simpanan di bank. Bank diwajibkan memindahkan setengah dari simpanan-simpanan itu kepada sebuah rekening khusus yang dinamakan “Pendaftaran Pinjaman Negara 3% 1950” yang

commit to user

hanya dapat digunakan untuk membeli obligasi negara. Langkah pembersihan uang pada bulan Maret 1950 berhasil mengurangi jumlah uang kartal sekitar 1,6 milyar, sehingga posisi uang yang beredar dapat ditekan menjadi sebesar 4,3 milyar pada akhir tahun 1950 (Parera,ed., 2005: 96-97).

Manurut Sjafruddin, uang boleh menjadi sampah, cita-cita boleh terbang dan hancur binasa, tetapi manusia yang hidup dan mengerti akan kewajibannya tak boleh jemu-jemu berjuang dan bekerja, berikhtiarlah mencara jalan baru untuk mencapai kebahagiaan, yang menjadi sumber bagi segala cita-cita. Untuk menyelamatkan negara, pemerintah harus mengambil tindakan-tindakan yang cepat dan radikal. Dan satu-satunya jalan yang menurut pendapat pemerintah dapat membawa ketujuan yang kita maksud, ialah mengadakan pinjaman negara dan mengurangi peredaran uang (Prawiranegara, 2011: 36-40).

Ditinjau dari sudut kemakmuran, maka peraturan devisa baru akan memberikan keuntungan kepada kaum eksportir jauh lebih besar daripada di masa lampau. Oleh karena itu maka ekspor akan bertambah, dan oleh sebab itu, maka impor pun dapat diharapkan akan bertambah pula. Peraturan itu memang memberatkan para importir bangsa yang baru saja timbul, yang sangat kekurangan modal, tetapi kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar dari pada barang-barang ekspor tidak boleh dikurbankan (Rosidi, 2011: 253-254).

Mengenai obligasi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah RIS dinyatakan, bahwa sebelum keluar obligasi itu bagian-bagian kanan dari mata uang yang sudah dipotong sekarang ini boleh diperdagangkan, sebab diketahui paling sedikit harga obligasi itu adalah dari seratus rupiah. Dianjurkan kepada rakyat dalam memperdagangkan itu jangan sampai terlalu rendah dari harga yang semestinya. Mengenai usaha untuk menaikkan harga sesudah dikeluarkann peraturan baru itu akan diadakan tindakan-tindakan keras oleh pemerintah. Berhubung dengan adanya tindakan-tindakan oleh berbagai perusahaan- perusahaan perkapalan dan lain-lain dari pihak asing yang menaikkan harga hingga 200%, maka pemerintah membentuk panitia untuk mengadakan perundingan dengan perusahaan-perusahaan asing. Menurut pendapat pemerintah,

commit to user

tidak pada tempatnya perusahaan-perusahaan itu menaikkan tarifnya hingga 200%, karena perusahaan-perusahaan tersebut banyak sekali mendapat jasa- jasanya di Indonesia (misalnya pembayaran upah buruh) yang dalam mata uang Indonesia tidak naik. Demikian pula pemerintah tidak menaikkan ongkos-ongkos yang harus dibayar perusahaan. Kalau perusahaan-perusahaan asing itu tetap pada tindakan yang sudah diambilnya, maka pemerintah akan juga mengadakan tindakan-tindakan pembalasan, misalnya menaikkan ongkos-ongkos pelabuhan hingga beberapa persen (Kedaulatan Rakyat, 22 Maret 1950).

Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan juga mengatur penukaran uang ORI dan jenis-jenis uang lain. Tanggal 1 Januari 1950 Menteri Keuangan sudah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa ORI dan mata uang sejenisnya sebagai alat pembayaran yang sah akan ditarik mulai tanggal 1 Mei 1950, tetapi karena keputusan Menteri Keuangan 19 Maret 1950 itu, maka soal penukaran ORI dan uang-uang lain sejenisnya dipercepat. Uang-uang itu sudah dapat ditukarkan sejak tanggal 27 Maret 1950 sekalian dengan penukaran bagian kiri uang federal. Tetapi berlainan dengan bagian kiri uang federal yang harus ditukarkan paling lambat tanggal 17 April 1950, maka penukaran ORI dan uang-uang lain sejenisnya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 1 Juni 1950 yang kemudian diperpanjang lagi sampai tanggal 21 Juni 1950 (Rosidi, 2011: 259).

Sebagai upaya untuk mencegah salah paham ditegaskan bahwa Kurs yang ditetapkan merupakan kurs yang akan digunakan saat penukaran ORI dengan uang RIS sementara mulai 30 Maret 1950, di rumah-rumah pegadaian. Segala uang yang ada akan ditukar semuanya, dan untuk penukaran itu akan diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga siapa pun juga layak menukarkan ORI yang ada padanya. Selama penukaran itu boleh dipakai sebagai alat pembayaran yang sah sampai 1 Mei 1950. Untuk dapat menukarkan ORI orang harus mempunyai surat keterangan dari lurah atau pamong praja yang sederajat. Untuk anggota Angkatan Perang sebagai pengganti lurah dapat diterima surat keterangan dari Komandan yang bersangkutan. Di kantor-kantor penukaran diadakan panitia Pemeriksaan uang palsu, anggotanya akan diangkat dari pamong praja dan Polisi.

commit to user

Setiap orang selama masa penukaran hanya dibolehkan menukarkan satu kali (Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 1950).

Karena daya beli ORI berbeda-beda dengan jenis uang lainnya, maka kurs yang ditetapkan untuk penukaran pun tidaklah sama. ORI misalnya ditetapkan kursnya 125 buat tiap f 1; sedangkan URIBA yang beredar di Aceh, 175 buat setiap f 1; untuk ORIPS yang beredar di Sumatera Tengah 125 buat setiap f 1; untuk URITA yang beredar di Tapanuli, 350 buat setiap f 1; URISU yang beredar di Sumatera Utara, 450 buat setiap f 1, dan sebagainya. Tetapi setiap orang paling banyak hanya boleh menukarkan sampai senilai f 50 saja, tidak boleh lebih (Beng To, 1991: 144).

Ada beberapa faedah yang dapat dicapai dengan peraturan yang dikeluarkan Sjafruddin, ialah: a. Merupakan cambuk bagi masyarakat untuk bekerja lebih keras. Dengan dikuranginya peredaran uang, bisa diharapkan bahwa harga-harga barang tentu akan turun, sedangkan upah-upah akan tetap sebagaimana biasa; b. Kekacauan dalam soal uang, yang juga merupakan salah satu sebab kurang lancarnya perekonomian, akan lenyap. Juga ORI baik di Jawa maupun Sumatera akan bersam-sama ditarik dari peredaran. Uang federal yang lama akan lenyap pada tanggal 17 April, uang ORI pada tanggal 1 Mei 1950;

c. Kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia dalam masalah-masalah keuangan dan perekonomian akan bertambah besar, sehingga kemungkinan untuk mendapatkan kredit atas dasar-dasar yang sehat akan menjadi lebih besar lagi. Dunia luar akan melihat, bahwa Indonesia dengan kekuatan sendiri, dengan tidak menggantungkan nasibnya pada belas kasihan dari negara-negara asing, benar- benar sanggup menyelesaikan soal-soalnya sendiri. Dengan sendirinya kedudukan politik Indonesia akan kuat (Prawiranegara, 2011: 40-41).

6. Gubernur Bank

Pemerintahan RIS yang baru berjalan tujuh bulan, sudah timbul suara- suara yang menginginkan negara kesatuan. Mayoritas bangsa Indonesia tidak puas dengan sistem federasi. Negara-negara bagian berusaha untuk meleburkan diri ke

commit to user

dalam Republik Indonesia, sehingga jumlahnya menyusut. Mulailah diadakan perundingan antara negara Republik Indonesia dengan Pemerintah RIS yang pada tanggal 19 Mei 1950 bersepakat untuk membentuk Negara Kesatuan. Langkah selanjutnya ialah menyusun Undang-Undang Dasar RIS. Penyusunan rencana Undang-Undang Dasar itu selesai pada tanggal 20 Juli 1950 dan Presiden Soekarno menandatanganinya pada tanggal 15 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar itu kemudian terkenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Sementara (Poesponegoro&Notosusanto, 1993: 209-210).

Pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara RIS dibubarkan dan dilanjutkan oleh negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan. Ir. Soekarno terpilih kembali sebagai presiden, dan Mohammad Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden. Karena Undang-Undang Dasar Sementara menganut sistem parlementer, maka pemerintah akan diselenggarakan oleh kabinet yang mendapat kepercayaan dari parlemen. Sebagai formatur kabinet yang pertama berhasil membentuk pemerintahan ialah M. Natsir yang pada bulan September menyusun sebuah kabinet yang kuat karena banyak tokoh yang ahli dan cakap duduk di dalamnya. Dalam kabinet ini intinya adalah Partai Masyumi, dan Sjafruddin duduk sebagai Menteri Keuangan (Kahin, 1995: 594).

Banyaknya pemogokan dan karena produksi belum berjalan, maka Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan mempunyai tanggungjawab untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu sumber pemasukan uang negara yang dilihatnya masih belun berjalan denagn baik ialah pemungutan pajak. Untuk itu Sjafruddin mengajukan sebuah rencana Undang-undang ke parlemen tentang Pajak Peredaran. Setelah Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu diundangkan, timbul reaksi yang keras dalam parlemen. Resuna Said dan kawan- kawannya sesama anggota parlemen mengajukan sebuah mosi yang menghendaki agar Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu dicabut kembali. Namun ternyata sebelum parlemen membahas mosi Rasuna Said itu, pada Maret 1951 kabinet Natsir sudah terlebih dahulu jatuh karena Kabinet mengambil alih

commit to user

kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat mengenai otonomi daerah yang menyebabkan beberapa anggota Parlemen mengajukan mosi (Ricklefs, 1991:364).

Kabinet berikutnya yaitu kabinet Soekiman dan sampai pembentukan PRRI, Sjafruddin tidak duduk dalam kabinet. Meskipun tidak duduk dalam kebinet, Sjafruddin masih menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah. Sjafruddin Prawiranegara mengkritik perlunya selalu berkepala dingin dalam menghadapi persoalan-persoalan negara. Misalnya mengenai nasionalisasi De Javasche Bank . Sjafruddin menganjurkan agar persoalan De Javasche Bank harus dipikirkan baik-baik. Bukan karena tidak setuju dengan nasionalisasi, tetapi Sjafruddin sadar bahwa tenaga Indonesia belum cukup mampu untuk menanganinya. Juga dalam menggunakan tenaga-tenaga ahli Belanda. Sjafruddin mengkritik orang-orang yang tidak menggunakan sebagaimana mestinya tenaga- tenaga ahli itu, padahal sudah dibayar dan tenaga mereka memang bermanfaat. Kalau tidak dipakai dengan sebaik-baiknya, mereka mungkin tidak mau memperpanjang kontraknya, lalu mereka melamar ke badan-badan internasional yang tidak mustahil mengirimkannya kembali ke Indonesia karena kita memang memerlukannya. Kalau begitu, Indonesia harus membayar mereka lagi, bahkan dengan harga yang lebih mahal (Rosidi, 2011: 266-267).

Ketika Mr. Jusuf Wibisono yang menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet Soekiman, Ia mengambil langkah-langkah ke arah nasionalisasi De Javasche Bank. Pada tanggal 28 Mei 1951, Perdana Menteri Dr. Soekiman menyampaikan maksud itu kepada parlemen yang juga menyetujui gagasan tersebut. Pada tanggal 19 Juni 1951 dibentuklah suatu panitia oleh pemerintah yang bertugas untuk mengajukan usul-usul mengenai nasionalisai De Javasche Bank (Prawiranegara, 2011: 106).

Setelah Presiden De Javasche Bank Dr. A. Houwik mengajukan permohonan berhenti karena Houwik merasa tidak dipercayai lagi dengan tidak diberitahu oleh pemerintah mengenai nasionalisasi (Thee Kian Wie,ed., 2005: 34), maka salah satu Direksi Bank Paul Spies mencalonkan Sjafruddin Prawiranegara sebagi penggantinya Presiden De Javasche Bank. Sjafruddin menerima tawaran

commit to user

pemerintah, tetapi dengan syarat bahwa peraturan gaji para petugas bank, juga setelah dinasionalisasikan nanti tidak akan diubah dan dinasionalisasikan. Dengan perkataan lain, tingkat pengupahan para karyawan bank tidak akan diturunkan pada tingkat pegawai negeri Indonesia. Syarat itu diterima oleh Dr. Soekiman dan kabinet. Sjafruddin kawatir kalau pimpinan De Javasche Bank yang baru tidak memelihara kelanjutan usaha Indonesianisasi, akan timbul kekacauan dalam kehidupan perbankan. Sebaliknya dengan menerima tawaran itu, maka dia akan dapat melanjutkan proses Indonesianisasi. Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Presiden De Javasche Bank pada tanggal 12 Juli 1951 (Rachbini,ed., 2000: 2).

Pada tanggal 15 Desember 1951 keluarlah Undang-undang tentang Nasionalisasi De Javasche Bank NV (Prawiranegara, 2011: 106). Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa saham-saham De Javasche Bank yang belum dimiliki oleh Republik Indonesia segera dicabut haknya oleh Republik dan pindah menjadi milik penuh dan bebas dari negara (Beng To, 1991: 248-249).

Sebagai Presiden De Javasche Bank yang saham-saham sudah dinasionalisasikan, Sjafruddin harus melakukan langkah-langkah Indonesianisasi dan nasionalisasi lebih lanjut. Sudah sejak ketika Sjafruddin menjadi Menteri Keuangan, De Javasche Bank melakukan pendidikan tanaga-tanaga ahli bank bagi orang-orang Indonesia yang muda-muda. Setelah berlangsung dua tahun baru ada

26 tenaga muda yang menjadi tenaga staf (Rosidi, 2011: 278-279). Setelah dilakukan nasionalisasi De Javasche Bank tahun 1951, Pemerintah menyampaikan rencana Undang-undang pokok Bank Indonesia yang merupakan Undang-undang bagi Bank Sentral kepada parlemen. Sjafruddin mengemukakan pendapatnya mengenai hubungan antara Bank Sentral dengan Pemerintah. Menurut Sjafruddin jika Bank Sentral didudukkan di bawah pemerintah akan berbahaya karena menurut sejarah semakin lama pemerintah akan ikut campur dalam urusan uang dengan berbagai alasan. Antara lain untuk mencegah pemalsuan uang atau untuk menguasai uang itu agar memperoleh keuntungan. Jika Bank Sentral diberikan otonomi terhadap pemerintah, maka

commit to user

selain sebagai alat dan kasir pemerintah, Bank Sentral dapat pula menjadi penyedia keuangan bagi pemerintah dan bila perlu dapat menolak permintaan kredit dari pemerintah berdasarkan tanggungjawab Bank Sentral terhadap pemeliharaan nilai mata uang. Dalam hal ini pemerintah hanya menjadi pengawas. Untuk maksud tersebut, pemerintah dapat menempatkan seorang atau beberapa komisaris pada Bank Sentral sebagai wakil pengawasan (Parera,ed., 2005: 32-34).

Pada tanggal 2 Juni 1953, diundangkanlah Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI) tahun 1953 no.11 yang sudah disahkan tanggal 19 Mei 1953 sebelumnya. Dan pada tanggal 1 Juli 1953, didirikanlah Bank Indonesia. Berdasarkan Undang-undang tersebut, kedudukan Bank Indonesia adalah menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai Bank Sentral Indonesia (Parera, ed., 2005:38). Di Indonesia, octrooi atau hak untuk mengeluarkan uang kartal hanya diberikan kepada satu bank sirkulasi saja yaitu Bank Indonesia. monopoli untuk mengeluarkan uang itu terdapat dalam pasal 8 UUPBI 1953 yang berbunyi antara lain bank berhak mengeluarkan uang kertas bank, dan uang kertas itu bersifat alat pembayaran yang sah sampai setiap jumlah (Prawiranegara, 2011:184).

Sebagai Presiden De Javasche Bank yang akan menjadi Gubernur Bank Indonesia kalau sudah berdiri, maka Sjafruddin sejak awal aktif membantu penyusunan rencana Undang-undang Pokok tentang Bank Indonesia. Banyak gagasannya yang diterima dan masuk dalam undang-undang, misalnya tentang adanya suatu Dewan Moneter yang unik dan bersifat khas Indonesia. Karena tidak terdapat di dalam susunan perbankan yang lain ataupun di negeri lain. Dewan Moneter itu merupakan pimpinan tertinggi Bank Indonesia, tetapi juga merupakan Dewan Pemerintah yang didalamnya turut duduk Gubernur Bank Indonesia (Rosidi, 2011: 281).

Tugas Dewan Moneter itu menurut pasal 22 UUPBI tahun 1953 ialah: menetapkan kebijaksanaan moneter umum dari bank, memberi petunjuk kepada Direksi tentang kebijaksanaan bank dalam urusan-urusan yang lain, sekedar kepentingan umum memerlukannya dan melakukan pekerjaan-pekerjaan bank

commit to user

seperti mengatur nilai satuan uang Indonesia supaya tetap stabil, memajukan perkembangan urusan kredit dan urusan bank dan mengawasinya, mengurus dan menyelenggarakan administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri dan lain-lain. Dewan Moneter terdiri dari tiga orang, yaitu Menteri Keuangan sebagai Ketua, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian Dewan Moneter itu merupakan kuasa sehari-hari pemerintah dalam soal politik moneter dan Direksi Bank Indonesia dengan aparatnya merupakan badan pelaksanaan dari politik moneter itu. Dalam UUPBI tahun 1953 dengan tegas dicantumkan bahwa tanggungjawab terakhir atas kebijaksanaan moneter berada ditangan pemerintah (pasal 22 ayat 2) (Parera,ed., 2005: 43-44).

7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia Menjelang Musyawarah Nasional pada tanggal 7 dan 8 September 1957, di Palembang diadakan sebuah pertemuan rahasia yang dihadiri diantaranya Letnan Kolonel Ahmad Husein dari Sumatera Tengah, letnan Kolonel Ventje Samual dari Sulawesi Utara, dengan Letnan Kolonel Barlian sebagai tuan rumah, Kolonel M. Simbolon, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sebagai hasil pertemuan itu, mereka berhasil menelurkan persetujuan formal yang disebut juga sebagai Piagam Palembang . Isinya antaralain:

a. Mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta.

b. Menggantikan kepemimpinan militer pusat yaitu Mayor Jenderal A.H. Nasution.

c. Melaksanakan kebijaksanaan desentralisasi dengan memberikan otonomi yang lebih luas ke daerah-daerah.

d. Pembentukan Senat untuk membela kepentingan daerah dalam pemerintahan.

e. Melarang komunis (Kahin, 2005: 307). Sejak Januari 1958, daerah-daerah yang bergolak menunjukkan penentangan pada pemerinta Pusat. Sesuai dengan ultimatum yang disampaikan dalam Piagam Palembang bahwa jika dalam waktu 5x24 jam pemerintah pusat

commit to user

tidak memperdulikan seruan daerah, maka akan dilakukan pemutusan hubungan daerah dengan pemerintah pusat (Nuryanti, 2011:75).

Ketika berangkat ke Palembang, Sjafruddin disertai dengan harapan bahwa gerakan-gerakan daerah di Sumatera akan memberikan alternatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Sjafruddin menganggap bahwa situasi yang makin memburuk disebabkan juga oleh sikap Soekarno yang ingin menumpuk kekuasaan ditangannya sendiri dengan bantuan orang-orang komunis. Meskipun Sjafruddin tidak menyukai gaya kepemimpinan Presiden Soekarno, tetapi Sjafruddin juga sadar bahwa peranan Soekarno dalam kehidupan politik Indonesia tidak mudah diganti oleh orang lain (Rosidi, 2011: 317).

Suatu pertemuan di Sungai Daerah yang diadakan pada tanggal 9-13 Januari 1958 dihadiri oleh sipil dan militer. Pertemuan ini diadakan karena muncul suatu dugaan bahwa pemerintah pusat akan melekukan kekerasan dalam menangani daerah bergolak. Maka mulai disiapkan tentara untuk menghadapi pusat. Yang hadir dalam pertemuan antara lain Kolonel Simbolon, Letkol. Ahmad Husein, Letkol. Vintje Sumual, Kolonel Dahlan Djambek, M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Soemitro Djojohadikusumo, dan Burhanudin Harahap (Nuryanti, 2011: 75). Walaupun tidak mencapai kata sepakat dalam pertemuan di Sungai Daerah ini, menimbulkan desas desus bahwa para kolonel memutuskan untuk membentuk sebuah negara Sumatera. Husein menolak tuduhan pembentukan negara Sumatera, melalui Radio Bukittinggi Husein mengemukakan bahwa pertemuan di Sungai daerah ialah untuk melindungi negara kesatuan dan mendorong pemerintah mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi (Kahin, 2005: 320-326).

Setelah pertemuan di Sungai Daerah, terjadi perdebatan antara sipil dan militer. Sjafruddin mulai mempertanyakan hasil keputusan dalam sidang terlalu radikal dan mengundang kekerasan bahkan perang. Sjafruddin mengingatkan Ahmad Husein agar mempertimbangkan kembali untuk mengultimatum Jakarta, meskipun gertakan kepada pusat dapat mempersatukan daerah-daerah yang bergolak. Yang menjadi pertimbangan yaitu Barlian di Sumatera Selatan yang

commit to user

daerahnya kaya akan minyak membelot ke pusat. Jika Barlian membelot, rencana menggertak pemerintah akan gagal. Tanpa cadangan minyak dari Sumatera Selatan, kekuatan daerah bergolah akan mudah hancur. Namun Ahmad Husein tidak mau mendengarkan saran dari Sjafruddin dan justru mengatakan bahwa Dewan Banteng harus berjalan sendiri, dan akan terus melanjutkan perjuangan (Nuryanti, 2011: 77).

Sjafruddin menulis surat kepada Presiden Republik Indonesia sehari sebelum cutinya habis yaitu pada tanggal 15 Januari 1958. Isinya menyatakan setelah mempelajari dan merenungkan sedalam-dalamnya keadaan negara dan rakyat Indonesia yang tidak lagi ada dasar berpijak dan ruang bergerak, memutuskan untuk sementara sampai keadaan berubah, meninggalkan Jakarta dan menetap di salah satu daerah yang penguasa-penguasanya masih menghargai demokrasi. Suatu daerah yang masih tetap melindungi kemerdekaan berpendapat, berbicara dan bekerja. Presiden hendaknya kembali kepada jabatannya yang konstitusional, dan pemerintah yang hendaknya dipimpin oleh dan terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang disegani bukan karena menaiki mobil menteri, melainkan karena kejujuran, integritas kepandaian dan keberanian untuk bekerja dan berjuang guna kepentingan negara (Arsip Sjafruddin No 2).

Menteri Keuangan Mr. Sutikno Slamet mengirimkan panggilan pada tanggal 20 Januari 1958, agar Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank kembali ke post. Sjafruddin menjawab bahwa akan kembali ke Jakarta kalau sudah berdiri pemerintah nasional yang kuat. Maka dalam rapat Kabinet tanggal

30 Januari 1958, atas usul Dewan Moneter, diambil keputusan untuk memecat Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank, dan Mr. Loekman Hakim selah seorang anggota Direksi Bank Indonesia diangkat sebagai Gubernur yang baru. Sjafruddin sebenarnya ragu karena perhitungan rasionya tidak memperlihatkan janji kemenangan. Dengan hati yang berat, Sjafruddin dengan kawan-kawan politiknya terus berjuang. Selain perasaan malu, ada pula solidaritas (Rosidi, 2011: 328-330).

commit to user

Pada tanggal 10 Februari 1958 Dewan Perjuangan mengumumkan mukadimah piagam perjuangan untuk bangkit berjuang menyelamatkan Republik Indonesia dari malapetaka (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.3) dan mengajukan tuntutan supaya dalam waktu 5x24 Kabinet Djaunda mengembalikan mandatnya kepada Presiden/Pejabat Presiden. Presiden/Pejabat Presiden mengambil kembali mandat kabinet Djuanda. Segera setelah tuntutan tersebut dilaksanakan, supaya Hatta dan Hamengku Buwono ditunjuk untuk membentuk satu zaken kabinet. Apabila tuntutan tersebut tidak dilaksanakan dan tidak dipenuhi, maka dengan ini Dewan Perjuangan menyatakan bahwa sejak saat itu menganggap terbebas dari pada wajib taat kepada Dr. Ir. Suakrno sebagai Kepala Negara. Maka segala akibat dari tidak dipenuhinya semua tuntutan diatas itu, menjadi tanggung jawab dari mereka yang tidak memenuhinya, terutama Presiden Soekarno (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.4).

Sjafruddin menyampaikan kecemasan, kalau-kalau terjadi perang saudara, karena Letnan Kolonel Barlian, teman yang penting yang menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera Selatan, di perkirakan akan membelot. Sjafruddin pun menyarankan agar kalau sampai menimbulkan perang saudara, maka sebaiknya pembentukan kabinet yang direncanakan itu ditunda atau dibatalkan. Namun saran ini tidak dihiraukan. Bagi Kolonel Ahmad Husein dan kawan-kawan militernya tidak ada jalan lain kecuali terus tanpa menghiraukan perubahan-perubahan dan perkembangan dalam situasi faktual yang tidak mustahil membawa perubahan-perubahan dalam perbandingan kekuatan diantara dua pihak yang berhadapan (Rosidi, 2011: 333).

Tidak adanya respon dari pemerintah, maka pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan Perjuangan memutuskan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Yang berdaulat penuh kedalam dan keluar dan yang berkedudukan di Bukittinggi. Adapun tugas PRRI yaitu:

a. Menghentikan Kabinet Djuanda dan menghapuskan konsepsi Sukarno, yang menjadi penghalang bagi pelaksanaan cita-cita Piagam Perjuangan, dengan pengertian, bahwa nanti sebagaimana termaksud dalam Piagam Perjuangan

commit to user

pasal 7 yakni bahwa kami akan menganggap diri kami terbebas dari wajib taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara, akan berjalan jika dalam waktu yang layak, dari sikap, pernyataan dan atau fakta-fakta lain, sudah jelas bahwa Dr. Ir. Sukarno tidak bersedia kembali kepada kedudukannya yang konstitusionil dan tidak bersedia menunjuk Hatta-Hamengku Buwono sebagai formatur/pimpinan satu Zaken Kabinet Nasional.

b. Menjalankan pemerintahan berdasarkan Piagam Perjuangan dan menyerahkan pimpinan Pemerintahan kepada Hatta-Hamengku Buwono, pada setiap saat bila mereka sanggup dan bersedia mengambil pimpinan itu dan/ atau membentuk satu kebinet baru dan apabila jaminan-jaminan yang cukup, bahwa cita-cita yang kami perjuangkan, dapat terlaksana.

Dengan susunan kabinet PRRI sementara sebagai berikut:

a. Perdana Menteri - Mr. Sjafruddin Prawiranegara

b. Menteri Keuangan - Mr. Sjafruddin Prawiranegara

c. Menteri Luar Negeri

- Kol. M. Simbolon

d. Menteri Dalam Negeri - Kol. Moh. Dahlan Djambek

e. Menteri Pertahanan - Mr. Boerhanoedin Harahap

f. Menteri Kehakiman a. i. - Mr. Beorhanoedin Harahap

g. Menteri Perdagangan - Dr. Soemitro Djojohadikusumo

h. Menteri Perhubungan/Pel a. i. - Dr. Soemitro Djojohadikusumo

i. Menteri PPK

- Mohd. Sjafei

j. Menteri Kesehatan

- Mohd. Sjafei

k. Menteri Pembangunan

- Kol. J. Warow

l. Menteri Pertanian

- Saladin Sarumpait

m. Menteri Perburuhan a. i.

- Saladin Sarumpait

n. Menteri Penerangan

- Let. Kol. Saleh Lahadu

o. Menteri Agama

- Muchtar Lintang

p. Menteri Sosial - Abd. Gani Usman (ajah Gani) Sebagai susunan ini dalam waktu yang singkat akan diperlengkap dan disempurnakan (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.5).

commit to user

Keputusan Dewan Perjuangan tentang pembentukan Dewan PRRI itu hanya ditandatangani oleh Ketua Dewan Perjuangan yaitu Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kepada Sjafruddin tadinya diminta pula untuk tanda tangan di atas dokumen itu, karena mengenai pengangkatan dirinya sebagai Perdana Menteri dan sebagai tanda, Sjafruddin pun turut bertanggungjawab atas pembentukan PRRI. Tetapi Sjafruddin menolak, justru supaya orang tahu bahwa penanggung jawab atas pembentukan PRRI itu adalah Ketua Dewan Perjuangan/Ketua Dewan Banteng: Kolonel Ahmad Husein. Walaupun demikian, Sjafruddin berjanji akan memimpin PRRI dan menjalankan tugas sebaik-baiknya (Rosidi, 2011: 335).

Proklamasi PRRI yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 mendapat sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa tempat di daerah tersebut KDMSUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah) Kolonel D.J. Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 wilayah Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah Pusat serta mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Harvey, 1989: 129- 130).

Sebagai Perdana Menteri yang baru dilantik, Sjafruddin menyampaikan sebuah pidato radio yang menjelaskan sebab-sebab dan tujuan pembentukan PRRI, yaitu untuk membela kebenaran dan keadilan. Sambil mengenangkan kembali pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) hampir sepuluh tahun sebelumnya, Sjafruddin pun mengemukakan perbedaan-perbedaan antara kedua macam pemerintah itu. Yang terpenting ialah karena waktu memimpin PDRI Sjafruddin berhadapan dengan penjajah asing yang hendak menjajah Indonesia kembali, sedangkan sekarang harus berhadapan dengan pemerintah Bangsa sendiri (Moedjanto, 1988: 106). PRRI merupakan suatu pergerakan sebagai bentuk protes atas pemerintahan Republik Indonesia, bukan bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno pada waktu itu. Meskipun demikian pada prakteknya PRRI tetap dianggap sebagai pergerakan yang dapat mengancam stabilitas dan kedaulatan Republik Indonesia (Gusman, 2007: 33-35).

commit to user

Pada tanggal 16 Februari 1958, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah penangkapan dan penahanan terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Boerhanoeddin Harahap, Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mohammad Sjafe’i. Sedangkan kepada Kolonel J.F. Warouw, Letnan Kolonel Saleh Lahade, Mochtar Lintang, Saludin Sarupaet dan Abdul Gani Usman diberi waktu 3x24 jam untuk menyatakan sikap yang tegas, apakah akan menerima penunjukkan kabinet dalam PRRI ataukah tidak (Nuryanti, 2011: 81-82).

Berbagai pihak di Jakarta mencoba mencari penyelesaian. Partai Politik mulai dari Masyumi, NU, PNI, PSII sampai PRI (Partai Rakyat Indonesia) di DPR pernah mencoba menyelesaikannya sebelum tenggang waktu sampai 15 Februari 1958 habis dan bahkan sempat mengirimkan telegram kepada pihak Dewan Perjuangan di Bukittinggi supaya jangan melakukan suatu tindakan dahulu karena sedang diusahakan penyelesaian secara politis. Orang-orang di Jakarta kecuali orang-orang kiri, percaya bahwa pihak Dewan Perjuangan akan bersedia berunding jika Jakarta memberikan kemungkinan penyelesaian. Bung Hatta sebagai tokoh yang disegani Dewan Perjuangan, hendak mencoba pula mencarikan jalan keluar secara politisi dengan Presiden Soekarno. Tetapi sebelum pertemuan itu berlangsung, pada tanggal 21 Februari 1958, pesawat AURI sudan menjatuhkan bom di Painan, seperti Padang, Bukittinggi, Manado, dan lain-lain. Setelah pemboman itu Bung Hatta tidak bersedia lagi berunding dengan presiden Soekarno (Rosidi, 2011: 338).

Untuk menghadapi PRRI pemerintah dan KSAD memutuskan untuk melancarkan operasi militer. Operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara di Sumatera Tengah disebut Operasi 17 Agustus. Selain untuk menghancurkan separatis, operasi juga berusaha mencegah turut campurnya kekuatan asing yang dikhawatirkan akan mengadakan intervensi dengan dalih melindungi modal asing dan warga negaranya. Gerakan APRI ditujukan kepada Pekan Baru untuk mengamankan sumber minyak. Pada 14 Mei 1958 Bukittinggi dapat direbut (Tim Penulis, 1990:338). Pasukan RPKAD mengamankan daerah Riau (Syamdani, 2009:81).

commit to user

Sjafruddin beserta beberapa anggota yang semula hendak menghindarkan diri kearah Selatan, ke Bidar Alam, tempat dahulu memimpin PDRI, terpaksa menuju kearah sebaliknya, karena jalan ke arah Selatan sudah tertutup. Tatkala masih bergerak di Minangkabau Utara dan keadaan relatif bebas maka untuk menghidupkan semangat rakyat, Dewan Perjuangan memutuskan untuk mentransformasikan Indonesia sebagai Republik Persatuan Indonesia (RPI). Ketika Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan pada 8 Februari 1960, Sjafruddin terpilih sebagai presiden yang pertama (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 10).

Pada tanggal 8 Februari 1960, dibacakan mukadimah sebelum proklamasi disampaikan. Melihat kenyataan bahwa jalan musyawarah yang telah diusahakan baik dalam ataupun di luar parlemen sudah gagal sama sekali, maka Dewan Perjuangan, pada tanggal 10 Februari 1958 menyatakan tuntutannya dan seruannya atas nama seluruh rakyat Indonesia kepada Kepala Negara, Parlemen, serta tokoh Nasional Hatta dan Hamengku Buwono, agar kembali kepada Undang-Undang Dasar yang sedang berlaku, memulihkan Republik Indonesia kepada dasar hukum dan demokrasi dan keTuhanan Yang Maha Esa. Tidak adanya respon dari pemerintah pusat maka Dewan Perjuangan, selain dari pada membentuk PRRI pada tanggal 15 Februari 1958, menyerukan pada pemerintahan yang akan diserahkan kepada satu kabinet yang mempunyai kewibawaan di bawah pimpinan Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono. Namun Ir. Sukarno menghadapinya dengan tindakan-tindakan pembalasan dengan mengerahkan alat- alat kekuasaan negara, Angkatan Darat, Laut, Udara untuk menindas rakyat yang mempertahankan Undang Undang dan hak-hak asasi (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 7).

Daerah-daerah yang dikuasai, Soekarno melumpuhkan partai-partai politik, menyerukan agar masyarakat menerima Demokrasi Terpimpin dan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Puncaknya yaitu dikeluarkannya dekrit 5 Juli 1959. Perkembangan ini merupakan bukti bagaimana sistem ketatanegaraaan berbentuk kesatuan dan pemerintah yang sentralistik merupakan

commit to user

tempat munculnya kekuasaan ditangan satu orang atau satu golongan yang mudah bertindak sewenag-wenang (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 7).

Dewan Perjuangan/PRRI memproklamirkan Bahwa Republik Indonesia mulai hari senin 8 Februari 1960 berbentuk federasi, dengan nama Republik Persatuan Indonesia; Bahwa Republik Persatuan Indonesia adalah negara hukum dan kebangsaan, berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan; Bahwa Undang Undang Dasar sementara Republik Indonesia 17 Agustus 1950 tidak berlaku lagi bagi Republik Persatuan Indonesia. Meminta dan mendesak kepada PBB dan kepada anggota-anggotanya untuk memberi pengakuan kepada Republik Persatuan Indonesia sebagai suatu subyek hukum baru di dunia internasional yang mempunjai Undang-Undang Dasar dan Pemerintahan sendiri serta derah kekuasaan yang nyata, agar supaya mereka membantu pemerintah Republik Persatuan Indonesia dalam usahanya membebaskan daerah-daerah dan suku-suku bangsa Indonesia yang sekarang meringkuk di bawah penindasan diktatur Sukarno, hingga mereka ini masing-masing dapat menyatakan keinginannya secara bebas dan demokratis, berdasarkan hak menentukan nasib sendiri (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no.9).

Wilayah dan negara-negara bagian yang menjadi anggota pertama dari Republik Persatuan Indonesia, dari pihak proklamator diterangkan sebagai berikut:

a. Pasal 2 Republik Persatuan Indonesia terdiri dari negara-negara Bagian dan Daerah-daerah Swatantra.

b. Pasal 3 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia berbunyi Wilayah Republik Presatuan Indonesia meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945.

Pada saat Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan, belum semua wilayah Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945, yakni seluruh wilayah Hindia Belanda dulu, de facto dikuasai oleh Pemerintah Republik Persatuan Indonesia, namun de jure RPI berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia. Tugas pertama dan utama dari pemerintah Republik Persatuan Indonesia, ialah:

commit to user

membebaskan daerah-daerah Indonesia dari kekejaman dan kekuasaan sewenang- wenang dari rezim Sukarno dan memberi kesempatan kepada daerah-daerah dan suku-suku bangsa Indonesia setelah dibebaskan dari cengkeraman regime Sukarno itu untuk menyusun dirinya dalam Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara Bagian atau Daerah Swatantra menurut hak menentukan nasibnya sendiri bagi masing-masing daerah dan suku bangsa itu. Tugas selanjutnya membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda dengan cara damai. Daerah-daerah Indonesia yang pada permulaan menjadi anggota Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara Bagian adalah sebagai yang disebut dalam pasal 179 ajat 1, dan meliputi seluruh Suamtera dan kepulauan disekitarnya serta Indonesia bagian Timur. Kedudukan hukum dari daerah-daerah Indonesia selebihnya akan ditentukan berangsur-angsur sejalan dengan pembebasan daerah-daerah itu, dari cengkeraman regime Sukarno.

c. Pasal 179 ajat 1 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia berbunyi sebagai berikut:

Negara-Negara Bagian yang menjadi anggota pertama dari Republik Persatuan Indonesia adalah sbb:

a. Negara Bagian Republik Islam Aceh.

b. Negara Bagian Tapanuli/Sumatera timur(Sum. Utara).

c. Negara Bagian Sumatera Barat.

d. Negara Bagian Riau.

e. Negara Bagian Djambi.

f. Negara Bagian Suamatera Selatan.

g. Negara Bagian Sulawesi Utara.

h. Negara Bagian Republik Islam Sulawesi Selatan.

i. Negara Bagian Maluku Utara. j. Negara Bagian Maluku Selatan. Berhubungan dengan sukarnya perhubungan yang mempersulit mengadakannya musyawarah sebagai akibat agresi Sukarno yang menghalang- halangi kemungkinan bagi rakyat untuk menyatakan pendapatnya secara bebas- demokratis, maka jumlah dan batas negara-negara bagian yang pertama ini

commit to user

tidaklah mutlak. Pada prinsipnya berdirinya sesuatu daerah sebagai negara bagian harus memenuhi syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam pasal 47 Undang- Undang Dasar ini. Yang terpenting diantaranya ialah, syarat sanggup memenuhi kewajiban keuangan, dan keinginan rakyat yang dinyatakan secara demokratis (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No. 10).

Dalam pidato ulang tahun RPI Sjafruddin sebagai Presiden RPI menyampaikan 5 Azas Pokok UUD RPI. Kalau dirumuskan asas-asas pokok dari UUD RPI yang disepakati dengan bulat dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Tali pengikat yang mempersatukan suku bangsa baik secara kolektif maupun secara individual, dari seluruh daerah daerah dan pulau-pulau di Indonesia, hingga mereka menjadi satu bangsa dan satu negara adalah keimanan kepada Tuhan Jang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa.

b. Pengakuan yang menjadi dasar kewajiban dari penguasa, baik penguasa federasi, maupun penguasa negara bagian untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia.

c. Semua manusia adalah sama harganya atau nilainya di sisi Tuhan. Tetapi justru karena persamaan itu, maka adalah kewajiban bagi yang kuat untuk melindungi yang lemah, bagi yang kaya untuk membantu yang miskin, bagi yang pandai untuk menolong sesamanya yang kurang cerdas.

d. Pemerintahan diatur dan diselenggarakan dengan cara musyawarah atau demokrasi.

e. Hak atau kebebasan menetukan nasibnya sendiri. Usaha untuk memperbaiki nasib sendiri, baik dari individu maupun dari sesuatu golongan atau kaum, tidak boleh dihalang-halangi oleh orang atau golongan lain.

f. Perasaan solidaritas dengan seluruh bangsa-bangsa di dunia (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 12).

Pada kesempatan memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1961, Presiden Soekarno menetapkan dan mengundangkan Keppres no. 449/1961 memutuskan untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan Daud Bereueh di Aceh,

commit to user

pemberontakan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” dan “Perjuangan Semesta” di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, yang selambat-lambatnya pada tanggal 5 Oktober 1961 telah melaporkan dan menyediakan membaktikan diri kepada Republik Indonesia (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.6).

Sjafruddin sudah mengetahui lebih dahulu tentang isi Keppres tersebut, maka berdasarkan hasil perundingan dengan kawan-kawannya, pada hari itu juga

17 Agustus 1961, Sjafruddin sebagai presiden RPI dia mengeluarkan instruksi demi cinta terhadap Nusa dan Bangsa, marilah menghentikan segala permusuhan dan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indoensia, sambil memohon ampun dan berserah diri kepada Tuhan, serta menjadikan tenaga dan kepandaian yang dimiliki guna rehabilitasi bangsa dan tanah air Indonesia bila diminta dan diperlukan serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sejak dikeluarkan putusan ini, hendaknya semua petugas dan pejuang Republik Persatuan Indonesia yang masih aktif memberi perlawanan terhadap Pemeritnah Republik Indonesia dan Angkatan Perangnya, menghentikan segala tindakan yang dapat dipandang sebagai tindakan perlawanan dan permusuhan, sambil menunggu instruksi kami selanjutnya tentang melaksanakan maksud dari putusan (Arsip Sjafruddin Prewiranegara No.6).

Keluarnya instruksi dari Sjafruddin Prawiranegara disusul dengan penyerahan diri para tokoh dalam RPI. Dimulai dengan Ahmad Husein menyerah pada 23 Juni 1961 dan keterangannya kepada Pers di Solok, seluruh pasukannya yang akan turun berjumlah 13.500 orang. Simbolon beserta Divisi Pusukbuhit menyerah pada tanggal 27 Juli 1961. Kolonel Zulkifli Lubis beserta 19 orang anakbuahnya menyerah pada 18 Agustus 1961. Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Amalz, Buaya Malik, Haji Djaramel Damanik menyerahkan diri pada 28 Agustus 1961 (Anwar, 1981: 71-91).

Kolonel Abdurachman Prawirakusumah diutus Jenderal Nasution untuk melihat keadaan bekas pemimpin-pemimpin RPI dan kemudian melaporkannya kepada KSAD. Kepada Kolonel Abdurachman Prawirakusumah yang merupakan

commit to user

adiknya, Sjafruddin melaporkan bahwa RPI masih punya sejumlah emas yang dipendam, berupa batangan dan uang emas yang ditinggalkan di sekitar Koto Tinggi. Sjafruddin ingin supaya emas itu selekas mungkin digali untuk diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Emas itu berasal dari Bank Indonesia Padang, yang merupakan cadangan untuk membiayai perjuangan PRRI/RPI. Dari jumlah beberapa puluh kilogram, hanya sebagian kecil saja yang sudah dikeluarkan, dipakai untuk membiayai perjuangan. Setelah masalah emas diberitakan kepada Jenderal Nasution, maka tidak lama kemudian, di bawah pimpinan Kolonel Abdurachman dan atas petunjuk orang kepercayaan Sjafruddin yang mengetahui tempat emas itu dipendam, dilakukan penggalian dan emasnya pun diambil, jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu secara resmi kemudian diserahkan oleh Sjafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret 1962, dan kemudian meneruskannya kepada Menteri/Gubernur Bank Indonesia sebagai kekayaan negara (Kahin, 2005: 355).

Sjafruddin dan teman-teman tidak lama tinggal di Padang Sidempuan Medan. Mereka dimasukkan ke “karantina politik”. Dari keterangan M. Yunan Nasution dalam bukunya Kenang-kenangan di Belakang Trali Besi di Zaman Orde Lama , dasar hukum yang dipergunakan rezim Soekarno untuk mengkarantina Sjafruddin dan teman-temannya sama dengan peraturan hukum yang dipakai sebagai landasan hukum untuk menahan M. Yunan, Mr. Mohammad Roem, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, dan lain-lain. Peraturan tersebut ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Keadaan Bahaya (PPUKB) no. 23 tahun 1959, yang menggantikan ordonansi Belanda. Jadi, meskipun bekas pimpinan PRRI/RPI sudah diberi amnesti dan abolisi, tetapi berdasarkan keadaan bahaya yang telah dinyatakan dalam PPUKB itu, dapat ditahan buat waktu yang tidak ditentukan lamanya. Pada permulaan tahun 1962, Sjafruddin dan teman-temannya dibawa dari Padang Sidempuan ke Jakarta, selanjutnya dibawa ke Cipayung, Bogor. Disana disediakan beberapa buah rumah untuk menampung Sjafruddin dan kawan-kawannya. Walaupun di Cipayung bebas bergerak, tetapi Sjafruddin dan teman-temannya tidak boleh meninggalkan

commit to user

kota kecil itu tanpa izin dari perwira yang bertugas mengawasi mereka (Rosidi, 2011: 227-345).

commit to user