Intervensi air putih dan High Intensity Interval Training (HIIT) terhadap perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan indeks kebugaran kardiovaskular remaja overweight

INTERVENSI AIR PUTIH DAN HIGH INTENSITY INTERVAL
TRAINING (HIIT) TERHADAP PERUBAHAN INDEKS MASSA
TUBUH (IMT) DAN INDEKS KEBUGARAN
KARDIOVASKULAR REMAJA OVERWEIGHT

MEGAH STEFANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul intervensi air putih dan
High Intensity Interval Training (HIIT) terhadap perubahan Indeks Massa Tubuh
(IMT) dan Indeks Kebugaran Kardiovaskular (IKK) remaja overweight adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Megah Stefani
NIM I151130021

RINGKASAN
MEGAH STEFANI. Intervensi Air Putih dan High Intensity Interval Training
(HIIT) terhadap perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Indeks Kebugaran
Kardiovaskular Remaja Overweight. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan
YAYUK F.BALIWATI.
Prevalensi overweight terus mengalami peningkatan di Indonesia menurut
data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa kejadian overweight pada kelompok
usia 16-18 tahun sebesar 7.30%, kelompok usia 19 tahun sebesar 8.30%, dan
kelompok usia 20-24 tahun sebesar 13.20%. Upaya menurunkan kejadian
overweight melalui metode penurunan berat badan dapat dilakukan dengan
kombinasi diet, aktivitas fisik, dan perubahan gaya hidup (Manore 2012). Air
putih menjadi target ideal untuk dapat menurunkan berat badan (Tate et al. 2012).

The American College of Sports Medicine merekomendasikan HIIT (High
Intensity Interval Training) adalah latihan fisik yang tepat dikombinasikan dengan
berbagai jenis diet (Kravitz 2014). Oleh karena itu, penelitian ini memadukan
kombinasi diet dan latihan fisik yaitu intervensi konsumsi air putih, HIIT (High
Intensity Interval Training) dan kombinasi keduanya untuk mencapai perubahan
Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Indeks Kebugaran Kardiovaskular (IKK) remaja
overweight yang belum banyak dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh intervensi konsumsi
air putih dan HIIT serta kombinasi keduanya terhadap perubahan Indeks Massa
Tubuh (IMT) dan Indeks Kebugaran Kardiovaskular (IKK) remaja overweight.
Tujuan khusus antara lain mengidentifikasi kebiasaan makan dan minum,
konsumsi zat gizi, serta tingkat konsumsi zat gizi subjek; mengidentifikasi
kebiasaan olahraga, tingkat aktivitas fisik, pola tidur, dan tingkat stress subjek;
menganalisis pengaruh intervensi konsumsi air putih, intervensi HIIT dan
kombinasi keduanya terhadap perubahan berat badan; menganalisis pengaruh
intervensi konsumsi air putih, intervensi HIIT dan kombinasi keduanya terhadap
perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT); menganalisis pengaruh intervensi
konsumsi air putih, intervensi HIIT dan kombinasi keduanya terhadap perubahan
Indeks Kebugaran Kardiovaskular (IKK) subjek.
Desain penelitian yang digunakan adalah pre-post experimental study

dengan tiga kelompok intervensi yaitu kelompok 1 konsumsi air putih (DA) yaitu
9 orang, kelompok 2 High Intensity Interval Training (HIIT) yaitu 10 orang, dan
kelompok 3 kombinasi air putih dan High Intensity Interval Training (DA &
HIIT) yaitu 10 orang. Kriteria inklusi yaitu: usia 17-23 tahun (purposive),
memiliki berat badan (IMT ≥ 23 kg/m2), tidak dalam keadaan menjalankan diet
lain, tidak mengalami keluhan sakit, tidak merokok, dan bersedia mengikuti setiap
tahap penelitian. Kriteria eksklusi yaitu sedang menjalani diet lain, sedang
mengonsumsi obat atau suplemen penurunan berat badan. Penelitian berlangsung
selama dua bulan, subjek mengonsumsi air putih sebanyak 600 mL satu jam
sebelum sarapan, makan siang, dan makan malam. Subjek melakukan HIIT
sebanyak tiga kali/minggu (Senin, Rabu, dan Jumat) dengan durasi 16 menit
terdiri dari gerakan pemanasan, HIIT workout, dan pendinginan.

Berdasarkan data baseline, lebih dari setengah subjek penelitian (58.62%)
melakukan sarapan, uji beda antar ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05).
Sebanyak 65.52% subjek tidak pernah minum sebelum makan, rata-rata jarak
minum 5 menit jika subjek terbiasa minum sebelum makan, kebiasaan minum saat
makan sebanyak 34.48% dengan jumlah air putih yang dikonsumsi saat makan
yaitu satu gelas (240 ml) sebesar 94.40%, hasil uji beda keempat variabel tersebut
antar ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Sebaran subjek yang terbiasa

minum air putih sebelum olahraga sebanyak 48.30% dan jumlah air putih yang
dikonsumsi subjek sebanyak satu gelas (240 ml) yaitu 57.20%, hasil uji beda
kedua variabel tersebut antar tiga perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Terjadi
perubahan konsumsi makanan pada subjek selama dilakukan intervensi. Hal ini
dibuktikan dengan hasil uji beda menggunakan paired-test konsumsi makanan
sumber protein pada kelompok DA dan kelompok HIIT berbeda nyata (p0.05)
tetapi TKP dan lemak pada subjek berubah antara pre-post intervensi (p0.05) sehingga bermakna bahwa tingkat aktvitas
fisik subjek tidak berbeda. Berdasarkan keempat faktor (frekuensi bangun malam,
tingkat kenyenyakan, kebiasaan tidur siang-sore, perasaan saat bangun tidur),
penyebab kesulitan tidur hanya tingkat kenyenyakan yang berbeda nyata setelah
uji beda antar tiga perlakukan (p0.05). Sebanyak 44.80% subjek mengalami stress tingkat sedang. Uji beda
antar tiga perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada tingkat stress subjek yang
bermakna subjek tetap merasakan tingkat stress yang sama selama masa intervensi.
Kelompok intervensi kombinasi DA&HIIT berpengaruh nyata (p0.05) terhadap perubahan Indeks
Kebugaran Kardiovaskular (IKK) pada remaja overweight.
Sebesar 30.60% perlakuan DA, HIIT, kombinasi DA&HIIT berpengaruh
terhadap perubahan berat badan sehingga, 68.40% dipengaruhi faktor-faktor lain
selain variabel yang diteliti. Sebesar 32.90% perlakuan DA, HIIT, kombinasi
DA&HIIT berpengaruh terhadap perubahan IMT. Hanya sebesar 3.20% perlakuan
DA, HIIT, kombinasi DA&HIIT berpengaruh terhadap perubahan IKK sehingga,

96.80% dipengaruhi faktor-faktor lain selain variabel yang diteliti. Saran untuk
penelitian selanjutnya yaitu penambahan lama waktu intervensi untuk dapat
meningkatkan Indeks Kebugaran Kardiovaskular (IKK) remaja overweight.
Kata kunci: Air Putih, High Intensity Interval Training, Indeks Kebugaran
Kardiovaskular, Indeks Massa Tubuh, Kegemukan

SUMMARY
Prevalence of overweight was increased in Indonesia according to
Ministry of Health (2013) showed that the overweight on person who have ages in
arrange 16-18 years was 7.30%; 19 years was 8.30%; 20-24 years was 13.20%.
Efforts to weight loss can be done with a combination of diet, physical activity,
and changes in lifestyle (Manore 2012). Plain water had possibility of being the
ideal target for the purpose to lose weight (Tate et al. 2012). The American
College of Sports Medicine was recommended that HIIT (High Intensity Interval
Training) was physical exercise exactly combined with others diet (Kravitz 2014).
A combination of research combining diet and physical exercise namely the
intervention of plain water intake (PWI) and High Intensity Interval Training
(HIIT) to achieve change body mass index and the cardiorespiratoty fitness index
of overweight students are rare.
The objectives are to analyse the influence of the intervention of plain

water intake (PWI) and High Intensity Interval Training (HIIT) on changes in
Body Mass Index (BMI) and the Cardiorespiratory Fitness Index (CFI) of
overweight students. A special purpose among others identified the habit of eating
and drinking, food consumption, as well as food consumption level of subject;
identified the habit of sports, the level of physical activity, sleeping patterns, and
the level of stress subject; analyse the influence of PWI, HIIT and a combination
of both on changes in body weight; analyse the influence of PWI, HIIT, and a
combination of both on changes in Body Mass Index (BMI); analyse the influence
of PWI, HIIT and a combination of both on changes in cardiorespiratory fitness
index (CFI).
A design was pre-post experimental study with three groups, namely; (1)
plain water intake group (PWI) was nine subjects, (2) High Intensity Interval
Training (HIIT) was ten subjects, (3) a combination of plain water intake and
High Intensity Interval Training (PWI & HIIT) was ten subjects.The criterias
inclusion are aged 17-23 years (purposive) , having BMI ≥ 23 kg/m2), not in the
state of running other diet, healthty, not smoking, and willing to follow every
stage of intervention.Whereas, criterias exclusion which is undergoing a diet of
another, was consuming a drug or a supplement weight loss. The study lasted for
two months, the subject of consuming plain water as many as 600 mls one hour
before meals (breakfast, lunch, and dinner). Subjects were doing as many as three

times per week HIIT (Monday, Wednesday, and Friday) with the duration of 16
minutes, consist of warming up, HIIT workout, and colling down.
According to baseline data, more than half of subjects in study (58.62%)
had breakfast also not different between three groups (p>0.05). Among 65.52%
do not have a drink before dinner, an average on the distance between drink to
meals was 5 minutes, the habit of drinking while meals (34.48%) and the amount
of plain water that consumed is around 240 mls for 94.40 % subject, also not
different on all of variables between three groups (p>0.05). To scatter a habitually
drinks water prior to exercise some 48.30% and the number of plain water
consumed as much as 240 mls for 57.20% subjects, also not different both of
variables between three groups (p>0.05). The change of food consumption was
occurred on the subject during the intervening. This is evidenced by test different
use of food consumption paired-test, protein in PWI group also HIIT group was

different (p 0.05) but the adequacy level of protein and fat on the subject
changed between pre-post intervention (p < 0.05) in three groups. In line with
food consumption, caloric beverages consumption and total plain water intake
was different (p < 0.05) in three groups.
As many as 62.07% of subjects like to do sport. The whole subjects
including in the category of light activity and the results of the difference between

three different treatments is not different (p>0.05) it means that the level of
physical activity on subjects was not difference. Based on the four factors
(frequency wake up at night, sleep tight level, noon sleep habits, wake up feeling
after sleep) causing trouble sleeping only the sleep tight level which is difference
in treatment (p0.05). A half the subject is
44.80% are detected has medium stress level. The difference between the different
groups are not significant (p>0.05) stress at its subject matter to feel distress
during the same period.
The combination intervention of PWI&HIIT having a lower body weight
(0.18 – 1.92 kg) and BMI (0.11 – 0.77 kg/m2) in overweight students and
statictically, it is only led to a significant in the combination intervention of
PWI&HIIT on changes in body weight and BMI (p 0.05), tetapi
terdapat kecenderungan menurunkan IMT (kg/m2) pada kelompok diet redah
kalori dengan olahraga.
Latihan fisik dan High Interval Intensity Training (HIIT)
The American College of Sports Medicine merekomendasikan latihan
selama 30 menit selama lima hari dalam seminggu akan menjaga kesehatan
(Erhman 2010); selain itu, jika tujuannya adalah menurunkan lemak dan berat
badan, latihan fisik seperti aerobik merupakan pilihan yang aman dan tepat. Untuk
memaksimalkan metabolisme kelebihan lemak, individu harus secara kontinu

melakukan ritme latihan aerobik minimal selama 30 menit per gerakan tetapi tidak
lebih dari 60-90 menit, secara keseluruhan 150 menit per minggu.
Pengaturan komposisi tubuh dapat dilakukan melalui latihan fisik untuk
menjaga kesehatan dan mencegah penyakit, program latihan fisik secara regular.
Kombinasi pengaturan berat badan dan komposisi tubuh untuk mencapai kondisi
tubuh ideal membutuhkan periode untuk dapat mencapai berat badan yang
diinginkan. Periode atau lama waktu latihan dapat dimanipulasi dengan intensitas
latihan dan volume yang spesifik supaya mendapatkan performa hasil yang
diinginkan. Intensitas latihan yang terdiri dari low intensity interval training,
medium intensity interval training, dan high intensity interval training.
Berdasarkan intensitas latihan tersebut, HIIT atau high intensity interval training
adalah tepat dikombinasikan dengan diet untuk dapat menghasilkan penurunan
berat badan yang lebih cepat dan hasil maksimal (Rahimi 2006).
HIIT atau high intensity interval training yaitu latihan fisik yang
dimodifikasi bagi individu yang mempunyai tingkatan kebugaran yang berbeda
dan kondisi khusus yaitu kegemukan dan diabetes. HIIT dapat dilakukan dengan
berbagai latihan fisik yang meliputi cycling, walking, swimming, aqua training,
elliptical cross-training dan lainnya. HIIT memberikan dampak bagi kebugaran
tubuh dengan meningkatkan daya tahan latihan dalam melaksanakan aktivitas
fisik dengan periode waktu yang lebih pendek. Hal ini dikarenakan HIIT menekan

pembakaran kalori yang lebih banyak dibandingkan dengan aktivitas fisik lainnya,
khususnya setelah latihan. Setelah periode latihan yang disebut “EPOC” yang
merupakan sisa oksigen setelah latihan. Massa ini berlangsung selama dua jam
setelah latihan dimana tubuh menyimpan kembali energi dan dan
menggunakannya lebih banyak. Karena latihan HIIT yang secara alami sangat
berat, EPOC menekan lebih banyak hingga 6.00-15.00% lebih kalori (energy
expenditure) yang dikeluarkan selama latihan (Kravitz 2014).

6

Latihan HIIT menjadi sangat dikenal dan direkomendasikan karena
memberikan banyak manfaat bagi tubuh dengan memberikan banyak dampak
perbaikan pada kebugaran aerobik dan non aerobik, tekanan darah, kesehatan
jantung, sensitivitas insulin (membantu latihan otot lebih siap digunakan sebagai
glukosa sebagai bahan bakar penghasil energi), profil kolesterol, lemak abdominal
(lemak perut) dan berat badan dengan tetap menjaga massa otot. Intensitas selama
latihan HIIT berkisar ≥ 80.00% dari perkiraan laju maksimal jantung. Intensitas
selama masa recovery berkisar 40.00-50.00% dari perkiraan laju maksimal
jantung. Hal ini dapat menjadi pilihan latihan fisik yang nyaman untuk dapat
membantu individu selama masa recovery dan persiapan untuk latihan interval

selanjutnya (Kravitz 2014).
Hubungan antara periode latihan dan recovery adalah penting. Banyak
penelitian yang menggunakan rasio latihan untuk recovery sebagai upaya
perbaikan perbedaan sistem energi di tubuh. Sebagai subjek, rasio 1:1 dilakukan
selama tiga menit (intensitas tinggi) diikuti dengan tiga menit untuk recovery
(intensitas rendah). Latihan interval dengan rasio 1:1 tersebut 3-5 menit diikuti
dengan waktu yang sama untuk masa recovery. Protokol penelitian untuk HIIT
lainnya disebut “spring interval training method”. Tipe dari latihan tersebut yaitu
melakukan lari sangat cepat selama 30 detik dan diikuti dengan masa recovery
selama 4.00-4.50 menit. Kombinasi latihan ini dilakukan secara berulang selama
3-5 kali. Latihan fisik intensitas tinggi ini merupakan tipe latihan yang sangat
pendek (Kravitz 2014).
Prioritas untuk memulai latihan HIIT, setiap orang mengharapkan
pencapaian tujuan yaitu perbaikan level fitness (kebugaran). Tujuan tersebut
terkadang dianggap sama dengan level fitness dasar. Level fitness dasar
merupakan konsisten didapatkan dari training aerobic (3-5 kali per minggu
selama 20-60 menit per sesi dengan intensitas tinggi), beberapa minggu akan
menghasilkan adaptasi otot yang akan memperbaiki transportasi oksigen ke otot.
Penetapan perkiraan bentuk latihan dan kekuatan otot adalah penting sebelum
melakukan latihan HIIT secara regular untuk dapat menurunkan risiko kesakitan
sistem otot (Kravitz 2014).
Tanpa melihat umur, jenis kelamin, dan level kebugaran (fitness), satu
kunci untuk aman dalam melakukan HIIT yaitu hal ini berlaku bagi semua orang
untuk mampu memodifikasi intensitas latihan supaya terlihat lebih menantang
namun aman dan tetap fokus untuk menemukan intensitas training yang paling
optimal. Latihan HIIT akan lebih melelahkan dibandingkan dengan latihan daya
tahan tubuh yang statis. Maka lama waktu recovery sangat dibutuhkan.
Kemungkinan dapat dilakukan dengan melakukan latihan HIIT sekali per minggu
dibarengi dengan latihan daya tahan tubuh yang statis. Saat individu merasa siap
untuk mendapatkan latihan yang lebih menantang, lakukan latihan HIIT dua kali
per minggu, dan pastikan akan terus meningkat setiap minggu untuk melakukan
latihan HIIT lebih dari dua kali per minggu (Kravitz 2014).
Peran air putih dalam tata laksana overweight
Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Pada pria dewasa,
55.00-60.00% berat tubuh adalah air; pada perempuan dewasa 50.00-60.00%
berat tubuh adalah air (William 1989). Air dapat digolongkan sebagai zat gizi

7

makro dan esensial karena jumlah asupan air minum yang dibutuhkan per hari
cukup besar yaitu sekitar dua liter. Kebutuhan air yang cukup besar ini adalah
agar tercapai keseimbangan jumlah cairan tubuh. Penelitian di Jakarta (2011)
membuktikan bahwa membiasakan mengonsumsi air putih pada remaja yang obes
dapat menurunkan berat badan. The Indonesian Hydration Regional Study
(THIRST) menunjukkan bahwa 46.10% subjek yang diteliti mengalami kurang air
atau hipovolemia ringan. Kejadian ini lebih tinggi pada remaja (49.50%)
dibanding pada orang dewasa (42.50%) (Hardinsyah et al. 2010).
Massa tubuh seseorang merupakan refleksi dari keseimbangan antara
asupan energi dengan penyimpanan energi dalam tubuh. Makanan sebagai salah
satu sumber energi dalam tiga bentuk yaitu glikogen, protein dan lemak. Berat
badan akan stabil apabila ada keseimbangan antara asupan sumber energi dengan
penggunaan energi. Fungsi air dalam keseimbangan ini adalah sebagai buffer,
dimana hidrasi yang cukup akan membantu metabolisme dari ketiga bentuk
penyimpanan energi (Santoso et al. 2011).
Selain itu, air tidak memiliki kandungan energi sama sekali namun
memiliki kemampuan untuk menekan rasa lapar dan memicu rasa kenyang
sehingga akan mencegah seseorang makan berlebih. Telah diketahui dari beberapa
penelitian yang pernah dilakukan bahwa perubahan osmolaritas sel dapat memicu
perubahan metabolisme dimana sel hipoosmotik akan menghalangi proteolisis dan
pemecahan glikogen di hati sementara sel hiperosmotik dapat memicu pemecahan
protein, glikolisis dan glikogenolisis. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan
bahwa kondisi dehidrasi pada tubuh akan memicu proses katabolisme (Santoso et
al. 2011).
Untuk mempertahankan kondisi kesehatan yang optimal, diperlukan
konsumsi air tidak hanya dalam jumlah yang cukup melainkan juga dengan
kualitas yang baik. Sebagai kesimpulan, air merupakan bagian terbesar dari tubuh
sehingga status hidrasi akan sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme
tubuh dan yang tak kalah pentingnya, asupan air bisa berdampak pada penurunan
berat badan yang otomatis berperan dalam masalah obesitas. Pada obesitas, air
tubuh total lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas karena
kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam
sel otot. Dengan demikian, orang obesitas lebih mudah mengalami kekurangan air
dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Pada obesitas, meskipun sudah
terjadi kurang air namun tanda-tanda yang ada tidak jelas sehingga harus hati-hati
dalam menilai keadaan kurang air pada obesitas (Santoso et al. 2011).
Kebutuhan air bagi orang yang mengalami obesitas sebaiknya dua gelas
lebih banyak dibandingkan kondisi normal. Hal ini didasarkan pada penelitian
yang menunjukkan bahwa asupan air yang lebih banyak meningkatkan oksidasi
(pembakaran lemak). Selain itu perlu diperhatikan cara mengonsumsi dan jenis air
minum yang dipilih. Berdasarkan penelitian klinis pada orang dewasa gemuk,
minum dua gelas air 1-2 jam sebelum makan (makan siang dan makan malam)
dapat menurunkan berat badan. Jenis minuman yang sesuai adalah air putih dan
menghindari minuman yang mengandung gula atau minuman manis (Dennis
2009a).

8

Definisi dan pola hidup remaja
Remaja merupakan masa kehidupan individu dimulai dari umur 11-21
tahun. Selama masa tersebut terjadi perubahan biologis, emosional, sosial dan
kognitif karena peralihan dari masa anak-anak menjadi dewasa. Pada masa ini
terjadi perubahan pada berat badan, komposisi tubuh dan massa otot. Sebanyak
50.00% terjadi perubahan berat badan saat remaja. Remaja perempuan
kemungkinan mengalami peningkatan berat badan sebesar 6.3 kg selama masa
remaja menengah. Puncak peningkatan massa otot akan terjadi setelah masa
pubertas meningkat juga (Brown 2008).
Perilaku hidup sehat dan perilaku makan selama remaja sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi pengaruh teman, perilaku orang tua,
ketersediaan pangan, preferensi pangan, biaya, terjangkau, personal, kepercayaan
budaya, media massa, dan body image. Kebiasaan makan pada remaja tidak statis,
biasanya berhubungan dengan perkembangan psikososial dan kognitif. Snacking
dan menunda makan merupakan hal biasa pada remaja (Brown 2008).
Pada remaja yang pola makannya tidak teratur, lebih cenderung untuk
mengonsumsi snack daripada konsumsi satu menu sajian lengkap. Remaja
mengonsumsi lebih kurang dua snack dalam sehari, ini menyumbang 25.00%
kalori harian, yaitu 612 kkal/hari menurut Mahan & Escott-Stump (2008). Snack
pilihan remaja biasanya bersifat tinggi kandungan lemak, gula dan garam..
Minuman bersoda adalah pilihan popular remaja, ini menyumbang 6.00% kalori
harian menurut Mahan & Escott-Stump (2008).
Jumlah snack yang dikonsumsi meningkat sebanyak 39.00% dari
konsumsi sehari dengan 35.00% kalori discreationary dan 43.00% dari gula yang
berasal dari snacking (Sebastian 2008). Peningkatan kalori dari snacking memicu
peningkatan konsumsi makanan dari luar rumah yang biasa berasal dari restaurant
fast food. Konsumsi soft drink merupakan pilihan yang sering dipilih untuk
snacking terutama bagi remaja perempuan, jumlah kalorinya mencapai 6.00% dari
total konsumsi. Kebiasan ini menjadi perhatian utama karena secara signifikan
jika konsumsi soft drink tinggi maka menurunkan pilihan konsumsi minuman
dengan kandungan energi dan kalsium (rendah atau tinggi). Jika berlangsung
dalam waktu yang lama meningkatkan risiko kejadian osteoporosis dan obesitas
(Nielsen 2002).
Aktivitas fisik menunjukkan trend penurunan yang drastis pada remaja
khususnya perempuan. Aktivitas fisik yang minimal merupakan penyebab utama
obesitas. Pola hidup kurang gerak (sedentary life style) mengeluarkan lebih sedikit
kalori dan pola makan yang tinggi lemak (makanan cepat saji) menyebabkan
kejadian obesitas semakin meningkat (Beers 2003). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang tinggal di perkotaan mempunyai
berat badan yang berlebih dibandingkan dengan pedesaan. Hal ini disebabkan
penurunan aktivitas fisik (sedentary life style), perubahan pola makan yang tinggi
kandungan lemaknya menurut Mahan & Escott-Stump (2008). Jika konsumsi
bahan metabolik secara konsisten lebih banyak daripada penggunaan energi
(aktivitas fisik), bahan itu akan disimpan sebagai triasilgliserol dalam jaringan
adiposa sehingga terjadi obesitas (Murray et al. 2006).

9

Prevalensi overweight pada remaja
Kejadian overweight dan obesitas pada remaja terus meningkat setiap
tahun. Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia karena prevalensinya yang
meningkat pada orang dewasa maupun remaja baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat sangat tajam
di kawasan Asia Pasifik. Sebanyak 20.50% dari penduduk Korea Selatan
tergolong overweight dan 1.50% tergolong obes. Di Thailand, 16.00%
penduduknya mengalami overweight dan 4.00% mengalami obes. Di daerah
perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12.00% pada laki-laki dan 14.40%
pada perempuan, sedang di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki
dan perempuan masing-masing adalah 5.30% dan 9.80% (Vishuda 2001).
Data riskesdas pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi
overweight dan obesitas di Indonesia pada remaja usia 15 tahun ke atas sebesar
19.10%, dan untuk usia 6-14 tahun prevalensi overweight dan obesitas untuk jenis
kelamin laki-laki sebesar 9.50% dan perempuan 6.40%. Hasil Riskesdas tahun
2010 menunjukkan prevalensi kegemukan pada remaja usia 13-15 tahun yang
berjenis kelamin laki-laki sebesar 2.90% dan perempuan 2.00%, dan untuk usia
16-18 tahun masing-masing sebesar 1.30% dan 1.50% (Balitbangkes 2011).
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa kejadian prevalensi
overweight pada kelompok usia 16-18 tahun sebesar 7.30%, kelompok usia 19
tahun sebesar 8.30%, dan kelompok usia 20-24 tahun sebesar 13.20%, sehingga
total kejadian overweight pada kelompok usia 16-24 tahun sebesar 28.80%.
Prevalensi obesitas sentral menurut usia 15-24 tahun sebesar 10.80% dan kejadian
obesitas sentral pada perempuan (42.10%) lebih banyak dibandingkan dengan
laki-laki (11.30%). Persentase kejadian overweight jika dibedakan berdasarkan
jenis kelamin berdasarkan kelompok umur 19-24 tahun yaitu sebanyak 17.80%
laki-laki dan sebanyak 25.90% perempuan mengalami overweight (Balitbangkes
2013).
Tingkat stress dan pengendaliaannya
Remaja akhir merupakan tahap perkembangan yang akan memasuki masa
dewasa. Pada masa ini remaja mengalami suatu kondisi yang disebut dengan
periode “storm & stress” (Bakrie 2010). Perubahan kondisi fisiologis dan
perkembangan berupa peningkatan kadar hormon mengakibatkan mahasiswa labil
dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya. Mahasiswa
cenderung terlihat kurang berpengalaman dalam menyelesaikan masalah (Tobroni
2010). Oleh karena itu, mahasiswa cenderung lebih mudah mengalami stress.
Womble (2001) menyatakan bahwa stressor akademik meliputi manajemen waktu,
masalah finansial, gangguan tidur dan aktivitas sosial. Stress yang berkepanjangan
yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan penurunan kemampuan untuk
beradaptasi terhadap stress (Potter & Perry 2005). Kondisi tersebut dapat memicu
timbulnya masalah-masalah kesehatan pada individu.
Tingkatan stress di bagi menjadi lima bagian antara lain: (1) stress normal
yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah dari kehidupan.
Seperti dalam situasi: kelelahan mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian,
merasakan detak jantung berdetak lebih keras setelah aktivitas (Crowford &

10

Henry 2003); (2) stress ringan adalah stressor yang dihadapi secara teratur yang
dapat berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur,
kemacetan atau dimarahi dosen. Stressor ini dapat menimbulkan gejala meliputi
bibir sering kering, kesulitan bernafas, kesulitan menelan, merasa goyah, merasa
lemas, berkeringat berlebihan ketika temperatur tidak panas, takut tanpa alasan
yang jelas, menyadari denyut jantung walaupun tidak setelah melakukanaktivitas
fisik, tremor pada tangan dan merasa sangat lega jika situasi berakhir; (3) stress
sedang terjadi lebih lama, antara beberapa jam sampai beberapa hari. Stressor
menimbulkan gejala meliputi mudah marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu
situasi, sulit untuk beristirahat, merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika
mengalami penundaan dan menghadapi gangguan, mudah tersinggung, gelisah;
(4) stress berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu
sampai tahun seperti perselisihan dengan dosen atau teman secara terus-menerus,
kesulitan financial yang berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang; (5)
stress sangat berat