Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Harga Dan Integrasi Harga Olein.
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA DAN
INTEGRASI HARGA OLEIN
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Faktor yang
Mempengaruhi Harga dan Integrasi Harga Olein adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Desak Putu Ristami Paramita
NIM. H151137194
RINGKASAN
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA. Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Harga dan Integrasi Harga Olein. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO
dan NOER AZAM ACHSANI.
Produksi olein meningkat sebesar 107.5 persen dari tahun 2002-2013 dan
terjadi perubahan pola konsumsi dimana konsumsi olein untuk ekspor sekitar 39
persen pada tahun 2002 sedangkan pada tahun 2013, 65 persen konsumsi
ditujukan untuk ekspor. Awal tahun 2008, terjadi kenaikan harga olein
dikarenakan adanya krisis keuangan global. Akhir tahun 2008, harga olein
kembali turun tetapi sejak saat itu terjadi fluktuasi harga hingga akhir 2014.
Banyak faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga seperti variabel makroekonomi
dan mikroekonomi. Pelaku pasar komoditi perlu mengambil tindakan akibat
fluktuasi harga dengan ikut serta dalam perdagangan berjangka komoditi.
Perdagangan berjangka komoditi olein di Indonesia belum berkembang dengan
baik. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah transaksi kontrak berjangka olein di
Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) masih kecil dan mengakibatkan
pelaku usaha belum menggunakan harga komoditi di bursa ini sebagai harga
acuan. Pelaku justru melihat harga dari bursa Rotterdam untuk melakukan
transaksi jual beli. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga olein dan menganalisis
integrasi harga olein.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber
seperti Bank Indonesia, BKDI, International Financial Statistics, Kementerian
Perdagangan, dan World Bank dari Juni 2005 sampai dengan Desember 2014.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Error Correction
Model (VECM) dan variabel yang digunakan seperti nilai tukar, suku bunga,
jumlah uang beredar, harga minyak bumi, harga Crude Palm Oil (CPO) dunia,
GDP Indonesia, variabel dummy sebelum dan sesudah adanya kontrak berjangka
olein di BKDI, harga olein Jakarta, harga futures olein BKDI, dan harga olein
Rotterdam.
Hasil analisis menunjukkan bahwa harga minyak dunia, harga CPO dunia,
dan GDP Indonesia dalam jangka pendek mempengaruhi harga olein, sedangkan
nilai tukar, suku bunga, jumlah uang beredar, harga CPO dunia, dan GDP
Indonesia dalam jangka panjang mempengaruhi harga olein. Hasil ini dapat
dijadikan pertimbangan bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi jual beli
komoditi sehingga pelaku pasar dapat mengurangi resiko yang terjadi akibat
adanya fluktuasi harga komoditi. Berdasarkan metode yang digunakan, terjadi
integrasi antara harga fisik, harga futures, dan harga acuan dunia dalam jangka
panjang, sedangkan dalam jangka pendek tidak terjadi integrasi harga sehingga
apabila ada perubahan harga di salah satu pasar tidak langsung ditransmisikan
terhadap harga di pasar lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasar olein Indonesia
belum bekerja secara efisien dan efektif. Hasil ini dapat dijadikan pertimbangan
bagi pemerintah dalam mengatur dan mengelola komoditi olein sehingga harga
olein yang terbentuk di pasar fisik dan futures Indonesia dapat dijadikan acuan
bagi pelaku usaha komoditi olein.
Kata kunci: Faktor yang Mempengaruhi, Integrasi Harga, Olein, VECM
SUMMARY
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA. Analysis of Factors Affecting Price and
Price Integration of Olein. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and NOER
AZAM ACHSANI.
Olein production increased by 107.5 percent from 2002 to 2013. There
was a change in consumption patterns where the consumption of olein intended
for export has risen from only 39 percent in 2002 to 65 percent in 2013. In the
beginning of 2008, olein prices increased due to the global financial crisis. In the
end of 2008, olein prices decreased but since then olein prices fluctuations until
the end of 2014. Many factors affecting the price fluctuations such as
macroeconomic and microeconomic variables. Commodity market participants
need to take action in response to price fluctuations by participating in commodity
futures trading. Olein futures trading commodity in Indonesia is not well
developed. This is indicated by small volumes of the transaction of olein futures
contracts in Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) causing
market participants to not using ICDX futures prices as a reference. The
participants actually use the price of the Rotterdam exchange for their transactions
of buying and selling. Therefore, this study aims to analyze factors influencing
olein prices and analyze olein prices integration.
The data used in this study was obtained from various sources such as
Bank Indonesia, ICDX, International Financial Statistics, Ministry of Trade, and
World Bank from June 2005 to December 2014. This study uses Vector Error
Correction Model (VECM) and incorporates variables such as exchange rates,
interest rates, money supply, oil prices, Crude Palm Oil (CPO) prices, GDP of
Indonesia, dummy variables representing the period of before and after the futures
contract olein in ICDX, the price of olein in Jakarta, ICDX olein futures prices,
and the Rotterdam olein prices.
Results showed that oil prices, CPO prices, and Indonesia's GDP in the
short term affect olein prices whereas in the long term, exchange rates, interest
rates, money supply, CPO prices, and Indonesia's GDP influence olein prices.
These results can be taken into consideration for market participants in buying and
selling commodities so that they can reduce risks that occurs due to commodity
price fluctuations. Based on the method used, there is an integration between the
physical prices, futures prices, and world reference prices in the long term, while
in the short term the price integration does not occur implying that if there is a
change in prices in one market, such a change is not directly transmitted to the
prices in other markets. This shows that the market of olein in Indonesia has not
been working efficiently and effectively. This result can be used as a
consideration for the government to regulate and manage olein commodity so that
olein prices formed in the physical market and futures Indonesia can be a
reference for the business of olein commodity.
Keywords: Factors Affecting Price, Olein, Price Integration, VECM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA DAN
INTEGRASI HARGA OLEIN
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa melimpahkan rahmatNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Penelitian dengan tema harga komoditi yang dilaksanakan sejak bulan November
2014 ini berjudul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Harga dan Integrasi
Harga Olein”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu demi terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Nunung
Nuryartono, M.Si dan Prof. Dr. Noer Azam Achsani selaku komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian
ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para pengelola Program
Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah
berbagi ilmu kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Progran Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada orang tua, suami, anak, dan adik tercinta yang
telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah
kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2 yang telah membantu dan
memberikan semangat hingga selesainya tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Desak Putu Ristami Paramita
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Tinjauan Empiris
Hipotesis Penelitian
Alur Pemikiran
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Model Penelitian
Definisi Operasional
4 GAMBARAN UMUM
Olein
Produksi Olein
Konsumsi Olein
Ekspor Olein
Impor Olein
Penyebaran Perusahaan Olein
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Perkembangan Variabel
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Harga Olein
Analisis Integrasi Harga Olein
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
1
1
3
4
4
4
5
5
12
14
15
17
17
17
21
22
25
25
25
27
28
28
28
31
31
36
43
51
51
51
53
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Perkembangan pangsa konsumsi minyak nabati dunia
Transaksi kontrak berjangka komoditi di BKDI dari 2009 - 2014
Variabel, periode, satuan dan sumber data
Definisi operasional
Produksi kelapa sawit menurut propinsi di Indonesia
Ekspor olein Indonesia
Impor olein Indonesia
Perusahaan industri olein di Indonesia
Hasil pengujian akar unit tingkat level dan first difference faktor yang
mempengaruhi harga olein
Hasil pengujian kointegrasi faktor yang mempengaruhi harga olein
Hasil estimasi VECM jangka pendek faktor yang mempengaruhi
harga olein
Hasil estimasi VECM jangka panjang faktor yang mempengaruhi
harga olein
Hasil granger causality faktor yang mempengaruhi harga olein
Hasil pengujian akar unit tingkat level dan first difference integrasi
harga olein
Hasil pengujian kointegrasi integrasi harga olein
Hasil estimasi VECM jangka panjang integrasi harga olein
Hasil estimasi VECM jangka pendek integrasi harga olein
Hasil granger causality integrasi harga olein
1
2
17
23
26
28
28
29
36
37
38
39
42
44
45
45
46
48
DAFTAR GAMBAR
Pergerakan harga olein dari Januari 2000 – Desember 2014
Alur pemikiran
Perkembangan produksi olein Indonesia
Perkembangan konsumsi olein Indonesia
Perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar
Perkembangan suku bunga
Perkembangan jumlah uang beredar
Perkembangan harga minyak dunia
Perkembangan harga CPO dunia
Perkembangan GDP Indonesia
Perkembangan harga olein
Perkembangan harga futures olein
Perkembangan harga acuan olein
Respon harga olein terhadap guncangan nilai tukar, suku bunga, jumlah
uang beredar, harga minyak dunia, harga CPO, dan GDP
15 Hasil FEVD faktor yang mempengaruhi harga olein
16 Respon guncangan harga di pasar acuan olein terhadap pasar fisik
Indonesia
17 Respon guncangan harga di pasar acuan olein terhadap pasar futures
Indonesia
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
2
15
27
27
31
32
32
33
33
34
34
35
35
41
43
47
48
18 Hasil FEVD integrasi harga olein di pasar fisik Indonesia
19 Hasil FEVD integrasi harga olein di pasar futures Indonesia
49
49
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Uji akar unit faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji stabilitas VAR faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji lag optimal faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji kointegrasi faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis VECM faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis IRF faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis granger causality faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis FEVD faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji akar unit integrasi harga olein
Uji stabilitas VAR integrasi harga olein
Uji lag optimal integrasi harga olein
Uji kointegrasi integrasi harga olein
Analisis VECM integrasi harga olein
Analisis IRF integrasi harga olein
Analisis granger causality integrasi harga olein
Analisis FEVD integrasi harga olein
57
61
62
62
64
65
67
67
68
70
70
71
72
73
74
75
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah di
berbagai sektor termasuk sektor perkebunan. Menurut Kementerian
Pertanian/Kementan (2014), produksi kelapa sawit Indonesia 21 958 120 ton di
tahun 2010 dan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 8.41
persen sehingga produksi di tahun 2014 sebesar 29 344 479 ton dan menempatkan
Indonesia sebagai produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia.
Berdasarkan data World Bank (2014), jumlah penduduk dunia telah
mencapai 7 260 652 000 jiwa sedangkan penduduk Indonesia berjumlah
254 455 000 jiwa (3.5 persen dari total penduduk dunia) dan menempati urutan
keempat terbesar di dunia setelah Tiongkok (1 364 270 000 jiwa), India
(1 295 292 000 jiwa), dan Amerika Serikat (318 857 000 jiwa). Rata-rata Gross
Domestic Product (GDP) per kapita Indonesia sebesar US $ 3 492 per tahun dan
rata-rata GDP per kapita dunia sebesar US $ 14 938 per tahun. Semakin
meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan dunia dan disertai peningkatan
GDP per kapita akan berdampak pada peningkatan konsumsi termasuk
peningkatan konsumsi minyak nabati. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia/GAPKI (2014), konsumsi minyak nabati dunia dari tahun 19802014 meningkat 8.4 kali lipat menjadi 151 618 000 000 ton. Peningkatan
konsumsi minyak nabati tersebut berdampak pada perubahan pola konsumsi
minyak nabati dunia dimana saat ini pangsa minyak sawit menduduki pangsa
terbesar yaitu 41 persen dari total konsumsi minyak nabati dan mengungguli
dominasi minyak kedelai dengan share dunia sebesar 32 persen, minyak bunga
matahari sebesar 10 persen dan minyak rappa sebesar 17 persen. Salah satu
penyebab perubahan konsumsi minyak sawit tersebut adalah perubahan konsumsi
pada produk turunan minyak sawit yaitu olein.
Tabel 1 Perkembangan pangsa konsumsi minyak nabati dunia (persen)
Jenis Minyak
1965
1980
2014
Minyak Kedelai
60
55
32
Minyak Sawit
15
21
41
Minyak Bunga Matahari
0
10
10
Minyak Rappa
25
14
17
Sumber : GAPKI, 2014
Refined Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein) atau yang
lebih dikenal minyak goreng (yang selanjutnya disebut olein) merupakan salah
satu produk olahan kelapa sawit. Komoditi ini telah mengalami proses industri
yaitu proses pembentukan dari buah menjadi minyak sehingga mempunyai nilai
tambah. Sebagai salah satu produk turunan dari kelapa sawit, produksi olein
sangat tergantung dari produksi kelapa sawit. Menurut GAPKI (2014), terjadi
peningkatan produksi olein sebesar 107.5 persen dari tahun 2002 sampai dengan
2013 dan terjadi perubahan pola konsumsi dimana konsumsi olein untuk
kebutuhan dalam negeri sekitar 61 persen dan konsumsi olein untuk ekspor sekitar
2
39 persen pada tahun 2002 sedangkan pada tahun 2013, 65 persen konsumsi
ditujukan untuk ekspor dan 35 persen ditujukan untuk konsumsi dalam negeri.
14,000
12,000
Rp/Kg
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
0
Periode
Sumber : Perdagangan Dalam Negeri (PDN), 2014
Gambar 1 Pergerakan harga olein dari Januari 2000 sampai dengan Desember
2014
Berdasarkan Gambar 1, terjadi kenaikan harga yang tajam di awal tahun
2008. Mendekati akhir tahun 2008, harga olein kembali turun tetapi sejak saat itu
terjadi fluktuasi harga hingga akhir 2014.
Pelaku pasar komoditi dalam negeri maupun luar negeri perlu mengambil
tindakan akibat adanya fluktuasi harga komoditi. Salah satu cara yang dapat
dilakukan dengan ikut serta dalam perdagangan berjangka komoditi (PBK). PBK
di Indonesia sudah dilindungi oleh Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 1997
yang kemudian diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 2011. PBK di Indonesia
sudah ada sejak tahun 2000 dengan satu bursa yaitu Bursa Berjangka Jakarta
(BBJ). Tahun 2007, ada satu bursa lagi yang ikut meramaikan industri ini yaitu
Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI).
Tabel 2 Transaksi kontrak berjangka komoditi di BKDI dari 2009 sampai dengan
2014 (lot)
Kontrak
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Berjangka
CPOTR
- 193 563 771 979 817 143 795 296 605 279
OLEINTR
1 542
4 374
1 963
588
GOLDGR
3 831
23 285
12 873
6 443
84 477
66 707
GOLDID
7 063
4 867
605
949
GOLDUD
79 366 113 904
48 686
3 402
PAMPGRID
3 578
PAMPKGUD
1 473
Sumber : Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), 2014
Sebagai bursa berjangka komoditi kedua di Indonesia, BKDI telah
memperdagangkan tujuh kontrak berjangka komoditi yaitu minyak sawit dengan
kode kontrak CPOTR, olein dengan kode kontrak OLEINTR, emas dengan kode
3
kontrak GOLDGR, GOLDID, GOLDUD, PAMPGRID, dan PAMPKGUD. Dari
data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa jumlah transaksi kontrak berjangka olein di
bursa ini masih kecil dibandingkan jumlah transaksi di bursa berjangka yang ada
di luar negeri. Dalian Commodity Exchange (DCE) yang merupakan bursa
berjangka komoditi di Tiongkok yang telah memperdagangkan kontrak berjangka
olein. Tahun 2014, jumlah transaksi olein di DCE mencapai 159 992 776 lot
(DCE, 2014). Masih kecilnya jumlah transaksi kontrak berjangka olein di BKDI
mengakibatkan pelaku usaha komoditi belum menggunakan harga komoditi di
bursa ini sebagai harga acuan.
Perumusan Masalah
Tatanan perekonomian dunia telah diubah akibat adanya gejolak krisis
keuangan global tahun 2008. Krisis global ini berawal di Amerika Serikat pada
tahun 2007 dan semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia termasuk
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang menganut prinsip
perekonomian terbuka. Dampak krisis ini mulai terlihat pada kuartal keempat
tahun 2008 dimana pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh sebesar 6.1 persen
sedangkan pada kuartal ketiga tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat
tumbuh sebesar 6.1 persen (Bank Indonesia/BI, 2008).
Penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di berbagai sektor. Sektor
perkebunan sebagai salah satu sektor yang ikut andil dalam penurunan
pertumbuhan ekonomi. Negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang mengalami penurunan kemampuan
keuangan. Konsekuensinya permintaan berbagai macam barang kebutuhan
masyarakat menurun termasuk kelapa sawit dan produk turunannya. Akibat
menurunnya permintaan di pasar ekspor mengakibatkan harga berbagai produk
unggulan ekspor nasional mengalami penurunan cukup drastis dalam beberapa
bulan terakhir di tahun 2008 (Kementerian Perindustrian/Kemenperin, 2008).
Selain itu, Drajat (2011) mengemukakan bahwa ada ancaman yang serius bagi
kelangsungan perkebunan di Indonesia yang diakibatkan krisis finansial global
yang tidak terkendali dalam jangka pendek dan yang mengarah ke resesi global.
Sebagai contoh, dalam jangka pendek harga komoditi olein menurun dari
Rp 12 484 per kilogram pada Maret 2008 turun sampai dengan Rp 7 300 per
kilogram pada November 2008.
Saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam
mempertahankan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi kelapa sawit
dan produk turunannya. Berbagai perubahan akan terjadi baik di pasar dalam
negeri maupun pasar dunia, diantaranya adalah fluktuasi harga. Banyak faktor
yang mempengaruhi fluktuasi harga komoditi seperti variabel makroekonomi dan
mikroekonomi (Frankel dan Rose, 2010).
Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia tetapi
sampai saat ini Indonesia belum bisa menjadi negara patokan untuk harga
komoditi termasuk harga olein. Harga futures OLEINTR BKDI dan harga olein di
pasar fisik Jakarta tidak dijadikan acuan oleh dunia atau Indonesia sendiri dalam
melakukan transaksi jual beli olein. Pelaku justru melihat harga dari bursa
berjangka luar negeri seperti pada bursa berjangka Rotterdam. Pelaku pasar yakin
4
bahwa harga yang terbentuk di bursa tersebut merefleksikan pasar sebenarnya
sehingga dijadikan acuan bagi pelaku komoditi seperti petani, pedagang, dan
pengusaha dalam menjual maupun membeli komoditi olein.
Menurut UU No. 32 Tahun 1997 yang telah diamandemen dengan UU No.
10 Tahun 2011, tujuan diselenggarakan perdagangan berjangka komoditi sebagai
sarana lindung nilai (hedging) dan sarana pembentukan harga (price discovery).
Perdagangan berjangka komoditi yang terjadi di bursa dalam negeri Indonesia
belum bisa mensejajarkan fungsinya seperti bursa berjangka luar negeri sehingga
tujuan pembentukan harga seperti yang teruang secara implisit dalam Renstra
Kementerian Perdagangan 2009-2014 belum dapat tercapai.
Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan permasalahan yang menjadi
fokus penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga olein?
2. Bagaimana integrasi harga olein antara pasar fisik dalam negeri, pasar futures
dalam negeri, dan pasar acuan dunia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
melalui penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga olein.
2. Menganalisis hubungan integrasi harga olein antara pasar fisik dalam negeri,
pasar futures dalam negeri, dan pasar acuan dunia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
faktor yang mempengaruhi harga dan integrasi harga olein. Bagi pemerintah dapat
menjadi masukan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil khususnya
dalam kebijakan yang terkait dengan harga olein. Bagi penulis penelitian ini
diharapkan dapat memperdalam ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan
dalam bidang perekonomian. Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan acuan
untuk penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini lebih difokuskan dengan melihat faktor yang mempengaruhi
harga olein dan melihat integrasi harga olein. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah harga olein di Jakarta, nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar,
suku bunga, jumlah uang beredar, harga minyak dunia, harga CPO dunia, GDP
Indonesia, harga futures olein di BKDI, dan harga olein di Rotterdam. Data yang
digunakan adalah data bulanan dari Juli 2005 sampai dengan Desember 2014.
Data dianalisis dengan menggunakan metode VECM.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Harga
Harga merupakan sinyal utama yang menjadi arah bagi pengambilan
keputusan pelaku baik produsen dan konsumen dalam pasar. Menurut Kohls dan
Uhl (2002), harga merupakan hasil dari interaksi antara permintaan dan
penawaran yang berlangsung pada pasar yang bersaing sempurna. Harga suatu
barang yang diperjualbelikan ditentukan dengan melihat keseimbangan dalam
suatu pasar. Keseimbangan pasar tersebut terjadi bila jumlah barang yang
ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta (Sukirno, 2012).
Harga pasar tidak terbentuk secara otomatis akan tetapi melalui suatu
proses mekanisme pasar yakni tarik menarik antara kekuatan pembeli dengan
permintaannya dan kekuatan penjual dengan penawarannya. Harga merupakan
suatu hal yang penting dan menarik bagi para penjual maupun bagi para pembeli
di pasar. Harga juga merupakan tanda atau sinyal yang mengarahkan keputusan
ekonomi dalam melakukan alokasi terhadap sumber daya yang langka. Jadi jika
terjadi fluktuasi harga di suatu pasar dan dapat segera ditangkap oleh pasar lain
maka perubahan tersebut dapat digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan
keputusan harga bagi produsen. Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu
pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh
produsen untuk memperoleh keuntungan maksimum dan penentu tingkat
permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson,
2000).
Cara yang dapat digunakan dalam penentuan harga komoditi tertentu
dalam pasar adalah melalui analisis permintaan dan penawaran. Kurva permintaan
dan penawaan pasar merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam
analisis tersebut.
Menurut Baye (2010), kurva yang menggambarkan jumlah total barang
yang diinginkan dan dapat dibeli oleh konsumen pada setiap tingkat harga yang
mungkin, dengan asumsi harga barang lain yang berkorelasi, pendapatan, iklan,
dan variabel lain tidak berubah adalah kurva permintaan pasar. Sedangkan
hubungan antara harga barang dengan jumlah permintaan bersifat kebalikan
dimana semakin tinggi harga barang maka semakin sedikit jumlah permintaan
terhadap barang tersebut disebut hukum permintaan. Dengan demikian kurva
permintaan mempunyai slope negatif (menurun). Setiap titik pada kurva
permintaan menggambarkan jumlah barang yang diminta pada setiap tingkatan
harga. Perubahan harga akan menyebabkan perubahan kuantitas barang yang
diminta oleh konsumen. Permintaan suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh
harga barang tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perubahan
permintaan seperti iklan, pendapatan, harga barang lain yang berkorelasi, populasi
penduduk, dan harapan penduduk. Perubahan permintaan yang disebabkan oleh
faktor-faktor tersebut dapat menggeser keseluruhan titik pada kurva permintaan.
Apabila terjadi peningkatan permintaan maka kurva akan bergeser ke kanan,
sedangkan apabila terjadi penurunan permintaan maka kurva akan bergeser ke kiri.
6
Sebuah kurva yang menggambarkan jumlah total suatu barang yang akan
diproduksi oleh seluruh produsen dalam pasar yang bersaing pada setiap tingkat
harga, dengan asumsi harga input, teknologi, dan variabel lain yang dapat
mempengaruhi penawaran tidak berubah disebut kurva penawaran pasar (Baye,
2010). Perubahan harga suatu barang akan mengubah jumlah yang ditawarkan,
sebagaimana konsep hukum permintaan, Kenaikan harga barang dan faktor-faktor
lain tetap akan meningkatkan jumlah barang yang ditawarkan atau sebaliknya. Hal
ini dikenal dengan hukum penawaran. Kondisi ini mengakibatkan bentuk kurva
penawaran mempunyai slope positif. Beberapa faktor seperti harga input,
teknologi yang digunakan dalam berproduksi, jumlah perusahaan dalam pasar,
pajak, dan harapan produsen dapat menggeser kurva penawaran. Jika terjadi
kenaikan penawaran maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan, sedangkan
jika terjadi penurunan penawaran maka kurva penawaran akan bergeser ke kiri.
Melalui konsep permintaan dan penawaran dalam pasar dapat disimpulkan bahwa
harga suatu barang pada pasar yang bersaing ditentukan oleh interaksi permintaan
dan penawaran untuk barang tersebut di dalam pasar.
Harga komoditi sangatlah penting untuk dijaga, karena sifat komoditi yang
mudah rusak. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan mempunyai
tugas untuk mengakomodasi dan meminimalisir fluktuasi harga. Harga komoditi
secara umum dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi harga baik dari
sisi permintaan maupun penawaran.
Hubungan Nilai Tukar dan Harga
Nilai tukar adalah perbandingan nilai atau harga mata uang domestik
dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara di mana masing-masing negara
mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai
suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau
kurs (Salvatore, 2008). Nilai tukar dibagi menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal
dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah nilai yang digunakan seseorang saat
menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai
tukar riil adalah nilai tukar yang digunakan seseorang saat menukar barang dan
jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006).
Ketersediaan komoditi tidak hanya dari produksi dalam negeri saja, tetapi
juga berasal dari luar negeri. Ketika nilai tukar Indonesia terapresiasi, maka harga
dunia relatif lebih murah bila dibandingkan dengan harga domestik (Balcombe,
2010), sehingga akan menimbulkan gelombang impor yang akan menyebabkan
peningkatan stok komoditi di pasar domestik. Apabila stok komoditi domestik
berlebih, maka harga komoditi domestik juga akan mengalami penurunan.
Hubungan Suku Bunga dan Harga
Menurut Sukirno (2012), bunga adalah pembayaran atas modal yang
dipinjam dari pihak lain. Bunga yang dinyatakan sebagai persentasi dari modal
dinamakan suku bunga. Esensi tingkat bunga adalah harga yang menghubungkan
masa kini dan masa depan. Tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat
bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan daya beli dengan tingkat
7
bunga riil (riil interest rate). Jika = tingkat bunga nominal, = tingkat bunga riil,
π = inflasi, maka
(Mankiw, 2006).
Suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas monetar
adalah BI Rate. BI Rate merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan
sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
diumumkan kepada publik. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor dalam
perekonomian, Bank Indonesia akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan
diperkirakan melampaui sasaran sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI
Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate secara konsisten
dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps).
Menurut Helbling et al. (2008), tingkat suku bunga merupakan salah satu
faktor yang memberi pengaruh pada harga komoditi. Tingkat suku bunga yang
rendah dapat mendorong permintaan agregat yang akan berdampak pada
peningkatan permintaan komoditi. Adanya peningkatan permintaan komoditi akan
meningkatkan harga komoditi. Selain itu Arango et al. (2012) menyatakan bahwa
suku bunga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi harga komoditi.
Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Harga
Jumlah uang yang tersedia disebut jumlah uang beredar. Dalam
perekonomian yang menggunakan uang sebagai komoditi, jumlah uang beredar
adalah jumlah dari komoditi itu. Sedangkan dalam perekonomian yang
menggunakan uang atas unjuk, seperti sebagian perekonomian dewasa ini,
pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar. Peraturan resmi memberi
pemerintah hak untuk memonopoli percetakan uang. Kontrol atas jumlah uang
beredar disebut kebijakan moneter (Mankiw, 2006). Kebijakan moneter di
Indonesia didelegasikan kepada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Menurut
BI (2014), uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2). M1
meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro
berdenominasi Rupiah), sedangkan M2 meliputi M1, uang kuasi (mencakup
tabungan, simpanan berjangka dalam Rupiah dan valas, serta giro dalam valuta
asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki
sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.
Menurut Ahsan et al. (2011), jumlah uang beredar adalah proxy
permintaan uang. Masyarakat menuntut lebih banyak uang untuk membeli barang.
Semakin banyak permintaan uang akan meningkatkan konsumsi sehingga harga
barang akan meningkat.
Hubungan GDP dengan Harga
GDP atau produk domestik bruto dapat diartikan sebagai nilai barang dan
jasa akhir yang diproduksi oleh suatu negara. Mankiw (2006) menjelaskan bahwa
GDP terbagi menjadi dua, yaitu GDP nominal dan GDP riil. GDP nominal adalah
nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga berlaku sedangkan GDP riil
merupakan nilai barang dan jasa yang diukur dengan menggunakan harga konstan.
GDP riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika
jumlah berubah tetapi harga tidak.
8
Menurut Frankel dan Rose (2010), kegiatan ekonomi sebagai penentu hasil
karena mendorong transaksi barang. Kegiatan ekonomi yang tinggi memiliki efek
positif pada peningkatan permintaan. Selanjutnya peningkatan permintaan akan
meningkatkan harga. Kegiatan ekonomi yang diproxy dengan GDP merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi harga. Ketika GDP meningkat maka
permintaan akan meningkat sehingga harga komoditi meningkat.
Hubungan Harga Minyak Bumi dan Harga
Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi yang memegang
peranan penting bagi kehidupan manusia. Salah satu kegunaan dari minyak bumi
sebagai minyak bakar yang merupakan sumber energi utama dunia. Konsumsi
minyak dunia terus menerus mengalami kenaikan sejak adanya revolusi industri di
Inggris pada abad 17.
Menurut Hartoyo et al. (2011), kenaikan harga minyak bumi akan
menyebabkan ekspor CPO Indonesia meningkat karena CPO digunakan sebagai
bahan baku biofuel. Kenaikan permintaan CPO tersebut berdampak pada
penurunan ketersediaaan minyak goreng sawit Indonesia. Karena ketersediaaan
minyak goreng menurun maka harga minyak goreng akan naik. Arianto et al.
(2010) menyatakan bahwa ada pengaruh harga minyak bumi dengan harga
minyak nabati dalam jangka panjang. Sedangkan Arshad dan Hameed (2012)
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pergerakan harga CPO
adalah harga minyak bumi.
Hubungan Harga CPO dan Harga
CPO merupakan barang input dalam proses pembuatan olein. Sehingga
harga CPO ikut mempengaruhi harga olein. Menurut teori penawaran, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran barang, salah satunya adalah
harga barang input. Semakin rendah harga barang input, semakin mendorong
produsen untuk memproduksi barang lebih banyak pada setiap tingkat harga.
Sebaliknya, harga barang input yang semakin tinggi menyebabkan keuntungan
produsen menurun dan sebagai akibatnya, penawaran menurun pada setiap tingkat
harga. Akibat penurunan penawaran maka harga barang akan meningkat.
Integrasi Harga
Integrasi harga atau yang lebih sering disebut dengan integrasi pasar dapat
diartikan sebagai hubungan yang terjadi antar pasar dua atau lebih negara dimana
jika salah satu pasar mengalami shocks akan memberikan pengaruh yang positif
atau negarif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Integrasi pasar merupakan keterpaduan diantara beberapa pasar yang
memiliki korelasi harga tinggi. Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan
bahwa pasar berintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih
pasar yang terpisah, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi
dengan harga di pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar
secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar lain, baik dalam jangka pendek
atau jangka panjang.
9
Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
efisiensi pasar. Pasar akan berjalan secara efisien jika memanfaatkan semua
informasi yang tersedia. Informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar
pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan
pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar mengakibatkan harga dari
komoditi tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi
ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan indikator efisiensi
sistem pemasaran (Heytens, 1986). Pengetahuan tentang integrasi pasar akan
dapat bermanfaat untuk mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap
perubahan harga sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan secara tepat
dan cepat. Dua buah pasar yang terintegrasi akan membentuk harga
kesetimbangan yang berkaitan secara langsung. Jika perdagangan terjadi pada dua
wilayah dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah
yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar
tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986).
Terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan
memperhatikan faktor sebagai berikut : Rifin dan Nurdiyani (2007)
1. Segmentasi pasar
Pasar dikatakan tidak terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di
pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap
harga di pasar domestik. Dengan demikian, diharapkan dengan
terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik
dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan.
2. Integrasi jangka pendek
Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga
yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam
harga di pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek
lag pada harga dimasa yang akan datang.
Hubungan Harga Futures dan Harga Fisik
Harga berjangka (futures price) merupakan harga yang terjadi di bursa
berjangka pada waktu tertentu dan penyerahan di kemudian hari. Harga terbentuk
dari harapan-harapan para pelaku bursa komoditi berdasarkan prediksi permintaan
dan penawaran suatu komoditi di berbagai produsen dan konsumen komoditi yang
bersangkutan. Harga berjangka merupakan harga kontrak futures yaitu sebuah
kontrak berjangka yang sifat mengikat baik kedua belah pihak untuk membeli
ataupun menjual suatu aset finansial maupun non finansial tertentu yang
penyerahannya dilakukan secara fisik atau cash settlement di masa yang akan
datang, dengan harga yang ditetapkan sekarang (Bappebti, 2012).
Harga fisik dan harga berjangka mempunyai hubungan saling
mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah
dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi.
Pergerakan searah itu yang dijadikan oleh hedger untuk melindungi perdagangan
komoditi di pasar fisik dengan cara mengambil posisi yang berlawanan antara
pasar fisik dan berjangka.
Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut
tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap
10
perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga untuk
pasar fisik. Harga berjangka akan terpengaruh kuat oleh harga fisik bila
penyerahan hampir jatuh tempo, otomatis harga berjangka mencerminkan harga
fisik. Sedangkan bila waktu penyerahan lebih lama maka harga fisik tidak terlalu
berpengaruh karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga fisik saat ini belum
tentu berlaku di kemudian hari.
Perdagangan Berjangka Komoditi
Menurut UU No. 32 Tahun 1997 j.o UU No. 10 Tahun 2011, perdagangan
berjangka komoditi adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan jual beli
komoditi dengan penarikan margin dan dengan penyelesaian kemudian
berdasarkan kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah dan atau kontrak
derivatif lainnya.
Selain itu, perdagangan berjangka komoditi merupakan sarana
perdagangan yang dapat dimanfaatkan dunia usaha termasuk petani dan UMKM
untuk mengamankan kepentingan mereka dari kemungkinan terjadinya kerugian
akibat fluktuasi harga. PBK selain sebagai sarana pengelolaan risiko, juga
berfungsi sebagai sarana terbentuknya harga (price discovery) yang efektif dan
transparan sehingga informasi harga yang terbentuk dapat digunakan sebagai
referensi berbagai pihak (Purnomo et al., 2013).
Kegiatan PBK di Indonesia mulai banyak dilakukan pada tahun 2000-an
meskipun studi tentang PBK sudah dimulai sejak tahun 1980-an. PBK tergolong
sektor usaha kompleks yang meskipun memiliki potensi keuntungan besar, namun
juga diiringi risiko yang besar (high risk high return). PBK dalam bentuk
perdagangan derivatif kontrak berjangka mengandung unsur spekulasi yang
sangat tinggi sehingga tidak disarankan bagi investor yang belum berpengalaman.
Risiko yang sering terjadi adalah risiko pemasaran (risiko harga), produksi,
distribusi, dan pengolahan. Hal yang paling sulit diprediksi adalah risiko akibat
fluktuasi harga komoditi. Harga komoditi di seluruh dunia cenderung berfluktuasi
akibat alam (cuaca, musim, bencana alam), kondisi sosial politik, kondisi ekonomi.
Pasar berjangka sebagai salah satu jenis pasar yang berbeda dengan pasar
komoditi secara fisik, di pasar berjangka diperdagangkan kontrak berjangka atas
komoditi tertentu yang telah ditetapkan persyaratannya secara standar dalam
kontrak berjangka, antara lain jenis komoditi, mutu, jumlah satuan per kontrak,
bulan penyerahan, tempat penyerahan dan persyaratan penyerahan. Hanya harga
yang tidak ditetapkan dalam kontrak. Harga kontrak berjangka tersebut dijadikan
sebagai objek tawar menawar di pasar berjangka. Karena dalam perdagangan
berjangka yang ditransaksikan adalah kontrak standar, maka para pelaku atau
penjual dan pembeli setiap saat bisa masuk atau keluar secara mudah. Selain itu,
pasar berjangka merupakan sarana pembentukan harga yang transparan dan wajar,
yang mencerminkan kondisi pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari
komoditi yang diperdagangkan. Hal ini memungkinkan, karena transaksi hanya
dilakukan oleh anggota bursa yang mewakili nasabah atau dirinya sendiri. Artinya
antara pembeli dan penjual kontrak berjangka tidak saling kenal secara langsung.
Perdagangan berjangka juga merupakan bentuk lain dari kegiatan investasi
yang diciptakan berdasarkan mekanisme yang terjadi di pasar, yaitu dengan
membentuk pasar di bursa berjangka dari pasar komoditi fisiknya, dengan
11
melakukan transaksi di dua pasar tersebut secara bersamaan dengan posisi yang
berlawanan (jual dan beli) untuk jumlah dan jenis komoditi yang sama. Dengan
demikian, kedua pasar ini akan saling menutupi kerugian yang diderita pada salah
satu pasar. Jadi perdagangan berjangka merupakan suatu bentuk lain kegiatan
yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan dunia usaha sebagai sarana lindung nilai
(hedging) yang sangat efektif untuk mengurangi pengaruh timbulnya resiko
kerugian yang disebabkan karena adanya fluktuasi harga serta berbagai sarana
alternatif investasi bagi pihak yang bermaksud menginvestasikan modalnya di
bursa berjangka.
Kontrak Berjangka
Menurut Batu (2014), kontrak berjangka adalah suatu bentuk kontrak
standar untuk membeli atau menjual komoditi dengan penyelesaian kemudian
dalam jumlah, mutu, jenis, tempat dan waktu penyerahannya telah ditetapkan
terlebih dahulu. Karena bentuknya yang standar itu, maka yang dapat
dinegosiasikan hanya harganya saja. Selain itu, kontrak berjangka adalah
perjanjian standar antara pembeli dan penjual atas komoditi/aset tertentu yang
akan diterima/diserahkan pada yang telah ditetapkan di masa datang (Bappebti,
2012).
Suatu kontrak berjangka dapat menimbulkan kewajiban kepada pemegang
kontrak tersebut untuk melaksanakan pembelian atau penjualan. Kedua belah
pihak harus melaksanakan kewajiban masing-masing pada tanggal penyerahan
atau tanggal penyelesaian akhir. Pada tanggal penyelesaian akhir, pihak penjual
akan menyerahkan komoditi yang dijadikan aset acuan kepada pihak pembeli, dan
sebaliknya pihak pembeli wajib membeli dengan harga penyelesaian yang telah
disepakati dalam kontrak. Harga tertentu yang disepakati pada tanggal awal
kontrak disebut harga kontrak berjangka (futures price). Sedangkan harga dari
aset acuan pada saat tanggal penyerahan disebut dengan istilah harga penyelesaian
(settlement price).
Komoditi yang Dijadikan Subjek Kontrak Berjangka
Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka
yang diperdagangkan di bursa berjangka. Sesuai Pasal 3 UU No. 32 Tahun 1997,
komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka harus ditetapkan dengan
Keputusan Presiden (Keppres). Berdasarkan Pasal 1 Keppres No. 119 Tahun 2001
maka komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka di bursa berjangka
meliputi kopi, minyak kelapa sawit, plywood, karet, kakao, lada, gula pasir,
kacang tanah, kedelai, cengkeh, udang, ikan, bahan bakar minyak, gas alam,
tenaga listrik, emas, batubara, timah, pulpen dan kertas, benang, semen, dan
pupuk.
Adanya UU No. 10 Tahun 2011, pengertian komoditi diperluas menjadi
semua barang jasa, hak, dan kepentingan lainnya, dan setiap derivatif dari
komoditi yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka,
kontrak derivatif syariah, dan/atau kontrak derivatif lainnya. Sesuai Pasal 3 UU
No. 10 Tahun 2011, komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka
cukup diatur berdasarkan Peraturan Kepala Bappebti.
12
Komoditi yang diperdagangkan biasanya memiliki ciri harganya fluktuatif,
memiliki standar mutu tertentu, tersedia dalam jumlah cukup besar dan
diperdagangkan secara bebas di pasar. Penetapan komoditi sebagai subjek kontrak
berjangka merupakan kewenangan Bappebti (Purnomo et al., 2013).
Berdasarkan Peraturan Kepala Bappebti No. 94/BAPPEBTI/PER/04/2012,
komoditi yang dapat dijadikan subyek kontrak berjangka yang dapat
diperdagangkan di bursa berjangka adalah :
a. Di bidang pertanian dan perkebunan : kopi, kelapa sawit, karet, kakao, lada,
mete, cengkeh, kacang tanah, kedelai, jagung dan kopra.
b. Di bidang pertambangan dan energi : emas, timah, alumunium, bahan bakar
minyak, gas alam, tenaga listrik, dan batubara.
c. Di bidang industri : gula pasir, plywood, pulp dan kertas, benang, semen, dan
pupuk.
d. Di bidang perikanan dan kelautan : udang, ikan, dan rumput laut.
e. Di bidang keuangan : mata uang asing.
Tinjauan Empiris
Penelitian tentang harga komoditi telah banyak dilakukan, Nugraheni (2014)
menganalisis volatilitas harga pangan utama Indonesia dan faktor yang
mempengaruhinya. Metode VECM menunjukkan bahwa harga dunia, pendapatan
per kapita, nilai tukar, dan iklim mempengaruhi harga beras dan kedelai. Harga
jagung dipengaruhi oleh harga dunia, nilai tukar, dan iklim. Sedangkan harga gula
pasir dipengaruhi oleh pendapatan per kapita, harga dunia, dan iklim. Elizabeth
(2013) melakukan penelitian tentang perilaku harga spot dan futures olein terkait
variabel makroekonomi dengan menggunakan metode VECM. Hasil
menunjukkan bahwa perubahan variabel nilai tukar riil memberi pengaruh pada
jangka pendek baik terhadap harga spot dan futures terdekat maupun terjauh olein,
sedangkan perubahan tingkat bunga riil dan harga minyak dunia memberi
pengaruh pada jangka panjang terhadap harga spot dan futures terdekat maupun
terjauh olein. Arango et al. (2012) menganalisis faktor yang mempengaruhi harga
50 komoditi dengan menggunakan metode panel. Hasil menunjukkan bahwa suku
bunga berpengaruh negatif terhadap harga komoditi.
Arshad dan Hameed (2012) menganalisis dua faktor utama yang
mempunyai korelasi yang tinggi terhadap pergerakan harga CPO yaitu harga
minyak dan persediaan CPO dengan metode ARDL. Hasil menunjukkan bahwa
dalam jangka pendek dan panjang, harga minyak berpengaruh secara positif
terhadap pergerakan harga CPO. Sedangkan persediaan CPO berpengaruh secara
negatif terhadap harga CPO dalam jangka pendek dan berpengaruh positif dalam
jangka panjang. Ahsan et al. (2011) menganalisis faktor yang mempengaruhi
harga pangan dari sisi permintaan dan penawaran. Metode yang digunakan adalah
ARDL. Berdasarkan analisis yang dilakukan, variabel yang paling signifikan
mempengaruhi harga pangan dalam jangka pendek adalah jumlah uang beredar
dan harga pangan dunia. Pada tahun yang sama, Nazlioglu dan Soytas membahas
saling ketergantungan antara harga minyak, kurs Lira/US Dollar dan harga
komoditi pertanian (gandum, jagung, kedelai, dan bunga matahari) di Turki
dengan pendekatan kausalitas Toda-Yamamoto dan analisis impulse respone.
13
Analisis impulse respon menunjukkan harga pertanian Turki tidak signifikan
bereaksi terhadap harga minyak dan guncangan nilai tukar dalam jangka pendek.
Sedangkan analisis kausalitas jangka panjang menunjukkan bahwa perubahan
harga minyak dan apresiasi/depresiasi Lira Turki tidak ditransmisikan ke harga
komoditi pertanian di Turki.
Balcombe (2010) mengkaji volatilitas harga pertanian dengan
menggunakan panel data. Hasil analisis memperlihatkan bahwa volatilitas harga
minyak dan nilai tukar mempengaruhi harga pertanian. Bastourre et al. (2010)
melakukan analisis harga komoditi dengan menggunakan Dynamic Ordinary
Least Square (DOLS). Hasil menunjukkan bahwa indeks produksi industri, nilai
tukar riil, suku bunga riil, indeks Dow Jones berpengaruh terhadap harga komoditi.
Tahun 2010, Frankel dan Rose menganalisis faktor penentu harga komoditi
pertanian dan mineral dari sisi makroekonomi (GDP dan suku bunga) dan
mikroekonomi (persediaan, measures of uncertainty, dan spot-forward spread)
dengan menggunakan panel data. Hasil menunjukkan bahwa ada dua faktor
makroekonomi memiliki efek positif pada harga tetapi faktor yang tampaknya
memiliki pengaruh paling konsisten dan kuat adalah variabel mikroekonomi
(volatilitas, persediaan, dan spot-forward spread).
Penelitian tentang integrasi harga juga telah banyak dilakukan,
Cahyaningsih (2012) menganalisis integrasi spasial dan vertikal pasar beras di
Indonesia dengan metode VECM. Secara spasial, pada perdagangan beras di
Indonesia terdapat pasar-pasar kunci di Indonesia yaitu pasar di Medan, Semarang,
Pontianak, Surabaya, dan Jakarta. Perubahan harga beras yang terjadi pada pasar
di wilayah tersebut akan menyebabkan perubahan harga beras di wilayah lain.
Secara vertikal, pasar beras dalam negeri tidak terintegrasi dengan pasar beras di
Vietnam dan Thailand dalam jangka panjang. Pasar beras dalam negeri sudah
terintegrasi dengan pasar beras Vietnam dalam jangka pendek namun tidak
terintegrasi dengan pasar beras Thailand, dan pasar beras Vietnam sudah
terintegrasi dengan pasar beras Thailand dalam jangka pendek. Ghafoor dan
Aslam (2012) melakukan penelitian terkait integrasi dan transmisi harga beras di
Pakistan dengan ECM. Hasil analisis menunjukkan bahwa lima pasar beras utama
Pakistan terintegrasi satu sama lain secara keseluruhan. Rachman (2012)
melakukan penelitian integrasi dan transmisi harga pada pasar CPO dan minyak
goreng sawit di Indonesia dengan menggunakan kointegrasi dan VECM. Dari
pengujian kointegrasi, harga CPO internasional dan CPO domestik tidak
terkointegrasi berarti
INTEGRASI HARGA OLEIN
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Faktor yang
Mempengaruhi Harga dan Integrasi Harga Olein adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Desak Putu Ristami Paramita
NIM. H151137194
RINGKASAN
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA. Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Harga dan Integrasi Harga Olein. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO
dan NOER AZAM ACHSANI.
Produksi olein meningkat sebesar 107.5 persen dari tahun 2002-2013 dan
terjadi perubahan pola konsumsi dimana konsumsi olein untuk ekspor sekitar 39
persen pada tahun 2002 sedangkan pada tahun 2013, 65 persen konsumsi
ditujukan untuk ekspor. Awal tahun 2008, terjadi kenaikan harga olein
dikarenakan adanya krisis keuangan global. Akhir tahun 2008, harga olein
kembali turun tetapi sejak saat itu terjadi fluktuasi harga hingga akhir 2014.
Banyak faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga seperti variabel makroekonomi
dan mikroekonomi. Pelaku pasar komoditi perlu mengambil tindakan akibat
fluktuasi harga dengan ikut serta dalam perdagangan berjangka komoditi.
Perdagangan berjangka komoditi olein di Indonesia belum berkembang dengan
baik. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah transaksi kontrak berjangka olein di
Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) masih kecil dan mengakibatkan
pelaku usaha belum menggunakan harga komoditi di bursa ini sebagai harga
acuan. Pelaku justru melihat harga dari bursa Rotterdam untuk melakukan
transaksi jual beli. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga olein dan menganalisis
integrasi harga olein.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber
seperti Bank Indonesia, BKDI, International Financial Statistics, Kementerian
Perdagangan, dan World Bank dari Juni 2005 sampai dengan Desember 2014.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Error Correction
Model (VECM) dan variabel yang digunakan seperti nilai tukar, suku bunga,
jumlah uang beredar, harga minyak bumi, harga Crude Palm Oil (CPO) dunia,
GDP Indonesia, variabel dummy sebelum dan sesudah adanya kontrak berjangka
olein di BKDI, harga olein Jakarta, harga futures olein BKDI, dan harga olein
Rotterdam.
Hasil analisis menunjukkan bahwa harga minyak dunia, harga CPO dunia,
dan GDP Indonesia dalam jangka pendek mempengaruhi harga olein, sedangkan
nilai tukar, suku bunga, jumlah uang beredar, harga CPO dunia, dan GDP
Indonesia dalam jangka panjang mempengaruhi harga olein. Hasil ini dapat
dijadikan pertimbangan bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi jual beli
komoditi sehingga pelaku pasar dapat mengurangi resiko yang terjadi akibat
adanya fluktuasi harga komoditi. Berdasarkan metode yang digunakan, terjadi
integrasi antara harga fisik, harga futures, dan harga acuan dunia dalam jangka
panjang, sedangkan dalam jangka pendek tidak terjadi integrasi harga sehingga
apabila ada perubahan harga di salah satu pasar tidak langsung ditransmisikan
terhadap harga di pasar lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasar olein Indonesia
belum bekerja secara efisien dan efektif. Hasil ini dapat dijadikan pertimbangan
bagi pemerintah dalam mengatur dan mengelola komoditi olein sehingga harga
olein yang terbentuk di pasar fisik dan futures Indonesia dapat dijadikan acuan
bagi pelaku usaha komoditi olein.
Kata kunci: Faktor yang Mempengaruhi, Integrasi Harga, Olein, VECM
SUMMARY
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA. Analysis of Factors Affecting Price and
Price Integration of Olein. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and NOER
AZAM ACHSANI.
Olein production increased by 107.5 percent from 2002 to 2013. There
was a change in consumption patterns where the consumption of olein intended
for export has risen from only 39 percent in 2002 to 65 percent in 2013. In the
beginning of 2008, olein prices increased due to the global financial crisis. In the
end of 2008, olein prices decreased but since then olein prices fluctuations until
the end of 2014. Many factors affecting the price fluctuations such as
macroeconomic and microeconomic variables. Commodity market participants
need to take action in response to price fluctuations by participating in commodity
futures trading. Olein futures trading commodity in Indonesia is not well
developed. This is indicated by small volumes of the transaction of olein futures
contracts in Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) causing
market participants to not using ICDX futures prices as a reference. The
participants actually use the price of the Rotterdam exchange for their transactions
of buying and selling. Therefore, this study aims to analyze factors influencing
olein prices and analyze olein prices integration.
The data used in this study was obtained from various sources such as
Bank Indonesia, ICDX, International Financial Statistics, Ministry of Trade, and
World Bank from June 2005 to December 2014. This study uses Vector Error
Correction Model (VECM) and incorporates variables such as exchange rates,
interest rates, money supply, oil prices, Crude Palm Oil (CPO) prices, GDP of
Indonesia, dummy variables representing the period of before and after the futures
contract olein in ICDX, the price of olein in Jakarta, ICDX olein futures prices,
and the Rotterdam olein prices.
Results showed that oil prices, CPO prices, and Indonesia's GDP in the
short term affect olein prices whereas in the long term, exchange rates, interest
rates, money supply, CPO prices, and Indonesia's GDP influence olein prices.
These results can be taken into consideration for market participants in buying and
selling commodities so that they can reduce risks that occurs due to commodity
price fluctuations. Based on the method used, there is an integration between the
physical prices, futures prices, and world reference prices in the long term, while
in the short term the price integration does not occur implying that if there is a
change in prices in one market, such a change is not directly transmitted to the
prices in other markets. This shows that the market of olein in Indonesia has not
been working efficiently and effectively. This result can be used as a
consideration for the government to regulate and manage olein commodity so that
olein prices formed in the physical market and futures Indonesia can be a
reference for the business of olein commodity.
Keywords: Factors Affecting Price, Olein, Price Integration, VECM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA DAN
INTEGRASI HARGA OLEIN
DESAK PUTU RISTAMI PARAMITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa melimpahkan rahmatNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Penelitian dengan tema harga komoditi yang dilaksanakan sejak bulan November
2014 ini berjudul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Harga dan Integrasi
Harga Olein”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu demi terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Nunung
Nuryartono, M.Si dan Prof. Dr. Noer Azam Achsani selaku komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian
ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para pengelola Program
Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah
berbagi ilmu kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Progran Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada orang tua, suami, anak, dan adik tercinta yang
telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah
kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2 yang telah membantu dan
memberikan semangat hingga selesainya tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Desak Putu Ristami Paramita
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Tinjauan Empiris
Hipotesis Penelitian
Alur Pemikiran
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Model Penelitian
Definisi Operasional
4 GAMBARAN UMUM
Olein
Produksi Olein
Konsumsi Olein
Ekspor Olein
Impor Olein
Penyebaran Perusahaan Olein
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Perkembangan Variabel
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Harga Olein
Analisis Integrasi Harga Olein
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
1
1
3
4
4
4
5
5
12
14
15
17
17
17
21
22
25
25
25
27
28
28
28
31
31
36
43
51
51
51
53
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Perkembangan pangsa konsumsi minyak nabati dunia
Transaksi kontrak berjangka komoditi di BKDI dari 2009 - 2014
Variabel, periode, satuan dan sumber data
Definisi operasional
Produksi kelapa sawit menurut propinsi di Indonesia
Ekspor olein Indonesia
Impor olein Indonesia
Perusahaan industri olein di Indonesia
Hasil pengujian akar unit tingkat level dan first difference faktor yang
mempengaruhi harga olein
Hasil pengujian kointegrasi faktor yang mempengaruhi harga olein
Hasil estimasi VECM jangka pendek faktor yang mempengaruhi
harga olein
Hasil estimasi VECM jangka panjang faktor yang mempengaruhi
harga olein
Hasil granger causality faktor yang mempengaruhi harga olein
Hasil pengujian akar unit tingkat level dan first difference integrasi
harga olein
Hasil pengujian kointegrasi integrasi harga olein
Hasil estimasi VECM jangka panjang integrasi harga olein
Hasil estimasi VECM jangka pendek integrasi harga olein
Hasil granger causality integrasi harga olein
1
2
17
23
26
28
28
29
36
37
38
39
42
44
45
45
46
48
DAFTAR GAMBAR
Pergerakan harga olein dari Januari 2000 – Desember 2014
Alur pemikiran
Perkembangan produksi olein Indonesia
Perkembangan konsumsi olein Indonesia
Perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar
Perkembangan suku bunga
Perkembangan jumlah uang beredar
Perkembangan harga minyak dunia
Perkembangan harga CPO dunia
Perkembangan GDP Indonesia
Perkembangan harga olein
Perkembangan harga futures olein
Perkembangan harga acuan olein
Respon harga olein terhadap guncangan nilai tukar, suku bunga, jumlah
uang beredar, harga minyak dunia, harga CPO, dan GDP
15 Hasil FEVD faktor yang mempengaruhi harga olein
16 Respon guncangan harga di pasar acuan olein terhadap pasar fisik
Indonesia
17 Respon guncangan harga di pasar acuan olein terhadap pasar futures
Indonesia
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
2
15
27
27
31
32
32
33
33
34
34
35
35
41
43
47
48
18 Hasil FEVD integrasi harga olein di pasar fisik Indonesia
19 Hasil FEVD integrasi harga olein di pasar futures Indonesia
49
49
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Uji akar unit faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji stabilitas VAR faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji lag optimal faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji kointegrasi faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis VECM faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis IRF faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis granger causality faktor yang mempengaruhi harga olein
Analisis FEVD faktor yang mempengaruhi harga olein
Uji akar unit integrasi harga olein
Uji stabilitas VAR integrasi harga olein
Uji lag optimal integrasi harga olein
Uji kointegrasi integrasi harga olein
Analisis VECM integrasi harga olein
Analisis IRF integrasi harga olein
Analisis granger causality integrasi harga olein
Analisis FEVD integrasi harga olein
57
61
62
62
64
65
67
67
68
70
70
71
72
73
74
75
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah di
berbagai sektor termasuk sektor perkebunan. Menurut Kementerian
Pertanian/Kementan (2014), produksi kelapa sawit Indonesia 21 958 120 ton di
tahun 2010 dan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 8.41
persen sehingga produksi di tahun 2014 sebesar 29 344 479 ton dan menempatkan
Indonesia sebagai produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia.
Berdasarkan data World Bank (2014), jumlah penduduk dunia telah
mencapai 7 260 652 000 jiwa sedangkan penduduk Indonesia berjumlah
254 455 000 jiwa (3.5 persen dari total penduduk dunia) dan menempati urutan
keempat terbesar di dunia setelah Tiongkok (1 364 270 000 jiwa), India
(1 295 292 000 jiwa), dan Amerika Serikat (318 857 000 jiwa). Rata-rata Gross
Domestic Product (GDP) per kapita Indonesia sebesar US $ 3 492 per tahun dan
rata-rata GDP per kapita dunia sebesar US $ 14 938 per tahun. Semakin
meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan dunia dan disertai peningkatan
GDP per kapita akan berdampak pada peningkatan konsumsi termasuk
peningkatan konsumsi minyak nabati. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia/GAPKI (2014), konsumsi minyak nabati dunia dari tahun 19802014 meningkat 8.4 kali lipat menjadi 151 618 000 000 ton. Peningkatan
konsumsi minyak nabati tersebut berdampak pada perubahan pola konsumsi
minyak nabati dunia dimana saat ini pangsa minyak sawit menduduki pangsa
terbesar yaitu 41 persen dari total konsumsi minyak nabati dan mengungguli
dominasi minyak kedelai dengan share dunia sebesar 32 persen, minyak bunga
matahari sebesar 10 persen dan minyak rappa sebesar 17 persen. Salah satu
penyebab perubahan konsumsi minyak sawit tersebut adalah perubahan konsumsi
pada produk turunan minyak sawit yaitu olein.
Tabel 1 Perkembangan pangsa konsumsi minyak nabati dunia (persen)
Jenis Minyak
1965
1980
2014
Minyak Kedelai
60
55
32
Minyak Sawit
15
21
41
Minyak Bunga Matahari
0
10
10
Minyak Rappa
25
14
17
Sumber : GAPKI, 2014
Refined Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein) atau yang
lebih dikenal minyak goreng (yang selanjutnya disebut olein) merupakan salah
satu produk olahan kelapa sawit. Komoditi ini telah mengalami proses industri
yaitu proses pembentukan dari buah menjadi minyak sehingga mempunyai nilai
tambah. Sebagai salah satu produk turunan dari kelapa sawit, produksi olein
sangat tergantung dari produksi kelapa sawit. Menurut GAPKI (2014), terjadi
peningkatan produksi olein sebesar 107.5 persen dari tahun 2002 sampai dengan
2013 dan terjadi perubahan pola konsumsi dimana konsumsi olein untuk
kebutuhan dalam negeri sekitar 61 persen dan konsumsi olein untuk ekspor sekitar
2
39 persen pada tahun 2002 sedangkan pada tahun 2013, 65 persen konsumsi
ditujukan untuk ekspor dan 35 persen ditujukan untuk konsumsi dalam negeri.
14,000
12,000
Rp/Kg
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
0
Periode
Sumber : Perdagangan Dalam Negeri (PDN), 2014
Gambar 1 Pergerakan harga olein dari Januari 2000 sampai dengan Desember
2014
Berdasarkan Gambar 1, terjadi kenaikan harga yang tajam di awal tahun
2008. Mendekati akhir tahun 2008, harga olein kembali turun tetapi sejak saat itu
terjadi fluktuasi harga hingga akhir 2014.
Pelaku pasar komoditi dalam negeri maupun luar negeri perlu mengambil
tindakan akibat adanya fluktuasi harga komoditi. Salah satu cara yang dapat
dilakukan dengan ikut serta dalam perdagangan berjangka komoditi (PBK). PBK
di Indonesia sudah dilindungi oleh Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 1997
yang kemudian diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 2011. PBK di Indonesia
sudah ada sejak tahun 2000 dengan satu bursa yaitu Bursa Berjangka Jakarta
(BBJ). Tahun 2007, ada satu bursa lagi yang ikut meramaikan industri ini yaitu
Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI).
Tabel 2 Transaksi kontrak berjangka komoditi di BKDI dari 2009 sampai dengan
2014 (lot)
Kontrak
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Berjangka
CPOTR
- 193 563 771 979 817 143 795 296 605 279
OLEINTR
1 542
4 374
1 963
588
GOLDGR
3 831
23 285
12 873
6 443
84 477
66 707
GOLDID
7 063
4 867
605
949
GOLDUD
79 366 113 904
48 686
3 402
PAMPGRID
3 578
PAMPKGUD
1 473
Sumber : Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), 2014
Sebagai bursa berjangka komoditi kedua di Indonesia, BKDI telah
memperdagangkan tujuh kontrak berjangka komoditi yaitu minyak sawit dengan
kode kontrak CPOTR, olein dengan kode kontrak OLEINTR, emas dengan kode
3
kontrak GOLDGR, GOLDID, GOLDUD, PAMPGRID, dan PAMPKGUD. Dari
data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa jumlah transaksi kontrak berjangka olein di
bursa ini masih kecil dibandingkan jumlah transaksi di bursa berjangka yang ada
di luar negeri. Dalian Commodity Exchange (DCE) yang merupakan bursa
berjangka komoditi di Tiongkok yang telah memperdagangkan kontrak berjangka
olein. Tahun 2014, jumlah transaksi olein di DCE mencapai 159 992 776 lot
(DCE, 2014). Masih kecilnya jumlah transaksi kontrak berjangka olein di BKDI
mengakibatkan pelaku usaha komoditi belum menggunakan harga komoditi di
bursa ini sebagai harga acuan.
Perumusan Masalah
Tatanan perekonomian dunia telah diubah akibat adanya gejolak krisis
keuangan global tahun 2008. Krisis global ini berawal di Amerika Serikat pada
tahun 2007 dan semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia termasuk
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang menganut prinsip
perekonomian terbuka. Dampak krisis ini mulai terlihat pada kuartal keempat
tahun 2008 dimana pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh sebesar 6.1 persen
sedangkan pada kuartal ketiga tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat
tumbuh sebesar 6.1 persen (Bank Indonesia/BI, 2008).
Penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di berbagai sektor. Sektor
perkebunan sebagai salah satu sektor yang ikut andil dalam penurunan
pertumbuhan ekonomi. Negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang mengalami penurunan kemampuan
keuangan. Konsekuensinya permintaan berbagai macam barang kebutuhan
masyarakat menurun termasuk kelapa sawit dan produk turunannya. Akibat
menurunnya permintaan di pasar ekspor mengakibatkan harga berbagai produk
unggulan ekspor nasional mengalami penurunan cukup drastis dalam beberapa
bulan terakhir di tahun 2008 (Kementerian Perindustrian/Kemenperin, 2008).
Selain itu, Drajat (2011) mengemukakan bahwa ada ancaman yang serius bagi
kelangsungan perkebunan di Indonesia yang diakibatkan krisis finansial global
yang tidak terkendali dalam jangka pendek dan yang mengarah ke resesi global.
Sebagai contoh, dalam jangka pendek harga komoditi olein menurun dari
Rp 12 484 per kilogram pada Maret 2008 turun sampai dengan Rp 7 300 per
kilogram pada November 2008.
Saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam
mempertahankan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi kelapa sawit
dan produk turunannya. Berbagai perubahan akan terjadi baik di pasar dalam
negeri maupun pasar dunia, diantaranya adalah fluktuasi harga. Banyak faktor
yang mempengaruhi fluktuasi harga komoditi seperti variabel makroekonomi dan
mikroekonomi (Frankel dan Rose, 2010).
Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia tetapi
sampai saat ini Indonesia belum bisa menjadi negara patokan untuk harga
komoditi termasuk harga olein. Harga futures OLEINTR BKDI dan harga olein di
pasar fisik Jakarta tidak dijadikan acuan oleh dunia atau Indonesia sendiri dalam
melakukan transaksi jual beli olein. Pelaku justru melihat harga dari bursa
berjangka luar negeri seperti pada bursa berjangka Rotterdam. Pelaku pasar yakin
4
bahwa harga yang terbentuk di bursa tersebut merefleksikan pasar sebenarnya
sehingga dijadikan acuan bagi pelaku komoditi seperti petani, pedagang, dan
pengusaha dalam menjual maupun membeli komoditi olein.
Menurut UU No. 32 Tahun 1997 yang telah diamandemen dengan UU No.
10 Tahun 2011, tujuan diselenggarakan perdagangan berjangka komoditi sebagai
sarana lindung nilai (hedging) dan sarana pembentukan harga (price discovery).
Perdagangan berjangka komoditi yang terjadi di bursa dalam negeri Indonesia
belum bisa mensejajarkan fungsinya seperti bursa berjangka luar negeri sehingga
tujuan pembentukan harga seperti yang teruang secara implisit dalam Renstra
Kementerian Perdagangan 2009-2014 belum dapat tercapai.
Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan permasalahan yang menjadi
fokus penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga olein?
2. Bagaimana integrasi harga olein antara pasar fisik dalam negeri, pasar futures
dalam negeri, dan pasar acuan dunia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
melalui penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga olein.
2. Menganalisis hubungan integrasi harga olein antara pasar fisik dalam negeri,
pasar futures dalam negeri, dan pasar acuan dunia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
faktor yang mempengaruhi harga dan integrasi harga olein. Bagi pemerintah dapat
menjadi masukan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil khususnya
dalam kebijakan yang terkait dengan harga olein. Bagi penulis penelitian ini
diharapkan dapat memperdalam ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan
dalam bidang perekonomian. Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan acuan
untuk penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini lebih difokuskan dengan melihat faktor yang mempengaruhi
harga olein dan melihat integrasi harga olein. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah harga olein di Jakarta, nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar,
suku bunga, jumlah uang beredar, harga minyak dunia, harga CPO dunia, GDP
Indonesia, harga futures olein di BKDI, dan harga olein di Rotterdam. Data yang
digunakan adalah data bulanan dari Juli 2005 sampai dengan Desember 2014.
Data dianalisis dengan menggunakan metode VECM.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Teori Harga
Harga merupakan sinyal utama yang menjadi arah bagi pengambilan
keputusan pelaku baik produsen dan konsumen dalam pasar. Menurut Kohls dan
Uhl (2002), harga merupakan hasil dari interaksi antara permintaan dan
penawaran yang berlangsung pada pasar yang bersaing sempurna. Harga suatu
barang yang diperjualbelikan ditentukan dengan melihat keseimbangan dalam
suatu pasar. Keseimbangan pasar tersebut terjadi bila jumlah barang yang
ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta (Sukirno, 2012).
Harga pasar tidak terbentuk secara otomatis akan tetapi melalui suatu
proses mekanisme pasar yakni tarik menarik antara kekuatan pembeli dengan
permintaannya dan kekuatan penjual dengan penawarannya. Harga merupakan
suatu hal yang penting dan menarik bagi para penjual maupun bagi para pembeli
di pasar. Harga juga merupakan tanda atau sinyal yang mengarahkan keputusan
ekonomi dalam melakukan alokasi terhadap sumber daya yang langka. Jadi jika
terjadi fluktuasi harga di suatu pasar dan dapat segera ditangkap oleh pasar lain
maka perubahan tersebut dapat digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan
keputusan harga bagi produsen. Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu
pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh
produsen untuk memperoleh keuntungan maksimum dan penentu tingkat
permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson,
2000).
Cara yang dapat digunakan dalam penentuan harga komoditi tertentu
dalam pasar adalah melalui analisis permintaan dan penawaran. Kurva permintaan
dan penawaan pasar merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam
analisis tersebut.
Menurut Baye (2010), kurva yang menggambarkan jumlah total barang
yang diinginkan dan dapat dibeli oleh konsumen pada setiap tingkat harga yang
mungkin, dengan asumsi harga barang lain yang berkorelasi, pendapatan, iklan,
dan variabel lain tidak berubah adalah kurva permintaan pasar. Sedangkan
hubungan antara harga barang dengan jumlah permintaan bersifat kebalikan
dimana semakin tinggi harga barang maka semakin sedikit jumlah permintaan
terhadap barang tersebut disebut hukum permintaan. Dengan demikian kurva
permintaan mempunyai slope negatif (menurun). Setiap titik pada kurva
permintaan menggambarkan jumlah barang yang diminta pada setiap tingkatan
harga. Perubahan harga akan menyebabkan perubahan kuantitas barang yang
diminta oleh konsumen. Permintaan suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh
harga barang tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perubahan
permintaan seperti iklan, pendapatan, harga barang lain yang berkorelasi, populasi
penduduk, dan harapan penduduk. Perubahan permintaan yang disebabkan oleh
faktor-faktor tersebut dapat menggeser keseluruhan titik pada kurva permintaan.
Apabila terjadi peningkatan permintaan maka kurva akan bergeser ke kanan,
sedangkan apabila terjadi penurunan permintaan maka kurva akan bergeser ke kiri.
6
Sebuah kurva yang menggambarkan jumlah total suatu barang yang akan
diproduksi oleh seluruh produsen dalam pasar yang bersaing pada setiap tingkat
harga, dengan asumsi harga input, teknologi, dan variabel lain yang dapat
mempengaruhi penawaran tidak berubah disebut kurva penawaran pasar (Baye,
2010). Perubahan harga suatu barang akan mengubah jumlah yang ditawarkan,
sebagaimana konsep hukum permintaan, Kenaikan harga barang dan faktor-faktor
lain tetap akan meningkatkan jumlah barang yang ditawarkan atau sebaliknya. Hal
ini dikenal dengan hukum penawaran. Kondisi ini mengakibatkan bentuk kurva
penawaran mempunyai slope positif. Beberapa faktor seperti harga input,
teknologi yang digunakan dalam berproduksi, jumlah perusahaan dalam pasar,
pajak, dan harapan produsen dapat menggeser kurva penawaran. Jika terjadi
kenaikan penawaran maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan, sedangkan
jika terjadi penurunan penawaran maka kurva penawaran akan bergeser ke kiri.
Melalui konsep permintaan dan penawaran dalam pasar dapat disimpulkan bahwa
harga suatu barang pada pasar yang bersaing ditentukan oleh interaksi permintaan
dan penawaran untuk barang tersebut di dalam pasar.
Harga komoditi sangatlah penting untuk dijaga, karena sifat komoditi yang
mudah rusak. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan mempunyai
tugas untuk mengakomodasi dan meminimalisir fluktuasi harga. Harga komoditi
secara umum dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi harga baik dari
sisi permintaan maupun penawaran.
Hubungan Nilai Tukar dan Harga
Nilai tukar adalah perbandingan nilai atau harga mata uang domestik
dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara di mana masing-masing negara
mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai
suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau
kurs (Salvatore, 2008). Nilai tukar dibagi menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal
dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah nilai yang digunakan seseorang saat
menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai
tukar riil adalah nilai tukar yang digunakan seseorang saat menukar barang dan
jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006).
Ketersediaan komoditi tidak hanya dari produksi dalam negeri saja, tetapi
juga berasal dari luar negeri. Ketika nilai tukar Indonesia terapresiasi, maka harga
dunia relatif lebih murah bila dibandingkan dengan harga domestik (Balcombe,
2010), sehingga akan menimbulkan gelombang impor yang akan menyebabkan
peningkatan stok komoditi di pasar domestik. Apabila stok komoditi domestik
berlebih, maka harga komoditi domestik juga akan mengalami penurunan.
Hubungan Suku Bunga dan Harga
Menurut Sukirno (2012), bunga adalah pembayaran atas modal yang
dipinjam dari pihak lain. Bunga yang dinyatakan sebagai persentasi dari modal
dinamakan suku bunga. Esensi tingkat bunga adalah harga yang menghubungkan
masa kini dan masa depan. Tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat
bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan daya beli dengan tingkat
7
bunga riil (riil interest rate). Jika = tingkat bunga nominal, = tingkat bunga riil,
π = inflasi, maka
(Mankiw, 2006).
Suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas monetar
adalah BI Rate. BI Rate merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan
sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
diumumkan kepada publik. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor dalam
perekonomian, Bank Indonesia akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan
diperkirakan melampaui sasaran sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI
Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate secara konsisten
dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps).
Menurut Helbling et al. (2008), tingkat suku bunga merupakan salah satu
faktor yang memberi pengaruh pada harga komoditi. Tingkat suku bunga yang
rendah dapat mendorong permintaan agregat yang akan berdampak pada
peningkatan permintaan komoditi. Adanya peningkatan permintaan komoditi akan
meningkatkan harga komoditi. Selain itu Arango et al. (2012) menyatakan bahwa
suku bunga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi harga komoditi.
Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Harga
Jumlah uang yang tersedia disebut jumlah uang beredar. Dalam
perekonomian yang menggunakan uang sebagai komoditi, jumlah uang beredar
adalah jumlah dari komoditi itu. Sedangkan dalam perekonomian yang
menggunakan uang atas unjuk, seperti sebagian perekonomian dewasa ini,
pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar. Peraturan resmi memberi
pemerintah hak untuk memonopoli percetakan uang. Kontrol atas jumlah uang
beredar disebut kebijakan moneter (Mankiw, 2006). Kebijakan moneter di
Indonesia didelegasikan kepada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Menurut
BI (2014), uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2). M1
meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro
berdenominasi Rupiah), sedangkan M2 meliputi M1, uang kuasi (mencakup
tabungan, simpanan berjangka dalam Rupiah dan valas, serta giro dalam valuta
asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki
sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.
Menurut Ahsan et al. (2011), jumlah uang beredar adalah proxy
permintaan uang. Masyarakat menuntut lebih banyak uang untuk membeli barang.
Semakin banyak permintaan uang akan meningkatkan konsumsi sehingga harga
barang akan meningkat.
Hubungan GDP dengan Harga
GDP atau produk domestik bruto dapat diartikan sebagai nilai barang dan
jasa akhir yang diproduksi oleh suatu negara. Mankiw (2006) menjelaskan bahwa
GDP terbagi menjadi dua, yaitu GDP nominal dan GDP riil. GDP nominal adalah
nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga berlaku sedangkan GDP riil
merupakan nilai barang dan jasa yang diukur dengan menggunakan harga konstan.
GDP riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika
jumlah berubah tetapi harga tidak.
8
Menurut Frankel dan Rose (2010), kegiatan ekonomi sebagai penentu hasil
karena mendorong transaksi barang. Kegiatan ekonomi yang tinggi memiliki efek
positif pada peningkatan permintaan. Selanjutnya peningkatan permintaan akan
meningkatkan harga. Kegiatan ekonomi yang diproxy dengan GDP merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi harga. Ketika GDP meningkat maka
permintaan akan meningkat sehingga harga komoditi meningkat.
Hubungan Harga Minyak Bumi dan Harga
Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi yang memegang
peranan penting bagi kehidupan manusia. Salah satu kegunaan dari minyak bumi
sebagai minyak bakar yang merupakan sumber energi utama dunia. Konsumsi
minyak dunia terus menerus mengalami kenaikan sejak adanya revolusi industri di
Inggris pada abad 17.
Menurut Hartoyo et al. (2011), kenaikan harga minyak bumi akan
menyebabkan ekspor CPO Indonesia meningkat karena CPO digunakan sebagai
bahan baku biofuel. Kenaikan permintaan CPO tersebut berdampak pada
penurunan ketersediaaan minyak goreng sawit Indonesia. Karena ketersediaaan
minyak goreng menurun maka harga minyak goreng akan naik. Arianto et al.
(2010) menyatakan bahwa ada pengaruh harga minyak bumi dengan harga
minyak nabati dalam jangka panjang. Sedangkan Arshad dan Hameed (2012)
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pergerakan harga CPO
adalah harga minyak bumi.
Hubungan Harga CPO dan Harga
CPO merupakan barang input dalam proses pembuatan olein. Sehingga
harga CPO ikut mempengaruhi harga olein. Menurut teori penawaran, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran barang, salah satunya adalah
harga barang input. Semakin rendah harga barang input, semakin mendorong
produsen untuk memproduksi barang lebih banyak pada setiap tingkat harga.
Sebaliknya, harga barang input yang semakin tinggi menyebabkan keuntungan
produsen menurun dan sebagai akibatnya, penawaran menurun pada setiap tingkat
harga. Akibat penurunan penawaran maka harga barang akan meningkat.
Integrasi Harga
Integrasi harga atau yang lebih sering disebut dengan integrasi pasar dapat
diartikan sebagai hubungan yang terjadi antar pasar dua atau lebih negara dimana
jika salah satu pasar mengalami shocks akan memberikan pengaruh yang positif
atau negarif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Integrasi pasar merupakan keterpaduan diantara beberapa pasar yang
memiliki korelasi harga tinggi. Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan
bahwa pasar berintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih
pasar yang terpisah, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi
dengan harga di pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar
secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar lain, baik dalam jangka pendek
atau jangka panjang.
9
Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
efisiensi pasar. Pasar akan berjalan secara efisien jika memanfaatkan semua
informasi yang tersedia. Informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar
pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan
pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar mengakibatkan harga dari
komoditi tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi
ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan indikator efisiensi
sistem pemasaran (Heytens, 1986). Pengetahuan tentang integrasi pasar akan
dapat bermanfaat untuk mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap
perubahan harga sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan secara tepat
dan cepat. Dua buah pasar yang terintegrasi akan membentuk harga
kesetimbangan yang berkaitan secara langsung. Jika perdagangan terjadi pada dua
wilayah dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah
yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar
tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986).
Terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan
memperhatikan faktor sebagai berikut : Rifin dan Nurdiyani (2007)
1. Segmentasi pasar
Pasar dikatakan tidak terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di
pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap
harga di pasar domestik. Dengan demikian, diharapkan dengan
terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik
dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan.
2. Integrasi jangka pendek
Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga
yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam
harga di pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek
lag pada harga dimasa yang akan datang.
Hubungan Harga Futures dan Harga Fisik
Harga berjangka (futures price) merupakan harga yang terjadi di bursa
berjangka pada waktu tertentu dan penyerahan di kemudian hari. Harga terbentuk
dari harapan-harapan para pelaku bursa komoditi berdasarkan prediksi permintaan
dan penawaran suatu komoditi di berbagai produsen dan konsumen komoditi yang
bersangkutan. Harga berjangka merupakan harga kontrak futures yaitu sebuah
kontrak berjangka yang sifat mengikat baik kedua belah pihak untuk membeli
ataupun menjual suatu aset finansial maupun non finansial tertentu yang
penyerahannya dilakukan secara fisik atau cash settlement di masa yang akan
datang, dengan harga yang ditetapkan sekarang (Bappebti, 2012).
Harga fisik dan harga berjangka mempunyai hubungan saling
mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah
dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi.
Pergerakan searah itu yang dijadikan oleh hedger untuk melindungi perdagangan
komoditi di pasar fisik dengan cara mengambil posisi yang berlawanan antara
pasar fisik dan berjangka.
Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut
tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap
10
perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga untuk
pasar fisik. Harga berjangka akan terpengaruh kuat oleh harga fisik bila
penyerahan hampir jatuh tempo, otomatis harga berjangka mencerminkan harga
fisik. Sedangkan bila waktu penyerahan lebih lama maka harga fisik tidak terlalu
berpengaruh karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga fisik saat ini belum
tentu berlaku di kemudian hari.
Perdagangan Berjangka Komoditi
Menurut UU No. 32 Tahun 1997 j.o UU No. 10 Tahun 2011, perdagangan
berjangka komoditi adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan jual beli
komoditi dengan penarikan margin dan dengan penyelesaian kemudian
berdasarkan kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah dan atau kontrak
derivatif lainnya.
Selain itu, perdagangan berjangka komoditi merupakan sarana
perdagangan yang dapat dimanfaatkan dunia usaha termasuk petani dan UMKM
untuk mengamankan kepentingan mereka dari kemungkinan terjadinya kerugian
akibat fluktuasi harga. PBK selain sebagai sarana pengelolaan risiko, juga
berfungsi sebagai sarana terbentuknya harga (price discovery) yang efektif dan
transparan sehingga informasi harga yang terbentuk dapat digunakan sebagai
referensi berbagai pihak (Purnomo et al., 2013).
Kegiatan PBK di Indonesia mulai banyak dilakukan pada tahun 2000-an
meskipun studi tentang PBK sudah dimulai sejak tahun 1980-an. PBK tergolong
sektor usaha kompleks yang meskipun memiliki potensi keuntungan besar, namun
juga diiringi risiko yang besar (high risk high return). PBK dalam bentuk
perdagangan derivatif kontrak berjangka mengandung unsur spekulasi yang
sangat tinggi sehingga tidak disarankan bagi investor yang belum berpengalaman.
Risiko yang sering terjadi adalah risiko pemasaran (risiko harga), produksi,
distribusi, dan pengolahan. Hal yang paling sulit diprediksi adalah risiko akibat
fluktuasi harga komoditi. Harga komoditi di seluruh dunia cenderung berfluktuasi
akibat alam (cuaca, musim, bencana alam), kondisi sosial politik, kondisi ekonomi.
Pasar berjangka sebagai salah satu jenis pasar yang berbeda dengan pasar
komoditi secara fisik, di pasar berjangka diperdagangkan kontrak berjangka atas
komoditi tertentu yang telah ditetapkan persyaratannya secara standar dalam
kontrak berjangka, antara lain jenis komoditi, mutu, jumlah satuan per kontrak,
bulan penyerahan, tempat penyerahan dan persyaratan penyerahan. Hanya harga
yang tidak ditetapkan dalam kontrak. Harga kontrak berjangka tersebut dijadikan
sebagai objek tawar menawar di pasar berjangka. Karena dalam perdagangan
berjangka yang ditransaksikan adalah kontrak standar, maka para pelaku atau
penjual dan pembeli setiap saat bisa masuk atau keluar secara mudah. Selain itu,
pasar berjangka merupakan sarana pembentukan harga yang transparan dan wajar,
yang mencerminkan kondisi pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari
komoditi yang diperdagangkan. Hal ini memungkinkan, karena transaksi hanya
dilakukan oleh anggota bursa yang mewakili nasabah atau dirinya sendiri. Artinya
antara pembeli dan penjual kontrak berjangka tidak saling kenal secara langsung.
Perdagangan berjangka juga merupakan bentuk lain dari kegiatan investasi
yang diciptakan berdasarkan mekanisme yang terjadi di pasar, yaitu dengan
membentuk pasar di bursa berjangka dari pasar komoditi fisiknya, dengan
11
melakukan transaksi di dua pasar tersebut secara bersamaan dengan posisi yang
berlawanan (jual dan beli) untuk jumlah dan jenis komoditi yang sama. Dengan
demikian, kedua pasar ini akan saling menutupi kerugian yang diderita pada salah
satu pasar. Jadi perdagangan berjangka merupakan suatu bentuk lain kegiatan
yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan dunia usaha sebagai sarana lindung nilai
(hedging) yang sangat efektif untuk mengurangi pengaruh timbulnya resiko
kerugian yang disebabkan karena adanya fluktuasi harga serta berbagai sarana
alternatif investasi bagi pihak yang bermaksud menginvestasikan modalnya di
bursa berjangka.
Kontrak Berjangka
Menurut Batu (2014), kontrak berjangka adalah suatu bentuk kontrak
standar untuk membeli atau menjual komoditi dengan penyelesaian kemudian
dalam jumlah, mutu, jenis, tempat dan waktu penyerahannya telah ditetapkan
terlebih dahulu. Karena bentuknya yang standar itu, maka yang dapat
dinegosiasikan hanya harganya saja. Selain itu, kontrak berjangka adalah
perjanjian standar antara pembeli dan penjual atas komoditi/aset tertentu yang
akan diterima/diserahkan pada yang telah ditetapkan di masa datang (Bappebti,
2012).
Suatu kontrak berjangka dapat menimbulkan kewajiban kepada pemegang
kontrak tersebut untuk melaksanakan pembelian atau penjualan. Kedua belah
pihak harus melaksanakan kewajiban masing-masing pada tanggal penyerahan
atau tanggal penyelesaian akhir. Pada tanggal penyelesaian akhir, pihak penjual
akan menyerahkan komoditi yang dijadikan aset acuan kepada pihak pembeli, dan
sebaliknya pihak pembeli wajib membeli dengan harga penyelesaian yang telah
disepakati dalam kontrak. Harga tertentu yang disepakati pada tanggal awal
kontrak disebut harga kontrak berjangka (futures price). Sedangkan harga dari
aset acuan pada saat tanggal penyerahan disebut dengan istilah harga penyelesaian
(settlement price).
Komoditi yang Dijadikan Subjek Kontrak Berjangka
Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka
yang diperdagangkan di bursa berjangka. Sesuai Pasal 3 UU No. 32 Tahun 1997,
komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka harus ditetapkan dengan
Keputusan Presiden (Keppres). Berdasarkan Pasal 1 Keppres No. 119 Tahun 2001
maka komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka di bursa berjangka
meliputi kopi, minyak kelapa sawit, plywood, karet, kakao, lada, gula pasir,
kacang tanah, kedelai, cengkeh, udang, ikan, bahan bakar minyak, gas alam,
tenaga listrik, emas, batubara, timah, pulpen dan kertas, benang, semen, dan
pupuk.
Adanya UU No. 10 Tahun 2011, pengertian komoditi diperluas menjadi
semua barang jasa, hak, dan kepentingan lainnya, dan setiap derivatif dari
komoditi yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka,
kontrak derivatif syariah, dan/atau kontrak derivatif lainnya. Sesuai Pasal 3 UU
No. 10 Tahun 2011, komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka
cukup diatur berdasarkan Peraturan Kepala Bappebti.
12
Komoditi yang diperdagangkan biasanya memiliki ciri harganya fluktuatif,
memiliki standar mutu tertentu, tersedia dalam jumlah cukup besar dan
diperdagangkan secara bebas di pasar. Penetapan komoditi sebagai subjek kontrak
berjangka merupakan kewenangan Bappebti (Purnomo et al., 2013).
Berdasarkan Peraturan Kepala Bappebti No. 94/BAPPEBTI/PER/04/2012,
komoditi yang dapat dijadikan subyek kontrak berjangka yang dapat
diperdagangkan di bursa berjangka adalah :
a. Di bidang pertanian dan perkebunan : kopi, kelapa sawit, karet, kakao, lada,
mete, cengkeh, kacang tanah, kedelai, jagung dan kopra.
b. Di bidang pertambangan dan energi : emas, timah, alumunium, bahan bakar
minyak, gas alam, tenaga listrik, dan batubara.
c. Di bidang industri : gula pasir, plywood, pulp dan kertas, benang, semen, dan
pupuk.
d. Di bidang perikanan dan kelautan : udang, ikan, dan rumput laut.
e. Di bidang keuangan : mata uang asing.
Tinjauan Empiris
Penelitian tentang harga komoditi telah banyak dilakukan, Nugraheni (2014)
menganalisis volatilitas harga pangan utama Indonesia dan faktor yang
mempengaruhinya. Metode VECM menunjukkan bahwa harga dunia, pendapatan
per kapita, nilai tukar, dan iklim mempengaruhi harga beras dan kedelai. Harga
jagung dipengaruhi oleh harga dunia, nilai tukar, dan iklim. Sedangkan harga gula
pasir dipengaruhi oleh pendapatan per kapita, harga dunia, dan iklim. Elizabeth
(2013) melakukan penelitian tentang perilaku harga spot dan futures olein terkait
variabel makroekonomi dengan menggunakan metode VECM. Hasil
menunjukkan bahwa perubahan variabel nilai tukar riil memberi pengaruh pada
jangka pendek baik terhadap harga spot dan futures terdekat maupun terjauh olein,
sedangkan perubahan tingkat bunga riil dan harga minyak dunia memberi
pengaruh pada jangka panjang terhadap harga spot dan futures terdekat maupun
terjauh olein. Arango et al. (2012) menganalisis faktor yang mempengaruhi harga
50 komoditi dengan menggunakan metode panel. Hasil menunjukkan bahwa suku
bunga berpengaruh negatif terhadap harga komoditi.
Arshad dan Hameed (2012) menganalisis dua faktor utama yang
mempunyai korelasi yang tinggi terhadap pergerakan harga CPO yaitu harga
minyak dan persediaan CPO dengan metode ARDL. Hasil menunjukkan bahwa
dalam jangka pendek dan panjang, harga minyak berpengaruh secara positif
terhadap pergerakan harga CPO. Sedangkan persediaan CPO berpengaruh secara
negatif terhadap harga CPO dalam jangka pendek dan berpengaruh positif dalam
jangka panjang. Ahsan et al. (2011) menganalisis faktor yang mempengaruhi
harga pangan dari sisi permintaan dan penawaran. Metode yang digunakan adalah
ARDL. Berdasarkan analisis yang dilakukan, variabel yang paling signifikan
mempengaruhi harga pangan dalam jangka pendek adalah jumlah uang beredar
dan harga pangan dunia. Pada tahun yang sama, Nazlioglu dan Soytas membahas
saling ketergantungan antara harga minyak, kurs Lira/US Dollar dan harga
komoditi pertanian (gandum, jagung, kedelai, dan bunga matahari) di Turki
dengan pendekatan kausalitas Toda-Yamamoto dan analisis impulse respone.
13
Analisis impulse respon menunjukkan harga pertanian Turki tidak signifikan
bereaksi terhadap harga minyak dan guncangan nilai tukar dalam jangka pendek.
Sedangkan analisis kausalitas jangka panjang menunjukkan bahwa perubahan
harga minyak dan apresiasi/depresiasi Lira Turki tidak ditransmisikan ke harga
komoditi pertanian di Turki.
Balcombe (2010) mengkaji volatilitas harga pertanian dengan
menggunakan panel data. Hasil analisis memperlihatkan bahwa volatilitas harga
minyak dan nilai tukar mempengaruhi harga pertanian. Bastourre et al. (2010)
melakukan analisis harga komoditi dengan menggunakan Dynamic Ordinary
Least Square (DOLS). Hasil menunjukkan bahwa indeks produksi industri, nilai
tukar riil, suku bunga riil, indeks Dow Jones berpengaruh terhadap harga komoditi.
Tahun 2010, Frankel dan Rose menganalisis faktor penentu harga komoditi
pertanian dan mineral dari sisi makroekonomi (GDP dan suku bunga) dan
mikroekonomi (persediaan, measures of uncertainty, dan spot-forward spread)
dengan menggunakan panel data. Hasil menunjukkan bahwa ada dua faktor
makroekonomi memiliki efek positif pada harga tetapi faktor yang tampaknya
memiliki pengaruh paling konsisten dan kuat adalah variabel mikroekonomi
(volatilitas, persediaan, dan spot-forward spread).
Penelitian tentang integrasi harga juga telah banyak dilakukan,
Cahyaningsih (2012) menganalisis integrasi spasial dan vertikal pasar beras di
Indonesia dengan metode VECM. Secara spasial, pada perdagangan beras di
Indonesia terdapat pasar-pasar kunci di Indonesia yaitu pasar di Medan, Semarang,
Pontianak, Surabaya, dan Jakarta. Perubahan harga beras yang terjadi pada pasar
di wilayah tersebut akan menyebabkan perubahan harga beras di wilayah lain.
Secara vertikal, pasar beras dalam negeri tidak terintegrasi dengan pasar beras di
Vietnam dan Thailand dalam jangka panjang. Pasar beras dalam negeri sudah
terintegrasi dengan pasar beras Vietnam dalam jangka pendek namun tidak
terintegrasi dengan pasar beras Thailand, dan pasar beras Vietnam sudah
terintegrasi dengan pasar beras Thailand dalam jangka pendek. Ghafoor dan
Aslam (2012) melakukan penelitian terkait integrasi dan transmisi harga beras di
Pakistan dengan ECM. Hasil analisis menunjukkan bahwa lima pasar beras utama
Pakistan terintegrasi satu sama lain secara keseluruhan. Rachman (2012)
melakukan penelitian integrasi dan transmisi harga pada pasar CPO dan minyak
goreng sawit di Indonesia dengan menggunakan kointegrasi dan VECM. Dari
pengujian kointegrasi, harga CPO internasional dan CPO domestik tidak
terkointegrasi berarti