Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

HARGA DAGING SAPI DI INDONESIA

PENI ARIANITA WARDANI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014 Peni Arianita Wardani NIM H34100153


(4)

ABSTRAK

PENI ARIANITA WARDANI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia. Dibimbing oleh JUNIAR ATMAKUSUMA.

Dalam rangka mewujudkan kecukupan daging sapi di dalam negeri maka pemerintah Indonesia mencanangkan program swasembada daging sapi. Konsep swasembada tersebut tidak hanya menyangkut ketersediaan tetapi juga akses masyarakat terhadap pangan itu sendiri. Akses masyarakat terhadap daging sapi dapat dilihat dari harga komoditas tersebut. Harga daging sapi di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat terhadap daging sapi menjadi rendah. Disamping itu, kondisi harga yang tinggi kenyataannya juga tidak dapat menjadi insentif bagi peternak untuk meningkatkan produksi daging sapi. Mengingat permasalahan tersebut, harga daging sapi menjadi hal penting untuk dikaji lebih lanjut sehingga perlu dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data time series tahun 2008-2013. Analisis deskriptif dan model persamaan regresi linear berganda digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini. Hasilnya berdasarkan analisis deskriptif harga daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh jalur distribusi yang panjang sedangkan berdasarkan model persamaan regeresi linear berganda terdapat tiga variabel yang berpengaruh yaitu harga daging sapi periode sebelumnya, hari raya lebaran (Idul Fitri) dan impor daging sapi.

Kata kunci: daging sapi, harga, swasembada

ABSTRACT

PENI ARIANITA WARDANI. Analysis of The Factors that Affect The Price of Beef in Indonesia. Supervised by JUNIAR ATMAKUSUMA.

To reduce dependence on beef import, Indonesian government declared an increase of beef production by Self Sufficiency Program 2014. The meaning of self sufficiency in this case is not only about its availability but also public access to food itself. Public access to the beef can be seen from its price. The price of beef in Indonesia is relatively high compared to other countries. This condition caused public purchasing power on beef to be low. In addition, the high price could not be an incentive for breeders to increase beef production. Based on this problem, this research aim to analyze the factors that affect the price of beef in Indonesia. This research used time series data form in period 2008 to 2013. As a result, based on descriptive analysis the price of beef in Indonesia is affected by its distribution chain. On the other side, based on multiple linear regression model there are three variables that affect the price of beef in Indonesia such as the price of beef earlier periode, Eid celebration, and volume of beef import.


(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

HARGA DAGING SAPI DI INDONESIA

PENI ARIANITA WARDANI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(6)

(7)

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah perdagangan internasional, dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Juniar Atmakusuma selaku pembimbing skripsi atas bantuan, saran, dan perhatiannya dalam penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Menik selaku Kepala Pusdatin Kementerian Perdagangan yang telah membantu selama pengumpulan data, Ibu Ida, Mbak Dian, Pak Yusuf dan semua staf Departemen Agribisnis yang telah membantu dalam hal penyelesaian keperluan skripsi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Burhanuddin yang telah memberikan informasi, arahan dan masukan dalam penulisan skripsi ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayah dan Ibu serta semua keluarga besar Siswono dan Suprijadi atas segala doa dan kasih sayangnya. Kemudian tak lupa penulis sampaikan penghargaan kepada dosen pembimbing akademik Bapak Lukman M. Baga, dan seluruh dosen Departemen Agribisnis IPB atas bimbingan dan ilmu selama perkuliahan. Terimakasih penulis sampaikan kepada Reni Septiana Eka Hutanti, Prhatama Adi Kusuma, Pambudi Rido Priyoko, Patria Bagas Surya, Pamula Mahardhika, Nourina Ayuningtyas, Diky Wahyu Priambudi, dan Sulis Nur Azizah atas semangat yang diberikan. Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan Ririn Adelina Siregar, Resty Istiarti, Aulia Frisca, Rinda Cipta Yunivia, Muhammad Karimullah, Resti Yanuar Akhir, Budiman Putraduarsa, Angga Cahyo Utomo, Muhammad Hamaji, Muhammad Fadholi, Reza Pimadita, Nastiti Winahyu, Ahmad Sopian dan Narita Ayudya Riswanti. Terimakasih penulis ucapkan kepada keluarga Forsmawi IPB yaitu Ananta Titan Pratiwanggana, Risky Lutfi Sandi, Didik Prasetyo, Sunaryo, Aniza Diah Maharani dan Alam Danu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014 Peni Arianita Wardani


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusalan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 8

Penelitian Tentang Daging Sapi 8

Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu 11

KERANGKA PEMIKIRAN 12

Kerangka Pemikiran Teoritis 12

Kerangka Pemikiran Operasional 19

METODE 22

Lokasi dan Waktu Penelitian 22

Data dan Sumber Data 22

Metode Pengolahan dan Analisis Data 24

GAMBARAN UMUM 29

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia 29

Kebijakan Swasembada Daging Sapi di Indonesia 30

Perkembangan Harga Daging Sapi di Indonesia 32

HASIL DAN PEMBAHASAN 34

Pengadaan Daging Sapi di Indonesia 34

Penyediaan Daging Sapi di Indonesia 41

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia 43

Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Daging Sapi 47

SIMPULAN DAN SARAN 50

Simpulan 50

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 55


(10)

DAFTAR TABEL

1 PDB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2009-2013 1

2 Data dan sumber data penelitian 23

3 Perkembangan total produksi dan impor daging sapi tahun 2000-2013 29 4 Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2000-2013 30 5 Penyediaan dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2008-2013 34 6 Sumber-sumber impor daging sapi bagi Indonesia tahun 2008-2013 37 7 Sumber-sumber impor sapi bakalan bagi Indonesia tahun 2008-2013 39 8 Hasil pemodelan faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di

Indonesia 44

DAFTAR GAMBAR

1 Kecenderungan impor daging sapi tahun 2000-2013 3 2 Kecenderungan impor sapi bakalan tahun 2000-2013 3 3 Perkembangan total impor (daging sapi dan sapi bakalan) dan harga

daging sapi di Indonesia tahun 2000-2013 5

4 Kurva keseimbangan pasar 13

5 Pergeseran kurva permintaan 14

6 Pergeseran kurva penawaran 14

7 Mekanisme perdagangan internasional 16

8 Kerangka pemikiran operasional 21

9 Perkembangan harga bulanan daging sapi di Indonesia tahun 2008-2013 33 10 Persentase sumber-sumber impor daging sapi bagi Indonesia tahun

2008-2013 38

11 Pola penyediaan daging sapi di Indonesia 43

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar negara berdasarkan statusnya terhadap Penyakit Kuku dan Mulut 55 2 Daftar importir daging sapi dan sapi bakalan di Indonesia 56 3 Hasil output model harga daging sapi di Indonesia 57

4 Uji multikolinearitas 57

5 Uji autokorelasi 58

6 Uji heteroskedastisitas 58


(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya yang lezat sumber protein hewani memiliki peran penting dalam pemenuhan gizi masyarakat. Pemenuhan gizi yang baik dapat meningkatkan produktivitas penduduk. Oleh karena itu pemerintah mengusahakan pemenuhan konsumsi protein hewani yang diwujudkan dalam program peningkatan ketahanan pangan (Talib dan Noor 2008). Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sumber protein hewani dipenuhi oleh bagian dari sektor pertanian yaitu subsektor peternakan, sehingga peningkatan produksi produk subsektor peternakan berpengaruh dalam mensukseskan ketahanan pangan.

Subsektor peternakan berfungsi sebagai penyedia protein hewani bagi konsumsi rumah tangga maupun bahan baku industri. Peran penting subsektor peternakan dapat dilihat melalui kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto Nasional yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 PDB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2009-2013

Tahun (Milyar Rupiah)

2009 2010 2011 2012 2013

Pertanian 857 196.8 985 448. 8 1 093 466.0 1 193 452.9 1 311 037.3 Tanaman

pangan 419 194.8 482 377.1 530 603.7 574 916.3 621 832.7 Tanaman

Perkebunan 111 378.5 136 026.8 153 884.7 162 542.6 175 248.4 Peternakan 104 883.9 119 371.7 129 578.3 145 720.0 165 162.9 Kehutanan 45 119.6 48 289.8 51 638.1 54 906.5 56 994.2 Perikanan 176 620.0 199 383.4 227 761.2 255 367.5 291 799.1 Sektor ekonomi

lainnya 4 749 006.6 5 450 822.0 6 333 620.1 7 588 322.5 1 020 773.2 PDB nasional 5 606 203.4 6 436 270.8 7 427 086.1 8 229 439.4 9 083 972.2 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah (2014a)

Persentase subsektor peternakan terhadap Produk Domestik Bruto nasional sebesar 1.70 persen pada tahun 2008 dan mencapai 1.90 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2010 kembali turun menjadi 1.85 persen lalu menjadi 1.74 persen di


(12)

2

tahun 2011. Selanjutnya pada tahun 2012 dan 2013, persentase subsektor peternakan terhadap Produk Domestik Bruto nasional sebesar 1.77 persen dan 1.82 persen. Sementara itu kontribusi subsektor peternakan terhadap sektor pertanian relatif konstan yaitu dengan rata-rata per tahun sebesar 12 persen. Persentase subsektor peternakan terhadap sektor pertanian menempati urutan keempat setelah tanaman pangan, perikanan dan perkebunan.

Salah satu produk subsektor peternakan yang berperan memenuhi kebutuhan protein hewani adalah daging sapi. Daging sapi merupakan keluaran dari agribisnis sapi potong yang masuk ke dalam sepuluh bahan pangan pokok dan startegis nasional (Kemendag 2014a). Berdasarkan data konsumsi daging segar nasional, konsumsi daging sapi menempati urutan ketiga terbesar setelah ayam ras dan ayam kampung. Besarnya rata-rata konsumsi masyarakat Indonesia terhadap daging sapi dari tahun 2005 hingga 2012 adalah 1.8-2.09 kg/kapita/tahun. Meskipun demikian, angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, Amerika, Australia, dan Filipina. Konsumsi daging sapi di Malaysia adalah 7 kg/kapita/tahun, Singapuura 7 kg/kapita/tahun, Jepang 9.7 kg/kapita/tahun, Jerman 50 kg/kapita/tahun, Filipina 4 kg/kapita/tahun, Amerika dan Australia 30-40 kg/kapita/tahun (USDA 2011 dalam Kemendag 2012a). Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia mencanangkan peningkatan konsumsi daging sapi menjadi 20 kg/kapita/tahun.

Di sisi lain tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia yang mencapai 2.09 kg/kapita/tahun dengan total populasi 233.3 juta jiwa tersebut belum 100 persen dapat dipenuhi oleh produksi di dalam negeri. Pasokan daging sapi di Indonesia ditopang oleh dua sumber yaitu sumber lokal dan sumber impor. Sumber lokal menyumbang sekitar 70 persen dari total kebutuhan nasional per tahunnya sedangkan sisanya dipenuhi oleh impor baik berupa daging sapi maupun sapi bakalan (Kementan 2010). Data empat belas tahun terakhir yaitu sejak tahun 2000 hingga tahun 2013 menunjukkan adanya fluktuasi volume impor daging sapi. Pada tahun 2000 impor daging sapi sebesar 26.9 ribu ton. Nilai ini turun menjadi 10.7 ribu ton di tahun 2003 dengan rata-rata penurunan sebesar 25 persen per tahun atau setara dengan 5.4 ribu ton. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2010 volume impor daging sapi mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan 37 persen per tahun atau setara dengan 11.4 ribu ton sehingga impor daging sapi Indonesia dari 11.8 ribu ton di tahun 2004 menjadi 90.5 ribu ton di tahun 2010. Volume impor daging sapi pada kembali turun di tahun 2011 menjadi 65 ribu ton lalu menjadi 33.5 ribu ton di tahun 2012 dan 45.5 ribu ton di tahun 2013 (Gambar 1).


(13)

3

Sumber: Kementerian Perdagangan, diolah (2014b)

Gambar 1 Kecenderungan impor daging sapi tahun 2000-2013

Hal serupa juga terjadi pada impor sapi bakalan tahun 2000 hingga 2013. Pada tahun 2000 volume impor sapi bakalan setara dengan 48 ribu ton daging. Nilai ini mengalami penurunan hingga tahun 2002 dengan rata-rata penurunan sebesar 10.5 persen atau sebesar 4.4 ribu ton per tahun. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2009 volume impor sapi bakalan mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan 30 persen atau setara dengan 39.4 ribu ton daging per tahun sehingga mencapai 233.5 ribu ton di tahun 2009. Volume impor sapi bakalan pada tahun 2010 turun sebesar 11 persen dan berlanjut hingga menjadi 60,6 ribu ton di tahun 2012. Kemudian pada tahun 2013 volume impor sapi bakalan mengalami kenaikan menjadi 84 ribu ton (Gambar 2).

Sumber: Kementerian Perdagangan, diolah (2014c)

Gambar 2 Kecenderungan impor sapi bakalan tahun 2000-2013

Peningkatan impor daging sapi dan sapi bakalan berawal dari berkurangnya pasokan daging sapi di dalam negeri yang disebabkan oleh menurunnya populasi sapi potong lokal siap potong. Penurunan populasi sapi siap potong dikarenakan terjadi pemotongan terhadap sapi betina produktif dan ternak sapi muda dalam jumlah besar pada tahun-tahun sebelumnya (Kementan 2004). Pada saat itu pemerintah melakukan proteksi terhadap populasi sapi potong di Indonesia dengan cara mengimpor daging sapi dan sapi bakalan dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional. Dengan demikian diharapkan populasi sapi potong di Indonesia tidak akan mengalami penurunan dan dapat terus tumbuh. Faktanya populasi sapi potong di Indonesia tidak mengalami peningkatan yang

0 20000 40000 60000 80000 100000 vo lu m e i m p o r d agi n g s ap i (to n ) tahun 0 50000 100000 150000 200000 250000 vo lu m e i m p o r sap i b ak al a n (to n ) tahun


(14)

4

signifikan bahkan Indonesia belum terlepas dari ketergantungannya terhadap impor daging sapi dan sapi bakalan. Menanggapi hal tersebut pemerintah telah melaksanakan kebijakan-kebijakan guna mewujudkan kecukupan daging sapi di dalam negeri. Dari tahun 2000 hingga saat ini telah terdapat tiga kebijakan diantaranya Program Kecukupan Daging Sapi (2000-2005), Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (2005-2010), dan Program Swasembada Daging Sapi (2010-2014). Program Kecukupan Daging Sapi dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi tidak berhasil dalam mengatasi masalah kurangnya ketersediaan daging sapi lokal di dalam negeri. Oleh karena itu pada tahun 2010 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian menetapkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 untuk mewujudkan salah satu dari Empat Target Utama Pembangunan Pertanian 2010-2014 yaitu pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. Dengan adanya program tersebut diharapkan :

1. Populasi sapi potong menjadi 14.2 juta ekor di tahun 2014 dengan rata-rata pertumbuhan 12.48 persen per tahun

2. Produksi daging sapi di dalam negeri meningkat hingga mencapai 420.3 ribu ton di tahun 2014

3. Tercapainya penurunan impor sapi bakalan dan daging sapi hingga mencapai 10 persen dari kebutuhan nasional

4. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja sebesar 76 ribu orang/tahun sebagai dampak dari pertambahan populasi dan produksi ternak

5. Bertambahnya pendapatan peternak sapi potong minimal sesuai dengan UMR masing-masing propinsi.

Mengingat hal di atas maka pencapaian swasembada daging sapi menjadi sangat penting demi tercapainya ketahanan pangan nasional. Konsep ketahanan pangan nasional tidak hanya menyangkut ketersediaannya tetapi juga akses masyarakat terhadap pangan itu sendiri (Pakpahan dan Pasandaran dalm Azziz 2006). Selain pasokan dari dalam negeri kurang dan harus ditunjang oleh impor, harga daging sapi di Indonesia juga sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya harga daging sapi di Indonesia sangat mahal. Daging sapi di Malaysia, Singapura dan Thailand dijual dengan harga US$ 0.43/kg atau sekitar Rp 50 000/kg. Selain itu harga di tiga negara tersebut relatif stabil setiap tahunnya. Harga daging sapi di dalam negeri juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga paritas daging sapi impor. Harga daging sapi paritas impor lebih rendah bila dibandingkan dengan harga daging sapi domestik. Harga daging sapi paritas impor berkisar antara Rp. 38 000/kg hingga Rp 52 000/kg sedangkan harga daging sapi domestik berkisar antara Rp 82 000/kg hingga Rp 91 000/kg. Tingginya harga daging sapi tersebut membuat akses konsumen terhadap daging sapi menjadi rendah. Di lain pihak harga daging sapi yang tinggi juga tidak menguntungkan peternak sapi potong sebagai produsen dan tidak menjadi insentif bagi mereka untuk meningkatkan produksi daging sapi di dalam negeri yang dibuktikan dengan rendahnya laju peningkatan produksi daging sapi nasional yaitu 6.8 persen per tahun.


(15)

5

Perumusalan Masalah

Kebutuhan daging sapi di Indonesia dipasok oleh produksi lokal dan impor. Selain untuk memenuhi ketersediaan daging sapi di dalam negeri, produksi lokal dan impor memiliki peran penting untuk menyeimbangkan supply dan demand daging sapi agar harganya stabil. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menstabilkan harga daging sapi adalah dengan meningkatkan produksi lokal yang relatif lebih lama atau meningkatkan impor yang relatif lebih mudah dan singkat. Kondisi yang terjadi saat ini, pemerintah cenderung memperhatikan impor dibandingkan dengan usaha peningkatan produksi lokal. Hal ini diperkuat oleh undang-undang nomor 699 tahun 2013 tentang stabilisasi harga daging sapi nasional yang memberikan kebebasan mengimpor bagi importir terdaftar, importir tidak terdaftar bahkan perusahaan BUMN.

Adanya impor memang diharapkan dapat menutupi kekurangan pasokan daging sapi sekaligus menurunkan harganya di dalam negeri namun kenyataannya harga daging sapi tetap tinggi. Saat total impor daging sapi dan sapi bakalan mengalami pertumbuhan 10.3 persen per tahun pada periode 2000 hingga 2006, harga daging sapi di Indonesia mengalami pertumbuhan 10.5 persen per tahun. Kondisi ini tetap berlanjut bahkan pada saat total impor daging sapi dan sapi bakalan meningkat 28 persen per tahun mulai tahun 2007 hingga 2010, harga daging sapi di Indonesia tetap mengalami kenaikan yang relatif konstan yaitu 10 persen per tahun. Selanjutnya semenjak diadakannya kebijakan swasembada daging sapi pada tahun 2010 maka total impor daging sapi dan sapi bakalan menjadi turun dengan rata-rata penurunan 17 persen per tahun. Pada saat itu harga mengalami kenaikan dengan rata-rata 11 persen per tahun. Dalam kurun waktu empat belas tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2013, harga rata-rata nasional daging sapi terendah terjadi di tahun 2000 yaitu Rp. 25 426/kg sedangkan harga tertinggi terjadi di tahun 2013 yaitu Rp 90 409/kg. Rata-rata pertumbuhan harga daging sapi di dalam negeri yaitu 10 persen per tahun

Sumber: Kementerian Perdagangan, diolah (2014d)

Gambar 3 Perkembangan total impor (daging sapi dan sapi bakalan) dan harga daging sapi di Indonesia tahun 2000-2013

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 90000 100000 T o ta l im p o r d agi n g s ap i d an sap i b ak al a n (to n ) h ar ga d agi n g sap i (Rp/k g)


(16)

6

Impor daging sapi dan sapi bakalan dikhawatirkan dapat mengganggu agribisnis sapi potong di Indonesia apalagi didorong adanya peningkatan selera masyarakat yang menuntut daging berkualitas (Maraya 2013). Peningkatan selera memperkuat masuknya impor baik berupa daging sapi maupun sapi bakalan sehingga pangsa pasar daging sapi kualitas impor semakin meluas. Feedlotters sendiri lebih memilih menggunakan sapi bakalan impor daripada sapi bakalan lokal sebab sapi bakalan impor memiliki pertumbuhan bobot yang lebih besar (1.5 kg/hari) daripada sapi bakalan lokal (0.5 kg/hari), persentase karkas tinggi (60 persen dari total bobot hidup), dan daging yang lebih empuk. Perbedaan karakteristik tersebut jelas menyebabkan daging sapi lokal kurang berdaya saing jika dibandingkan dengan daging sapi impor (Daryanto 2010 dalam Wanti 2013).

Sementara itu pemerintah mencanangkan program swasembada daging sapi yang hendak dicapai pada tahun 2014. Atas dasar pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014 maka sejak tahun 2011 pemerintah melakukan pembatasan impor daging sapi dan sapi bakalan dengan mengurangi kuota impor kedua komoditas tersebut. Namun pembatasan kuota daging sapi dan sapi bakalan menjadi melemah. Hal ini dibuktikan adanya peningkatan realisasi total impor daging sapi dan sapi bakalan pada tahun 2012 sebesar 94.2 ribu ton lalu menjadi 129.5 ribu ton di tahun 2013 serta diprediksi akan mengalami kenaikan di tahun 2014. Jika ini terus terjadi maka akan menyebabkan kelesuan pada usaha agribisnis sapi potong lokal secara perlahan disamping tidak tercapainya swasembada daging sapi pada tahun 2014. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyebutkan bahwa Impor daging sapi dan sapi bakalan harus dikurangi sebab selain mengancam usaha agribisnis sapi potong di dalam negeri, kegiatan tersebut dapat mengurangi devisa dalam jumlah besar. Kondisi ini harus diwaspadai karena dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan (LIPI dalam Okezone 2013).

Pangsa pasar daging sapi feedlotters yaitu industri pengolahan daging, pasar swalayan dan ritel sedangkan pangsa pasar daging sapi impor antara lain hotel, restauran, katering, dan pasar swalayan (Wanti 2013). Selama ini daging kualitas impor yang masuk ke pasar tradisional hanya yang berasal dari feedlotters sedangkan daging sapi impor tidak diperbolehkan masuk ke pasar ritel. Kondisi ini berubah pada tahun 2013 sebab pemerintah menilai bahwa harga daging sapi di dalam negeri semakin tinggi sehingga perlu dilakukan langkah lebih lanjut untuk menindaklanjuti masalah ini. Langkah yang diambil oleh pemerintah yaitu menunjuk BULOG sebagai stabilisator harga daging sapi dengan melakukan operasi pasar. Agar BULOG dapat melaksanakan operasi pasar maka pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memberikan izin impor daging sapi kepada BULOG sebanyak 3000 ton. Hal ini tentu saja menjadi ancaman bagi peternak sapi potong lokal yang rata-rata merupakan peternak kecil dan rumah tangga.

Di sisi lain harga daging sapi yang sangat tinggi juga diakibatkan oleh rantai pemasaran yang relatif panjang. Tingginya harga daging sapi lokal disebabkan oleh inefesiensi sistem peternakan sapi potong lokal berupa tingginya biaya produksi dan pemasaran. Sentra usaha sapi potong juga bersifat menyebar dan berskala kecil sehingga sulit untuk menerapkan teknologi tepat guna yang biasanya diterapkan pada usaha berskala besar (industri). Sentra usaha sapi potong lokal sebagian besar terletak di daerah pedesaan sementara daerah sentra konsumsi daging sapi berada di perkotaan. Karena letak sentra produksi relatif


(17)

7 jauh dari sentra konsumsi maka proses distribusi daging sapi pun dapat terhambat. Akibatnya, terjadi keterlambatan respon jumlah penawaran dalam mengimbangi jumlah permintaan. Kemudian hal ini akan menimbulkan kesenjangan antara permintaan dan penawaran sehingga memicu tingginya harga daging sapi.

Harga daging sapi yang terlalu tinggi sangat merugikan konsumen namun juga tidak menguntungkan produsen. Konsumen akan kehilangan daya belinya terhadap daging sapi jika harga komoditas tersebut semakin naik. Hal ini kemudian dapat mendorong mereka untuk beralih ke produk substitusinya sehingga permintaan terhadap daging sapi akan menurun. Akibatnya produsen pun akan kehilangan keuntungan. Oleh sebab itu perlu dilakukan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengadaan daging sapi di Indonesia baik dari sumber lokal maupun impor?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia?

3. Bagaimana alternatif strategi terkait dengan stabilisasi harga daging sapi di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka peneltian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Menganalisis pengadaan daging sapi di Indonesia baik dari sumber lokal maupun impor.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia.

3. Mengidentifikasi alternatif strategi terkait dengan stabilisasi harga daging sapi di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi:

1. Peneliti, sebagai sarana pembelajaran berpikir analitis dan sebagai media dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapat selama mengikuti perkuliahan.

2. Pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang menyangkut harga daging sapi di Indonesia terutama kebijakan yang menguntungkan konsumen dan produsen.

3. Pembaca, sebagai sarana pembelajaran mengenai harga daging sapi di Indonesia dan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.


(18)

8

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia. Karena pemenuhan daging sapi di Indonesia berasal dari dua sumber yaitu sumber lokal dan impor maka variabel-variabel yang dianalisis berkaitan dengan kedua sumber tersebut. Harga daging sapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga daging sapi ditingkat konsumen (ritel) yang merupakan harga rata-rata nasional di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda dengan data time series triwulanan tahun 2008 hingga 2013.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Tentang Daging Sapi

Daging sapi merupakan komoditas strategis sebab merupakan bahan pangan pokok. Karena daging sapi masuk ke dalam golongan bahan pangan pokok maka dapat dipastikan terdapat berbagai isu masalah terutama dalam pemenuhannya di dalam negeri. Permasalahan yang sering muncul dalam kaitannya dengan komoditas daging sapi antara lain kondisi penawaran dan permintaan, produksi, permintaan impor dan kondisi harganya.

Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia

Penawaran dan permintaan daging sapi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Permintaan daging sapi dipengaruhi oleh harga riil daging sapi impor,depresiasi nilai tukar, konsumsi daging sapi nasional, tarif impor daging sapi, lag impor, dan dummy kebijakan. Peningkatan harga riil daging sapi impor, laju konsumsi nasional dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US$ cenderung meningkatkan volume impor daging sapi sedangkan tarif impor daging sapi membatasi masuknya daging sapi ke Indonesia sehingga dapat menurunkan volume impor daging sapi (Priyanto 1998). Populasi sapi lokal belum mencerminkan ketersediaan daging sapi nasional sepenuhnya yang dikarenakan rendahnya performa bobot sapi lokal. Disamping daging sapi lokal yang diusahakan oleh peternakan rakyat, ketersediaan daging sapi nasional juga mengandalkan daging sapi dari industri peternakan rakyat atau feedlotters. Penawaran daging sapi feedlotters dipengaruhi oleh jumlah sapi bakalan, harga ritel daging sapi impor, dan populasi sapi nasional. Jumlah sapi bakalan dan harga ritel daging sapi impor berpengaruh meningkatkan penawaran daging sapi feedlotters sebaliknya populasi sapi nasional menurunkan penawaran daging sapi feedlotters. Priyanto (1998) menjelaskan terdapat persaingan antara daging sapi impor dan daging sapi feedlotters sebab keduanya memiliki harga yang sama pada saat itu.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa (2005) produksi daging sapi nasional dipengaruhi oleh harga domestik daging sapi, suku bunga, populasi ternak sapi, harga ternak sapi, dan harga pakan. Permintaan daging sapi di dalam


(19)

9 negeri dipengaruhi oleh harga domestik daging sapi, harga daging ayam, harga ikan, harga telur, harga daging kambing, pendapatan per kapita, jumlah penduduk dan selera. Impor daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh harga daging sapi impor, kurs rupiah terhadap dollar AS, tarif impor, dan harga domestik daging sapi. Harga daging sapi impor dipengaruhi oleh harga ternak sapi Australia, tarif impor, dan kurs rupiah. Sementara itu harga daging sapi dunia dipengaruhi oleh interaksi impor dan ekspor daging sapi dunia sedangkan harga daging sapi dalam negeri dipengaruhi oleh produksi daging sapi dalam negeri, impor daging sapi dan permintaan daging sapi dalam negeri.

Ada banyak bahasan tentang penawaran dan permintaan daging sapi selain yang telah dijelaskan oleh Priyanto (1998) dan Kariyasa (2005). Ilham (2001) memaparkan permintaan daging sapi dapat dipengaruhi oleh harga daging sapi dan harga ikan. Penawaran daging sapi peternakan rakyat dipengaruhi oleh selisih antara harga daging dengan ternak sapi dan penawaran industri peternakan rakyat. Penawaran industri peternakan rakyat dipengaruhi oleh harga daging sapi, harga sapi bakalan impor dan suku bunga bank. Harga daging sapi domestik dipengaruhi oleh harga daging sapi impor, harga ternak sapi domestik, penawaran daging sapi domestik dan even hari lebaran. Ilham (2001) juga menyatakan bahwa permintaan daging sapi sangat responsif terhadap perubahan harga, artinya daging sapi merupakan barang mewah sehingga adanya sedikit penurunan harga dapat menyebabkan kenaikan permintaan yang signifikan. Pernyataan lainnya pengendalian harga daging sapi lebih didominasi oleh pemerintah sebab hasil dari penelitian tersebut terlihat bahwa harga daging sapi domestik tidak responsif terhadap perubahan harga daging sapi impor, harga ternak sapi domestik dan penawaran daging sapi domestik.

Hadiwijoyo (2009) juga meneliti permintaan dan penawaran daging sapi di dalam negeri namun perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (1998), Kariyasa (2005), dan Ilham (2001) terletak pada metodenya. Metode yang digunakan oleh Hadiwijoyo (2009) adalah regresi linear berganda sedangkan ketiga peneliti sebelumnya mengggunakan persamaan simultan. Hasilnya didapat permintaan daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik, harga ikan sebaga komoditas substitusi, pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk. Sementara itu penawaran daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik, produksi daging dalam negeri, harga ternak sapi, dan populasi sapi dalam negeri. Berbeda dengan Ilham (2001), Hadiwijoyo (2009) menyatakan bahwa permintaan daging sapi tidak responsif terhadap perubahan harga. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia meningkatkan permintaannya terhadap daging sapi hanya pada saat hari-hari besar saja seperti lebaran, natal dan tahun baru.

Impor Daging Sapi di Indonesia

Pemenuhan daging sapi selain berasal dari produksi domestik juga berasal dari impor. Beberapa faktor yang mempengaruhi impor daging sapi antara lain GDP riil perkapita negara eksportir, GDP riil perkapita Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara eksportir, harga riil daging sapi Indonesia, dan harga riil daging sapi internasional (Maraya 2013). Maraya (2013) mengggunakan data time series dan cross section antara tahun 2000 hingga 2011. Pengolahan data


(20)

10

menggunakan alat analisis berupa model regresi linear berganda dengan volume impor daging sapi sebagai variabel dependen sedangkan GDP riil perkapita negara Indonesia, GDP riil perkapita negara eksportir, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara eksportir, harga riil daging sapi Indonesia, harga riil daging sapi internasional, produksi daging sapi Indonesia dan produksi daging sapi negara eksportir sebagai variable independen. GDP riil perkapita Negara eksportir berpengaruh negatif sedangkan GDP riil perkapita Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara eksportir, dan harga riil daging sapi di Indonesia berpengaruh positif terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Dalam penelitian tersebut produksi daging sapi Indonesia dan produksi daging sapi negara ekportir tidak berpengaruh nyata namun sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut mengapa variabel produksi dalam negeri dan negara eksportir tidak mempengaruhi permintaan impor daging sapi di Indonesia.

Analisis mengenai permintaan impor daging sapi juga dilakukan oleh Nugroho (2006) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain nilai tukar riil, harga daging sapi impor, penawaran domestik, konsumsi daging dan pendapatan per kapita. Penawaran domestik, nilai tukar riil, dan harga daging sapi impor berpengaruh negatif sedangkan konsumsi daging, dan pendapatan per kapita berpengaruh positif.

Harga Daging Sapi di Indonesia

Burhani (2013) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas

harga daging sapi dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Volatilitas Harga

Daging Sapi Potong dan Daging Ayam Broiler di Indonesia”. Dalam penelitian

tersebut dipaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi potong dari sisi penawaran dan permintaan. Berdasarkan sisi penawaran volatilitas harga daging sapi dan daging ayam broiler dipengaruhi oleh harga produk bersangkutan, harga produk lain, biaya produksi, bencana alam, populasi sapi potong dan ayam broiler dan laju pemotongan ternak. Berdasarkan sisi permintaan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi dan ayam broiler antara lain harga produk bersangkutan, harga produk lain, pendapatan konsumen, peningkatan populasi penduduk, dan peningkatan kesadaran akan pentingnya makanan bergizi.

Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Data yang digunakan adalah data time series tahun 2003 hingga tahun 2013 sedangkan analisis kuantitatif menggunakan model ARCH-GARCH. Hasilnya (khusus untuk daging sapi) menunjukkan volatilitas harga daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh varian harga daging sapi satu periode sebelumnya. Sehingga dapat diintepretasikan jika harga daging sapi hari ini varian harganya besar maka tingkat harga daging sapi hari berikutnya akan cenderung besar.

Penelitian Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Komoditas di Dalam Negeri


(21)

11 Selain mengacu pada penelitian-penelitian mengenai daging sapi yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini juga mengacu pada penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi harga komoditas di dalam negeri. Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya terhadap Harga Beras di Dalam Negeri, Azziz (2006) memaparkan bahwa harga beras dipengaruhi oleh lag impor beras dan lag harga beras. Data untuk menduga pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri digunakan data triwulanan dari tahun 1999 hingga tahun 2005 yang dianalisis dalam persamaan regresi linear berganda.

Impor beras pada periode sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga beras di dalam negeri. Semakin besar volume impor beras maka harga beras di dalam negeri akan semakin turun. Respon harga beras terhadap impor beras periode sebelumnya bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu Azziz (2006) juga melakukan peramalan terhadap impor beras dalam limatahun kedepan dimulai dari tahun 2007. Hasilnya diperkirakan impor beras cenderung menurun.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Kurniawan (2007) yang mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi harga bawang merah enam kota besar di Indonesia. Dalam analisisnya Kurniawan (2007) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi harga bawang merah di DKI Jakarta yaitu harga bawang merah di Pasar Induk Keramat Jati, lag harga bawang merah, dummy hari besar keagamaan. Untuk kota Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Denpasar faktor yang berpengaruh yaitu harga bawang merah di Pasar Induk Keramat Jati dan lag harga bawang merah. Untuk Surabaya dipengaruhi oleh harga bawang merah di tingkat produsen, harga bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati dan lag harga bawang merah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda dengan data bulanan dari tahun 2002 hingga 2006.

Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian ini menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia. Meskipun Burhani (2013) juga melakukan penelitian mengenai volatilitas harga daging sapi di Indonesia dengan beberapa variabel yang sama namun metode yang digunakan berbeda. Metode yang digunakan oleh Burhani (2013) adalah ARCH GARCH sedangkan penelitian ini menggunakan metode regresi linier berganda seperti yang dilakukan oleh Azziz (2006) dan Kurniawan (2007).

Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian mengenai daging sapi yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian terdahulu mayoritas melakukan analisis pada sisi penawaran dan permintaan daging sapi baik dengan metode persamaan simultan (Priyanto 1998, Ilham 2001, dan Kariyasa 2005) dan regresi linear berganda (Hadiwijjoyo 2009). Penelitian ini tidak membahas penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia secara keseluruhan namun lebih terfokus pada interaksi dari penawaran dan permintaan itu sendiri yaitu harga daging sapi di Indonesia.


(22)

12

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Pembentukan Harga Daging Sapi

Dalam sebuah pasar, perdagangan suatu komoditas yang melibatkan pembeli dan penjual pasti akan memunculkan permintaan dan penawaran. Permintaan dan penawaran adalah dua hal yang terpisah yang merujuk pada perilaku anggota pasar (pembeli dan penjual) ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Perilaku anggota pasar dari sisi pembeli dilihat dari segi permintaan sedangkan dari sisi penjual dilihat dari segi penawaran. Permintaan dapat didefinisikan sebagai banyaknya jumlah barang dan atau jasa yang diminta oleh konsumen pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga dan tingkat pendapatan tertentu dalam periode waktu tertentu. Selain harga barang itu sendiri terdapat faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang antara lain pendapatan, harga barang lain yang berkaitan (substitusi dan komplementer), selera, ekspektasi di masa datang, dan sebagainya. Sementara itu, penawaran adalah banyaknya jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar dan tingkat harga tertentu serta dalam periode waktu tertentu. Penawaran juga dapat diartikan sebagai gabungan seluruh jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual pada pasar dan tingkat harga tertentu dalam periode waktu tertentu. Sama halnya dengan permintaan, penawaran juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal diluar harga barang itu sendiri. Beberapa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi penawaran yaitu harga input, teknologi, dan ekspektasi (Mankiw 2003). Pada kondisi tertentu penawaran suatu barang juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, harga barang lain (substitusi dan komplementer), anggaran produksi, daya konsumsi masyarakat, biaya produksi, tujuan produksi, dan sebagainya (Putong 2007).

Daging sapi sebagai komoditas yang diperjualbelikan tentunya tidak lepas dari permintaan dan penawaran. Permintaan dan penawaran dalam sebuah pasar akan saling berinteraksi dan interaksi antara keduanya akan menentukan kuantitas penjualan daging sapi beserta harganya pada titik ekuilibrium atau keseimbangan pasar. Pada keseimbangan pasar kuantitas daging sapi yang diinginkan oleh pembeli tepat sama dengan kuantitas yang ingin dan dapat dijual oleh penjual. Pada Gambar 4 dapat dilihat ekuilibrium terjadi pada harga Pb dengan kuantitas daging sapi sebesar Qb. Keseimbangan pasar daging sapi dapat berubah seiring dengan perubahan permintaan dan penawarannya. Suatu komoditas pertanian mengalami perubahan keseimbangan pasar yang berubah-ubah dari periode satu ke periode berikutnya merupakan hal yang wajar sebab kondisi permintaan maupun penawaran komoditas pertanian sering dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (Lipsey 1975). Pengaruh faktor-faktor eksternal tersebut dapat menyebabkan pergeseran permintaan dan penawaran daging sapi. Pergeseran permintaan dan penawaran tersebut dapat menyebabkan kenaikan ataupun penurunan harga daging sapi itu sendiri.


(23)

13

Gambar 4 Kurva keseimbangan pasar

Dalam bidang pertanian seringkali terjadi pergeseran permintaan dan penawaran komoditas termasuk daging sapi sehingga harganya menjadi naik. Hal ini sering terjadi pada periode menjelang hari raya atau lebaran. Pada periode menjelang lebaran permintaan meningkat melampaui penawarannya sehingga akan menggeser kurva permintaan ke kanan atas. Mula-mula harga dan kuantitas daging sapi berada di P0 dan Q0. Adanya hari raya atau lebaran menyebabkan pembeli meminta daging sapi lebih banyak sehingga kuantitas daging sapi yang diminta menjadi Q1. Akibatnya kurva permintaan D0 bergeser menjadi D1 sehingga mendorong kenaikan harga daging sapi yaitu dari P0 menjadi P1. Pergeseran tersebut membentuk keseimbangan pasar di titik E1. Begitu pula sebaliknya, jika terdapat suatu faktor yang menurunkan kuantitas daging sapi yang diminta pada tingkat harga tertentu maka kurva permintaan akan bergeser ke kiri bawah. Jika terjadi penurunan permintaan daging sapi dari Q0 menjadi Q2 maka akan menggeser kurva permintaan D0 menjadi D2. Pergeseran tersebut akan menurunkan harga dari P0 menjadi P2 sehingga membentuk keseimbangan baru di E2 (Gambar 5). Faktor lain yang dapat mempengaruhi harga sutu komoditas terutama komoditas pokok seperti daging sapi adalah ekspektasi masyarakat. Ekpektasi dapat menggeser kurva permintaan ke kanan atas maupun ke kiri bawah dengan kata lain ekspektasi dapat menaikkan ataupun menurunkan harga suatu komoditas.

E

S

D P

Q Pb


(24)

14

Gambar 5 Pergeseran kurva permintaan

Selain pergeseran permintaan juga terdapat pergeseran penawaran. Pada komoditas bahan pokok dan strategis seperti daging sapi maka penawarannya seringkali dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah ini ada yang bersifat menggeser kurva penawaran ke kiri atas ataupun ke kanan atas sehingga harga komoditas tersebut dapat naik ataupun turun. Apabila kebijakan pemerintah menurunkan kuantitas daging sapi yang ditawarkan maka kurva penawaran akan bergeser ke kiri atas. Mula-mula kuantitas daging sapi yang ditawarkan berubah dari Q0 menjadi Q1 sehingga terjadi pergeseran kurva penawaran dari S0 menjadi S1 artinya setiap tingkat harga tertentu kuantitas daging sapi yang ditawarkan menjadi lebih rendah. Penurunan dalam penawaran meningkatkan harga dari P0 menjadi P1 sehingga membentuk keseimbangan baru di E1. Hal sebaliknya, jika kebijakan pemerintah menaikkan penawaran daging sapi maka akan meneybabkan pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah. Hal ini diawali dengan berubahnya kuantitas daging sapi yang ditawarkan dari Q0 menjadi Q2 sehingga menggeser kurva penawaran dari S0 ke S2. Kondisi ini menyebabkan harga turun dari P0 menjadi P2 sehingga terbentuk keseimbangan baru di E2 (Gambar 6).

Gambar 6 Pergeseran kurva penawaran E2

E0

S E1

P

P1

D1 P0

P2

Q2

D0 D2

Q

Q0 Q1

D E1

E0

E2

S1 S0

S2

Q P1

Q0 Q2 P2

P0 P


(25)

15

Konsep Perdagangan Internasional

Setiap negara yang ada di dunia ini memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berbeda-beda baik jumlah, mutu maupun pengadaannya. Pada masa perekonomian masih bersifat intrasulir dimana perdagangan hanya dilakukan antar wilayah dalam satu negara, maka kebutuhan penduduk dalam suatu negara dapat dipenuhi oleh produsen di dalam negerinya sendiri. Berbeda dengan kondisi sekarang dimana pertumbuhan penduduk, perubahan selera, dan pengaruh gaya hidup menyebabkan kebutuhan penduduk semakin bertambah baik jumlah maupun ragamnya ditambah lagi dengan adanya tuntutan masyarakat terhadap mutu dan manfaat produk yang dikonsumsi. Di sisi lain suatu negara dihadapkan dengan ketidakmampuan dalam hal pengadaan suatu produk tertentu bagi penduduknya yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kualitasnya rendah bila dihasilkan di dalam negeri, jumlah bahan bakunya yang terbatas, keterbatasan teknologi, dan kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai akibatnya harganya menjadi relatif mahal. Sementara itu negara lain dapat menghasilkan produk tersebut dalam jumlah banyak dengan biaya yang lebih rendah sehingga harganya lebih murah daripada harga di dalam negeri. Hal ini mendorong produsen suatu negara untuk memperoleh produk yang dimaksud dari negara lain. Untuk mendapatkan produk dari luar negaranya maka produsen perlu melakukan kesepakatan pembelian dan pembayaran dengan ketentuan yang disepakati. Adanya kesepakatan antara pembeli dan penjual antar negara ini timbulah perdagangan internasional.

Perdagangan internasional adalah perdagangan antar negara yang memiliki kesatuan hukum dan kedaulatan yang berbeda dengan kesepakatan tertentu dan memenuhi kaidah-kaidah baku yang telah ditentukan dan diterima secara internasional (Putong 2007). Perdagangan internasional juga dapat dikatakan sebagai pertukaran barang dan jasa yang terjadi melampaui batas-batas negara (Lipsey 1997). Selain itu perdagangan internasional juga merupakan suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. Dengan kata lain perdagangan antara dua negara terjadi akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan permintaan disebabkan oleh selera dan tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Negara dalam hal ini akan mengekspor komoditas yang lebih murah dan akan mengimpor komoditas yang lebih mahal dalam penggunaan sumberdaya (Kindleberger 1985).

Dengan demikian perdagangan internasional dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pertukaran komoditas yang terjadi melampaui batas-batas negara akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran dengan kesepakatan tertentu dan kaidah-kaidah yang telah disepakati secara internasional. Pada prinsipnya dalam suatu kegiatan perdagangan internasional tidak ada negara yang dirugikan sebab suatu negara tidak mengharapkan kerugian atas perdagangan yang mereka lakukan. Hanya saja bila suatu negara jumlah pengeluaran untuk pembelian lebih besar daripada pendapatan atas penjualan maka dikatakan mengalami defisit. Sebaliknya bila jumlah pendapatan atas penjualan lebih besar daripada jumlah pengeluaran untuk pembelian maka suatu negara dikatakan mengalami surplus.

Perdagangan internasional timbul utamanya karena perbedaan-perbedaan harga relatif antar negara (Ball et al 2005). Perdagangan internasional komoditas


(26)

16

daging sapi terjadi akibat adanya perbedaan harga relatif di negara eksportir dan negara importir. Perbedaan harga relatif tersebut berasal dari perbedaan dalam biaya produksi yang diakibatkan oleh :

1. Perbedaan-perbedaan dalam memperoleh faktor produksi

2. Perbedaan-perbedaan dalam tingkat teknologi yang menentukan intensitas faktor yang digunakan

3. Perbedaan-perbedaan dalam efesiensi pemanfaatan faktor produksi dan faktor teknologi

4. Kurs valuta asing

Secara teoritis mekanisme terjadinya perdagangan internasional diawali dengan adanya excess demand dan excess supply suatu komoditas X di dua negara. Negara yang memiliki excess demand yaitu Negara B akan mengimpor komoditas X dari negara yang memiliki excess supply yaitu Negara A (Gambar 7).

Sumber : Salvatore (1997)

Gambar 7 Mekanisme perdagangan internasional

Pada negara A terjadi keseimbangan antara permintaan DA dan penawaran SA di titik EA dengan harga PA dan jumlah QA0 (dengan asumsi bahwa harga di negara A relatif lebih murah daripada harga di negara B). Pada negara B terjadi keseimbangan antara permintaan DB dan penawaran SB di titik EB dengan harga PB dan jumlah QB0. Untuk harga di atas PA maka produsen di negara A akan memproduksi komoditas X lebih banyak daripada jumlah permintaan sehingga menimbulkan excess supply sedangkan untuk harga di bawah PB maka konsumen di negara B akan meminta komoditas X lebih banyak daripada jumlah penawaran sehingga menimbulkan excess demand.

Selanjutnya diasumsikan terjadi perdagangan antara negara A dan negara B dengan biaya transportasi sebesar nol serta tidak terdapat hambatan tarif dan nontarif. Pada pasar internasional terjadi perpotongan antara penawaran ekspor SX yang merupakan excess supply function dari negara A dengan permintaan ekspor DM yang merupakan excess demand function dari negara B. Keseimbangan terjadi di titik EW yang menghasilkan harga dunia di titik PW, dimana negara A mengekspor sebesar QA1-QA2 yang sama dengan jumlah impor oleh negara B sebesar QB1-QB2. Jumlah ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh jumlah


(27)

17 perdagangan di pasar internasional sebesar QW. Berdasarkan teori perdagangan internasional tersebut maka diketahui bahwa adanya impor suatu komoditas X dapat menurunkan harga komoditas yang sama di negara importir, begitu pula dengan daging sapi. Impor dalam bentuk daging sapi dan sapi bakalan diharapkan dapat menurunkan harga daging sapi di Indonesia.

Terjadinya perdagangan internasional melibatkan dua pasar yang berbeda yaitu pasar di tingkat eksportir dan pasar di tingkat importir. Seperti yang dipaparkan dalam teori perdagangan internasional, harga komoditas di tingkat eksportir dan harga di tingkat importir berbeda. Daging sapi merupakan komoditas yang diperdagangkan secara internasional yang melibatkan pasar di tingkat eksportir dan pasar di tingkat importir. Kedua pasar tersebut memiliki harga yang berbeda dan dapat saling mempengaruhi. Artinya perubahan harga di tingkat eksportir (pasar acuan) dapat menyebabkan perubahan harga di tingkat importir. Hal ini disebut dengan istilah integrasi pasar.

Integrasi pasar dapat diartikan sebagai seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada tingkat lembaga pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Dalam suatu pasar yang efisien sistem pasar terintegrasi terdapat hubungan positif sepanjang waktu antara tingkat harga pada lokasi pasar yang berbeda. integrasi pasar dibedakan menjadi dua jenis yaitu integrasi vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal adalah integrasi yang terjadi antar lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu industri (sistem agribisnis). Sementara itu, integrasi horizontal meliputi integrasi pasar spasial, temporal, dan integrasi harga silang. Integrasi pasar spasial digambarkan sebagai hubungan antar pasar yang terpisah secara geografis atau wilayah (Aryani 2009 dan Hafizah 2009 dalam Asmarantaka 2012). Dalam hal ini integrasi pada perdagangan daging sapi adalah integrasi pasar spasial sebab pasar di tingkat eksportir berada di luar negeri sedangkan pasar di tingkat importir berada di Indonesia.

Teori Regresi Linier Berganda

Dalam melakukan studi empiris mengenai suatu fenomena ekonomi maka diperlukan suatu pemodelan ekonometrika. Pemodelan ekonometrika ini salah satunya direpresentasikan sebagai sebuah persamaan matematika yang dapat terdiri dari satu atau beberapa persamaan yang saling berkaitan. Salah satu bentuk persamaan yang sering digunakan dalam pemodelan ekonometrika adalah regresi linier berganda. Regresi linier berganda adalah model regresi yang terdiri dari dua atau lebih variabel bebas dalam memprediksi variabel terikat. Variabel terikat dilambangkan dengan Y sedangkan variabel bebas dilambangkan dengan X1, X2, X3, X4,...,Xk. Setelah kumpulan awal variabel bebas dapat ditentukan maka khubungan antara Y dengan X dapat disebut sebagai model regresi linier berganda (Hanke 2003).

Secara umum model statistik untuk regeresi linier berganda ini dapat dituliskan sebagai berikut (Sitepu dan Sinaga 2006) (Hanke 2003) :

Yi = β0+ β1X1i + β2X2i + ... + βkXki + εi Dimana :


(28)

18

Y = variabel terikat (dependent variable) dan X1, X2, ..., Xk merupakan variabel bebas (independent variable)

β0 = intercept

β1,..., βk = koefisien parameter regresi yang bersama-sama menentukan lokasi

fungsi regeresi tidak diketahui

ε = galat atau residual (faktor pengganggu stokastik) yang mewakili deviasi respon dari hubungan yang sebenarnya.

i (1,2,...,n) = pengamatan ke-i.

Dalam mengestimasi koefisien parameter sebuah persamaan biasanya digunakan sebuah metode yang disebut dengan Metode Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Square Method). Sebuah model regresi linier berganda yang diestimasi dengan menggunakan metode Ordinasi Least Square (OLS) terdapat beberapa asumsi yang mendasarinya, antara lain :

1. Spesifikasi model ditetapkan seperti dalam persamaan regresi linier berganda

2. Peubah Xk merupakan peubah nonstokastik (fixed), artinya sudah ditentukan bukan peubah acak. Selain itu tidak ada hubungan linier sempurna antar peubah bebas Xk.

3. Komponen error εi mempunyai nilai harapan sama dengan nol dan ragam

konstan untuk semua pengamatan i. E(εi)=0 dan Var(εi)=σ2

4. Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan εi sehingga Cov(εi,

εj)=0, untuk i≠j

5. Komponen sisaan menyebar normal.

Koefisen estimasi yang diperoleh dari suatu model persamaan regresi dengan mengunakan metode OLS merupakan suatu metode yang menghasilkan estimasi linier Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Menurut teorema Gauss-Markov jika asumsi (1), (2), (3), (4) dipenuhi maka pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan metode OLS akan menghasilkan penduga tak bias terbaik atau yang disebut dengan BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Penduga terbaik adalah penduga yang ragamnya paling kecil diantara semua penduga tak bias linear lainnya. Semakin kecil ragam suatu penduga maka akan semakin efisien.

Asumsi (5) berkaitan dengan uji F dan uji t. Uji F dan uji t jarang dilakukan jika ukuran contohnya relatif besar (>30) namun tetap dilakukan apabila ukuran contohnya lebih kecil (<30).

1. Uji Global

Uji global disebut juga uji signifikansi serentak atau uji F adalah uji kemampuan menyeluruh semua variabel bebas terhadap variabel terikat secara bersama-sama.

2. Uji Signifikansi Parsial atau individual

Uji signifikansi parsial atau individual digunakan untuk menguji apakah suatu variabel bebas berpengaruh atau tidak terhadap variabel terikat.

Uji Asumsi OLS


(29)

19 Autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi yang terjadi antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu ( data time series) atau yang tersusun dalam rangkaian ruang data (data cross sectional). Dapat diikatan autokorelasi adalah korelasi atau hubungan antara antara variabel itu sendiri pada observasi atau individu yang berbeda. Autokorelasi pada umumnya banyak terjadi pada data time series dengan adanya keterkaitan atau korelasi dari nilai Xk pada setiap periode dengan nilai Xk pada periode sebelumnya.

Adanya autokorelasi dapat menghasilkan underestimated standard error parameter. Selanjutnya nilai statistik t dan F juga R2 cenderung menjadi overestimated sehingga memberikan kesimpulan yang menyesatkan tentang arti statistik dan hasil dari koefisien parameter estimasi.

2. Uji Heteroskedastisitas

Kondisi dimana terdapat nilai disturbance term atau varian yang tidak konstan disebut dengan heteroskedastisitas. Hal ini juga dapat terjadi ketika error term memiliki varian yang tidak konstan. Heteroskedastisias menyebabkan nilai estimasi OLS parameter varian menjadi bias sehingga nilai parameter statistik t dan F menjadi tidak dapat dipercaya dengan kata lain tidak valid untuk digunakan. Heteroskedastisitas umumnya lebih banyak terjadi pada data cross section bila dibandingkan dengan data time series. Dalam menguji heteroskedastisitas dapat digunakan metode grafik, metode park, meetode white, metode, rank spearman, dan metode transformasi (Sitepu dan Sinaga 2006).

3. Uji Multikolinearitas

Suatu persamaan statistik dikatakan mengalami multikolinearitas apabila terdapat suatu hubungan linier antara dua atau lebih variabel bebas (predictor variables). Dalam hal ini variabel-variabel bebas ini tidak bersifat ortogonal atau nila korelasi antara variabel satu dengan yang lainnya tidak sama dengan nol. Nilai korelasi antar variabel dinyatakan dalam indeks 0 sampai 1. Jika nilai korelasi antar variabel bebas adalah sempuna atau sama dengan satu maka koefisien parameter menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standard error setiap koefisien estimasi menjadi tidak terhingga. Pada kenyataannya jarang ditemui kasus tidak terdapat korelasi antar variabel-variabel bebas ataupun korelasi sempurna. Dengan kata lain, pada kasus persamaan linear berganda terutama yang melibatkan variabel-variabel ekonomi di dalamnya akan memiliki derajat interkorelasi. Hal ini disebabkan variabel-variabel ekonomi memiliki ketergantungan satu sama lain sepanjang waktu. Hanya saja derajat interkorelasi tersebut ada yang berpengaruh secara signifikan ataupun tidak.

Kerangka Pemikiran Operasional

Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia maka kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi protein hewani sebagai bentuk pemenuhan gizi juga semakin tinggi. Salah satu sumber protein hewani yang jumlah permintaannya mengalami peningkatan adalah daging sapi. Namun laju peningkatan permintaan tersebut tidak diimbangi oleh laju peningkatan produksi lokal akibatnya sebagian kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap daging sapi harus ditunjang oleh impor. Disamping itu harga daging sapi di Indonesia relatif


(30)

20

lebih mahal dibandingkan dengan di negara lainnya. Akibatnya daya beli masyarakat sebagai konsumen menjadi melemah sementara itu produsen juga tidak diuntungkan dengan kondisi ini. Buktinya tingginya harga daging sapi tidak menjadi intensif bagi produsen terutama peternak sapi potong untuk meningkatkan jumlah produksinya. Sementara itu pemerintah berupaya menurunkan harga daging sapi dengan impor sebagai salah satu instrumennya. Pemerintah mengimpor dalam bentuk daging sapi dan sapi bakalan padahal jika hal ini terus dibiarkan maka dapat mengancam agribisnis sapi potong di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini ditujukan untuk mengkaji bagaimana pengaruh impor daging sapi dan sapi bakalan terhadap harga daging sapi di Indonesia serta bagaimana pula pengaruh dari faktor lainnya sehingga dapat disimpulkan apakah sudah tepat keputusan pemerintah untuk menambah volume impor daging sapi dan sapi bakalan sebagai upaya stabilisasi harga daging sapi di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga daging sapi di Indonesia serta hal-hal yang berkaitan di dalamnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu analisis deskriptif dan analisis regresi linear berganda. Analisis deskriptif digunakan untuk memaparkan pengadaan daging sapi di Indonesia baik dari sumber lokal maupun impor beserta pola penyediaannya (rantai distribusi) yang nantinya berhubungan dengan proses pembentukan harga daging sapi di Indonesia. Kemudian analisis dilanjutkan dengan menggunakan pemodelan regresi linear berganda. Karena kebutuhan daging sapi dipenuhi oleh sumber lokal dan impor maka harga daging sapi di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sumber lokal dan faktor-faktor-faktor-faktor yang berkaitan dengan sumber impor. Faktor-faktor yang berkaitan dengan sumber lokal antara lain harga daging sapi periode sebelumnya, hari raya lebaran, dan kebijakan swasembada daging sapi tahun 2014. Sementara itu faktor-faktor yang berkaitan dengan sumber impor antara lain volume impor daging sapi, volume impor sapi bakalan, harga paritas impor daging sapi, harga paritas impor sapi bakalan dan nilai tukar rupiah terhadap US$. Dari hasil yang didapat baik analisis deskriptif maupun regresi linear berganda akan diidentifikasi implikasinya terhadap kebijakan daging sapi di Indonesia serta alternatif strategi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menghadapi masalah harga daging sapi di Indonesia.


(31)

21

Peningkatan harga daging sapi di Indonesia

Analisis Regresi Linear Berganda Analisis Deskriptif

Sumber Lokal Sumber Impor

Pola Penyediaan (rantai distribusi)

Harga Daging Sapi di Indonesia

Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Daging Sapi Identifikasi Pengadaan

daging sapi di Indonesia

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi :

- Volume impor daging sapi

- Volume impor sapi bakalan

- Harga paritas impor daging

sapi

- Harga paritas impor sapi

bakalan

- Nilai tukar Rupiah terhadap

US$

- Harga daging sapi periode

sebelumnya

- Kebijakan swasembada daging

sapi tahun 2014

- Hari raya lebaran


(32)

22

Hipotesis

1. Volume impor daging sapi berpengaruh negatif terhadap harga daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi volume impor maka harga daging sapi di Indonesia akan semakin turun.

2. Volume impor sapi bakalan berpengaruh negatif terhadap harga daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi volume impor sapi bakalan maka harga daging sapi di Indonesia akan semakin turun.

3. Harga paritas impor daging sapi berpengaruh positif terhadap harga daging sapi di Indonesia. Jika terjadi kenaikan pada harga paritas impor maka harga daging sapi di Indonesia juga akan meningkat.

4. Harga paritas impor sapi bakalan berpengaruh positif terhadap harga daging sapi di Indonesia. Jika terjadi kenaikan pada harga paritas impor sapi bakalan maka harga daging sapi di Indonesia juga akan meningkat.

5. Nilai tukar rupiah berpengaruh positif terhadap harga daging sapi di Indonesia. Jika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi maka harga daging sapi di Indonesia juga mengalami kenaikan.

6. Lag harga daging sapi periode sebelumnya berpengaruh positif terhadap harga daging sapi di Indonesia. harga daging sapi periode t akan lebih tinggi daripada harga daging sapi periode sebelumnya.

7. Dummy hari raya berpengaruh positif terhadap harga daging sapi di Indonesia. Adaya hari raya mengakibatkan kenaikan harga daging sapi di Indonesia. 8. Dummy kebijakan swasembada daging sapi berpengaruh negatif terhadap harga

daging sapi di Indonesia. Adanya kebijakan swasembada daging sapi yang hendak dicapai tahun 2014 menyebabkan harga daging sapi di Indonesia turun.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2014 sedangkan pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2014. Penelitian ini dilakukan di berbagai institusi yang menyediakan data terkait dengan penelitian diantaranya Kementerian Perdagangan dan BPS. Penelitian ini juga didukung informasi dari pakar peternakan, peternak skala kecil dan peternak skala besar. Wawancara terhadap pakar peternakan, peternak skala besar dan peternak skala kecil dilakukan di Bogor.

Data dan Sumber Data

Data yang digunakan untuk menganalisis sumber pengadaan impor daging sapi di Indonesia baik sumber lokal maupun impor adalah data time series tahunan


(33)

23 dari tahun 2008 hingga 2013. Analisis faktor-faktor yang mempenaruhi harga daging sapi di Indonesia menggunakan data time series triwulanan dari tahun 2008 hingga tahun 2013. Alasan menggunakan data tahun 2008-2013 adalah pada periode tersebut terdapat berbagai isu penting yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain volume impor daging sapi dan sapi bakalan mencapai puncaknya, terdapat kebijakan baru terkait daging sapi yaitu PSDS 2014, dan terjadi lonjakan harga daging sapi yang paling tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Data diperoleh dari Kementrian Perdagangan, Bank Indonesia, UN Comtrade, World Bank, Badan Pusat Statistik (BPS), serta studi kepustakaan berupa literatur-literatur terkait dengan harga daging sapi, perdagangan internasional, impor daging sapi, dan swasembada daging sapi. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut maka juga dilakukan wawancara kepada pakar peternakan, peternak skala besar dan peternak skala kecil yang ditentukan dengan teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Masing-masing terdiri dari satu responden. Peternak skala besar dan pakar peternakan berlokasi di Bogor, Jawa Barat sedangkan peternak skala kecil berlokasi di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.

Tabel 2 Data dan sumber data penelitian

No Variabel Satuan Simbol Sumber

1 Harga paritas impor daging sapi

Rp/kg HIM -Kementerian Perdagangan

-World Bank

2 Harga daging sapi di Indonesia sapi

Rp/kg HD -Kementerian Perdagangan

3 Harga paritas impor daging sapi

Rp/kg HIM -Kementerian Perdagangan

4 Harga paritas impor sapi bakalan

Rp/kg HIB -Kementerian Perdagangan

5 Volume impor daging sapi

ton MD -BPS

-Kementerian Perdagangan 6 Volume

impor sapi

ton MBK -BPS


(34)

24

bakalan 7 Nilai

tukar rupiah terhadap US$

Rp/US$ ER -Bank Indonesia

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu analisis deskriptif dan model persamaan regresi linear berganda.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Analisis deskriptif disebut juga statistik deskriptif yaitu statistika yang menggunakan data pada suatu kelompok untuk menjelaskan atau menarik kesimpulan mengenai kelompok itu saja (Suryoatmono 2004). Analisis deskriptif juga merupakan bagian dari statistika yang mempelajarai cara pengumpulan data dan penyajian data sehingga mudah dipahami. Analisis deskriptif hanya berhubungan dengan hal menguraikan atau memberikan keterangan-keterangan mengenai suatu data atau keadaan dengan kata lain analisis deskriptif berfungsi menerangkan kedaan, gejala, atau persoalan. Penarikan kesimpulan pada analisis deskriptif hanya ditujukan pada kumpulan data yang ada (Hasan 2001).

Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat dikatakan bahwa analisis deskriptif adalah bagian dari statistika yang menganalisis suatu kelompok data dengan cara menggambarkan atau memaparkan data tersebut sebagaimana adanya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk generalisasi. Dengan kata lain penarikan kesimpulan hanya ditujukan untuk kelompok data yang dianalisis saja. Analisis deskriptif dapat berupa grafik, tabel, diagram lingkaran, piktogram, perhitungan modus, median, mean, desil, persentil, standar deviasi, dan persentase (Sugiyono 2013).

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan pengadaan daging sapi di Indonesia baik sumber lokal maupun impor, pola penyediaan daging sapi serta perkembangan harga daging sapi dengan menggunakan tabel, pie chart, gambar dan grafik.

Perumusan Model Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia

Menurut Ilham (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia diantaranya harga daging sapi impor, harga ternak sapi, penawaran daging sapi domestik, tren waktu, dummy hari raya idul fitri, lag harga daging sapi. Priyanto menyatakan harga daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh harga


(35)

25 daging sapi impor, penawaran daging sapi nasional, dan populasi sapi nasional. Sementara itu Kariyasa (2005) menggunakan variabel produksi daging sapi di dalam negeri, impor daging sapi di Indonesia, permintaan dalam negeri, dan dummy krisis ekonomi. Berdasarkan penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran teoritis maka model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

HD = f(MD, MBK, HIM, HIB, ER, LagHD, D1, D2) Dimana :

HD = Harga daging sapi di Indonesia (Rp/kg) MD = Volume impor daging sapi (ton)

MBK = Volume impor sapi bakalan (ton)

HIM = Harga paritas impor daging sapi (Rp/kg) HIB = Harga paritas impor sapi bakalan (Rp/kg) ER = Nilai tukar rupiah terhadap US$ (Rp/US$) LagHd = Harga domestik periode sebelumnya (Rp/kg) D1 = Dummy hari raya

D2 = Dummy kebijakan swasembada daging sapi 2014

Sehingga dapat dirumuskan ke dalam persamaan regresi linear berganda sebagai berikut :

Hdt = b + b1 MDt + b2 BKLt + b3 HIMt + b4 HIBt + b5 ERt + b6 LagHdt + b7 D1t + b8 D2t + εt

Dimana :

b = Intercept

b1, …, b6 = Koefisien parameter yang akan diestimasi

HDt = Harga daging sapi di Indonesia periode t (Rp/kg) MDt = Volume impor daging sapi periode t (ton)

MBKt = Volume impor sapi bakalan periode t (ton)

HIMt = Harga paritas impor daging sapi periode t (Rp/kg) HIBt = Harga paritas impor sapi bakalan periode t (Rp/kg) ERt = Nilai tukar rupiah terhadap US$ periode t (Rp/US$) LagHDt-1 = Harga daging sapi di Indonesia periode t-1 (Rp/kg) D1t = Dummy hari raya

= 1 untuk periode hari raya, 0 untuk periode di luar hari raya D2t = Dummy kebijakan swasembada daging sapi tahun 2014 1 untuk periode setelah, 0 untuk periode sebelum

εt = error


(36)

26

Untuk memahami variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka akan dijelaskan mengenai definisi dari variabel-variabel tersebut, yaitu : 1. Volume impor daging sapi yaitu volume rata-rata triwulanan daging sapi impor

dari tahun 2008 hingga tahun 2013. Variabel ini dinyatakan sebagai variabel independen dengan satuan ton.

2. Volume impor sapi bakalan yaitu volume rata-rata triwulanan sapi bakalan impor pada tahun 2008 hingga tahun 2013. Variabel ini dinyatakan sebagai variabel independen dengan satuan ton.

3. Harga paritas impor daging sapi yaitu harga riil rata-rata triwulanan daging sapi impor (CIF) tahun 2008 hingga tahun 2013. Variabel ini dinyatakan sebagai variabel independen dengan satuan Rp/kg.

4. Harga paritas impor sapi bakalan yaitu harga riil rata-rata triwulanan sapi bakalan impor (CIF) tahun 2008 hingga tahun 2013. Variabel ini dinyatakan sebagai variabel independen dengan satuan Rp/kg.

5. Harga daging sapi di Indonesia yaitu harga daging sapi di pasar domestik (Indonesia) yang diambil rata-rata per triwulannya dari tahun 2008 hingga tahun 2013. Harga daging sapi di Indonesia yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan harga daging sapi nasional yang tercatat di lembaga pemerintahan yaitu Kementerian Perdagangan. Variabel ini dinyatakan sebagai variabel dependen dengan satuan Rp/kg.

6. Nilai tukar rupiah terhadap US$ yaitu nilai tukar nominal rupiah terhadap US$ yang tercatat di Bank Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap US$ merupakan nilai tukar rata-rata per triwulan dari tahun 2008 hingga 2013. Variabel ini dinyatakan sebagai variabel independen.

7. Dummy hari raya adalah periode menjelang puasa hingga lebaran (hari raya Idul Fitri). Variabel ini dinyatakan sebagai variabel independen.

8. Dummy kebijakan swasembada daging sapi adalah kebijakan swasembada daging sapi 2014 yang ditetapkan di tahun 2010. Variabel ini dinyatakan sebagai variabel independen.

Pengujian Hipotesis

a. Uji Global (Uji F)

Uji global disebut juga uji signifikansi serentak atau uji F adalah uji kemampuan menyeluruh semua variabel bebas terhadap variabel terikat secara bersama-sama.

Hipotesis:

H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = βk = 0

H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ βk ≠ 0

F hitung = e2 / (k-1) : (1- e2) / (n-k) Dimana :

e2 : jumlah kuadrat regresi (1- e2) : jumlah kuadrat sisa n : jumlah sampel k : jumlah parameter


(37)

27 Kriteria Uji , Apabila : |F hitung| > Ftabel maka tolak H0

|F hitung| < Ftabel maka terima H0

Kesimpulan : jika tolak H0 maka sudah cukup bukti untuk menolak H0 yang berarti bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tak bebas, demikian sebaliknya jika terima H0.

b. Uji Parsial (Uji t)

Uji signifikansi parsial atau individual digunakan untuk menguji apakah suatu variabel bebas berpengaruh atau tidak terhadap variabel terikat.

H0 : β1 = 0 H1 : β1 ≠ 0

Kriteria uji t hitung = |t-hitung| > t-tabel maka tolak H0 |t-hitung| < t-tabel maka terima H0

Kesimpulan : jika tolak H0 maka cukup bukti untuk menolak H0 yang berarti bahwa masing-masing variabel berpengaruh signifikan terhadap variabel tak bebas.

c. Uji R-Square

Uji R-square digunakan untuk melihat seberapa jauh model dapat menjelaskan keragaman data.

R² = JKR ⁄ JKT

Dimana :

R² = Koefisien Determinasi JKR = Jumlah Kuadrat Regresi JKT = Jumlah Kuadrat Total

Kesimpulan : Semakin tinggi nilai R-square maka semakin besar variasi model yang dapat dijelaskan oleh model.

d. Uji Asumsi OLS

1. Uji Normalitas

Digunakan untuk melihat apakah model distribusi dari error term-nya (residual) menyebar normal atau tidak. Uji normalitas dapat dilakukan dengan melihat nilai jarque bera yang dihasilkan ataupun p value yang dihasilkan.

H0 : residual menyebar normal H1 : residual tidak menyebar normal Kriteria uji :


(38)

28

jika jarque bera hitung < chi square table atau p value > 5% maka terima H0

Kesimpulan : jika terima H0 maka sudah cukup bukti untuk menerima H0 yang berarti bahwa residual menyebar normal.

2. Uji Autokorelasi

Masalah autokorelasi umumnya terjadi pada data time series. Karena pada model persamaan regresi dalam penelitian ini menggunakan variabel lag dari variabel dependen maka uji durbin watson sudah tidak layak untuk dipakai sehingga deteksi autokorelasi menggunakan uji Breusch-Godfrey atau uji Lagrange Multiplier (LM).

H0 : tidak ada autokorelasi H0 : ada autokorelasi

Jika p value chi square > taraf nyata 5% maka terima H0 Jika p value chi square < taraf nyata 5% maka tolak H0

Kesimpulan : jika terima H0 maka sudah cukup bukti untuk menerima H0 yang artinya bahwa tidak ada autokorelasi.

3. Uji Heteroskesdastisitas

Uji ini digunakan untuk melihat varian residual apakah konstan atau tidak. Jika varians residual konstan maka asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Dengan demikian perlu digunakan White Heteroskedasticity Test.

Ho : Homoskedastisitas H1 : Heteroskedastisitas

Jika p value chi square > taraf nyata 5% maka terima H0 Jika p value chi square < taraf nyata 5% maka tolak H0

Kesimpulan : jika terima H0 maka sudah cukup bukti untuk menolak H0 yang berarti residual bersifat homogen atau tidak ada masalah heteroskedastisitas. 4. Uji Multikolinearitas

Uji ini digunakan untuk melihat bagaimana variabel bebas mempengaruhi variabel bebas lainnya dalam suatu persamaan. Hal tersebut dapat dilihat dengan cara manghitung Varian Inflation Factor (VIF). The rule of thumb VIF yang digunakan adalah 10. Apabila nilai VIF variabel lebih dari 10 maka dikatakan terdapat masalah autokorelasi.


(1)

54

[MLA] Meat and Livestock Australia. 2014. Australian Beef Product Guide. Livestock Production [Internet]. [diunduh 2014 Mei 16]. Tersedia pada: http://www.mla.com.au/Livestock-production

Nugroho SA. 2008. Analisis Permintaan Impor Daging Sapi Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[OIE] Worl Organisation for Animal Health. 2014. List of FMD Free Member Countries. Animal Health in The World [Internet]. [diunduh 2014 Jun 18]. Tersedia pada: http://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/official-disease-status/fmd/list-of-fmd-free-members/

Priyanto D. 2003. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi Dalam Rangka Proteksi Peternak Domestik : Analisis Penawaran dan Permintaan [thesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Putong I. 2007. Economics, Pengantar Mikro dan Makro. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Sitepu RK, Sinaga BM. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. Bogor : IPB Press. Sudarmono AS, Sugeng YB. 2008. Sapi Potong : Pemeliharaan, Perbaikan

Produksi, Prospek Bisnis, Analisis Penggemukan. Jakarta : Penebar Swadaya.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Bandung : ALFABETA.

Suryoatmono B. 2007. Kursus Statistika Dasar [Internet]. [diunduh 2014 Jun 20]. Tersedia pada: http://home.unpar.ac.id/~suryoatm/Kursus Statistika Dasar.PDF

Talib C, Noor YG. 2008. Penyediaan Daging Sapi Nasional dalam Ketahan Pangan Indonesia. Di dalam: Talib C, Noor YG, editor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): Litbang. hlm 44-51; [diunduh 2014

Mei 7]. Tersedia pada:

http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pro08-7.pdf

[USDA] United States Department of Agriculture. 2014. Grading, Certification and Verification. AMS USDA [Internet]. [diunduh 2014 Mei 4]. Tersedia pada: http://www.ams.usda.gov

Wanti PIN. 2013. Analisis Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Widarjono A. 2013. Ekonometrika : Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta : UPP STIM YKPN.

World Bank. 2014. Prices (Pink Sheet). Commodity Market [Internet]. [diunduh

2014 Feb 4]. Tersedia pada:

http://econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTDECPRO SPECTS/0,,contentMDK:21574907~menuPK:476908~pagePK:64165401~ piPK:64165026~theSitePK:476883~isCURL:Y,00.html


(2)

55

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar negara berdasarkan statusnya terhadap Penyakit Kuku dan Mulut


(3)

56

Lampiran 2 Daftar importir daging sapi dan sapi bakalan di Indonesia

Nama Perusahaan Produk yang Diimpor

PT Beef Food Indonesia Potongan daging dengan tulang segar PT Anzindo Gratia International Potongan daging dengan tulang segar,

daging tanpa tulang beku

Lotusrad Potongan daging dengan tulang segar

Alamboga Internusa Potongan daging dengan tulang segar, daging tanpa tulang segar

CV Libra Food Service Potongan daging dengan tulang segar PT Causa Prima Ashar Potongan daging dengan tulang segar PT Agro Boga Utama Potongan daging dengan tulang segar,

potongan daging dengan tulang beku Bina Mentari Tunggal Potongan daging dengan tulang segar,

daging tanpa tulang beku, sapi bakalan PT Bumi Maestro Ayu Daging tanpa tulang segar, daging tanpa

tulang beku

PT Mitra Sarana Purnama Daging tanpa tulang segar

Sukanda Jaya Daging tanpa tulang segar, daging tapa tulang beku

PT Japfa Santori Indonesia Daging tanpa tulang segar, daging tanpa tulang beku

Bayu Lestari Daging tanpa tulang segar

PT Sumber Alam Prima Makmur Daging tanpa tulang segar

PT Dewi Kartika Inti Karkas dan setengan karkas beku, potongan daging dengan tulang beku Dewi Kartika Coldstorage Karkas dan setengan karkas beku PT Batam Frozen Food Karkas dan setengan karkas beku

PT Indoguna Utama Potongan daging dengan tulang beku, daging tanpa tulang beku

PT Sumber Laut Perkasa Potongan daging dengan tulang beku PT Indobaru Utama Sejahtera Potongan daging dengan tulang beku PT Karunia Segar Utama Potongan daging dengan tulang beku PT Indogizi Utama Potongan daging dengan tulang beku CV Surya Cemerlang Abadi Potongan daging dengan tulang beku PT Catur Caraka Sempurna Potongan daging dengan tulang beku

PT Lentera Dunia Daging tanpa tulang beku

PT Dua Putra Perkasa Pratama Daging tanpa tulang beku PT San Miguel Pure Foods Indonesia Daging tanpa tulang beku PT Great Giant Livestock Sapi bakalan

Pt Persero Varuna Tirta Prakasya Sapi bakalan

Pt Santosa Agrindo Sapi bakalan

Agro Giri Perkasa Sapi bakalan

Agrisatwa Jaya Kencana Sapi bakalan

Elders Indonesia Sapi bakalan

Pt guna prima dharma abadi Sapi bakalan

Pt Pasir Tengah Sapi bakalan

Pt Australia Stockfeed Sapi bakalan


(4)

57 Lampiran 3 Hasil output model harga daging sapi di Indonesia

Dependent Variable: HD Method: Least Squares Date: 06/13/14 Time: 11:38

Sample (adjusted): 6/01/2008 12/01/2013 Included observations: 23 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -302.2031 6225.773 -0.048541 0.9619 MD -0.428072 0.234483 -1.825601 0.0879 MBK 0.001044 0.039298 0.026556 0.9792 HIM 0.009115 0.177687 0.051298 0.9598 ER 0.413196 0.627300 0.658690 0.5201 LAGHD 0.975372 0.085799 11.36807 0.0000 D1 2738.438 797.5590 3.433524 0.0037 D2 954.2425 1607.543 0.593603 0.5616 R-squared 0.984152 Mean dependent var 67738.74 Adjusted R-squared 0.976757 S.D. dependent var 10846.94 S.E. of regression 1653.703 Akaike info criterion 17.92763 Sum squared resid 41021026 Schwarz criterion 18.32258 Log likelihood -198.1677 Hannan-Quinn criter. 18.02696 F-statistic 133.0717 Durbin-Watson stat 1.886363 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 4 Uji multikolinearitas Variance Inflation Factors Date: 06/13/14 Time: 11:48 Sample: 3/01/2008 12/01/2013 Included observations: 23

Coefficient Uncentered Centered

Variable Variance VIF VIF

C 38760246 325.9861 NA

MD 0.054982 12.89650 1.758762 MBK 0.001544 22.59632 4.506892 HIM 0.031573 327.8975 8.668761 ER 0.393505 313.9284 2.777483 LAGHD 0.007362 276.2443 6.321187 D1 636100.3 1.395602 1.031532 D2 2584195. 15.11924 4.601507


(5)

58

Lampiran 5 Uji autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.311486 Prob. F(2,13) 0.7377 Obs*R-squared 1.051780 Prob. Chi-Square(2) 0.5910

Lampiran 6 Uji heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 0.187914 Prob. F(7,15) 0.9836 Obs*R-squared 1.854333 Prob. Chi-Square(7) 0.9675 Scaled explained SS 0.575321 Prob. Chi-Square(7) 0.9991

Lampiran 7 Uji normalitas

0 1 2 3 4 5 6 7

-2000 -1000 0 1000 2000 3000

Series: Residuals

Sample 6/01/2008 12/01/2013 Observations 23

Mean -9.57e-12 Median -291.7310 Maximum 2619.088 Minimum -2111.786 Std. Dev. 1365.501 Skewness 0.666823 Kurtosis 2.458900 Jarque-Bera 1.985094 Probability 0.370631


(6)

59

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Ngawi pada tanggal 27 Februari 1992 sebagai anak pertama dari Arry Suprijadi dan Reny Gunarti. Pendidikan formal dimulai di SDN Margo Mulyo 2 Ngawi pada tahun 1998 dan lulus pada tahun 2004. Kemudian jenjang pendidikan dilanjutkan di SMPN 2 Ngawi. Selama bersekolah di SMPN 2 Ngawi, penulis aktif sebagai Ketua Sanggar Seni Lukis SMPN 2 Ngawi dan Pengurus OSIS SMPN 2 Ngawi. Prestasi yang pernah diraih saat duduk di bangku SMP yaitu Peringkat 3 Siswa Teladan Kabupaten Ngawi, Juara 3 Lomba Seni Lukis Kabupaten Ngawi. Kemudian pada tahun 2007 pendidikan dilanjutkan di SMAN 2 Ngawi dan lulus pada tahun 2010. Saat duduk di bangku SMA, penulis aktif di Majelis Perwakilan Siswa SMAN 2 Ngawi, ekstrakurikuler Olimpiade Biologi SMAN 2 Ngawi, ekstrakurikuler Olimpiade Fisika SMPN 2 Ngawi, Sanggar Seni Lukis SMAN 2 Ngawi. Penulis juga pernah masuk ke dalam finalis Kuis Kimia Australia di tingkat propinsi Jawa Timur dan menjadi finalis AFS 2008.

Setelah lulus dari SMA, penulis melanjutkan studinya di IPB pada tahun 2010 melalui jalur SNMPTN tulis. Pada Tingkat Persiapan Bersama, penulis ditempatkan di asrama Sylvasari dan masuk ke kelas B17. Selama kuliah di IPB penulis aktif dalam organisasi Sharia Economics Student Club (SESC). Selain itu penulis pernah mengikuti IPB Goes to Field (IGTF) di Kabupaten Demak yang diselenggarakan oleh LPPM IPB. Penulis juga pernah mengikuti Sua Raptor di Taman Nasional Halimun Salak yang diadakan oleh Lawalata IPB.