Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluhcina, (Kasus di Desa BuIuhcina, Kecamatan Siak BuIu Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

PERENCANAAN PARTISIPATIF
PEMANFAATAN TAMAN WISATA ALAM BULUH CINA
(Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

NOVIA MUSTIKASARI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan
Partisiparif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluh Cina (Kasus di Desa Buluh
Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Novia Mustikasari
NIM A14090062

ABSTRAK
NOVIA MUSTIKASARI. Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan Taman Wisata
Alam Buluh Cina (Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten
Kampar, Provinsi Riau). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan ARIEF
RAHMAN.
Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina yang terletak di Desa Buluh
Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau awalnya
merupakan Hutan Adat Rimbo Tujuh Danau yang memiliki luas sekitar 2.500 ha.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 2007, sebagian
areal kawasan hutan dijadikan sebagai kawasan Taman Wisata Alam seluas 1000
ha. Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina belum dikelola sepenuhnya namun
lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi
kehidupanya sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk

pemanfaatan hutan dan peta lokasi pemanfaatan, mendeskripsikan kesesuaian
praktik pemanfaatan hutan dengan peraturan perundangan, serta menyusun
rencana pemanfaatan secara partisipatif. Penelitian ini menggunakan data yang
diperoleh melalui beberapa metode penggalian data, yakni review data sekunder,
observasi langsung, wawancara, Focus Group Discussion (FGD) dan pemetaan
kawasan. Hasil perencanaan partisipatif merekomendasikan perlunya bentuk
pemanfaatan yang tidak eksploitatif namun masyarakat memiliki akses yang lebih
besar dalam mengelola hutan.
Kata kunci: Pemanfaatan hutan, Perencanaan partisipatif, TWA Buluh Cina,

ABSTRACT
NOVIA MUSTIKASARI. Participatory Planning of Utilization Buluh Cina
Natural Park: Case in Buluh Cina Village, Siak Hulu Sub-District, Kampar
District, Riau Province. Supervised by ERNAN RUSTIADI and ARIEF
RAHMAN.
Buluh Cina Natural Park in Kampar District, Riau Province was initially
Indigenous Forest (Hutan Adat) of Rimbo Tujuh Danau which has an area about
2.500 ha. Later, based on Governor Decree of Riau Province in 2007, most of the
forest area used as a Natural Park area about 1,000 ha. Buluh Cina Natural Park
have not been managed yet completely, but commonly it utilized by the

communities to fulfill their daily needs. This study aims to determine the uses of
forests and map the location of the utilization, furthermore describing the
suitability of forest use practices with laws and regulations, as well as the use of
participatory plan. This study, using data that obtained through multiple methods
of data collection, which are review of secondary data, direct observation,
interviews, focus group discussions (FGD) and mapping of areas. The results of
this research show that Buluh Cina Natural Park utilization does not match with
the provisions of existing law. The results of participatory planning which lead to
the type of utilization that does not exploitative but the public has greater
accessibility to forest management.
Key words: Forest Utilization, Participatory Planning, Buluh Cina Natural Park

PERENCANAAN PARTISIPATIF
PEMANFAATAN TAMAN WISATA ALAM BULUH CINA
(Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

NOVIA MUSTIKASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
perencanaan partisipasi, dengan judul Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan
Taman Wisata Alam Buluh Cina, (Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak
Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Dalam proses penyelesaian penelitian
ini banyak pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1.


2.

3.
4.

5.

6.
7.

8.

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Arief Rahman, MSi selaku pembimbing atas
segala nasehat, bimbingan, arahan, motivasi, kesabaran, waktu, pikiran dan
keikhlasan yang telah diberikan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini.
Kedua orang tua tercinta, Bapak, Ibu dan adik-adik tercinta serta seluruh
keluarga yang telah memberikan doa, motivasi, perhatian, pengorbanan, cinta,
dan kasih sayang.
Bappeda Kampar dan Pemerintah Desa Buluh Cina serta masyarakat Desa

Buluh Cina atas bantuan, penerimaan dan kerjasamanya dengan baik.
Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang
telah memberikan ilmu, nasehat, dan kerjasamanya. Terutama kepada Mbak
Esti dan Mbak Dian atas semangat dan bantuannya.
Seluruh Sahabat Soil Science ’46 terutama Swaesti, Eka, Azrizal, Anggiat,
serta Rudy, yang telah memberikan doa, semangat, kebersamaan, dan kasih
sayang selama ini.
Sahabat seperjuangan Lab. Bangwil (Teguh, Karina, Wida, Ian, Wilona,
Rani), atas doa, motivasi, kebersamaan, dan kasih sayangnya.
Temen-teman COMDEV P4W IPB Mas Widy, Mas Ridha, Mas Arifin, Mbak
Uty, Kak Rita, Kak Ika, Kak Rika dan Teh Evi atas ilmu, nasehat, semangat,
dan motivasinya
Sahabat-sahabat baik Aci, Najmi, Jesica, Desrina, Rissa, Dinar, Denisa dan
Mutya atas semangat dan kebersamaannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menambah wawasan pembaca.
Bogor, Juni 2014
Novia Mustikasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan dan Manfaat Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Hutan dan Kawasan Hutan

3

Pemanfaatan Hutan

4

Hutan Adat dan Masyarakat Hutan Adat di Indonesia

4

Taman Wisata Alam


5

Perencanaan dan Perencanaan Partisipatif

6

RRA (Rapid Rural Apprasial) dan PRA (Participatory Rural Appraisal)
sebagai Metode Partisipatif

7

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian

9
9

Jenis, Data, dan Alat Penelitian


10

Metode Penelitian

11

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

16

Letak Geografis dan Administrasi

16

Demografi

17

Sarana dan Prasarana


18

Sejarah Hutan Adat Buluh Cina

19

Struktur Masyarakat Adat di Kenegerian Enam Tanjung

20

Taman Wisata Alam Buluh Cina

21

Status Kawasan TWA Buluh Cina

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

23

Bentuk-bentuk Aktivitas dan Peta Pemanfaatan Hutan

23

Kesesuaian Praktik Pemanfaatan Hutan dengan Ketentuan Peraturan
Perundangan yang berlaku di Kawasan Hutan Buluh Cina

25

Rencana Pengelolaan TWA Buluh Cina

26

SIMPULAN DAN SARAN

29

Simpulan

29

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Luas hutan menurut fungsi tahun 2011
Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, teknik analisis data, dan
output yan diharapakan
Pemanfaatan hutan berdasarkan asal desa pemanfaat
Pemanfataaan berdasarkan bulan pemanfaatannya
Penyajian data kesesuaian peraturan perudangan dengan praktik
pemanfaatan hutan
Diskusi kelompok keberlanjutan hutan
Sebaran jumlah penduduk berdasarkan dusun
Sebaran kepala keluarga berdasarkan mata pencahariaannya
Sebaran jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya
Sejarah Hutan Buluh Cina
Penghulu adat Desa Buluh Cina, Kenegerian Enam Tanjung
Tabulasi bentuk aktivitas pemanfaatan menurut dusun asal masyarakat
pemanfaat.
Tabulasi bentuk aktivitas pemanfaatan dalam satu tahun
Peraturan perundangan dan praktik pemanfaatan hutan

6
11
14
14
15
16
17
18
18
20
21
23
24
26

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Lokasi Desa Buluh Cina
Peta Hutan Adat Buluh Cina
Peta Pola Ruang Desa Buluh Cina
Peta Status Kawasan Hutan Desa Buluh Cina
Peta dusun asal pemanfaat hutan
Peta lokasi aktivitas pemanfaatan hutan

10
17
22
22
24
25

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Dokumentasi Penelitian
Hasil FGD

32
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai nilai sosialekonomi yang tinggi dan memberikan manfaat bagi manusia, baik berupa manfaat
benda (tangible) maupun manfaat jasa (intangible). Alokasi hutan untuk berbagai
kepentingan atau fungsi (hutan produksi, hutan suaka alam, hutan wisata dan
hutan lindung) serta alokasi dan pembangunannya sangat ditentukan oleh nilai
manfaat relatif masing-masing pemanfaatan tersebut. Sampai saat ini alokasi
sumberdaya hutan untuk berbagai pemanfaatan tersebut belum optimal. Tingginya
perhatian terhadap pengelolaan hutan produksi dan rendahnya perhatian terhadap
pengelolaan fungsi hutan lainnya menunjukkan ketimpangan alokasi sumberdaya
tersebut yang cenderung lebih mengutamakan manfaat tangible daripada manfaat
intangible. Salah satu contoh hutan yang memiliki manfaat intangible adalah
Hutan Wisata atau Taman Wisata Alam (TWA). Adapun manfaat intangible dari
TWA yang dimaksud adalah manfaat rekreasi dan keindahan alam. Hutan Wisata
atau Taman Wisata Alam (TWA) secara khusus dibina dan dikelola untuk
memberikan manfaat intangible (Darusman 1989).
Dasar hukum pengembangan pariwisata alam yang sesuai dengan prinsip
kelestarian adalah Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hutan dan Ekosistemnya serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang menjadi dasar Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, di mana
kegiatan pemanfaatan kawasan hutan tersebut diarahkan bukan pada kegiatan
eksploitasi melainkan lebih kepada pengembangan pemenuhan jasa pariwisata alam.
Potensi wisata alam di kawasan hutan dengan daya tariknya yang tinggi merupakan
potensi yang bernilai jual tinggi sebagai obyek wisata, sehingga pariwisata alam di
kawasan hutan layak untuk dikembangkan.
Salah satu contoh TWA yang berada di Provinsi Riau adalah TWA Buluh
Cina. Pada awalnya kawasan Hutan Buluh Cina yang terletak di Desa Buluh Cina,
Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau adalah berupa Hutan
Adat Rimbo Tujuh Danau yang memiliki luas sekitar 2.500 ha. Berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Riau Nomor 468/IX/2006 tahun 2006, sebagian areal
kawasan Hutan Adat Rimbo Tujuh Danau dijadikan sebagai kawasan Taman
Wisata Alam seluas 1.000 ha.
Konflik yang terjadi di Desa Buluh Cina dimulai dengan adanya pencabutan
penghargaan Kalpataru yang diberikan Pemerintah Pusat melalui Kementerian
Lingkungan Hidup, menyebabkan masyarakat terpecah menjadi dua pihak yaitu
pihak yang mendukung ninik mamak dan pihak yang menginginkan pergantian
ninik mamak. Pencabutan penghargaan Kalpataru tersebut disebabkan oleh
pembangunan jalan di dalam hutan yang dilakukan oleh pemerintah desa dan
ninik mamak. Konflik tersebut menjadi awal terprovokasinya masyarakat untuk
merusak hutan. Masyarakat merasa ada tindakan ketidakadilan atas perlakukan
kerabat ninik mamak dan keluarga pemerintah desa, dipandang sebagian
masyarakat dapat leluasa membuka kebun. Perubahan status kawasan hutan adat
menjadi TWA dijadikan alasan masyarakat untuk merambah hutan karena
terdapat ladang masyarakat milik persukuan.

2
Konflik tersebut menyiratkan bahwa Taman Wisata Alam (TWA) Buluh
Cina belum sebagaimana mestinya sepenuhnya namun lebih banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kehidupanya sehari-hari. Oleh
karena itu, perlu dibutuhkan adanya kajian mengenai TWA Buluh Cina dalam
rangka mencari bentuk tata kelola hutan yang lebih baik di masa datang yang
sesuai dengan harapan masyarakat setempat dan sesuai dengan peraturan
perundangan.
Berdasarkan UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, terdapat lima proses perencanaan, yaitu perencanaan
politik, perencanaan teknokratif, perencanaan partisipatif, perencanaan top-down,
dan perencanaan bottom-up. Pada penelitian ini, kajian mengenai TWA Buluh
Cina dilakukan dengan menggunakan perencanaan partisipatif. Perencanaan
partisipatif merupakan proses yang biasanya dirancang untuk mengatasi masalah
yang spesifik, melalui upaya kolaboratif dari stakeholders utama. Hal ini
menuntut gambaran yang sangat spesifik mengenai apa yang dilakukan, dalam
konteks apa, oleh siapa dan untuk tujuan apa (Fisher 2001).
Menurut Rustiadi et al. (2011), perencanaan partisipatif adalah suatu
perencanaan yang pada dasarnya dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi
seluruh stakeholders agar memperoleh informasi yang lengkap dan dapat
dipahami bersama guna membangun keputusan yang terbaik. Perumusan masalah
pada penelitian didasarkan dari Hutan Buluh Cina yang semakin rusak akibat dari
perilaku masyarakat desa. Sehingga dibutuhkan pengelolaan yang lebih menjamin
kelestarian dan keberlanjutan hutan. Oleh karena itu pengelolaannya harus
disusun berbasis masyarakat. Di sisi lain kelembagaan adat perlu diberdayakan
mengingat status hutan sebelum menjadi TWA adalah hutan adat. Berdasarkan hal
tersebut, pendekatan partisipatif dinilai cukup efektif untuk menyusun arahan
perencanaan Hutan Buluh Cina. Hal ini dilakukan agar masyarakat Buluh Cina
dapat diikutsertakan dalam proses perencanaan serta pelaksanaan dan juga
memikul tanggung jawab atas keberlanjutannya.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui bentuk-bentuk pemanfaatan
hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dan peta lokasi pemanfaatan
hutan secara partisipatif, (2) mendeskripsikan kesesuaian praktik pemanfaatan
hutan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di Kawasan Hutan
Buluh Cina, serta (3) menyusun rencana pemanfaatan Kawasan Hutan Buluh Cina
secara partisipatif. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan masukan dan
pertimbangan penetapan status Hutan Adat Buluh Cina kepada stakeholeders
terkait. Serta menjadi acuan masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola
hutan dengan fungsi kawasannya.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan dan Kawasan Hutan
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan dengan
luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi
hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk
mencapai manfaat lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi yang seimbang dan
lestari; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan
kemampuan untuk mengembangan kapasitas dan keberadaan masyarakat secara
partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu
menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan akibat perubahan
eksternal serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem yang dibentuk atau disusun oleh
banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak
bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung
(Indriyanto 2005). Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, hutan adalah
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap. Jadi pengertian hutan dan kawasan hutan berbeda satu sama
lainnya. Kawasan hutan bisa saja tidak termasuk di dalam kriteria hutan
sedangkan hutan belum tentu ditetapkan menjadi kawasan hutan.
Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar
memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai
manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik
sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan
penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur
iklim global. Sehingga pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk
mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi apabila akan dilakukan
kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi yang hilang akibat
kegiatan penebangan hutan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis
seperti pada kawasan hutan di daerah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai), sehingga
pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan
pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan di Indonesia
(Suryatmojo 2005).
Kawasan hutan dalam penataan ruang terdapat dalam kawasan budidaya dan
kawasan lindung. Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan budidaya adalah
hutan produksi (hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas), baik itu hutan
alam maupun hutan tanaman, termasuk hutan rakyat, sedang kawasan hutan yang
masuk dalam kawasan lindung adalah kawasan pelestarian alam yang meliputi
taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan kawasan suaka alam
yang meliputi suaka margasatwa, cagar alam dan taman buru.

4
Pemanfaatan Hutan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007, pemanfaatan hutan
adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa
lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil
hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan
masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari
bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat
sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi
utamanya.
Hutan merupakan sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat bagi
kehidupan manusia. Manfaat-manfaat tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
manfaat nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). Manfaat nyata adalah
manfaat hutan yang berbentuk material atau dapat diraba yang berupa kayu, rotan,
getah, dan lain-lain. Sedangkan manfaat tidak nyata adalah manfaat yang
diperoleh dari hutan yang tidak dapat dinilai oleh sistem pasar secara langsung
atau berbentuk inmaterial/tidak dapat diraba, seperti keindahan alam, iklim mikro,
hidrologis, dan lain-lain (Karisma 2010).

Hutan Adat dan Masyarakat Hutan Adat di Indonesia
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat
penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni
hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang
harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Penghancuran
pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat
berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru
selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah
membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki
kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini
berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai
kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat (Nababan 2008).
Hal tersebut tertera pada Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 1, hutan
adat adalah “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Akan tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUUX/2012 pengertiannya berubah menjadi “hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”. Lebih lanjut di dalam putusan MK itu disebutkan bahwa
posisi hutan adat merupakan bagian dari tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan
lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan
wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya
didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer)
dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh
lingkungan wilayahnya.

5
Mangandar (2000) menjelaskan bahwa keterkaitan (interaksi) antara
masyarakat dengan hutan cukup lama karena hutan memberikan manfaat bagi
kehidupan masyarakat. Keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan, penebangan
kayu, pembersihan lahan, sehingga memperoleh upah (pendapatan). Selain itu,
bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber-sumber dasar yang
terdapat di hutan seperti kayu bakar dan hasil hutan lainnya akan memberikan
nilai tambah terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan.
Darusman (1992) menjelaskan bahwa hubungan antara masyarakat desa
sekitar hutan dengan kawasan hutan di sekitarnya merupakan hubungan yang
sangat erat, khususnya aspek ekonomi, kebutuhan pangan, dan kebutuhan
kesehatan. Hutan telah memberikan berbagai keperluan rumah tangga, baik
sumber energi, vitamin, mineral, dan kalori bagi keperluan hidup sehari-hari.
Secara ekologis, hutan merupakan lingkungan hidup bagi masyarakat sekitarnya.
Secara ekonomi, hutan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat
sekitarnya dengan memanfaatkan dan menjual hasil hutan non kayu.
Ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap keberadaan sumberdaya
hutan terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjadikan hutan sebagai sumber
pekerjaan dan pendapatan.

Taman Wisata Alam
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 1998 dan PP No. 28
Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA). Taman Wisata Alam adalah Kawasan Pelestarian Alam dengan tujuan
utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
Pengolahan taman wisata ditujukan pada upaya terwujudnya kelestarian
sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan masyarakat dan mutu kehidupan (Ngadiono 2004).
Menurut PP No. 28 Tahun 2011, kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan
ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam meliputi: a. mempunyai daya tarik
alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formasi
geologi yang unik; b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian
potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi
alam; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam.
Kawasan Taman Wisata Alam dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan
upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Suatu kawasan Taman Wisata Alam dikelola berdasarkan satu
rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis,
ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaan Taman Wisata Alam sekurangkurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang
upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan.
Menurut PP No. 68 Tahun 1998, beberapa kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan fungsi kawasan Taman Wisata Alam adalah: (1)
berburu, menebang pohon, mengangkut kayu dan satwa atau bagian-bagiannya di
dalam dan ke luar kawasan, serta memusnahkan sumberdaya alam di dalam

6
kawasan, (2) melakukan kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran kawasan,
(3) melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan
atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang
berwenang. Kegiatan yang dianjurkan diatur dalam PP 28 Tahun 2011 (Pasal 37),
dimana Taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: (1) penyimpanan
dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin
serta wisata alam; (2) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; (3)
pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (4) pemanfaatan
sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; (5) pembinaan populasi dalam
rangka penetasan telur dan/atau pembesaran anakan yang diambil dari alam; dan
(6) pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 Provinsi Riau, hutan
kawasan konservasi di Provinsi Riau memiliki memiliki luas 628.636 ha. Hutan
produksi terbatas mendominasi luasan hutan di Provinsi Riau. Tabel 1
menampilkan luas hutan berdasarkan fungsinya.
Tabel 1 Luas hutan menurut fungsi tahun 2011
Fungsi
Luas (ha)
Presentase (%)
Hutan Lindung
208.910,00
2,31
Hutan Suaka alam dan Hutan Wisata
628.636,00
6,96
Hutan Produksi Tetap
1.638.519,00
18,13
Hutan Produksi terbatas
2.952.179,00
32,67
Non Kawasan Hutan
3.489.331,00
38,60
Hutan Mangrove/Bakau
119.260,00
1,32
Total
9.036.835,00
100
Sumber : BPS 2011

Perencanaan dan Perencanaan Partisipatif
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan apa yang ingin dicapai
di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan
untuk mencapainya (Rustiadi et al. 2011). Sedangkan menurut Benveniste dalam
Fisher (2001), perencanaan merupakan suatu proses yang berkaitan dengan
evaluasi berdasarkan keputusan dan kebijakan yang dilakukan sebelum
melakukan tindakan. Dari berbagai pendapat dan definisi maka terlihat secara
umum hampir selalu terdapat dua unsur penting dalam perencanaan, yakni (1)
unsur “hal yang ingin dicapai” dan (2) unsur “cara untuk mencapainya”. Dalam
penjabarannya di dalam proses perencanaan dikenal berbagai nomenklaturnomenklatur seperti visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program, proyek,
aktivitas dan lain-lain (Rustiadi et al. 2011).
Partisipasi adalah proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah,
yang melibatkan individu dan kelompok yang mewakili beragam kepentingan,
keahlian dan sudut pandang dan yang bertindak untuk kebaikan semua orang
terpengaruh oleh keputusan yang mereka buat dan tindakan yang mengikuti
(Fisher 2001).
Arnstein dalam Fredd (2001) mengatakan bahwa terdapat delapan anak
tangga dalam partisipasi yang biasa disebut tangga partisipasi Arnstein, yaitu (1)

7
manipulasi dan (2) terapi (penentraman), dimana dari kedua poin anak tangga
tersebut menggambarkan tingkat "tidak ada partisipasi". Kemudian pada anak
tangga selanjutnya (3) menginformasikan dan (4) konsultasi, Arnstein
menggambarkan bahwa kegiatan partisipasi hanya sebagai (tokenism). Contohnya
pertemuan-pertemuan di mana masyarakat diberi informasi dari beberapa tindakan
yang secara langsung akan mempengaruhi gaya hidup atau lingkungan mereka.
Pada anak tangga (5) ditetapkan sebagai placation, yang memiliki tingkatan
sedikit lebih tinggi dari tokenisme dalam taksonomi Arnstein tentang mendaki
skema. Pada tingkatan ini seringkali kaum miskin diberikan kesempatan yang
lebih besar untuk menasihati, namun masih terdapat tidak adanya kekuatan untuk
mendukung keahlian mereka. Anak tangga partisipasi yang terakhir adalah (6)
kemitraan, (7) delegasi kekuasaan, dan (8) pengawasan oleh masyarakat, dimana
dari ketiga poin anak tangga tersebut menggambarkan tingkat untuk berbagi
kekuasaan.
Dalam perencanaan pembangunan menurut UU No. 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, terdapat lima proses perencanaan
yaitu perencannan politik, perencanaan teknokratik, perencanaan partisipatif,
perencanaan top-down dan perencanaan bottom-up. Pembangunan masyarakat dan
pengembangan wilayah pedesaan melibatkan berbagai faktor-faktor sosial,
ekonomi, budidaya dan teknologi, yang satu sama lain saling berinteraksi dalam
proses pembangunan. Setiap pembangunan menawarkan perubahan yang
dampaknya terhadap suatu wilayah dengan wilayah lainnya boleh jadi akan
berlainan.
Menurut Rustiadi et al. (2011) Perencanaan partisipatif adalah suatu
perencanaan yang pada dasarnya dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi
seluruh stakeholders agar memperoleh informasi yang lengkap dan dapat
dipahami bersama guna membangun keputusan yang terbaik.
Menurut Fisher (2001), perencanaan melibatkan penempatan rencana aksi
bersama yang realistis dan dapat dengan cepat diimplementasikan. Rencana tidak
dibuat dalam ruang hampa, selain itu terdapat suatu keyakinan mendasar bahwa
perencanaan adalah pengambilan keputusan dan bahwa keputusan dicapai melalui
proses perencanaan partisipatif yang "dimiliki" oleh orang-orang yang membantu
membuat perencanaan. Dengan kata lain, proses partisipatif meningkatkan
kemungkinan implementasi. Perencanaan partisipatif merupakan proses yang
biasanya dirancang untuk mengatasi masalah yang spesifik, melalui upaya
kolaboratif dari stakeholders utama. Hal ini menuntut gambaran yang sangat
spesifik mengenai apa yang dilakukan, dalam konteks apa, oleh siapa dan untuk
tujuan apa.

RRA (Rapid Rural Apprasial) dan PRA (Participatory Rural Appraisal)
sebagai Metode Partisipatif
Peralatan metode dan teknik partisipatif terhimpun dalam suatu konsep
dengan banyak istilah, seperti: Rapid Rural Apraisal (RRA), yang kemudian
berkembang menjadi Participatory Rural Appraisa (PRA), Partcipatory Learning
and Action (PLA). Metode ini menggambarkan sebagai suatu pendekatan, metode
perilaku dan hubungan untuk mencari tahu tentang konteks lokal dan

8
kehidupan. Ketiganya terus dipraktikkan dalam berbagai cara yang saling
melengkapi.
RRA
RRA, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Pengkajian Pedesaan
dalam Waktu Singkat merupakan suatu metode yang termasuk baru. Metode ini
berkembang dari akhir dekade 70-an. Beberapa ahli mendeskripsikan metodologi
sebagi berikut.
“RRA adalah studi mengambil sistem perspektif, menggunakan triangulasi
untuk mengumpulkan informasi, yang literatif dan eksploratif dalam menganalisis
informasi, selesai dalam jangka waktu yang terbatas, dan fleksibel. Dilakukan
oleh tim multidisiplin dan menggabungkan informasi yang dikumpulkan
sebelumnya, observasi langsung, dan wawancara semi-terstruktur”.
Sebagai metode baru, RRA dirancang terutama untuk tim yang berbeda
multidisiplin ilmu, guna dipakai untuk menggumpulkan dan menganalisis
informasi atau data dalam jangka waktu yang singkat. Dengan metode ini, tim
dapat menganalsis dan menarik kesimpulan lebih komprehensif. Metode RRA
lebih diarahkan pada pemahaman peramasalahan suatu tempat atau desa secara
menyeluruh, sedangkan pada studi kasus, kita hanya meneliti sebagian dari apa
yang ada dan terjadi pada lokasi tersebut, lagipula dalam studi kasus, lokasi lebih
luas, sedangkan dalam RRA tidak. Dalam pelaksanaannya, metode RRA juga
sekaligus melakukan konfrimasi data (secara segitiga) data sekunder dan
pendalaman melalui wawancara semistruktural dengan pengambil kebijakan.
(Daniel et al. 2005)
Menurut Chambers (2008), dari makalah dan diskusi sejauh ini terdapat
sepuluh teknik dasar RRA. Kesepuluh teknik ini masihlah belum lengkap, tetapi
cukup memberikan gambaran. Kesepuluh teknik tersebut yaitu; (1) gunakan
informasi yang telah tersedia, (2) belajar dari pengetahuan lokal yang dikuasai
masyarakat setempat, (3) gunakan indikator-indikator kunci, (4) adaptasi dari
pernyataan Hildebrand mengenai pendekatatan multi-disipliner, (5) libatkan
masyarakat setempat atau orang lokal bagian dari tim peneliti, (6) lakukan
observasi langsung (7) kenali dan gali informasi dari informan-informan kunci,
(8) lakukan wawancara kelompok (9) wawancara semi-terstruktur dan (10)
pemeriksaan berdsarkan survey pengamatan.
PRA
Pada akhir 1980 dan awal 1990, PRA berevolusi dari RRA. Dalam PRA,
pihak luar yang mengadakan dan memfasilitasi. Masyarakat setempat terutama
mereka yang miskin dan terpinggirkan berperan sebagai aktor utama. Masyarakat
inilah yang biasanya terdapat dalam kelompok-kelompok kecil, yang memetakan,
membuat diagram, mengamati, menganalisis dan bertindak. Istilah “Bekerjan
sambil Belajar” atau PLA (Partcipatory Learning and Action) yang diperkenalkan
pada tahun 1995, terkadang digunakan untuk menggambarkan PRA, tetapi hal ini
menjadi lebih luas dan mencakup hal lainnya yang serupa atau yang berhubungan
dengan pendekatan dan metode. Karena keberlanjutan dan tumpang tindih
metodologis ini, pengelompokan terkadang disebut sebagai PRA/PLA atau
bahkan RRA/PRA/PLA (Chambers 2008).

9
PRA (Participatoty Rural Appraisal) merupakan suatu teknik untuk
menyusun dan mengembangkan program yang operasional dalam pembangunan
tingkat desa. Metode ini ditempuh dengan memobilisasikan sumberdaya manusia
atau alam setempat, lembaga lokal guna mempercepat peningkatan produktivitas,
menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mampu
melestarikan sumberdaya setempat.
Pada pelaksanaannya, metode ini lebih menekankan pada diskusi kelompok
dibandingkan dengan diskusi individu. Peneliti berperan sebagai fasilitator dan
sekaligus katalisator, sedangkan masyarakat setempat lebih banyak berperan
dalam menggali, menganalisis, merencanakan dan melaksanakan. Seperti halnya
RRA, alat analisis yang digunakan dalam PRA berasal dari berbagai disiplin ilmu
seperti antropologi, sosial, analisi agroekosistem, sistem usaha tani, dan lain
sebagainnya.
Tujuan utama dari PRA adalah untuk menjaring rencana atau program
pembangunan pedesaan yang memenuhi persyaratan, yaitu diterima oleh
masyarakat setempat, secara ekonomi menguntungkan, sesuai dengan kondisi
desa dan lingkungan serta berdampak positif dan lingkungan sekitarnya. Metode
PRA dapat membantu dalam menggerakan sumberdaya alam dan manusia untuk
memahami masalah, mempertimbangkan program yang telah sukses, menganalisis
kapasitas kelembagan lokal, menilai kelembagaan modern yang telah diintrodusir
dan membuat rencana atau program spesifik yang operasional secara sistematis
(Daniel et al. 2005).
Hubungan RRA dan PRA
Pengertian RRA sebagai bentuk pengumpulan data oleh orang luar yang
kemudian mengambil dan menganalisisnya dan PRA sebagai bentuk yang lebih
partisipatif, artinya orang luar lebih berperan sebagai orang yang mengadakan
pertemuan, katalis dan fasilitator yang memungkinkan masyarakat melakukan dan
membagi penyelidikan dan analisis tentang mereka sendiri. RRA di maksudkan
sebagai pemahaman orang luar, sedangkan PRA dimaksudkan untuk
memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka
sendiri, dan sering juga merencanakan dan mengambil tindakan.
Dalam praktiknya, terdapat kesinambungan antara RRA dan PRA. Hal ini
dapat dipahami melalui penjelasan metode. Beberapa metode, seperti pengamatan
langsung. Dan wawancara semi-terstrukur, telah ditekankan dalam RRA tetapi
dapat juga menjadi bagian penting PRA yang baik. Metode lain, seperti pemetaan
partisipatif, dimana masyarakat setempat membuat peta-peta mereka sendiri dan
pembuatan diagram partisipatif, ditekankan dalam PRA tetapi juga dapat juga
digunkan dalam RRA (Chambers 1996).

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Hutan TWA Buluh Cina, Desa Buluh Cina,
Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Gambar 1). Penelitian

10
ini dimulai pada bulan Maret 2013. Pengelolaan data dilakukan di Studio Bagian
Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan (DITSL) Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB.

Gambar 1 Lokasi Desa Buluh Cina
Jenis, Data, dan Alat Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data
sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan teknik-teknik partisipatif
dan mengambil contoh titik dengan menggunakan GPS (Global Positioning
System). Data sekunder berupa: Peta kawasan hutan Buluh Cina (sumber
Fakultas Kehutanan IPB), jumlah penduduk, data potensi desa (PODES) 2012 dan
peraturan perundangan terkait. Alat-alat penunjang yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi GPS, seperangkat komputer software Arcview 3.3 dan
ArcGis 9.3 untuk koreksi geometrik, digitasi, dan pengelolan peta. Kertas metafile,
spidol, panduan wawancara dan flow chart untuk proses teknik partisipatif. Data,
metode dan output yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian tertera
pada Tabel 2.

11
Tabel 2 Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, teknik analisis data, dan
output yang diharapkan
No.
1.

2.

3.

Tujuan

Metode

Data dan sumberdata

Output yang
diharapkan

Mengetahui
bentuk-bentuk
pemanfaatan
hutan yang
dilakukan oleh
masyarakat
sekitar hutan
secara pastisipatif

1. Review data sekunder
2.Teknik RRA:
(Observasi langsung dan
Wawancara semi
terstruktur
3 Teknik PRA: Focus
Group Discussion
(FGD)

Data Primer :stakeholders
dan masyarakat Desa Buluh
Cina. Data Sekunder:
Dokumen Hutan Buluh
Cina (Pemerintah Desa
Buluh Cina)

Diketahuinya
bentuk-bentuk
pemanfaatan
hutan untuk
masyarakat
sekitar hutan
secara
partisipatif

Pemetaan lokasi
pemanfaatan
hutan

Overlay peta

Data Primer: Peta aktivitas
dengan masyarakat, titik
pengecekan lapang. Data
sekunder: Peta Hutan
Buluh Cina (Fak.
Kehutanan 2007),

Peta lokasi
aktivitas
pemanfaatan
hutan

Mendeskripsikan
kesesuaian praktik
pemanfaatan
hutan dengan
ketentuan
peraturan
perundangan yang
berlaku di
Kawasan Hutan
Buluh Cina
Menyusun
rencana
pemanfaatan
Kawasan Hutan
Buluh Cina secara
partisipatif

1.Review data sekunder
2. Teknik RRA:
observasi langsung dan
wawancara semiterstruktur

Data Primer: Masyarakat
desa Buluh Cina,
Data Sekunder: Dokumen
Hutan Buluh Cina
(Pemerintah Desa Buluh
Cina) dan peraturan
Perundangan

Terdeskripsikan
kesesuaian
praktik
pemanfaatan
hutan dengan
ketentuan
perundangan
yang berlaku.

1. Review data sekunder
2. Teknik RRA:
observasi langsung dan
wawancara semiterstruktur
3. Teknik PRA: Focus
Group Discussion
(FGD)

Data Primer: stakeholders
dan masyarakat Desa Buluh
Cina. Data Sekunder: Peta
kawasan hutan Buluh Cina
(Fakultas Kehutanan 2007),
Dokumen Hutan Buluh
Cina (Pemerintah Desa
Buluh Cina)

Tersusun visi,
misi serta
arahan
pemanfaatan
sumberdaya
hutan

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan empat metode yaitu (1) pengkajian data
sekunder, (2) teknik RRA, (3) teknik PRA dan (4) pemetaan kawasan. Berikut ini
diuraikan rincian metode analisis menjawab tujuan penelitian dengan
menggunakan jenis alat data dan metode yang telah disebutkan.
Analisis Bentuk-bentuk Pemanfaatan Hutan
Identifikasi bentuk-bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar hutan dilakukan secara pastisipatif. Metode yang digunakan
untuk mengetahui bentuk-bentuk pemanfaatan hutan adalah terlebih dahulu
melakukan review data sekunder terhadap dokumen terkait hutan dan masyarakat

12
desa seperti RPJM Desa Buluh Cina (2011-2015) dan Profil Desa Buluh Cina.
Pengkajian data sekunder atau review data sekunder merupakan cara
mengumpulkan sumber-sumber informasi yang telah diterbitkan maupun yang
belum disebarkan. Tujuan dari usaha ini adalah untuk mengetahui data manakah
yang telah ada sehingga tidak perlu lagi dikumpulkan. Hal ini akan membantu
untuk mendapatkan gambaran mengenai suatu wilayah tertentu seperti misalnya
karakteristik penduduk berdasarkan mata pencahariannya, jumlah seluruh
penduduk dan penggolongannya. Adanya data sekunder juga berguna untuk
mengetahui kebutuhan informasi khusus dan rinci yang perlu digali di lapangan,
serta sebagai data pembanding terhadap informasi yang diperoleh langsung dari
masyarakat. Data sekunder merupakan data yang didapat sebagai hasil atau buah
karya pihak ketiga, meliputi dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi
pemerintah, majalah, buletin, publikasi dari berbagai organisasi, hasil-hasil studi
dan survei (Tim Editorial 1994).
Kemudian dilakukan observasi langsung terhadap aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat di dalam hutan. Wawancara semi-terstruktur bertujuan untuk
mengetahui lebih jauh aktivitas masyarakat secara personal dan lebih mendalam.
Kedua metode tersebut termasuk ke dalam teknik RRA. Berikut adalah penjelasan
mengenai metode tersebut;
1) Observasi Langsung
Pengamatan, meliputi pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan
menggunakan seluruh alat indra. Sebenarnya, mengamati adalah bagian dari
aktivitas keseharian. Pembeda antara observasi sebagai aktivitas sehari-hari
dengan observasi sebagai teknik penelitian adalah:
 ada tujuan pengamatan, dan tujuan itu diformulasikan sedari awal,
 direncanakan dengan sistematis,
 hasil pengamatan senantiasa tercatat atau direkam setiap waktu, dan
 teruji validitas dan reliabilitasnya.
Jadi observasi merupakan suatu penyelidikan yang dilakukan secara
sistematik dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata
terhadap kejadian yang berlangsung dan dapat dianalisis pada waktu kejadian itu
terjadi. Dibandingkan metode survei, metode observasi memiliki keunggulan dari
sisi tidak adanya bias responden dan tidak diperlukannya kesediaan atau
kerjasama responden.
Tujuan pengamatan adalah praktik-praktik pengelolaan hutan adat dan
kondisi eksisting sumberdaya meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya buatan,
sumberdaya alam, dan
sumberdaya sosial. Perekaman hasil pengamatan
dilakukan melalui pengambilan gambar oleh peneliti. Observasi yang dilakukan
selama satu minggu penelitian.
Observasi dilakukan tanpa disembunyikan (observasi partisipan), bukan
observasi sembunyi (disguised observation). Hal ini membuat peneliti menjadi
bagian dari kelompok yang diamati dalam rangka membangun kepercayaan (trust
building) antara peneliti dan masyarakat di lokasi penelitian (P4W 2013).
2) Wawancara Semi Terstruktur
Wawancara ialah proses tanya jawab. Wawancara semi terstruktur
merupakan alat galian informasi berupa tanya-jawab yang sistematis tentang
pokok-pokok tertentu. Sifatnya terbuka tidak ada jawaban terlebih dahulu. Namun
dibatasi oleh topik yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara tidak

13
terstruktur dicirikan dengan fleksibilitas, pada saat wawancara pertanyaan dapat
dikembangkan. Selain itu, tidak ada urutan yang pasti tentang pengajuan
pertanyaan. Peneliti pun memiliki kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan.
Tujuan dari wawancara terstruktur adalah menggali berbagai informasi
tentang keadaan sosial dan keadaan di wilayah desa tersebut serta
mengidentifikasi jenis-jenis masalah yang terjadi. Wawancara semi terstruktur
dipilih karena yang hendak didapatkan adalah kedalaman informasi (eksploratif)
agar didapatkan pemahaman yang menyeluruh (comprehensive understandings)
(P4W 2013)
Untuk dapat mengetahui persepsi dan aspirasi masyarakat dalam
pemanfaatan terhadap hutan maka perlu adanya FGD. FGD termasuk kedalam
proses PRA yang menjadi dasar perbedaan proses RRA dan PRA, berikut
merupakan uraian mengenai FGD.
Teknik diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion (FGD)
berupa diskusi antara beberapa orang untuk membicarakan hal-hal bersifat khusus
secara mendalam. Tujuannya untuk memperoleh gambaran terhadap suatu
masalah tertentu dengan lebih rinci. FGD merupakan satu metode yang cukup
efektif dan seringkali digunakan dalam membangun konsensus (consensus
building) melalui proses menggali dan mempertemukan pendapat-pendapat dari
kalangan yang berbeda. Melalui FGD, maka perspektif akan suatu isu (yang
menjadi bahan diskusi) akan menjadi lebih lengkap karena partisipan FGD dari
beragam kalangan menyuarakan pendapatnya, dan berbekal perspektif yang lebih
lengkap itu akan dihasilkan keputusan (dalam bentuk konsensus) yang lebih
berkualitas. Konsensus tersebut dibangun dengan diperantarai fasilitator yang
netral yang memandu jalannya diskusi.
Melalui kedua fokus ini, maka FGD dapat dijalankan dan menghasilkan
secara optimal karena isu yang tepat didiskusikan oleh orang yang tepat. Sebagai
sebuah metode, maka FGD memiliki pola sebagai berikut (P4W 2013):
1. Dilakukan dalam satu kelompok kecil (dengan jumlah partisipan paling
banyak sepuluh orang), jika partisipan jumlahnya banyak, maka akan
dipecah ke dalam kelompok-kelompok kecil FGD,
2. Dipandu oleh fasilitator yang netral dan tidak turut “membentuk” hasil
diskusi,
3. menjunjung prinsip kesetaraan antar partisipan sehingga setiap partisipan
memiliki hak yang sama untuk menyuarakan pendapatnya tanpa dibedabedakan atas dasar jabatan atau lainnya,
4. Berawal dari keragaman pendapat, dan berujung pada konsensus bersama
antar partisipan.
Alur proses FGD yang dilakukan dengan beberapa masyarakat:
1. Presentasi hasil sementara mengenai hal-hal yang ditemui di lapangan dan
pemanfaatan. Kemudian dibuka forum diskusi terhadap hasil presentasi.
2. Diskusi kelompok dibagi menjadi dua kali pengisian tabel-tabel untuk
yang pertama yaitu tabel mengenai berapa banyak orang memanfaatkan
hutan tersebut dikelompokan berdasarkan asal dusun pemanfaat melalui
pengisian dengan Tabel 3.

14
Tabel 3 Pemanfaatan hutan berdasarkan asal desa pemanfaat
Dusun 1
Dusun 2
Dusun 3
Dusun 4
Warga Luar
Jenis
Pemanfaatan Ada/ Tingkat Ada/tidak Tingkat Ada/tidak Tingkat Ada/tidak Tingkat Ada/tidak Tingkat
Tidak

3. Tabel yang kedua berisikan tentang intesitas pemanfaatan hutan pada setiap
bulan dalam satu tahun, sebagimana tabel 4 berikut ini.
Tabel 4 Pemanfataaan berdasarkan bulan pemanfaatannya
Bulan
Jenis
Peman
faatan

1

2

3

4

5

6

....

12

Tingkat
Ada/
tidak

Tingkat
Ada/ Tingkat Ada/
Tidak
tidak

Tingkat Ada/ Tingkat Ada/
Tidak
Tidak

Tingkat Ada/ Tingkat Ada/ Tingkat Ada/
tidak
Tidak
tidak

Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data adalah dengan analisis
deskriptif melalui tabulasi (penyajian data dalam bentuk tabel). Bentuk-bentuk
aktivitas pemanfaatan ditabulasikan yang dibagi menjadi dua kategori. Pertama,
dilakukan mengisikan asal dusun pemanfaat hutan dengan mengunakan kriteria
sebagai berikut: a) banyak (>30-20 orang), b) sedang (10-20 orang), c) (