Analisis efisiensi pemasaran hasil perikanan tangkap di pangkalan pendaratan ikan muara angke, dki jakarta

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN HASIL PERIKANAN TANGKAP
DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE,
DKI JAKARTA

MIKHEN DESVI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Efisiensi
Pemasaran Hasil Perikanan Tangkap di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke,
DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014
Mikhen Desvi
NIM H34100009

ABSTRAK
MIKHEN DESVI. Analisis Efisiensi Pemasaran Hasil Perikanan Tangkap di
Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, DKI Jakarta. Dibimbing oleh RATNA
WINANDI.
Potensi rata-rata hasil perikanan tangkap adalah sekitar 6,5 juta ton/tahun
dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2011 mencapai 5,71 juta ton. Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) memiliki peran sentral sebagai pusat pemasaran. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan TPI dalam pemasaran hasil
perikanan tangkap, mengetahui saluran pemasaran hasil perikanan tangkap yang
terjadi di TPI dan bukan TPI, dan menganalisis tingkat efisiensi pemasaran.
Metode pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara terstruktur.
Penentuan responden menggunakan accidental sampling (convenience sampling)
untuk nelayan, dan snowball sampling untuk lembaga pemasaran berikutnya.

Hasil penelitian menemukan TPI memiliki peran penting dalam hal pemasaran
ikan. Tidak ada saluran pemasaran yang mutlak efisien. Namun, jika dilihat dari
nilai total margin yang rendah, fisherman’s share yang tinggi dan biaya
pemasaran yang rendah maka saluran pemasaran 3 pada sistem lelang murni
cenderung lebih efisien. Tapi jika dilihat dari nilai rasio keuntungan dan biaya
yang relatif sama pada setiap lembaga pemasarannya maka saluran pemasaran 1
pada sistem lelang murni dan saluran 3 pada sistem opow cenderung lebih efisien.
Kata kunci : efisiensi, pelelangan, pemasaran, perikanan, sistem opow

ABSTRACT
MIKHEN DESVI. The Marketing Efficiency Analysis of Fisheries Result at
Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, DKI Jakarta. Supervised by RATNA
WINANDI
The potential average of fisheries yield is about 6.5 million tonnes / year by
the utilization rate in 2011 reached 5.71 million tons. Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) has a central role as a marketing center. The purpose of this research was
to determine the role TPI in the marketing of fisheries, to knows marketing
channel of fisheries yield in TPI or not, and to analyze the level of marketing
efficiency. Methods of data collection through questionnaires and structured
interviews. Determination of the respondents using simple random sampling for

fisherman, and the next marketing institution using snowball sampling. The
results of this research shows TPI has an important role in the marketing of fish.
There is no absolute efficient marketing channels. However, if viewed from the
total value of low margin,fisherman's share of high,and marketing cost of low,
marketing channel 3 on a pure auction system is tends to be more efficient. But
when viewed from the cost profit ratio with same relative value at each institution
marketing, the marketing channel 1 on a pure auction system and the marketing
channel 3 on opow systems is tend to be more efficient.
Key word :auction, efficiency, fisheries,marketing,opow system

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN HASIL PERIKANAN TANGKAP
DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE,
DKI JAKARTA

MIKHEN DESVI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah
pemasaran, dengan judul Analisis Efisiensi Pemasaran Hasil Perikanan Tangkap
di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, DKI Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi MS selaku
dosen pembimbing beserta jajaran staf dan dosen di Departemen Agribisnis, para
sahabat dari Departemen Agribisnis khususnya angkatan 47 dan rekan-rekan
Fakultas Perikanan IPB yang banyak memberi masukan terkait penelitian ini dan
selalu memberi dukungan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada

keluarga besar Forum Komunikasi Mahasiswa Pesisir Selatan (FKMPS) Bogor
yang telah menjadi bagian dari keluarga penulis selama menjalankan aktivitas
perkuliahan di IPB. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Nugroho Syamsubagiyo selaku kepala UPT. PKPP PPI Muara Angke,
Bapak Djunaedi, Bapak Ibrahim, Bapak Toto, Bapak Mahad, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih paling besar kepada
Papa, Mama, Bang Bro, Mas Lon, Unit, Dek Athika, Aybile, serta seluruh
keluarga yang tak pernah hentinya mengirim doa dan memberi suntikan semangat
setiap harinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Mikhen Desvi
Bogor
TDhdjsfk

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii


DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

5


Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA

8

Peran Kelembagaan

8

Pelelangan

9


Saluran Pemasaran Hasil Perikanan

11

Efisiensi Pemasaran Hasil Perikanan

12

KERANGKA PEMIKIRAN

13

Kerangka Pemikiran Teoritis

13

Definisi Kelembagaan

13


Penetapan Harga pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

13

Lembaga dan Saluran Pemasaran Hasil Perikanan

14

Efisiensi Pemasaran

16

Margin Pemasaran

17

Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN


18
19

Lokasi dan Waktu Penelitian

19

Jenis dan Sumber Data

20

Metode Pengumpulan Data

20

Metode Penentuan Responden

20

Metode Pengolahan Data


21

Definisi dan Batasan Operasional

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

23

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

23

Koperasi Mina Jaya

23

Sarana dan Prasarana di Kawasan PPI Muara Angke

25

Pola Penanganan Ikan

30

Mekanisme Keluar Masuk Kapal dan Tambat Labuh

31

Mekanisme Pelaksanaan Pelelangan

32

Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran

33

Analisis Fungsi Pemasaran

36

Analisis Perilaku Pasar

38

Analisis Keragaan Pasar

39

Analisis Efisiensi Pemasaran

46

SIMPULAN DAN SARAN

47

Simpulan

47

Saran

48

DAFTAR PUSTAKA

48

LAMPIRAN

50

RIWAYAT HIDUP

58
DAFTAR TABEL

1 PDB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha pada setiap
triwulan tahun 2013

1

2 Volume produksi perikanan tangkap subsektor perairan laut menurut
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia 2008-2011

2

3 Tingkat konsumsi ikan negara-negara ASEAN tahun 2005-2009

3

4 Nilai produksi perikanan tangkap subsektor perairan laut menurut
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia 2008-2011

3

5 Volume produksi perikanan tangkap yang dijual di TPI menurut
pulau di Indonesia tahun 2007-2011

5

6 Volume produksi perikanan tangkap sub sektor perikanan laut di
laut utara jawa berdasarkan provinsi tahun 2008-2011
7 Perkembangan produksi, nilai dan retribusi di PPI Muara Angke

6
6

8 Produksi dan perkiraan produksi ikan di PPI Muara Angke tahun 2010-2015 7
9 Sebaran jumlah dan luas fasilitas fungsional UPT. PKPP PPI Muara Angke 28
10 Sebaran jumlah dan luas fasilitas pokok UPT. PKPP PPI Muara Angke

29

11 Sebaran jumlah dan luas fasilitas pendukung UPT. PKPP PPI Muara Angke 29
12 Perbandingan retribusi pada pelelangan pelelangan murni dengan opow

32

13 Fungi pemasaran pada sistem lelang murni (TPI)

37

14 Fungsi pemasaran pada sistem opow (nonTPI)

38

15 Price spread dan share margin saluran pemasaran 1 (TPI)

40

16 Price spread dan share margin saluran pemasaran 2 (TPI)

41

17 Price spread dan share margin saluran pemasaran 3 (TPI)

41

18 Price spread dan share margin saluran pemasaran 1 (nonTPI)

42

19 Price spread dan share margin saluran pemasaran 2 (nonTPI)

43

20 Price spread dan share margin saluran pemasaran 3 (nonTPI)

44

21 Fisherman’s share pada saluran pemasaran

45

22 Rasio keuntungan dan biaya masing-masing lembaga pemasaran

45

23 Nilai efisiensi masing-masing saluran pemasaran

46

DAFTAR GAMBAR
1 Proses penyaluran hasil perikanan bahan mentah

15

2 Skema penyaluran hasil perikanan barang konsumsi

15

3 Margin pemasaran

17

4 Kerangka pemikiran operasional

19

5 Struktur organisasi pengurus Koperasi Mina Jaya

24

6 Perumahan nelayan di PPI Muara Angke

25

7 PHPT di PPI Muara Angke

26

8 Susunan organisasi UPT.PKPP PPI Muara Angke

27

9 Proses pembekalan es ke dalam palkah kapal

30

10 Proses penimbangan ikan di dalam trays

31

11 Kapal yang sedang berlabuh di dermaga pelabuhan

32

12 Kegiatan pelelangan di TPI oleh juru lelang dan juru bakul/tulis

33

13 Saluran pemasaran melalui lelang murni

34

14 Saluran pemasaran melalui sistem opow

35

DAFTAR LAMPIRAN
1 Karakteristik nelayan respondem di PPI Muara Angke

50

2 Karakteristik pedagang respomden di PPI Muara Angke

51

3 Data time series produksi dan harga ikan tenggiri di TPI Muara Angke

51

4 Produksi ikan di setiap lembaga pemasaran

52

5 Harga ikan rata-rata di setiap lembaga pemasaran

53

6 Margin total rata-rata di setiap saluran pemasaran

55

7 Biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran di setiap saluran pemasaran 56

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini
dikarenakan Indonesia memiliki banyak pulau kecil dan pulau besar yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote.
Jumlah pulau yang ada di Indonesia adalah 13 466 buah pulau (Badan Informasi
Geospasial, 2014). Sebagai negara kepulauan, Indonesia dipersatukan oleh
wilayah daratan dan lautan. Luas seluruh wilayah teritorial Indonesia adalah 8
juta km² yang mempunyai garis pantai sepanjang 81 000 km. Luas wilayah
perairan mencapai 5.8 juta km² (2/3 dari luas wilayah teritorial Indonesia) yang
terdiri dari 3.1 juta km² wilayah laut teritorial dan 2.7 juta km² Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), yaitu perairan yang berada 12 mil hingga 200 mil dari garis
pantai titik-titik terluar kepulauan Indonesia.
Sektor perikanan memiliki nilai kontribusi yang cukup besar terhadap PDB
di Indonesia. Hal ini terjadi karena terus meningkatnya produksi perikanan di
Indonesia. Pada tahun 2013, nilai PDB atas dasar harga berlakumenurut lapangan
usaha, PDB sektor perikanan mencapai 291 799 miliar rupiah. Di bidang
pertanian umum, sumbangan PDB sektor perikanan hanya lebih kecil dari
sumbangan PDB dari sektor tanaman pangan.
Tabel 1 PDB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha pada setiap
triwulan tahun 2013 (Rp miliar)
Lapangan Usaha
1.Pertanian Umum
a. Tanaman Pangan
b. Perkebunan
c. Peternakan
d. Kehutanan
e. Perikanan

1
324 287
175 973
30 972
38 352
12 204
66 785

2
332 932
160 791
47 592
39 295
14 491
70 761

Tahun 2013
3
4
363 919 289 898
174 056 111 011
56 975
39 708
42 697
44 818
14 830
15 468
75 360
78 892

Jumlah
1 311 037
621 832
175 248
165 162
56 994
291 799

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

Perairan laut Indonesia yang memiliki wilayah yang luas, didukung oleh
banyaknya komoditas perikanan yang dihasilkan. Menurut data dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi rata-rata hasil perikanan tangkap adalah
sekitar 6.5 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2011 mencapai
5.71 juta ton atau 87.85 persen dari total sumberdaya baik dari perairan umum
maupun perairan laut. Total produksi perikanan tangkap khusus di perairan laut
mencapai 5.23 juta ton.
Besarnya potensi di bidang perikanan khususnya perikanan tangkap ini,
KKP memiliki cara khusus dalam pengelolaan sumberdaya. Dalam upaya
mencapai pemanfaatan perikanan secara optimal dan berkelanjutan agar
terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan, dibentuklah Wilayah Pengelolaan
Perikanan yang biasa disingkat dengan WPP. WPP bertujuan untuk

2
mempermudah sistem pendataan sumberdaya ikan yang selanjutnya digunakan
untuk pendugaan stok sumberdaya ikan di laut.
Tabel 2 Volume produksi perikanan tangkap subsektor perairan laut menurut
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia tahun 2008-2011
(ton)
WPP
Tahun
2008
2009
2010
2011
Barat Sumatera
406 077
444 786
441 938
448 960
Selatan Jawa
398 014
173 066
130 474
180 310
Selat Malaka
941 471
340 859
315 398
459 716
Timur Sumatera
593 310
615 959
587 523
536 947
Utara Jawa
796 199
798 293
875 636
860 251
Bali/Nusa Tenggara
292 206
318 337
318 278
343 023
Selatan/Barat Kalimantan
229 437
235 922
235 216
238 472
Timur Kalimantan
127 547
126 145
159 157
141 967
Selatan Sulawesi
526 691
503 760
509 947
518 611
Utara Sulawesi
408 090
429 633
433 586
397 978
Maluku-Papua
783 580
821 575 1 087 936
1 104 191
5 502 622 4 808 335
5 095 089
5 230 426
Total
Sumber : KKP (2011)

Berdasarkan data KKP pada tahun 2011, volume produksi perikanan
tangkap tertinggi terdapat pada WPP Maluku-Papua yaitu mencapai angka 1.1
juta ton ikan. Volumenya juga terus meningkat dari tahun 2008 sampai 2009.
Volume produksi ikan yang cukup besar juga dimiliki oleh WPP Utara Jawa. Dari
tabel di atas dapat kita lihat bahwa secara keseluruhan volume produksi di setiap
tahunnya cenderung meningkat meskipun di beberapa WPP volume produksinya
cenderung berfluktuasi.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia, permintaan ikan juga
terus meningkat dari tahun ke tahun termasuk Indonesia.Jumlah penduduk
Indonesia yang terus meningkat, merupakan salah satu penyebab terus
meningkatnya kebutuhan hasil perikanan tangkap. Oleh karena itu produksi
perikanan tangkap juga harus terus ditingkatkan Jika dibandingkan dengan
sumber protein lainnya, ikan memang memiliki kandungan gizi khususnya protein
yang jauh lebih tinggi.
Menurut Food Agricultural Organization (FAO), pada tahun 2011 produksi
ikan dunia dari penangkapan di laut mencapai 93.5 juta ton. Jumlah produksi ikan
tangkap ini memang mengalami peningkatan namun cenderung stagnan. Pada
tahun 2006, jumlah produksi ikan tangkap di laut adalah 90.0 juta ton. Dalam
rentan waktu 5 tahun, jumlah produksinya hanya meningkat 3.5 juta ton.
Berdasarkan data yang dikeluarkan FAO pada tahun 2011, Indonesia
bukanlah negara yang memiliki nilai konsumsi ikan tertinggi dan masih tertinggal
dengan negara-negara ASEAN lainnyameskipun Indonesia adalah negara yang
memiliki laut terluas di dunia dan jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara,.
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa Indonesia hanya unggul dari Laos, Thailand, dan
Timor-Leste. Meskipun demikian, tingkat konsumsi ikan di Indonesia terus
meningkat setiap tahunnya. Peningkatan rata-rata konsumsi ikan di Indonesia dari

3
tahun 2005 hingga 2009 mencapai 0.65 kg/kapita/tahun. Jika peningkatan ini terus
terjadi secara konstan, bisa diasumsikan pada tahun 2020 tingkat konsumsi ikan di
Indonesia bisa mencapai 32.55 kg/kapita/tahun.
Tabel 3

Tingkat konsumsi ikan negara-negara ASEAN tahun 2005-2009
(kg/kapita/tahun)

Negara
Brunei Darussalam
Kamboja
Indonesia
Laos
Malaysia
Myanmar
Filipina
Thailand
Timor-Leste
Vietnam

2005
34.20
26.60
21.80
19.00
49.40
29.70
32.90
32.90
0.30
27.60

2006
34.50
34.50
22.30
18.60
52.90
36.60
33.30
30.60
0.30
24.90

Tahun
2007
27.50
34.60
24.00
18.40
55.00
41.30
35.70
28.30
0.30
29.60

2008
27.00
34.20
24.70
18.20
54.10
46.70
35.50
22.90
0.30
30.80

2009
26.50
33.80
25.40
17.90
53.20
50.80
36.40
24.60
0.30
32.60

Sumber : FAO (2012)

Meningkatnya volume produksi perikanan dan tingkat kebutuhan konsumsi
ikan, berdampak pada meningkatnya nilai produksi perikanan tangkap. Jika dilihat
dari nilai produksinya, dari tahun 2008 hingga 2010 tidak pernah mengalami
penurunan. Hal ini juga disebabkan karena jenis ikan tangkap laut yang memang
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Tabel 4

Nilai produksi perikanan tangkap subsektor perairan laut menurut
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia tahun 2008-2011
(Rp juta)
WPP
Tahun
2008
2009
2010
2011ª
Barat Sumatera
6 120 986 6 948 409 7 101 768
937 245
Selatan Jawa
943 137 1 256 882 1 150 177
209 628
Selat Malaka
7 048 988 5 862 695 4 895 699
745 165
Timur Sumatera
5 140 917 5 297 588 7 647 145 1 157 659
Utara Jawa
6 572 034 7 714 729 10 107 672 1 209 244
Bali/Nusa Tenggara
2 352 353 2 575 471 2 720 308
312 640
Selatan/Barat Kalimantan
2 534 455 2 298 118 3 157 565
292 596
Timur Kalimantan
1 971 293 2 151 970 3 479 912
171 498
Selatan Sulawesi
4 728 349 4 662 893 4 849 501
877 921
Utara Sulawesi
2 427 103 2 843 435 3 245 907
796 547
Maluku-Papua
6 758 933 7 914 940 11 224 820 1 150 307
Total
46 598 548 49 527 130 59 580 474 7 860 450
ªangka sementara Sumber: KKP (2011)

Sifat ikan yang mudah mengalami proses pembusukan (perishable food)
menjadi salah satu tantangan dalam hal pemasaran agar tetap bisa menjaga

4
kesegaran ikan ketika ikan sampai pada konsumen akhir. Mutu dan kualitas ikan
yang baik merupakan aspek yang harus dipenuhi agar hasil tangkapan ikan tetap
memiliki nilai yang tinggi. Oleh karena itu, dukungan sarana dan prasarana yang
memadai merupakan salah satu upaya mutlak yang harus dilakukan baik itu
melalui pemerintah maupun lembaga lokal yang ada pada usaha penangkapan
ikan.
Dalam upaya pengembangan sektor perikanan, pemerintah memiliki peran
penting dalam hal penyediaan berbagai fasilitas yang dapat memberikan
kemudahan dalam melakukan usaha perikanan. Adapun kemudahan-kemudahan
yang dimaksud adalah kemudahan mendapatkan sarana produksi, mendaratkan
hasil tangkapan, dan menjamin pemasaran, sehingga poses produksi
sampaipemasarannya berjalan lancar.Dibangunnya beberapa pelabuhan perikanan
di Indonesia merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengembangkan
sektor perikanan. Hingga tahun 2012 pemerintah telah membangun dan
mengembangkan pelabuhan perikanan di Indonesia sebanyak 816 unit yang terdiri
dari 6 unit Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 14 unit Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN), 45 unit Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 749 unit Pusat
Pendaratan Ikan (PPI) dan 2 unit pelabuhan perikanan swasta (KKP 2013).
Berdasarkan UU RI No.45/2009 tentang perubahan atas UU No.31/2004
tentang perikanan dinyatakan bahwa fungsi pelabuhan perikanan dapat berupa
pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan, pelayanan bongkar muat, pelayanan
pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan distribusi ikan,
pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, tempat pelaksanaan penyuluhan
dan pengembangan masyarakat nelayan, pelaksanaan kegiatan operasional kapal
perikanan, tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan,
pelaksanaan kesyahbandaran, tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan, publikasi
hasil pelayanan sandar serta labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal
perikanan.
Terkait dengan pendaratan hasil tangkapan dan jaminan pemasaran, salah
satu sarana yang digunakan untuk mendukung pengembangan sektor perikanan
khususnya kegiatan penangkapan ikan adalah tersedianya Tempat Pelelangan Ikan
(TPI).Menurut sejarahnya, pelelangan ikan telah dikenal sejak tahun 1922,
didirikan dan diselenggarakan oleh Koperasi Perikanan terutama di pulau Jawa
dengan tujuan untuk melindungi nelayan dari permainan harga yang dilakukan
oleh tengkulak, membantu nelayan mendapatkan harga yang layak dan juga
membantu nelayan dalam mengembangkan usahanya.
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.08/2012, TPI
merupakan salah satu fasilitas fungsional pelabuhan dalam rangka menunjang
fungsi pelabuhan. Secara teori, fungsi dari TPI yaitu sebagai pusat pemasaran dan
distribusi hasil perikanan, sarana pemungutan retribusi hasil penangkapan ikan,
serta sarana penyuluhan dan pengumpulan data perikanan. Fungsi TPI tersebut
dinilai cukup strategis, karena dengan adanya pelelangan persaingan harga
produksi semakin tinggi dan berpengaruh kepada peningkatan pendapatan dari
usaha penangkapan ikan.
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) merupakan salah satu jenis kelembagaan
formal yang diharapkan dapat membantu para nelayan untuk memasarkan hasil
tangkapan mereka. Hanya saja yang menjadi permasalahan apakah TPI ini sudah
berfungsi sebagaimana mestinya? Pada tabel 2 yang menjelaskan volume

5
produksi hasil perikanan tangkap Indonesia, pada tahun 2011 mencapai angka
lebih dari 5.2 juta ton dan meningkat dari tahun sebelumnya dengan volume lebih
kurang 5.1 juta ton. Sedangkan jika dilihat pada tabel 5, pada tahun 2011 volume
hasil perikanan tangkap yang dijual di TPI seluruh Indonesia hanya sekitar 420
ribu ton dan jumlah itu mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Jika
dipersentasikan, hanya sekitar 8.1 persen dari 5.2 juta ton volume total produksi
hasil tangkapan ikan yang dijual di TPI sedangkan sisanya dijual di luar TPI.
Tabel 5Volume produksi perikanan tangkap yang dijual di TPI menurut pulau di
Indonesia tahun 2007-2011 (ton)
Pulauª
Sumatera
Jawa
Bali & Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Jumlah

2007
2008
25 671 48 175
321 436 355 764
29 278
29 507
36 221
36 504
48 854
55 386
4 569
3 837
466 029 529 173

Tahun
2009
85 576
336 892
46 664
36 326
45 786
4 879
556 123

2010
124 684
462 417
46 161
42 364
40 320
14 342
730 286

2011
41 515
292 812
11 430
30 792
36 812
10 536
423 896

ª[dan pulau lain di sekitarnya] Sumber : BPS (2011)

Dari data yang disajikan pada tabel 5 tersebut terdapat suatu ketimpangan
yang terjadi. TPI yang seharusnya menjadi suatu lembaga yang membantu
aktivitas pada hasil tangkapan ikan para nelayan belum mampu untuk
menjalankan fungsi utamanya sebagaimana mestinya. Ini terbukti dengan masih
sedikitnya ikan yang dijual melalui TPI. Justru penjualan tanpa melalui TPI jauh
lebih diminati dan menjadi pilihan para nelayan.Padahal secara teori, ikan yang
dilelang resmi dianggap terjual pada kesepakatan harga penawaran tertinggi. Hal
ini tentu seharusnya menjadikan TPI sebagai pilihan utama oleh para nelayan
dalam memasarkan ikannya karena akan memperoleh pendapatan yang lebih besar
dari harga ikan yang dibeli dengan harga penawaran tertinggi.

Perumusan Masalah
Berdasarkan tabel volume produksi perikanan tangkap (tabel 2), Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) Utara Jawa termasuk yang memiliki volume
produksi yang cukup tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. WPP
Utara Jawa ini terdiri dari Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di laut utara Jawa, DKI
Jakarta bukanlah penghasil ikan tangkap tertinggi mengingat laut yang tidak
terlalu luas dibandingkan laut pada provinsi lainnya. Namun DKI Jakarta
memiliki pasar konsumen yang potensial. Hal ini disebabkan karena Jakarta
merupakan ibukota negara Indonesia dan akses yang mudah untuk menuju lokasi.

6

Tabel 6 Volume produksi perikanan tangkap sub sektor perikanan
utara jawa berdasarkan provinsi tahun 2008-2011 (ton)
Provinsi
Tahun
2008
2009
2010
Banten
101 422
99 799
57 254
DKI Jakarta
144 718
103 428
172 422
206 953
172 747
214 040
Jawa Barat
196 371
195 636
212 648
Jawa Tengah
540 458
395510
344 716
Jawa Timur

laut di laut

2011
57 891
179 592
185 819
251 536
361 769

Sumber : KKP (2011)

DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki potensi perikanan tangkap
yang cukup baik. Produksi perikanan tangkap di provinsi DKI Jakarta didaratkan
di empat tempat pendaratan ikan yaitu: PPS Nizam Zachman Muara Baru, PPI
Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Kali Baru/Cilincing. Dari keempat
tempat pendaratan ikan tersebut, PPI Muara Angke merupakan tempat pendaratan
ikan yang memiliki TPI yang masih menjalankan sistem lelang secara murni
dilihat dari keterbukaan harga lelang dan keterbukaan kepada calon peserta lelang
untuk diperbolehkan mengikuti pelelangan.
Produksi ikan di PPI Muara Angke dari tahun 2006 sampai 2010 pada
umumnya mengalami kenaikan. Pada tahun 2010, produksi ikan sebesar 36.3 ribu
ton atau dengan laju pertumbuhan naik 70 persen dari tahun 2009 dengan
produksinya 21.3 ribu ton. Nilai ikan tahun 2010 sebesar 82.6 milyar rupiah atau
mengalami kenaikan cukup besar sekitar 200 persen dari tahun 2009.
Tabel 7 Perkembangan produksi, nilai dan retribusi di PPI Muara Angke
Jenis
Produksi ikan (ribu ton)
Nilai (milyar rupiah)
Retribusi (milyar rupiah)

2006 2007
24.6 26.1
54.8 56.5
2.4
2.2

Tahun
2008
28.8
63.4
2.5

2009 2010
21.3 36.3
26.7 82.6
2.6
4.4

Sumber : UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan PPI Muara Angke (2011)

Berdasarkan data produksi perikanan di Muara Angke tahun 2006 sampai
2010 (tabel 7), laju pertumbuhan rata-rata produksi ikan sebesar 15.2 persen
pertahun. Dengan trend pertumbuhan seperti itu, UPT PPI Muara Angke
memproyeksikan laju pertumbuhan produksi rata-rata 10persen pertahun. Dengan
demikian, diprediksikan produksi ikan di PPI Muara Angke pada tahun 2015
mampu mencapai angka 58.47 ribu ton/tahun atau 0.17 ribu ton/hari.

7

Tabel 8 Produksi dan perkiraan produksi ikan di PPI Muara Angke tahun 20102015 (kg)
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
2015

Produksi/Tahun
36 309 181
39 940 099
43 934 109
48 327 520
53 160 272*
58 476 299*

Produksi/Hari
99 477
109 425
120 367
132 404
145 645*
160 209*

*[masih dalam perkiraan] Sumber : UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan PPI Muara
Angke (2011)

Lokasi Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke
terletak di daerah yang cukup strategis, aksesibilitas ke tempat ini sangat baik,
kondisi jalan beraspal, dengan sarana transportasi yang menuju ke tempat ini
adalah bis dan angkutan kota. Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke
sudah memiliki infrastruktur yang bagus. Pemerintah telah membangun Tempat
Pelelangan Ikan (TPI), gedung pasar grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios,
gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh para pengusaha perikanan, kios pujaseri,
tempat pengepakan ikan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya dan masih
berjalan aktif.
Selain pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, kepada pihak swasta
juga diberikan kesempatan untuk bersama pemerintah melaksanakan
pembangunan kawasan. Hal ini terbukti dengan dibangunnyafasilitas-fasilitas
penting oleh pihak swasta usaha perikanan seperti cold storage, pabrik es, tempattempat penyimpanan ikan yang tidak saja berfungsi sebagai tempat menyimpan
namun juga berfungsi sebagai stabilisator harga ikan.
Penelitian ini mencoba menganalisis apakah peranan kelembagaan TPI yang
ada sudah mampu untuk menciptakan suatu sistem yang
baik dalam
operasionalnya? Mengingat dari latar belakang yang peneliti jelaskan bahwa TPI
yang seharusnya menjadi pusat pemasaran hasil perikanan tangkap belum menjadi
pilihan utama bagi para nelayan dalam hal pemasaran hasil tangkapan ikan, dilihat
dari jumlah volume produksi perikanan tangkap yang dijual melalui TPI masih
sangat sedikit. Diharapkan dengan adanya keterlibatan kelembagaan perikanan
khususnya TPI Muara Angke dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
oleh para nelayan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dikaji pada
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peranan TPI dalam pemasaran hasil perikanan tangkap?
2. Bagaimana saluran pemasaran hasil perikanan tangkap yang terjadi di TPI dan
bukan TPI pada Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke?
3. Bagaimana tingkat efisiensi pemasaran setiap saluran pemasaran ikan melalui
TPI dan bukan melalui TPI?

8
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menganalisis peranan TPI dalam pemasaran hasil perikanan tangkap
2. Mengetahui saluran pemasaran hasil perikanan tangkap yang terjadi di TPI dan
bukan TPIpada Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke
3. Menganalisis tingkat efisiensi pemasaran setiap saluran pemasaran ikan
melalui TPI dan bukan melalui TPI
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pemikiran
baru bagi para pelaku kegiatan perikanan tangkap khususnya para nelayan agar
dapat menemukan solusi dalam memecahkan masalah pada pemasaran perikanan
tangkap. Adanya peran kelembagaan diharapkan dapat memberikan suatu pilihan
yang paling tepat untuk menentukan saluran pemasaran yang paling efisien
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Bagi para pengambil kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi untuk dijadikan suatu pertimbangan untuk membuat suatu
kebijakan untuk melindungi nasib para pelaku usaha dalam kegiatan perikanan
tangkap. Harapan lainnya semoga juga bisa menjadi salah satu informasi yang
bermanfaat bagi para peneliti lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Peran Kelembagaan
Untuk menjamin berfungsi dan efektifitasnya suatu kelembagaan,
diperlukan suatu sistem yang akan mampu memperkuat aspek kelembagaan.
Menurut penelitian Tangsain (2013), sistem tersebut adalah adanya suatu
penguatan peran dan fungsi masing-masing lembaga. Kelembagaan sebagai
pelaku utama yang diharapkan berperan dalam pembangunan perikanan, pada
kenyataannya sering tidak berfungsi bahkan terbentuk hanya karena aturan
keproyekan yang mengharuskan adanya suatu kelompok atau lembaga untuk
mendapatkan bantuan. Tapi yang paling penting menurut Tangsain adalah
kesiapan atau kemampuan kelembagaan tersebut dalam menjalankan perannya
secara fungsional.
Tangsain (2013) melanjutkan fungsi kelembagaan sebagai pelaku utama
perikanan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
nomor.KEP.14/MEN/2012 adalah sebagai berikut:
1. Wadah proses pembelajaran
2. Wahana kerjasama
3. Unit penyedia sarana dan prasarana produksi perikanan
4. Unit produksi perikanan
5. Unit pengolahan dan pemasaran
6. Unit jasa penunjang

9
7. Organisasi kegiatan bersama
8. Kesatuan swadaya dan swadana
Manullang (2007) membahas peran kelembagaan lebih spesifik kepada
kelembagaan nelayan. Lembaga nelayan yang ditelitinya memiliki peran untuk
memikirkan hal-hal apa saja yang diperlukan nelayan dalam pekerjaannya sebagai
nelayan, mengawasi aktivitas pelelangan ikan agar tidak merugikan nelayan, dan
menjadi wadah untuk menampung aspirasi nelayan. Namun pada kenyataanya
nelayan tidak dapat menentukan harga ikan. Nelayan hanya menerima harga yang
ditentukan oleh pedagang pengumpul ataupun tengkulak. Hal ini disebabkan oleh
adanya keterikatan antara nelayan dengan pedagang pengumpul atau tengkulak
dalam hal pinjaman modal.
Cahyono (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kelembagan petani
dalam mendukung keberlanjutan pertanian sangat diperlukan untuk memberikan
masukan dan pertimbangan bagi pelaku pembangunan dalam rangka
pegembangan ekonomi lokal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan
usaha pertanian di Desa Angdongsari terancam tidak berlanjut. Keberadaan
kelembagaan petani yang menjadi wadah kerjasama petani dan berfungsi
memberikan layanan yang efektif dalam usaha pertanian secara umum tidak
dirasakan pernanannya oleh seluruh petani melainkan hanya sebagaian kecil saja.
Faktor usia lembaga dan faktor sikap petani dalam menerima perubahan dianggap
sebagai faktor penyebabnya.
Menurut Purwono (2004) dalam penelitiannya tentang pengaruh
kelembagaan terhadap pendapatan nelayan, kelembagaan nelayan memiliki
peranan untuk meningkatkan kemampuan manajemen organisasi para anggotanya
meliputi perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, penganggaran, dan
pengontrolan. Di samping itu, kelembagaan ini juga sebagai penyedia sarana dan
prasarana yang dibutuhkan oleh nelayan, termasuk juga dalam penyediaan modal.
Dengan adanya penyediaan modal ini, para anggota memiliki hubungan
kelembagaan yang kuat karena adanya ketergantungan terhadap modal yang telah
diberikan.
Pelelangan
Setiawan (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Studi Pelelangan
Bandeng di Kabupaten Pangkajene, Provinsi Sulawesi Selatan” menuliskan
bahwa pelelangan muncul di daerah penelitiannya dilatarbelakangi oleh
keterbatasan para pembudidaya dan nelayan dalam memperluas jangkauan
pemasaran bandeng ke Makassar. Mekanisme pelelangan dalam penelitiannya
terdiri dari kegiatan pra lelang, kegiatan lelang dan kegiatan pasca lelang. Pada
kegiatan pra lelang semua perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelelangan
dipersiapkan oleh petugas lelang sedangkan para nelayan berdatangan untuk
memasukkan hasil tangkapanya ke pelelangan melalui petugas lelang. Setelah
semua persiapan lelang selesai, masuk pada kegiatan lelang. Pada tahap inilah
dimulai pembentukan harga antara pembeli dan juru lelang sampai menghasilkan
harga kesepakatan. Setelah pembeli melakukan pembayaran atas sejumlah ikan,
barulah masuk pada kegiatan pasca lelang yang terdiri dari pengangkutan,
penyortiran kembali, penmbersihan, pengepakan dan pengiriman.

10
Damona (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Terhadap
Implementasi Pasar Lelang Komoditi Agro pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Bali“ meneliti implementasi pasar lelang konoditi agro dan
kendala-kendala yang ditemukan dalam pasar lelang. Penyelenggaraan lelang
dilakukan dengan sistem penyerahan kemudian (forward). Sistem lelang ini
merupakan sistem lelang yang penyerahan barang secara fisik dan pembayarannya
di kemudian hari. Tujuannya agar memperoleh harga keseimbangan antara
penjual dan pembeli. Namun pada kenyataannya konsep tersebut tidak dapat
dilaksanakan secara maksimal. Transaksi yang terjadi seperti belum sungguhsungguh karena pembeli dan penjual mengetahui kontrak belum mempunyai
kekuatan hukum sehingga sering terjadi peristiwa gagal serah dan gagal bayar
sesuai laporan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan pada waktu
penyerahan barang di gudang pembeli apakah memang terjadi transaksi secara riil
atau tidak.
Epakartika (2004) dalam penelitiannya menemukan dua sistem pasar lelang
untuk komoditi agro yaitu pasar lelang spot dan pasar lelang forward.
Permasalahan mendasar yang terjadi pada penyelenggaraan pasar lelang komoditi
agro tersebut adalah permasalah berupa gagal transaksi (gagal serah, gagal harga,
dan gagal kualitas) yang umumnya terjadi pada sistem lelang forward,
permasalahan keterbatasan infrastruktur, itikad baik dari pelaku pasar lelang
(adanya praktek makelar), keterbatasan SDM (pihak fasilitator), belum
optimalnya peran pemerintah, serta kegagalan pasar itu sendiri (tingkat harga
kesepatakan belum optimum).
Tim PUD DepertemenAgribisnis IPB (2013) khusus subsistem penunjang
melakukan penelitian tentang “Kajian Subsistem Penunjang Agribisnis Karet di
Jambi”. Dalam penelitian tersebut pelelangan merupakan kelembagaan penunjang
agribisnis karet yang memiliki peran dalam fungsi pemasaran yang mana petani
menjual karet melalui proses lelang. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan
bahwa petani memperoleh harga yang lebih tinggi sebagai akibat adanya
persaingan antar pembeli, sehingga para petani umumnya memilih pelelangan
dalam memasarkan hasil produksinya. Jumlah karet yang dijual melalui
pelelangan mencapai 40 persen dari total produksi petani sedangkan sisanya
melalui pedagang pengumpul atau langsung ke pabrik. Pelelangan dilakukan
dengan menggunakan sistem pelelangan tertutup yang mana setiap calon pembeli
tidak mengetahui harga pembelian oleh calon pembeli lainnya.
Alrasyid (2005) dalam penelitianya tentang “Pengembangan Sistem
Informasi Pasar Lelang Komoditi Agro Online” meneliti suatu sistem lelang
modern dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis web yang
dikembangkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappeti).
Pasar lelang komoditi agro online menciptakan mekanisme pembentukan harga
yang transparan dan memperpendek jalur pemasaran. Fungsi dari pasar lelang ini
adalah sebagai tempat transaksi dan pusat distribusi hasil-hasil pertanian, pusat
informasi pasar, tempat promosi, grading dan pengemasan, wadah pembinaan
pengolahan dan peningkatan mutu produk, tempat merencanakan produksi, pola
tanam, manajemen lahan untuk menghasilkan produk sesuai kebutuhan pasar.
Aplikasi yang dirancang berbasiskan web untuk mempermudah bertransaksi
secara online antar pelaku pasar lelang. Pelaku pasar lelang dapat melihat datadata komoditi yang dilelang tanpa terbatas oleh daerah yang dilingkupi oleh

11
penyelenggara pasar lelang. Semua pelaku pasar lelang mengikuti semua aturan
yang diterapkan oleh Bappeti dan Bappeti dapat merubah aturan lelang secara
online.

Saluran Pemasaran Hasil Perikanan
Di dalam mendistribusikan hasil tangkapan ikan para nelayan, ada beberapa
pilihan saluran pemasaran yang dilalui. Menurut penelitian Manullang (2007)
pada daerah penelitiannya, secara garis besar terdapat tiga saluran pemasaran hasil
tangkapan ikan setelah masuk ke TPI. Rantai saluran pemasaran produksi usaha
penangkapan ikan laut di TPI adalah sebagai berikut :
1. Nelayan – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer –
konsumen
2. Nelayan – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – konsumen
3. Nelayan – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen
Sedangkan dalam penelitian Raharjo (2009), membagi saluran pemasaran ke
dalam dua pola target pasar yang dituju yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan pasar lokal dan pasar regional, terdapat dua pola saluran pemasaran :
a. Nelayan – pedagang pengumpul lokal – pedagang pengecer – konsumen
b. Nelayan – pedagang pengecer – konsumen
2. Tujuan pasar regional dan pasar nasional, terdapat enam pola saluran
pemasaran :
a. Nelayan – pedagang pengumpul lokal – perusahaan pengolahan
b. Nelayan – pedagang pengumpul lokal – pedagang besar – perusahaan
pengolahan
c. Nelayan – pedangan pengumpul lokal – pedagang besar – pedagang
pegumpul – institusional market
d. Nelayan – pedagang pengumpul lokal – pedagang besar – pedagang
pengumpul – pedagang pengecer – konsumen
e. Nelayan – pedagang pengumpul lokal – pedagang besar – pedagang
pengumpul – pedagang pengecer – institusional market
f. Nelayan – pedagang pengumpul lokal – pedagang besar – pedagang
pengumpul – pasar swalayan – konsumen
Tim peneliti dari Pusat Studi Terumbu Karang (2002) Universitas
Hasanuddin melakukan penelitian tentang “Jaringan Pemasaran Produk Perikanan
dari Taman Nasional Laut Taka Bonerate, Selayar”. Dalam penelitiannya saluran
pemasaran produk perikanan yang diteliti terdiri dari jenis ikan hidup, jenis ikan
segar, dan jenis ikan olahan. Pada saluran pemasaran ikan hidup terdapat 5 saluran
pemasaran yang melibatkan lembaga pemasaran yang terdiri dari nelayan,
pedagang pengumpul besar dan kecil, agen, dengan tujuan akhir pemasarannya
eksportir dan importir. Untuk pemasaran ikan segar terdapat 6 saluran pemaran
yang melibatkan lembaga pemasaran sebagai berikut: nelayan, pedagang
pengumpul, agen, pedagang antarpulau, TPI, pengecer, dengan tujuan akhir
pemasaran eksportir dan konsumen. Sedangkan untuk saluran pemasaran ikan
olahan terdiri dari 4 saluran pemasaran. Lembaga pemasaran yang terlibat adalah
nelayan, pedagang pengumpul lokal, pedagang antardaerah, pedagang pengecer,
dengan tujuan akhir konsumen lokal dan luar daerah.

12
Efisiensi Pemasaran Hasil Perikanan
Dalam penelitiannya, Manullang (2007) menggunakan alat analisis
deskriptif yaitu Output-Input Ratio (OIR)untuk menghitung efisiensi pemasaran.
Pada OIRini, peneliti membandingkan antara profit yang diterima oleh lembaga
pemasaran dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan. Saluran pemasaran
semakin efisien jika nilai OIR di setiap lembaga dalam satu saluran pemasaran
cenderung sama. Artinya keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran
tidak menumpuk pada satu lembaga pemasaran saja melainkan keuntungan
cenderung sama dirasakan, sesuai dengan biaya pengorbanan yang dikeluarkan
oleh lembaga pemasaran tersebut. Menurut hasil penelitiannya, saluran pemasaran
yang paling efisien adalah saluran pemasaran III (nelayan – pedagang besar –
pedagang pengecer – konsumen).
Amalo (2005) dalam penelitiannya tentang “Analisis Efisiensi Pemasaran
Ikan di Kawasan PPI Muara Baru” melakukan pendekatan struktur pasar, perilaku
pasar dan keragaan pasar. Dalam melakukan pedekatan tersebut digunakan
metode analisis deskriptif. Struktur pasar dianggap kurang efisien karena
mengarah kepada pasar oligopoli.Semua ikan tangkapan nelayan harus dijual
melalui proses lelang dan pembelinya sudah ditetapkan yaitu hanya pedagang
grosir yang sudah terdaftar di Koperasi yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta. Untuk analisis perilaku pasar dilihat dengan
menggunakan pendekatan penentuan harga dan pembentukan harga. Perilaku
pasar dianggap kurang efisien karena dalam penentuan harga lebih dipengaruhi
oleh informasi harga yang berasal dari para pedagang grosir dan dalam
pembentukan harga menggunakan harga dasar yang sudah ditetapkan pemerintah.
Sedangkan untuk analisis keragaan pasar dilakukan dengan menganalisis
elastisitas transmisi harga. Nilai elastisitas yang kurang dari satu menandakan
bahwa harga di tingkat pasar kurang dapat ditransmisi dengan baik ke tingkat
pasar sebelumnya.
Pusat Studi Terumbu Karang (2002) Universitas Hasanuddin dalam
penelitiannya melakukan beberapa analisis untuk melihat efisiensi pemasaran
produk perikanan yang terdiri dari ikan hidup, ikan segar, dan ikan olahan.
Analisis yang pertama kali dilakukan adalah analisis margin pemasaran untuk
melihat selisih harga dari produsen hingga konsumen akhir dengan menggunakan
rumus margin mutlak nelayan dan margin mutlak pedagang. Untuk melihat nilai
efisiensi pemasaran, dihitung dengan membandingkan biaya pemasaran setiap
lembaga dengan harga penjualan di setiap lembaga pemasaran. Lembaga
pemasaran yang nilai perbandingan biaya dengan harga jual paling kecil dianggap
palig efisien. Hasil penelitiannya margin tertinggi pada pemasaran ikan segar
adalah sebesar Rp40 000/kg yang diperoleh agen (eksportir) dan lembaga
pemaran yang paling efisien adalah eksportir sebesar 9.2persen. Untuk pemasaran
ikan segar margin tertinggi sebesar Rp100 000/kg diperoleh oleh eksportir dan
lembaga pemasaran paling efisien adalah agen sebesar 0.79persen. Untuk
pemasaran ikan olahan margin tertinggi adalah Rp800 000/kg yang diperoleh
pedagang besar untuk komoditi sirip hiu dan lembaga pemasaran yang paling
efisien adalah pedagang pengecer sebesar 0.40persen.

13
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Defenisi Kelembagaan
Menurut Kherallah dan Kirsten (2001), kelembagaan dapat diartikan sebagai
suatu gugus aturan formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan
lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial,
dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu
ataupun kelompok.
Dalam pengertian lain menurut Uphoff (1986), dia membedakan antara
lembaga dengan kelembagaan. Lembaga merupakan sekumpulan norma dan
perilaku yang telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk
mencapai tujuan bersama. Sedangkan kelembagaan adalah suatu jaringan yang
terdiri dari sejumlah orang atau lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan
dan norma, serta memiliki struktur. Dalam hal ini lembaga dapat memiliki
struktur yang tegas, formal, dan dapat menjalankan satu fungsi kelembagaan atau
lebih.
Uphoff (1986) menambahkan, istilah kelembagaan dan organisasi sering
membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan, social institusion
dan social organization berada pada level yang sama untuk menyebut apa yang
kita kenal dengan kelompok sosial, grup, social form, dan lain-lain yang relatif
sejenis. Namun pada perkembangannya kelembagaan lebih sering digunakan
untuk makna yang mencakup keduanya baik social institusion ataupun social
organization. Kelembagaan lebih dipilih karena kata organisasi menunjuk kepada
suatu yang bersifat formal. Kata kelembagaan juga lebih disukai karena memberi
kesan lebih sosial dan lebih menghargai budaya lokal atau lebih humanistis.
Ostrom (1985) menyampaikan kelembagaan sebagai suatu aturan dan
rambu-rambu yang berfungsi sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota
suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau
saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi dapat ditentukan oleh
beberapa unsur yaitu aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber
daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri
dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan
organisasi.
Tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Nikijuluw (2002) juga
menyampaikan bahwa kelembagaan itu merupakan suatu aturan main dalam
masyarakat yang dipengaruhi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik.
Kelembagaan atau aturan main tersebut dapat terbentuk dengan sendirinya melalui
suatu proses yang cukup lama. Kelembagaan juga sangat erat hubungannya
dengan taraf hidup, kesejahteraan dan kerusakan lingkungan. Kelembagaan dapat
membentuk struktur masyarakat mandiri dalam menghadapi perubahan-perubahan
sehingga mempengaruhi keputusan masyarakat.
Penetapan Harga pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa penetapan harga secara operasional
(mechanism of price discovery) dapat dilakukan melalui:

14
1. Negosiasi individu (individual negotiation), transaksi terjadi secara sederhana
berdasarkan kekuatan tawar-menawar partisipan pasar. Dalam
bentuk
sempurna, kekuatan pasar dan informasi sama untuk semua partisipan yang
berarti pasar dalam kondisi pasar bersaing.
2. Pasar terorganisir (organized markets), keadaan pasar terorganisir mempunyai
kegunaan yang luas untuk komoditas pertanian karena negosiasi individu tidak
formal dan butuh biaya yang tinggi. Kondisi pada pasar ini sangat efisien untuk
menemukan harga yang seimbang (market clearing prices) karena
membutuhkan biaya transaksi yang kecil dari biaya total pemasaran.
3. Harga terkelola (administered prices), untuk produk dengan diferensiasi yang
tinggi. Penentuan harga ditentukan sepihak oleh penjual, agen atau pemerintah
yang berupaya membedakan antara public dan private.
4. Penentuan harga secara kolektif atau kelompok (collective bargaining
approaches to pricing). Penentuan harga secara berkelompok untuk
meningkatkan bargaining power.
Pasar lelang yang dalam hal ini adalah Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
digolongkan kedalam penentuan harga yang kedua yaitu pasar yang terorganisir
(organized markets) karena pada dasarnya transaksi yang dilakukan di TPI adalah
untuk memasarkan produk dengan biaya transaksi kecil namun para nelayan tetap
memperoleh harga yang seimbang melalui pelelangan dengan harga tertinggi oleh
peserta lelang.
Lembaga dan Saluran Pemasaran Hasil Perikanan
Lembaga pemasaran adalah suatu badan yang menyelenggarakan kegiatan
atau fungsi pemasaran yang mana barang bergerak dari pihak produsen sampai ke
pihak konsumen. Di dalam lembaga pemasaran ini terdapat golongan produsen,
pedagang perantara, lembaga pemberi jasa. Golongan produsen memiliki tugas
utama menghasilkan barang. Yang termasauk golongan ini adalah nelayan, petani
ikan, dan pengolah hasil perikanan. Selain berproduksi, mereka juga aktif dalam
menyalurkan hasil produksinya kepada konsumen. Pedagang perantara bisa
berupa perorangan, perserikatan atau perseroan yang bergerak di bidang
pemasaran. Mereka mengumpulkan barang yang berasal dari produsen untuk
disalurkan kepada konsumen. Lembaga pemberi jasa adalah mereka yang
memberi jasa atau fasilitas untuk memperlancar fungsi pemasaran yang dilakukan
oleh produsen atau pedagang perantara misalnya bank, biro iklan,usaha
pengangkutan, dan sebagainya (Hanafiah, 1983).
Berdasarkan tujuan penggunaannya maka hasil perikanan dapat
dikelompokkan ke dalam bahan mentah dan barang konsumsi. Bahan mentah
akan dibeli oleh pabrik atau usaha pengolahan untuk diolah menjadi barang jadi
sedangkan barang konsumsi akan dibeli oleh konsumen akhir untuk keperluan
konsumsi. Pergerakan hasil perikanan bahan mentah dari produsen sampai
industri pengolahan menggambarkan proses pengumpulan. Barang-barang
diterima (dibeli) oleh industri pengolahan langsung dari produsen atau dari
pedagang pengumpul lokal.

15
P

P

P

P1

P

P

Pl

Ip

Gambar 1 Proses penyaluran hasil perikanan bahan mentah (Hanafiah, 1983)
Keterangan:
P
: Nelayan
P1
:Pedagang pengumpul lokal
Ip
: Industri pengolahan
Seperti yang dijelaskan pada gambar 1, pada umumnya nelayan (P)
menyalurkan hasil tangkapannya kepada pedagang pengumpul lokal (P l). Setelah
itu dari pengumpul lokal disalurkan lagi ke industri pengolahan (Ip) untuk diolah
menjadi barang siap konsumsi. Tapi ada juga yang saluran pemasarannya dari
nelayan langsung ke industri pengolahan. Pergerakan hasil perikanan sebagai
barang konsumsi dari produsen sampai ke konsumen pada umumnya
menggambarkan proses pengumpulan maupun penyebaran. Hal itu dapat kita lihat
pada gambar 2 berikut ini.
IM

P

Pl

R

P

Pb

R

Konsumen

P

Pl

R

P
P

E

Gambar 2 Skema penyaluran hasil perikanan barang konsumsi (Hanafiah, 1983)
Keterangan:
P
: Nelayan
Pl
: Pedangang pengumpul lokal
Pb
: Pedagang besar
R
: Retailer (pedagang pengecer)
IM
: Institusional market (misalnya restaurant, rumah sakit)
E
: Pedagang ekspor

16
Menurut Hanafiah (1983), panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui
oleh suatu hasil perikanan tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1. Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan
konsumen biasanya semakin panjang saluran yang ditempuh oleh produk.
2. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus
segera diterima konsumen, dengan demikian saluran pemasaran yang dilalui
dari produsen harus cepat sampai kepada konsumen.
3. Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran kecil maka jumlah
produk yang dihasilkan berukuran kecil pula yang mana akan tidak
menguntungkan jika produsen langsung menjualnya ke pasar. Dalam keadaan
demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan, dan demikian saluran
yang akan dilalui produk cenderung panjang.
4. Posisi keuangan p