Peranan Kemitraan Pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging

PERANAN KEMITRAAN PADA USAHA TERNAK
AYAM RAS PEDAGING

ALYSA NOVIANA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Kemitraan
pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015
Alysa Noviana
NIM H34110066

ABSTRAK
ALYSA NOVIANA. Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras
Pedaging. Dibimbing oleh DWI RACHMINA.
Usaha ayam ras pedaging merupakan salah satu usaha yang potensial dan
dapat diusahakan peternak dengan skala yang bervariasi. Usaha ini umumnya
dikelola secara kemitraan karena berisiko tinggi dan membutuhkan modal besar.
Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan ayam ras
pedaging dan menganalisis peranan pelaksanaan kemitraan terhadap keuntungan
usaha peternak mitra pada dua skala usaha yang berbeda. Responden penelitian
sebanyak 30 peternak bermitra yang terdiri dari 19 peternak skala kecil (≤ 5 000
ekor ayam) dan 11 peternak mitra skala besar (> 5 000 ekor ayam). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kemitraan, kedudukan
perusahaan inti lebih tinggi dari peternak mitra sehingga peternak tidak memiliki
kekuatan tawar terhadap perusahaan. Selain itu, dalam pelaksanaan kemitraan
juga masih terdapat kondisi yang dapat merugikan peternak mitra. Meskipun
demikian, kemitraan berperan dalam menyediakan sarana produksi, melakukan

pembinaan dalam pemeliharaan, dan jaminan pemasaran hasil. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa keuntungan, produksi, dan rasio R/C peternak mitra
skala usaha besar lebih tinggi dibandingkan dengan peternak mitra skala usaha
kecil.
Kata kunci: analisis keuntungan usahatani, ayam ras pedaging, kemitraan
ABSTRACT
ALYSA NOVIANA. The Role of Partnership in the Broiler Farm. Supervised by
DWI RACHMINA
Broiler farm is one of the potential businesses and can be operated in
various farm scales. This business is usually managed by a partnership because it
has high risk and requires substantial capital. The objectives of this study are to
describe the partnership and to compare the farm performance between two
different scales of farms. The samples are 30 breeder partners that consist of 19
breeder partners in the smaller farm (≤ 5 000 chickens) and 11 breeder partners in
bigger farm (> 5 000 chickens). The results showed that in the implementation of
partnership, the position of company is higher than that of the breeders. Besides,
in the implementation of partnership, there are also many conditions that can be
detrimental to breeders. However, partnership of broiler farm gives a lot of
advantages to farmers such as providing production inputs, technical guidance on
broiler farming and products purchase. The results also showed that income,

production, and R/C ratio of breeder partners in the bigger farm are higher than
those of breeder partners in the smaller farm.
Key word: Broiler, farm income analysis, partnership

PERANAN KEMITRAAN PADA USAHA TERNAK
AYAM RAS PEDAGING

ALYSA NOVIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini adalah
usahatani, dengan judul Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras
Pedaging.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina MSi selaku
dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Harianto
MS selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny SP MSi selaku
dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Selanjutnya, terima
kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi MS selaku dosen
pembimbing akademik selama menjalani perkuliahan. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada para peternak ayam ras pedaging baik
yang bermitra maupun yang tidak bermitra atas bantuan dan arahannya selama
penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada bapak, ibu, adik, serta seluruh keluarga atas segala doa,
dukungan, dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan
terima kasih kepada temen-teman Agribisnis 48 dan sahabat-sahabat yang selalu
memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

Alysa Noviana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Rumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

4

Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA


5

Pola Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging

5

Pelaksanaan Kemitraan

6

Pengaruh Pelaksanaan Kemitraan terhadap Keuntungan Peternak

7

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

8

8
13

METODE PENELITIAN

15

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

18

Karakteristik Wilayah

18

Karakteristik Responden

20

Karakteristik Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging


22

Budidaya Ayam Ras Pedaging

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

26

Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging

26

Penggunaan Input Produksi Ayam Ras Pedaging

36

Biaya Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging


43

Penerimaan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging

49

Keuntungan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging

51

KESIMPULAN DAN SARAN

52

Kesimpulan

52

Saran


52

DAFTAR PUSTAKA

53

LAMPIRAN

55

RIWAYAT HIDUP

57

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Konsumsi rata-rata daging sapi dan ayam ras, 2010-2013
Selisih ketersediaan dengan konsumsi daging ayam ras, 2010-2013
Perhitungan keuntungan usahatani
Kelompok usia responden
Tingkat pendidikan formal responden
Jenis kelamin responden
Pekerjaan di luar beternak ayam
Lama usaha ayam ras pedaging
Alasan beternak ayam ras pedaging
Kapasitas usaha ayam ras pedaging
Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging
Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging
(per 1 000 ekor ayam)
Feed Convertion Ratio (FCR) dan mortalitas pada usaha ayam ras
pedaging (per 1 000 ekor)
Rata-rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging (per 1
000 ekor)
Status kepemilikan kandang dan luas kandang pada usaha ayam ras
pedaging (per 1 000 ekor)
Status kepemilikan lahan dan luas lahan pada usaha ayam ras pedaging
(per 1 000 ekor)
Rata-rata biaya input produksi pada usaha ternak ayam ras pedaging
(per 1 000 ekor)
Rata-rata harga input produksi pada usaha ayam ras pedaging
Rata-rata biaya listrik, sewa kandang dan perbaikan kandang (per 1 000
ekor)
Rata-rata biaya sewa lahan, penyusutan kandang dan penyusutan
peralatan pada usaha ternak ayam ras pedaging (per 1 000 ekor)
Struktur biaya pada usaha ternak ayam ras pedaging mitra skala I dan
skala II (per 1 000 ekor)
Produksi pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor)
Harga kontrak dan harga jual ayam peternak mitra per kilogram
Rata-rata total penerimaan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000
ekor)
Keuntungan dan R/C rasio pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000
ekor)

2
2
17
20
21
21
22
22
23
23
37
38
38
41
42
43
44
44
45
47
48
49
50
51
51

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Pola kemitraan inti-plasma
Pola kemitraan subkontrak
Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis
Kerangka pemikiran operasional

9
10
10
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lampiran 1 Standar performa harian ayam broiler perusahaan inti
2 Lampiran 2 Rata-rata penerimaan usaha ternak ayam ras pedaging
peternak mitra skala I dan skala II per 1 000 ekor

55
56

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan pembangunan pertanian nasional berorientasi pada pembangunan
sistem agribisnis. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa kegiatan agribisnis
dapat mengatasi permasalahan ekonomi nasional, mulai dari kelangkaan pangan
sampai masalah kesempatan kerja. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri
dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir dan subsistem
pendukung yang saling berkaitan. Pada pembangunan sistem agribisnis, salah satu
kendala yang dihadapi adalah kenyataan bahwa sebagian besar pelaku usaha di
sistem agribisnis merupakan petani budidaya yang cenderung masih terkendala
keterbatasan permodalan dan penggunaan teknologi produksi. Sedangkan, pelaku
usaha di subsistem yang lain, merupakan perusahaan dengan kapasitas usaha yang
relatif besar dan memiliki akses permodalan. (Murdiyanto dan Kundarto, 2002)
Untuk dapat meningkatkan kinerja para pelaku sektor agribisnis, khususnya
para petani, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu dengan mendorong
terjalinnya hubungan kerjasama dalam bentuk kemitraan usaha antara petani dan
perusahaan. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 9
tahun 1995 menyebutkan bahwa kemitraan usaha adalah kerjasama usaha antara
usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan
dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar
dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Oleh karena itu, secara konseptual, kemitraan dipandang sebagai
salah satu strategi yang cocok untuk diterapkan dalam pembangunan temasuk
pada pembangunan sistem agribisnis pertanian.
Perkembangan kemitraan di sektor pertanian tidak terlepas dari peran
pemerintah yang memperkenalkan model ini dengan macam-macam istilah antara
lain pola inti plasma dan pola kemitraan. Sebenarnya, secara tradisional kemitraan
usaha antara petani dan pengusaha di bidang pertanian telah banyak dilaksanakan
dengan bentuk gaduhan ternak, sewa-sakap lahan, sistem ”yarnen” dan telah
banyak diterapkan dalam bentuk usaha pertanian kontrak (contract farming). Pola
kemitraan inti plasma pertama kali diterapkan pada usaha komoditas perkebunan
yang dikenal dengan istilah Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan atau PIR-bun
(Rustiani et al., 1997). Selanjutnya hubungan kerjasama kemitraan juga
diterapkan tidak hanya pada komoditas-komoditas subsektor perkebunan tetapi
juga diterapkan pada komoditas di subsektor lain termasuk subsektor peternakan
terutama dalam usaha peternakan ayam ras pedaging.
Ayam ras pedaging memiliki ciri khas pertumbuhan yang cepat sehingga
membuat perputaran modal usaha cenderung singkat. Selain itu usaha ayam ras
juga memiliki peluang pasar yang besar sejalan dengan pertambahan penduduk
dan perkembangan ekonomi masyarakat yang menyebabkan kebutuhan konsumsi
daging juga mengalami peningkatan. Apabila dibandingkan dengan daging sapi,
daging ayam ras cenderung lebih disukai karena harga daging ayam yang relatif
murah sehingga daging ayam ras lebih banyak dikonsumsi masyarakat (Tabel 1).

2
Tabel 1 Konsumsi rata-rata daging sapi dan ayam ras di Indonesia, 2010-2013
Konsumsi (kg/kapita/tahun)
2010
2011
2012
2013
Daging sapi
0.37
0.42
0.37
0.26
Daging ayam ras
3.55
3.65
3.49
3.65
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2014 (diolah)
Uraian

Laju
per tahun (%)
-17.71
1.04

Adanya peningkatan laju konsumsi daging ayam membuat ketersediaan
daging ayam ras harus selalu dapat tercukupi. Tetapi berdasarkan data pada Tabel
2, ketersediaan daging ayam belum mencukupi kebutuhan konsumsi yang
ditunjukkan oleh adanya selisih antara ketersediaan daging ayam dengan
konsumsinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat peluang pasar bagi
masyarakat untuk mengusahakan ayam ras pedaging.
Tabel 2 Selisih ketersediaan dengan konsumsi daging ayam ras di Indonesia
2010-2013
Variabel

2010

Tahun (kg/kapita/tahun)
2011
2012
2013

Ketersediaan
2.64
3.01
3.00
Konsumsi
3.54
3.65
3.49
Selisih
-0.90
-0.64
-0.49
Sumber: Pusat data dan informasi, 2013 (diolah)

3.28
3.65
-0.37

Laju
per tahun (%)
7.67
1.10
-25.61

Perputaran modal yang cepat dan peluang usaha yang besar menjadi daya
tarik usaha ternak ayam ras pedaging bagi tidak hanya masyarakat tetapi juga para
pemiliki modal untuk mendirikan perusahaan peternakan. Perusahaan peternakan
didefinisikan peternakan yang di selenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan
secara komersial dan mempunyai izin usaha dengan skala usaha yang besar (Surat
Keputusan Menteri Pertanian No.472/Kpts/TN.330/6/96). Berbeda dengan usaha
ternak ayam ras pedaging masyarakat yang umumnya merupakan usaha skala
kecil yang disebut usaha peternakan rakyat. Dibandingkan dengan perusahaan
peternakan, usaha peternakan rakyat umumnya memiliki keterbatasan modal,
adopsi teknologi yang rendah, akses pasar sulit dan terbatas, dan kemampuan
manajerial peternak yang rendah. Perbedaan tersebut membuat perusahaan dapat
lebih efesien dalam berproduksi dibandingkan dengan peternak rakyat. Kondisi ini
memicu terjadinya persaingan pasar yang berakibat pada tidak sedikit dari
peternak rakyat yang gulung tikar.
Sebagai upaya untuk melindungi usaha peternakan rakyat, pemerintah
menganjurkan peternak untuk berkerjasama dengan pihak lain terutama dalam
penanaman modal. Bantuan permodalan pertama kali dilakukan dengan
diluncurkannya program kredit Bimas ayam ras. Anjuran pemerintah untuk
melindungi usaha peternakan rakyat lainnya adalah pengembangan kerjasama
kemitraan antara peternak rakyat dengan perusahaan peternakan dengan
meluncurkan program kemitraan dalam pola inti-rakyat atau PIR seperti yang
diterapkan pada komoditas perkebunan dengan nama PIR unggas. (Yusdja et al.,
2004)

3
Walaupun program kemitraan usaha ayam ras pedaging telah lama
diluncurkan tetapi kemitraan usaha ayam ras pedaging ini mulai berkembang dan
dikenal masyarakat saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Krisis yang
berdampak pada naiknya harga-harga sarana produksi peternakan sementara harga
jual hasil produksi mengalami penurunan membuat tidak sedikit dari peternak
yang melakukan usaha secara mandiri mulai bergabung dalam kemitraan yang
dilakukan perusahaan agar dapat bertahan selama krisis.1

Rumusan Masalah
Dalam kemitraan ayam ras pedaging, peternak rakyat berperan sebagai
plasma yang berkewajiban untuk melaksanakan produksi. Sedangkan, perusahaan
berperan sebagai inti yang berkewajiban untuk mensuplai sarana produksi secara
kredit, memberi pembinaan budidaya, dan membeli hasil produksi. Dengan kata
lain, peternak rakyat tidak hanya menerima manfaat berupa permodalan dan
pembinaan tetapi juga jaminan pemasaran. Adanya manfaat-manfaat tersebut
menjadi daya tarik bagi peternak lain untuk bergabung dalam program kemitraan
agar terhindar dari risiko kerugian akibat tingginya risiko produksi dan fluktuasi
harga sarana produksi maupun harga hasil produksi.
Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan
kemitraan adalah peningkatan keuntungan kedua belah pihak yang bermitra.
Peningkatan keuntungan dapat tercapai apabila pelaksanaan kemitraan berjalan
dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan karena kemitraan yang baik
mampu memberikan nilai lebih bagi kedua pihak yang bermitra. Peningkatan
keuntungan ini diperoleh dari adanya peningkatan volume produksi dan jaminan
harga beli yang diperoleh peternak mitra. Hal tersebut tentunya tidak didapatkan
peternak apabila melakukan usahanya secara mandiri. Apabila dibandingkan,
keuntungan yang diperoleh peternak bermitra menjadi lebih tinggi dari
keuntungan yang diperoleh peternak mandiri (Pribadi, 2013; Febridinia, 2010;
Bahari et al., 2012), walaupun tidak semua peternak bermitra memperoleh
keuntungan yang lebih baik dari peternak mandiri (Deshinta, 2006; Rachmatia,
2010).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keuntungan yang diperoleh adalah
volume produksi yang dihasilkan oleh peternak. Besar kecilnya hasil yang
diperoleh umumnya dipengaruhi oleh besarnya skala usaha yang dimiliki
peternak. Skala usaha yang dimiliki akan berpengaruh pada besar kecilnya biaya
produksi dan manajemen usaha yang dijalankan. Peternak dengan skala usaha
lebih besar umumnya memperoleh keuntungan usaha yang lebih besar jika
dibandingkan dengan peternak yang mengusahakan usahanya dengan skala kecil
(Rachmatia, 2010; Maulana 2008). Hal tersebut membuat pemilihan skala usaha
yang tepat menjadi penting agar usaha yang dijalankan dapat memberikan
keuntungan bagi peternak.

1

Poultry Indonesia. 2015. Sejarah Kemitraan. terdapat pada http://www.poultry indonesia.com
/news/utama-2/sejarah-kemitraan/ diakses pada tanggal 5 Mei 2015

4
Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi ayam ras pedaging di
Kabupaten Bogor dengan jumlah produksi tertinggi. Populasi ayam ras di
Kecamatan Pamijahan dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan dengan
laju sebesar 18.98% per tahun (BPS Kabupaten Bogor, 2015) yang menandakan
semakin berkembangnya usaha ternak ayam ras pedaging. Mayoritas kegiatan
usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan dilakukan dengan pola
kemitraan dan diusahakan dengan skala usaha yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil penelitian Deshinta (2006) dan Rachmatia (2010) dapat
dikatakan bahwa tidak selamanya kemitraan memberikan keuntungan bagi
peternak. Jika konsep kemitraan merupakan konsep yang saling menguntungkan,
maka pelaksanaan konsep kemitraan tersebut seharusnya benar-benar dilakukan
dengan prinsip saling menguntungkan. Selain itu, apabila skala usaha yang lebih
besar lebih menguntungkan dibandingkan dengan skala kecil seharusnya peternak
mitra yang melakukan usaha dengan skala besar dapat memperoleh keuntungan
yang lebih tinggi. Maka dari itu perlu dilakukan kajian mengenai pelaksanaan
kemitraan dan pengaruhnya terhadap keuntungan yang diperoleh peternak
berdasarkan skala usahanya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh
peternak dan perusahaan inti di Kecamatan Pamijahan?
2. Bagaimana peranan kemitraan terhadap usaha yang dijalankan peternak
mitra pada skala usaha yang berbeda di Kecamatan Pamijahan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan ayam ras pedaging di Kecamatan
Pamijahan.
2. Menganalisis peranan kemitraan terhadap usaha ternak ayam ras pedaging
yang dijalankan peternak mitra pada skala usaha yang berbeda.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak pihak terkait,
yaitu:
1. Bagi Peternak
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi peternak ayam ras
pedaging yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan
usaha.
2. Bagi Penulis
Kegiatan penelitian ini menjadi proses pembelajaran dalam menganalisa
permasalahan dalam pelaksanaan kemitraan berdasarkan data dan fakta
yang diperoleh dan disesuaikan dengan konsep yang diterima.
3. Bagi Pihak Lain
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan
kebijakan dalam pelaksanaan kemitraan dan menjadi literatur serta
perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan dan
menganalisis pengaruh kemitraan dengan menitikberatkan pada perolehan
keuntungan peternak mitra. Peternak mitra yaitu peternak yang bekerjasama
dengan perusahaan inti yang pelaksanaannya diatur dalam kontrak kerjasama.
Berdasarkan kapasitas usahanya maka peternak mitra dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua skala. Skala I yaitu peternak dengan kapasitas usaha ≤ 5 000 ekor
setiap siklusnya dan skala II yaitu peternak dengan kapasitas usaha > 5 000 ekor
setiap siklusnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Pola Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
Kemitraan usaha peternakan telah dikembangkan sejak tahun 1984 dengan
pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) (Sumardjo et al. 2004). Pada pola
PIR, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak rakyat berperan sebagai
plasma. Kerjasama kemitraan pada usaha ayam ras banyak dilakukan dalam tiga
bentuk kerjasama yaitu kerjasama dengan harga kontrak, kerjasama bagi hasil,
dan maklon.
Bentuk kerjasama kemitraan yang pertama yaitu kerjasama dengan harga
kontrak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kerjasama kemitraan
pada usaha ayam ras pedaging dengan harga kontrak ini umumnya dilakukan
dengan pola kemitraan inti-plasma (Febridinia, 2010; Pribadi, 2013; Fitriza et al.,
2012; Sinollah, 2011; Suwarta et al., 2010; Subkhie et al., 2012; dan Istanto et al.
2010), tetapi tidak semua kemitraan ayam ras pedaging dengan harga kontrak
dilakukan dengan pola inti-plasma, seperti pada penelitian Deshinta (2006)
kemitraan dilakukan dengan pola kerjasama operasional agribisnis (KOA).
Berdasarkan hasil penelitian, pada kerjasama harga kontrak terdapat kesepakatan
harga sapronak dan kesepakatan harga sehingga peternak dapat memperkecil
risiko kerugian yang diperoleh akibat dari adanya fluktuasi harga baik harga
sapronak atau harga ayam di pasar. Artinya, terdapat pembagian risiko kerugian
(risk sharing) antara perusahaan dan peternak dimana saat harga ayam di pasar
lebih rendah dari harga kontrak maka risiko kerugian menjadi tanggung jawab inti,
begitu pula apabila terdapat kenaikan harga sapronak maka peternak tetap harus
membayar sesuai dengan harga kontrak. Tetapi, apabila harga ayam di pasar lebih
tinggi dari harga kontrak maka inti akan membagi keuntungan dengan plasma
berdasarkan persentase yang telah di sepakati bersama.
Hasil penelitian Kesuma (2006) menyatakan bahwa terdapat perbedaan
antara pola inti plasma dan pola kerjasama operasional agribisnis (KOA). Pola
kemitraan inti plasma umumnya menghendaki adanya barang jaminan dari
peternak berupa uang, sertifikat tanah, bangunan, atau bukti kepemilikan
kendaraan. Pola kemitraan inti plasma sangat berpegangan pada kontrak
perjanjian yang disepakati baik dalam pelaksanaan maupun di harga input dan
output yang berlaku. Pihak inti berkewajiban untuk menyediakan pemasaran dan

6
input dan pihak peternak berkewajiban untuk menyediakan kandang dan peralatan
budidaya, biaya operasional dan melakukan proses produksi. Kerugian penjualan
output ditanggung oleh pihak inti tetapi kerugian ini dapat tertutupi dengan
penjualan input produksi ke pihak peternak sedangkan kerugian akibat teknis
produksi dibebankan pada peternak sehingga terjadi pembagian risiko (risk
sharing).
Lebih lanjut Kesuma (2006) menyatakan bahwa dibandingkan dengan pola
kemitraan inti plasma, pada pola kemitraan KOA tidak terdapat kontrak tertulis,
sehingga tidak terdapat perjanjian harga yang membuat penentuan harga sesuai
dengan harga yang berlaku di pasar. Pihak inti berkewajiban untuk menyediakan
pemasaran, input, dan biaya operasional selain biaya tenaga kerja karena biaya
tenaga kerja menjadi kewajiban dari peternak. Selain biaya tenaga kerja, pihak
peternak juga berkewajiban untuk menyediakan kandang dan menangani proses
produksi. Untuk kewajiban pihak pihak yang bekerja sama tidak berbeda antara
kemitraan inti plasma maupun KOA. Tidak seperti pada pola inti plasma yang
menerapkan kebijakan risk sharing, risiko kerugian dari fluktuasi harga dan
kegiatan produksi ditanggung oleh kedua belah pihak.
Bentuk kerjasama yang kedua yaitu pola kerjasama bagi hasil. Pada
kerjasama bagi hasil, harga sapronak dan harga ayam ditentukan berdasarkan
mekanisme pasar. Keuntungan atau kerugian yang diperoleh dibagi atau
ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan persentase pembagian 50:50
atau persentase lain yang disepakati bersama yakni 60:40 seperti pada penelitian
Nurfadillah (2014). Bentuk kerjasama yang terakhir yaitu pola maklon, pada pola
ini yan disepakati yaitu biaya operasional pemeliharaan yang akan diperoleh
peternak plasma dengan perhitungan per ekor atau per kilogram ayam. Kerjasama
maklon ini disebut juga dengan kerjasama biaya operasional atau BOP. Hubungan
kerjasama bagi hasil dan maklon terdapat pada pola kemitraan subkontrak seperti
yang terdapat pada penelitian Cepriadi et al. (2010). Pola hubungan subkontrak
pada penelitian Cepriadi et al. (2010) merupakan hubungan kerjasama yang terdiri
dari dua sistem bagi hasil yaitu sistem pembagian hasil yang berupa upah
pemeliharaan dan sistem pembagian hasil yang berupa insentif yang sudah
disepakati di awal kerjasama.
Pelaksanaan Kemitraan
Dalam pelaksanaan kemitraan, peternak memiliki posisi tawar yang rendah
dbandingkan dengan perusahaan inti. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan hak
dan kewajiban yaitu belum terpenuhinya hak-hak plasma yang tercantum dalam
perjanjian dan pelaksanaan kemitraan yang tidak sesuai dengan tujuan dari
perjanjian kemitraan (Wibowo, 2013). Kedudukan pihak plasma juga menjadi
sangat rentan dikarenakan belum adanya petunjuk atau pengaturan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan kemitraan (Wibowo, 2013) padahal kelancaran
pelaksanaan kemitraan akan berpengaruh terhadap manfaat yang akan diterima
kedua belah pihak.
Amenuri et al. (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa perbedaan
sistem usaha pada peternakan ayam ras pedaging yang dikelola secara mandiri dan
secara kemitraan baik dari sisi teknis maupun modal dan operasional. Dari sisi

7
teknis, peternak mitra menerima pembinaan mengenai pemeliharaan sehingga
berpengaruh pada hasil produksi. Hasil penelitian Nurfadillah (2004) menyatakan
bahwa peternak mandapatkan manfaat dalam hal peningkatan produksi dan
efesiensi karena adanya pembinaan dalam penggunaan input dan pemantauan saat
proses produksi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suwarta et al. (2010)
bahwa kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas usaha
ternak. Peternak mitra juga mendapatkan jaminan kualitas, kuantitas, dan
kontinuitas untuk sarana produksi ternak. Tetapi, peternak mitra tidak
mendapatkan perlindungan risiko terutama risiko harga karena tidak terdapat
kontrak harga di awal perjanjian.
Perjanjian di awal kerjasama umumnya tidak hanya menyangkut kontrak
harga tetapi juga kontrak kerjasama berupa perjanjian terikat secara tertulis
mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak
(Cepriadi et al., 2010; Deshinta, 2006). Pola kerjasama dalam kontrak menuntut
peternak untuk memenuhi persyaratan yang biasanya terkait dengan sarana dan
prasarana, agunan berupa sertifikat tanah, identitas peternak, dan lain-lain
(Masdar dan Yunasaf 2010). Akan tetapi di beberapa kasus kemitraan, terdapat
pula kerjasama yang tidak memiliki kontrak secara tertulis (Nurfadillah, 2014;
Kesuma, 2006). Padahal perjanjian secara tertulis diperlukan agar dapat lebih
memperjelas hak dan kewajiban serta meningkatkan transparansi dalam kemitraan.
Secara keseluruhan dari penelitian mengenai kemitraan ayam ras, baik
perusahaan inti dan peternak mitra mendapatkan manfaat dari adanya kerjasama
kemitraan. Walaupun dalam evaluasi pelaksanaan kemitraan terdapat berbagai
persoalan seperti kredit macet dan kecurangan peternak mitra seperti menjual
pakan yang telah dipasok dari perusahaan inti dan menggantinya dengan pakan
kualitas rendah. Sedangkan pelanggaran perusahaan inti biasanya terkait
perusahaan yang tidak mengambil seluruh hasil panen saat perusahaan over
supply, kemunduran waktu panen, serta terlambatnya pembayaran keuntungan dan
bonus.

Pengaruh Kemitraan terhadap Keuntungan Peternak
Amenuri et al (2006) menyatakan bahwa melalui kemitraan, peternak mitra
menerima pembinaan mengenai pemeliharaan sehingga berpengaruh pada hasil
produksi. Lebih lanjut Amenuri et al. (2006) menyatakan bahwa peternak mitra
mengeluarkan modal dan biaya operasional yang relatif lebih sedikit karena
mendapat bantuan modal dari perusahaan inti. Pengaruh kemitraan terhadap
produksi dan keuntungan peternak mitra seringkali dilihat dengan
membandingkan antara peternak mitra dan peternak mandiri (Deshinta, 2006;
Pribadi, 2013; Rachmatia, 2010; Febridinia, 2010; Wulandari et al., 2014; Bahari
et al., 2012). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh
peternak mitra lebih besar dari keuntungan yang diperoleh peternak mandiri
(Pribadi, 2013; Febridinia, 2010; Wulandari et al. 2014) walaupun tidak semua
peternak bermitra memperoleh keuntungan yang lebih baik dibandingkan peternak
mandiri (Deshinta, 2006; Rachmatia, 2010).
Perbandingan tersebut seringkali dilakukan tanpa memperhatikan skala
usaha yang dijalankan peternak. Padahal, keuntungan yamg diperoleh peternak

8
yang bermitra juga dapat dipengaruhi beberapa faktor salah satunya yaitu skala
usaha (Saleh, 2006; Miharja, 2012). Pada penelitian Rachmatia (2010) dan
Maulana (2008) peternak mitra dengan skala usaha yang lebih besar memperoleh
keuntungan yang lebih besar dibandingkan peternak mitra yang lebih kecil. Akan
tetapi, penelitian Nurfadillah (2014) menyatakan hal yang berbeda. Hasilnya
menyatakan bahwa peternak mitra skala terkecil yakni skala I memperoleh
keuntungan terbesar dibandingkan dengan peternak mitra dengan skala usaha
yang lebih besar. Rachmatia (2010) hanya membandingkan dua skala usaha yakni
skala kecil dengan kapasitas usaha 0 – 5 000 ekor per siklus produksi dan skala
besar dengan kapasitas usaha lebih dari 5 000 ekor per siklus produksi. Sedangkan
Nurfadillah (2014) dan Maulana (2008) membagi peternak mitra kedalam tiga
skala usaha yakni skala I, skala II, dan skala III.
Berdasarkan uraian diatas, kemitraan ayam ras pedaging pada umumnya
dilakukan dengan pola inti-plasma. Hak, kewajiban, pembagian hasil, dan
ketentuan lainnya tercantum dalam dokumen perjanjian kemitraan atau kontrak
yang disepakati kedua belah pihak. Penelitian mengenai pengaruh kemitraan
terhadap usaha ternak ayam ras pedaging terlihat dari jumlah produksi, tingkat
mortalitas, biaya, dan penerimaan peternak mitra yang berdampak pada
keuntungan dan nilai R/C rasio yang diperoleh peternak mitra. Peternak mitra
skala besar memperoleh produksi, keuntungan, dan nilai R/C rasio yang lebih
tinggi dibandingkan peternak mitra skala kecil.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Kemitraan
Undang–Undang No. 9 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 1997 menyatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha
kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan
pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperlihatkan
prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, saling memerlukan. Hafsah
(2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh
dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Pelaksanaan kemitraan diupayakan untuk terwujudnya keterkaitan usaha
sehingga dapat meningkatkan keuntungan, kesinambungan usaha, meningkatkan
kualitas sumberdaya usaha, meningkatkan skala usaha, serta meningkatkan
kemampuan usaha kedua belah pihak terutama kelompok mitra (Sumardjo et al.
2004). Kemitraan dilaksanakan dengan ketentuan bahwa usaha besar wajib
melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang produksi, pengolahan,
pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.
Menurut Hafsah (2000) manfaat yang dicapai dari kemitraan meliputi empat
hal yaitu dalam produktivitas, efesiensi, jaminan kualitas, kuantitas, dan
kontinuitas, serta risiko. Peningkatan produktivitas pada perusahaan besar ditandai
dengan adanya kenaikan produksi tanpa harus menambah atau mengurangi input

9
yang artinya perusahaan mendapatkan manfaat untuk menghemat penggunaan
input. Sedangkan pada perusahaan kecil, peningkatan produktivitas terjadi karena
memperoleh tambahan kualitas input, bantuan kredit, teknologi, dan pembinaan
budidaya. Penggunaan teknologi juga akan menghemat waktu produksi
perusahaan kecil. Penghematan penggunaan input dan waktu produksi
menunjukkan adanya peningkatan efesiensi. Manfaat kemitraan lainnya yaitu
jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan bahan baku bagi usaha besar
yang diproduksi oleh usaha mitranya. Bagi usaha kecil hal tersebut merupakan
jaminan penyerapan hasil yang diproduksi yang dapat memperkecil tingkat risiko
kerugian sehingga terjadi risk sharing antara perusahaan dan usaha kecil. Bagi
usaha kecil, risk sharing betul-betul terlaksana apabila mitra usaha betul-betul
mampu menjamin penyerapan jasil produksi sehingga risiko kerugian akibat
kelebihan hasil produksi atau penurunan harga dapat dihindari. Agar tujuan
kemitraan dapat tercapai maka pelaksanaan kemitraan harus diatur dan ditentukan
dalam kontrak atau perjanjian berdasarkan pola kemitraan yang dilaksanakan.
Pola kemitraan adalah bentuk-bentuk kemitraan yang telah diatur dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1995 yang terdiri dari pola inti-plasma, pola subkontrak,
pola dagang umum, pola waralaba, pola keagenan, dan bentuk-bentuk lain. Pola
bentuk lain yaitu pola kerjasama operasional agribisnis (KOA) (Sumardjo et al.
2004). Dalam usaha kemitraan ayam ras pedaging, pola kemitraan yang umumnya
diterapkan meliputi:
a. Pola inti plasma
Pada pola kemitraan inti plasma, perusahaan mitra bertindak sebagai inti
dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Kelompok mitra berperan sebagai
plasma yang mengelola seluruh usaha bisnisnya sampai panen dan wajib untuk
menjual hasil produksi kepada perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah
disepakati sedangkan perusahaan berperan sebagai perusahaan inti yang akan
menampung dan membeli hasil produksi petani plasma, serta memberikan
bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada petani plasma. Perusahaan
inti umumnya menyediakan bantuan permodalan atau kredit, sarana produksi, dan
teknologi. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara
perusahaan dan petani sehingga dapat digambarkan dengan panah dua arah seperti
pada Gambar 1.
Plasma

Plasma

Perusahaan Inti

Plasma

Plasma
Gambar 1 Pola kemitraan inti-plasma
Sumber: Sumardjo et al. 2004

10
b. Pola subkontrak
Pada hubungan kemitraan pola subkontrak, kelompok mitra memproduksi
kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan mitra sebagai komponen
produksinya. Kelompok mitra menyediakan tenaga kerja dan membuat kontrak
bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Sedangkan perusahaan
mitra menampung dan membeli komponen produksi yang dihasilkan oleh
kelompok mitra, menyediakan bahan baku, dan melakukan kontrol kualitas serta
pembinaan produksi secara intensif. Hubungan kemitraan pola subkontrak dapat
digambarkan seperti pada Gambar 2.

Plasma

Plasma
Perusahaan Inti
Plasma

Plasma

Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak
Sumber: Sumardjo et al. 2004
a. Pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)
Pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) merupakan pola
hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra.
Kelompok mitra menyediakan lahan dan tenaga kerja, sedangkan pihak
perusahaan mitra menyediakan modal, manajemen, dan sarana produksi.
Perusahaan juga menjamin pasar produk, melakukan pengolahan dan
pengemasan. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan dan kelompok mitra
menjalankan seluruh kegiatan agribisnis secara bersama-sama. Dalam
pelaksanaannya, terdapat kesepakatan mengenai pembagian hasil dan risiko
usaha. Bentuk kemitraan pola KOA dapat digambarkan sepeti pada Gambar 3.

Perusahaan
Mitra

Kelompok
Mitra

Lahan
Sarana
Tenaga
Kerja

Biaya
Modal
Manajemen
Teknologi

Gambar 3 Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis
Sumber: Sumardjo et al. 2004

11
Konsep Usahatani
Soekartawi et al (1986) menyatakan bahwa ilmu usahatani pada dasarnya
memperhatikan cara petani dalam memadukan sumberdaya yang terbatas untuk
mencapai tujuannya. Definisi ilmu usahatani tersebut diperinci bahwa usahatani
suatu organisasi produksi di lapangan pertanian yang terdiri dari lahan yang
mewakili alam, kerja keluarga tani, modal, dan pengelolaan atau manajemen oleh
petani (Suratiyah, 2009). Berdasarkan definisi usahatani Suratiyah (2009) maka
unsur-unsur usahatani terdiri dari lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan.
Unsur lahan merupakan tempat menyelenggarakan kegiatan produksi. Unsur
tenaga kerja yang sering digunakan dalam kegiatan usahatani diklasifikasikan
menjadi tenaga kerja manusia yang dibedakan dalam tenaga kerja dari keluarga
dan tenaga kerja dari luar keluarga serta tenaga kerja ternak. Unsur modal berupa
lahan, bangunan, alat pertanian, uang tunai, dan barang atau jasa untuk kegiatan
operasional. Modal tersebut dapat bersumber dari milik sendiri, pinjaman atau
kredit, dan sewa. Sedangkan, unsur pengelolaan terkait dengan kemampuan petani
dalam memanajemen atau mengelola kegiatan usahataninya agar efektif dan
efesien.
Menurut Soekartawi (2006), kegiatan usahatani dapat dikatakan efektif
apabila dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya dengan baik,
sedangkan dikatakan efesien apabila hasil yang dicapai petani lebih banyak dari
sumberdaya input yang digunakan. Kegiatan usahatani yang efektif dan efesien
akan berpengaruh terhadap keuntungan usahatani yang diperoleh. Pendapatan
usahatani didefinisikan sebagai balas jasa dari kerja sama faktor-faktor produksi
lahan, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang merupakan selisih antara
penerimaan dan biaya yang dikeluarkan.
Penerimaan usahatani yaitu hasil perkalian antara hasil produksi dengan
harga jual. Dalam menghitung penerimaan usahatani terdapat hal yang harus
diperhatikan seperti perhitungan produksi (hasil panen), frekuensi pemanenan,
frekuensi penjualan, dan harga jual pada masing-masing penjualan tersebut
(Soekartawi 2006). Penerimaan usahatani terbagi menjadi penerimaan tunai dan
penerimaan total. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari
hasil penjualan produk usahatani. Sedangkan penerimaan total usahatani (total
farm revenue) didefinisikan sebagai nilai uang dari total produk usahatani. Total
produk usahatani ini mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi sendiri,
digunakan dalam kegiatan usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan
untuk pembayaran, dan disimpan. Harga yang digunakan dalam perhitungan
penerimaan untuk produk yang dijual petani yaitu harga jual yang diterima petani,
sedangkan untuk menghitung penerimaan yang diperoleh dari produk yang tidak
dijual digunakan harga pasar (Soekartawi et al.1986).
Menurut Soekartawi et al. (1986), pengeluaran total usahatani (total farm
expenses) merupakan nilai semua input yang digunakan selama proses produksi.
Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan non tunai. Pengeluaran
tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan dengan menggunakan uang tunai,
seperti biaya pembelian sarana produksi, biaya untuk membayar tenaga kerja, dan
lain-lain. Sedangkan pengeluaran tidak tunai adalah pengeluaran yang tidak
dibayar dengan tunai misalnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan benda,
bibit atau pakan ternak yang berasal dari hasil panen, dan penyusutan alat
pertanian.

12
Penggolongan biaya produksi berdasarkan sifatnya terdiri dari biaya tetap
(fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Jumlah biaya tidak tetap
(variable cost) dipengaruhi oleh produksi, besar biaya tidak tetap dapat berubahubah sesuai dengan seberapa banyak hasil poduksi yang diinginkan. Contoh biaya
tidak tetap yaitu biaya untuk bahan baku produksi, upah tenaga kerja. Sedangkan
biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, biaya tetap tidak
tergantung pada besar-kecilnya produksi yang diinginkan contohnya biaya pajak,
biaya sewa lahan (Soekartawi 2006). Penyusutan termasuk dalam biaya tetap
(fixed cost).
Untuk mengukur keberhasilan usahatani dapat dilakukan dengan melakukan
analisis keuntungan usahatani. Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan
keadaan usahatani saat ini sehingga dapat melakukan evaluasi untuk perencanaan
kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Keuntungan usahatani digunakan
untuk melihat apakah usahatani yang dilakukan menguntungkan atau merugikan
dan seberapa besar keuntungan dan kerugian tersebut. Besar keuntungan yang
diperoleh dapat dipengaruhi oleh luas usaha atau skala usaha yakni besarnya areal
tanam atau jumlah ternak setiap siklusnya, pilihan dan kombinasi cabang usaha,
intensitas pengusahaan , dan efesiensi tenaga kerja (Hernanto, 1989). Ukuran
efesiensi keuntungan dalam usahatani salah satunya adalah rasio R/C (Revenue
Cost Ratio) yang bertujuan untuk mengukur efisiensi input dan output, dengan
menghitung perbandingan antara penerimaan total dengan biaya produksi total.
Analisis R/C ini juga bertujuan untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha
dengan usaha lainnya berdasarkan perhitungan finansial.
Hernanto (1989) berpendapat bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi
oleh faktor internal yakni modal, tanah, tenaga kerja, dan teknologi serta faktor
eksternal yakni sarana transportasi dan komunikasi, harga input dan output. Akan
tetapi, Hernanto (1989) juga menyebutkan komponen faktor eksternal lain yang
berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani yakni fasilitas kredit dan sarana
penyuluhan bagi petani. Adanya pelaksanaan kemitraan membuat peternak atau
petani dapat memperoleh permodalan, peningkatan kemampuan teknologi,
jaminan pemasaran dan harga output, serta fasilitas kredit dan penyuluhan dengan
adanya pembinaan dari perusahaan inti. Manfaat-manfaat tersebut merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani seperti yang dinyatakan
oleh Suratiyah (2009) dan Hernanto (1989).
Konsep Skala Usaha
Nicholson (1995) menyatakan bahwa perubahan skala hasil meningkat,
menurun atau konstan dapat dilakukan dengan mengukur besar output yang
diperoleh apabila perusahaan melipatgandakan skala. Misalnya dengan
menggandakan jumlah pabrik atau mesin yang dimiliki. Perubahan ini dapat
diukur dengan mengalikan konstanta positif yang sama, m (dimana m > 1), pada
fungsi produksi q = f(K,L) dan input yang digunakan. Apabila hasil f(mK,mL) =
mf(K,L) = mq maka fungsi produksi memperlihatkan hasil berbanding skala yang
konstan. Selanjutnya, apabila hasil f(mK,mL) > mf(K,L) = mq maka fungsi
produksi memperlihatkan hasil berbanding skala yang meningkat. Sedangkan,
apabila hasil f(mK,mL) < mf(K,L) = mq maka fungsi produksi memperlihatkan
hasil berbanding skala yang menurun.

13
Lebih lanjut Salvatore (2011) menjelaskan apabila perubahan input yang
menyebabkan adanya perubahan output dilakukan dengan harga input yang
konstan, maka diperoleh tiga jenis skala hasil, yaitu: (1) Skala usaha dengan
kenaikan hasil meningkat (increasing return to scale) yaitu kenaikan satu unit
input menyebabkan kenaikan output yang semakin bertambah yang dapat
membuat biaya per unit output menjadi lebih rendah; (2) Skala usaha dengan
kenaikan hasil menurun (decreasing return to scale) yaitu apabila pertambahan
satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin berkurang yang
dapat menbuat biaya per unit output menjadi lebih tinggi; dan (3) Skala usaha
dengan kenaikan hasil tetap (constant return to scale), yaitu penambahan satu unit
input menyebabkan kenaikan output dengan proporsi yang sama.
Salvatore (2011) menyatakan bahwa skala hasil meningkat ini timbul karena
adanya peningkatan skala operasi yang disebabkan peningkatan teknologi,
spesialisasi tenaga kerja, dan peningkatan modal usaha. Peningkatan dalam
permodalan membuat perusahaan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh
pinjaman dari bank atau pembelian input dalam jumlah besar sehingga harganya
menjadi lebih murah. Ketiga hal ini dapat membuat perusahaan dapat menurunkan
biaya per unit produk.
Kerangka Pemikiran Operasional
Usaha ternak ayam ras pedaging sangat rentan terhadap risiko dan
memerlukan modal yang besar sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal,
peternak dituntut untuk dapat berproduksi dengan efesien agar dapat memperoleh
keuntungan. Berbeda dengan perusahaan peternakan yang memiliki modal yang
lebih besar, teknologi modern, dan manajemen yang teratur, peternak rakyat tidak
dapat berproduksi secara maksimal karena umumnya memiliki modal yang
terbatas, teknologi sederhana, dan kemampuan manajerial yang rendah. Untuk
membantu peternak rakyat dalam mengatasi masalah tersebut, pemerintah
menganjurkan peternak untuk berkerjasama dengan pihak lain salah satunya
dengan pengembangan kemitraan.
Kerjasama kemitraan antara peternak rakyat dan perusahaan umumnya
diatur dalam perjanjian hak dan kewajiban agar kemitraan dapat berjalan dengan
baik dan saling menguntungkan. Namun, kerjasama kemitraan ini memiliki
beberapa kekurangan atau kelemahan dalam pelaksanaannya yang menyebabkan
prinsip saling menguntungkan tidak dapat terpenuhi. Untuk mengetahui adanya
penerapan prinsip saling menguntungkan pada pelaksanaan kemitraan maka
perjanjian dan mekanisme dalam pelaksanaan kemitraan dideskripsikan dan
dievaluasi dengan menganalisis manfaat yang diterima kedua belah pihak.
Manfaat yang diterima peternak dengan mengikuti pelaksanaan kemitraan
mempengaruhi usaha peternak mitra dalam budidaya dan jaminan harga. Manfaat
ini tidak akan diperoleh peternak apabila menjalankan usaha ternaknya secara
mandiri. Dalam budidaya, peternak mitra memperoleh input produksi yang
berkualitas dari perusahaan inti dan pembinaan budidaya sehingga hasil output
produksi ayam yang dihasilkan dapat meningkat. Sedangkan, jaminan harga input
dan output membuat peternak mitra dapat terhindar dari risiko fluktuasi harga.
Adanya peningkatan produksi dan jaminan pemasaran dengan harga kontrak dari

14
perusahaan inti dapat meningkatkan penerimaan yang diperoleh. Hal ini akan
berpengaruh pada keuntungan dan nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C)
yang diperoleh.
Keuntungan usaha ternak diperoleh melalui selisih antara penerimaan
dengan biaya-biaya usaha ternak yang dikeluarkan, baik biaya tunai maupun biaya
non-tunai. Setelah itu akan dilakukan perbandingan analisis imbangan penerimaan
dan biaya (R/C) untuk mengetahui keuntungan relatif yang diperoleh. Keuntungan
usaha peternak mitra merupakan salah satu indikator keberhasilan kemitraan yang
dipengaruhi juga oleh skala usaha yang dijalankan peternak. Peternak dengan
skala usaha yang lebih besar umumnya akan mengeluarkan biaya yang lebih
rendah dan memproduksi output dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan
dengan peternak dengan skala usaha kecil. Oleh karena itu, pengaruh kemitraan
terhadap keuntungan peternak akan dilakukan dengan membandingkan
keuntungan yang diperoleh peternak mitra skala kecil dan skala besar. Kerangka
pemikiran operasional dalam penelitian ini secara lebih singkat dijelaskan pada
Gambar 4.

Karakteristik usahaternak ayam ras pedaging:
Usaha ternak ayam ras pedaging memiliki
peluang usaha yang besar dan pertputaran modal
yang cepat tetapi rentan terhadap risiko dan
membutuhkan modal yang besar.
Kemitraan usaha ternak ayan ras pedaging:
- Deskripsi mekanisme kemitraan
- Evaluasi pelaksanaan hak dan kewajiban
kedua belah pihak yang bermitra

Harga input

Input

Output

Pengeluaran
usaha ternak

Harga Output

Penerimaan
usaha ternak

- Keuntungan
- Analisis R/C
Gambar 4. Kerangka pemikiran operasional

15

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena
Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi ayam ras pedaging di
Kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan merupakan salah satu daerah produsen
daging ayam ras dengan produksi di atas produksi rata-rata per kecamatan, yakni
sebesar 16 198.116 ton sehingga menempati posisi pertama sebagai kecamatan
dengan jumlah produksi terbanyak atau memproduksi sekitar 16.99 persen dari
total produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor pada tahun 2013 (Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014).
Usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan banyak
diusahakan dengan pola kemitraan. Kemitraan yang banyak terjalin dilakukan
antara peternak dengan perusahaan inti yang merupakan perusahaan peternakan
skala besar. Perusahaan peternakan ini menerapkan dua sistem kerjasama yakni
inti plasma dan maklon. Perbedaan pola inti plasma dan pola maklon yakni pada
pola inti plasma terdapat kontrak kerjasama dan jaminan harga kontrak sedangkan
pada pola maklon tidak terdapat perjanjian kerjasama dan peternak hanya
menerima upah pemeliharaan untuk setiap kilogram ayam yang diproduksi.
Sebagian besar peternak di Kecamatan Pamijahan bermitra dengan pola inti
plasma. Responden pada penelitian ini adalah hanya peternak ayam ras pedaging
yang bermitra dengan perusahaan inti dengan sistem inti plasma. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Agustus 2015.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi informasi kontrak kerjasama, pelaksanaan
kemitraan, penggunaan input, dan harga. Data primer diperoleh dari peternak
bermitra maupun perusahaan inti.
Data sekunder meliputi monografi, data populasi, data produksi, dan data
konsumsi daging ayam. Data sekunder diperoleh dari informasi tertulis yang
berasal dari literatur-literatur yang relevan seperti buku, hasil penelitian terdahulu,
dan informasi dari berbagai intansi seperti Dinas Peternakan, Badan Pusat
Statistik, Perpustakaan IPB, Unit Pelaksana Teknis, dan intansi lain yang dapat
membantu ketersediaan data.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer
yaitu observasi dan wawancara langsung kepada peternak ayam ras pedaging yang
bermitra. Wawancara dilakukan dengan teknik wawancara individual dengan alat
bantu kuisioner.

16
Metode Penetuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah peternak ayam ras pedaging yang
menjalin kemitraan dengan pola inti-plasma yang terersebar di tiga desa di
Kecamata Pamijahan. Desa-desa tersebut yaitu Desa Gunung Bunder, Desa
Gunung Picung, dan Desa Cibitung. Jumlah peternak bermitra berdasarkan data
yang diperoleh sebanyak 56 peternak. Dari populasi tersebut dipilih sampel
sebanyak 30 orang peternak bermitra. Metode penarikan sampel menggunakan
probability sampling dimana penarikan sampel dil