Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging: Kajian Posisi Tawar dan Pendapatan.

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh :

ARIF ARIA HERTANTO

NPM. 0864020008

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN ”

JAWA TIMUR

SURABAYA

2009


(2)

yang telah melimpahkan rahmad, nikmat dan hidayahnNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging : Kajian Posisi Tawar dan Pendapatan.

Sehubungan dengan hal tersebut Penulis, mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Dr. Ir. Sumartono, MS sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan masukan guna penyelesaian penulisan ini. 2. Ir. Sri Tjondro Winarno, MM sebagai pembimbing pendamping yang

telah banyak memberikan pendampingan yang penuh kesabaran dan perhatian guna penyelesaian penulisan ini.

3. Prof. Dr. Djohan Mashudi, MS selaku Direktur Pascasarjana UPN ”Veteran” Jawa Timur beserta staf yang telah banyak memberikan semangat dan arahan hingga selesai penulisan

4. Dr.Ir. Sudiyarto, MM selaku Ketua Program Studi Magister Manajemen Agribisnis yang telah banyak memberikan semangat dan arahan hingga selesai penulisan ini.

5. Rektor UPN ”Veteran” Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Program Pascasarjana Magister Manajemen Agribisnis di UPN ” Veteran” Jawa Timur.


(3)

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan ini oleh karena itu kritik dan saran untuk kebaikan tulisan ini sangat diharapkan agar menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak, Amin.

Surabaya, Agustus 2009


(4)

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

RINGKASAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Telaah Penelitian Terdahulu ... 9

2.2. Tinjauan Teoritis Tentang Konsep Kemitraan ... 10

2.3. Model-model Kemitraan di Usaha Pertanian ... 13

2.4. Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging Sebagai Solusi Pengembangan Industri Perunggasan Rakyat ... 20

2.5. Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Posisi Tawar Peternak ... 21

2.6. Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Pendapatan Peternak ... 24

2.7. Kerangka Pemikiran ... 26

2.8. Hipotesis ... 27

BAB III. METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Penentuan Daerah Penelitian ... 29

3.2. Penentuan Responden ... 30

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4. Metode Analisis Data ... 31

3.4.1. Analisis Diskripsi ... 31

3.4.2. Analisis Skoring ... 31

3.4.3. Analisis Pendapatan dan Titik Impas ... 33

3.4.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1. Diskripsi Umum Daerah Penelitian ... 37

4.1.1 Kondisi Geografis ... 37

4.1.2 Keadaan Penduduk ... 37

4.1.3 Keadaan Populasi Ternak... 38


(5)

4.2.3 Jumlah Tanggungan Keluarga ... 42

4.2.4 Lama Usaha ... 42

4.3. Diskripsi Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Dan Non Kemitraan ... 43

4.3.1 Proses Sebagai Peternak Ayam Ras Pedaging ... 43

4.3.2 Pola Usaha ... 45

4.3.3 Skala Usaha ... 47

4.3.4 Mortalitas ... 48

4.3.5 Masa Pemeliharaan ... 49

4.3.6. Bobot Hidup ... 50

4.3.7. Tingkat Konversi Pakan. ... 51

4.4 Analisis Posisi Tawar Peternak Kemitraan dan Perusahaan Inti... ... 53

4.5. Analisis Titik Impas Dan Pendapatan Peternak Kemitraan dan Non Kemitraan... 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran... ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 71


(6)

1 Populasi Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Gresik ... 29

2 Populasi dan Sampel Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non Kemitraan Di Kabupaten Gresik ... 30

3 Tolok ukur ukur Posisi Tawar Peternak Kemitraan ... 32

4 Distribusi Keadaan Penduduk Kabupaten Gresik berdasarkan kelompok Umur ... 37

5 Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Gresik ... 38

6 Konsumsi Hasil Ternak di Kabupaten Gresik Tahun 2007-2008 (Kg/Kapita / tahun)... 39

7 Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Peternak di Kabupaten Gresik Tahun 2007-2008 (Kg/Kapita / tahun) ... 40

8 Keadaan Umur Responden ... 40

9 Tingkat Pendidikan Responden... 41

10 Jumlah Tanggungan Responden ... 42

11 Lama Usaha Responden ... 43

12 Skala Usaha Ayam Ras Pedaging di Daerah Penelitian ... 47

13 Masa Pemeliharan Ayam Ras Pedaging ... 49

14 Perkembangan Ayam Ras Pedaging ... 52

15 Analisis Posisi Tawar Peternak dan Perusahaan Inti di Daerah Penelitian... 53 16 Analisis Titik Impas Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non

Kemitraan Selama 1 Periode Produksi di Daerah Penelitian (Rp./1000 ekor) 56 17 Analisis Pendapatan Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non


(7)

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Dampak Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging terhadap Posisi Tawar dan Pendapatan Peternak ... 27 2. Pengoptimalan Peran Lembaga Kemitraan...63


(8)

1. Daftar Pertanyaan ... 72

2. Daftar Pertanyaan Untuk Menentukan Posisi Tawar Peternak ... 74

3. Data Responden Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan ... 77

4. Data Responden Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri ... 78

5. Data Analisis Titik Impas dan Pendapatan Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 79

6. Data Analisis Titik Impas dan Pendapatan Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 80

7. Data Skor Jawaban Pertanyaan Untuk Menentukan Posisi Tawar Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan ... 81

8. Data Skor Jawaban Pertanyaan Untuk Menentukan Posisi Tawar Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri ... 82

9. Data Pendapatan Responden Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 83

10.Data Pendapatan Responden Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 84


(9)

Ras Pedaging: Kajian Posisi Tawar dan Pendapatan ; Pembimbing Utama : Sumartono dan Pembimbing Pendamping Sri Tjondro Winarno

Kemitraan adalah pola kerjasama antara perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti (PT. Surya Gemilang Pratama) dengan peternak rakyat selaku mitra usaha plasma, yang dituangkan dalam bentuk ikatan kerjasama. Melalui kemitraan diharapkan terjadi kesetaraan hubungan antara peternak dengan mitra usaha inti sehingga memperkuat posisi tawar peternak, berkurangnya resiko usaha dan terjaminnya pasar yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan peternak.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendiskripsikan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan; (2) Menganalisis posisis tawar peternak ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraaan; (3) menganalisis pendapatan peternak ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraaan. Penelitian dilaksanakan di wilayah sentra produksi ayam ras pedaging Kabupaten Gresik meliputi kecamatan Panceng, Dukun dan Ujung Pangkah, dengan mengambil sampel 30 peternak pola kemitraan dan 30 peternak pola non kemitraan secara acak. Data yang diperoleh dianalisis secara diskriptif, skoring, pendapatan dan titik impas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dilaksanakan dengan cara kerjasama antara PT. Surya Gemilang Pratama selaku mitra usaha inti dengan peternak selaku mitra usaha plasma.

Mitra usaha inti memberikan kredit agro input berupa bibit, pakan dan obat-obatan dan dibayar peternak setelah panen. Peternak pola kemitraan sebagai pembudidaya. Sedangkan usaha ayam ras pedaging non kemitraan dilaksanakan secara mandiri oleh peternak tanpa kerjasama dengan pihak manapun. Skala usaha peternak kemitraan berkisar 2.500 s.d 10.000 ekor per periode produksi dengan kerataan 5.650 ekor. Sedangkan skala usaha peternak non kemitraan berkisar 500 s.d 8.000 ekor per periode produksi dengan kerataan 1.750 ekor. Tingkat mortalitas usaha ayam ras pedaging pola kemitraan mencapai 4,8 %, sedangkan non kemitraan 4,1%. Kerataan bobot hidup ayam panen ayam ras pedaging pola kemitraan 1,9 kg, sedangkan non kemitraan 2,8 kg. Tingkat konversi pakan pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan mencapai 1,44 sedangkan non kemitraan 1,48. Hasil analisis skor menunjukkan kerataan posisi tawar peternak pola kemitraan 10,3 termasuk kategori lemah, sedangkan perusahaan inti 29,6 termasuk kuat. Hal ini berarti dampak kemitraan ayam ras pedaging melemahka posisi tawar peternak. Hasil analisis pendapatan bahwa pada skala usaha yang sama yaitu 1.000 ekor, pendapatan peternak kemitraan Rp. 3.284.939,00 sedangkan non kemitraan Rp10.837.210,00. Hal ini berarti dampak kemitraan usaha ayam ras pedaging menurunkan pendapatan peternak.


(10)

1.1. Latar Belakang

Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk memenuhi kebutuhan bersama. Fokus kemitraan adalah pemecahan persoalan secara bersama untuk mencapai tujuan bersama berdasar nilai-nilai luhur dan saling bergantung (Anonimous, 2008). Pentingnya kemitraan adalah karena keterbatasan sumberdaya di semua pihak, pergeseran posisi pelaku utama dari pemerintah dan swasta kepada masyarakat dan persoalan yang kompleks dan kronis.

Modal utama untuk membangun kemitraan adalah kepercayaan. Pihak-pihak luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan kerjasama kepada kelompok apabila kelompok tersebut bisa dipercaya. Kepercayaan itu sendiri akan terjadi apabila dilandasi oleh kejujuran, keadilan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, saling menolong di antara kelompok.

Kemitraan yang baik adalah yang mampu memberi keuntungan atau nilai lebih bagi masing-masing pihak yang bermitra, dengan kata lain yang bisa memberi win-win solution. Nilai lebih ini tidak harus berupa materi, namun bisa pula dalam bentuk peningkatan kapasitas, bertambahnya akses dan lain sebagianya.

Sebelum mulai menjajagi kemitraan, hal terpenting yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan. Kekuatan yang dimiliki akan


(11)

menentukan posisi tawar ketika berhadapan dengan pihak yang akan diajak bermitra: semakin besar atau banyak kekuatan yang dimiliki, semakin tinggi pula posisi tawar. Sementara kebutuhan perlu diidentifikasi secara jelas, agar bisa fokus dalam menentukan pihak yang akan diajak bermitra dan fokus pula dalam negosiasi untuk menentukan apa yang diminta dari pihak yang diajak bermitra.

Lahirnya konsep kerjasama usaha atau kemitraan usaha antara perusahaan pertanian (BUMN,swasta,koperasi) dengan pertanian rakyat (Petani kecil) didasarkan atas dua argumen. Pertama,adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani). Orang kota dikategorikan mempunyai modal dan pengetahuan,namun kurang dalam sumberdaya lahan dan tenaga kerja,disisi lain orang desa mempunyai lahan dan tenaga kerja namun kurang modal dan kemampuan (ketrampilan).

Kedua, adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing–masing subsistem dari sistem agribisnis. Didalam subsistem usahatani, skala usaha kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala usaha besar, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat meningkat atau tetap (increasing atau constant cost to scale).

Dalam subsistem pemasaran,pengolahan dan pengadaan saprodi,skala usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to scale) (Prawirokusumo, 1990).

Secara teknis peternak skala kecil lebih efisien dibandingkan peternak skala besar meskipun secara statistik selisih efisiensi teknisnya tidak signifikan.


(12)

Surono (1997) mengemukakan bahwa tidak berkembangnya pertenakan ayam ras skala kecil disebabkan oleh stuktur pasar input dan output yang kurang kompetitif.Harga input yang diterima peternak skala kecil lebih mahal 20-30 persen dibandingkan harga yang diterima peternak skala besar. Kedua argumen diatas merupakan faktor pendorong pentingnya kemitraan usaha yang diwujudkan melalui konsep Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dimana pada subsektor peternakan dibentuklah PIR perunggasan (PIR-GAS). Dalam operasionalnya,PIR perunggasan dikenal dalam tiga bentuk,yaitu: (1) pola PIR dengan plasma kesepakatan,yaitu jaminan penyediaan sapronak dan pemasaran hasil;(2) pola PIR dengan plasma rasio,yaitu kerjasama inti plasma dengan sistem rasio harga,antara harga pakan,doc dan obat-obatan dengan harga jual hasil;dan(3) pola PIR dengan plasma mandiri (tanpa kesepakatan dan rasio harga).

Peternak adalah orang atau badan hukum dan atau buruh peternakan, yang mata pencahariannya sebagian atau seluruhnya bersumber kepada peternakan. Sedangkan perusahaan peternakan adalah peternakan yang diselenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan secara komersiil. ( anonimous , 1997),

Kemitraan bidang peternakan adalah pola kerjasama antara pengusaha peternakan dengan peternak rakyat dalam pengelolaan usaha peternakan. Dalam sub sektor peternakan, model kemitraan banyak dikembangkan termasuk kemitraan di bidang usaha ayam ras pedaging.

Kemitraan usaha ayam ras pedaging merupakan kerja sama antara perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti dengan peternak rakyat selaku


(13)

mitra usaha plasma, melalui kemitraan menimbulkan suatu siklus tertutup dimana antara erusahaaan peternakan dan peternak tercipta saling ketergantungan (Suharno,1995). Sejalan dengan konsep kemitraan tersebut Menteri Pertanian menerbitkan Surat Keputusan No. 474/ Kpts/TN.306/6/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras, selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1997 tentang Kemitraan dan Surat keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/ OT.210/10/97 tentang Pedoman kemitraan Usaha Pertanian. Bagi perusahaan peternakan dan perusahaaan di bidang peternakan yang melakukan usaha budidaya ayam ras wajib melaksanakan kemitraan dengan peternakan rakyat.

Seiring dengan mulai membaiknya perekonomian nasional dan meningkatnya daya beli masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya permintaan daging ayam ras pedaging sehingga mengakibatkan naiknya harga daging ayam ras pedaging. Kondisi ini merangsang peternak mandiri untuk kembali mengusahakan ayam ras pedaging. Namun karena terbatasnya modal, peluang tersebut umumnya sulit diraih oleh peternak mandiri, kecuali bila merubah pola usaha ayam ras pedaging dari pola mandiri ke pola kemitraan.

Pada tahun 1997 (Shane 2000) struktur pelaku agribisnis perunggasan 30 % usaha kemitraan dan 70% sebagai mandiri di pedesaan dan subsisten. Pada tahun 1999 struktur ini berubah menjadi 80% kemitraan dan 20% mandiri. Sementara itu dilaporkan Dinas Pertanian Kabupaten Gresik bahwa pada bulan Desember 2008 tercatat jumlah peternak plasma 176 orang sebagai mitra dari PT. Surya Gemilang Pratama dan pada tahun tersebut populasi ayam ras pedaging


(14)

mencapai 2.557.900 ekor.Dalam program kemitraan ayam ras pedaging, nampaknya pola kemitraan dianggap sebagai suatu konsep yang tepat dalam memecahkan masalah keberlangsungan usaha peternakan rakyat. Melalui kemitraan diharapkan dapat secara cepat bersimbiosis mutualistik sehingga kekurangan dan keterbatasan peternak dapat teratasi. Beralihnya peternak ayam ras pedaging dari usaha pola mandiri ke pola kemitraan berarti mengubah struktur industri perunggasan broiler rakyat. Hal ini berdampak pada posisi tawar dan pendapatan peternak.

Posisi tawar peternak merupakan hal yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan usaha. Kemitraan usaha yang didasarkan atas keseimbangan daya tawar antar mitra usaha menghasilkan keputusan usaha yang mengarah kepada win-win solution, Masing- masing pihak memperoleh pendapatan secara proporsional sesuai dengan besarnya input yang dikorbankan. Hal ini sesuai dengan pendapat Agus, et al (2005), yang menyatakan bahwa pola kemitraan inti plasma dimasa mendatang perlu dilakukan untuk meningkatkan posisi dan ruang gerak peternak sehingga tercipta iklim usaha win-win solution yang lebih kondusif dan tidak exploatif. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemampuan posisi tawar dan pendapatan peternak merupakan indikator keberhasilan usaha ayam ras pedaging dalam pola kemitraan.

PT. Surya Gemilang Pratama adalah merupakan salah satu perusahaan peternakan ayam yang terintegrasi, bergerak mulai dari hulu (bibit, pakan) sampai hilir (pemotongan ayam, pengolahan dan pemasaran). Perusahaan ini menerapkan dan melaksanakan pola kemitraan dalam budidaya ayam ras pedaging. Pola


(15)

kemitraan dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan peternak rakyat yang berfungsi sebagai plasma, sedangkan PT.Surya Gemilang Pratama sebagai inti. Pola kemitraan ayam ras pedaging dengan PT.Surya Gemilang Pratama di kabupaten Gresik dilakukan sejak tahun 1998. Pada awalnya program ini hanya bermaksud membantu peternak rakyat yang kandang ayamnya kosong akibat krisis ekonomi. Oleh karena itu sejauhmana pola kemitraan dapat meningkatkan posisi tawar dan pendapatan peternak usaha ayam ras pedaging dirasa perlu diteliti.

1.2. Perumusan Masalah

Asumsi yang digunakan dalam program kemitraan pada agribisnis perunggasan ayam ras pedaging di Kabupaten Gresik adalah :

- Modal dapat mengalir dari inti ke plasma

- Plasma (peternak) dapat menangkap peluang pasar dan memperoleh

harga output yang lebih baik.

Kenyataannya kemampuan peternak dalam meraih aliran modal dan pasar yang lebih luas sangat terbatas. Peternak harus terlibat dengan pihak lain yang memiliki akses modal dan pasar terlebih dahulu. Keterlibatan peternak dengan pihak lain yang dilakukan dalam bentuk kesepakatan kontrak usaha dengan model kemitraan usaha ayam ras pedaging. Kemitraan usaha ayam ras pedaging disamping memberikan peluang untuk menunjukkan posisi tawar dalam proses pengambilan keputusan terhadap kesepakatan-kesepakatan kontrak usaha, juga memberikan keuntungan kepada peternak yang berupa stabilitas pendapatan karena jaminan pasar dan berkurangnya resiko produksi. Namun kenyataannya


(16)

kondisi peternak plasma berada dalam posisi lemah terutama dalam posisi tawar terhadap harga day old chicken (doc), pakan ternak dan harga ayam yang dihasilkan. Dengan posisi tawar yang lemah ini yang lebih ditentukan oleh perusahaan inti maka pendapatan peternak kemitraan menjadi lebih rendah.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perbedaan usaha antara peternak ayam ras pedaging yang mengikuti kemitraan dan non kemitraan (mandiri) yang meliputi pola usaha (proses untuk melakukan usaha), skala usaha, penyakit dan mortalitas, tingkat produksi dan konversi pakan?

2. Apakah kemitraan usaha ayam ras pedaging dapat memperkuat posisi tawar peternak?

3. Apakah kemitraan usaha ayam ras pedaging dapat meningkatkan pendapatan peternak?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menjawab permasalahan diatas tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Mendiskripsikan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan. 2. Menganalisis posisi tawar peternak ayam ras pedaging kemitraan dan Inti

(Perusahaan peternakan).

3. Menganalisis pendapatan peternak ayam ras pedaging kemitraan dan non kemitraan.


(17)

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk menghasilkan suatu konsep kemitraan yang dapat meningkatkan posisi tawar dan pendapatan.

2. Sebagai referensi bagi penelitian serupa dengan berbagai komoditas pertanian lainnya.

3. Sebagai salah satu bahan informasi dalam penerapan kebijakan pembangunan khususnya sub sektor peternakan.


(18)

2.1 Telaah Penelitian Terdahulu

Dari hasil-hasil penelitian kemitraan usaha pertanian yang mengkaji pendapatan petani diperoleh kesimpulan bahwa tidak semua kemitraan usaha pertanian dapat meningkatkan pendapatan petani. Sebagian besar menyatakan justru menurunkan mendapatan petani.

Penelitian kemitraan usaha pertanian yang berdampak pada meningkatnya pendapatan petani adalah sebagaimana dilaporkan Rustiani (1994) pada usaha pertanian kontrak antara petani dengan eksportir sayuran di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan pola kemitraan ini lebih menguntungkan petani dibanding model bukan kemitraan (dengan model PIR kelapa sawit di Cimerak dan TRI di Cirebon). Pada lahan seluas 250 tambak, pendapatan petani meningkat 70% bila dibanding bila mengelola sendiri.

Penelitian kemitraan usaha pertanian yang berdampak pada menurunnya pendapatan petani adalah sebagaimana dilaporkan Bachriadi 1995 yaitu usaha pertanian kontrak pada lima kasus yaitu TRI di Jawa, TIR di Indramayu, PIR nanas di Subang, PIR susu di Jawa Tengah dan PIR teh lokal di Tasikmalaya, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Kasus TRI di Jawa, Perusahaan yang mendapatkan hak untuk menjadi inti adalah perusahaan perkebunan negara (PTP-Pabrik Gula). Hasil penelitian ini terlihat petani tebu belum terangkat ke arah kesejahteraan secara ekonomis. Petani berlahan sempit, tetapi menjadi kelompok yang tidak turut serta


(19)

menikmati pertumbuhan produksi gula tersebut. Keuntungan produksi lebih banyak dinikmati oleh pabrik gula, meskipun pabrik gula tetap tidak bisa menyentuh pengembangan sistem dari program TRI.

2. Pada kasus PIR nanas. Pendapatan yang diperoleh petani tidaklah menggembirakan dibanding dengan masa sebelum adanya PIR nanas.

3. Kasus PIR susu di Jawa Tengah, pada, kenyataannya inti menyalurkan bibit sapi perah bermutu jelek dan menetapkan harga jual susu yang lebih rendah bila dibanding dengan harga di KUD Pengalengan dan KUD lainnya, sehingga upaya peningkatan kesejahteraan peternak melalui PIR. Susu ini tidak terwujud.

4. Kasus PIR lokal teh di Tasikmalaya, dilaporkan rendahnya harga beli pucuk teh dari perusahaan inti menjadi penyebab suramnya pelaksanaan PIR lokal teh di Tasikmalaya. Petani dengan berbagai cara, menjual pucuk-pucuk teh tidak kepada inti melainkan ke penampung-penampung teh, karena harga tawar penampung lebih tinggi dibanding dengan harga yang ditentukan inti.

Hasil penetapan harga input dan output secara sepihak oleh inti serta skala pemeliharaan broiler merupakan hal penting yang menjadi sumber ketidakpuasan peternak plasma. Keadaan ini mengakibatkan peternak hanya memperoleh keuntungan marginal atas kebaikan inti(Rusastra. et al, 2006).

2.2 Tinjauan Teoritis Tentang Konsep Kemitraan

Kemitraan adalah istilah lain dari contract farming. Menurut Bachriadi (1995) suatu versi contract farming yang dikembangkan Commonwealth Development Corporation (CDC) adalah Nucleus Estate and Smallhorlder System


(20)

(NES-System). NES-System ini kemudian diterapkan pada berbagai proyek pembangunan perkebunan. Uji cobanya dilaksanakan di Malaysia melalui proyek

Federal Land Development Authority (FELDA). Pemerintah Indonesia menerapkan sistem NES dan pola-pola hubungan produksi yang terkandung didalamnya dalam berbagai proyek Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan beberapa proyek intiensifikas/ekstensifikasi pertanian lainnya dengan beragam istilah. Dalam proyek-proyek PIR muncul beberapa istilah dan konsepsi seperti PIR-Bun, PIR-TRans, PIR-Lokal, PIR-Unggas, PIR-Susu dan sebagainya. Dalam proyek-proyek intensifikasi pertanian dikenal beragam istilah, sesuai dengan komoditasnya, seperti Tambak Inti Rakyat, Tebu Rakyat Intensifikasi, Intensifikasi Tembakau Rakyat, Intensifikasi Karet Rakyat, dan sebagainya.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997, kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau Usaha Besar disertai pembinaan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Sedangkan kemitraan usaha pertanian menurut SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/ 10/1997 adalah kerjasama usaha antara Perusahaan Mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha Pertanian. Kemitraan di bidang usaha ayam-ayam ras menurut SK Mentan No.472/SK.TN.330/6/1996 adalah usaha budidaya ayam ras antara peternak rakyat dengan perusahaan peternakan atau perusahaan di bidang peternakan. Tujuan dilakukannya pola kemitraan antara lain memperkecil resiko usaha terutama peternak rakyat sebagai mitra usaha plasma


(21)

karena terjaminnya sarana, produksi peternakan dan pemasaran oleh perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti.

Rusastra, et al (2006) menyatakan ada enam dasar etika berbisnis pada kemitraan usaha yaitu (a) karakter, integritas dan kejujuran, (b) kepercayaan, (c) komunikasi yang terbuka, (d) adil, (e) keinginan pribadi pihak yang bermitra, dan (f) keseimbangan insentif dan resiko.

Filosofi hakiki dari kemitraan adalah kebersamaan dan pemerataan. Melalui kemitraan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil dapat meningkatkan produktivitas, meningkatkan pangsa pasar, meningkatkan keuntungan, sama-sama menanggung resiko, menjamin pasokan bahan baku dan menjamin distribusi pemasaran (Rusastra,et al,2006).

Namun demikian menurut Kuncoro (2000) kemitraan tidaklah selalu menguntungkan pengusaha kecil. Pada kemitraan pola bapak angkat-anak angkat, mitra usaha plasma atau pihak anak- angkat yaitu produsen-produsen kecil di daerah pedesaan tetap menjadi obyek penindasan. Nilai tambah akan terus mengalir dalam jumlah yang semakin besar dan produsen-produsen kecil ke bapak angkat.

Soekartawi (1995) mengemukakan dis-equilibrium market merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak tercapainya kondisi optimal para, pelaku kemitraan. Hal ini sebagai penyebab tidak berjalannya mekanisme pasar secara baik. Pasar monopoli, penimbunan barang untuk tujuan spekulasi adalah contoh tidak seimbangnya pasar.


(22)

2.3 Model-model Kemitraan di Usaha Pertanian

Pada kawasan industri peternakan dapat dikembangkan beberapa model kemitraan ayam ras yaitu (i) Kawasan Industri Peternakan-Peternakan Rakyat Agribisnis (KINAK-PRA), model ini peternak sebagai plasma menjalin kemitraan dengan perusahaan yang betindak sebagai penghela yang menjamin plasma untuk suplai sarana produksi dan pemasaran hasil. Kemitraan model ini belum begitu sempurna karena belum ada keterkaitan antara hulu-hilir, (ii) Kawasan Industri Peternakan-Perusahan Inti Rakyat (KINAK-PIR), model kemitraan ini lebih maju dari model KINAK-PRA karena telah ada keterkaitan antara hulu dan hilir. Peternak sebagai plasma melaksanakan budidaya dalam satu kawasan tertentu sedangkan perusahaan inti membantu plasma dalam hal sarana produksi budidaya, pemasaran hasil, bimbingan teknis dan permodalan, dan (iii) Kawasan Industri Peternakan - Sentra Usaha Peternakan Ekspor (KINAK-SUPER), kemitraan dalam model ini mengkhususkan menjual produknya ke luar negeri. Pada model ini perusahaan inti dapat melakukan budidaya untuk keperluan ekspor namun sebagian besar produksinya dikerjasamakan dengan peternak plasma. Peternak dalam kemitraan ini merupakan peternak binaan terutama dalam hal teknologi khusus untuk ekspor. (Anonimous, 1997).

Dalam peraturan pemerintah No. 44 Tahun 1997, disebutkan ada beberapa model kemitraan yaitu (i) Pola Inti Rakyat (PIR), pada model ini perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi, disamping itu perusahaan inti tetap memproduksi kebutuhan perusahaan. Sedangkan kelompok mitra usaha


(23)

memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati sehingga hasil yang diciptakan harus mempunyai daya kompetitif dan nilai jual yang tinggi, (ii) Subkontrak, merupakan model kemitraan dimana kelompok mitra usaha memproduksi sebagian komponen produksi dari perusahaan mitra. Kemitraan model ini mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal, (iii) Dagang umum, pada model ini terjadi hubungan kemitraan usaha antara perusahaan yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplai kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar hasil. Model ini memerlukan struktur pendanaan yang cukup kuat dari pihak yang bermitra, baik mitra usaha besar maupun mitra usaha kecil, membiayai sendiri-sendiri dari kegiatan usahanya karena sifat dari kemitraan ini adalah hubungan membeli dan menjual terhadap produk yang dimitrakan, (iv) Keagenan, pada model ini usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya, dan (v) Waralaba, pada model ini kelompok mitra diberi hak lisensi dan bimbingan manajemen oleh perusahaan mitra usaha. Perusahaan mitra usaha sebagai pemilik waralaba, bertanggung jawab terhadap sistem operasi, pelatihan, program pemasaran, merek dagang, dan lainnya terhadap mitra usahanya sebagai pemegang usaha yang diwaralabakan. Sedangkan pemegang usaha waralaba, hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh pemilik waralaba serta memberikan sebagian dari pendapatannya berupa royalti dan biaya lainnya yang terkait dari kegiatan usaha tersebut.

Selanjutnya Siswono (2009) menyatakan langkah terbaik untuk mengelola agribisnis ayam ras adalah pengelolaan integrasi vertikal. Artinya, mulai dari hulu


(24)

sampai hilir berada dalam satu keputusan manajemen. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa tiga bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras yang dapat dilakukan, yaitu (i) integrasi vertikal dengan pemilikan tunggal/grup. Bentuk ini mulai dari hulu sampai hillr dimiliki oleh satu perusahaan/grup perusahaan, (ii) integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan pemilikan saham bersama/usaha patungan. Pada bentuk ini industri pembibit, industri pakan, industri obat-obatan, usaha budidaya, pengusaha rumah potong, dan lainnya yang terpisah selama ini membentuk perusahaan vertikal milik bersama dan dikelola secara profesional. Pembagian keuntungan didasarkan pada share cost masing-masing unsur agribisnis integrasi vertikal tersebut, dan (iii) bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan koperasi agribisnis ayam ras. Dalam bentuk ini para peternak rakyat yang melakukan budidaya ayam ras membentuk koperasi agribisnis. Selanjutnya koperasi agribisnis akan mengembangkan perusahaan pakan, pembibitan, obat-obatan, pemotongan ayam dan pemasaran ayam.

Daryanto (2007) menawarkan dua alternatif model kemitraan ayam ras, yaitu modifikasi program kemitraan dan kemitraan mandiri dengan gerakan koperasi. Model pertama diperlukan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut (i) dana dari lembaga keuangan disalurkan kepada inti, untuk kemudian dialokasikan kepada koperasi agribisnis peternakan atau kelompok peternak peserta kemitraan dalam bentuk in natura. Harga bibit (DOC), pakan, obat-obatan dan vaksin, serta harga jual produk dibahas secara transparan atau ditetapkan berdasarkan rasio koefisien teknis, (ii) pada siklus berikutnya, inti mengembangkan kegiatan kerjasama dengan memasukan budidaya Parent Stock dan pembuatan pakan.


(25)

Koperasi menyisihkan SHU-nya untuk kedua kegiatan tersebut. Skala budidaya

Final Stock melalui kemitraan tetap dipertahankan, dan (iii) jika budidaya Parent Stock dan pembuatan pakan sudah beroperasi, maka inti mulai menarik sebagian alokasi in natura-nya dan membina koperasi plasma yang baru. Akumulasi SHU digunakan untuk mengembangkan budidaya Parent Stock dan unit usaha feedmill -nya. Lembaga keuangan ikut mempercepat perkembangan ini, dan (iv) koperasi mulai merintis kerjasama dengan koperasi pertanian, perikanan dan koperasi pemasaran. Sedangkan alternatif model kemitraan kedua diperlukan pemikiran-pemikiran sebagai berikut yaitu (i) dana dari lembaga keuangan langsung diterima koperasi. Ditahap awal, akan lebih baik jika koperasi menggunakan dana tersebut untuk budidaya Parent Stock dan pabrik pakan mini. Sebagian dana untuk budidaya Final Stock, dan sementara bibit (DOC) masih bergantung pada perusahaan pembibit, (5) koperasi harus secepat mungkin melakukan kerjasama dengan koperasi pertanian, perikanan dan koperasi pemasaran bahan baku dan produk untuk membentuk jaringan agribisnis, (iii) jika dana dari lembaga keuangan tidak cukup, koperasi harus menguangkan aset yang tidak liquid.

Counter budget lebih dapat meyakinkan penyandang dana, (iv) bantuan pakar multak diperlukan agar koperasi mampu bersaing dengan swasta multinasional dan bersaing dalam pasar domestik, (v) lembaga peternak unggas dan koperasi agribisnis peternakan hendaknya segera menyusun studi kelayakan yang didasarkan pada potensi nyata, sehingga dapat langsung diterapkan dan dapat dijadikan rujukan bagi penyandang dana.


(26)

Selanjutnya Bachriadi (1995) melaporkan pada kasus Tebu Rakyat lntensifikasi (TRI) di Jawa, bahwa model kemitman adalah kontrak produksi, dimana perusahaan yang mendapat hak sebagai inti adalah perusahaan-perusahaan negara perkebunan. Model ini sccara eksplisit memiliki karakteristik yaitu pabrik gula milik pemerintah bertindak sebagai pimpinan kerja para petani, melakukan penyuluhan dan bimbingan teknis pengusahaan tebu rakyat, menyediakan bibit unggul, memberikan petunjuk dan pelayanan dalam pemberian kredit, serta melindungi petani tebu rakyat dari kemungkinan ijon. Sedangkan petani tebu rakyat adalah sebagai pembudidaya. Struktur pasar agro input adalah monopoli, sedangkan pasar output monopsoni.

Dilaporkan pula oleh Bachriadi (1995) bahwa model kemitraan PIR-susu di Jawa Tengah adalah integrasi vertikal, dimana inti menyediakan bantuan kredit sapi perah, penyedia pakan, penjamin pasar susu, dan penyedia bimbingan teknis. Sedangkan peternak selaku pembudidaya. Struktur pasar agro input adah monopoli, dan pasar output adalah monopsoni.

Menurut Hafzah (1999) beberapa model kemitraan yang telah diaplikasikan yaitu :

1. Model kemitraan jagung hibrida antara PT BISI dengan Petani. Model kemitraan adalah kontrak produksi. Mekanisme kemitraan model ini yaitu PT BISI selaku inti (i) memberikan sarana produksi pertanian antara lain berupa benih, pupuk dan obat, lanjaran, plastik. Sarana produksi pertanian tersebut diperhitungkan dalam bentuk kredit tanpa bunga dan dibayar pada waktu panen, (ii) menyediakan tenaga teknis untuk penyuluhan dan pengawasan


(27)

mulai tanam sampai dengan panen, (iii) membeli produksi sesuai dengan kontrak kerjasama, dengan harga pasar dan ditambah 20 - 80 % apabila dinyatakan lulus lapangan oleh Balai Sertifikasi Benih, dan (iv) membayar hasil produksi sesuai kesepakatan yaitu satu hari setelah panen. Sedangkan petani (i) menyediakan dan mengolah lahan dengan baik dan menggunakan sarana produksi yang telah diberikan sesuai dengan paket teknologi anjuran, (ii) melakukan pemeliharaan dengan baik mulai saat tanam sampai dengan panen di bawah bimbingan tenaga teknis, (iii) menyerahkan hasil seluruhnya pada waktu panen, berdasarkan harga yang disepakati, dan (iv) menerima uang pembelian di pabrik atau ditransfer ke rekening petani, satu hari setelah panen. Pasar agroinput adalah monopoli, sedangkan pasar output adalah monopsomi.

2. Kemitraan jagung hibrida antara Perusahaan Makanan Ternak dengan petani. Model kemitraan ini adalah kontrak produksi. Perusahaan makanan ternak selaku inti memberikan bantuan pinjaman benih jagung hibrida dan pupuk kepada petani, dan membeli semua hasil produksi usaha jagung hibrida dari petani dengan harga yong disepakati dalam perjanjian. Sedangkan petani adalah pembudidaya. Struktur pasar agroinput yang terbentuk adalah monopoli, dan pasar output adalah monopsoni.

Zainuddin (2002) menyatakan keberlangsungan kemitraan ayam broiler di Amerika Serikat tidak terlepas dari model yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan perunggasan yaitu integrasi vertikal yang diwujudkan melalui


(28)

perunggasan di Amerika melakukan integrasi vertikal, diantaranya karena kebutuhan volume produksi (skala ekonomis), kebutuhan suplai broiler yang stabil, kebutuhan kontrol kualitas dan kebutuhan produk yang spesial. Perusahaan perunggasan dapat menerapkan integrasi vertikal karena mempunyai feedmill, hatchery, live production melalui kemitraan, processing plant, dan perusahaan mempunyai marketing/ distribution. Karakteristik kemitraan ayam broiler yang diterapkan di Amerika Serikat yaitu (i) peternak cukup menyediakan lahan. Biaya pembangunan kandang, perlengkapan kandang dan jalan, diperoleh dari pinjaman perusahaan perunggasan, (ii) perusahaan memperoleh biaya pembangunan kandang dari Bank, (iii) skala pemeliharaan 88.000 sampai dengan 160.000 ekor per peternak dengan kapasitas 22.200 ekor per kandang, (iv) agroinput dari perusahaan, (v) pasar output ditanggung perusahaan, dan (vi) parameter teknis yang ditetapkan meliputi periode pemeliharaan 5 kali per tahun, berat akhir 7 pounds per ekor, dan daya hidup 94,5% per periode. Struktur pasar agroinput yang terbentuk adalah pasar monopoli, sedangkan pasar output adalah monopsoni. Dalam SK Mentan No. 472/1996 ternyata aturan kemitraan hanya berkisar pada kemitraan vertikal, yakni antara perusahaan bidang peternakan (pakan, bibit dan pengolahan ayam) dengan peternak. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa kemitraan pada ayam ras ada tiga bentuk, yakni perusahaan inti rakyat (PIR), pengelola dan penghela. Perusahaan peternakan yang melakukan budidaya ayam ras melakukan kemitraan dengan pola PIR sedangkan yang tidak melakukan budidaya ayam ras melakukan kemitraan dengan pola pengelola atau penghela.


(29)

2.4 Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging Sebagai Solusi Pengembangan Industri Perunggasan Rakyat

Tolak ukur keberhasilan pembangunan sub sektor peternakan bidang perunggasan khususnya ayam ras pedaging adalah kesejahteraan yang merata bagi setiap pelaku, usaha peternakan ayam ras pedaging serta berkurangnya ketimpangan dalam pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat akibat adanya proses pembangungan sub sektor peternakan, memberikan konsekuensi logis terdapat sejumlah pelaku usaha peternakan terutama peternak ayam ras pedaging yang belum merasakan kemajuan pembangunan peternakan yang dicapai, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam pemerataan hasil pembangunan.

Ketimpangan tersebut muncul sebagai akibat kemudahan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada pengusaha peternakan besar. Bantuan dan berbagai fasilitas kemudahan yang diberikan merupakan keputusan politik pemerintah pada masa lalu yang terbukti kurang menguntungkan kondisi perekonomian secara nasional.

Usaha ayam ras pedaging tingkat peternak rakyat merupakan usaha kecil. Menurut Inounu, et al (2005) upaya pengembangkan usaha kecil agar mampu sejajar dengan usaha besar dan menengah selalu dihadapkan pada permasalahan yang cukup banyak yaitu (i) rendahnya profesionalisme tenaga pengelola usaha kecil, (ii) keterbatasan permodalan dan kurangnya akses terhadap perbankan dan pasar, (iii) penguasaan kemampuan teknologi yang masih kurang memadai, (iv) kurangnya dukungan fasilitas, yang memadai, dan (v) masih kurangnya


(30)

pembinaan dalam bidang manajemen maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Menurut Hafzah (1999) pemecahan permasalahan tersebut tidak semata-mata menggantungkan pada peranan pemerintah melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diproduksikan, tetapi diperlukan peran serta usaha besar dan menengah yang selama ini memiliki kelebihan dalam penguasaan permodalan, teknologi dan sumber daya manusia. Usaha besar melakukan alih teknologi, kemampuan manajerial usaha dan aliran permodalan, sehingga berdampak pada perbaikan dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia usaha keeil sehingga lebih profesional. Kesemuanya itu dapat dilakukan melalui mekanisme kerjasama yang saling menguntungkan dengan melaksanakan kemitraan usaha.

Yusdja dan Pasandaran (1998) menyatakan pemerintah mempercayai bahwa kemitraan perunggasan merupakan media yang tepat untuk membangun usaha, peternakan rakyat yang tangguh dan mandiri. Kemitraan usaha besar dan kecil merupakan media alternatif tintuk melindungi usaha rakyat. Komitmen ini akan tetap dipertahankan sekalipun Indonesia menghadapi ekonomi global.

2.5 Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Posisi Tawar Peternak

Pada awalnya usaha perunggasan rakyat bercorak subsisten, hasil yang dipungut peternak digunakan untuk kebutuhan keluarga dan dijual bila diperlukan. Fakta ini secara obyektif menampilkan sosok peternak yang bersih dari sinyalemen-sinyalemen ketidakadilan sosial.


(31)

Situasi peternak yang berlangsung dewasa ini mengalami pergeseran ke suasana yang sangat berbeda. Usaha perunggasan rakyat tidak lagi bercorak susbsisten, melainkan diwarnai dengan pembentukan usaha tani modern yang ditandai dengan Penerapan-penerapan inovasi-inovasi baru termasuk mulai masuknya ayam ras pedaging dalam teknologi perunggasan, munculnya sistem agribisnis ketat yang pada gilirannya peternak dipaksa untuk masuk ke dalam jaringan jual beli yang demikian kompleks. Banyak dari perkembangan ini yang telah memberikan dampak positif bagi peternak, tetapi bagi peternak kecil modernisasi ini membuat semakin terpuruk. Hal ini dijelaskan oleh Rasyaf (1995) bahwa periode tahun 1970 hingga 1980 merupakan kebangkitan peternakan ayam ras. Peternakan ayam broiler meledak hingga tahun 1980 dan puncaknya terjadi tahun 1981 bersamaan dengan semakin tergencetnya peternak-peternak kecil oleh peternak-peternak besar.Usaha perunggasan modern telah membuka babak baru dimana pemasaran produksi unggas berada di bawah hukum permintaan dan penawaran pasar. Pemasaran menjadi persoalan besar karena harga pasar tetaplah berada di bawah bayang-bayang kuasa yang berada jauh di luar kendali peternak. Fluktuasi harga selalu berada di bawah pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, politik yang saling berinteraksi satu sama lain dan bahkan seringkali masih dengan faktor iklim yang menjadi variabel fluktuatif.

Situasi tersebut di atas telah memicu berkembang-suburnya struktur-struktur ketidakadilan dalam masyarakat petani kecil dan hal ini lebih mungkin terjadi karena posisi tawar petani sangat lemah (Siswono, 2009). Posisi tawar adalah kemampuan dalam hal proses pengambilan keputusan antara pihak


(32)

pihak-pihak yang mengikat diri melalui pemberian usul-usul dan sejenisnya sehingga diperoleh suatu kesepakatan (Anonimous 2009). Surono (1997) menyatakan lemahnya daya tawar memicu petani menghadapi kesulitan yang tidak berujung pangkal yang membawa pada situasi ketidakberdayaan yang melembaga dan mengarah kepada sebuah keadaan budaya kemiskinan petani. Lebih lanjut Surono (1997) menyatakan persoalan ketidakberdayaan petani merupakan persoalan struktural yaitu (i) petani kecil merupakan kelompok marjinal karena ketidakikutsertanya dalam sistem sosial telah meletakan mereka ke dalam elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya., (ii) pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak di luar petani, dan (iii) petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktual mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, perbedaan kultur dan posisi inferior dalam interaksi pasar.

Upaya memperkuat posisi tawar peternak ayam ras pedaging skala kecil dilakukan melalui kemitraan usaha ayam ras pedaging dimana pokok permasalahan dalam pelaksanaan kemitraan adalah pemberdayaan partisipan kemitraan yang lemah yaitu peternak kecil, atau dengan kata lain terciptanya kesetaraan hubungan antar pelaku kemitraan. Melalui kemitraan kesempatan berkiprah peternak kecil semakin meningkat. Namun kegagalan yang sering terjadi pada kemitraan usaha sering disebabkan oleh fondasi dari kemitraan yang tidak kuat dan hanya didasari belas kasihan semata atau atas dasar paksaan pihak lain, bukan atas kebutuhan untuk maju dan berkembang bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Disamping itu disebabkan pula oleh kurang didasari etika bisnis, sehingga kondisi ini menjadikan kedudukan usaha kecil dipihak yang lemah dan


(33)

usaha menengah dan besar sangat dominan dan cenderung mengeksploitasi yang kecil.

2.6 Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Pendapatan Peternak

Burhanudin (2005) menyatakan tujuan dilakukannya kemitraan ayam ras antara lain untuk memperkecil resiko usaha terutama peternak rakyat sebagai mitra usaha plasma karena dijaminnya sarana produksi, pemasaran hasil dan jaminan pendapatan oleh perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti.

Rasyaf (1995) menyatakan pendapatan usaha ayam ras pedaging diperoleh dari hasil penjualan ayam ras pedaging saat panen yang merupakan penerimaan dikurangi biaya produksinya. Penerimaan total dalam suatu usaha peternakan ayam ras pedaging terdiri dari hasil produksi utama berupa penjualan ayam ras pedaging, baik hidup maupun dalam bentuk karkas dan hasil penjualan tinja atau litter yang laku dijual.

Pengeluaran atau biaya total usaha tani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani (Soekartawi dkk, 1990). Biaya usaha tani diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap (Soekartawi, 1995). Biaya tetap adalah biaya pada pengertian short run yaitu biaya yang tidak berubah walaupun jumlah produksi berubah atau tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi. Makin besar usaha maka biaya tetap per satuan usaha semakin kecil (Prawirokusumo, 1990). Biaya tetap pada usaha ayam broiler misalnya gaji pegawai bulanan, penyusutan kandang dan peralatan, bunga atas modal, pajak bumi dan bangunan (Rasyaf, 1995).


(34)

Biaya variabel adalah biaya yang selalu berubah tergantung besar-kecilnya produksi. Pada usaha ayam ras pedaging, meliputi biaya pakan, obat-obatan, bibit, biaya litter, bahan bakar dan lain-lain (Prawirokusumo, 1990). Biaya pakan dapat mencapai 60 - 70 % dari total biaya produksi, biaya pembelian bibit mencapai 24% dari total biaya produksi. Total biaya variabel dalam usaha peternakan ayam pedaging dapat mencapai 90 - 95% dari total biaya produksi (Rasyaf, 1995).

Semakin besar skala usahatani maka semakin kecil biaya tetap per unit output sehingga semakin besar pendapatan yang diperoleh (Prawirokusumo, 1990). Namun pada umumnya menurut Moerad(2000) sebagian besar pertanian diselenggarakan oleh petani kecil yang sulit berkembang secara sendiri-sendiri. Kondisi ini memberi dampak pada sulitnya menerapkan efisiensi di setiap kegiatan agribisnis, pada gilirannya biaya produksi tinggi, produktivitasnya rendah, daya saing rendah dan pendapatan kecil. Dengan demikian petani kecil perlu mitra usaha guna memperoleh pendapatan yang lebih layak dari usaha taninya.

Selanjutnya Hafsah (1999) menyatakan bahwa manfaat usahatani dengan pola kemitraan adalah (a) meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi, (b) terjaminnya kualitas, kuantitas dan kontinyuitas produk, (c) berkurangnya resiko usaha, (d) memberikan dampak sosial yang cukup tinggi karena terhindar dari kecemburuan sosial yang bisa menjadi gejolak sosial akibat ketimpangan pendapatan, dan (e) adanya peningkatan pendapatan yang diikuti tingkat kesejahteraan dan pemerataan yang lebih baik maka pada gilirannya mampu meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.


(35)

2.7 Kerangka Pemikiran

Pergeseran struktur industri perunggasan ras pedaging rakyat dari usaha non kemitraan ke kemitraan berdampak pada perubahan posisi tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan terhadap manajemen produksi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan peternak usaha ayam ras pedaging non kemitraan menjadikan peternak dengan segala keterbatasannya mengatasi sendiri berbagai permasalahan usaha yang dihadapi dan peternak cenderung dalam situasi termarjinalisasikan oleh pihak di luar peternak. Termarjinalisasinya peternak menunjukkan bahwa posisi tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan usaha mendapat tekanan dari pihak di luar peternak. Hal ini menjadikan kendala dalam pencapaian peningkatan pendapatan.

Usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dilandasi filosofi yang mencakup tiga hal (i) keadilan yang membuat kedudukan setam antara inti dengan peternak, (ii) keuntungan, keselamatan, ketahanan dan kesejahteraan yang menuntut adanya keahlian dan penguasaan teknologi, dan (iii) etika sebagai sikap dan niat baik inti dan peternak.

Mendasari filosofi kemitraan tersebut jelaslah bahwa (i) kemitraan usaha ayam ras pedaging memberikan peluang terbukanya akses daya tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan-keputusan pada majanemen usaha, dan (ii) kemitraan usaha ayam ras pedaging menjamin kepastian pendapatan peternak.

Posisi tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan usaha sangat strategis karena terkait dengan peningkatan pendapatan sebagai tujuan pokok


(36)

mengikuti program kemitraan. Dengan demikian posisi tawar dan pendapatan peternak merupakan hal yang saling berkaitan.

Kerangka pemikiran tersebut di atas digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Dampak Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging Terhadap Posisi Tawar dan Pendapatan Peternak

2.8 Hipotesis

Dari latar belakang, masalah, tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Pola usaha ayam ras pedaging kemitraan berbeda dengan pola non kemitraan. 2. Pada skala usaha yang sama, pendapatan peternak kemitraan lebih tinggi

dibanding pendapatan peternak non kemitraan.

Inti Peternak Kemitraan Usaha

Ayam Ras pedaging

Posisi Tawar

Proses Produksi Usaha Ayam ras Pedaging Pola Kemitraan Produk Ayam ras

pedagingPola Kemitraan

Pendapatan Peternak


(37)

3. Posisi tawar peternak ayam ras pedaging dengan pola kemitraan lebih kuat dibanding peternak non kemitraan.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Penentuan Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode survei. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa daerah penelitian merupakan daerah sentra produksi ayam ras pedaging, seperti terlihat pada Tabel I. Daerah penelitian meliputi Kecamatan Dukun, Panceng dan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.

Tabel 1 Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Gresik

No Kecamatan Jumlah Ekor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Menganti Kedamean Driyorejo Wringinanom Duduksampeyan Cerme Kebomas Gresik Manyar Bungah Sidayu Ujung Pangkah Dukun Panceng Benjeng Balongpanggang Sangkapura Tambak 66.050 64.500 - 52.500 - 52.500 32.750 - 54.500 68.500 21.200 575.100 985.000 495.000 50.200 40.100 - - Jumlah 2.557.900 Sumber : Kantor Statistik Kab. Gresik, 2008


(39)

3.2 Penentuan Responden

Populasi dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua yaitu peternak pola kemitraan dan non kemitraan pada masing-masing kecamatan.

Besarnya masing-masing sampel ditentukan berdasarkan pendapat Singarimbun dan Effendi (1998) bahwa penentuan jumlah sebagai sampel tergantung pada teknik analisis yang akan digunakan. Bilamana teknis analisis data yang dipakai adalah membandingkan antar kelompok maka jumlah sampel setiap kelompok dalam rancangan analisa minimal 30 kasus. Mendasari ketentuan tersebut, responden dalam penelitian ini sejumlah 60 orang, terdiri 30 responden peternak non kemitraan dan 30 responden peternak pola kemitraan.

Guna memenuhi besarnya sampel peternak pola kemitraan sejumlah 30 responden, maka dilakukan secara proporsional sesuai dengan jumlah pupulasi pada masing-masing kecamatan. Selanjutnya penentuan sampel dilakukan dengan acak sederhana (simple random sampling) menurut Sarantakos (1995).

Tabel 2 Populasi dan Sampel Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non Kemitraan di Kabupaten Gresik

Kecamatan Populasi Peternak Pola Kemitraan Sampel Peternak Pola Kemitraan Sampel Peternak Pola Non Kemitraan Ujung Pangkah Panceng Dukun 52 27 76 10 5 15 9 6 15

Jumlah 155 30 30

Sumber : Data Primer Diolah, 2009

Besarnya sampel peternak non kemitraan tiap kecamatan yaitu selebihnya peternak pola kemitraan yang ada pada masing-masing kecamatan seperti terlihat pada Tabel 2.


(40)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dan data primer dari sekunder. Pcngumpulan data primer dilakukan dengan wawancara kepada peternak plasma dan mandiri menggunakan daftar pertanyaan. Sedangkan data sekunder dengan cara mencatat data dari instansi yang terkait.

3.4 Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan analisis diskriptif, analisis skoring, analisis pendapatan, analisis titik impas.

3.4.1 Analisis Diskriptif

Analisis diskriptif mengacu pendapat Sarantakos (1995), digunakan untuk memperoleh tujuan penelitian pertanian yaitu mendiskripsikan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan, meliputi pola usaha, skala usaha, penyakit dan morialitas, tingkat produksi, dan konversi pakan. Data dikumpulkan ditabulasi untuk mencari rataan dan standar deviasi serta dianalisis dengan secara diskriptif. Untuk mencari standar deviasi (Sd), dengan rumus yakni :

Sd = 1/n ({n.∑ x ² - (.∑ x ) ² } / {n – 1} )½

3.4.2 Analisis Skoring

Analisis skoring digunakan untuk memperoleh tujuan penelitian kedua yaitu menganalisis posisi tawar peternak kemitraan dan inti. Pengukuran posisi tawar peternak didasarkan pada jawaban peternak dalam proses pengambilan keputusan usaha yaitu dalam hal penentuan keputusan berdasarkan Tabel 3.


(41)

Tabel 3 : Tolok Ukur Posisi Tawar Peternak Kemitraan No Penentuan Keputusan

Peternak Sendiri

Peternak &

Inti Inti Juml ah (Skor 3) (Skor 2) (Skor 1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sebagai peternak Skala usaha

Jenis bibit, pakan dan obat-obatan

Pemasok bibit, pakan dan obat obatan

Harga bibit, pakan dan obat obatan

Manajemen Produksi Waktu panen

Sasaran pasar

Penetapan harga jual Penetapan waktu pembayaran

Jumlah Skor Jumlah Total Skor

Hasil perolehan skor tersebut kemudian dilakukan katagori posisi tawar meliputi lemah, sedang dan kuat. Penentuan katagori posisi tawar ditetapkan sebagai berikut :

1. Perolehan skor tertinggi = 10 x 3 = 30 2. Perolehan skor terendah = 10 x 1 =10 3. Jumlah katagori = 3

Range setiap katagori= (skor tertinggi– kor terendah)/jumlah katagori = (30 - 10)/3

= 6,7

Atas dasar dari perhitungan tersebut di atas, posisi tawar peternak dinyatakan katagori lemah apabila memperoleh skor ≤ 16,7 posisi tawar sedang memperoleh skor 16,8 - 23,5 dan memiliki posisi tawar kuat memperoleh skor 23,6 – 30.


(42)

3.4.3 Analisis Pendapatan dan Titik Impas

Analisis pendapatan mengacu pendapat Rasvaf (1995), digunakan untuk memperoleh tujuan penelitian ketiga yaitu menganalisis pendapatan peternak kemitraan dan non kemitraan. Sedangkan analisis titik impas mengacu pendapat Praswirokusumo (1990) dan Salam (2006) digunakan untuk mengetahui batas aman usaha, meliputi titik impas hasil dan harga, dihitung dengan rumus :

BEP (Unit) =

VC P

FC

BEP (Rupiah) =

P Unit VC

FC

/ 1−

Keterangan :

FC = Biaya Tetap (Fixed Cost). VC = Biaya Variable (Variable Cost)

P = Harga jual per unit (volume penjualan).

3.4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Peternak kemitraan adalah peternak yang melakukan pembudidayaan ayam ras pedaging dalam bentuk kontrak usaha dengan salah satu perusahaan peternakan terbesar di Kabupaten Gresik Peternak non kemitraan dalam penelitian ini adalah peternak yang melakukan pembudidayaan usaha ayam ras pedaging secara mandiri dalam arti tidak melalui kontrak usaha dengan perusahaan peternakan.

2. Inti (Perusahaan peternakan) dalam penelitian ini adalah salah satu perusahaan terbesar di Kabupaten Gresik yang menjalin kontrak usaha


(43)

ayam ras pedaging secara legal dengan peternak rakyat. Perusahan peternakan tersebut sebagai mitra usaha inti.

3. Posisi tawar peternak dalam hal ini adalah kemampuan peternak dalam proses pengambilan keputusan-keputusan usaha ayam ras pedaging. Definisi posisi tawar (bargaining position): the ability of somebody to achieve a disired end in a negotiation,as determined by his or her relatif strengths or weakneses (Anonimous, 2009).

4. Produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah bobot hidup ayam ras pedaging saat di panen dari hasil pemeliharaan dalam satu periode produksi pada bulan Maret s.d. Mei 2009 diukur dengan satuan kilogram (kg).

5. Penerimaan (Total Revenue) dalam penelitian ini diformulasikan sebagai berikut:

TR = P, Y

P = Harga ayam ras pedaging hidup di tingkat peternak pada bulan Maret s/d Mei 2009 dalam satuan Rp/kg.

Y =Total produksi ayam ras pedaging dalam satu periode produksi pada bulan Maret s/d. Mei 2009, diukur dalam satuan kilogram. 6. Biaya dalam penelitian ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan

untuk memproduksi ayam ras pedaging dalam satu kali periode produksi pada bulan Februari s/d Mei 2009. Biaya tersebut meliputi biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel terdiri dari :


(44)

(1) Bibit, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian anak ayam (DOC).

(2) Pakan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian pakan selama pemeliharaan.

(3) Tenaga kerja, biaya yang dikeluarkan peternak menggaji karyawan/tenaga kerja luar peternak.

(4) Bahan bakar, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian minyak tanah alau LPG pada saat ayam dalam fase starter.

(5) Sekam, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian sekam sebagai alas kandang/litter pada saat ayam fase starter.

(6) Obat-obatan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembellian obat-obatan dalam upaya menjaga agar ayam tetap sehat.

(7) Vaksin, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian vaksin dalam upaya

Sedangkan biaya tetap terdiri dari :

(8) Pajak, biaya yang dikeluarkan peternak untuk membayar pajak tanah lokasi kandang.

(9) Keamanan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk petugas keamanan kandang.

(10)Kandang dan peralatan, yaitu biaya penyusutan kandang dan peralatan.

Diperoleh dari rumus sebagai berikut : Biaya Penyusutan = NilaiBaruNilaiSisa


(45)

(11) Sewa lahan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk menyewa lahan lokasi kandang.

7. Pendapatan, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil pengurangan antara penerimaan dengan biaya usaha ayam ras pedaging pada satu periode produksi yang diperhitungkan pada bulan Maret s.d. Mei 2009.


(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Diskripsi Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Gresik merupakan salah satu daerah kabupaten di Jawa Timur, dengan luas wilayah 6.965,05 km2 yang terdiri dari luas laut 5.773,80 km2 dan luas darat 1.191,25 km2, dengan batas-batas wilayah : sebelah utara laut Jawa, sebelah timur selat Madura dan kota Surabaya, sebelah selatan kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Surabaya dan sebelah barat kabupaten Lamongan. Peta lokasi penelitian disajikan pada lampiran 11.

4.1.2 Keadaan Penduduk

Distribusi penduduk Kabupaten Gresik berdasarkan tingkatan umur disajikan pada Tabel 4

Tabel 4. Distribusi keadaan penduduk kabupaten Gresik berdasarkan kelompok umur.

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1 2 3 4

0 - 4 53.893 50.803 104.696 5 - 9 63.682 63.050 126.732 10 - 14 61.269 61824 123.093 15 - 19 59.601 57.309 116.910 20 - 24 51519 53.575 105.094 25 - 29 56.905 54.949 111.854 30 - 34 49.670 42.816 92.486 35 - 39 39.824 35.293 75.117


(47)

1 2 3 4

40 - 44 28.331 28.506 56.837 45 - 49 27.107 26.714 52.821 50 - 54 26.107 26.174 52.823 55 - 59 19.225 19.505 38.728 > 60 44.813 50.702 95.515 Jumlah 582.527 574.285 1.156.812

Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Gresik, 2008

Tabel 4 menunjukkan bahwa penduduk kelompok umur 20 s.d 35 tahun di Kabupaten Gresik merupakan kelompok umur yang terbesar dan produktif. Hal ini dapat dijadikan sebagai aset untuk mengembangkan usaha ayam ayam ras pedaging di kabupaten Gresik.

4.1.3. Keadaan Populasi Ternak

Jenis ternak yang diusahakan para peternak di kabupaten Gresik , dengan sebaran populasi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran populasi ternak di kabupaten Gresik.

No Jenis Ternak Jumlah (Ekor)

1 Kuda 185 2 Sapi Perah 576 3 Sapi Potong 47.289 4 Kerbau 152 5 Kambing 52.114 6 Domba 29.772 7 Ayam Buras 637.946 8 Ayam Ras Pedaging 2.557.900 9 Ayam Petelur 130.135 10 Itik 25.431 11 Entok 13.015 12 Kelinci 15,336 Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Gresik, 2008


(48)

Tabel 5 terlihat bahwa populasi ayam ras pedaging menempati urutan pertama, dengan jumlah populasi paling banyak. Hal ini menunjukkan ayam ras pedaging di kabupaten Gresik merupakan salah satu ternak unggulan yang dipelihara peternak. Berdasarkan data dari Kantor Statistik Kabupaten Gresik tahun 2008 disebutkan bahwa tiga kecamatan sebagai sentra populasi ayam ras pedaging yaitu kecamatan Dukun, dengan populasi 985.000 ekor, kecamatan Panceng dengan populasi 495.000 ekor dan kecamatan Ujung Pangkah dengan populasi 575.100 ekor.

4.1.4. Konsumsi Hasil Ternak

Kemampuan masyarakat kabupaten Gresik dalam mengkonsumsi hasil ternak, disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Konsumsi hasil ternak di kabupaten Gresik Tahun 2007-2008 (kg/kapita/tahun)

Konsumsi 2007 2008 % Kenaikan Daging 7,61 8,31 9,19

Telur 5,5 6,9 25,45

Susu 5,5 10,3 87,27

Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Gresik, 2008

Tabel 64 menunjukkan bahwa konsumsi hasil ternak di kabupaten Gresik pada tahun 2008 meliputi daging, telur dan susu lebih tinggi dibandingkan kebutuhan hasil ternak secara nasional tahun 2008 sebagaimana data dari Badan Pusat Statistik hasil Susenas tahun 2007 bahwa konsumsi hasil ternak secara nasional (kg/perkapita) untuk daging 5,13; telur 6,78 dan susu 3,13. Hal ini berarti


(49)

konsumsi hasil ternak di kabupaten Gresik merupakan sasaran pasar yang potensial dalam pengembangan usaha peternakan.

4.1.5. Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Peternak

Perkembangan pendapatan rumah tangga peternak di kabupaten Gresik tahun 2007-2008 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Perkembangan pendapatan rumah tangga peternak di kabupaten Gresik tahun 2007-2008. (Rp/kapita/tahun).

Jenis ternak yang

diusahakan 2007 2008 % Kenaikan Sapi Potong 444.648 740.125 66,45 Sapi Perah 1.295.085 1.648.995 27.33 Unggas 1.570.020 2.334.020 48.66 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, 2008

Tabel 7 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga peternak unggas pada tahun 2008 menempati urutan tertinggi dengan kenaikan 48,66%. Hal ini berarti usaha unggas potensial dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak.

4.2. Karakteristik Responden 4.2.1. Umur

Hasil penelitian menunjukkan kisaran umur responden antara 20 s/d 66 tahun dengan rataan 37 tahun. Stratifikasi dan sebaran umur responden disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Keadaan Umur Responden.

No. Umur (Tahun) Kemitraan

(orang)

Non Kemitraan (orang)

Jumlah

(orang) %

1 20-35 24 13 37 61,7

2 36-50 5 14 19 31,7

3 51-66 1 3 4 6,6

Total 30 30 60 100


(50)

Tabel 8 menunjukkan bahwa responden usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan sebagian besar berumur 20-35 tahun, sedangkan responden usaha ayam ras pedaging non kemitraan sebagian besar berumur 36-50 tahun, namun secara agregat umumnya responden berumur 20-35 tahun hingga mencapai 61,7 persen. Kondisi umur tersebut tergolong kelompok umur produktif dan hal ini merupakan aset dalam rangka pengembangan usaha ayamras pedaging.

4.2.2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh responden. Tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 9

Tabel 9. Tingkat Pendidikan Responden

No. Tingkat Pendidikan

Kemitraan (orang)

Non Kemitraan

(orang)

Jumlah

(Orang) %

1 SD 2 12 14 23,3

2 SLTP 3 5 8 13,3

3 SLTA 17 12 29 48,3

4 PT 8 1 9 15

Total 30 30 60 100

Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 9 menunjukkan umumnya tingkat pendidikan responden SLTA hingga mencapai 48,3 persen, namun demikian perlu mendapat perhatian bahwa responden lulusan perguruan tinggi telah mencapai 15 persen. Cukup banyaknya responden yang berpendidikan menunjukkan indikasi adanya perubahan perilaku sarjana di pedesaan yang pada umumnya berkeinginan sebagai pegawai negeri atau sebagai pegawai swasta dibanding sebagai wirausaha. Dari tabel nampak bahwa tingkat pendidikan responden pada pola kemitraan secara umum lebih


(51)

et al (2005) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani pada pola kemitraan lebih tinggi dibandingkan pola mandiri.

4.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan keluarga. Jumlah tanggungan keluarga menjadi salah satu pertimbangan responden dalam menentukan suatu usaha produktif termasuk usaha ayam ras pedaging. Sebaran tanggungan keluarga responden di daerah penelitian disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden.

No .

Jumlah Keluarga

Peternak Kemitraan

(orang)

Peternak Non Kemitraan

(orang)

Jumlah

(Orang) %

1 1-3 17 4 21 35

2 4-6 12 25 37 62

3 7-9 1 1 2 3

Total 30 30 60 100

Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 10 menunjukkan umumnya tanggungan keluarga responden 4-6 orang atau mencapai 62 persen, sedangkan responden dengan tanggungan keluarga 1-3 orang mencapai 35 persen dan 7-9 orang hanya 3 persen.

4.2.4. Lama Usaha

Lama usaha adalah waktu yang telah digunakan responden dari saat awal berusaha ayam ras pedaging sampai dilakukan penelitian, dinyatakan dengan tahun. Sebaran lama usaha responden disajikan pada Tabel 11.


(52)

Tabel 11. Lama Usaha Responden.

No. Lama Usaha (tahun)

Peternak Kemitraan

(orang)

Peternak Non Kemitraan

(orang)

Jumlah

(Orang) %

1 1-5 23 15 38 63,3

2 6-10 7 7 14 23,3

3 11-15 - 7 7 11,7

4 16-20 - 1 1 1,7

Total 30 30 60 100

Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar lama usaha responden 1-5 tahun atau mencapai 63,3 persen. Hal ini berarti responden pada umumnya sebagai pengusaha ayam ras pedaging tingkat pemula.

4.3 Diskripsi Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan NonKemitraan.

Diskripsi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan di daerah penelitian dapat dilakukan dengan mendeskripsikan usaha ayam pedaging pola kemitraan dan non kemitraan dari sampel (responden terpilih). Hal ini didasarkan pendapat Singarimbun, M(1987) bahwa sampel adalah bagian dari populasi dan sampel dipergunakan untuk menentukan sifat-sifat dari populasi.

Adapun diskripsi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan dari responden terpilih (sampel), sebagaimana diuraikan berikut ini:

4.3.1. Proses Sebagai Peternak Ayam Ras Pedaging

Penelitian menunjukkan bahwa proses sebagai peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan adalah sebagai berikut :


(53)

1. Calon peternak didatangi petugas dari mitra usaha inti, dengan maksud menawarkan program kemitraan usaha ayam ras pedaging. Penawaran program kemitraan tersebut langsung kepada peternak tanpa melalui instansi dinas yang terkait maupun assosiasi peternak. Penawaran tersebut hanya menyangkut program kemitraan khususnya menitikberatkan pada aspek budidaya dan pasar.

2. Apabila calon peternak menyetujui penawaran tersebut, selanjutnya mitra usaha inti melalui petugasnya menindaklanjuti dengan cara melakukan survei ke lokasi kandang ayam ras pedaging calon peternak. Survei menekankan pada kelayakan teknis kandang beserta kelengkapan lainnya dan aspek sosial khususnya keamanan berusaha ayam ras pedaging.

3. Apabila hasil survei dianggap layak, maka mitra usaha ini mendatangi calon peternak untuk menandatangani naskah perjanjian usaha. Naskah perjanjian usaha tersebut dibuat oleh mitra usaha inti, sedangkan calon peternak tinggal menandatangani tanpa diberi kesempatan untuk mempelajari naskah perjanjian usaha tersebut.

4. Dengan ditandatanganinya naskah perjanjian usaha oleh kedua belah pihak, maka status calon peternak menjadi peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan

Kronologis sebagai peternak mandiri adalah sebagai berikut :

1. Calon peternak mendatangi peternak lain yang telah berusaha ayam ras pedaging secara mandiri. Disamping itu, calon peternak mencari informasi dari sumber lainnya.


(54)

2. Informasi dianggap cukup, selanjutnya calon peternak membuat kandang beserta kelengkapannya.

3. Calon peternak mengadakan transaksi dengan poultry shop, meliputi bibit, pakan dan obat-obatan

4. Selanjutnya poultry shop mengirim bibit, pakan dan obat-obatan kepada peternak.

4.3.2. Pola Usaha

Pola usaha peternak kemitraan dilaksanakan dengan pola pengelola, dimana perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti mensuplai sarana produksi peternakan (bibit, pakan dan obat-obatan), memberikan bimbingan teknis dan manajemen dan menampung serta memasarkan hasil produksi. Sedangkan peternak selaku mitra usaha plasma menyediakan lahan, kandang beserta perlengkapannya, tenaga kerja dan melakukan budidaya. Suplai sarana produksi peternakan tersebut merupakan kredit dan sebagai agunan kredit berupa sertifkat tanah, diperhitungkan setelah panen. Besarnya kredit yang diterima peternak, diperhitungkan setelah panen.

Dilihat dari posisi peternak terhadap pasar faktor produksi meliputi pakan, bibit dan obat-obatan. Peternak kemitraan menghadapi pasar monopoli. Sebab perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti adalah pensuplai tunggal faktor produksi tersebut yang berarti mitra usaha inti bertindak sebagai perusahaan/produsen monopoli. Menurut Boediono (1997) kurve permintaan yang dihadapi produsen monopoli adalah kurve permintaan pasar, sehingga produsen dapat mempengaruhi harga pasar dengan jalan menjual sedikit atau lebih banyak


(55)

produksinya. Perusahaan monopoli tidak hanya menentukan harga tetapi juga menentukan berapa harga jual yang menghasilkan keuntungan maksimum bagi dirinya. Akibatnya ada unsur eksploitasi oleh perusahaan monopoli terhadap konsumen dengan ditetapkannya harga jual diatas marginan cost, dengan demikian harga yang ditetapkan oleh perusahaan monopoli lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar persaingan Perusahaan monopoli dengan sengaja membatasi output-nya untuk memaksimumkan laba. Volume produksi yang dihasilkan lebih kecil dari volume optimum. Oleh karena itu dari sudut pandang sosial, output yang dihasilkan terlalu rendah. Selanjutnya Boediono (1997) menegaskan pemusatan pasar dalam bentuk monopoli dapat menimbulkan kerugian sosial berupa inefisiensi, ketidakadilan pendapatan dan menurunnya kesejahteraan masyarakat.

Dilihat dari posisi peternak dalam pasar output, peternak kemitraan menghadapi pasar monopsoni karena perusahaan peternakan selaku mitra inti sebagai pembeli tunggal. Hal ini berarti melakukan praktek monopsoni atas produk peternak kemitraan. Menurut Satia (2006) implikasi adanya monopsoni, monopsonist (pembeli tunggal) melakukan eksploitasi pasar input, sehingga untuk mencapai posisi keseimbangan di pasar input maka akan membayar input tersebut lebih rendah dibanding harga yang berlaku di pasar persaingan. Usaha ayam ras pedaging non kemitraan dilaksanakan dengan pola mandiri, penyediaan sarana produksi peternakan dan pembudidayaan dilakukan oleh peternak sendiri, sedangkan pemasaran hasil umumnya dijual kepada bakul.


(56)

4.3.3. Skala Usaha

Skala usaha peternak pola kemitraan dan non kemitraan di daerah penelitian, disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Skala Usaha Ayam Ras Pedaging Di Daerah Penelitian

No. Pola Usaha Ayam Ras Pedaging

Skala Usaha Ayam Ras

Pedaging (ekor) Rataan (ekor) 1 Kemitraan 2.500 s/d 10.000 5.650 ± 1.498 2 Non Kemitraan 500 s/d 8.000 1.750 + 1.576 Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 10 menunjukkan skala usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih besar dibandingkan dengan skala usaha ayam ras pedaging non kemitraan. Keadaan ini sebagai dampak naiknya harga sarana produksi peternakan seperti bibit, pakan, obat-obatan dan vaksin sehingga menyebabkan naiknya biaya produksi dan menurunnya marjin keuntungan dan peternak mengalami kekurangan modal kerja yang pada akhirnya untuk dapat berusaha ayam ras pedaging dengan skala usaha yang lebih besar, peternak cenderung berusaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan, sehingga dengan terpaksa mengubah struktur usahanya dari peternak mandiri menjadi peternak pola kemitraan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Shane (2000), krisis ekonomi mengakibatkan perubahan besar pada struktur industri pengunggasan, yaitu pada tahun 1997 sebanyak 70% produksi ayam pedaging dilakukan oleh peternak mandiri, namun pada saat ini 80% kemitraan dan 20% mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan usaha ayam ras pedaging merupakan solusi akibat adanya krisis ekonomi di bidang perunggasan.


(57)

Skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan dan non kemitraan sebagaimana disajikan pada tabel 12, menurut Yusdja dan Pasandaran (1998) skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan di daerah penelitian termasuk skala menengah karena rataan skala usaha ayam ras pedaging yang dibudidayakan termasuk pada kisaran 5.000 s/d 10.000 ekor, sedangkan usaha ayam ras pedaging peternak non kemitraan termasuk skala kecil karena rataan skala usaha ayam yang dibudidayakan kurang dari 5.000 ekor.

4.3.4. Mortalitas

Mortalitas atau tingkat kematian ayam merupakan kendala dalam usaha ayam ras pedaging. Serangan penyakit dapat mengakibatkan naiknya angka mortalitas, hal ini berdampak pada menurunnya bobot panen secara agregat, sehingga produksi menurun. Hasil penelitian menunjukkan tingkat mortalitas usaha ayam ras pedaging pola kemitraan mencapai 4,8 % ,sementara itu, mortalitas usaha ayam ras pedaging non kemitraan mencapai 4,1 %. Namun menurut Rasyaf (1992), tingkat kematian tersebut masih dibawah batas normal karena kurang dari 5 %. Perbedaan tingkat mortalitas disinyalir karena adanya bibit ayam ras pedaging yang berbeda, bibit ayam ras pedaging dengan pola kemitraan berasal dari mitra inti tanpa adanya kesempatan bagi peternak untuk memilih bibit yang dikehendaki. Hal ini didukung dari hasil evaluasi assosiasi peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan pada tahun 2009, bahwa mutu bibit dari inti tidak memenuhi standar. Sedangkan bibit yang diperoleh peternak usaha ayam ras pedaging pola mandiri berasal dari pasar bebas, merupakan bibit pilihan sehingga kualitas bibit lebih terjamin.


(58)

Tingkat mortalitas dari hasil penelitian pada usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan dan non kemitraan di kabupaten Gresik mencapaii 4 - 5 %. Tingkat mortalitas sebesar 4,8 % tersebut tergolong rendah karena dibawah ambang batas mortalitas normal maksimum yaitu 5%.

4.3.5. Masa Pemeliharaan

Hasil penelitian menunjukkan, secara agregat masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi berkisar antara 35 s/d 42 hari, dengan rataan pemeliharaan 39 hari. Sebaran masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 13

Tabel 13. Masa pemeliharaan ayam ras pedaging

No. Pola Usaha Ayam ras pedaging

Masa Pemeliharaan (hari)

Rataan masa pemeliharaan (hari) 1 Kemitraan 35 - 37 36 + 0,59 2 Non Kemitraan 36 - 42 42 + 1,58 Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 13 menunjukkan bahwa masa pemeliharaan usaha ayam ras pedaging pola mandiri lebih lama dibandingkan masa pemeliharaan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan, hal ini berkaitan dengan harga jual ayam dan kepastian pasar. Pada saat penelitian harga per kilogram ayam hidup merupakan harga yang sangat menguntungkan bagi peternak, sehingga peternak usaha ayam ras pedaging pola mandiri cenderung untuk memperpanjang masa pemeliharaan walaupun dengan konsekuensi meningkatnya biaya produksi khususnya pakan. Sedangkan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan, waktu panen ditentukan sepihak oleh inti, harga yang menguntungkan ini menjadikan inti cenderung mempercepat


(59)

masa pemeliharaan. Perilaku inti tersebut diindikasikan sebagai strategi untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi, didasarkan pada dua hal yang dijadikan pertimbangan. (i) umur panen lebih dari 36 mengakibatkan bobot ayam akan lebih meningkat, sehingga pengeluaran biaya pembelian ayam kepada peternak akan semakin besar, walaupun ada tambahan penerimaan hasil penjualan sapronak, namun dalam hal ini dipandang secara ekonomis tidak efisien karena pengeluaran biaya pembelian ayam tidak sebanding dengan penerimaan hasil penjualan sapronak kepada peternak plasma dan (ii) semakin cepat panen akan semakin cepat pengembalian biaya sapronak yang disalurkan pada peternak dan semakin cepat pula sapronak yang disalurkan pada peternak pada periode pemeliharaan berikutnya, sehingga mempercepat perputaran modal yang diinvestasikan.

4.3.6. Bobot Hidup

Rataan bobot hidup saat panen pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan mencapai 1,9 kg/ekor sedangkan pada usaha ayam ras pedaging non kemitraan mencapai 2,28 kg/ekor. Perbedaan bobot hidup tersebut dimungkinkan akibat lama pemeliharaan yang berbeda. Semakin lama ayam ras pedaging dipelihara, semakin tinggi bobot akhir yang dicapai sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasyaf (1995) dengan masa pemeliharaan yang berbeda akan menghasilkan bobot ayam yang berbeda. Ayam ras pedaging dipanen pada usia 5 minggu memiliki bobot sekitar 1,8 kg sedangkan ayam ras pedaging pada umur 6 minggu memiliki bobot sekitar 2,28 kg.


(60)

4.3.7. Tingkat Konversi Pakan

Tingkat konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dihabiskan dalam satu periode pemeliharaan dengan tingkat produksi yang dicapai. Tingkat konversi pakan merupakan salah satu indikator teknis untuk mengevaluasi usaha ayam ras pedaging. Tingkat konversi pakan dijadikan indikator teknis usaha ayam ras pedaging, disebabkan dalam pembudidayaan ayam ras pedaging, pakan merupakan faktor produksi yang dapat mencapai 66% dari biaya produksi dalam satu periode produksi. Dengan demikian semakin rendah nilai konversi pakan, semakin baik usaha pembudidayaan ayam ras pedaging, karena semakin efisien penggunaan pakan.

Pengamatan terhadap konversi pakan selama penelitian diperoleh hasil bahwa konversi pakan pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan 1,44. Tingkat konversi pakan ini tidak jauh berbeda dengan data Dinas Peternakan kabupaten Gresik pada tahun 2008 bahwa tingkat konversi pakan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan sebesar 1,44 sedangkan pada usaha ayam ras pedaging non kemitraan 1,48. Hasil tersebut menunjukkan konversi pakan usaha ayam ras poedaging pola kemitraan lebih rendah dibandingkan konversi pakan usaha ayam ras pedaging pola non kemitraan. Secara teknis dapat dinyatakan bahwa usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih efisien dalam penggunaan pakan dibanding usaha ayam ras pedaging non kemitraan. Sebab pencapaian bobot ayam 1 kg pada usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan diperlukan pakan sebanyak 1,44 kg, sedangkan pada pola usaha mandiri untuk memperoleh 1 kg bobot hidup ayam ras pedaging dibutuhkan pakan sebanyak 1,48 kg pakan. Hal


(1)

4) Masa pemeliharaan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih pendek dibanding non kemitraan.

5) Bobot ayam hidup saat panen pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih rendah dibanding non kemitraan.

6) Tingkat konversi pakan pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih rendah dibanding non kemitraan.

2. Posisi tawar peternak pola kemitraan lebih lemah dibanding perusahaan inti . Ini berarti bahwa pelaksanaan pola kemitraan di daerah penelitian tidak dapat memperkuat posisi tawar peternak.

3. Pendapatan peternak pola kemitraan lebih rendah dibanding peternak non kemitraan. Namun demikian pelaksanaan pola kemitraan di daerah penelitian dapat memberikan nilai tambah pendapatan peternak dibandingkan daripada sebelumnya mereka tidak bekerja sebagai peternak kemitraan.

5.2. Saran

Guna meningkatkan dan menumbuhkembangkan usaha agribisnis berbass peternakan khususnya usaha ayam ras pedaging, bagi para pelaku kemitraan perlu kiranya melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :

1. Bagi peternak (plasma).

1) Senantiasa menjaga hubungan kerjasama yang serasi selaras dan berkesinambungan serta mengendalikan diri dengan sikap mental positif agar hubungan kerjasama inti plasma berjalan aman dan nyaman.

2) Selalu membuka diri untuk mau menrima masukan dan bimbingan demi kemajuan usahanya.


(2)

2. Bagi inti (Perusahaan Perunggasan).

Bagi para perusahaan perunggasan yang dalam kapasitasnya sebagai inti semuah kerjasama kemitraan harus senantiasa konsisten di dalam penyediaan sapronak (bibit, pakan, obat) baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. Menyediakan tenaga ahli dalam bidang peternakan sehingga senantiasa berinovasi demi kemajuan perunggasan di dalam negeri, dan bersama-sama dengan pelaku kemitraan yang lain berupaya mengahsilkan produk (daging ayam) yang dijamin aman dan terjangkau bagi masyarakat umum.

4. Bagi Pemerintah

1) Pemerintah melalui Dinas/Instansi terkait kiranya senantiasa berupaya meningkatkan fungsinya sebagai mediator dan fasilitator bagi berjalannya kemitraan yang ada sehingga persamaan kedudukan dalam posisi tawar (bargaining position) antara peternak dan inti.

2) Senantiasa menjaga komunikasi dan koordinasi dengan para pelaku kemitraan (inti, plasma dan asosiasi peternak kemitraan ayam ras pedaging).

5. Bagi Peneliti lebih lanjut

Penelitian tentang posisi tawar (bargaining position) peternak dapat dikembangkan dengan metode penelitian dengan komoditas yang berbeda atau penelitian lebih mendalam.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Dian, Abdul Choliq, 2005. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kesinambungan Usaha Dalam Pola Kemitraan . Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Ayam Broiler Dalam Menunjang Usaha Ternak Unggas Brdaya Saing. (http // peternakan litbang.dep[tan.go.id/publikasi/lokakarya/ l kugs S.06 - pdf).

Anonimous,1996.Surat Keputusan Menteri Pertanian No.472/Kpts/TN.330/6/96. Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Usaha Ayam Ras

__________,1997. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.940/Kpts/OT.210/6/97. Tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian.

___________,2008. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Kabupaten Gresik. ___________,2008. Gresik Dalam Angka. Kantor Statistik Kabupaten

Gresik.

___________,2008. Modul 1 Khusus Fasilitator Kemitraan, Lobby dan Negoisasi, Departemen Pekerjaan Umum.

__________,2009.Dictionary.MSN.Encarta.(http://encarta.msn.com/ Dictionary_701704524/bargaining_position.htm/).

Bachriadi. D 1995. Ketergantungan petani dan penetrasi pasar. Lima kasus intensifikasi pertanian dengan pola contract farming.(http :// www.hamline.edu/basisdata/1996/03/24/0025.html).

Boediono. 1997. Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi kedua. BPFE. UGM. Yogyakarta.

Burhanudin,Sundu, 2005. Membangun Dunia Pertunggasan Yang Tangguh di Indonesia.(http:// adsindonsia.or.id/alumni/articleburhanudinsundu 01.pdf).

Daryanto,Arif, 2007. Dongkrak Daya Saing Industri Perunggasan Melalui Model Integrated Business. (http/www.trobos.com/show-article.php?i./=22 & aid=594).


(4)

Inounu, ismeth, kusuma., 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Komoditas Peternakan Unggas, Sapi, Kambing dan Domba.

(http://www peternakan, litbang deptan.go.id/publikasi/wartazoa/wazo 151-2 pdf).

Kuncoro,M, 2000. Usaha Kecil di Indonesia Profil, Masalah dan Strategi Perberdayaan (http://www,mudrajat.com/upload/jurnal.usaha kecil.indonesia.pdf).

Moerad. B. 2000. Solusi meningkatkan kualitas kemitraan ayam ras. Poultry Indonesia. No. 240 : 18-19

Nurhadi,Eko, Yuliati, Nuriah, Parsudi,Setyo, 2007. Strategi Penguatan Posisi Tawar Petani Melalui Perbaikan Struktur Pasar dan Pengembangan Lembaga Ekonomi Pedesaan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran” Jawa Timur..

Prawirokusumo.S1990.Ilmu Usahatani. BPFE.UGM.Yogyakarta.

Prasetyo, Edy 2005. Karakteristikdan Pendapatan Usahatani Ternak Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri dan Kemitraan di Kabupaten wonogiri dan Karanganyar. (http : // edypras wordpress.com/2009/05/4)

Rasyaf.M 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging. Gramendia Pustaka Utama. Jakarta.

Rustiani. 1994. Peluang Pasar dan Posisi Petani : pengalaman petani di Kabupaten Bandung. Seri Penelitian Aka Tiga. Bandung.

Rusastra,Wahyuni, Yana2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Peternakan. Laporan Akhir Penelitian TA.2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Balitbangtan Deptan.

Salim. P dan Yenny. S 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Modern English Press. Jakarta.

Salam, Thamrin, 2006. Analisis Finansial Usaha Peternakan Ayam Broiler Pola Kemitraan. Jurnal Agribisnis, Juni 2006, Vol 2 No.1 Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Gowa.


(5)

Satia,Lubis, 2006. Diktat Teori Pasar II : Pasar Monopsoni. Fakultas

Pertanian USU Medan (http: // library.usu.ac.id/download/fp/07001539.pdf)

Sarantakos. S .2005 SC 101 Researching Social Live (http // courses.essex.ac.uk/SC/SC101-module-outline 2009-10 pdf).

Shane. S.M. 2000 Recovery Poultry Industry in Indonesia. Poultry International, February (39). 2.

Singarimbun. M dan S. Effendi 1998. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta di Indonesia.

Siswono,YH, 2009. Benahi Perunggasan, Hadapi Pasar Global (www.poultry indonesia.com).

Soekartawi.a 1995 Analisis Usaha Tani. UI Press. Jakarta.

Soekartawi.b1995. Beberapa aspek kemitraan yang perlu diperhatikan dalam pengembanga agribisnis. Makalah Simposium Nasional Pola Kemitraan dalam Pengembangan Pertanian. Universitas Islam Riau.

Sudin, Askam 2009. Lingkungan Hijau. (http : // Lingkungan Hijau.org/2009/02/03).

Suharno, Bambang 1995 Kiat Sukses Berbisnis Ayam. Penebar Swadaya Jakarta.

Suharti 2002. Analisis Profitibilitas Usaha Ayam Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kabupaten Magelang. Laporan Penelitian UGM.

Surono 1997. Analisis Perbandingan Efisiensi Peternakan Ayam Ras Pedaging Skala Kecil dan Skala Besar (Studi Kasus Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kecamatan Gunung Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi S1 Jurusan Ilmu Ilmu Soaial Ekonomi Pertanian, Faperta Bogor

Wahyono, Agung 2007.Kemitraan Modern. (http: // Kemitraan Sehat Pihak Inti Maupun Plasma Harus Jujur dan Profesional.html 10/24/2009)

Yusdja. Y dan E. Pasandaran 1998. Arah Restrukturisasi Industri Agribisnis Perunggasan di Indonesia. (http:// www.pse.litbang.deptan.go.id/ind/iondex.php?option).


(6)

Zainuddin. 2002. Sistem kemitraan ayam broiler di Amerika Serikat. Poultry Indonesia Maret 2002.