1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai  makhluk  sosial,  manusia  tidak  bisa  hidup  tanpa  orang  lain. Mengutip  istilah  dari  Paul  Watzlawik,  “we  cannot-not  communicate”,  kita  tidak
dapat  tidak  berkomunikasi.  Dalam  artian,  seseorang  tidak  dapat  hidup  tanpa komunikasi,  sehingga  setiap  orang  pasti  berkomunikasi  dan  tidak  mungkin  tidak
membutuhkan komunikasi. Setiap  manusia  menginginkan  kehidupan  bersosial  yang  harmonis.
Komunikasi yang lancar dan tanpa noise gangguan menjadi harapan semua orang agar  kehidupan  terasa  nyaman,  menyenangkan  dan  bahagia.  Namun  tidak
selamanya  hal  ini  dapat  berlangsung  dengan  lancar,  terkadang  beberapa  masalah datang,  terutama  kesehatan.  Jika  kesehatan  seseorang  terganggu,  maka  akan
menyebabkan terhambatnya proses berkomunikasi. Salah  satu  penyakit  yang  dapat  menghambat  proses  berkomunikasi  adalah
stroke.  Tidak  hanya  berkomunikasi,  penyakit  ini  juga  dapat  mengganggu  aktivitas individu  itu  sendiri  karena  juga  menyerang  anggota  tubuh  lainnya.  Sehingga
individu  menjadi  terbatas  ruang  geraknya  dan  memaksa  individu  untuk menggunakan  anggota  tubuhnya  yang  masih  berfungsi  dengan  baik  untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Stroke adalah suatu gangguan peredaran darah di otak yang lazim menimpa orang-orang  yang  berusia  di  atas  40  tahun,  tetapi  ditemukan  juga  menimpa  orang-
orang  berusia  di  bawah  40  tahun  atau  bahkan  anak-anak.  Berdasarkan  data  yang berhasil  dikumpulkan  oleh  Yayasan  Stroke  Indonesia  Yastroki,  terdapat
kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia. Di  Indonesia,  stroke  merupakan  penyakit  nomor  tiga  yang  mematikan
setelah jantung dan kanker.  Selain itu  jumlah penderita Stroke di  Indonesia adalah yang  terbanyak  dan  menduduki  urutan  pertama  di  Asia.  Berdasarkan  data  di
lapangan,  angka  kejadian  stroke  meningkat  secara  dramatis  seiring  bertambahnya usia. Setiap penambahan usia 10 tahun sejak usia 35 tahun, resiko stroke meningkat
dua kali lipat. Sekitar lima persen orang berusia di atas 65 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali stroke. www.yastroki.or.id
Jumlah  yang  disebabkan  oleh  stroke  menduduki  urutan  kedua  pada  usia diatas  60  tahun  dan  urutan  kelima  pada  usia  15-59  tahun.  Stroke  merupakan
penyebab kecacatan serius menetap no.1 di seluruh dunia. Untuk itu setiap tanggal 29 Oktober diperingati sebagai hari stroke dunia. Saat ini perlu diingat bahwa 1 dari
6  orang  menderita  stroke  dan  hampir  setiap  6  detik  seseorang  meninggal  karena stroke.  Organisasi  Stroke  Dunia  mencatatat  hampir  85  orang  yang  mempunyai
faktor  resiko  dapat  terhindar  dari  stroke  apabila  menyadari  dan  mengatasi  faktor resiko tersebut sejak dini. www.yastroki.or.id
Di  Indonesia  terdapat  beberapa  rumah  sakit  rujukan  untuk  menangani penyakit stroke. Di kota Solo RSO Prof. Dr. R. Soeharso atau biasa disebut Rumah
Sakit  Ortopedi  adalah  salah  satu  rumah  sakit  rujukan  untuk  menangani  penyakit
stroke.  Di  rumah  sakit  ini  terdapat  berbagai  macam  program  dan  terapi  untuk mendukung  proses  penyembuhan  penyakit  stroke.  Diantaranya  Klinik  Neurologi
dan  Terapi  Wicara.  Selain  itu  salah  satu  yang  mendukung  proses  terapi  dan penyembuhan  tersebut  adalah  Fisiroterapis.  Fisioterapi  adalah  suatu  pelayanan
kesehatan  yang  ditujukan  untuk  individu  dan  atau  kelompok  dalam  upaya mengembangkan,  memelihara  dan  memulihkan  gerak  dan  fungsi  sepanjang  daur
kehidupan  dengan  menggunakan  modelitas  fisik,  agen  fisik,  mekanis,  gerak  dan komunikasi keputusan Menkes RI no. 778 tahun 2008.
Fisioterapis  dapat  membantu  pasien  Stroke  dalam  rangka  penyembuhan, seperti  meningkatkan  keseimbangan  berjalan,  mengurangi  spasme  ketegangan
otot,  mengurangi  resiko  jatuh,  hingga  meningkatkan  kemandirian  dan  kualitas hidup. Pada pemeriksaan awal pasien akan diajak mendiskusikan tujuan rehabilitasi
jangka panjang atau jangka pendek. Tujuan ini  kemudian akan menjadi  acuan dari program fisioterapi.
Selama  proses  penyembuhan  fisioterapis  juga  harus  bisa  memberikan motivasi  kepada  pasien.  Interaksi  antara  fisioterapis  dengan  pasien  akan
mempercepat proses penyembuhan, karena hal tersebut akan memberikan dukungan emosional  dan  motivasi  lebih  bagi  sang  pasien.  Motivasi  disini  dimaksudkan  agar
sang  pasien  dapat  hidup  mandiri  dan  produktif  kembali.  Karena  biasanya  setelah stroke,  pasien  mungkin  akan  mengalami  kesulitan  melakukan  hal-hal  yang
sebelumnya sederhana. Jika  seorang  pasien  dapat  sembuh  pasti  ada  rasa  kepuasan  dan  bahagia
dalam  dirinya  bahwa  dirinya  bisa  bangkit.  Tentunya  juga  ada  dukungan  dari
keluarga  dan  lingkungan,  serta  konsistensi  dalam  menjalankan  program  terapi. Komunikasi  yang  baik  dan  membangun  sangat  diperlukan  agar  pasien  bersedia
menceritakan  sakit  atau  keluhan  yang  dialaminya  kepada  fisioterapis.  Komunikasi yang  efektif  mampu  mempengaruhi  emosi  pasien  dan  membuat  fisioterapis  tahu
langkah  apa  yang  akan  diambil  selanjutnya.  Sehingga  dapat  mempercepat  proses kesembuhan si pasien.
Dari  latar  belakang  tersebut,  penulis  tertarik  untuk  meneliti  proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara fisioterapis dan pasien stroke sehingga
pasien termotivasi untuk sembuh. Masalah  tersebut  menurut  penulis  menarik  untuk  diteliti.  Alasannya,
seseorang  yang  biasanya  dapat  beraktivitas  normal  kemudian  tiba-tiba  tidak  dapat melakukan  aktivitas  seperti  biasanya  karena  terkena  penyakit  stroke  kemungkinan
besar mengalami rasa kurang percaya diri. Dirinya merasa tidak berharga lagi bagi keluarganya.  Karena  sebelumnya  mungkin  adalah  kepala  rumah  tangga  dan  tulang
punggung keluarganya. Sebagai  referensi  peneliti  telah  mempelajari  penelitian  terdahulu,  yang
berjudul  Proses  Komunikasi  Interpersonal  Antara  Terapis  Dengan  Anak  Autis  Di Esya  Terapi  Center  Sidoarjo  Dalam  Proses  Terapi  Wicara  oleh  Helen  Uli  Martha
Sitompul tahun 2013 dari Universitas Kristen Petra Surabaya. Tujuan peneltian ini, yakni  untuk  mengetahui  bagaimana  proses  komunikasi  interpersonal  antara  anak
autis  dengan  terapis  dalam  proses  terapi  wicara  di  Esya  Terapi  Center  Sidoarjo. Hasil  penelitian  ini  Proses  komunikasi  yang  terjadi  dalam  proses  terapi,  antara
terapis  dan  anak  autis  adalah  proses  komunikasi  interpersonal  dua  arah.  Dalam
penyampaian  pesan,  didominasi  dengan  penyampaian  pesan  non  verbal.  Dalam proses  komunikasi  interpersonal  yang  dilakukan  oleh  terapis  dan  anak  autis
memiliki hambatan yaitu hambatan semantik, fisiologis, dan juga psikologis. Dalam penelitian  ini,  peneliti  juga  menyimpulkan  mengenai  reward  and  punishment.
Reward  and  punishment  diberkan  oleh  para  terapi  sebagai  respon  untuk  apa  yang dilakukan  oleh  murid  terapinya  dan  juga  sekaligus  sebagai  etika  yang  diwajibkan
dari  tempat  terapis.  Sehingga,  jika  murid  terapinya  bisa  melakukan  sesuai  dengan yang  diinginkan  oleh  terapisnya,  maka  akan  diberikan  penghargaan  sedangkan
hukuman  diberikan  jika  murid  terapisnya  tidak  melakukan  hal  yang  sesuai  dengan apa yang terapis mau. Dan hal ini sekaligus untuk pemberian motivasi kepada murid
autis untuk terus belajar. Dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa dalam proses penyembuhan  anak  autis  terutama  dalam  berkomunikasi  dengan  orang  lain  juga
adanya  campurtangan  dari  pihak keluarga
.
Dalam  penelitian  ini  didapatkan, kurangnya  intensitas  dalam  berkomunikasi  bersama  keluarga  juga  menjadi  salah
satu  hambatan  untuk  membuat  murid  autis  bisa  berkomunikasi  dengan  orang  lain. Sehingga,  murid  autis  ini  tidak  terbiasa  untuk  berkomunikasi  dan  proses
pembelajaran menjadi terhambat. Selain penelitian di atas, penelitian kedua  yakni,  Komunikasi Antar Pribadi
Dan  Perubahan  Sikap  Narapidana  Studi  Deskriptif  Kualitatif  Mengenai Komunikasi  Antarpribadi  Petugas  Lembaga  Permasyarakatan  Dalam  Merubah
Sikap Narapidana Di Cabang RUTAN Aceh Singkil oleh Budi Prasetyo tahun 2013 dari  Universitas  Sumatera  Utara.  Tujuan  penelitian  ini,  yakni  untuk  mengetahui
proses dan peranan komunikasi antarpribadi yang dilakukan petugas dalam merubah
sikap  narapidana  di  cabang  Rutan  Aceh  Singkil.  Hasil  dari  penelitian  ini menunjukkan  bahwa  komunikasi  antarpribadi  dalam  merubah  sikap  narapidana
sangat  berpengaruh  dalam  proses  pembinaan  yang  dilakukan  oleh  petugas,  bentuk komunikasi  yang  terdapat  dalam  pembinaan  seperti  komunikasi  antapribadi  dan
komunikasi kelompok sesama petugas dan narapidana. Komunikasi menjadi sebuah kebutuhan  yang  diperlukan  oleh  para  narapidana  dalam  menjalani  masa  hukuman,
dimana sangat penting dalam bentuk komunikasi itu sendiri. Kedua penelitian terdahulu di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini,
namun pada penelitian ini subjek dan objek sangat berbeda dengan kedua penelitian terdahulu  di  atas,  sehingga  penelitian  ini  benar-benar  merupakan  penelitian  baru
dengan  judul  KOMUNIKASI  ANTARPRIBADI  ANTARA  FISIOTERAPIS DAN  PASIEN  Studi  Deskriptif  Kualitatif  Komunikasi  Antarpribadi
Fisioterapis  Untuk  Memotivasi  Pasien  Penyakit  Stroke  di  Rumah  Sakit Ortopedi Surakarta
B. Rumusan Masalah