Analisis Dampak Pembiayaan Mikro Syariah Terhadap Perkembangan UMKM di Kabupaten Bogor

1
 

ANALISIS DAMPAK PEMBIAYAAN MIKRO SYARIAH
TERHADAP PERKEMBANGAN KEUNTUNGAN UMKM DI
KABUPATEN BOGOR

RISYA MAULIDA SEPTIANA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

2
 

3
 


PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Dampak Pembiayaan
Mikro Syariah terhadap Perkembangan UMKM di Kabupaten Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013

Risya Maulida Septiana
NIM H14090079

4
 

ABSTRAK
RISYA MAULIDA SEPTIANA. Analisis Dampak Pembiayaan Mikro Syariah

terhadap Perkembangan UMKM di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Usaha mikro, kecil dan menengah memiliki kontribusi yang signifikan bagi
perekonomian Indonesia. Namun, sebagian besar UMKM memiliki kendala
modal. Terbatasnya akses terhadap lembaga keuangan formal membuat UMKM
memilih lembaga keuangan semi/informal seperti BMT. Studi ini menganalisis
akses UMKM terhadap pembiayaan mikro syariah BMT dan dampaknya terhadap
perkembangan usaha. Akses UMKM terhadap pembiayaan mikro syariah BMT
dilakukan dengan metode regresi logistik dan OLS digunakan untuk menganalisis
dampak kredit dari BMT pada perkembangan usaha. Hasil regresi logistik
menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi akses UMKM terhadap
pembiayaan mikro syariah dari BMT adalah dummy akses pinjaman perbankan
konvensional, dummy jenis kelamin, dan dummy jenis usaha 1 (perdagangan).
Banyaknya jumlah pembiayaan mikro syariah BMT berpengaruh positif terhadap
perkembangan keuntungan usaha UMKM. Keuntungan usaha meningkat sebesar
28 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
keuntungan usaha adalah lama pendidikan, jumlah pembiayaan mikro syariah
BMT, perubahan omset dan total aset.
Kata Kunci : UMKM, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, BMT, Metode Regresi
Logistik, Metode OLS


ABSTRACT
RISYA MAULIDA SEPTIANA. The Impact Analysis of The Sharia Micro
Financing for MSMEs Development in Bogor District. Supervised by
LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Micro, small and medium enterprises have significant contribution to Indonesian
economy. However, most of MSMEs have capital constraint. Limited access to
formal financial institution has forced MSMEs to choose semi/informal financial
institution such as BMT. This study analyzes the access of MSMEs to Islamic
financial institution BMT and its impact on business development. Access of
MSMEs to Islamic financial institution BMT determined by logistic regression
model while OLS is used to analyze the impact of credit from BMT to business
development. Logistic regression results indicate that factors affecting MSME
access to credit from Islamic BMT are dummy bank loans access, gender dummy,
and the dummy type one of business. Credit from BMT has positive influence on
the development of MSME business profits 28 percent per year. Factors affecting
the development of business profits are education, credit from BMT, changes in
revenue and total assets.
Keywords : MSMEs, Islamic Microfinance, BMT, Logistic Regression Method,
Ordinary Least Square (OLS)


5
 

ANALISIS DAMPAK PEMBIAYAAN MIKRO SYARIAH
TERHADAP PERKEMBANGAN UMKM DI KABUPATEN
BOGOR

RISYA MAULIDA SEPTIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

6
 

7
 

Judul Skripsi : Analisis Dampak Pembiayaan Mikro Syariah Terhadap
Perkembangan UMKM di Kabupaten Bogor
Nama
: Risya Maulida Septiana
NIM
: H14090079

Disetujui oleh

Lukytawati Anggraeni, Ph.D
Pembimbing


Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

8
 

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Dampak Pembiayaan Mikro Syariah Terhadap Perkembangan UMKM
di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian
Bogor.Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis mengenai akses
UMKM terhadap layanan keuangan (tabungan dan pinjaman) pada lembaga
keuangan, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku UMKM memiliki akses
terhadap BMT dan dampak pemberian pembiayaan oleh BMT terhadap

perkembangan usaha.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Syaefuddin Rakib
dan Ibu Pipip Rif’ah serta adik dari penulis, Nida Sabila Rafa atas segala doa dan
dukungan yang selalu diberikan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Alla Asmara selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi
Arsyianti, M.Sc selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan
saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. DIKTI yang telah memberikan bantuan dana dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam Hibah Strategis Nasional dengan Judul “Pengembangan
Model Alternatif Pembiayaan Mikro Syariah Bagi Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) Studi Kasus: Baitul Maal Wat Tamwil di Kabupaten
Bogor” yang diketuai oleh Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D.
4. Para dosen, staf dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
5. Seluruh pihak pengurus BMT Khairu Ummah, Kabupaten Bogor yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Teman-teman satu bimbingan, Amelia Rosita, Ihsan Adly, Gina Fatria, dan
Fathurrohman yang telah banyak memberikan bantuan, saran, kritik, motivasi
dan dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Sahabat penulis Sri Wulan, Aktri’s, Qisthy, Vioni, Astri, Intan, Farah, Mega,
Meiyora, Salsa, Rissa, Melli, Dewi, Almira, Anggi, Fey, Haidhar, Wal,
Fahrul.
8. Seluruh keluarga Ilmu Ekonomi 46, 47 dan 48 terima kasih atas doa dan
dukungannya. Fikanti Zuliastri, Herdiana Puspitasari, dan Chrisgerson Rudor
serta kakak Ilmu Ekonomi 45 yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2013
Risya Maulida Septiana

9
 


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

6

Ruang Lingkup Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

6

METODOLOGI PENELITIAN

20


GAMBARAN UMUM

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

24

SIMPULAN DAN SARAN

37

Simpulan

37

Saran

38

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP

59

10
 

DAFTAR TABEL
1 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Berdasarkan Unit Usaha Tahun 2010-2011 (Unit)
2 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Berdasarkan Tenaga Kerja Tahun 2010-2011
3 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Berdasarkan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2009-2010
4 Aset BMT Khairu Ummah
5 Statistik Deskriptif Karakteristik Responden
6 Lama Usaha UMKM Responden
7 Besar Modal Awal Usaha Responden
8 Penguasaan Aset Lahan dan Non Lahan Responden
9 Akses Simpanan Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan
10 Akses Pinjaman Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan
11 Alasan Mengajukan Pembiayaan pada BMT Khairu Ummah
12 Struktur Pendapatan Rumah Tangga Responden
13 Dampak Pembiayaan Syariah BMT terhadap Keuntungan Usaha
14 Dampak Pembiayaan Mikro Syariah BMT terhadap UMKM
15 Hasil Pendugaan Parameter Model Logit
16 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akses UMKM
terhadap Pembiayaan Syariah BMT
17 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Perkembangan
Keuntungan Usaha

1
1
2
23
24
26
27
27
28
29
30
32
32
33
34
35
37

DAFTAR GAMBAR
1 Triangle of Microfinance
2 Principle Diminishing Marginal Return to Capital
3 Kerangka Penelitian
4 Jenis Usaha Responden
5 Jenis Pembiayaan Responden

15
16
19
26
31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner Penelitian Responden BMT
2 Kuisioner Penelitian Responden Kontrol
3 Hasil Olahan Data Regresi Logistik
4 Hasil Olahan Data OLS

41
50
55
57

1
 

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peranan
yang penting dalam perekonomian nasional. Pertama, dapat dilihat bahwa jumlah
unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada tahun 2010 mencapai 53.8
juta unit usaha. Pada periode 2010-2011, jumlah unit usaha mikro berkembang
2.54% (Tabel 1). Sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan
penopang utama perekonomian Indonesia dilihat dari besarnya jumlah pelaku
UMKM. Pada tahun 2011, banyaknya pelaku UMKM mencapai 99% dari total 55
211 396 pelaku usaha di Indonesia (Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah, 2012).
Tabel 1 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Berdasarkan
Unit Usaha Tahun 2010-2011 (Unit)
Indikator
Tahun 2010 Tahun 2011
Perkembangan
Jumlah
Jumlah
(%)
Total UMKM
53 823 732 55 206 444
2.57
Usaha Mikro
53 207 500 54 559 969
2.54
Usaha Kecil
573 601
602 195
4.98
Usaha Menengah
42 631
44 280
3.87
Total Usaha Besar
4 838
4 952
2.35
Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2012
Kedua, potensinya yang sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja.
Banyaknya tenaga kerja pada UMKM mencapai 101.7 juta orang pada tahun
2011, maka dari itu UMKM sangat diharapkan untuk dapat terus berperan secara
optimal dalam upaya menanggulangi pengangguran yang jumlahnya cenderung
meningkat setiap tahunnya. Penyerapan tenaga kerja dari sektor UMKM ini
berarti UMKM juga memiliki peranan yang strategis dalam upaya pemerintah
selama ini untuk memerangi kemiskinan di dalam negeri. Pada periode 20102011, jumlah tenaga kerja pada UMKM secara keseluruhan meningkat sebesar
2.33% (Tabel 2).
Tabel 2 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Berdasarkan
Tenaga Kerja Tahun 2010-2011
Indikator
Tahun 2010
Tahun 2011
Perkembangan
Jumlah
Jumlah
(%)
Total UMKM
99 401 775
101 722 458
2.33
Usaha Mikro
93 014 759
94 957 797
2.09
Usaha Kecil
3 627 164
3 919 992
8.07
Usaha Menengah
2 759 852
2 844 669
3.07
Total Usaha Besar
2 839 711
2 891 224
1.81
Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2012

2
 

Ketiga, jika dilihat dari kontribusinya terhadap PDB, pada tahun 2011
UMKM memegang posisi yang terbesar yaitu sekitar 57.94% terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Secara sektoral, aktivitas UMKM ini
didominasi oleh sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel, dan restoran.
Pada periode 2010-2011 PDB yang dihasilkan oleh sektor UMKM mengalami
peningkatan sebesar 24.15%.
Tabel 3 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Berdasarkan
PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2010-2011
Indikator
Tahun 2010
Tahun 2011
Perkembangan
Jumlah
Jumlah
(%)
(Rp Miliar)
(Rp Miliar)
Total UMKM
3 466 393.3
4 303 571.5
24.15
Usaha Mikro
2 051 878.0
2 579 388.4
25.71
Usaha Kecil
597 770.2
722 012.8
20.78
Usaha Menengah
816 745.1
1 002 170.3
22.70
Total Usaha Besar
2 602 369.5
3 123 514.6
20.03
Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2012
Sektor UMKM memiliki daya tahan yang lebih kuat dalam menghadapi
krisis, dibandingkan sektor lain. Berdasarkan data Deperindag (2002),
pertumbuhan UMKM menurut unit usaha maupun jumlah tenaga kerja lebih
tinggi dibandingkan usaha besar (UB) pada periode 1998-1999 saat terjadi krisis
ekonomi. Pertumbuhan tenaga kerja UB justru negatif. Pada periode tersebut
banyak perusahaan-perusahaan besar yang gulung tikar karena krisis yang
mengakibatkan terjadinya PHK. Fenomena ini menunjukkan bahwa UMKM
memiliki fleksibilitas yang besar dalam hal bertahan dari ancaman krisis sehingga
UMKM dapat diandalkan sebagai social safety net bagi orang-orang miskin
(Purwanto, 2007).
Perkembangan usaha kecil yang meningkat dari segi kuantitas tersebut
belum diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas usaha kecil. Di balik
besarnya peran dari UMKM bagi perekonomian nasional, sektor ini masih
dihadapkan dengan beberapa kendala, yaitu kesulitan sumber bahan baku
(23.75%), belum meluasnya pemasaran (16.96%), teknik produksi (3.07%),
adanya persaingan dengan usaha sejenis (15.74%) dan kendala permodalan
(40.48%) (Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2012).
Permasalahan klasik yang dihadapi oleh usaha kecil adalah rendahnya
produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal dan eksternal yang
dihadapi usaha kecil. Masalah internal meliputi, yaitu: (1) rendahnya kualitas
sumberdaya manusia usaha kecil dalam manajemen, organisasi, penguasaan
teknologi, dan pemasaran; (2) lemahnya kewirausahaan dari para pelaku usaha
kecil; dan (3) terbatasnya akses usaha kecil terhadap permodalan, informasi
teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal
yang dihadapi oleh usaha diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim
usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Perolehan legalitas
formal hingga saat ini juga masih merupakan persoalan mendasar bagi usaha kecil
di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan
perizinan (Tambunan, 2009).

3
 

Selain itu, keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi
oleh UMKM khususnya pelaku Usaha Kecil dan Mikro terutama dari lembagalembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan pelaku UMKM
bergantung pada sumber-sumber informal. Pada Agustus 2012 hanya sebesar 17%
UMKM dari total UMKM di Indonesia yang mendapatkan pembiayaan dari
perbankan (Bank Indonesia, 2012). Hal ini dikarenakan Bank dan lembaga
keuangan melihat bahwa UMKM sangat berpotensi untuk dikembangkan, namun
ada kendala dalam menyalurkan kredit usaha. Bank bisa menyediakan modal, tapi
bank terhalang prinsip prudent penyaluran kredit. Umumnya pelaku UMKM
tidak bankable karena tidak memiliki aset legal dan memadai untuk dijaminkan ke
bank. Untuk menutupi resiko kredit macet, bank meminta bunga tinggi ke
peminjam UMKM, jauh melebihi bunga pinjaman komersial ke nasabah yang
memiliki jaminan, selain itu masih kentalnya stigma masyarakat akan sulitnya
mengakses kredit di bank. Pelaku UMKM juga menginginkan untuk mendapat
kredit dengan dengan cepat dan dengan persyaratan yang mudah. Namun sisi lain,
masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia (SDM) perbankan dalam
melakukan analisis kredit produktif atau investasi.
Ada beberapa hal yang terjadi pada bank dengan sistem konvensional dan
perekonomian Indonesia ketika krisis finansial global melanda. Pertama,
perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana liquid yang cukup
untuk kegiatan operasionalnya. Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan
untuk mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga.
Kemacetan pengembalian dana pinjaman dari pihak nasabah ke perbankan
berimplikasi pada ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana
pinjaman kepada Bank Indonesia. Sehingga pada saat nilai suku bunga melonjak
tinggi, kondisi ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter
perbankan konvensional.
Kedua, perbankan konvensional berbasis sistem ekonomi kapitalis. Dalam
sistem ekonomi yang berbasis kapitalis, prinsip dasarnya adalah interest base
yang menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan. Hal ini ternyata
memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang
adil dan produktif. Ketiga, perbankan konvensional juga cenderung kurang dalam
pengembangan sektor riil dan lebih bermain pada transaksi yang spekulatif
berdasarkan nilai suku bunga. Ketiga faktor tersebut merupakan celah yang sangat
rentan pada saat krisis. Sementara itu, perbankan yang menerapkan sistem syariah
dapat tetap eksis dan mampu bertahan di tengah-tengah krisis baik krisis moneter
1998 ataupun krisis finansial global 2008. Ketahanan bank syariah dalam
menghadapi krisis ekonomi adalah karena perbankan syariah mengharamkan
faktor-faktor terjadinya krisis ekonomi global yaitu faktor riba, perjudian di bursa
saham dan kebebasan pasar (Yulianto, 2009).
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) merupakan salah satu sumber
pembiayaan untuk mengatasi masalah permodalan UMKM karena sifatnya yang
lebih fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak
seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini
merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan
informal seperti Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) sesuai dengan
kebutuhan pelaku UMKM, yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai

4
 

skala dan sifat usaha kecil. Disamping itu bantuan kredit yang diberikan tidak
mensyaratkan adanya agunan atau jaminan anggota.
Salah satu Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) yang memberikan
pembiayaan kepada usaha mikro dan kecil adalah Baitul Maal wat Tamwil
(BMT). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip
bagi hasil (syariah). Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi: melakukan
kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan
kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya serta
menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta mengoptimalkan
distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya (Kusmuljono, 2009).
Pusat Inkubasi Usaha Kecil (PINBUK) sampai dengan akhir tahun 2010
mencatat ada sekitar 3 900 BMT yang beroperasi di Indonesia. Total aset yang
dikelola mencapai nilai Rp 5 triliun, nasabah yang dilayani sekitar 3.5 juta orang,
dan jumlah pekerja yang mengelola sekitar 20 ribu orang. Pertumbuhan
kelembagaan dan jumlah nasabah membawa perkembangan yang pesat pula
dalam kinerja keuangannya. Dana yang bisa dihimpun bertambah banyak,
pembiayaan yang bisa dilakukan meningkat, dan pada akhirnya aset tumbuh
berlipat hanya dalam beberapa tahun. Pada saat bersamaan, BMT telah
memberikan pembiayaan melebihi dana yang berhasil dihimpun, yang
dimungkinkan oleh semakin membaiknya modal sendiri maupun mulai ada
kepercayaan dari bank syariah untuk bekerjasama. Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
secara faktual berkembang menjadi salah satu lembaga keuangan mikro (LKM)
yang penting di Indonesia, baik dilihat dari kinerja keuangan maupun jumlah
masyarakat yang bisa dilayaninya. Segala kelebihan yang biasa dimiliki oleh
LKM pun menjadi karakter BMT. Salah satunya, sebagaimana banyak diketahui,
LKM lebih tahan terhadap goncangan perekonomian akibat faktor eksternal
Indonesia (PINBUK, 2012).

Perumusan Masalah
Sektor UMKM memiliki peran yang begitu besar dan menjadi sektor
andalan bagi perekonomian Indonesia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu
daerah yang mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan peran
dari sektor tersebut karena jumlah UMKM non formal di Kabupaten Bogor
sampai dengan Desember 2011 sebanyak 35 147 unit, jumlah UMKM formal
sebanyak 10 000 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 24 486 orang.
Sumber permodalan yaitu 70,69% berasal dari pinjaman dan 29.31% berasal dari
modal sendiri (Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Bogor, 2012).
Rendahnya permodalan yang dimiliki sektor UMKM dapat diatasi dengan
keberadaan Baitul Maal wat Tamwil (BMT). BMT adalah suatu gerakan swadaya
masyarakat di bidang ekonomi yang sejak awal kehadirannya fokus untuk
melayani kebutuhan keuangan dan permodalan usaha mikro dan kecil. Dimulai
sejak tahun 1992 yang merupakan respon atas kemiskinan dan pengangguran serta
kurangnya permodalan dan pendampingan terhadap para pengusaha mikro dan
kecil. BMT yang sebagian besar berbadan hukum koperasi mampu mengatasi
kendala-kendala yang dimiliki lembaga keuangan formal seperti Bank. Jumlah

5
 

BMT di provinsi Jawa Barat sebanyak 81 BMT (Kementerian Negara Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah, 2012).
BMT dinilai sangat strategis dalam memberdayakan masyarakat kecil.
Sistem kerjasama yang ditawarkan BMT bagi UMKM mampu melayani usaha
kecil dengan skala pinjaman yang ditentukan secara efisien dan menguntungkan
kedua belah pihak, baik BMT sendiri maupun peminjam. Faktor lain yang
mendorong kesesuaian BMT dalam membiayai sektor UMKM dikarenakan
hubungan BMT dengan nasabah bersifat personal. Hubungan yang dekat dengan
nasabah dibutuhkan BMT karena dalam kerjasama bagi hasil yang dijalin
mengandalkan kepercayaan. Kepercayaan tesebut hadir secara dua arah. Nasabah
membutuhkan kepercayaan yang diberikan BMT agar dapat memperoleh
pinjaman. Sebaliknya, untuk tumbuh dan berkembang, BMT membutuhkan
kepercayaan dari calon nasabah. Semestinya operasional BMT bisa lebih mandiri
baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyalurannya dengan keunggulan
yang dimiliki (Hascaryani, et al, 2011).
Terlepas dari kelebihan yang dimiliki BMT, belum tentu pelaku UMKM
memiliki akses terhadap BMT. Saat ini kalangan BMT menghadapi beberapa
persoalan bersifat internal maupun eksternal yang menghambat proses menuju
kemandirian tersebut. Secara eksternal, persoalan yang dihadapi adalah regulasi
dan sistem keuangan dimana BMT menjalankan operasionalnya. Terdapat
kerumitan peraturan yang mengikat BMT, dan kerumitan tersebut menjadi
hambatan bagi perkembangan BMT karena kurangnya pengawasan dan pelaporan.
Secara internal, beberapa kelemahan BMT adalah pelayanan yang diberikan
kepada nasabah masih belum dilakukan secara profesional, belum memiliki
perlindungan simpanan nasabah seperti yang dimiliki Bank Umum. Kelemahan
lain yang dimiliki BMT adalah unit cost yang dapat diberikan BMT kepada sektor
riil relatif lebih mahal (Hascaryani, et al, 2011).
Penelitian terdahulu yang dilakukan di Provinsi Jawa Tengah oleh Oktavi
(2009) menyimpulkan bahwa pencapaian tujuan pembiayaan usaha kecil masih
belum sepenuhnya tercapai, karena belum adanya dampak positif pembiayaan
terhadap peningkatan pendapatan usaha anggota. Hal ini disebabkan besarnya
pembiayaan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan
pendapatan. Tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap perubahan pendapatan
disebabkan oleh besarnya kebutuhan anggota yang harus dipenuhi sehingga
pembiayaan yang diberikan hanya untuk menutupi modal yang dibutuhkan tetapi
belum menyebabkan peningkatan pendapatan. Penelitian ini difokuskan di
Kabupaten Bogor.
Berdasarkan penjelasan diatas maka permasalahan yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana akses UMKM terhadap layanan keuangan (tabungan dan pinjaman)
pada lembaga keuangan?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku UMKM memiliki akses
terhadap BMT
3. Bagaimana dampak pemberian pembiayaan oleh BMT terhadap perkembangan
usaha UMKM?

6
 

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis akses UMKM terhadap layanan keuangan (tabungan dan
pinjaman) pada lembaga keuangan.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku UMKM memiliki akses
terhadap BMT.
3. Menganalisis dampak pemberian pembiayaan oleh BMT terhadap
perkembangan usaha UMKM.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya terbatas pada analisis akses rumah tangga pada
lembaga keuangan, faktor yang mempengaruhi akses pada BMT dan pengaruh
pembiayaan dari BMT tersebut. Dari analisis ini diharapkan dapat
menggambarkan seberapa besar pengaruh pembiayaan BMT terhadap UMKM
dengan indikator keuntungan usaha, dibatasi pada salah satu BMT yang
memberikan pembiayaan pada usaha mikro, kecil dan menengah khususnya
wilayah Kabupaten Bogor yaitu BMT Khairu Ummah. Pengambilan sampel
nasabah usaha kecil diperoleh dari nasabah yang menerima pembiayaan BMT
tersebut. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis kuantitatif.

TINJAUAN PUSTAKA

Kredit
Pengertian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti
kepercayaan (truth atau faith). Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan.
Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa
penerima kredit (debitur) di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala
sesuatu yang telah dijanjikan (berupa barang, uang, atau jasa) (Suyatno, et al,
1995). Menurut Kent dalam Suyatno 1995, kredit adalah hak untuk menerima
pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta,
atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan barang-barang sekarang.
Menurut UU Nomor 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan, yang
dimaksud kredit adalah penyediaan atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.
Pengertian kredit menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU
No. 7 tahun 1992 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

7
 

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Adapun menurut Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI)
mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam (debitur)
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Unsur-Unsur Kredit
Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit didasarkan atas
kepercayaan, sehingga dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian
kepercayaan. Dengan demikian unsur-unsur yang terdapat dalam kredit adalah
(Suyatno, et al, 1995):
1.
Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan
datang.
2.
Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang yaitu
uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima
pada masa yang akan datang.
3.
Degree of risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai
akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian
prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari.
Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya,
karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka
masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat
diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan
adanya unsur risiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit.
4.
Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa.
Kredit Berdasarkan Jenisnya
Kategorisasi kredit menyebabkan kredit itu memiliki beberapa posisinya
masing-masing dengan kegunaan yang berbeda-beda pula. Perbedaan-perbedaan
tersebut menyebabkan masyarakat bisa memutuskan mana kredit yang akan
dipilihnya sesuai dengan yang diperlukan pada bentuk kebutuhan yang akan
digunakannya. Adapun kategori kredit berdasarkan jenisnya yaitu (Fahmi dan
Hadi, 2010):
1)
Kredit konsumtif (consumtive credit). Kredit ini adalah kredit yang
diajukan oleh seorang debitur kepada kreditur guna memenuhi kebutuhan
pribadinya. Seperti untuk membeli sepeda motor, mobil, rumah, dan
lainnya.
2)
Kredit produktif (productive credit). Kredit ini adalah umumnya dipakai
atau diajukan oleh mereka bergerak dalam dunia usaha atau mereka yang
mempunyai bisnis dan membutuhkan dana dalam usahanya untuk

8
 

3)

berekspansi bisnis atau bertujuan untuk meningkatkan grafik hasil yang
telah diperoleh saat ini menjadi lebih tinggi. Umumnya kredit ini dibagi
dua, yaitu:
a. Kredit investasi (investment credit) adalah kredit yang saat diajukan
oleh seorang debitur ke kreditur dengan tujuan akan dipergunakan
untuk membeli barang-barang modal (capital goods).
b. Kredit modal kerja (working capital credit) adalah kredit yang saat
diajukan oleh debitur kepada kreditur dengan tujuan akan
dipergunakan dananya khusus untuk membeli bahan baku.
Kredit perdagangan (trade credit). Kredit ini pada umumnya dananya
dipergunakan untuk keperluan perdagangan. Kredit perdagangan diajukan
dengan maksud untuk membuat agar barang yang telah diproduksi tersebut
menjadi lebih berguna dan bisa dipakai oleh banyak orang bukan hanya
pada mereka yang berada di satu area tapi diharapkan barang tersebut bisa
dipakai oleh banyak orang dari tempat yang berbeda baik daerah, negara,
kawasan dan juga budaya, atau ini biasa disebut dengan utility of place
dari suatu barang. Umumnya kredit perdagangan ini dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Kredit perdagangan dalam negeri, dan
b. Kredit perdagangan luar negeri atau ini biasa disebut dengan kredit
ekspor dan impor.

Prinsip-Prinsip Perkreditan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) mensyaratkan prinsip prudential banking
berupa 5C harus dipenuhi dalam penyaluran kredit. Prinsip pemberian kredit
dengan analisis 5C adalah sebagai berikut (Kusmuljono, 2009):
1.
Character (Karakter)
Analisis Character tujuannya untuk memberikan keyakinan kepada bank
bahwa, sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benarbenar dapat dipercaya.
2.
Capital (Modal)
Analisis capital ditujukan untuk menilai ketersediaan modal dari debitur.
Bank tidak akan bersedia untuk membiayai suatu usaha 100%, artinya
setiap nasabah yang mengajukan permohonan kredit harus pula
menyediakan dana dari sumber lainnya atau modal sendiri.
3.
Capacity to repay (Kemampuan melunasi kredit)
Analisis capacity to repay ditujukan untuk melihat kemampuan calon
nasabah dalam membayar kredit yang dihubungkan dengan
kemampuannya mengelola bisnis serta kemampuannya mencari laba.
4.
Condition of economy (Kondisi ekonomi)
Analisis condition of economy ditujukan untuk menilai kondisi ekonomi
seseorang dari usaha yang akan dibiayai pada masa sekarang dan masa
yang akan datang. Dalam kondisi perekonomian yang kurang stabil serta
prospek tersebut di masa yang akan datang biasanya pemberian kredit
untuk sektor tertentu ditangguhkan.
5.
Collateral (Jaminan)
Analisis collateral ditujukan untuk menilai seberapa besar jaminan yang
dapat disediakan oleh nasabah atas kredit yang akan diberikan. Jaminan

9
 

yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Biasanya jaminan yang diminta oleh perbankan melebihi jumlah kredit
yang diberikan.
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
Pengertian BMT
Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari
dua istilah, yiatu baitulmaal dan baitul tamwil. Baitul Maal lebih mengarah pada
usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti: zakat,
infaq, dan sedekah. Adapun baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat
kecil dengan berlandaskan islam. BMT memiliki pangsa pasar tersendiri, yaitu
masyarakat kecil yang tidak terjangkau layanan perbankan serta pelaku usaha
kecil yang mengalami hambatan “psikologis” bila berhubungan dengan pihak
bank (Heykal dan Huda, 2010).
Fungsi dan Peranan BMT
Baitul Maal Wat Tamwil memiliki beberapa fungsi, yaitu (Heykal dan
Huda, 2010) :
1) Penghimpun dan pengalur dana, dengan menyimpan uang di BMT, uang
tersebut dapat ditingkatkan utilitasnya, sehingga timbul unit surplus (pihak
yang memiliki dana berlebih) dan unit defisit (pihak yang kekurangan dana).
2) Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat menciptakan alat pembayaran yang sah
yang mampu memberikan kemampuan untuk memenuhi kewajiban suatu
lembaga/perorangan.
3) Sumber pendapatan, BMT dapat menciptakan lapangan kerja dan memberi
pendapatan kepada para pegawainya.
4) Pemberi informasi, memberi informasi kepada masyarakat mengenai risiko
keuntungan dan peluang yang ada pada lembaga tersebut.
5) Sebagai satu lembaga keuangan mikro Islam yang dapat memberikan
pembiayaan bagi usaha kecil, mikro, menengah dan juga koperasi dengan
kelebihan tidak meminta jaminan yang memberatkan bagi UMKM tersebut.
Selain itu, BMT juga memiliki beberapa peranan, diantaranya adalah (Heykal dan
Huda, 2010):
1) Menjauhkan masyarakat dari praktik ekonomi yang bersifat non Islam. Aktif
melakukan sosialisasi di tengah masyarakat tentang arti penting sistem
ekonomi islami. Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai
cara-cara bertransaksi yang islami, misalnya supaya ada bukti dalam
transaksi, dilarang curang dalam menimbang barang, jujur terhadap
konsumen, dan sebagainya.
2) Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif
menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan
pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usahausaha nasabah.

10
 

3) Melepaskan ketergantungan pada rentenir, masyarakat yang masih tergantung
rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam
memenuhi dana dengan segera. Maka BMT harus mampu melayani
masyarakat lebih baik, misalnya selalu tersedia dana setiap saat, birokrasi
yang sederhana, dan lain sebagainya.
4) Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata. Fungsi
BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks dituntut harus
pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk melakukan evaluasi
dalam rangka pemetaan skala prioritas yangg harus diperhatikan, misalnya
dalam masalah pembiayaan, BMT harus memerhatikan kelayakan nasabah
dalam hal golongan nasabah dan juga jenis pembiayaan yang dilakukan.
Prinsip Dasar BMT
BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salaam, yaitu
penuh keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan. Prinsip dasar BMT adalah
(Heykal dan Huda, 2010):
1) Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu ‘amala
(memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai salaam:
keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
2) Barokah, artinya berdaya guna, berhasil guna, adanya penguatan jaringan,
transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada
masyarakat.
3) Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah).
4) Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
5) Keadilan sosial dan kesetaraan gender, non-diskriminatif.
6) Ramah lingkungan.
7) Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal, serta
keanekaragaman budaya.
8) Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan
kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.
Produk Pembiayaan Syariah
Produk pembiayaan syariah yang juga merupakan akad dari pembiayaan
syariah terdiri dari beberapa jenis yaitu (Antonio, 2001):
Produk Bagi Hasil (Profit Sharing)
1)
Al-Musyarakah
Al- musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
2)
Al-Mudharabah
Al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut

11
 

kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
3)
Al-Muzara’ah
Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemiliki lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian bagian tertentu dari hasil
panen.
4)
Al-Musaqah
Al-Musaqah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap dimana penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan. Sebagai imbalan, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil
panen.
Produk Jual Beli (Sale and Purchase)
1)
Bai’ Al-Murabahah
Bai’ Al-Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini, penjual harus memberi tahu harga
produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya.
2)
Bai’ As-Salam
Bai’ as-salam adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Bai’ as-salam biasanya dipergunakan
pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6
bulan.
3)
Bai’ Al-Istishna
Bai’ Al-Istishna adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat
barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang
menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.

Produk Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
1)
Al-Ijarah
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang itu sendiri.
2)
Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik
Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik adalah perpaduan antara kontrak jual beli dan
sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di
tangan penyewa.

12
 

Produk Jasa (Fee-Based Services)
1)
Al-Wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
Dalam hal ini, al-wakalah berarti pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada
yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
2)
Al-Kafalah
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai penjamin.
3)
Al-Hawalah
Al-hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan
pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan
muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
4)
Ar-Rahn
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
5)
Al-Qardh
Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau
diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan.
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Definisi UMKM
Di Indonesia, definisi UMKM diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam Bab I (Ketentuan
Umum), Pasal 1 dari UU tersebut, dinyatakan bahwa usaha mikro adalah usaha
produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang
memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Usaha
kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik
langsung maupun tidak langsung, dari usaha menengah atau usaha besar yang
memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.
Sedangkan usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian, sbaik langsung maupun tidak langsung, dari usaha mikro, usaha

13
 

kecil, atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha menengah sebagaimana
dimaksud dalam UU tersebut.
Kriteria UMKM
Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan UMKM seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
adalah nilai kekayaan bersih atau nilai aset tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau hasil penjualan tahunan. Dengan kriteria ini, menurut UU itu,
usaha mikro adalah unit usaha yang memiliki nilai aset paling banyak Rp 50 juta
atau dengan hasil penjualan tahunan paling besar Rp 300 juta; usaha kecil dengan
nilai aset lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak Rp 500 juta atau
memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta hingga maksimum Rp 2.5
miliar; dan usaha menengah adalah perusahaan dengan nilai kekayaan bersih lebih
dari Rp 500 juta hingga paling banyak Rp 10 miliar atau memiliki hasil penjualan
tahunan di atas Rp 2.5 miliar sampai paling tinggi Rp 50 miliar.
Selain menggunakan nilai moneter sebagai kriteria, sejumlah lembaga
pemerintah, seperti Departemen Perindustrian dan Badan Pusat Statistik (BPS),
selama ini juga menggunakan jumlah pekerja sebagai ukuran untuk membedakan
skala usaha antara usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar.
Misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), usaha mikro (atau di sektor
industri manufaktur umum disebut industri rumah tangga) adalah unit usaha
dengan jumlah pekerja tetap hingga 4 orang; usaha kecil antara 5 hingga 19
pekerja; dan usaha menengah dari 20 sampai dengan 99 orang. Perusahaanperusahaan dengan jumlah pekerja diatas 99 orang masuk dalam kategori usaha
besar (Tambunan, 2009).
Karakteristik UMKM
Diakui secara luas bahwa di Negara Sedang Berkembang (NSB), UMKM
sangat penting karena karakteristik-karakteristik utama mereka yang berbeda
dengan Usaha Besar (UB), yakni sebagai berikut (Tambunan, 2009):
1. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah UB), terutama
dari kategori usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK).
2. Karena sangat padat karya, berarti mempunyai suatu potensi pertumbuhan
kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat
dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-kebijakan
nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan meciptakan
pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin.
3. Tidak hanya mayoritas dari UMKM, terutama UMI, di NSB berlokasi di
pedesaan, kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha ini juga pada
umumnya berbasis pertanian.
4. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” (jika
dibandingkan dengan teknologi-teknologi canggih yang umum dipakai
oleh perusahaan-perusahaan modern/UB) terhadap proporsi-proporsi dari
faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada di NSB, yakni sumber
daya alam (SDA) dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang berlimpah,
tetapi modal serta sumber daya manusia (SDM) atau tenaga kerja
berpendidikan tinggi yang sangat terbatas.

14
 

5. Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan
pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun
1997/98.
6. Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan
mereka mau mengambil risiko dengan melakukan investasi. Terbukti
bahwa pada umumnya pengusaha-pengusaha UMKM membiayai sebagian
besar dari bisnis mereka dengan tabungan pribadi ditambah dengan
bantuan atau pinjaman.
7. Pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana
dengan harga relatif murah.
8. Banyak UMKM yang mampu meningkatkan produktivitasnya lewat
investasi dan perubahan teknologi, walaupun negara berbeda mungkin
punya pengalaman berbeda dalam hal ini, tergantung pada banyak faktor.
9. Tingkat fleksibilitasnya tinggi, relatif terhadap pesaingnya (UB).
Landasan Teori
The Triangle of Microfinance
Agar bisa bersaing, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dituntut untuk
beroperasi seefisien mungkin. Untuk itu, diperlukan suatu lembaga yang sehat,
kuat, dan terpercaya dimana lembaga perlu meningkatkan kinerja perusahaannya.
Zeller dan Meyer (2002) mengklasifikasikan indikator kinerja LKM dalam tiga
kategori, yaitu kesinambungan keuangan (Financial Sustainability),
keterjangkauan BMT (Outreach), dan dampak keberadaan BMT dalam sebuah
lingkungan (Impact) yang kemudian disebut sebagai segitiga keuangan mikro
(The Triangle of Microfinance). Lembaga keuangan mikro dalam memperluas
outreach-nya terhadap UMKM, ditentukan oleh kemampuan lembaga tersebut
dalam menjaga financial sustainability. Sehingga lembaga keuangan tersebut
mempunyai positive multiplier effect terhadap perkembangan perekonomian mulai
dari sekitar lingkungan lembaga keuangan tersebut hingga lingkungan nasional.
Ketiga macam indikator ini saling berkaitan satu sama lain sehingga untuk dapat
mengatakan “perform”, LKM harus dapat memenuhi ketiga indikator tersebut.
Pada kenyataannya, untuk mencapai ketiga indikator itu secara bersamaan
bukanlah hal yang mudah. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kinerja BMT
diantaranya kondisi makroekonomi yang tidak stabil. Untuk menjadikan suatu
LKM dalam hal ini BMT yang mampu mencapai ketiga indikator kinerja,
diperlukan BMT yang efisien dalam menjalankan operasinya. Artinya, agar secara
financial BMT dapat “sustainable” diperlukan suatu sistem operasional yang
efisien sehingga diperoleh keuntungan untuk menjaga kelangsungan operasional
BMT. Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada
dasarnya dapat digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal.
Permasalahan yang bersifat internal meliputi keterbatasan sumberdaya manusia,
manajemen yang belum efektif sehingga kurang efisien serta keterbatasan modal.
Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan monitoring yang
belum efektif, pengalaman yang lemah serta infrastruktur yang kurang
mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM
terhadap usaha mikro masih belum mampu menjangkau secara luas, sehingga

15
 

pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya dalam membantu
investasi bagi usaha mikro dan kecil.

Impact

Institutional
innovations

Financial
Sustainability

Outreach to the
poor

Sumber: Zeller dan Meyer, 2002
Gambar 1Triangle of Microfinance
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM agar LKM dapat
menjangkau secara luas, menjaga kesinambungan keuangan dan memberikan
dampak positif adalah dengan cara memperkuat permodalan dan manajemen
lembaga keuangan masyarakat, penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan
UMKM dengan lembaga keuangan, penggalangan partisipasi berbagai pihak
dalam pembiayaan UMKM, optimalisasi pendayagunaan potensi pembiayaan
UMKM di daerah, peningkatan capacity building LKM, pelatihan bagi pengelola
LKM untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM, serta adanya lembaga
penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM (Soetrisno,
2012).
Prinsip Pengurangan Margin Laba dari Modal (Principle of Diminishing
Marginal Returns to Capital)
Pembiayaan mikro merupakan hal yang penting dalam perkembangan
UMKM khususnya dalam meningkatkan jumlah produksi. UMKM merupakan
jenis skala usaha dengan karakteristik modal yang relatif kecil, sehingga dengan
adanya penambahan modal dari pembiayaan mikro akan menyebabkan
peningkatan output dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan jumlah
penambahan modalnya. Penambahan modal sebesar ΔC dari pembiayaan mikro
akan meningkatkan jumlah output sebesar ΔQ. Dalam istilah ekonomi hal ini
disebut increasing return to scale.
Prinsip peningkatan jumlah output yang besar dengan adanya penambahan
modal yang sedikit diperoleh dari kurva fungsi produksi, seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 2. Selain itu dalam ekonomi terdapat prinsip
pengurangan margin laba dari modal (diminishing marginal return of capital)

16
 

yaitu perusahaan dengan modal relatif kecil yakni UMKM seharusnya
memperoleh laba yang lebih tinggi pada investasi modal mereka daripada
perusahaan dengan modal besar. Prinsip pengurangan margin laba dari modal
yaitu perusahaan dengan modal relatif kecil seharusnya memperoleh laba yang
lebih tinggi pada investasi mereka daripada perusahaan dengan modal yang besar.
Ketika perusahaan menginvestasikan lebih banyak modal, maka setiap unit
tambahan modal akan menghasilkan tambahan laba yang terus berkurang. UMKM
memiliki margin laba yang lebih besar (MRi) daripada usaha skala besar (MRt).
Output (Q)
ΔQricher
ΔCricher MRt
ΔQpoorer
MRi
ΔCpoorer
Capital (C)
MRi : Marginal Return for poorer entrepreneur
MRt : Marginal Return for richer entrepreneur
Sumber: Aghion dan Morduch, 2005
Gambar 2 Principle of Diminishing Marginal Returns to Capital
Marginal returns to capital with a concave production function. The poorer
entrepreneur has a greater return on his next unit of capital and is willing to pay
higher interest rates than the richer entrepreneur.

Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2012) dengan judul Akses
UMKM Terhadap Pembiayaan Mikro Syariah dan Danpaknya Terhadap
Perkembangan Keuntungan Usaha (Kasus: BMT Tadbiirul Ummah, Kabupaten
Bogor). Metode yang digunakan adalah metode regresi logistik dan Weighted
Least Square (WLS). Hasil kesimpulannya menunjukkan bahwa akses rumah
tangga responden kontrol pada lembaga keuangan memiliki nilai rata-rata
simpanan dan pinjaman lebih besar pada lembaga keuangan formal (bank).
Variabel dummy jenis usaha, umur, omset usaha dan simpanan BMT merupakan
faktor yang mempengaruhi akses BMT. Pembiayaan syariah meningkatkan
keuntungan usaha pelaku usaha sebesar 6.21%. Faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai perkembangan keuntungan UMKM adalah lama pendidikan, dummy jenis
usaha 1 (perdagangan), lama usaha, total tenaga kerja, total aset, besarnya
pembiayaan mikro syariah BMT dan besarnya kredit konvensional.

17
 

Ananda (2011) mengenai analisis perkembangan usaha mikro dan kecil
setelah memp