BAB III DIMENSI PELANGGARAN HAM BERDASARKAN KONVENSI
JENEWA 1949
3.1 Bentuk-Bentuk Pelanggaran Ham Berdasarkan Konvensi Jenewa
1949
Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat
grave breaches dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang war crime. Pelanggaran berat antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika
dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut: 1.
Pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi.
2. Dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap
jasmani atau kesehatan. 3.
Memaksa orang untuk berdinas di angkatan bersenjata sebuah negara yang bermusuhan.
4. Dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil right to a fair trial
dari seseorang. Pasal 50 Bab Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Konvensi Jenewa Pertama
Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa:
1. Penyanderaan
2. Penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat
dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.
Universitas Sumatera Utara
3. Deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum. Pasal 3
Bab I Ketentuan Umum Konvensi Jenewa Pertama Dan ringkasan Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap
Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54 adalah ketentuan-ketentuan terhadap kewajiban-kewajiban Pihak Peserta Agung dalam menerapkan ketentuan
terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran dalam hal mencari orang yang disangka telah melakukan atau memerintah untuk melakukan pelanggaran-
pelanggaran berat, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsaannya, dan bagaimana Pihak Peserta Agung dalam
mengambil tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Dan dalam hal penyalahgunaan pula pemakaian lambang atau sebutan tiruan oleh Pihak Peserta
Agung itu dilarang dan harus dipertanggungjawabkan. Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus
memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari
orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut,
apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas
pelanggaran berat Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54. Untuk tujuan itulah maka
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda International Criminal Tribunal for Rwanda dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia
International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia dibentuk
Universitas Sumatera Utara
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
Selama berlangsungnya konflik, hukuman atas pelanggaran Hukum Perang bisa berupa dilakukannya pelanggaran tertentu atas Hukum Perang dengan
sengaja dan secara terbatas sebagai pembalasan reprisal. Prajurit yang melanggar ketentuan tertentu dari Hukum Perang kehilangan perlindungan dan
status sebagai tawanan perang tetapi hanya setelah menghadapi “mahkamah yang berkompeten” Konvensi Jenewa III Pasal 5. Pada saat itu, prajurit yang
bersangkutan menjadi kombatan yang tidak sah tetapi dia tetap harus “diperlakukan secara manusiawi dan, bilamana kasusnya adalah kasus pengadilan,
haknya atas pengadilan yang adil dan reguler tidak boleh dicabut”, karena prajurit yang bersangkutan masih dicakup oleh Konvensi Jenewa III Pasal 5.
Spion mata-mata dan teroris dilindungi oleh Hukum Perang hanya jika negara yang menahan mereka berada dalam keadaan konflik bersenjata atau
perang dan sampai mereka didapati sebagai kombatan yang tidak sah. Tergantung pada keadaan yang ada, mereka bisa dihadapkan pada pengadilan sipil atau
mahkamah militer atas perbuatan mereka dan, pada praktiknya, mereka telah dikenai penyiksaan danatau eksekusi. Hukum Perang tidak menyetujui dan tidak
pula mengutuk perbuatan spion atau teroris karena perbuatan semacam itu berada di luar lingkup Hukum Perang. Negara yang telah menandatangani Konvensi PBB
Menentang Penyiksaan UN Convention Against Torture mempunyai komitmen untuk tidak menggunakan penyiksaan terhadap siapapun dengan alasan apapun.
Setelah konflik berakhir, orang yang telah melakukan pelanggaran apapun atas Hukum Perang, terutama kekejaman, boleh dimintai pertanggungjawaban
individual atas kejahatan perang melalui proses hukum.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan-ketentuan yang termuat baik dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol I hanya memberikan kerangka hukum yang umum saja,
selanjutnya bagi negara penandatangan harus melengkapi ketentuan tersebut di tingkat nasional. Pelanggaran yang dinyatakan berat, terdaftar dalam Konvensi-
Konvensi Jenewa akan tetapi daftar dari semua tindakan lainnya yang bertentangan dengan hukum tersebut tidak disusun. Namun demikian belum tentu
suatu perbuatan yang melanggar hukum dan yang tidak terdaftar sebagai pelanggaran berat akan dilihat sebagai pelanggaran ringan, dalam hal ini perlu
mempertimbangkan pula ketentuan hukum Konvensi lainnya serta peraturan adat internasional.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat berdasarkan Konvensi Jenewa I, II, III dan IV antara lain Pembunuhan yang
disengaja, Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, Perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka
berat atas badan atau kesehatan. Dalam Konvensi Jenewa I, II dan III menyatakan bahwa pengrusakkan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak
dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang akan dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dengan sewenang-wenang.
Dalam Konvensi Jenewa III dan IV disebutkan bahwa : 1.
Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh.
2. Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang
dilindungi oleh konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam Konvensi.
Universitas Sumatera Utara
Khusus dalam Konvensi Jenewa IV : 1.
Deportasi dan pemindahan secara tidak sah. 2.
Penahanan yang tidak sah. 3.
Penyanderaan. Dalam Protokol Tambahan I :
1. Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas fisik
maupun mental. 2.
Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :
a. Serangan terhadap masyarakat sipil.
b. Serangan membabi buta yang merugikan masyarakat sipil obyek sipil.
c. Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang
berbahaya. d.
Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak dipertahankan dan daerah di luar operasi militer.
e. Serangan terhadap orang yg tidak lagi ikut dalam pertempuran.
f. Penyalahgunaan tanda pelindung.
4. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang menduduki
ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki.
b. Keterlambatan dlm repatriasi tawanan perang atau orang sipil.
c. Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi
berdasarkan atas perbedaan ras. d.
Serangan thd monumen sejarah, benda budaya dan tempat ibadah.
Universitas Sumatera Utara
e. Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa
untuk menerima pengadilan yang wajar. 5.
Pelanggaran juga dapat berupa tidak dipenuhinya kewajiban yang diberikan oleh Hukum Jenewa. Sedangkan pelanggaran yang dikategorikan tidak berat
adalah setiap pelanggaran yang tidak dinyatakan sebagai pelanggaran berat namun yang disebabkan karena tidak dipenuhinya kewajiban untuk bertindak
sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional. Tanggung jawab pidana. Tanggung jawab pidana merupakan persyaratan
yang harus dipenuhi agar pelanggar dapat dihukum sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukan, masalah tanggung jawab pidana ini diatur dalam dua sistem
hukum, masing-masing hukum internasional dan hukum nasional. Pasal 49 Konvensi Jenewa I serta pasal yang sama pada Konvensi Jenewa lainnya,
menegaskan bahwa : Pihak peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang
melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini seperti ditentukan di dalam pasal berikut. Disamping itu
pasal 86 ayat 2 Protokol Tambahan I menegaskan bahwa Pelaksanaan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa atau Protokol Tambahannya oleh seorang
bawahan tidak dapat mengecualikan tanggung jawab pidana maupun disipliner atasannya, apabila keadaan itu atasan tersebut mengetahui atau dapat mengetahui
bahwa bawahannya akan atau sedang melakukan pelanggaran dan atasan tersebut tidak berusaha untuk mengambil segala tindakan yang mungkin agar mencegah
atau menghentikan pelanggaran itu
Universitas Sumatera Utara
3.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan