Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

(1)

TINJAUAN KONVENSI JENEWA 1949 ATAS DUGAAN

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK

BERSENJATA NON INTERNASIONAL

DI SURIAH

SKRIPSI

OLEH :

RAMADHAN SYAHPUTRA SIREGAR 100200014

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN KONVENSI JENEWA 1949 ATAS DUGAAN

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK

BERSENJATA NON INTERNASIONAL

DI SURIAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

RAMADHAN SYAHPUTRA SIREGAR 100200014

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP. 196403301993031002 Arif, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Prof. Sulaiman, SH

NIP. 194712281979031001 NIP. 199508081980031004 Makdin Munthe, SH, M.Hum


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya selama Penulis menuntut ilmu dan menyelesaikan tugas akhir (Skripsi) ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun yang Penulis pilih sebagai judul Skripsi adalah “Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan berbagai keterbatasan Penulis, baik keterbatasan pengetahuan, pengalaman Penulis dalam menulis karya ilmiah, maupun segi ketersediaan literatur. Oleh karena itu, Penulis dengan besar hati mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.

Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak H. Yuspan Siregar. SE dan Mamak Hj. Naimah Panjaitan yang telah memberikan doa, motivasi, saran, dan dukungan baik secara moril maupun materil. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik Penulis.

4. Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, SH, MH, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Sulaiman, SH selaku Dosen Pembimbing I, terimakasih atas segala dukungan, bimbingan, dan nasihat yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Makdin Munthe, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, terimakasih atas nasihat, motivasi, dan bimbingan penuh suka cita dan kesabaran, serta bantuan yang sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan.

9. Seluruh civitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Kakak, Abang dan adik Penulis, Irma Lestari Siregar AMkeb, SKM, dr. Ady Chandra Satria Putra NST, drh. Indah Kesuma Siregar, M.Si, Hardi Gading


(5)

Pangondian Harahap, SE , Intan Maysuri Siregar, AMAK, Ahmad Syafrizal Sipahutar, SH dan Indra Kurniawan Siregar yang selalu memberikan doa dan semangat bagi Penulis.

11.Debie Qamara, gadis yang selalu setia menemani Penulis dalam suka duka, terimakasih atas segala dukungan, bantuan, semangat, dan doa yang telah diberikan kepada Penulis.

12.Sahabat Penulis, Abangnda Deny Ruslan Pohan, Muhammad Fajrin Saragih, Akbar Raharja Purba, Dani Hardiansyah Siregar, Sayid Ammar Al Habsyi, Sari Maysarah Damanik, terimakasih atas segala dukungan, motivasi, bantuan, doa yang telah diberikan kepada Penulis serta selalu setia menemani Penulis dalam suka maupun duka.

13.Reborn Auto Club, terimakasih atas segala dukungan, motivasi, bantuan, doa yang telah diberikan kepada Penulis

14.Seluruh teman-teman ILSA ‘Kalian Luar Biasa’, terimakasih atas semua memori selama Penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional.

15.Semua pihak yang telah membantu Penulis baik secara moril maupun materil yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Demikian yang dapat Penulis sampaikan, semoga kita semua selalu diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Maret 2014 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Keaslian Penelitian ... 8

1.6 Tinjauan Kepustakaan ... 8

1.7 Metode Penelitian ... 18

1.8 Sistematika Penulisan ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN ... 22

2.1 Pengertian HAM ... 22

2.2 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ... 29

2.3 Sejarah singkat Konvensi Jenewa 1949 dan Hubungannya terhadap Konflik Bersenjata non Internasional ... 41

BAB III DIMENSI PELANGGARAN HAM BERDASARKAN KONVENSI JENEWA 1949 ... 50

3.1 Bentuk-bentuk pelanggaran HAM Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 ... 50

3.2 Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan .... 56

3.3 Perjalanan Konflik dan Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pelanggaran HAM terhadap Anak dan Perempuan dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah ... 64

BAB IV UPAYA HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI SURIAH ... 72

4.1 Upaya-Upaya yang telah Dilakukan dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata non Internasional di Suriah ... 72

4.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak dan Perempuan di Suriah ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949 ... 81

4.3 Perbuatan-Perbuatan Dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan Di Suriah Yang Dapat Dibawa Ke Pengadilan Ham Internasional ... 86


(7)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

5.1 Kesimpulan ... 92 5.2 Saran ... 93


(8)

ABSTRAK

Ramadhan Syahputra Siregar

Situasi keamanan Suriah yang semakin memburuk akibat konflik bersenjata non internasional telah menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan pada masyarakat sipil yang diduga terjadinya pelanggaran HAM dan Konvensi Jenewa 1949. Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimana tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan? Bagaimana dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Konvensi Jenewa 1949? Bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah?

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah kajian kepustakaan tentang ilmu hukum empiris. Materi penelitian diambil dari data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara yuridis empiris.

Konflik di Suriah telah terjadi Pelanggaran HAM berat (Gross Violation of Human Rights) yang dalam hal ini adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ICC. Selain melanggar hal tersebut para pelaku juga dengan sengaja melanggar pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang telah dilanggar selama konflik bersenjata berlangsung. Para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik Suriah, wajib diadili berdasarkan ketentuan hukum internasional oleh ICC.

Serangkaian tindakan pasukan keamanan dan intelijen dalam konflik Suriah dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan bersifat sistematis dan meluas, baik dari segi korban dan tempatnya maka PBB harus melakukan pemantauan secara intensif di Suriah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Human Right Watch dan Amnesty Internasional.

Kata Kunci: Konvensi Jenewa 1949, Kejahatan Kemanusiaan, Konflik Bersenjata Non Internasional, Suriah


(9)

ABSTRAK

Ramadhan Syahputra Siregar

Situasi keamanan Suriah yang semakin memburuk akibat konflik bersenjata non internasional telah menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan pada masyarakat sipil yang diduga terjadinya pelanggaran HAM dan Konvensi Jenewa 1949. Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimana tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan? Bagaimana dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Konvensi Jenewa 1949? Bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah?

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah kajian kepustakaan tentang ilmu hukum empiris. Materi penelitian diambil dari data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara yuridis empiris.

Konflik di Suriah telah terjadi Pelanggaran HAM berat (Gross Violation of Human Rights) yang dalam hal ini adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ICC. Selain melanggar hal tersebut para pelaku juga dengan sengaja melanggar pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang telah dilanggar selama konflik bersenjata berlangsung. Para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik Suriah, wajib diadili berdasarkan ketentuan hukum internasional oleh ICC.

Serangkaian tindakan pasukan keamanan dan intelijen dalam konflik Suriah dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan bersifat sistematis dan meluas, baik dari segi korban dan tempatnya maka PBB harus melakukan pemantauan secara intensif di Suriah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Human Right Watch dan Amnesty Internasional.

Kata Kunci: Konvensi Jenewa 1949, Kejahatan Kemanusiaan, Konflik Bersenjata Non Internasional, Suriah


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam hukum internasional, sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (gross violation of human rights) apabila: 1) Negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak asasi warganya. Atau, 2) Negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindakan kejahatan internasional (international crime) atau kejahatan serius (serious crime) berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan genosida (crimes of genocide), kejahatan perang (crimes of war) dan atau kejahatan agresi (agression). Berdasarkan 2 poin di atas maka secara teoritis dapat disimpulkan bahwa setiap subyek hukum yang berkewajiban untuk menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia, berpotensi pula untuk melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Peristiwa pelanggaran HAM dapat terjadi di mana saja di muka bumi ini, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Hal itu dilakukan oleh negara melalui aparat-aparatnya, oleh individu ataupun kolaborasi antara keduanya. Sejarah telah mencatat tentang pelanggaran HAM oleh negara, dimana kebanyakan pelanggaran HAM justru dilakukan oleh negara, baik secara langsung melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatnya terhadap warga negaranya sendiri maupun warga negara lain, dan juga secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan baik di tingkatan nasional maupun


(11)

internasional yang berdampak pada tidak dipenuhinya hak-hak asasi warga negaranya sendiri atau hak-hak asasi warga negara lain.

Sebagai contoh empiris dari teori di atas yang terjadi dewasa ini adalah konflik di Negara Suriah, yang kemudian penulis pilih sebagai judul untuk penulisan skripsi ini. Adapun posisi kasusnya secara garis besar adalah sebagai berikut:

Kerusuhan di Suriah dimulai di Kota Selatan Deraa pada bulan Maret 2011 ketika penduduk lokal berkumpul untuk menyerukan tuntutan pembebasan 14 mahasiswa yang ditangkap dan dilaporkan disiksa oleh pasukan keamanan Suriah setelah menulis di dinding, slogan terkenal dari pemberontakan rakyat di Tunisia dan Mesir: "Orang-orang ingin kejatuhan rezim”. Para demonstran juga menyerukan demokrasi dan kebebasan yang lebih besar.

Aksi ini awalnya berjalan damai walau pun diikuti oleh begitu banyak demonstran dan berkeliling kota setelah sholat Jum’at. Aksi ini diadakan pada tanggal 18 Maret, namun justru disambut oleh pasukan keamanan dengan melepaskan tembakan yang menewaskan 4 (empat) orang. Hari berikutnya, mereka menembaki pelayat di pemakaman korban. Dalam hitungan hari, kerusuhan di Deraa telah berputar di luar kendali pemerintah setempat. Pada akhir Maret, tentara dengan kendaraan lapis baja di bawah komando Maher al Assad diturunkan ke kerumunan para pengunjuk rasa. Puluhan orang tewas, ketika tank menembaki kawasan pemukiman dan pasukan menyerbu rumah serta menangkap warga yang dianggap demonstran. Rangkaian tindakan represif aparat justru itu gagal menghentikan kerusuhan di Deraa, namun justru memicu protes


(12)

anti-pemerintah di kota-kota lain di Suriah, di antaranya Baniyas, Homs, Hama dan pinggiran kota Damaskus. Tentara kemudian mengepung mereka yang dianggap sebagai penyebab kerusuhan. Pada pertengahan Mei, jumlah korban tewas telah mencapai 1.000 orang.

Pergolakan politik di Suriah telah berlangsung lebih dari satu tahun serta menimbulkan berbagai macam konflik dan perang saudara diantara sesama warga Suriah, dan diantara pihak oposisi Suriah dengan pihak militer dan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Bashar Al-Assad. Serangkaian tindakan kekerasan fisik maupun mental juga terjadi di Suriah dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini, mulai dari pembunuhan, pengeboman, penculikan, penembakan, pemerkosaan, penyiksaan dan lain sebagainya. Namun di tengah-tengah situasi sosial-politik yang terus memburuk di Suriah, Presiden Bashar Al-Assad ternyata masih dapat mempertahankan rezim kekuasaannya karena dukungan dari pihak militer dan aparat birokrasi pemerintah yang masih loyal dan cukup kuat.

Selama terjadi pergolakan politik, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 29.000 warga Suriah tewas dalam tahun terakhir. Ini belum termasuk korban tewas dari tentara maupun polisi pemerintah. Bahkan warga Suriah yang tidak tahan melihat negerinya terkoyak dan menginginkan kehidupan yang lebih baik justru memilih kabur ke luar negeri seperti Lebanon dan Turki. Mereka memilih meninggalkan tanah air mereka, sementara warga yang bertahan harus beradaptasi dengan teror, desing peluru, darah, ledakan bom, penculikan, pembunuhan dan kekejian lainnya.


(13)

Situasi keamanan Suriah yang semakin memburuk dan telah menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan itu kemudian disoroti oleh dunia internasional, bahkan oleh Negara-negara yang selama ini dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Suriah seperti Russia, China, dan Iran juga mulai menekan pemerintah Suriah untuk tidak bertindak represif dan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga negaranya sendiri. Di lain pihak, dunia internasional juga terus berikhtiar untuk mengupayakan perdamaian atau meminimalisir gencatan senjata diantara faksi-faksi yang berkonflik di Suriah, dan antara pihak oposisi dengan pihak pemerintah yang dilindungi oleh militer. Mantan Sekretaris Jenderal PBB yang kini bertugas sebagai Utusan Khusus PBB untuk Liga Arab, Kofi Annan, Senin tiba di Doha, Qatar, untuk bertemu dengan Emir Qatar, Sheikh Hamed bin Khalifa al-Thani, dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Qatar, Sheikh Hamd bin Jasim al-Thani. Dalam pertemuan tersebut, Kofi Annan menjelaskan bahwa pembicaraannya dengan Presiden Assad terfokus pada penghentian aksi kekerasan, perizinan untuk akses bantuan kemanusiaan, dan membuka dialog politik. Namun ia juga mengakui bahwa misinya belum meraih kemajuan untuk mengakhiri krisis Suriah dalam dua kali pertemuan dengan Presiden Assad di Damaskus.

Upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan fisik yang terjadi di Suriah oleh pihak-pihak internasional, khususnya PBB dan Liga Arab, tampaknya masih menghadapi jalan terjal dan panjang akibat belum dicapainya kesepakatan damai atau gencatan senjata antara pihak pemerintah yang didukung militer dengan faksi-faksi oposisi bersenjata Suriah. Apalagi diduga kuat bahwa terdapat


(14)

kelompok-kelompok teroris, ekstrimis, dan radikal yang ikut mengambil peran dalam kerusuhan dan bentrokan di Suriah dalam kurun waktu setahun ini. Namun upaya-upaya Liga Arab (khususnya Qatar) dan PBB (Kofi Annan) untuk secara serius berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik di Suriah patut didukung dan disukseskan oleh semua pihak.

Rezim Suriah selalu menegaskan bahwa mereka tidak menghadapi kubu oposisi, tetapi sekelompok teroris yang sedang membuat kacau negara. Rezim ini juga curiga bahwa aksi protes di Suriah didalangi oleh pihak Barat. Sedangkan Dewan Nasional Suriah (Suriah National Council/SNC) telah meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk segera menggelar sidang dengan tujuan membahas pembantaian yang menewaskan 60 orang di kota Homs oleh pasukan Pemerintah Suriah. Bentrok senjata juga terjadi antara pasukan pemerintah dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA) pasukan oposisi, juga mulai menjalar ke Damaskus. lalu berjumlah 80 orang yang sebagian besar berada di kota Idlib, 60 jenazah yang sebagian terdiri dari perempuan dan anak-anak juga ditemukan di Distrik Al-Adawiyah di kota Homs. Perbedaan pendapat yang sangat tajam antara rezim Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar al-Assad dengan pihak oposisi yang tergabung dalam Dewan Nasional Suriah/SNC telah menyebabkan terjadinya pertumpahan darah dan tragedi kemanusiaan paling menyedihkan dalam sejarah Suriah sepanjang abad ke 21 ini. Tuntutan mundur dari pihak oposisi kepada Presiden Assad pun hingga saat ini masih belum dapat dipenuhi akibat masih kuatnya dukungan pihak militer dan birokrasi terhadap rezim Assad. Dengan dalih menumpas kelompok teroris, pihak militer pun bertindak represif dan keras terhadap faksi-faksi oposisi Suriah. Sementara pertempuran terus berlangsung


(15)

antara pihak pemerintah dan kubu oposisi, rakyat Suriah yang tidak berdosa dan tidak mengerti persoalan justru banyak yang menjadi korban, baik yang mengungsi ke luar negeri maupun yang tewas akibat perang tersebut.

Pelanggaran HAM merupakan setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang, termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang menjamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Nilai-nilai yang ada dalam Deklarasi HAM juga terdapat dalam Konvensi Jenewa 1949. Bahwa siapapun, bahkan jika seorang musuh yang tertawan, tetap harus diperlakukan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak individu sebagai pihak yang dilindungi. Dugaan kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata non internasional di Suriah merupakan bentuk penentangan terhadap Konvensi Jenewa 1949.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji kejahatan kemanusiaan perang saudara dalam konflik bersenjata non internasional di Suriah ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dengan membuat penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul: “Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah.”


(16)

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan?

2. Bagaimana dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Konvensi Jenewa 1949?

3. Bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut::

1. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan.

2. Untuk mengetahui dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Konvensi Jenewa 1949.

3. Untuk mengetahui upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah.

1.4. Manfaat Penelitian:

1. Mengetahui tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM berat dalam konflik di Suriah dari perspektif Konvensi Jenewa.

2. Mengetahui mekanisme hukum yang berlaku terhadap para Pelaku Pelanggaran HAM dalam konflik Suriah.


(17)

1.4. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis, baik dari internet maupun kepustakaan dapat diketahui bahwa belum ada penelitian mengenai kajian yang sedang penulis kaji, oleh sebab itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan bukan plagiat sehingga apabila di kemudian hari diketemukan judul yang sama maka itu akan menjadi tanggungjawab penuh penulis.

1.5. Tinjauan Kepustakaan

Hak Asasi Manusia (HAM) berkaitan dengan konsep dasar tentang manusia dan hak. Konsep tentang manusia, dalam Bahasa Inggris disebut human being. Pada umumnya ketika kita mendengar kata manusia, maka secara otomatis kita berpikir tentang sosok makhluk yang memiliki cita rasa, akal budi, naluri, emosi, dan seterusnya. Wujud konkret ini adalah orang.1

HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. HAM dapat dirumuskan sebagai hak yang ada dan melekat pada diri manusia yang apabila hak tersebut tidak ada, maka mustahillah seseorang itu hidup sebagai manusia. Meskipun HAM sudah diakui secara universal, akan tetapi hal ideal tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas HAM dalam segala bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat, masih saja dilakukan di dunia ini. Meskipun secara kuantitatif peristiwa pelanggaran-pelanggaran itu hanya sebagian kecil saja

1

Hamid Awaludin, HAM , Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012, hlm. 60


(18)

dibandingkan peristiwa penghormatan dan perlindungan HAM, artinya masih banyak yang menghormati daripada melakukan pelanggaran terhadap HAM.2

1. Adanya abuse of power dalam kerangka asosiasi dengan pemerintah; Secara etimologis, istilah pelanggaran hak asasi manusia, merupakan terjemahan dari gross violations of human rights yang pada dasarnya merupakan tindak pidana sebagaimana tindak pidana pada umumnya yang bersifat melawan hukum (unlawful) dan sama sekali tidak ada alasan pembenarnya. Palanggaran hak asasi manusia yang berat terdapat beberapa unsur, yaitu:

2. Kejahatan tersebut dianggap merendahkan martabat manusia dan pelanggaran asas-asas kemanusiaan yang mendasar;

3. Perbuatan tersebut dikutuk secara internasional; 4. Dilakukan secara sistematis dan meluas.3

Menurut Sumaryo Suryokusumo4

1) Maksud dan Rencana, yakni kejahatan mengenai HAM berat mengandung arti adanya maksud dan rencana dari pihak yang berwenang. Berhubung ada suatu maksud, maka pelanggaran HAM berat secara sistematik itu tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi sebaliknya hal itu merupakan tanggapan terhadap sikap yang direncanakan.

bahwa ada 3 (tiga) unsur dalam menentukan sesuatu pelanggaran sebagai pelanggaran berat:

2) Kuantitas, unsur kedua ini berkaitan dengan banyaknya korban dan banyaknya pelanggaran yang terjadi. Sebagaimana dicantumkan di dalam Piagam Afrika khususnya dalam Pasal 58 misalnya, dinyatakan bahwa yang dimaksud

2

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hlm 89

3

Harry Purwanto, Persoalan di sekitar Hak Asasi Manusia yang Berat di Indonesia, Yogyakarta: Mimbar Hukum No. 38/VI/2001 UGM, hal. 62.

4

Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi Pengadilan HAM Nasional, Makalah disampaikan dalam kelas khusus pidana internasioal FH-UGM pada tanggal 8 Mei 2008, hal. 7-8


(19)

dengan pelanggaran berat adalah “pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya korban lebih dari satu dan bisa juga melibatkan sejumlah tindakan pelanggaran”.

3) Jenis dari Hak yang dilanggar. Dalam definisi tentang pelanggaran berat menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak hidup, integritas atau kebebasan perorangan merupakan syarat dalam menentukan sesuatu pelanggaran sebagai pelanggaran berat. Sifatnya yang “berat” itu menunjukkan sesuatu yang dipandang dari sudut moral merupakan patut sekali dicela dan oleh karena itu akan tergantung hak mana yang dilanggar, sifat pelanggaran dan kedudukan dari pelanggaran itu sendiri.

Pelanggaran hak asasi manusia dalam masa perang merupakan bentuk dari kejahatan kemanusiaan (Crimes Against Humanity). Kejahatan kemanusiaan merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:5

1) Pembunuhan; 2) Pemusnahan; 3) Perbudakan;

4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5) Memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

6) Penyiksaan;

5

Ach. Tachir, Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Supremasi Hukum. Vol. 2, No. 2, Desember 2013, hal. 290-291.


(20)

7) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan strerilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;

8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam Jurisdiksi Mahkamah;

9) Penghilangan paksa; 10)Kejahatan apartheid;;

11)Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Dalam Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata dibedakan menjadi tiga yaitu:6

1) Konflik Bersenjata Internasional, perang melawan pemerintah penjajah (fighting against colonial domination), Perang melawan pemerintah pendudukan (alien occupation), dan perang melawan pemerintah yang menjalankan rezim rasialis (against racist regimes) dapat dikatakan sebagai perang kemerdekaan (war of national Liberation).

6

Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committe of The Red Cross,1999 : 22-26.


(21)

2) Konflik Bersenjata non Internasional, perang di dalam negeri (perang saudara) atau peperangan yang terjadi dalam satu wilayah negara.

3) Internal Disturbance and Tensions, Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai kekacauan dalam negeri atau internal tension adalah apabila jika terjadi kerusuhan berskala besar, tindakan terorisme dan sabotase yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka, serta adanya penyanderaan.

Dalam penelitian ini yang dibahas adalah konflik bersenjata non internasional. Dalam hal Konflik bersenjata non Internasional, diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949 yang menyatakan :

"Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak peserta agung, tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :

Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan, atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagai manapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu."

Dalam Protokol Tambahan II 1977 juga tidak ada pengertian ataupun definisi yang pasti tentang konflik bersenjata non internasional. Namun dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 lebih menekankan pada para pihak peserta agung


(22)

untuk memperlakukan para korban akibat konflik bersenjata secara manusiawi dan tanpa diskriminasi.

Namun ada beberapa kriteria-kriteria tentang konflik bersenjata non internasional adalah sebagai berikut.7

a) Pertikaian terjadi di wilayah pihak peserta agung;

b) Pertikaian terjadi antar angkatan bersenjata pihak peserta agung dengan kekuatan bersenjata pihak yang memberontak (dissident);

c) Kekuatan bersenjata pihak yang memberontak ini harus berada di bawah satu komando yang bertanggung jawab;

d) Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara sehingga dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut;

e) Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol II 1977.

Hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu.

Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa terhadap setiap bentuk pelanggaran yang terjadi dalam konteks perang, negara harus mengambil langkah-langkah hukum; menyiapkan pengadilan untuk menuntut, mengadili dan menghukum pelaku, tidak terbatas hanya pada pelanggaran berat konvensi.8

7

Ibid, hal. 27.

8

Sriwiyanti Eddyono. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP. ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 2007, hal. 16.


(23)

di samping bertanggungjawab untuk mengadili dan menghukum pelaku, negara juga berkewajiban untuk memberi kompensasi jika diminta oleh korban. Atas pemberian kompensasi ini, tidak hanya terhadap kejahatan perang tapi pelanggaran lainnya di mana korban merasa dirugikan.

Hukum atau Konvensi Jenewa mempunyai empat perjanjian pokok. Keempat Konvensi Jenewa 1949 tersebut adalah:

I. Genewa convention for the amelioration of the condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field.

II. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea.

III. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War.

IV. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.

Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan:

I. Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict (Protocol I);

II. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of Non International Armed Conflict (Protocol II);

Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai


(24)

penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, Sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non internasional.

Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang sama pada Keempat Konvensi Jenewa 1949, yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional.9

Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tidak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tidak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip atau perlakuan non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku suratnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan, perhambaan, larangan penyimpangan Dengan demikian maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia.

9

Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara. Bandung: Alumni, 2005, hal. 82.


(25)

berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang semestinya, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat 1 (d) Konvensi Jenewa 1949.10

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu pihak agung penandatangan, tiap pihak dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata merea serta mereka tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.”

Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada pihak “peserta agung’ untuk tetap menjamin perlindungan kepada tiap individu dengan mengesampingkan status belligerent menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu.

11

Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga:12

10

Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk

Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2002, hal. 18.

11

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 28.

12

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 53.


(26)

a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan.

b. Penyanderaan.

c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama yang menghina dan merendahkan martabat.

d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa:

1. Dengan adanya Pasal 3 ini, tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3.

2. Pasal 3 tidak mengurangi hak pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut Undang-Undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata di dalam negeri negara peserta, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.

Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi III mengenai Perlakuan terhadap Tawanan Perang, yang berbunyi: Konvensi ini akan berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan musuh hingga


(27)

saat pembebasan dan pemulangan mereka terakhir. Bilamana timbul keragu-raguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam golongan-golongan yang disebut dalam Pasal 4, maka orang-orang demikian akan memperoleh perlindungan dari konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka ditentukan oleh pengadilan yang kompeten”.13

1. Spesifikasi Penelitian

Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang dilindungi konvensi ke tangan musuh (ditawan) adalah saat dimulai berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis karena dari hasil penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara menyeluruh.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah kajian kepustakaan tentang ilmu hukum empiris untuk mendukung penelitian ini.

3. Alat pengumpul data sekunder

Data sekunder berupa data yang didapat dari studi kepustakaan dan pemberitaan terkait kasus yang diteliti melalui media internet dimana penulis

13

Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Global dalam


(28)

berusaha mempelajari buku-buku yang terkait dengan beragam teori yang mendukung pisau analisis dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Sebagai penelitian yang bersifat yuridis empiris maka analisis akan dilakukan secara deskriptif dimana peraturan perundang-undangan yang ada akan dibenturkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Penulis melakukan pencatatan kronologis kasus dan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan terkait permasalahan tersebut.

1.5 Sistematika Penulisan

Penelitian ini bersifat deskriptif dimana penelitian mempunyai tugas untuk menggambarkan secara jelas dan cermat mengenai hal-hal yang dipersoalkan dan menerangkan kondisi-kondisi yang mendasasi terjadinya peristiwa atau persoalan. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer, sekunder dan tersier yang mendukung fakta yang relevan atau aktual yang diperoleh untuk membuktikan atau menguji kebenaran atau ketidakbenaran suatu masalah yang menjadi obyek penelitian.

Penelitian ini bersifat konkrit (In Concreto) yang dilakukan untuk menemukan dari suatu perkara yang konkrit. Penelitian ini juga merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya sesuai diterapkan secara in concreto guna menyelesaikan suatu perkara hukum dan dimanakah bunyi peraturan hukum dapat ditemukan. Selain itu penelitian ini juga terkait interested topic yang menarik minat peneliti, evaluative, fact finding, problem finding, dan berupa studi kasus atas suatu kasus yang telah terjadi.


(29)

Sistematika penulisan penelitian adalah sebagai berikut:

Bab 1 pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 Tinjauan Umum terhadap Pelanggaran HAM pada Kejahatan Kemanusiaan meliputi:

a. Pengertian HAM

b. Kejahatan Kemanusiaan

c. Sejarah Singkat Konvensi Jenewa 1949 dan Hubungannya terhadap Konflik Bersenjata Non Internasional

Pada Bab 3 ini berisi tentang Dimensi Pelanggaran HAM Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 yaitu:

a. Bentuk-Bentuk Pelanggaran HAM Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 b. Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan

c. Perjalanan Konflik dan Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pelanggaran HAM terhadap Anak dan Perempuan dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

Bab 4. Upaya Hukum Internasional dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah, meliputi:

a. Upaya-Upaya yang telah Dilakukan dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah

b. Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan di Suriah Ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949


(30)

c. Perbuatan-Perbuatan dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan di Suriah yang Dapat Dibawa ke Pengadilan HAM Internasional

Bab 5 Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan dari hasil uraian pada bab sebelumnya serta saran-saran berkaitan dengan penelitian ini.


(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

2.1. Pengertian HAM

HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. secara filosofis, pandangan menurut hak asasi manusia adalah, "jika wacana publik masyarakat global di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu adalah hak asasi manusia." Meskipun demikian, klaim yang kuat dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus memunculkan sikap skeptis dan perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia sampai di jaman sekarang ini. Memang, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "hak" itu sendiri kontroversial dan menjadi perdebatan filosofis terus.14

14

Shaw Malcolm N, International Law. Cambridge University Press, New York, 2008. hal. 67.


(32)

Hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Hak-hak tersebut melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Hak asasi manusia adalah unsur yang amat penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengenai pelaksanaannya, baik hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat seseorang atau sekelompok orang sebagai manusia.

Hak asasi manusia memang merupakan unsur yang amat penting yang pelaksanaannya harus dilakukan baik oleh masyarakat sendiri ataupun oleh pemerintah atau Negara, tapi dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung sepanjang kehidupan umat manusia.

Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas Negara. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, tetapi pelanggaran tersebut juga bisa dilakukan oleh Negara maupun melalui aparat Negara atau pemerintahnya, biasanya pelanggaran oleh Negara sering mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

Permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bukanlah suatu hal yang baru. Sejak Peradilan Nuremberg 1946 dan Peradilan Tokyo telah jelas bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor Negara atau pejabat Negara yang terbukti kesalahannya pun dapat ditindak dan diadili melalui pengadilan.


(33)

Pengertian Hak Asasi Manusia di Indonesia secara tertuang pada UU No 39/1999, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Kebebasan yang dimiliki manusia secara kodratnya melekat pada diri manusia dan membuat manusia sadar akan keinginannya untuk hidup bahagia. Akal budi dan nuraninya, mendapat kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang diinginkannya. Yang kemudian diimbangi rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kandungan yang membuat manusia sadar akan jatidirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Setiap manusia dalam kenyataannya lahir dan hidup di masyarakat. Dalam perkembangan sejarah tampak bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh maknanya dan berkembang setelah kehidupan masyarakat makin berkembang khususnya setelah terbentuk Negara.

Kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya kesadaran akan perlunya Hak Asasi Manusia dipertahankan terhadap bahaya-bahaya yng timbul akibat adanya Negara, apabila memang pengembangan diri dan kebahagiaan manusia menjadi tujuan. Berdasarkan penelitian hak manusia itu tumbuh dan berkembang pada waktu Hak Asasi Manusia itu oleh manusia mulai diperhatikan terhadap serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh Negara. Negara Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kewajiban dasar


(34)

manusia. Hak secara kodrati melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena tanpanya manusia kehilangan harkat dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Republik Indonesia termasuk pemerintah Republik Indonesia berkewajiban secara hokum, politik, ekonomi, social dan moral untuk melindungi, memajukan dan mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia.

Hak asasi manusia yang dikenal saat ini dalam berbagai piagam atau konstitusi sesungguhnya telah diperjuangkan sejak abad ke 13 di inggris. Pada masa raja Inggris John Lackland (1199-1216) memerintah secara sewenang- wenang telah timbul protes keras dikalangan para bangsawan. Protes tersebut melahirkan sebuah piagam agung yang dikenal dengan nama Magna Charta. Di dalam piagam ini pengertian hak asasi belum sempurna karena terbatas hanya memuat jaminan perlindungan terhadap hak-hak kaum bangsawan dan gereja. Pada tahun 1628 di Inggris pula terjadi pertentangan antara raja Charles I dengan parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (The House of Commons) yang menghasilkan petition of rights. Petisi ini membuat ketentuan bahwa penetapan pajak dan hak-hak istimewa harus dengan izin parlemen, dan bahwa siapapun tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan-tuduhan yang sah. Perjuangan hak asasi manusia yang lebih nyata terjadi pada tahun 1689 ketika Raja Willem III revolution. Revolusi ini besar mengawali babak baru kehidupan demokrasi di Inggris dengan suatu perpindahan kekuasaan dari tangan raja ke parlemen. Pemikiran John Locke mempengaruhi Montesquieu dan Rousseau, sehingga mereka menentang kekuasaan mutlak raja. Montesquieu menyusun teori trias


(35)

politica, yaitu konsepsi pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan dalam hukum du contract social Rousseau menyatakan bahwa Negara dilahirkan bebas yang tak boleh dibelenggu oleh manusia lain termasuk oleh raja. Pandangan demikian ini menmbulkan semangat bagi rakyat tertindas ,khususnya di prancis ,untuk memperjuangkan hak asasinya.

Pemerintahan raja yang sewenang-wenang dan kaum bangsawan yang feodalistik menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah strukturnya dari feodalistis menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah pemerintah baru.

Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari; droits de L’homme (Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia, hak asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah ‘hak-hak asasi’ sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris), grond rechten (Belanda), atau bisa juga disebut sebagai hak-hak fundamental (fundamental rights, civil rights) Menurut Usman Surur,15

15

Usman Surur, Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat Jenderal HAM, 2008, hal. 29.

Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian tiga buah kata, yaitu :


(36)

1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan

2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak ada

3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

Menurut Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976), hak asasi adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri

Berdasarkan pandangan Para tokoh seperti John Locke, Aristoteles, Montequieu dan J.J. Rousseau, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak asasi mencakup :

1. Hak kemerdekaan atas diri sendiri 2. Hak kemerdekaan beragama


(37)

3. Hak kemerdekaan berkumpul

4. Hak menyatakan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenang-wenang (bebas dari rasa takut)

5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers

Menurut Brierly, pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibagi menjadi: 1. hak mempertahankan diri (self preservation)

2. hak kemerdekaan (independence) 3. hak persamaan pendapat (equality) 4. hak untuk dihargai (respect)

5. hak bergaul satu sama lain (intercourse)

Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si., beberapa macam hak asasi dibedakan menjadi sebagai berikut :

1. hak untuk diperlakukan dengan baik, biasanya dikenal dengan tata karma sesuai anutan budaya yang bersangkutan

2. hak untuk mengembangkan diri, biasanya dikenal dengan harkat untuk mewujudkan keberadaan

3. hak untuk memilih dan dipilih serta terpakai tenaganya dalam pemerintahan, biasanya dikenal dengan demokrasi

4. hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam penerapan peratuaran, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam hukum

5. hak untuk memiliki, membeli, menjual dan memanfaatkan sesuatu, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam perlakuan ekonomi

6. hak untuk beribadah dan menjalankan syariah agama, biasanya dikenal dengan kebebasan beragama


(38)

7. hak untuk menuntut ilmu dan melakukan penelitian serta pengembangan pengetahuan, biasanya dikenal dengan kebebasan ilmiah

8. hak untuk mengeluarkan keterangan pernyataan, biasanya dikenal dengan kebebasan berpendapat

Budiyanto menyimpulkan dan membedakan hak-hak asasi manusia, yaitu sebagai berikut : hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi ; kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual, serta memanfaatkannya hak-hak asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum, hak untuk mendirikan partai politik, dan sebagainya hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legal equality hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, seperti hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights, seperti adanya peraturan dalam hal penggeledahan, penangkapan, penahanan, peradilan, dan sebagainya.

2.2. Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara luas


(39)

menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia. Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan:16

1. Pembunuhan 2. Pemusnahan 3. Perbudakan

4. Pengusiran atau pemindahan penduduk

5. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain 6. Menganiaya;

16


(40)

7. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;

8. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional

9. Penghilangan seseorang secara paksa; 10. Kejahatan apartheid;

11. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.

Merujuk pendapat Bissouni:

The term of "crimes against humanity" is existed prior to World War II. It is because the 1868 Saint Petersburg Declaration has mentioned the limitation of the use certain explosive or incendiary projectiles in times of war, since they were declared contrary to the laws of humanity. Meanwhile, the expression of crimes against humanity was used for the first time in the 1915 Declaration by the governments of France, Great Britain and Russia denouncing the massacre of Armenians taking place in Turkey.17

Bassiouni menambahkan bahwa jenis kejahatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau

17

Lihat M C Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law (1999) http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-humanity.html


(41)

penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam kaitannya dengan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak dalam pelanggaran hukum domestik dari negara di mana kejahatan tersebut dilakukan.18

Murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial, or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of domestic law of the country where perpetrated.

Jenis kejahatan yang disebutkan oleh Bassiouni ini sebenarnya diambil dari jenis kejahatan yang telah disebutkan dalam Pasal 6 (c) dari Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter). Oleh sebab itu, untuk membahas pengertian kejahatan kemanusiaan ini, maka pembahasan dapat dimulai dari bagaimana pengertian hukum yang berkembang dari pasal ini. Pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai:

19

David Luban20

1. Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang asing (Crimes against humanity are typically committed against fellow nationals as well as foreigners). Sesuai dengan sejarah Pasal 6(c) ini, pasal ini dibuat untuk mengisi kekosongan hukum kemanusiaan pada Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kategori kejahatan perang terhadap

menyatakan bahwa pasal ini memberikan 5 unsur dalam pengertiannya sehingga ia dapat dimengerti dan dipakai dalam ketentuan hukum nasional tertentu:

18

Bassiouni, M. C. Crimes against Humanity, Ibid

19

Lihat Nuremberg Charter, http://www.currentconcerns.ch/index.php?id=148, diakses 4 Februari 2014.

20

Luban, David, 2004, A Theory of Crimes Against Humanity, 29 Yale Journal International Law, 85, HeinOnline.


(42)

penduduk sipil adalah pelanggaran hukum bilamana kejahatan itu dilakukan hanya terhadap orang asing. Sementara Nazi, dianggap melakukan kejahatan terhadap warga negara mereka yang beragama Yahudi serta orang asing di wilayah Austria.

Oleh sebab itu, pemikiran bahwa suatu negara dianggap bisa melakukan kejahatan untuk membunuh rakyatnya sendiri dapat dilihat dari contoh tersebut di atas sehingga pengertian crime against humanity ini perlu mengatur hal itu. Ini disebabkan karena pengertian kejahatan sebelumnya yang dipakai mengenai kejahatan kemanusiaan ini adalah aturan hukum perang, yang berorientasi pada masyarakat negara sendiri di satu pihak, dan lawan sebagai pihak lain. Dengan demikian, dengan pengertian ini, maka sebuah kejahatan kemanusiaan itu dapat saja terjadi baik bagi masyarakat sendiri maupun orang asing, serta yang terjadi di dalam maupun di luar perang. Selain itu, pengertian ini juga berarti bahwa kejahatan kemanusiaan dapat saja dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri maupun oleh musuh kepada rakyat.21

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional (Crimes against humanity are international crimes). Pengertian dari Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg ini memberikan makna luas bahwa suatu kejahatan kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan ini bukan dalam kategori tersebut pada ketentuan hukum suatu negara dimana

21

Untuk kejahatan ini, ada sedikit perbedaan mengenai kejahatan yang hanya dapat berlaku sebagai kejahatan perang saja. Namun bila kejahatan itu adalah pembunuhan, perbudakan, penyiksaan dan lain-lain, yang dapat dilakukan meski di luar perang, maka pengertian juga dipakai. Lihat Luban, Ibid, h.94.


(43)

kejahatan atau tindakan itu dilakukan. Dalam Pasal 7 dan 8 dari Piagam Nuremberg memperlihatkan bahwa seorang kepala negara tidak akan dapat berlindung dibalik kekebalan otoritasnya atau seseorang tidak boleh berlindung di belakang alasan perintah atasan untuk bebas dari tuduhan kejahatan ini. Pasal 7 dan 8 menyatakan:

Article 7:

The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment.

Menurut Luban dari pengertian ini, kejahatan yang dilakukan sebelum dan selama masa perang juga dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan hal itu berarti bahwa tindakan kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi Jerman sebelum tahun 1939, meskipun pada saat itu dalam keadaan damai merupakan kejahatan kemanusiaan.22

3. Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh politik terorganisir kelompok bertindak dengan dasar kebijakan (Crimes against humanity are committed by politically organized groups acting under color of policy) Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) mensyaratkan bahwa kejahatan Meski tindakan ini adalah retrospektif karena dikategorikan sebagai tindakan masa lalu yang belum diatur oleh hukum, berdasarkan pengertian ini, kejahatan Nazi tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.

22


(44)

terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan.

4. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan (Crimes against humanity consist of the most severe and abominable acts of violence and persecution). Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg membedakan antara dua jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang pertama adalah kejahatan yang terdiri dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan ‘tidak manusiawi lainnya’. Kejahatan jenis pembunuhan adalah kejahatan yang mengandung nilai atau dimensi ‘kekejaman dan kebiadaban.23

5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu (Crimes against humanity are inflicted on victims based on their membership in a population rather than their individual characteristics). Menurut Luban, suatu ketentuan atau undang-undang mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan memasukkan populasi sebagai salah satu

Dalam Pasal 6 (c) ini, kejahatan ini juga biasa ditambahkan dengan kejahatan penjara yang mempunyai unsur ‘melanggar aturan dasar hukum internasional’ atau kejahatan lainnya yang dianggap ‘tindakan yang tidak manusiawi lainnya," sesuai Statuta Roma.

23


(45)

persyaratan persyaratan dari unsur kejahatan pembunuhan, serta persyaratan niat diskriminatif sebagai unsur kejahatan penganiayaan. Kedua persyaratan ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa besar jumlah orang dalam kelompok sebagai korban yang dimaksud sehingga ia dapat dikatakan sebagai suatu penduduk. Luban menyatakan: “… how large a group must be to constitute a population. Does the population requirement mean that the crimes are committed on a large "population-size" scale-in other words, that to qualify as crimes against humanity, they must be not just atrocities but mass atrocities? To support this reading of the population requirement, it might be argued that nothing less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than domestic concern.

Dari rumusan kategori tindakan crime against humanity yang di berikan oleh Luban di atas, ada implikasinya terhadap kasus-kasus kejahatan berat yang terjadi:

1. Bila dilihat dari point pertama yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang asing, memperlihatkan indikasi ada kecenderungan pelaksanaan persidangan kejahatan kemanusiaan dalam yurisdiksi non-internasional menjadi tinggi. Hal ini berarti kecenderungan untuk menggunakan hukum nasional juga besar. Berdasarkan gambaran ini maka ketika ada suatu kejahatan yang dilakukan oleh warga negara tertentu, maka pendefinisian atau pencitraan kejahatan ini akan menjadi wewenang hukum nasional, yang pada akhirnya


(46)

akan membawa pengertian kejahatan sebagai kejahatan dalam pengertian hukum nasional pula. Dengan kata lain, institusi yang ada dalam hukum nasional mempunyai wewenang untuk mengartikan kejahatan mana dapat dianggap sebagai suatu kejahatan kemanusiaan berdasarkan penafsiran nasional, bukan berdasarkan penafsiran hukum internasional.

2. Pada persyaratan kedua dari Luban menyatakan bahwa Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional ternyata memberi implikasi yang luas dari pengertian Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg ini, karena dengan adanya ketentuan ini, maka suatu kejahatan dapat dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan kejahatan ini dalam hukum nasional bukan dalam kategori sebagai kejahatan kemanusiaan. Pertanyaan yang timbul dari sini adalah siap yang berhak memberi ‘status’ suatu tindakan kejahatan menjadi ‘terhadap kemanusiaan’? Dalam kasus di tanah air, perdebatan mengenai hal ini sudah sering terjadi. Di satu pihak mengizinkan agar status kejahatan kemanusiaan diterapkan sesuai dengan pengadilan ICC, namun fakta memperlihatkan bahwa Indonesia belum meratifikasi ICC Statuta Roma ini, sehingga penggunaannya tidak dimungkinkan. Di pihak lain, pemberian status tidak memerlukan hukum internasional, namun dapat dilakukan sesuai hukum nasional sebab hukum nasional juga telah menerapkan persyaratan sesuai kebiasaan internasional. Namun demikian, hal ini masih juga menjadi permasalahan mendasar sebab seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa faktor politik dalam negeri banyak berperan sehingga pemberian status ini berjalan dengan keputusan yang ‘rancu’. Begitupun dengan Pasal 7 dan 8 dari


(47)

Piagam Nuremberg yang belum banyak dipakai sebagai pertimbangan dalam mendapatkan pengertian ini.

3. Pada persyaratan ketiga yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh kelompok terorganisir secara politik yang bertindak berdasarkan perintah, menjadi perdebatan penting dalam pengadilan HAM di Indonesia. Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) ini juga mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan. Dalam Pasal 42 UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, tanggungjawab komando telah diatur dimana pasal ini menentukan bahwa komandan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan di lapangan, baik dengan sepengetahuan komandan militer saat itu, dengan bentuk pembiaran atas adanya suatu dugaan pelanggaran oleh anak buah. Ketentuan ini sesuai juga sesuai dengan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 yang menegaskan tentang yurisdiksi pengertian tanggungjawab komando dalam angkatan bersenjata pemberontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya.

4. Pada point keempat kejahatan kemanusiaan yang diungkapkan oleh Luban menyatakan, kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan.


(48)

Jenis kejahatan ini juga masih menjadi perdebatan, sebab syarat yang ditentukan dalam kejahatan dari bentuk kejahatan itu, tidak jelas diungkapkan dalam perundang-undangan. Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg memang membedakan dua jenis kejahatan utama terhadap kemanusiaan yakni kejahatan pembunuhan serta tindakan yang ‘tidak manusiawi. Meski pengertian ini masih harus dijabarkan lagi ke dalam pengertian yang nyata, ketentuan dalam Piagam Nuremberg ini juga dilengkapi dengan ketentuan dalam Statuta Roma mengenai gambaran tindakan yang dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.

5. Selanjutnya dalam point kelima pengertian kejahatan kemanusiaan menurut Luban menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu adalah ketentuan untuk memasukkan persyaratan adanya unsur populasi, unsur pembunuhan, dan unsur penganiayaan yang dilakukan dengan niat dan diskriminatif sebagai elemen dari pengertian kejahatan kemanusiaan. penganiayaan. Kedua persyaratan ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk itu, Luban dalam pernyataan ketika mengatakan: “…it might be argued that nothing less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than domestic concern.” Memberi konotasi bahwa penentuan poulasi


(49)

masih tidak jelas, dan dapat berakibat pada penentuannya pengertian yang disesuaikan sesuai keadaan politik, atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menguasai proses pengadilan dimana kejahatan ini disidangkan. Salah satu contoh sidang kejahatan kemanusiaan yang membebaskan terdakwa dapat dilihat pada persidangan kasus HAM Abepur yang mengajukan terdakwa Brigjen Pol. Drs Johny Wainal Usman (mantan Dansat Brimobda Papua) dan Kombes. Daud Sihombing SH (mantan Kapolres Jayapura) yang diputuskan tidak bersalah. Dalam dissenting opinion, Hakim Kabul Supriyadhie menyatakan bahwa, apakah terdakwa adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan dapat dilihat dari kenyataan bahwa adanya pasukan yang digerakkan di bawah perintah atasan untuk melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Abepura dan dilengkapi dengan senjata dan amunisi, tidak dapat disangkal sebagai perbuatan yang memperlihatkan ‘perintah di bawah komando’, meski pada tindakan ini tidak ditemukan adanya surat penangkapan dan penahanan atau laporan pelaksanaan. Selain itu, kenyataan bahwa secara de facto Terdakwa berada di tempat kejadian pada saat bawahan melakukan pengejaran dan penangkapan, dan tidak melakukan pencegahan yang mengakibatkan kematian menjadi dasar yang kuat untuk menghukum Terdakwa atas pertanggungjawaban komandan.24

24

Lihat ‘Pendapat Hukum (Dissenting Opinion),’


(50)

2.3. Sejarah Singkat Konvensi Jenewa 1949 Dan Hubungannya Terhadap Konflik Bersenjata Non Internasional

Sejarah Konvensi Jenewa dimulai pada tahun 1862, menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai ketidakmanusiawaian (kekejaman) perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:

1. Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan

2. Dibentuknya perjanjian antar pemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.

Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima pertama kalinya dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.

Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada tahun berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di laut (Konvensi Jenewa Kedua). Penghormatan terhadap Konvensi Jenewa dan operasi


(51)

yang dipimpin oleh Komite Palang Merah Internasional memainkan peranan penting dalam menyelamatkan nyawa dan mencegah penderitaan yang tidak seharusnya dalam Perang Dunia I (1914-1918). Namun, besarnya penderitaan manusia akibat perang menambah keyakinan masyarakat internasional agar Konvensi Jenewa itu diperkuat. Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang mencemaskan. Konflik-konflik bersenjata ini terjadi di hampir semua benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil). Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik. Pandangan umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang termaksud dalam hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk menegakkannya, oleh ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum tersebut.


(52)

Konvensi Jenewa Pertama ini tercakup dalam 9 Bab dan ditambah Bab Ketentuan Penutup, dan berisi 64 pasal. Ditambah dengan dua lampiran berisi konsep perjanjian yang berhubungan dengan zona rumah sakit dan kartu identitas model dan agama tenaga medis. Konvensi Jenewa pertama tentang Perbaikan Keadaan Anggota Perang yang Luka Dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. Konvensi Jenewa 1949 ini merupakan versi update keempat Konvensi Jenewa pada orang yang terluka dan sakit berikut yang digunakan dalam 1864, 1906 dan 1929. Konvensi ini memberikan perlindungan bagi yang terluka dan sakit, tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan, unit medis, bangunan dan transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui lambang khas yang harus dilindungi. Ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini dalam konteks skala, memberikan perlindungan dalam konflik internasional maupun non-internasional, tetapi dasar perlindungan non-internasional tidak terlalu spesifik diterangkan dalam konvensi ini, karena di Konvensi Jenewa Pertama ini konflik non-internasional hanya dimasukkan ke dalam Bab Ketentuan Umum, dan akan lebih diperjelas dalam Protokol II.

Lingkup Non-Internasional ini dijelaskan menurut Konvensi Jenewa Pertama Bab I - Ketentuan Umum Pasal 3tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (non-internasional) yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung agar tiap Pihak dalam sengketa itu diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan dilihat dalam konteks tempat terjadinya, ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini hanya terhadap perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan


(53)

pertempuran darat yang secara umum dapat sebutkan untuk memberikan perlindungan bagi: (1) yang terluka dan sakit; (2) tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan; (3) unit medis; (4) bangunan dan (5) transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui (6) lambang khas yang harus dilindungi.Yang menjadi objek perbaikannya tersebut mencakup perbaikan keadaan terhadap anggota angkatan perang yang luka dan sakit di darat. Memberikan penghormatan dan lindungan dalam segala keadaan terhadap yang luka dan sakit, perlakuan secara prikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, atau kriteria lainnya serupa itu, dan memberikan kewajiban-kewajiban apa yg harus dilakukan dalam memperlakukan para angkata perang, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab II - Yang Luka dan Sakit Pasal 12-18.

Perbaikan terhadapgedung-gedung, kesatuan-kesatuan unit kesehatan (medis), Memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan kesehatan bergerak dari dinas kesehatan dalam keadaan apapun harus dilindungi, tidak boleh diserang oleh pihak para sengketa, dan memberikan kewajiban terhadap penguasa untuk bertanggung jawab terhadap jaminan bangunan-dan kesatuan-kesatuan sehingga penyerangan atas sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan mereka, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab III-Kesatuan dan Bangunan Kesehatan Pasal 19-23. Perbaikan terhadap anggota dinas kesehatan (angkatan perang), Memberikan perlindungan khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau


(54)

untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang bertugas dalam angkatan perang yang di jelaskan dalam secara lengkap dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IV-Anggota Dinas Kesehatan Pasal 24-32. Perbaikan terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan kesehatan bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk perawatan yang dipaparkan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab V - Gedung dan Perlengkapan Pasal 33-34. Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap pengangkutan yang luka dan sakit atau alat-alat kedokteran harus dihormati dan dilindungi sama halnya dengan kesatuan kesehatan yang bergerak. Seperti halnya pengangkutan dengan pesawat terbang kesehatan maupun dengan kendaraan kesehatan lainnya. Semua itu dijelaskan dan diatur dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VI - Pengangkutan Kesehatan Pasal 35-37.

Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang diistimewakan, seperti halnya lambang International Red Cross Committee (PMI), Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah dan sebagainya. lambang istimewa ini harus jelas, dalam artian tampak pada bendera-bendera (flags), ban lengan (handband), dan semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan, selain itu juga memakai tanda pengenal yang seragam, agar setiap orang yang termasuk dalam organisasi-organisasi/ himpunan-himpunan yang bersifat netral maupun berkepentingan dapat jaminan perlindungan yang semuanya itu diatur dan dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VII - Lambang Istimewa 38-44.


(55)

Konvensi Jenewa Pertama ini akan berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut (Pasal 56 Bab Penutup Konvensi Jenewa Pertama). Ketentuan rinci mengenai aplikabilitas Konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara tertentu.

Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut. Dan pengaplikasian konvensi ini ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam konvensi Jenewa Pertama yaitu keadaan anggota angkatan perang yang ruang lingkup-nya masuk ke dalam ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama, dan subjek-subjek yang terkait, serta objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi ini dilanggar, baik untuk perlindungan terhadap yang terluka dan sakit, untuk penghormatan dan perlindungan tenaga medis dan keagamaan, penjagaan dan perlindungan unit medis, bangunan dan transportasi medis serta perlindungan khusus untuk lambang-lambang khas yang harus dilindungi, maka ketentuan aturan dari konvensi ini harus diterapkan.


(1)

ketentuan hukum internasional ini, sebab Suriah merupakan negara pihak dari beberapa konvensi HAM Internasional diantaranya Konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT); the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW); the International Convention on the Elimination of Al Forms of Racial Discrimination (ICERD); and the Convention on the Rights of the Child (CRC) and its Optional Protocol on the involvement of children in armed conflict, dan bahwa Suriah sebagai bagian dari masyarakat internasional seharusnya ikut serta dalam pengkampanyean, perlindungan dan penegakan HAM. Hal ini menurut penulis bahwa sudah seharusnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dipaparkan di atas dibawa ke International Criminal Court (ICC) untuk diadili sesuai ketentuan yang berlaku.

Penekanan dari ICC adalah untuk mengadili individu baik sebagai bagian dari sebuah rezim maupun sebagai bagian dari gerakan pemberontakan, sehingga kegagalan masyarakat internasional untuk mengadili pelaku Pelanggaran HAM berat dan tidak ada lagi pelaku yang tidak dihukum tidak terulang kembali. Akan tetapi dalam kasus ini, Suriah belum meratifikasi Statuta Roma sehingga ini menjadi masalah. Akan tetapi tampaknya para perancang Statuta Roma sudah sejak awal menyadari akan timbulnya masalah seperti ini, sehingga secara tegas menurut pasal 13 huruf b Statuta Roma telah diatur bahwa, Dewan Keamanan


(2)

Penuntut atas kejahatan yang terjadi di wilayah yang belum atau tidak meratifkasi Statuta.

Pasal 13 huruf b ICC merupakan landasan yuridis yang kuat dan legal untuk melegitimasi DK PBB dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat dalam konflik Suriah ke ICC. Adapun landasan yuridis lain adalah bahwa Suriah merupakan Negara Pihak (State Party) dari beberapa konvensi HAM internasional berdasarkan asas hukum Pacta Sun Servanda. Sehingga dengan demikian, maka secara teoritis terjadinya impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat tidak ada lagi.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Rumusan Masalah dan Pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka kesimpulan yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut:

1. Bahwa dalam konflik Suriah telah terjadi Pelanggaran HAM berat (Gross Violation of Human Rights) yang dalam hal ini adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ICC.

2. Selain melanggar hal tersebut para pelaku juga dengan sengaja melanggar pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang dengan sengaja telah dilanggar selama konflik bersenjata di Suriah berlangsung.

3. Bahwa para pelaku Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam konflik Suriah, wajib diadili berdasarkan ketentuan hukum internasional yang dalam hal ini adalah ICC.


(4)

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah paparkan sebelumnya penulis merasa perlu untuk memberikan saran untuk ungkapan dan kesempurnaan penulisan skripsi ini. Adapun saran yang penulis berikan adalah sebagai berikut: 1. Oleh karena serangkaian tindakan pasukan keamanan dan intelijen dalam

konflik Suriah yang kemudian dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap kemanusiaan bersifat sistematis dan meluas, baik dari segi korban dan tempatnya maka penulis menyarankan kepada PBB untuk menugaskan beberapa orang pemantau di Suriah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Human Right Watch dan Amnesty Internasional.

2. Bahwa berhubung karena Suriah bukan merupakan Negara Pihak (State Party) dalam ICC maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Security Council) wajib untuk mengeluarkan satu Resolusi untuk menyerahkan pengajuan para pelaku kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam konflik Suriah ke ICC oleh Jaksa Penuntut (The Prosecutor) ICC. 3. Agar seluruh Negara anggota PBB mendesak DK PBB untuk secepatnya

mengambil keputusan sebagaimana dimaksud oleh poin 2 di atas.

4. Agar PBB dan Liga Arab mengintensifkan komunikasi guna percepatan penyelesaian konflik di Suriah dan percepatan pengajuan para pelaku kejahatan kemanusiaan di konflik Suriah ke ICC.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra AdityaBakti

Arlina Permanasari, dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committe of The Red Cross

Awaludin, Hamid. 2012. HAM , Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Bernad, Cornellius. 2014. Peran Komite Palang Merah Internasional Dalam Menangani Krisis Kemanusiaan Dalam Perang Di Timur Tengah (Studi Kasus Konflik Suriah).Universitas Mulawarman : Jurnal Ilmu Hubungan Internasional.

Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. West Publishing Company St. Paul Minn.

Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Global dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.

Buyung Nasution, Adnan, A. Patra M. Zen. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. De GaayFortman, Bas. 2006. Human Rights. UK, Edward Elgar Pub. LtD

Dirdjosisworo, Soedjono. 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Geoffrey Robertson QC, 2002. Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo Harry Purwanto, 2001. Persoalan di sekitar Hak Asasi Manusia yang Berat di


(6)

Kusumaatmadja, Mochtar, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung.

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT Alumni.

Scott Davidson, 1994. Hak Asasi Manusia. Cetakan Pertama. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Shaw Malcolm N, 2008. International Law. Cetakan Kelima. New York: Cambridge University Press.

Sriwiyanti Eddyono. 2007. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP. Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Sumaryo Suryokusumo, 2008. Yurisdiksi Pengadilan HAM Nasional, Makalah disampaikan dalam Kelas Khusus Pidana Internasional FH-UGM pada tanggal 8 Mei 2008.

Wahyu Wagiman, 2005. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara. Bandung: Alumni.

Wayan Parthiana, I. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung: Yrama Widya. Wayan Parthiana, I. 2003. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung:

Yrama Widya.

Usman Surur, 2008. Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat Jenderal HAM.

Ach. Tachir, 2013. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Supremasi Hukum. Vol. 2, No. 2, Desember 2013.

Internet

M C Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law (1999) http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-humanity.html. Nuremberg Charter, http://www.currentconcerns.ch/index.php?id=148, diakses 4

Ferbuari 2014.