Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949

(1)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

PADA TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI

MANUSIA DAN KONVENSI JENEWA 1949

SKRIPSI

OLEH :

IMAM MUNAWIR SIREGAR NIM : 040200276

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949”. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang perlindungan serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada tawanan perang dalam persfektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949.

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Perang adalah suatu keadaan yang memungkinkan dua atau lebih dari dua gerombolan manusia yang sederajat menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata.

Salah satu dari konsekuensi perang adalah terdapatnya tawanan perang. Tawanan perang dalam pemahaman perang tradisional adalah orang yang ditangkap pihak tawanan musuh dalam peperangan baik prajurit maupun bukan prajurit. Merak dapat diberlakukan dengan baik atau buruk.

Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, semua tawanan perang haruslah diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Mengadili setiap tawanan perang dengan proses hukum yang seadil-adilnya, sampai kepada proses hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam praktek penyiksaan tersebut. Bukan hanya kepada para prajurit pelaksana di lapangan, namun juga kepada para pengambil kebijakan yang mendukung adanya aksi penyiksaan itu.

Namun demikian, proses mencari keadilan tidak hanya berhenti samapi disitu saja. Segala cara ditempuh untuk mengadili setiap orang yang terlibat dalam kasus penghinaan terhadap harkat dan martabat manusia ini. Hal tersebut bisa terjadi karena kejahatan internasional tidak mengenal batas waktu.


(3)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Sejarah dunia mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil atau diskriminatif atau atas dasar etnis, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial lainnya.1

Peperangan yang diciptakan dengan berbagai alasan menimbulkan banyaknya korban. Akibat dari peperangan tersebut banyak dari pihak kawan ataupun lawan yang

Perang merupakan hal yang sangat tidak diinginkan oleh setiap umat manusia. Karena pada hakekatnya di dunia ini, setiap manusia pastilah menginginkan rasa perdamaian dan ketegangan. Selain menghabiskan banyak biaya perang, tidak sedikit pula korban jiwa yang harus dikorbankan. Baik dari pihak kawan maupun lawan.

Tawanan perang harus diberlakukan dengan prikemanusiaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional yang berkenaan dengan perlakuan terhadap tawanan perang. Ketentuan ini diatur dalam suatu perjanjian internasional dalam bentuk Konvensi Internasional Jenewa tahun 1949 yang telah disepakati oleh negara-negara di dunia untuk mengatur Hukum Perang.

1


(4)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

dijadikan sebagai tawanan perang. Tawanan perang itu sendiri telah diatur haknya didalam Konvensi Jenewa tahun 1949 sebagai Landasan Hukum Humaniter Internasional. Akan tetapi didalam kenyataannya sangat jauh dari apa yang telah ditentukan didalam Konvensi tersebut.

Ada beberapa negara yang mengklaim sebagai suatu negara yang sangat menjunjung tinggi hak Asasi Manusia ternyata dengan jelas sekali dapat kita lihat bahwa sebenarnya mereka itu sendirilah yang mengangkangi dan menelanjangi Hak Asasi Manusia itu serta terdapat diskriminasi yang cukup jelas dan nyata terhadap suatu etnis, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial tertentu.

Konvensi Internasional Jenewa tahun 1949, mengatur mengenai perlakuan wajib terhadap tawanan perang. Konvensi Jenewa 1949 ditaati oleh negara-negara anggota Perserikatan bangsa-bangsa, untuk memenuhi hak-hak dasar dari para tawanan perang.2

B. Rumusan Masalah

Untuk dapat memahami atau memberi gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi ini penulis mengambil judul “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949”. Namun pembahasannya memerlukan pembatasan agar ruang lingkup yang diinginkan dapat tercapai dan mempermudah pemahaman skripsi. Dalam hal ini untuk mendapatkan jawaban permasalahan, penulis melakukan pembatasan yang jelas dan spesifik dari apa yang dituju guna mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan.

2


(5)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Bertitik tolak dari uraian-uraian diatas yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu maka adapun yang menjadi batasan pada permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penegakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan internasional?

2. Bagaimana Hak Asasi Manusia di dalam Konvensi Jenewa 1949?

3. Bagaimana Pengadilan Kejahatan Internasional untuk kejahatan terhadap kemanusiaan?

4. Bagaimana penegakan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap tawanan perang?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas. Penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui penegakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan

internasional.

2. Untuk mengetahui Hak Asasi Manusia di dalam Konvensi Jenewa 1949.

3. Untuk mengetahui Pengadilan Kejahatan Internasional untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

4. Untuk mengetahui penegakan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap tawanan perang.

2. Manfaat Penulisan

Di samping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka penulis berharap dapat memberikan masukan danmanfaayt untuk:


(6)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

a. Manfaat Teoritis, yakni sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan hukum internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan pada tawanan perang dalam persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949. Dan juga memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisa-analisa yang bersifat objektif.

b. Manfaat praktis, Yakni memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya dengan penegakan kejahatan terhadap kemanusiaan pada tawanan perang dalam persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan memang telah banyak diangkat dan dibahas, namun penulisan mengenai “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949”, yang diangkat menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan menyusun melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan dari berbagai pihak.

E. Tinjauan Kepustakan

Pembahasan terhadap masalah yang telah disebut di atas penulis menggunakan data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat ke dalam, dan dibedakan dalam: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri

terdiri dari sumber-sumber hukum internasional dan ketentuan dalam perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.


(7)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memberikan penjelasan mengenai hukum primer.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan suatu penelitian. Penelitian pada dasarnya terdiri dari dua bentuk, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field Research). Penelitian hukum biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan atau disebut juga penelitian normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan dalam penulisan skripsi ini. Sumber-sumber itu antara lain dari buku-buku, artikel, koran dan majalah dengan cara membaca, menafsirkan, membandingkan setta menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persefektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949.

Mengingat apa yang penulis kemukakan dalam tulisan ini merupakan hal yang pernah menjadi topik pembicaraan di berbagai media, maka pengambilan bahan tidak terlepas dari media cetak dan media elektronik.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan suatu karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematis penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling


(8)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

berhubungan satu sama lain. Adapun sistematis penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang judul skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN dan TAWANAN PERANG

Pada bab ini akan dibahas pengertian kejahatan kemanusiaan, prinsip-prinsip hukum kejahatan kemanusiaan, kemudian pengertian tawanan perang menurut hukum humaniter, serta hak-hak yang melekat pada tawanan perang.

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

Pada bab ini akan dibahas pengertian dan sejarah perkembangan hak asasi manusia, teori-teori hak asasi manusia, dan hak asasi manusia dalam huku m internasional.

BAB IV : KEJAHATAN KEMANUSIAAN TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA dan KONVENSI JENEWA 1949

Pada bab ini akan dibahas kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan internasional, hak asasi manusia di dalam konvensi jenewa 1949, pengadilan kejahatan internasional untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap tawanan perang.


(9)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran penulis atas bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi permasalah tersebut.


(10)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN DAN TAWANAN PERANG

A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan

Istilah kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity) pertama kalinya digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaab tetapi secara umum adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yaitu berupa:

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;


(11)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelancuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulanyang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apatheid

Pelaku kejahatan rhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/instansi negara, atau pelaku non negara. Defenisi kejahatan kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan.Pengertian sistematis (systematic) dan meluas (widespread) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime Againts Humanity

on International Criminal Law;sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau

tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku di luar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Korban dimana memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender.3

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) adalah satu dari empat “kejahatan-kejahatan internasional” (international crimes), disamping The

Crime of Genocie, War Crimes dan The Crimes of Aggression. International Crime

3


(12)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

sendiri didefenisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain,

internasional crimes ini menganut asas universal juridiction.

Sementara, defenisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematis yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil”. Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes againts humanity, antara lain:

1. Pembunuhan

2. Penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup, misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan bahaya penyakit.

3. Pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka diami secara sah

4. Penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal maupun mental 5. Penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang

6. Kekerasan seksual, dan

7. Penghilangan paksa (diakibatkan penculikan atau pemahaman sewenang-wenang). Seperti kasus yang terjadi mengenai invasi Presiden Amerika Serikat, George W. Bush ke Libanon, setelah Irak habis diluluhlantahkan dengan dalih menghancurkan nuklir Irak serta memburu Osama bin Laden. Banyak penduduk sipil yang menjadi korban peristiwa tersebut, sehingga George W. Bush disebut sebagai penjahat perang. Perang di Irak ini menyebabkan berkembangnya wacana mengenai kejahatan perang termasuk di Indonesia, terutama diantara para ahli hukum


(13)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

internasional (humaniter internasional) dan pers, lebih banyak tentang persoalan peperangan seperti terjadi di Irak. Adapun di Indonesia wacana mengenai pengaturan kejahatan perang tersebut. Secara nasional kurang mendapat perhatian dari ahli hukum pidana.4

Dalam perkembangan selanjutnya, ide mengadili orang-orang yang terlibat dalam kekejaman dan pelanggaran berat hak asasi manusia telah dimulai sejak lama dengan mendasarkan diri pada standar nilai serta norma kemanusiaan yang bersumber dari nilai-nilai filsafat dan agama yang diyakini saat itu. Pada tahun 1474, misalnya, Pengadilan Internasional menjatuhkan hukuman mati kepada Peter Von Hangenbach, pelaku kekejaman saat pendudukan Breisach. Dalam perang saudara utara-selatan di Amerika, Abraham Lincoln juga melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan pidana, termasuk pidana mati, terhadap para pelaku. Jadi sebenarnya hukum perang sama tuanya dengan perang itu sendiri. Pada tahun 1864 diselenggarakan konferensi di Jenewa tentang nasib para prajurit yang terluka di medan perang. Konferensi lain diadakan di St Pittersburg tahun 1866 untuk melarang penggunaan proyektil yang meledak dengan berat kurang dari 400 gram.5

Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

againts humanity) yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan

bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tidak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecehan seksual, perbudakan, peyiksaan dan pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatn itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yangmelibatkan banyak

4

Marcella Elwina. S, Mengatur Kejahatan Perang, www.suaramerdeka.com, 20 Desember 2003.

5


(14)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk...mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu6

B. Prinsip-Prinsip Hukum Kejahatan Kemanusiaan

. Defenisi di dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal (salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan) sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil.

Namun sejarah entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam skala seperti yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania serta gedung WTC tahun 2001. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts

humanity).

Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yuridiksi atas beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya tidak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tidak dapat menyelidiki

6

Goeffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan


(15)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

kelompok-kelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Atau, suatu organissasi kriminal dengan agenda politik seperti kartel obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim, wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara memilih melakukan yuridiksi atas warga yang ditahan. Walaupun pengalaman Columbia dimasa lalu (ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tidak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobat dan pemimpin kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat) telah memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke Pengadilan Internasional7

Termasuk diantara aksi-aksi dibawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan orang secara paksa’, didefenisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang oleh atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan hukum dalam waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini (kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia) ditujuka n untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumlah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Defenisi tersebut akan memberatkan mereka yang termasuk kedalam pasukan tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemrintah yang menutup-nutupi aktivitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, defenisinya lebih hati-hati dibandingakan dengan yang tercantum dalam

.

7


(16)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan yang tidak berperikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rezim melalui penindasan rasional secara sistematis.

Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7 yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berperikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu (tetapi tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar hukum internasional.

Kejahatan ‘penindasan’ di defenisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa di dakwakan bagi para pemimpin yang melakukan ‘kebersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genocide. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan oleh ‘pasukan kematian di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan ‘subversif’ dipusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas

corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan

kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yuridiksi pengadilan (seperti genocide atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya) merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu tidak akan maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan.


(17)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Bagaimanapun kejahatan penindasan (yang defenisinya membingungkan karena tumpang tindih antara Pasal 7 (1)(h) dan Pasal 7 (2)(g) akan menjadi sebuah senjata bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah profesional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rezim klien-kliennya.

Pengadilan Den Haag untuk bekas Yugoslavia adalah pengadilan pertama yang mengakui permerkosaan sebagai kejahatan yang berkaitan dengan masalah politik. Statuta Roma memasukkan kemajuan dari defenisi ini dalam Pasal 7 yang mencantumkan pemerkosaan, bersama dengan perbudakan seksual, kehamilan yang dipaksakan, pemaksaan pelacuran, dan sterilisasi, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan secara sistematis. Ide memperkosa perempuan-perempuan muslim dengan tujuan agar mereka melahirkan ‘bayi-bayi Chetnik’ bukan kebijakan negara Sebia, tapi merupakan pikiran jahat yang meracuni para prajurit dan perwira tinggi dalam beberapa batalion Serbia. Dan oleh karenanya masih dapat dianggap sebagai ‘kebijakan organisasi’ yang termasuk dalam Pasal 7.

Masuknya ‘perbudakan seksual’ dan ‘pemaksaan terhadap pelacuran’ merupakan pengakuan yang terlambat. Bahwasannya perbudakan tentara Jepang atas ‘wanita-wanita penghibur’ dari Korea dan Taiwan untuk melayani mereka selama Perang Dunia II sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, pada tahun 1946, masalah itu tidak terpikirkan oleh Sekutu sebagai kejahatan yang seharusnya dapat di hukum. Jepang sendiri tidakmerasa perlu untuk meminta maaf sampai tahun 1996.

Kehamilan secara paksa berarti pemerkosaan yang kemudian diikuti oleh ‘persalinan tidak sah’ untuk ‘mengubah komposisi suatu etnis’. Vatikan sendiri khawatir dengan menjadikan secara paksa sebagai subjek kejahatan terhadap


(18)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

kemanusiaan nantinya akan menjustifikasi pemusnahannya melalui aborsi.Vatikan bersikeras bahwa ‘defenisi ini dengan cara apapun tidak dapat mengubah hukum nasional tentang kehamilan’. Daerah kantong yang religius, yang dinilai secara salah oleh komunitas internasional sebagai suatu negara tersebut, bertanggung jawab dalam masukan Pasal 7 (3), yang dinilai Pasal yang paling konyol dari seluruh perjanjian internasional. ‘Penindasan’ telah di defenisikan dalam Pasal 7 (1)(h) meliputi penindasan berdasarkan gender. Vatikan, serta negara-negara Khatolik dan Islam lainnya, bersikeras untuk menambahkan Pasal 7 (3) menjadi: “dalam statuta ini,

dipahami bahwa terminologi ‘gender’ mengacu pada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat. Terminologi gender tidak menunjukkan arti selain yang telah disebutkan diatas”.

Dengan rumusan di atas juga dapat memberikan arti bahwa anda dapat melakukan apa saja yang anda sukai terhadap orang-orang transeksual. Penindasan adalah suatu kejahatn apabila ditujukan kepada laki-laki sebagai laki-laki, atau perempuan karena mereka perempuan, tetapi para homoseksual dan lesbian masih dapat merasakan penderitaan dan penyiksaan itu. Rumusan ‘pencabutan hak-hak mendasar dengan sengaja dan keji’ jika dilakuakn dalam ‘konteks masyarakat’ disepakati oleh pemerintah terhadap budaya gay-basing. Pasal 7 (3) adalah suatu peringatan yang tidak disukai tapi nyata bahwa mayoritas negara tahun 1998 masih memilih menarik mundur hak asasi manusia. Berdasarkan orientasi seksual.

Walaupun demikian Pasal 7 harus dihargai sebagai Pasal yang bernilai tinggi dalam Statuta Roma. Pasal ini merealisasikan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan yang wajib dipatuhi oleh negara-negara di dunia dan membedakannya dari kejahatan lain dengan mengaitkan pada kebijakan negara atau organisasi politik. Kejahatan ini tidak didefenisikan atas dasar gawatnya kejahatan itu: seseorang pembunuh berantai


(19)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

dapat menimbulkan kerusakan yang luas daripada penyiksaan rutin yang dilakukan oleh polisi. Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan baik dalam kelicikannya dan dalam kebutuhan akan peraturan-peraturan khusus tentang penolakan terhadapnya adalah suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa kejahatan itu merupakan suatu aksi brutal yang nyata-nyata dilakukan oleh pemerintah atau setidaknya oleh organisasi yang melaksanakan atau memaksakan kekuasaan politiknya. Yang menjadikan kejahatan itu sangat mengerikan dan menempatkan kejahatan ini dalam dimensi yang berbeda dari kejahatan biasa adalah bukan apa yang ada di pikiran si pelaku penyiksaan, tetapi kenyataan bahwa indivu tersebut merupakan ‘bagian dari aparat negara’.

Itulah sebabnya mengapa diperlukan tanggung jawab individu dan yuridiksi universal jika ingin ada pembendangan terhadap kejahatan tersebut. Seperti halnya para bajak laut dan pedagang budak pada abad ke-18 tidak tersentuh oleh huku m, mengingat mereka berada di laut lepas sehingga bukan merupakan subjek yuridiksi negara manapun, begitu juga halnya para politisi dan jenderal di abad ke-20 yang kebal hukum selama mereka menjalankan kedaulatan negara.Kini, yuridiksi universal akan mengkaitkan mereka dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, Pasal 27 menghilangkan seluruh kekebalan bagi para kepala negara serta anggota pemerintahan dan parlemen. Ini akan diberlakukan pada negara-negara yang merupakan negara pihak dalam Perjanjian ICC dan hal ini juga akan membawa pengaruh dalam hukum internasional.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, di samping kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum, kejahatan terhadap kemnausiaan sudah diterima dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional. Sudah diterima secara internasional pula bahwa norma-norma di


(20)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Beberapa prinsip yang diakui dalam kejahatan kemanusiaan, adalah:8

1. Prinsip non retroaktif dalam kejahatan terhadap kemanusiaan

Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:

a. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu, orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara commission maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif. b. Pasal 15 (2) kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik

memmungkinkan pengecualian asas non retrosktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.

2. Pertanggungjawaban komando

Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command responsibility). Secara konseptual seorang komando dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas pernuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dubawah pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawah pengendaliannya (by ommission). Pertanggungjawaban karena pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang agar dilakukan penyelidikan. Sebagai contoh dari pertanggungjawaban pidana karena pembiaran

8


(21)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

adalah Jenderal Yamashita, Perdana Menteri Tojo, Menteri Luar Negeri Hirota (pada pengadilan Tokyo), Perdana Menteri Kambada dari Rwanda dan Presiden Slobodan Milosevic di Den Haag. Konsep demikian sudah diterima cukup lama dalam hukum internasional, terakhir terkodifikasi dalam Statuta Roma.

3. Prinsip Praduga tak Bersalah

Berdasarkan Pasal 61 Statuta Roma, prinsip ini menempatkan adanya beban pada jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pasal 97 (i) menyarankan bahwa bukti-bukti dan bantahan tidak dibebankan kepada terdakwa. Masalah beban dan standar bukti dapat menjadi sangat penting dalam pengadilan yangmenggunakan sistem juri, walaupun mereka mencoba untuk bersikap akademis dalam membuat putusan-putusan pengadilan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pada praktiknya, pada saat tuntutan telah membuktikan tanpa keraguan adanya keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, tugas yang berat dalam membuat kondisi pembuktian tidak bersalah seperti adanya paksaan atau keadaan yang tidak sadar atau kesalahan akan berpindah kepada terdakwa.

C. Pengertian Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter

Pengertian tawanan perang menurut Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang adalah orang-orang anggota angkatan bersenjata yang ditahan oleh pihak musuh (capture by the enemy) atau selengkapnya: all person

belonging to the armed forces of the belligerents who are captured by the enemy in the course of operatins. Pendudukan oleh angkatan perang musuh tanpa perlawanan

tidak tercakup dalam defenisi di atas, yang menggunakan istilah ‘tawanan perang dalam suatu pertempuran’ sebagai ukuran.


(22)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Pada ketentuan Pasal 4 A, pengertian tawanan perang menurut Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlakuan tawanan perang adalah orang-orang yang termasuk salah satu golongan berikut, yang telah jatuh dalam kekuasaan musuh. Pasal ini menyatakan bahwa mereka berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang adalah:

1. Para anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa, begitupun anggota-anggota milisi atau barisan prajurit cadangan sukarela yang menjadi bagian dari angkatan perang demikian itu; (Pasal 4 Konvensi III Paragraf B). 2. Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota barisan prajurit cadangan sukarela

lainnya, termasuk anggota-angota gerakan-gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau diluar wilayahnya sendiri, sekalipun itu diduduk i, asal saja milisi atau barisan prajurit cadangan sukarela demikian, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir itu dan memenuhi syarat-syarat berikut: (Pasal 4 Konvensi III Paragraf B sub Paragraf I)

a. Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas bawahannya. b. Menggunakan tanda pengenal tetap yang dikenali dari jauh.

c. Membawa senjata secara terbuka.

d. Melakukan operasi mereka yang sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.

3. Para anggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiannya pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan.

4. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan-wartawan perang, pemasok berbekalan, anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggungjawab atas kesejahteraan angktan perang, asal


(23)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

saja mereka telah mendapatkan pengesahan dari angakatan perang yang disetainya, yang harus melengkapi mereka dengan sebuah kartu pengenal.

5. Anggota-anggota awak kapal niaga, termasuk nahkoda, pemandu laut dan taruna dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa, yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalamm hukum internasional.

6. Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendirinya dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati kebiasaan-kebiasaan perang.

Dari enam golongan tersebut di atas, yang termasuk ke dalam nomor 1, 2, 3 dan 6 termasuk ke dalam kategori kombatan, yang apabila tertangkap akan diperlakukan sebagai tawanan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1949. Sedangkan yang termasuk kedalam nomor 4 dan 5, walaupun termasuk dalam ategori penduduk sipil berhak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.

Keenam golongan di atas, yang terdiri dari kombatan dan penduduk sipil, apabila jatuh ketangan musuh, maka berhak mendapat perlakuan sebagai tawanan perang, harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan.

Menurut Konvensi ini, kategori berikut juga diperlakukan sebagai tawanan perang, yaitu:

1. Orang yang tergolong, atau pernah tergolong dalam angkatan perang dari wilayah yang diduduki, apabila negara yang menduduki wilayah itu memandang perlu untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu, walaupun negara itu pada awalnya telah membebaskan mereka selagi permusuhan berlangsung di luar


(24)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

wilayah yang diduduki negara itu, terutama jika orang-orang bergabung kembali dengan angkatan perang mereka yang terlibat dalam pertempuran, atau jika mereka tidak memenuhi panggilan yang ditujukan kepada mereka berkenaan dengan penginterniran.

2. Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam pasal ini, yang telah diterima oleh negara-negara netral atau negara-negara yang tidak turut berperang dalam wilayahnya, dan yang harus diinternir oleh negara-negara itu menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik yang mungkin diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu dan dengan pengecualian pasal 8, 10, 15 dan 30 paragraf kelima. Pasal 58-67, 126 dan apabila terdapat hubungan diplomatik antara pihak-pihak dalam sengketa dengan negara netral atau negara pelindung. Jika terdapat hubungan diplomatik demikian, pihak-pihak dalam sengketa yang ditaati oleh negara-negara itu harus diperkenankan menyelenggarakan fungsi negara pelindung terhadap mereka, sebagaimana ditentukan oleh konvensi ini, tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi yang biasa dijalankan oleh pihak-pihak itu sesuai dengan kebiasaan dan perjanjian-perjanjian diplomatik dan konsuler.

Berpegang pada pengertian tawanan perang tersebut, membuka kemungkinan bagi tentara pendukung yang melakukan penangkapan atas bekas anggota tentara yang diduduki berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keamanan untuk menganggap dirinya tidak terikat untuk memperlakukan orang-orang demikian sebagai tawanan perang.

D. Hak-hak yang Melekat Pada Tawanan Perang

Pada prinsipnya, terhadap tawanan perang, pihak-pihak bersenjata harus melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:


(25)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

1. Pada waktu tertangkap, para tawanan diwajibkan memberikan keterangan mengnai nama, pangkat, tanggal lahir dan nomor anggotanya. Mereka tidak boleh dipaksa memberi leterangan lebih lanjut dalam keadaan apapun. Penyiksaan dan perlakuan kejam terhadap mereka dipandang sebagai kejahatan perang (Pasal 12). 2. Segera setelah tertangkap, tawanan perang berhak dilengkapi dengan kartu

penangkapan. Kartu penangkapan ini selanjutnya dikirim Biro Penerangan Resmi di negara asal tawanan perang melalui Badan Pusat Pencarian Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross Central Tracing Agency). Badan Pusat Pencarian ini memiliki tugas memberikan keterangan kepada keluarga para tawanan perang. Dengan cara ini, maka hubungan tawanan perang dengan keluarganya tetap terjalin (Pasal 18).

3. Secepatnya para tawanan perang harus dipindahkan dari kawasan berbahaya ke tempat yang aman. Kondisi kehidupan mereka harus setara dengan kondisi kehidupan dari anggota perang negara penahan yang tinggal di tempat itu (pasal 19).

4. Sedapat mungkin kondisi penawanan mempertimbangkan adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan para tawanan perang (Pasal 25).

5. Para tawanan yang sehat dapat diminta untuk bekerja, tapi mereka dapat melakukan pekerjaan yang berbahaya apabila mereka menyetujuinya (Pasal 51). 6. Tawanan perang berhak melakukan korespondensi dengan keluarganya (biasanya

surat ataupun kartu pos dikirimkan melalui Badan Pusat Pencarian Palang Merah Internasional). Mereka juga berhak menerima bantuan dalam bentuk apapun bingkisan perorangan (Pasal 72).

7. Tawanan perang tunduk pada hukum yang berlaku di negara penahan, khusunya hukum yang berlaku untuk angkatan bersenjata. Jika terjadi pelanggaran, mereka


(26)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

dapat dijatuhi sanksi pidan adan juga sanksi indisipliner sesuai dengan aturan yang berlaku. Negara penahan juga dapat menghukum tawanan perang terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan sebelum mereka ditawan, Misalnya tuduhan kejahatan perang yang dilakukan di daerah penduduk atau di medan pertempuran (Pasal 82).

8. Tawanan perang yang dihukum berhak mendapatkan jaminan peradilan yang wajar, dan bila terbukti bersalah serta dijatuhi hukuman, maka ia tetap berstatus sebagai tawanan perang. Artinya, setelah ia menjalani hukumannya, ia berhak untuk dipulangkan ke negara asalnya (pasal 99-106).

9. Dilarang melakukan tindakan pembalasan (reprisal) terhadap tawanan perang. Dalam hal terjadi pertukaran antar tawanan perang, tidak selalu didasarkan pada jumlah yang sama dari tawanan yang akan dipulangkan, tetapi biasanya didasarkan atas pertimbangan terhadap mereka yang mengalami penedritaan khusus.

Pemulangan atau pelepasan penuh tawanan perang juga dapat dilakukan dengan cara bersyarat atau dengan suatu perjanjian. Berdasarkan persyaratan atau perjanjian tersebut, tawanan perang yang dilepaskan berjanji untuk tidak ikut ambil bagian lagi secara aktif dalam pertempuaran. Namun karena persyaratan demikian, maka pelepasan dengan syarat atau perjanjian jarang sekali terjadi.

Berdasarkan Pasal 118 Konvensi III, semua tawanan perang harus dipulangkan ke negara asalnya. Berkenaaan dengan hal tersebut, timbul suatu masalah, yaitu apabila para tawanan perang itu sendiri tidak mau untuk dipulangkan.

Berkaitan dengan pemulangan tawanan perang, dalam Pasal 109-111 Konvensi III diatur hal-hal sebagai berikut:


(27)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

1. Segera setelah mampu berjalan, tawanan yang luka dan sakit parah harus langsung dikembalikan tanpa penangguhan. Suatu komite kesehatan bersama (mixed

medical committe) akan memutuskan siapa-siapa yang akan dipulangkan.

2. Setelah peperangan berakhir, semua tawanan harus dibebaskan dan dipulangkan tanpa ada penundaan.

3. Tanpa menunggu berakhirnya perang, para pihak yang bersengketa hendaknya memulangkan para tawanan atas dasar kemanusiaan dan sedapat mungkin bersifat timbal balik, yaitu dengan cara melakukan pertukaran tawanan perang secara langsung ataupun melalui negara ketiga yang netral.

Sebagai contoh, dalam perang Korea, para tawanan perang Korea Utara enggan pulang ke negaranya. Dalam hal ini, PBB memutuskan bahwa tidak seorangpun tawanan perang yang dapat dipaksa untuk dikembalikan ke negara asalnya, jika mereka tidak menghendakinya.

Namun hal ini harus diputuskan dengan sangat hati-hati. Sebab jika tawanan perang diperbolehkan memutuskan sendiri untuk pulang atau tidak, ada kemungkinan negara penahan akan menegaskan haknya untuk membuat putusan mengenai pemulangan para tawanan perang tersebut, sehingga suatu negara dapat saja menekan para tawanan perang tersebut untuk tinggal. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka suatu organisasi kemanusiaan yang bersifat netral dapat melakukan jasa-jasanya berkenaan dengan pemulangan para tawanan perang.

Setelah peperangan berakhir, para pihak yang bersengketa juga harus melakukan segala tindakan yang dimungkinkan untuk mencari dan mengumpulkan orang-orang yang luka dan sakit. Kondisi mereka dicatat dan secepatnya diberikan kepada biro penerbangan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 122 Konvensi III.


(28)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Ketentuan tersebut harus meliputi nama Negara asal, nomor anggota, nama lengkap dan nama kecil, tanggal lahir, serta tanggal dan tempat penangkapan.

Keterangan ini selanjutnya disampaikan kepada negara asal tawanan perang yang bersangkutan, melalui Kantor Pusat tawanan perang dan juga negara pelindung.

Di samping orang-orang yang luka atau sakit, maka pihak yang bersengketa juga harus melakukan semua tindakan untuk mencari dan mengidentifikasi orang-orang yang telah meninggal dunia.Wasiat dan barang-barang si korban harus dikumpulkan. Pemakaman mereka harus dijamin. Pembakaran mayat hanya dimungkinkan karena alasan klesehatan atau karena ajaran agama si korban. Makam mereka harus didaftarkan, ditandai dan dijaga oleh Layanan Pendaftaran Makam Resmi (official

graves registration services), yang dikelola oleh pihak yang bersengketa.

Selain peranan Komite Palang Merah dalam pengawasan atas pelaksanaan Konvensi Jenewa sebagaimana diterangkan sebelumnya, perhimpunan-perhimpunan penolong dan perhimpunan kemanusiaan lainnya dapat memberikan bantuan yang besar dalam meringankan penderitaan tawanan perang. Hal ini terbukti dengan nyata sekali, tidak hanya saat Perang Dunia II, tetapi dalam setiap pertikaian bersenjata yang terjadi setelah perang dunia tersebut.


(29)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapapun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar Hak Asasi Manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan/tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.9

Hak Asasi Manusia terbagi atas:10 1. Hak Asasi Pribadi (Personal Right)

a. Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat b. Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

c. Hak kebebasan memilih dan aktif diorganisasi atau perkumpulan

d. Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agaman dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

2. Hak Asasi Politik (Political Right)

9

http:www.organisasi.org. Organisasi-Komunitas dan Perpustakaan Online Netter Indonesia.

10


(30)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

a. Hak untuk memilik dan dipilih dalam suatu pemilihan b. Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

c. Hak memnuat dan mendirikan parpol atau partai politik dan organisasi politik. d. Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.

3. Hak Asasi Hukum (Legal Equality Right)

a. Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan b. Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil

c. Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4. Hak Asasi Ekonomi (Property Right)

a. Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli b. Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

c. Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll d. Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu

e. Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak 5. Hak Asasi Peradilan(Procedural Right)

a. Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

b. Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahan dan penyelidikan di mata hukum.

6. Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Right)

a. Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan b. Hak mendapatkan pengajaran

c. Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat. Hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apapun akan


(31)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam “Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa” (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah “penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan”.11 Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan nerbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang.12

Hak asasi telah diidentifikasikan dan diatur dalam berbagai perjanjian internasional dan regional. Contoh yang paling bagus diantaranya adalah Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Right) tahun1948, yang mengatur anggota masyarakat internasional untuk menghormati

hak-Pembunuhan dan kerusakan dahsyatyang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangkan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.

11

Untuk naskah “Declaration by United Nations” tertanggal 11 Januari 1942, lihat H.F. Van Panhuys, dkk., ed., International Organization and Integration (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), vol. 1A.

12

Douglas Lurton, Roosevelt’s Foreign Policy, 1933. 1941: franklin D. Rossevelt’s Unidited Speeches (Toronto: Longmans, Green, 1942), 324.


(32)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

hak semua manusia untuk hidup, untuk memperoleh penghidupan yang layak, untuk kebebasan dan keamanan, untuk kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi, dan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di negaranya. Pada tahun 1976, dua kovenan internasional muncul dengan dorongan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang pertama mencakup hak-hak Sipil dan Politik dan yang kedua adalah mengenai hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.13

Umumnya, para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya Hak Asasi Manusai dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan huku, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum.Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti leh perkembangan yang konkret dengan lahirnya

Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu, mulai timbul adagium yang

intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Hak-hak sipil dan politik dikenal luas sebagai hak-gak ‘generasi pertama’, dan kadang-kadang disebut sebagai ‘hak-hak negatif’ karena menuntut negara untuk tidak menggunakan tindakan-tindakan seperti penyiksaan terhadap warga negaranya atau menyangkal hak untuk berbicara. Sementara itu, hak-hak ‘generasi kedua’ yang mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, di satu sisi, sering disebut sebagai ‘hak positif’, karena menuntut tindakan pemerintah untuk menyediakan pelayanan seperti rumah atau sekolah. Baik hak-hak manusia generasi pertama maupun kedua, diatur dalam merespon kebutuhan individu yang memiliki hak telah dilanggar dalam merespon kebutuhan individu yang memiliki hak telah dilanggar dalam puluhan terakhir ini, dan saat ini telah mendapat pengakuan dan penerimaan publik.

13


(33)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of

Rights melahirkan asas persamaan.

Para pejuang HAM dahulu sudah berketetapan bahwa persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Montesqueu dengan Trias Politiknya mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, Jhon Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.14

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American

Declaration of Independence yang lahir dario paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,

walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus terbelenggu.Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French

Declaration, di mana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law.

Antara lain dinyatakan, tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah.15

Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap yang menyatakan ia

14

http://www.ham.go.id/org.sejarah.asp.

15

Makalah Ifdal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi International, Fokus Group Discusion, WALHI, Kontras, Jatam, Koalisi EEKoSOB, Komnas HAM, 18 Agustus 204, hal 1.


(34)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

bersalah. Dipertegas juga dengan Freedom of Expression (bebas mengeluarkan pendapat), The Right of Property (perlindungan terhadap hak milik), Right of Live (hak Hidup) dan hak-hak dasar lainnya, Jadi dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya penegak HAM, demokrasi maupun negara hukumyang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.

Perlu juga diketahui, The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p. 654 tersebut di bawah ini: “The first is freedom of speech and expression everywhere

in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, mean economic ubderstanding which secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitans-every where in thw world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, mean a worldwide reduction of armement to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression againts any neighbor-anywhere in the world”.16

B. Teori-Teori Hak asasi Manusia

Semua hak-hak ini, setelah perang Dunia II dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan

The Universal Declaration of Human rights yang dirumuskan, dan dideklarasikan

oleh PBB pada tahun 1948.

Hak asasi manusia pada mulanya adalah produk mazhab hukum kodrati. Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Deklarasi Hak-Hak Asasi manusia dan Warganegara Perancis, keduanya bermula dari teori hak-hak kodrati.

16


(35)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Ajaran hukum kodrati dapat dirunut kembali ke zaman kuno, dapat dikatakan bahwa mazhab modern hukum kodrati muncul dalam abad pertengahan bersamaan dengan tulisan para filsuf pertama Kristiani, diantaranya yang terkemuka adalah Santo Thomas Aquinas. Pandangan Thomistik mengenai hukum kodrati mempostulatkan bahwa hukum kodrati ini merupakan bagian dari hukum Tuhan yang sempurna yang dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. Sebagian isi filsafat hukum kodrati yang terdahulu adalag ide bahwa posisi masing-masing orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnta tunduk pada otoritas Tuhan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bukan hanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa semua manusia dianugrahi identitas individual yang unik, yang terpisah dari negara. Aspek hukum kodrati terakhir ini dapat dipandang sebagai mengandung benih ide hak kodrati yang menyatakan bahwa stiap orang adalah individu yang otonom.

Landasan hukum kodrati yang terdahulu sepenuhnya teostik, artinya supaya korehen hukum ini mensyaratkan adanya iman pada Tuhan, tetapi tahapan selanjutnya dalam perkembangan hukum kodrati adalah memutuskan asal usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi suatu produk pemikiran sekuler yang rasional dan bijak. Tugas ini dilaksanakan oleh Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda, yang umumnya dikenal dengan nama latin Grotius, dan diakui sebagai “bapak hukum internasional”. Dalam risalahnya, De Jure Belli on Facis, grotius beargumentasi bahwa wksestensi hukum kodrati, yang merupakan landasan semua hukum positif atau hukum tertulis, dapat dirasionalkan si atas landasan yang non empiris dengan menelaah aksioma ilmu ukur. Pendekatan sistematis semacam itu terhadap permasalahn hukum menunjukkan bahwa semua ketentuan dapat diketahui dengan menggunakan “nalar yang benar” dan kesahihannya tidak bergantung pada Tuhan.


(36)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Pendekatan rasional sekuler terhadap hukum ini menarik bagi kaum terpelajar pasca-Renaisans, dan dengan menggunakan “nalar yang benar” model Grotius ini dapat kita pahami perkembangan teori hak kodrati atau hak individu.17

Locke menggunakan teori kontak sosialnya utnukmenjelaskan dan membela Revolusi Gemilang Inggris tahun 1688. Dengan melanggar hak-hak kodrati kawulanya, raja James II telah kehilangan haknya untuk memerintah dan telah menghabsahkan perubahan pemerintahan yang terjadi sebagai akibatnya. Dari sudut pandang hak kodrati model Locke, dua hal tampak jelas. Pertama, individu adalah makhluk otonom yang mampu melakukan pilihan dan, kedua, keabsahan pemerintah tidak hanya bergantung pada kehendak rakyat, tetapi juga pada kemauan dan kemampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak kondrati individu itu. Sementara

Sepanjang abad ke-17, pandangan hukum kodrati model Grotius terus disempurnakan dan pada akhirnya berubah menjadi teori hak kodrati. Melalui teori ini, hak-hak individu yang subjektif diakui. Yang terkemuka diantara para pendukung doktrin hak kodrati adalah John Locke. Locke beragumen bahwa semua individu dikaruniai oleh alam, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara. Tetapi Locke juga mempostulatkan bahwa untuk menghindari ketidakpastian hidup dalam alam mini, umat manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontral sosial atau ikatan sukarela, yang dengan itu penggunaan hak mereka yang tidak dapat dicabut itu diserahkan kepada penguasa negara.Apabila penguasa negara memutuskan kontral sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, para kawula negara itu bebas untuk menyingkirkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak itu.

17


(37)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

jelas bahwa teori hak kodrati Locke merupakan suatu bagunan ide buatan yanhg dirancang untuk menjelaskan hakikat manusia dalam masyarakat politis, namun teori iru sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik pada abad ke-17 dan ke-18. Baik bahasa revolusi Amerika maupun revolusi Perancis, dan tulisan-tulisan filsuf Perancis Jean-Jacques Rousseau serat filsuf modern jerman Immanuel Kant, memperlihatkan silsilah filosofis dari hukum kodrati dan hak kodrati.18

Kant mengembangkan gagasannya dari suatu apresiasi yang lebih umum terhadap tradisi hukum kodrati dan hak kodrati yang non-empiris. Dasar teori Kant adalh printah kategoris, ayitu kebijakan moral yang mutlak yang dapat diidentifikasikan dalam pelaksanaan kehendak baik oleh semua individu yang rasional. Menurut teori Kant, perintah kategoris ini bekerja pada tiga tingkatan. Pertama, perintah kategoris ini merinci tindakan-tindakan universal yang merupakan kewajiban semua individu. Kedua, perintah kategoris meyediakan kaidah-kaidah yang Walaupun mengikuti arah utama teori kontrak sosial Locke, Rousseau, menyatakan bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak kodrati individu, melainkan menganugerahi kedaulatan yang tidak bisa dicabut pada para warganegara sebagai satu kesatuan. Jadi, setiap hak yang diturunkan dari hukum kodrati akan ada pada rakyat sebagai kolektivitas dan dapat diidentifikasi dengan mengacu pada “kehendak umum”. Jelas bahwa kehendak umum bukanlah suatu kualitas mutlak dan dapat berubah sendiri atau diubah bentuknya oleh seorang pemimpin yang persuasive. Oleh karena itu, meskipun teori Rosseau diturunkan dari ajaran hukum kodrati, teori ini jelas dapat digunakan untuk membenarkan demagogi dan totaliterisme. Tentu saja, orang dapat merargumentasu bahwa Teori Revolusi Prancis mungkin bisa ditelusuri pada penyimpangan terhadap tesis “kehendak umum” itu.

18


(38)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

sistematis untuk menetapkan kewajiban-kewajiban ini. Ketiga, perintah kategoris ini merinci hubungan antara kebebasan dan kewajiban. Tetapi, yang mendasari perintah kategoris itu adalah ide bahwa individu berkewajiban mengembangkan kapasitas rasional mereka dan menggunakannya untuk membantu perkembangan kebahagiaan yang lain. Perintah kategoris ini mempunyai suatu padanan berupa suatu sistem hak meskipun pada dasarnya perintah ini berlandaskan pada kewajiban. Tetapi, berbeda dari tradisi hukum kodrati yang lama, hak-hak semacam itu tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan mengalir sari konsekuensi-konsekuensi sistem modal Kant yang berlandaskan pada kewajiban. Kant mempostulatkan bahwa dalam masyarakat rasional yang menentukan nasib mereka sendiri, kebebasan atau hak akan muncul sebagai konsekuensi dari penerapan perintah kategoris itu. Oleh karenanya, hak semacam itu dapat dideskripsikan sebagai akibat dan non relasi, artinya eksestendi atau nilai hak-hak ini tidak saling bergantung satu sama lain. Karena sifat non relasi inilaj, teori Kant tentang hak sangat sukar diterapkan pada situasi konkret.

Sejak abad ke-19 teori halk kodrati pada umumnya tidak lagi dihormati orang, meskipun ada kebangkitan kembali setelah Perang Dunia II. Kritikus utama terhadap teori kodrati adalah bahwa teori ini tidak bisa diperiksa kebenarannya secara ilmiah. Bagaiman mungkin mengetahui darimana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya? Para kritikus menunjuk pada struktus nilai atau moral yang a priori dan pengandaian-pengandaian yang diturunkan dari prefensi pribadi berbagai teoritikus itu dan menyatakan bahwa hak-hak kodrati tidak mungkin ada secara objektif. Seperti dikatakan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian Inggris, “bagi saya, hak merupakan anak hukum, dari hukum riil lahir hak riil, tetapi dari


(39)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

hukum imajiner, dari hukum kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong retorik, omong kosong yang dijunjung tinggi.19

C. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional

Namun kendati ada kritik-kritik terhadap hukum kodrati dan hak kodrati ini, kita tidak boleh melupakan pengaruhnya yang besar bagi kemunculan dan perkembangan hak asasi manusia. Teori hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum negara. Orang bisa mengajukan banding terhadap sistem hukum ini apabila hukum negara ternayata tidak adil, sewenang-wenang atau bersifat menindas. Bahkan dapat diargumentasikan, bahwa dokumen-dokumen konstitusi revolusioner terdahulu adalah dokumen “hak kodrati” dan setelah kebiadaban luas biasa terjadi menjelang Perang Dunia II, gerakan untuk menghidupkan kemnali hak kodrati menghasilkan dirancangkannya suatu instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia. Tentu saja dapat diterima, pendapat yang menyatakan bahwa suatu sistem hukum positif dibutuhkan untuk membuat pernyataan yang sistematik dan pasti mengenai hak-hak aktual yang dimiliki rakyat, meskipun hak asasi manusia berdasar dari hukum kodrati.

Hukum hak asasi manusia internasional merupakan cabang hukum publik internasional, yakni hukum yang telah dikembangkan untuk mengatur hubungan diantara entitas-entitas yang mempunyai pribadi yangbersifat internasional, seperti negara, organisasi internasional dan boleh jadi individu. Dalam konteks hak asasi manusia, hukum internasional mempunyai kualitas ganda sebab ia menciptakan

19


(40)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

penghalang bagi proteksi hak asasi yang efektif dan sekaligus juga menyediakan sarana untuk mengatasi rintangan-rintangan semacam itu.

Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Kovenan Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human

Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa pada tahun 1950 ini menjadi

sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia.20

Sejumlah kalangan mengusulkan agar suatu pernyataan hak asasi internasional di PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekedar suatu deklarasi melainkan yang mampu mengerahkan tekanan internasional terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusi secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan hak asasi manusia Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan kedalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.

20

Ihwal Sistem Eropa, lihat Frede Castberg, The European Convention on Human Rights (Dobbs Ferry, New York; Ocean Publications, 1974); james E.S. Fawcett, The Application of the European

Convention on Human Rights(Oxford: Clarendon Press, 1969); dan Secretary to the European

Commission of Human Rights, Stock-Taking on the European Convention on Human Rights; A

Periodic Note on the Concrete Result Achieved under the Convention (Starsbourg: Dewan Eropa,


(41)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang, yaitu Perjanjian Hak-Hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) serta Perjanjian Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural

Rights).

Akibat permusuhan dalam perang dingin saat itu, dan tamatnya dukungan bagi perjanjian hak asasi manusia yang dibuat Amerika Serikat, gerakan yang didasarkan pada Perjanjian Internasional di tangguhkan dalam waktu yang lama. Perjanjian itu belum juga disetujui Majelis Umum sampai tahun 1966. Selama tahun-tahun tersebut ketika perjanjian itu tampaknya tidak ada harapan PBB mengeluarkan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang lebih terbatas yang bersangkutan dengan topik-topik yang relatif tidak kontroversial seperti pemusnahan suku bangsa (genocide), perbudakan, pengungsi, orang-orang tanpa kewarganegaraan serta diskriminasi.21

Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan persetujuan akhir Majelis Umum bagi erjanjian Internasional yang keluar pada tahun 1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari kekuasaan penjajah, memasuki PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk menegakkan hak asasi manusia, namun mereka memodifikasikannya guna mewakili kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri, mengakhiri kolonialisme, mengutuk eksploitasi negara-negara barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta Perjanjian-perjanjian ini umumnya ditandatangani oleh sejumlah negara besar walau tidak ditandatangani oleh Amerika Serikat dan lewat mereka PBB mulai memetik sejumlah pengalaman untuk menjalankan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.

21

Sejumlah besar dari dokumen-dokumen ini dapat ditemukan di dalam Brownlie, ed., Basic


(42)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

menghancurkan apartheid dan diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut, keduanya berisi paragraf-paragraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan atas ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal dihapuskan dari perjanjian itu.

Setelah persetujuan dari Majelis Umum keluar pada tahun1966, perjanjian itu memerlikan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima menandatangani pada tahun 1976 dan perjanjian itu kini berlaku sebagai hukum internasional.


(43)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

BAB IV

KEJAHATAN KEMANUSIAAN TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN

KONVENSI JENEWA 1949

A. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Kejahatan Internasional

Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yuridiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari 4 jenis kejahatan, yaitu:

1. Genocide

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan 3. Kejahatan perang

4. Kejahatan agresi

Namun belum ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepakatan tentang defenisinya. Empat kategori kejahatan ini didefenisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapakan pengujian dari “keseriusan” tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.

Bagaimanapun pengadilan tidak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun


(44)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-ornag yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefenisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan-kejahatan dalam yuridiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genocide yang sebenarnya juga merupakan kejahatn terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan pada waktu damai di klasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tidak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam perang harus di nilai dengan cara berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara.22

Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yuridiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggungjawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak bergantung pada persoalan teknis karakteristik legal dari latar belakang konflik.23

B. Hak Asasi Manusia di dalam Konvensi Jenewa 1949

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

22

Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 409.

23


(45)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah merupakan setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang, termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang menjamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.24

Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan

Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta, sehingga bersifat kodrati. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu manusia dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pada hakikatnya, Hak Asasi Manusia terdiri atas du ahak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya. Sebaliknya, tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.

24


(46)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Piagam Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Piagam ini diantara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaanya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban dimuka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum.

Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam masa itu bahwa raja terikat kepada hukum dan bertangungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu labih banyak berada diangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai emrio lahrnya monarki konstitusional yang berintikan kekuasaab raja sebagai simbol belaka.

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama dimuka hukum

(equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara

hukum dan demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan.

Para pejuang HAM dahulu sudah berketetapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau tentang contract social atau perjanjian masyarakat, Montesquieu


(1)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Meskipun aksi penyiksaan terhadap tahanan perang yang dilakukan Amerika Serikat menimbulkan protes luas dari berbagai penjuru dunia, namun Amerika hingga kini masih terus melanjutkan metode penyiksaan terhadap para tahanannya. Amerika hanya berusaha melemparkan kesalahan kepada beberapa prajurit rendah dan memasukkan mereka ke dalam penjara. Namun demikian, kekejian yang dilakukan Amerika tersebut tidak mungkin terus menerus ditutupi. Semakin hari dunia semakin mengenali wajah asli Amerika di balik topeng demokrasi dan kebebasan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan di dalam penulisan skripsi ini, adalah:

1. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku moral dan agama yang bertujuan untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang dan mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.

2. Konvensi Jenewa 1949, sebuah konvensi yang ditaati dan dipatuhi oleh seluruh negara yang menentukan suatu hak dan kewajiban yang bertikai dalam melaksanakan suatu agresi militer, membatasi metode dan cara bertempur yang dapat dipakai untuk melakukan kerusakan kepada pihak musuh. Dalam pertikaian bersenjata, tujuan setiap pihak adalah memperoleh keuntungan yang berarti


(2)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

dengan mengurangi kekuatan militer yang mengakibatkan penderitaan atau kerusakan yang berlebihan dibandingkan dengan tujuan tersebut adalah larangan. Peraturan-peraturan mengenai sarana dan metode perang dirumuskan dengan mempertimbangkan baik prinsip keperluan militer maupun prinsip prikemanusiaan.

3. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang memiliki hubungan yang erat dengan asas-asas perikemanusiaan sehingga konvensi ini disebut juga sebagai konvensi-konvensi Humaniter. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan tawanan perang dalam menetapkan ketentuan-ketentuannya mengutamakan asas-asas perikemanusiaan dan memperhatikan pengalaman-pengalaman pahit yang terjadi terhadap para tawanan perang. Ketentuan-ketentuan tersebut juga memandang segala aspek hak asasi manusia (HAM) yang harus dijunjung tinggi dan merupakan pemberian Tuhan. Dalam ketentuan konvensi juga diatur tentang hak-hak dan kewajiban setiap tawanan perang yang harus diberikan dan dijalankan.

B. SARAN

Adapun saran yang dapat dikemukakan di dalam penulisan skripsi ini, adalah: a. Mahkamah Internasional harus dapat menindak dengan tegas setiap perbuatan

yang mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga dapat terlaksananya aturan-aturan tersebut dengan baik.

b. Diberinya tindakan yang tegas kepada pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan pada tawanan perang dimana seringnya terjadi tindakan penahanan dan penyiksaan yang sewenang-wenang sehingga tawanan perang mendapatklan hak-haknya dan perlakuan yang baik menurut aturan-aturan yang berlaku dalam Huku m Internasional.


(3)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

c. Dalam menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan pada tawanan perang hendaknya diberi pengawasan yang ketat agar tindakan-tindakan yang sewenang-wenang tidak terulang lagi dikemudian hari. Juga untuk melaksanakannya diperlukannya kerjasama dari seluruh negara-negara di dunia untuk menyelesaikan masalah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Douglas Lurton, Roosevelt’s Foreign Policy, 1933. 1941: franklin D. Rossevelt’s

Unidited Speeches (Toronto: Longmans, Green, 1942).

Goeffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk

Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta,

1982.

H.F. Van Panhuys, dkk, Declaration by United Nations, 1942.

Ifdal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi

International, Fokus Group Discusion, WALHI, Kontras, Jatam, Koalisi

EEKOSOB, Komnas HAM, 2004.

Ihwal Sistem Eropa, lihat Frede Castberg, The European Convention on Human

Rights (Dobbs Ferry, New York; Ocean Publications, 1974); james E.S.

Fawcett, The Application of the European Convention on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1969); dan Secretary to the European Commission of Human Rights, Stock-Taking on the European Convention on Human


(4)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

Rights; A Periodic Note on the Concrete Result Achieved under the Convention (Starsbourg: Dewan Eropa, 1979).

Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang, Jerry Flower adalah penasehat Legislasi pada Lawyers Committee for Human Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma.

Kumpulan Lengkap Perundangan Hak Asasi Manusia, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2006.

M. Cherif Bassiouni, Crime Agaunst Humanity, Oxford Press, 1998.

Martinus Nijhoff, International Organization and Integration, 1981.

Marcella Elwina. S, Mengatur Kejahatan Perang, 2003.

Sejumlah besar dari dokumen-dokumen ini dapat ditemukan di dalam Brownlie, ed.,

Basic Documents on Human Rights, 1948-1967.

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama grafiti, Jakarta, 1994.

Wahyu Wagiman, S.H, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Seri Bahan Bacaan Khusus HAM untuk Pengacara, 2005.

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1990.

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 1 angka 6.

oktober 2004.


(5)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

for Human Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma.

www.mail-archive.com

www.organisasi.org. Organisasi-Komunitas dan Perpustakaan Online Netter Indonesia.


(6)

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.

USU Repository © 2009

www.tempo.co.id.