PERANAN KPP PRATAMA DALAM MENINGKATKAN JUMLAH WAJIB PAJAK DI KABUPATEN KEBUMEN

(1)

PERANAN KPP PRATAMA DALAM MENINGKATKAN JUMLAH WAJIB PAJAK DI KABUPATEN KEBUMEN

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata I Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh : Nama : Aditya Setiawan NIM : 20120610141 Prodi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Administrasi Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

PERANAN KPP PRATAMA DALAM MENINGKATKAN JUMLAH WAJIB PAJAK DI KABUPATEN KEBUMEN

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata I Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh : Nama : Aditya Setiawan NIM : 20120610141 Prodi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Administrasi Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI

Bissmillahirrahmanirrahim

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Aditya Setiawan

NIM : 20120610141

Judul Skripsi :PERAN KPP PRATAMA DALAM MENINGKATKAN JUMLAH WAJIB PAJAK DI KABUPATEN KEBUMEN Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Skripsi Ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar sarjana S-1 yang telah diperoleh karena karya tulis ini, dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 5 Januari 2017

Yang Menyatakan,

Aditya Setiawan NIM. 20120610141


(4)

HALAMAN MOTTO

Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkannya mendapat jalan ke syurga (H.R Muslim)

Lebih baik mencoba, gagal, dan belajar sesuatu dari pada tak pernah mencoba dan tak pernah tahu apa-apa.


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN KATA PENGANTAR... vi

HALAMAN DAFTAR ISI... viii

HALAMAN DAFTAR TABEL... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

A. Hukum………... 8

1. Pengertian Hukum... 8

2. Tujuan Hukum... 10

3. Sistem Hukum... 12

B. Pajak... 14

1. Pengertian Pajak... 14

2. Unsur Pokok Pajak... 16

3. Pajak Penghasilan……….. 23


(6)

5. Asas Pemungutan Pajak... 27

6. Pengertian Pajak Daerah... 32

7. Ciri-ciri yang Melekat Pada Pengertian Pajak………...……… 33

8. Fungsi Pajak... 34

9. Syarat Pemungutan Pajak……….. 34

10.Kedudukan Hukum Pajak………..……….... 35

11.Pengelompokan Pajak……… 37

12.Stetsel Pajak………... 38

13.Yurisdiksi Pemungutan Pajak……… 39

14.Sistem Pemungutan Pajak……….. 39

15.Nomor Pokok Wajib Pajak……… 40

16.Pengertian Wajib Pajak... 46

17.Payung Hukum dan Pelaksanaan Penagihan Pajak di Indonesia….. 46

18.Kendala Penegakan Hukum dalam Pemungutan Pajak………... 48

19.Operasional Konsep………...……… 51

BAB III METODE PENELITIAN... 53

A. Jenis Penelitian... 53

B. Lokasi Penelitian... 54

C. Jenis dan Sumber Data... 54

1. Data Primer... 55

2. Data Sekunder... 55

D. Teknik Pengumpulan Data... 55

E. Unit Analisa... 57

F. Analisa Data... 58

G. Sistematika Penulisan Hukum... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 60

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian KPP Pratama Kab. Kebumen…... 60

B. Peranan KPP Pratama Kabupaten Kebumen dalam Meningkatkan Jumlah Wajib Pajak di Kabupaten Kebumen……….. 63


(7)

BAB V PENUTUP... 70

A. Kesimpulan... 70

B. Saran... 70

DAFTAR PUSTAKA... 72


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah wajib pajak di KPP Pratama Kabupaten Kebumen Periode

2011-2015……… 62

Tabel 2 Jumlah Penduduk Kabupaten Kebumen………. 62 Tabel 3 Realisasi Penerimaan Pajak di KPP Pratama Kabupaten Kebumen


(9)

(10)

(11)

ABSTRAK

Peran KPP Pratama Kabupaten Kebumen dalam meningkatkan jumlah wajib pajak merupakan faktor utama yang mempengaruhi realisasi penerimaan pajak. Untuk Mengetahui Peran KPP Pratama Kabupaten Kebumen dalam meningkatkan jumlah wajib pajak, tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dapat dilihat dari pencapaian target penerimaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Peran Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kabupaten Kebumen dalam meningkatkan jumlah wajib pajak.

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif, menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau secara lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi kedalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti mengambil kesimpulan bahwa jumlah wajib pada tahun 2011 yaitu mencapai 59.792.000 ( rasio laporan 76% WP), sedangkan pada tahun 2012 tingkat kepatuhannya sebesar 70.605.000 (rasio laporan 75%WP), selanjutnya pada tahun 2013 tingkat kepatuhan mengalami peningkatan sebesar 81.005.000 (rasio laporan 69% WP), selanjutnya pada tahun 2014 tingkat kepatuhan mengalami peningkatan sebesar 94.757.000 (rasio laporan 66% WP), dan pada tahun 2015 tingkat kepatuhan mengalami peningkatan sebesar 108.132 (rasio laporan 58% WP) itu dapat dilihat bahwa kesadaran dan kemauan wajib pajak KPP Pratama Kabupaten Kebumen selalu mengalami peningkatan. Tax Ratio di Kabupaten Kebumen pada saat ini diatas 12%.

Kata Kunci : Peran KPP Pratama, Penelitian Kualitatif, Realisasi Kenaikan Wajib Pajak.


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pemungutan Pajak Daerah dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu sumber dana pembangunan perlu dipacu secara terus menerus melalui penggarapan sumber-sumber baru dan peningkatan pengelolaan dari pajak yang sudah ada. Krisis yang pernah melanda Indonesia pada era tahun 1997 berdampak sangat buruk terhadap pembangunan Indonesia. Krisis yang terjadi kala itu berdampak buruk bagi bangsa ini dan terus berlanjut dan berubah menjadi krisis moneter dan krisis keuangan. Hal tersebut bermula dari kesalahan pemerintah dalam menentukan kebijakan pembangunan. Ketergantungan pemerintah pada pinjaman luar negeri dalam membiayai pembangunan berdampak krisis moneter dan segera perlu dicarikan jalan keluar yang terbaik. Hal itu harus segera dilakukan agar ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dapat dikurangi dan perlahan dihilangkan.

Undang-Undang perpajakan Indonesia saat ini menganut sistem self assesment system dalam hal pemungutan pajak sebagai pengganti dari official assesment system. Sistem self assesment dianut Indonesia sejak terjadi reformasi perpajakan (tax reform) pada tahun 1983. Dengan sistem ini, wajib pajak diberikan tanggung jawab dan kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajak yang harus dibayar wajib pajak sesuai


(13)

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Guna meningkatkan penerimaan pajak yang lebih optimal, peran serta masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan pemerintah. Berdasarkan pada sistem self assesment system sebagai sistem yang berlaku dalam pemungutan pajak masyarakat yang memiliki penghasilan diharapkan sadar untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan kemudian meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan secara sukarela.

Sebagai konsekuensi dari perubahan ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi pajak. Penerapan self assesment system akan efektif apabila kondisi kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pada masyarakat telah terbentuk. Untuk mewujudkan self assessment system dituntut kepatuhan wajib pajak itu sendiri. Namun, dalam kenyataannya belum semua potensi pajak yang ada dapat digali. Sebab masih banyak wajib pajak yang belum memiliki kesadaran akan betapa pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi negara maupun bagi mereka sendiri sebagai warga negara yang baik. Dalam kondisi tersebut keberadaan self assessment system memungkinkan wajib pajak untuk melakukan kecurangan pajak. Tanpa adanya penelitian dan pemeriksaan pajak serta tidak adanya ketegasan dari instansi pajak, maka ketidakpatuhan wajib pajak tersebut dapat berkembang sedemikian rupa sehingga bisa mencapai suatu tingkat dimana sistem perpajakan akan menjadi lumpuh. Untuk menjaga agar wajib pajak tetap berada dalam koridor peraturan perpajakan,


(14)

maka diantisipasi dengan melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang memenuhi kriteria untuk diperiksa. Sebagaimana telah diatur dalam salah satu ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah direvisi oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan direvisi kembali oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu dalam Pasal 29 ayat (1) bahwa “direktur jenderal pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan“. Dengan demikian, pemeriksaan pajak akan mendorong timbulnya kepatuhan wajib pajak, sehingga akan berdampak pada peningkatan penerimaan pajak pada kantor pelayanan pajak yang pada akhirnya pajak yang dibayarkan wajib pajak akan masuk dalam kas negara. Bagi kantor pelayanan pajak, penerimaan pajak apapun jenisnya baik itu pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan jenis pajak lainnya yang diterima sangat tergantung pada tingkat kepatuhan wajib pajak baik dalam melaporkan dan melunasi pajaknya. Dengan demikian, pemeriksaan pajak merupakan pagar penjaga agar wajib pajak tetap mematuhi kewajibannya. Dari sekian banyak jenis pajak yang ada, pajak penghasilan (PPh) merupakan harapan pemerintah untuk setiap tahunnya bertambah besar, baik dari jumlah penerimaan maupun dari segi wajib pajak yang membayarnya.

Dalam mewujudkan dan menumbuhkembangkan reformasi perpajakan, tentunya diperlukan waktu dan upaya-upaya yang harus dilakukan guna mewujudkan masyarakat yang sadar dan peduli pajak. Dan tentunya juga harus


(15)

menyesuaikan pola pikir dan penilaian masyarakat mengenai pajak. Upaya yang dominan telah dilakukan pemerintah antara lain yaitu melakukan pendekatan dengan masyarakat dengan memberikan informasi melalui penyuluhan, penataran, komunikasi, seminar adiministrasi, peningkatan mutu pelayanan dan pengawasan.

Pada kondisi secara umum masyarakat masih enggan dan malas untuk mempelajari peraturan tersebut. Hal ini akan berdampak terhadap sistem self assessment system yaitu sistem ini akan menjadi tidak efektif. Kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menghitung jumlah pajak dan melaporkannya secara tidak lengkap masih sangat besar.

Oleh karena itu self assessment system memerlukan pengetahuan, ketelitian, dan kejujuran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Maksud dari sistem ini adalah untuk meningkatkan kesadarandan kepedulian masyarakat dalam membayar pajak, sehingga jumlah wajib pajak dan jumlah penerimaan pajak pada akhirnya nanti akan terus meningkat. Upaya dalam meningkatkan penerimaan pajak melalui pemeriksaan terhadap wajib pajak juga di rekomendasikan oleh IMF. Adapun rekomendasi tersebut tertuang dalam letter of intent (LOI) tahun 1999, dinyatakan bahwa langkah kunci untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan cara menaikkan coverage pemeriksaan pajak (tax audit coverage ratio).1 Tindakan pemeriksaan ini dilakukan sebagai sarana penegakan hukum (law enforcement) bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang lalai dalam memenuhi

1 Jaka Sasana, “Menyelami Arti Penting Pajak dan Kemandirian Bangsa”, http://www.pajak.go.id/content/article/menyelami-arti-penting-pajak-dan-kemandirian-bangsa, diakses pada tanggal 29 Februari 2016.


(16)

kewajiban perpajakannya, untuk memperkecil jumlah tunggakan pajak yang terutang oleh wajib pajak, dan merupakan salah satu langkah penting dalam mengamankan dan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Jika hal tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pemeriksaan dapat diatasi maka upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak tentunya akan tercapai.

Pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang seharusnya memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), namun mereka belum mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah wajib pajak, salah satu upaya yang dilakukan DJP adalah dengan menetapkan program ekstensifikasi wajib pajak.

Pengertian ekstensifikasi dijabarkan dalam surat edaran nomor Se-06/PJ- 7/2004 tentang pemeriksaan sederhana lapangan dalam rangka ekstensifikasi wajib pajak, ekstensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah wajib pajak dan atau pengusaha kena pajak (PKP) terdaftar serta untuk menghitung besarnya angsuran pajak penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan dan penyetoran pajak dalam suatu masa pajak.2

Kebutuhan dana pembangunan yang tidak sedikit perlu segera dipenuhi dengan cara memberdayakan secara maksimal potensi penerimaan dalam negeri dari sektor migas dan non migas. Saat ini pajak menjadi penerimaan yang sangat diandalkan oleh pemerintah dari sektor non migas. Pajak merupakan cermin kemandirian suatu bangsa.

2Nita Yudisti, “Ekstensifikasi Intensifikasi Pajak”, http://www.nitayudisti.blogspot.co.id/ p/ekstensifikasi-intensifikasi-pajak-31.html?m=1, diakses pada tanggal 29 Februari 2016.


(17)

Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) penerimaan dari sektor pajak dianggarkan semakin besar jumlahnya dari tahun ke tahun. Penerimaan dari sektor pajak selalu meningkat dan melebihi target (surplus). Target penerimaan pajak dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp. 1.368 triliun atau lebih tinggi 5,4 persen dari target pajak dalam APBN tahun 2015 sebesar Rp. 1.294 triliun. Padahal, per 27 November lalu, penerimaan pajak mencapai Rp. 806 Triliun atau baru 64,75 persen dari target 2015.3

Langkah yang tepat perlu segera diambil untuk menjaga penerimaan pajak sekaligus sebagai wujud tertib administrasi yang dilakukan oleh aparat/fiskus dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak.

Dari latar belakang tersebut, peranan dan kontribusi KPP Pratama Kabupaten Kebumen sangat diperlukan untuk mewujudkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pajak, khususnya masyarakat di Kabupaten Kebumen dalam rangka meningkatkan jumlah wajib (tax ratio) pajak di Kabupaten Kebumen. Dari latar belakang yang telah dijelaskan tersebut, peranan KPP Pratama Kabupaten Kebumen sangat dibutuhkan dalam mewujudkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pajak agar penerimaan dari sektor pajak bisa terus meningkat. Oleh karena itu penulis terpilih untuk meneliti dan menyusun skripsi yang berjudul “PERANAN KPP PRATAMA DALAM MENINGKATKAN JUMLAH WAJIB PAJAK DI KABUPATEN KEBUMEN”.

3


(18)

B. Rumusan Masalah

Penulis dalam penulisan skripsi ini ingin merumuskan beberapa permasalahan yang dapat diambil dalam mengetahui peranan KPP Pratama Kabupaten Kebumen dalam mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak antara lain:

1. Bagaimanakah peran KPP Pratama Kebumen dalam meningkatkan jumlah wajib pajak di Kabupaten Kebumen?

2. Apa sajakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh KPP Pratama Kabupaten Kebumen dalam meningkatkan jumlah wajib pajak di Kabupaten Kebumen?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui peranan KPP Pratama Kabupaten Kebumen dalam meningkatkan jumlah wajib pajak di Kabupaten Kebumen.

2. Mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh KPP Pratama Kabupaten Kebumen dalam peranannya meningkatkan jumlah wajib pajak di Kabupaten Kebumen.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan lebih banyak dibidang perpajakan, sehingga masayarakat akan melaksanakan kewajiban perpajakan dan masyarakat akan lebih patuh dalam membayar pajak.

2. Manfaat teoritis: Penelitian ini diharapkan agar mahasiswa bisa memahami atau mendalami ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pajak.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum

1. Pengertian Hukum

Hukum banyak sekali seginya dan luas sekali cakupannya karena hukum mengatur semua bidang kehidupan masyarakat, tidak hanya masyarakat suatu bangsa tetapi juga masyarakat dunia yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan terus menerus. Perkembangan sejarah kehidupan umat manusia senantiasa menyebabkan terjadinya perubahan tentang apa yang di maksud dengan hukum dari masa kemasa, sebelum manusia mengenal Undang-Undang hukum identik dengan kebiasaan dan tradisi yang menjadi pedoman dalam kehidupan.1 Pertanyaan tentang apa itu hukum merupakan pertanyaan yang memiliki jawaban yang lebih dari satu sesuai dengan pendekatan apa yang dipakai oleh karna itu hukum pada hakekatnya bersifat abstrak.2

Terlepas dari penyebab intern, yaitu keabstrakan hukum dan keinginan hukum untuk mengatur hampir seluruh kehidupan manusia, kesulitan pendefinisian juga bisa timbul dari faktor eksteren hukum, yaitu faktor bahasa itu sendiri. Jangankan hukum yang memang bersifat abstrak sesuatu yang konkritpun sering sulit untuk di defenisikan.

1

Ahmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, Hlm. 12.

2


(20)

Hukum dapat didefenisikan dengan memilih satu dari 5 kemungkinan di bawah ini yaitu:3

a. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, relijius, atau pun etis. b. Menurut sumbernya, yaitu Undang-Undang.

c. Menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat.

d. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya. e. Menurut tujuan yang ingin di capainya.

Berikut akan disebutkan beberapa defenisi hukum menurut para pakar:4

a. Ceorg Frenzel yang berpaham sosiologi, “hukum hanya merupakan suatu rechtgewohnheiten.

b. Holmes yang berpaham realis, hukum adalah apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan.

c. Paul Bohannan yang berpaham antropologis, hukum merupakan himpunan kewajiban yang telah di lembagakan dalam pranata hukum.

d. Karl Von Savigni yang berpaham Historis, keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam.

e. Emmanuel Kant yang berpaham hukum alam, hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan pribadi

3

Riduan Syahrani, 2009, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti,

hlm 18. 4


(21)

seseorang dengan keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum tentang kemerdekaan.

f. Hans Kelsen yang berpaham positivis, hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia.

Dengan demikian beberapa rumusan defenisi diatas yang dibuat oleh para ahli untuk melukiskan apa yang dimaksud dengan hukum. Selain itu masih banyak lagi defenisi-defenisi hukum yang berbeda beda akan tetapi kalau diperhatikan defenisi-defenisi atau pengertian-pengertian hukum tersebut, satu hal adalah pasti bahwa hukum itu berhubungan dengan manusia dalam masyarakat.5

2. Tujuan Hukum

Dalam merumuskan apa yang menjadi tujuan hukum, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda beda, yang akan diuraikan beberapa di antaranya di bawah ini:6

a. Menurut teori etis, hukum hanya semata mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filosof Yunani, Aristoteles dalam karyanya Ethica Nicomachea dan Rhetorika yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya.

5

Ibid.

6

Salim, 2010, Pengembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,


(22)

b. Menurut teori utilities, teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Pendapat ini di titikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Menurut Bentham hakikat kebahagian adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan, karenanya maksud manusia melakukan tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Baik buruknya tindakan diukur dari baik buruknya akibat yang di hasilkan tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik jika tindakan itu menghasilkan kebaikan sebaliknya, dinilai buruk jika mengakibatkan keburukan (kerugiaan).

c. Teori yuridis dogmatik adalah teori yang bersumber dari pemikiran positivitis di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri karena hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, hanyalah sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum, kepastian hukum itu di wujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Menurut penganut teori ini, meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas anggota masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum dapat terwujud.


(23)

3. Sistem Hukum

Berbicara tentang hukum sebagai sebuah sistem, diawali dengan pembicaraan tentang sistem itu sendiri. Pemahaman yang umum mengenai sistem mengatakan bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain.

Smith dan Taylor mendefinisikan sistem sebagai suatu kumpulan komponen-komponen yang berinteraksi dan bereaksi antar atribut komponen-komponen untuk mencapai suatu akhir yang logis sedangkan John Burch mendefenisikan sistem sebagai suatu kumpulan dari objek-objek yang saling berhubungan dan di perintahkan untuk mencapai sasaran atau tujuan bersama.7

Menurut Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa “sistem hukum merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.”8

Menurut Lawrence Meir Friedman komponen sistem hukum terdiri atas kultur hukum, substansi hukum, dan struktur hukum, kultur hukum adalah budaya hukum masyarakat, substansi hukum artinya materi hukum yang

7

Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, hlm. 20.

8


(24)

termuat dalam perundang-undangan dan struktur hukum berarti lembaga pelaksana hukum.9.

Fuller meletakkan ukuran apakah kita suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum dalam delapan asas yang dinamakannya principles of legality yaitu:10

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3. Tidak boleh ada aturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa di mengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

9

Lawrence Meir Freidmen , American Law an Introduction/Pengantar Hukum Amerika

(terjemahan Wisnhu Basuki), 2001, Jakarta, Tata Nusa Jakarta, hlm. 43. 10


(25)

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang di Undangkan dengan pelaksanaanya sehari-hari.

Fuller sendiri mengatakan, bahwa kedelapan asas yang di ajukannya itu sebetulnya lebih dari sekadar persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum sebagai sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu.

B.Pajak

1. Pengertian Pajak

Pengertian pajak beranekaragam tergantung dari sudut kajian bagi mereka yang merumuskannya, berkaitan dengan defenisi pajak. Menurut Dr. P. J. A Adriani, ”Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh WP untuk membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.”11

Menurut Sudarsono, “Pungutan wajib, biasanya berupa utang yang harus dibayaroleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan barang, harga beli barang dan sebagainya.”12

11

Sumyar. 2004, Dasar-dasar Hukum dan Perpajakan, Yogyakarta, Andi Offset, hlm.

24. 12

Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian


(26)

Menurut Soemitro, “Pajak adalah iuran rakyat kepada khas negara berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai penggunaan umum.”13

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, “Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan.”14 Menurut Prof. Dr. MJH. Smeets, “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintahan”.15

Menurut Guritno Mangkoesoebroto, “Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogative pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada Undang-Undang, pemungutannya dapat dipisahkan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat di tunjukkan penggunaannya”.16

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan mendapat timbal balik secara

13

Ibid.

14

Ibid, hlm, 21. 15

Dwikora Harjo, 2007, Perpajakan Indonesia, Jakarta, Mitra Wacana Media, hlm. 17.

16


(27)

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.17

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak adalah “kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.18

2. Unsur Pokok Pajak

Unsur-unsur pajak antara lain adalah:19 a. Iuran atau pungutan

Dilihat dari segi arah arus dana pajak, jika arah datangnya pajak berasal dari wajib pajak, maka pajak disebut sebagai iuran sedangkan arah datangnya kegiatan untuk mewujudkan pajak tersebut berasal dari pemerintah, maka pajak sebagai pungutan.

b. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang

Salah satu karakteristik pokok dari pajak adalah bahwa pemungutannya harus berdasarkan Undang-Undang. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya pajak adalah beban yang harus dipikul oleh rakyat banyak, sehingga dalam perumusan tentang macam, jenis dan berat ringannya tarif pajak itu, rakyat harus ikut serta menentukan dan menyetujui, melalui wakil-wakilnya di parlemen atau DPR.

17

Dwikora Harjo, Op.Cit.,hlm.18.

18

Ibid.

19


(28)

c. Pajak dapat dipaksakan

Fiskus mendapat wewenang dari Undang-Undang untuk memaksa wajib pajak supaya mematuhi melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kekuasaan tersebut dapat dilihat dengan adanya ketentuan sanksi-sanksi administratif maupun sanksi pidana fiskal dalam Undang-Undang perpajakan, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Fiskus juga mendapatkan wewenang dari Undang-Undang untuk

mengadakan tindakan memaksa wajib pajak dalam bentuk penyitaan harta, baik harta tetap maupun harta bergerak. Bahkan dalam sejarah hukum pajak di Indonesia dikenal adanya lembaga sandera atau gijzeling, yakni wajib pajak yang pada dasarnya mampu membayar pajak, akan tetapi selalu menghindar dengan berbagai dalih untuk tidak membayar pajak, maka fiskus dapat menyandera wajib pajak yang bersangkutan dalam memasukkannya ke dalam kurungan.

d. Tidak menerima atau memperoleh kontraprestasi secara langsung ciri khas utama dari pajak adalah wajib pajak yang membayar pajak tidak menerima atau memperoleh jasa timbal balik atau kontra prestasi dari pemerintah (without receipt of special benefit of equal value; without reference to special benefit conferred). Jika seorang wajib pajak membayar pajak penghasilan, maka fiskus tidak akan member apapun kepadanya sebagai jasa timbal balik.


(29)

e. Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah

Pajak itu dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah dalam menjalankan pemerintah. Dana yang diterima dari pemungutan pajak dalam pengertian/definisi-definisi pajak tidak pernah ditujukan untuk sesuatu pengeluaran yang khusus.

f. Ada subjek pajak

Artinya dalam pemungutan pajak harus ada orang pribadi atau instansi yang nantinya akan dipunguti pajak. Peran subjek pajak dalam hal pemungutan pajak sangatlah penting karena merupakan subjek yang dapat menghasilkan dana yang dibutuhkan oleh penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Jika mendasar pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menjadi subjek pajak adalah:20

1) Orang Pribadi.

2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

3) Badan.

4) Bentuk usaha tetap.

Subjek pajak dapat dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

20


(30)

Subjek pajak dalam negeri yaitu:21

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang mempunyai kriteria:

1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Pembiayaan bersumber dari anggaran pendapatan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah.

3) Penerimaannya dimasukan ke anggaran pusat atau pemerintah daerah.

4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat fungsional negara.

c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Subjek pajak luar negeri yaitu:

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari

21


(31)

Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.22

g. Ada objek pajak

Artinya dalam pemungutan pajak harus ada objek sebagai sasaran pemungutan pajak, yang dapat berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa dalam menentukan objek dari pemungutan pajak tersebut. Yang menjadi objek pajak pada pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat di pakai untuk konsumsi atau untuk menambahkan kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.23

Mengenai apa yang dapat dijadikan objek pajak banyak sekali macamnya. Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada pada masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Misalnya:24

1) Keadaan: kekayaan seseorang pada saat tertentu; memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi; memiliki tanah atau benda tidak bergerak; menempati rumah tertentu.

22

Undang-Undang nomor 36 tahun 2008, pasal 2 ayat (4). 23

Undang-Undang nomor 36 tahun 2008, Pasal 4, ayat (1). 24


(32)

2) Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau gedung, mengadakan pertunjukan atau keramaian, memperoleh penghasilan, berpergian keluar negeri.

3) Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak, anugrah yang diperoleh secara tak terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia.

Walaupun segala sesuatu dapat dijadikan objek pajak, namun pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan objek pajak. Jangan sampai menentukan objek pajak menimpulkan kekacauan atau keresahan dalam masyarakat atau menghambat jalannya perekonomian.

Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah objek Pajak Penghasilan (PPh). Objek PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik untuk investasi maupun konsumsi.25 Yang termasuk pengertian penghasilan menurut pasal 4 ayat 1 UU PPh adalah:

1) Penggantian atau timbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk, gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, gratifikasi, uang pension atau imbalan dalam bentuk lainnya. 2) Hadiah, undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. 3) Laba usaha.

4) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.

25


(33)

5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6) Bunga termasuk premium, diskonto dam imbalan karena jaminan pengembalian hutang.

7) Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan investasi kepada pemegang polis, dan pembagian SHU Koperasi.

8) Royalty (penggunaan hak paten, hak oktroi, lisensi, merek dagang, pola/model, rencana atau rahasia perusahaan, hak pengarang, hak cipta).

9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10) Penerimaan atau perolehan permbayaran berkala.

11) Keuntungan karena pembebasan hutang.

12) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14) Premi asuransi.

15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. h. Ada masyarakat atau kepentingan umum

Dalam pemungutan pajak harus ada tujuan yang jelas mengapa harus dilakukan pemungutan pajak terhadap masyarakat, contohnya sebagai pembangunan masyarakat yang berupa kepentingan umum.


(34)

i. Ada surat ketetapan pajak

Surat ketetapan pajak ini tidak tidak bersifat mutlak melainkan fakultatif atau untuk pajak tertentu tidak memerlukan surat ketetapan pajak.

3. Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya.26

Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU PPh) menganut prinsip perpajakan atas penghasilan dalam pengertian luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima untuk konsumsi atau menambah kekayaan WP tersebut. Pengertian penghasilan dalam UU ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan WP tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin & pembangunan.27

26

Rimsky K. Judisseno, 1997, Perpajakan, Edisi Revisi, Jakarta, PT Gramedia, hlm. 52.,

27


(35)

4. Teori Pemungutan Pajak a. Teori Asuransi

Menurut teori ini negara memungut pajak karena negara bertugas untuk melindungi orang dari segala kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa juga harta bendanya. Pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran premi, seperti halnya pembayaran asuransi (pertanggungan), maka untuk perlindungan diperlukan berupa premi. Walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak tepat karena dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara, serta antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung, namun teori ini tetap di pertahankan, sekedar untuk member dasar hukum kepada pemungutan pajak. Karena pincangnya persamaan tadi, menimbulkan ketidakpuasan, pun karena ajaran bahwa pajak bukan restribusi maka makin lama semakin berkuranglah teori ini.28

b. Teori Kepentingan

Menurut teori ini negara memungut pajak karena negara melindungi kepentingan jiwa dan harta benda warganya, teori ini memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk.

Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat

28


(36)

baginya), termasuk perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka.

Terhadap teori ini banyak yang menyanggah, karena dalam ajarannya pajak dikacaukan dengan restribusi. Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap harta benda yang lebih besar harganya dari pada harta si miskin harus membayar pajak lebih besar dalam hal tertentu, misalnya dalam perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensinya harus membayar pajak lebih banyak dimana hal inilah yan bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Untuk mengambil kepentingan seseorang dalam usaha pemerintah

sebagai ukuran, sejak dahulu belum ada pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan tegas sehingga makin lama teori ini pun semakin di tinggalkan.29

a. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti

Teori ini berdasarkan pada negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara. Dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara. Sejak berabad-abad hak ini telah diakui dan warga negara mengamininya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak.

29


(37)

b. Teori Asas Gaya Beli

Teori ini mendasarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau negara. Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, hanya melihat kepada efeknya serta dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilan.

Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tanga dalam masyarakat untuk rumah tanga negara yang kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu.

Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu pun juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya sehingga teori ini lebih menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak yakni fungsi mengatur.30

30


(38)

c. Teori Asas Gaya Pikul

Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dipikul menurut gaya pikul setiap warga negara dan sebagai ukurannya dapat dipergunakan selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran dan pembelanjaan seseorang. Sampai saat ini teori asas gaya pikul ini masih dipertahankan.

5. Asas Pemungutan Pajak

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk memungut pajak adalah:31

a. Menurut asas domisili, maka:

1) Negara yang berwenang memungut pajak adalah negara tempat asal kebangsaan seseorang.

2) Subjek yang dapat di kenai pajak adalah orang atau badan yang berdomisili di negara tersebut.

3) Objek yang dapat dikenai pajak adalah penghasilan yang diperoleh subjek pajak dimanapun penghasilan itu diperoleh (world wide income).

b. Menurut asas nasionalitas

31


(39)

1) Negara yang berwenang memungut pajak adalah negara tempat asal kebangsaan seseorang.

2) Subjek yang dapat dikenai pajak adalah orang-orang yang berkebangsaan negara tersebut dimanapun ia berada.

3) Objek yang dapat dikenai pajak adalah seluruh penghasilan dimanapun diperoleh orang tersebut.

c. Menurut asas sumber

1) Negara yang berwenang memungut pajak adalah negara tempat sumber penghasilan itu terletak.

2) Subjek yang dapat dikenai pajak adalah orang atau badan yang memiliki sumber penghasilan tersebut dimanapun mereka berada. 3) Objek yang dapat dikenai pajak adalah hanya yang keluar dari sumber

penghasilan yang terletak di negara tersebut.

Teori asas pemungutan pajak yang sangat terkenal dan dianut hingga saat ini salah satunya adalah teori “four common of taxation” atau “the four maxims” yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “An inquiry in to the nature and cause of the wealth of Nations”, yaitu :32

a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan)

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak (ability to payment), negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Keadilan disini

32

Rochmat Soemitro & Sugiharti D K, 2004, Asas dan Perpajakan, Bandung, Refika


(40)

mengacu kepada konsep penerimaan dan pengorbanan yakni jika kita membayar pajak kepada negara maka negara akan memberikan manfaat kepada warganya walaupun timbal balik tersebut tidak dapat diberikan secara langsung.

b. Asas Certainty (asas kepastian hukum)

Pajak dipungut secara pasti tanpa kesewenang-wenangan dalam arti dalam melakukan pemungutan pajak harus dilakukan berdasarkan Undang-Undang. Pajak bukanlah suatu asumsi namun pajak adalah suatu kepastian berapa yang harus dipungut dan dibayar oleh wajib pajak serta harus pasti pula ketentuan dan Undang-Undang sebagai payung hukum pelaksanaan pemungutan ini.

c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak tepat waktu) Asas ini disebut pula asas kesenangan, dimana pemungutan pajak

harus dilakukan pada saat yang tepat dan pada saat yang tidak menyulitkan bagi wajib pajak. Sebagai contoh pada saat wajib pajak menerima penghasilan atau menerima hadiah, pada saat itulah saat yang tepat untuk memungut pajak darinya dimana system pemungutan ini disebut pay as you earn.

d. Asas Economy (asas ekonomis)

Asas ini mengamanatkan bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung wajib pajak. Jangan


(41)

sampai terjadi biaya pemungutan pajak yang timbul nilainya lebih besar dari pada hasil pemungutan pajaknya.

Menurut Adam Smith, asas keadilan dalam pemungutan beban pajak pertama-tama hendaknya dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan. Apabila manfaat yang dinikmati tersebut tidak dapat dipakai untuk membagi beban pajak yang diperlukan, maka anggota masyarakat harus dikenakan pajak sebanding dengan kemampuan membayar masing-masing, yaitu sebanding dengan penghasilan yang diperolehnya berkat perlindungan pemerintah.

Jika Adam Smith mengemukakan 4 (empat) asas dalam pemungutan pajak, maka W.J de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda menyebutkan 7 (tujuh) asas pokok perpajakan, yakni sebagai berikut:33

a. Asas Kesamaan, dalam arti bahwa seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya dikenakan pajak yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak.

b. Asas Daya Pikul, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak hendaknya terkena beban pajak yang sama. Ini berarti orang yang pendapatannya tinggi dikenakan pajak yang tinggi, yang pendapatannya rendah dan pendapatannya dibawah basic need dibebaskan dari pajak. c. Asas Keuntungan Istimewa, bahwa seseorang yang mendapatkan

keuntungan istimewa hendaknya dikenakan pajak istimewa pula.

33


(42)

d. Asas Manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barang-barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.

e. Asas Kesejahteraan, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa dengan adanya tugas pemerintah yang pada satu pihak memberikan atau menyediakan barang-barang dan jasa bagi masyarakat dan pada lain pihak menarik pungutan-pungutan untuk membiayai kegiatan pemerintah tersebut, akan tetapi sebagai keseluruhan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

f. Asas Keringanan Beban, asas ini menyatakan bahwa meskipun pengenaan pungutan merupakan beban masyarakat atau perorangan dan betapapun tingginya kesadaran berwarga negara, akan tetapi hendaknya diusahakan bahwa beban tersebut sekecil-kecilnya.

g. Asas Keseimbangan, asas ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan berbagai asas tersebut yang mungkin saling bertentangan, akan tetapi hendaknya selalu diusahakan sebaik mungkin. Artinya tidak mengganggu perasaan hukum, perasaan keadilan dan kepastian hukum.

Adlof Wagner, pakar perpajakan lainnya mengatakan bahwa asas pemungutan pajak terdiri dari :34

a. Asas Politik Finansial

Pajak yang dipungut oleh negara jumlahnya harus memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara,

34


(43)

sehingga penyelenggaraan perpajakan harus teliti dan akurat menentukannya.

b. Asas Ekonomi

Penentuan objek pajak harus tepat. Misalnya objek pajak atas barang-barang mewah.

c. Asas Keadilan

Pungutan pajak harus berlaku secara umum tanpa adanya diskriminasi diantara satu wajib pajak dengan wajib pajak yang lain, dalam kondisi yang sama diperlakukan pungutan pajak yang sama pula. d. Asas Administrasi

Asas ini menyangkut tentang masalah perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan berapa biaya pajak yang harus dikeluarkan.

e. Asas Yuridis

Asas ini mengharuskan setiap pemungutan pajak oleh pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang.

6. Pengertian Pajak Daerah

Mengenai pajak daerah dapat ditelusuri dari pendapat beberapa ahli seperti yang dikutip oleh Rochmat Sumitro yang merumuskan:35 “Pajak lokal atau pajak daerah ialah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra, seperti Provinsi, Kotapraja, Kabupaten dan sebagainya. Sedangkan sebagian merumuskannya sebagai: pajak negara yang diserahkan

35

Rochmat Sumitro, 1998, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung, PT. Refika Aditama,


(44)

kepada daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah dengan Undang-Undang”.

Menurut pandangan Yasin, “Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan sebagai badan hukum publik, dalam rangka membiayai rumah tangganya. Dengan kata lain, pajak daerah adalah pajak yang wewenang pungutannya ada pada daerah dan pembangunan daerah”.36

Sedangkan menurut Davey, pajak daerah ialah:37

a. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerahnya sendiri.

b. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan Nasional, tetapi pendapatan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah

c. Pajak yang dipungut dan di administrasikan oleh pemerintah pusat, tetapi pungutannya dibagihasilkan kepada pemerintah daerah.

7. Ciri-Ciri yang Melekat Pada Pengertian Pajak

a. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.

b. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.

c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.

d. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

36

Ibid.

37


(45)

e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

f. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.

g. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung. 8. Fungsi Pajak

Ada dua fungsi pajak, yaitu:38 a. Fungsi Budgetair

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

b. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

9. Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :39 a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam

38

Bagus Suseno,“Strategi Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak”,http://www.pajak.go.id

/content/strategi-meningkatkan-kepatuhan-wajib-pajak, diakses pada tanggal 20 Februari 2016. 39


(46)

pelaksanaannya ialah dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal

ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban pajaknya.

10. Kedudukan Hukum Pajak

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., hukum pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai berikut:40

a. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.

40


(47)

b. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:

1) Hukum Tata Negara

2) Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif) 3) Hukum Pajak

4) Hukum Pidana

Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik. Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex Specialis derogat Lex Generalis, yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka akan berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan umum. Dalam hal ini peraturan khusus adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain yang sudah ada sebelumnya. Hukum Pajak menganut paham imperatif, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda setelah ada keputusan.41

11. Pengelompokan Pajak a. Menurut golongannya

1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain. Contoh: pajak penghasilan.

41


(48)

2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: pajak pertambahan nilai. b. Menurut sifatnya

1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak penghasilan.

2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh : PPnBM

c. Menurut lembaga pemungutnya

1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh : pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan bea materai.

2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemda dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri dari: 3) Pajak Propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan

bakar kendaraan bermotor.

4) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: pajak hotel, pajak restoran dan pajak hiburan.


(49)

12. Stelsel Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel:42 a. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).

b. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-Undang. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayarkan tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.

c. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan,

42

Etty Muyassaroh, 2013, Panduan Menghitung dan Melaporkan Pajak Pribadi bagi


(50)

maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil dapat diminta kembali.

13. Yurisdiksi Pemungutan Pajak

Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan atau berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh. Yurisdiksi yang dimaksud ialah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang-ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak.43

14. Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assessment System

Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya:

1) Wajib Pajak bersifat pasif.

2) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus

b. Self Assessment System

43


(51)

Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya:

1) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

2) Wewenang guna menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.

3) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

c. With Holding System

With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.44

Ciri-cirinya ialah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak. 15. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam

44


(52)

melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.45 Fungsi NPWP (Penjelasan 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007):46

a. Untuk mengetahui identitas wajib pajak.

b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.

c. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan, sehingga semua yang berhubungan dengan dokumen perpajakan harus mencantumkan NPWP.

d. Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan misalnya dalam surat setoran pajak (SSP)

Berdasarkan self assessment system setiap wajib pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan nomor pokok wajib pajak.47

Wajib pajak orang pribadi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah :48

a. Orang yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

45

Thomas Sumarsan, 2010, Perpajakan Indonesia Pedoman Perpajakan yang Lengkap

Berdasarkan Undang-Undang, Jakarta, PT Indeks, hlm. 20. 46

Ibid, hlm 25. 47

Pasal 2 UU KUP. 48


(53)

b. Orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yaitu 12 juta per tahun wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

c. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup yang terpisah berdasarkan putusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. d. Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai tempat

usaha yang berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga di wajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Dalam pasal 2 UU KUP berbunyi bahwa setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratn subjektif dan objektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan nomor pokok wajib pajak.49 Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU PPh dan perubahannya.50 Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan

49

Thomas Sumarsan, op.cit., hlm. 20.

50


(54)

pemotongan pemungutan sesuai dengan ketentuan UU PPh dan perubahannya.51

Sanksi yang Berhubungan dengan NPWP

Pada pasal 39 ayat (1) huruf a dan b dikatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan pengusaha kena pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.52

Kepatuhan Wajib Pajak

Prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela.53 Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment dimana wajib pajak menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Kepatuhan yang diharapkan dengan system self assessment adalah kepatuhan sukarela

51

Ibid.

52

UU KUP Pasal 39 ayat (1) huruf a dan b. 53

Indra Ismawan, 2011, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, Jakarta, PT Elex Media


(55)

(voluntary compliance) bukan kepatuhan yang dipaksakan (compulsory compliance). Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari wajib pajak, diperlukan keadilan dan keterbukaan dalam menerapkan peraturan perpajakan, kesederhanaan peraturan dan prosedur perpajakan serta pelayanan yang baik dan cepat dari wajib pajak.

Kepatuhan sebagai pondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci tersebut adalah sebagai berikut:54

a. Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak. b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan.

c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif. d. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.

Ada 2 (dua) macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan materiil. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan dengan menitikberatkan pada nama dan bentuk kewajiban saja, tanpa memperhatikan hakekat kewajiban itu. Misalnya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebelum tanggal yang ditentukan ke Kantor Pelayan Pajak (KPP), dengan mengabaikan isi SPT tersebut sudah benar atau belum, namun yang terpenting SPT tersebut sudah disampaikan. Selanjutnya, yang dimaksud dengan kepatuhan materiil adalah suatu keadaan dimana wajib pajak selain memenuhi kewajiban yang berhubungan dengan nama dan bentuk kewajiban perpajakan, juga memenuhi hakekat kewajiban perpajakannya.

54


(56)

Wajib pajak yang bersangkutan, selain menyampaikan tanggal pemberitahuan SPT juga memperhatikan kebenaran yang sesungguhnya dari isi dan hakekat SPT tersebut.55

Berdasarkan Menteri keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak dimasukan dalam kategori patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:56

a. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.

b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam waktu sepuluh tahun terakhir.

d. Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 UU KUP dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan yang terakhir untuk setiap jenis-jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.

55Safitri Nurmantu Sitie, “Kepatuhan Perpajakan”,

http;//safri-nurmantu.com/kepatuhan perpajakan/, diakses pada tanggal 16 Februari 2016.

56

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Pasal 2.


(57)

16. Pengertian Wajib Pajak

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Wajib pajak adalah pihak yang dilayani institusi direktorat jenderal pajak, dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya untuk kepentingan negara dan dapat menentukan tingkat pelayanan publik yang diberikan oleh institusi direktorat jenderal pajak.57

Hak-hak yang dimiliki oleh wajib pajak:

a. Memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP).

b. Mengajukan penundaan pembayaran/mengangsur utang pajak yang telah jatuh tempo.

c. Meminta perpanjangan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan (SPT).

17. Payung Hukum dan Pelaksanaan Penagihan Pajak di Indonesia

Dalam menjalankan suatu kebijakan makan harus dibarengi dengan aturan baik sebagai pemaksa ataupun sebagai batasan dalam menjalankan kebijakan tersebut, dalam hal ini pembahsannya lebih mengerucut pada pelaksanaan hukum yang mengatur perpajakan di Indonesia, terdapat

57

Kesit Bambang Prakoso, 2006, Hukum Pajak Edisi Pertama, Yogyakarta, Ekonisia,


(58)

beberapa aturan atau Undang-Undang yang telah dikeluarkan untuk mengatur pajak di Indonesia, contohnya:58

a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai pajak penghasilan (PPh).

b. Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 yang kemudian dirubah menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

c. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai

d. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn & PPnBM)

e. Undang-undang nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

undang yang telah dituliskan diatas merupakan Undang-Undang yang mengatur segala bentuk pajak yang diterapkan di Indonesia yang beberapa diantaranya telah mengalami perubahan yang berulang– ulang. Hukum pajak digolongkan kedalam hukum publik sehingga diperlukan suatu ketegasan dalam menjalankannya, tapi nyatanya ketegasan itu sangat kurang ditemukan dalam penerapan hukum pajak di masyarakat. Misalnya orang pribadi atau badan sebagai wajib pajak yang tidak membayar pajak belum ada suatu ketegasan dari hukum yang dibuat oleh pemerintah, dan bagi mereka yang tidak patuh terhadap kebijakan pajak

58


(59)

hanya diberikan suatu pengampunan pajak. Sehingga masyarakat akan berfikir buat apa bayar pajak, toh nantinya juga kebijaknnya seperti itu. Walaupun dalam Undang-Undang dasar telah disebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.

18. Kendala Penegakan Hukum dalam Pemungutan Pajak.

Suatu gejala yang mengkhawatirkan penegakan hukum dan keadilan di pengadilan adalah keadilan hukum yang tidak sejalan lagi keadilan masyarakat. Dengan kata lain, putusan hakim di pengadilan tidak sejalan lagi dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.59

Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran setiap warga negara yang menjadi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban kenegaraannya. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara mengakibatkan timbulnya penolakan dan perlawanan terhadap pajak yang merupakan kendala dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. Perlawanan terhadap pajak tersebut terdiri dari perlawanan aktif dan perlawanan pasif, yaitu:60

a. Perlawanan aktif

Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang

59

Fence M. Wantu, 2011, Idee Des Recht,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 173.

60Bambang Suna, “Lemahnya Payung Hukum dan Ketidakpatuhan dalam Ruang Lingkup

Perpajakan di Indonesia”, http://bambangsuna.blogspot.co.id/2015/04/makalah-hukum


(60)

secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar. Ada tiga cara perlawanan aktif terhadap pajak yaitu:

1) Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)

Penghindaraan yang dilakukan wajib pajak masih dalam kerangka peraturan perpajakan. Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar Undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan Undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat Undang-undang. Penghindaran pajak dilakukan dengan tiga cara, yaitu: Menahan diri, yang dimaksud menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. 2) Pindah Lokasi

Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya lebih rendah.

3) Penghindaran Pajak Secara Yuridis

Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan Undang-undang. Hal ini yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Celah Undang-undang merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Suatu Undang-undang dirumuskan tidak jelas


(61)

karena kesengajaan maupun ketidaksengajaan pembuat Undang-undang. Kesengajaan pembuat Undang-undang terjadi karena latar belakang politis dari pembuat Undang-undang tersebut.

b. Perlawanan pasif

Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.

1) Struktur ekonomi

struktur ekonomi suatu negara mempengaruhi pemungutan pajak di negara tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan pendapatan netto oleh wajib pajak sesuai dengan norma perhitungannya.

2) Perkembangan moral dan intelektual penduduk

Disebabkan ketidaktahuan masyarakat mengenai pentingnya pajak bagi pembangunan negara, dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang wajib pajak.

3) Cara/gaya hidup masyarakat

Gaya hidup masyarakat disuatu negara mempengaruhi besar kecilnya penghasilan yang mereka peroleh dan besar kecilnya


(62)

penghasilan tersebut mempengaruhi besar kecilnya penerimaan kas negara.

4) Mekanisme pemungutan pajak yang rumit

Perhitungan pajak yang rumit dan memerlukan dan pengisian formulir yang rumit menyebabkan adanya penghindaran pajak, prosedur yang berbelit-belit yang menyulitkan pembayar pajak dan membuka celah untuk negosiasi antara petugas dan pembayar pajak juga dapat mengakibatkan adanya penghindaran pajak, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk menghindari adanya perlawanan pasif terhadap pajak.


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam menyusun sebuah karya ilmiah diperlukan data-data yang dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian di lingkungan atau lingkup tertentu untuk mendapatkan data-data yang akurat dan faktual sesuai dengan tujuan yang diinginkan penulis. Untuk memperoleh data yang akurat dan faktual tersebut harus menggunakan metode yang disebut dengan metode penelitian.

Kerangka berpikir ahli hukum dalam metode penelitian menurut Soerjono

Soekanto adalah:

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.1

Dalam penelitian tentang “PERAN KPP RATAMA DALAM MENINGKATKAN JUMLAH WAJIB PAJAK DI KABUPATEN KEBUMEN” penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1


(64)

A. Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor, menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau secara lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini tidak boleh mengisolasi individuatau organisasi kedalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Penelitian kualitatif juga dapat dimaknai sebagai penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.2

Pertama, karena adanya latar belakang alamiah, penelitian kualitatif melakukan pada latar belakang alamiah, atau pada konteks dari suatu keutuhan. Hal ini dilakukan karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.

Kedua, deskriptif. Semua yang dikumpulkan dalam penelitian ini mempunyai kemungkinan untuk menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Telah yang dilakukan terhadap hasil penelitian dilakukan satu persatu. Pertanyaan mengapa, alasan apa, dan bagaimana akan senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti. Dengan demikian, peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu memang demikian keadaannya karena akan selalu muncul pertanyaan

2

Lexy J .Moleng, 2006, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja


(65)

terhadap data yang diperoleh dilapangan. Selain untuk mencari fakta lain yang mungkin tersembunyi, peneliti berharap dengan penelusuran data secara terus menerus akan memberikan pemahaman terhadap data secara keseluruhan. Data disini didapat dari wawancara, kuisioner, dan juga dimunculkan dari dokumentasi yang peneliti dapat dari lapangan. Sehingga dengan demikian jenis penelitian ini adalah penjelasan peranan KPP Pratama dalam meningkatkan jumlah wajib pajak di Kabupaten Kebumen.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kabupaten Kebumen yang beralamat di Jalan Arungbinang No. 10 Kebumen. Telp (0287) 382 361.

Alasan memilih penelitian di KPP Pratama Kebumen karena sumber data yang berkaitan dengan judul diatas hanya didapatkan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen.

C. Jenis dan Sumber Data

Data merupakan informasi mengenai keberadaan konsep penelitian yang kita peroleh dari unit analisa yang dijadikan sebagai sarana vertifikasi empiris dalam kegiatan penelitian. Dalam sebuah penelitian mutlak membutuhkan data sebagai unit analisa yang didapat dari obyek penelitian sehingga penelitian tersebut dapat diambil kesimpulannya dan mudah untuk dipelajari dalam menentukan jalan keluar sebuah masalah yang masih dalam proses penelitian.


(66)

Di dalam penelitian ini membutuhkan data dari berbagai sumber untuk menunjang hasil penelitian, diantaranya sebagai berikut:

1. Data Primer

Penelitian dilakukan dengan cara terjun langsung kelokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan. Adapun cara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara yaitu dengan cara tanya jawab untuk mendapatkan keterangan-keterangan atau informasi dari individu-individu tertentu atau pejabat dari instansi terkait yang berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

2. Data Sekunder

Penelitian dilakukan dengan kepustakaan yang mempelajari bahan hukum yang terkait dengan masalah yang diteliti, terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat yakni peraturan perundang-undangan yakni UUD 1945, UU PPh, UU KUP dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memperjelas bahan hukum primer yakni buku-buku, literature dan makalah yang berkaitan dengan masalah.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang berupa kamus leksikon yakni kumpulan-kumpulan kata dalam kitab bahasa.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk mendukung penelitian. Dalam pembahasan ini


(67)

akan dijelaskan cara-cara peneliti dalam mengumpulkan data sebagai dasar analisa dalam menentukan hasil penelitian. Untuk memperoleh data yang relevan, peneliti menggunakan beberapa cara diantaranya:

1. Wawancara

Wawancara adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep penelitian (yang terkait dengannya) terhadap individu manusia yang menjadi unit analisa penelitian atau pun terhadap individu manusia yang dianggap memiliki data mengenai unit analisa. Manfaat dari teknik ini adalah menjelaskan masalah sampai sedetail-detailnya pertanyaan yang diajukan. Dalam hal ini pihak-pihak yang diwawancarai adalah Ketua/Staff pegawai di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kabupaten Kebumen.

Dalam melakukan wawancara, peneliti menyiapkan pedoman wawancara dan pengumpul data yaitu recorder dan alat bantu lainnya seperti alat tulis, buku catatan dan kamera. Secara umum informan yang akan diwawancarai dalam pengumpulan data ini adalah pihak dari KPP Pratama Kabupaten Kebumen dan masyarakat pengguna jasa layanan. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur karena dalam melakukan wawancara peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Peneliti sebagai instrument peneliti tidak langsung merujuk pada fokus penelitian akan tetapi mengurai kondisi umum KPP Pratama Kabupaten Kebumen. Hal ini diuraikan untuk memberikan pemahaman kepada peneliti tentang obyek


(68)

penelitian. Setelah mengetahui kondisi organisasi KPP Pratama Kabupaten Kebumen selanjutnya peneliti mengarah pada fokus penelitian tentang peranan KPP Pratama dalam meningkatkan jumlah wajib pajak di Kabupaten kebumen. Setelah mengetahui peranan yang dilakukan KPP Pratama Kabupaten Kebumen, dikemukakan pelaksanaan program untuk meningkatkan pelayanan. Dalam menguraikan pelaksanakan program harus memperoleh data dari pihak KPP Pratama dan masyarakat pengguna jasa layanan, sehingga data yang diperoleh dapat akurat. Wawancara yang dilakukan dengan face to face.

2. Dokumentasi

Dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan menggunakan berbagai dokumen atau catatan yang mencatat keadaan konsep penelitian (ataupun yang terkait dengannya) di dalam unit analisa yang dijadikan sebagai obyek penelitian. Contoh sumber data : dokumen resmi, arsip, media masa cetak, jurnal, internet dan sebagainya.

Teknik dokumentasi digunakan sebagai pelengkap dari penggunakan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif, karena teknik ini berfungsi untuk menghimpun data-data sekunder yang mendukung informasi yang telah diperoleh dari nara sumber.

D.Unit Analisa

Unit analisa adalah obyek analisa yang dijadikan obyek penelitian. Dalam hal ini adalah Kepala/Staff pegawai di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kabupaten Kebumen.


(69)

F. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengurai data secara berurutan dengan membuat suatu pola berdasarkan kelompok-kelompok tertentu agar mudah untuk dipahami. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memakai jenis penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan berdasarkan kemampuan penalaran dari peneliti yang menghubungkan fakta-fakta, dan informasi yang didapat dengan mencoba memahami masalah yang muncul di masyarakat.

Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa fenomena sehari-hari di masyarakat yang ditulis oleh peneliti baik berupa perkataan yang tertulis maupun hubungan lisan orang orang dan perilaku yang diamati oleh peneliti. Menurut Winarno Surachmad, “Memutuskan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, suatu hubungan kegiatan, pandangan sikap yang nampak atau tentang proses yang sedang bekerja, kelainan yang sedang muncul, pertentangan yang sedang meruncing dan sebagainya.”3

G. Sistematika Penulisan Hukum

Dalam penulisan proposal skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran dan pandangan mengenai Penulisan hukum secara menyeluruh. Bab pendahuluan ini terdiri dari latar

3


(70)

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tinjauan umum tentang kesadaran masyarakat/orang pribadi dalam membayar pajak, karena pajak sangat penting dalam pembangunan suatu daerah.

BAB III: METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tinjauan tentang metode penelitian peranan KPP Pratama dalam meningkatkan jumlah wajib pajak di Kabupaten Kebumen.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulisan memaparkan hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat berikut pembahasanya. Selain itu pula disajikan data-data dan analisis yang berkaitan dengan permasalahan.

BAB V : PENUTUP

Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari garis-garis besar pokok pembahasan.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Melalui E-Filing di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Binjai

2 104 66

Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Menghitung Dan Melunasi Pajak Penghasilan Pasal 25 / 29 Sesuai Sistem Self Assessment Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur

1 107 57

Analisis Data Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan Dalam Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Polonia

3 68 66

Pelaksanaan Ekstensifikasi Untuk Meningkatkan Jumlah Wajib Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia

1 65 52

Analisis Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Baru Atas Keputusan Menteri Keuangan No. 84/KMK.03/2002 Pada KPP Pratama Medan Belawan

1 55 84

Evaluasi Kepatuhan Wajib Pajak dan Penerimaan Pajak Sebelum dan Sesudah Uji Coba Penataan Tugas dan Fungsi Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur

2 35 88

Analisis Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Dilihat Dari Penerimaan Tunggakan Pajak Oleh Seksi Penagihan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam Tahun 2011-2014

0 29 58

Dampak Penggunaan Drop Box Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dan Peranannya Dalam Upaya Peningkatan Penerimaan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

1 37 70

KONTRIBUSI KESADARAN WAJIB PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DI KPP PRATAMA SURAKARTA Kontribusi Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Di Kpp Pratama Surakarta.

0 2 15

STRATEGI EKSTENSIFIKASI KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA DALAM MENINGKATKAN JUMLAH PEMILIK NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP) DI KARANGANYAR.

0 0 8