BAB IV. PENERAPAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1POJK.072013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SEKTOR JASA KEUANGAN PADA BANK MANDIRI CABANG
KOMPLEK CEMARA ASRI A.
Tanggung Jawab Bank Terhadap Perlindungan Konsumen Nasabah Bank Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri……………….................……68
B. Pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1POJK.072013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.………..…...76 C.
Penyelesaian Sengketa yang Timbul Dalam Pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan..........................................................96
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan………………………………..…………...………….…105 B.
Saran……………………………………….……………………...…108
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Dimas Adiputra Arieandra Sinta Uli
Puspa Melati
Adapun yang menjadi judul dari skripsi ini adalah Tinjauan Yuridis terhadap penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1POJK.072013
Tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan di Indonesia Studi pada Bank Mandiri
Cabang Komplek Cemara Asri. Permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini adalah Tanggung Jawab Bank terhadap perlindungan konsumen
nasabah,pelaksanan dari POJK Nomor : 1POJK.072013 Tentang PErlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Penyelesian Sengketanya dan di lakukan
penelitian pada Bank Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum
normatif-empiris, penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara secara langsung kepada pihak Bank Mandiri KCP
Komplek Cemara Asri sebagai pelaku usaha Perbankan. Penelitian normatif dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan terkait serta penelitian
kepustakaan dengan mempelajari buku-buku guna memperoleh data sekunder dan ensiklopedia sebagai bahan data tersier. Penerapan dari peraturan ini merupakan
suatu hal yang harus di patuhi dan di pahami oleh tiap - tiap lembaga keuangan baik bank maupun non bank agar tetap menciptakan suasana kehidupan perbankan
yang menjaga keamanan, kenyamanan dan kepercayaan nasabah selaku konsumen perbankan. Di perlukannya wadah yang jelas dalam masing - masing pelaku usaha
jasa keuangan untuk menampung adanya pengaduan nasabah yang mengalami kerugian akibat kelalaian ataupun penyalahgunaan weweng yang di lakukan oleh
pegawai maupun pengurus dari suatu lembaga keuagan. Adanya Peraturan ini dan beberapan peratura lainnya menjamin bahwa kewajiban suatu Bank untuk
menyediakan suatu unit kerja khusus yang menangani pengaduan konsumen. Adanya pengaduan dapat di selesaikan baik melalui jalan di selesaikan dengan
internal bank sampai dengan jalur non litigasi maupun litigasi.
Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan,Perlindungan Konsumen, Nasabah
∗ Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
ABSTRAK
Dimas Adiputra Arieandra Sinta Uli
Puspa Melati
Adapun yang menjadi judul dari skripsi ini adalah Tinjauan Yuridis terhadap penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1POJK.072013
Tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan di Indonesia Studi pada Bank Mandiri
Cabang Komplek Cemara Asri. Permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini adalah Tanggung Jawab Bank terhadap perlindungan konsumen
nasabah,pelaksanan dari POJK Nomor : 1POJK.072013 Tentang PErlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Penyelesian Sengketanya dan di lakukan
penelitian pada Bank Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum
normatif-empiris, penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara secara langsung kepada pihak Bank Mandiri KCP
Komplek Cemara Asri sebagai pelaku usaha Perbankan. Penelitian normatif dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan terkait serta penelitian
kepustakaan dengan mempelajari buku-buku guna memperoleh data sekunder dan ensiklopedia sebagai bahan data tersier. Penerapan dari peraturan ini merupakan
suatu hal yang harus di patuhi dan di pahami oleh tiap - tiap lembaga keuangan baik bank maupun non bank agar tetap menciptakan suasana kehidupan perbankan
yang menjaga keamanan, kenyamanan dan kepercayaan nasabah selaku konsumen perbankan. Di perlukannya wadah yang jelas dalam masing - masing pelaku usaha
jasa keuangan untuk menampung adanya pengaduan nasabah yang mengalami kerugian akibat kelalaian ataupun penyalahgunaan weweng yang di lakukan oleh
pegawai maupun pengurus dari suatu lembaga keuagan. Adanya Peraturan ini dan beberapan peratura lainnya menjamin bahwa kewajiban suatu Bank untuk
menyediakan suatu unit kerja khusus yang menangani pengaduan konsumen. Adanya pengaduan dapat di selesaikan baik melalui jalan di selesaikan dengan
internal bank sampai dengan jalur non litigasi maupun litigasi.
Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan,Perlindungan Konsumen, Nasabah
∗ Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum Perbankan di Indonesia merupakan hukum yang mengatur masalah-masalah perbankan yang berlaku sekarang di Indonesia. Dengan
demikian,berarti akan membicarakan aturan-aturan perbankan yang masih berlaku sampai saat ini,sedangkan peraturan perbankan yang pernah berlaku
pada masa yang lalu hanya dibahas apabila keterkaitan dengan ketentuan yang berlaku saat ini atau pembahasan dalam kerangka sejarah perbankan di
Indonesia.
1
Seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan ,yurisprudensi,doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang menngatur masalah-
masalah perbankan seperti lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari,rambu- rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank,perilaku petugas-petugasnya,hak,
kewajiban,tugas , dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan,apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh
bank,eksistensi perbankan, dan lain-lain yang bekenaan dengan dunia perbankan.
Hukum perbankan di Indonesia menurut penjelasan di atas merupakan penjelasan secara luas dari ruang lingkup dan cakupan dari Hukum Perbankan
itu sendiri namum bukan merupakan definisi operasional. Adapun Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah
2
1
Djumhana,Muhammad,Hukum Perbankan di Indonesia,Cetakan ke 7,Bandung:Citra Aditya bakti,2012.
2
Hermansyah,2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,Edisi Kedua,Jakarta;Kencana ,hal 39
,
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan,
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan,kegiatan usaha,serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
Bank secara sederhana adalah suatu wadah untuk menyimpan dan meminjam uang yang dilakukan oleh individu maupun kelompok untuk suatu
kepentingan tertentu. Untuk itulah pengertian bank merupakan tempat menempatkan uang bagi individu maupun kelompok yang memiliki kelebihan
uang maupun bagi individu maupun kelompok tertentu karena untuk suatu tujuan mendesak di masa yang akan datang. Kemudian bagi individu yang
memerlukan uang dapat melakukan peminjaman sejumlah uang di bank dengan persyaratan tertentu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,kata Bank diberikan pengertian sebagai berikut :
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran
Ada lima Fungsi pokok yang harus dilaksanakan bank dalam menjalankan kewajibannya,yaitu :
1. Menghimpun Dana
2. Memberi Kredit
3. Memperlancar Lalu Lintas Pembayaran bank,
pengiriman uang,pembukuan LC, dan inkaso.
4. Media Kebijakan Moneter
5. Penyedia Informasi,Pemberian Konsultasi,dan Bantuan Penyelenggaran
Administrasi.
3
Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana di bank, sangat terkait dengan masalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.
Dan, lembaga perbankan adalah sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Tanpa kepercayaan dari masyarakat, bank tidak akan mampu
menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari
masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah.
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas suatu perjanjian. Untuk itu, tentu adalah sesuatu yang wajar apabila
kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank.
Tidak dapat disangkal bahwa memang telah ada political will dari pemerintah untuk melindungi kepentingan nasabah bank, terutama nasabah penyimpan
dana. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Hukum Perlindungan Konsumen dewasa ini medapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna menyejahterakan masyarakat, buka saja
masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan konsumen,namun pelaku usaha juga mempunyai hak dan
kewajiban.Pemerintah berperan mengatur,mengawasi,dan mengontrol sehingga
3
Gazali,Djoni,Hukum Perbankan,Cetakan kedua,Jakarta:Sinar Grafika,2012. Hal 140
tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dan tercapai.
4
Sebagaimana diketahui,sebelum berlakunya Undang - undang n=Nomor 23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 3
Tahun 2004,status dan kedudukan Bank Indonesia sebagai pembantu Pemerintah.Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter harus sesuai
dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan dewan moneter yang di pimpin oleh Menteri Keuangan.Hal yang berkaitan dengan tidak tegasnya rumusan
tujuan dan tugas pokok Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.Dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 1968 tidak dirumuskan secara multi tujuan pokok
Bank Indonesia. Nasabah selaku konsumen dan Bank selaku pelaku usaha dijamin
keamanannya dalam beroperasi melaksanakan transaksi ekonomi dan kegiatan ekonomi lainnya dengan adanya perlindungan konsumen ini.Maka dari itu UU
Perbankan yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 menjamin para pihak dalam melaksanakan transaksi
ekonomi yang berkaitan dengan perbankan serta hak dan kewajiban dari nasabah selaku konsumen diatur secara jelas dalam Undang - undang Republik
Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
5
Sejarah terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan adalah membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan
semenjak diundang-undangkannya UU No.231999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap Bank akan
4
Kristiyanti,Celina Tri Siwi,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Sinar Grafika,2011 hal 1
5
Ibid hal.104
dilakukan oleh lembaga pengawasan sector jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan melihat ketentuan tersebut,
maka telah jelas tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen harus dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya
dinyatakan bahwa pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002, dan hal tersebutlah yang dijadikan landasan
dasar bagi pembentukan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan.Otoritas Jasa Keuangan OJK mempunyai tugas melakukan
pengaturan dan pengwasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sector Pasar Modal, dan sector IKNB.
Salah satu tujuan dari Otoritas Jasa Keuangan adalah Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat,maka dari itu tujuan ini sejalan dengan
keinginan Negara untuk menjamin kepastian hukum antara Nasabah selaku konsumen dan Bank selaku pelaku usaha.
Perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang andal, meningkatkan
pemberdayaan Konsumen, dan menumbuhkan kesadaran Pelaku Usaha Jasa Keuangan mengenai pentingnya perlindungan Konsumen sehingga mampu
meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.Hasil nyata yang diharapkan antara lain Pelaku Usaha.
Karena hal tersebut di atas Otoritas Jasa Keuangan selaku badan pengawas perbankan pengganti Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Otoritas jasa
Keuangan Nomor:1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,guna mengawasi perlindungan Konsumen Nasabah dalam
kegiatan Perbankan di Indonesia. Bank Mandiri yang dikhususkan pada Bank Mandiri Komplek Cemara asri merupakan salah satu lembaga keuangan yang
harus menerapkan peraturan yang dikeluarkan otoritas jasa keuangan. Bank Mandiri merupakan lembaga keuangan yang sudah melaksanakan
fungsi perbankan nya sejak tahun 1998 melayani rakyat Indonesia dalam melaksanakan aktifitas perbankan. Nasabah Bank Mandiri tersebar luas di
seluruh penjuru Indonesia dengan berbagai keperluan dan kepentingan tertentu dan Bank Mandiri mempunyai beragam produk jasa keuangan guna memenuhi
kebutuhan dan keperluan nasabah - nasabahnya di seluruh penjuru Indonesia maupun dalam kancah internasional.
Dengan adanya peraturan otoritas jasa keuangan nomor : 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen dalam Sektor Jasa Keuangan maka Bank
Mandiri harus menerapkan serta tunduk pada peraturan tersebut dalam melaksanakan dan melayani nasabahnya. Produk jasa yang ditawarkan juga
harus menyesuaikan degan adanya pengaturan yang ditetapkan oleh otoritas jasa keuangan baik mengenai produk jasa, hak dan kewajiban sampai
penyelesaian sengketa apabila terjadi pengaduan nasabah.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah di sebutkan diatas, maka diperoleh beberapa masalah yang penting untuk diajukan, yakni sebagai berikut :
1. Bagaimana Tanggung Jawab Bank untuk memberi Perlindungan
Konsumen pada Nasabah pada Bank Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri?
2. Bagaimana Penerapan Peraturan Otoritas jasa Keuangan
Nomor;:1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pada Bank Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri?
3. Bagaimana penyelesaian yang di lakukan pihak bank apabila terjadi
permasalahan pada penerapan Peraturan Otoritas jasa Keuangan Nomor;:1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan pada Bank Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pertanggung jawaban yang dilakukan oleh Bank
Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri dalam menjamin perlidungan
konsumen nasabahnya.
2. Untuk mengetahui Pelaksanaan Penerapan Peraturan Otoritas jasa
Keuangan Nomor : 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pada program-program yang dikeluarkan Bank
Mandiri cabang Cemara Asri. 3.
Untuk mengetahui Penyelesaian sengketa yang timbul pada Bank Mandiri Cabang Komplek Cemara Asri dalam menerapkan perlindungan
konsumennya sesuai dengan Peraturan Otoritas jasa Keuangan Nomor:1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan.
D. MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, adapun beberapa manfaat
dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Manfaat teoritis
Penulisan skripsi ini saya harapkan dapat menjadi bahan pemikiran bagi berlangsungnya perlindungan konsumen di Indonesia khususnya bagi
perlindungan hukum dari nasabah,serta dapat menjadi sumbangsih ilmu perlindungan konsumen khusunya di bidang perbankan di Indonesia.
Manfaat Praktis Penulisan skripsi ini saya harapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam melaksanakan fungsinya pada praktisi perbankan di Indonesia khususnya bank,serta dapat menjadi evaluasi bagi pengawas perbankan
Indonesia yaitu Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan tugasnya dalam melakukan perlindungan bagi konsumen,yaitu nasabah serta pengawasan bagi
pelaku usahanya yaitu bank.
E. METODE PENELITIAN
1.Jenis Penelitian Ada dua jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris.Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Soerjono Soekanto bahwa :
Penelitian hukum itu berdasarkan tujuannya terdiri atas yang pertama, Penelitian hukum normatif,yang mencakup penelitian terhadap asas-asas
hukum,penelitian terhadap sistematika hukum,penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,penelitian sejarah hukum,dan penelitian perbandingan
hukum. Kedua,Penelitian hukum sosiologis atau empiris,yang
mencakup,penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian efektivitas hukum.
6
2. Jenis data dan bahan hukum
Dalam skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris yaitu sebuah bentuk jenis penelitian yang mengandalkan data dan informasi
tentang hukum, baik bahan hukum primer berupa wawancara dan peraturan perundang – undangan , bahan hukum sekunder berupa karya ilmiah dan buku
maupun bahan hukum tersier berupa ensiklopedia.
Adapun pembagian bahan yang di gunakan dalam penelitian dalam skripsi ini adalah :
a. Bahan Hukum Primer : Norma atau kaedah dasar,Peraturan dasar,
Peraturan perundang-undangan , yurisprudensi, bahan hukum yang tak dikodifikasi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan
b. Bahan hukum sekunder ,yang memberikan penjelesan mengenai
bahan hukum primer,misalnya rancangan undang-undang,hasil penelitian,hasil karya dari kalangan hukum,dan seterusnya.
c. Bahan hukum tersier, yatu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,misalnya kamus,ensiklopedia,indeks komulatif dan seterusnya.
7
Pada skripsi ini menggunakan bahan hukum baik primer,sekunder maupun bahan tersier.Bahan hukum primer yang digunakan antara lain peraturan
perundang-undangan yang mengenai perlindungan konsumen serta mengenai perbankan misalnya Peraturan Otoritas jasa Keuangan Nomor:
6
Fajar,Mukti dan Achmad,Yulianto,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010. Hal.153
7
Ibid hal. 156
1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan serta wawancara kepada Kepala Cabang dan Customer Service Bank Mandiri
Cabang Komplek Cemara Asri , UU Perbankan yaitu Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 dan Undang - undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.Bahan Hukum sekundernya meliputi karya ilmiah para ahli hukum dan buku yang mendukung bahan hukum primer serta Bahan hukum tersier
dari ensiklopedi dan lainnya. 3.
Teknik Pengumpulan Data a.
Dalam penelitian Hukum Normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan hukum primer ,sekunder dan tersier,yaitu dapat dilakukan
dengan membaca,mendengar maupun penelurusan di internet. b.
Dalam penelitian Hukum Empiris dapat dilakukan dengan 3 teknik yaitu wawancara,kuesioner dan observasi.
8
Penelitian dalam penulisan dkripsi ini menggunakan penelitian Hukum normatif dengan cara melakukan studi kepustakaan serta penelitian hukum
empiris dengan melakukan wawancara pada pelaku usaha, yaitun dalam hal ini Kepala Cabang dan Costumer Service Bank Mandiri cabang Komplek Cemara
Asri 4.Analisa
Analisa pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan secara perundang-undangan.Pendekatan secara perundangan-
undangan karena penulis menggunakan Peraturan Otoritas jasa Keuangan
8
Ibid hal. 168-170
Nomor: 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah terhadap konsumen
perbankan khususnya bank dan nasabahnya.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibuat secara teliti,sistematis,tegas dan jelas agar memberikan kemudahan dalam membaca, memahami makna dan dapat pula memperoleh
manfaatnya serta dapat dijadikan bahan pemikiran dari yang membaca skripsi ini. Keseluruhan penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang sangat
berhubungan antara satu dengan yang lainnya yang menjadi suatu bahan pertimbangan keilmuan.Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Bab I mengenai latar belakang dilakukannya penulisan ini serta
diuraikan permasalahan yang timbul yang berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan. Adapun isi dari bab I ini antara lain tujuan
penulisan,manfaat penulisan,metode penulisan, sistematika penulisan
dan
keaslian penulisan. b.
Bab II dibahas mengenai tinjauan umum tentang perlindungan konsumen di Indonesia karena bahasan dalam penulisan skripsi ini menyangkut
hukum perlindungan konsumen khususnya di bidang perbankan.Isi dari bab II ini antara lain
Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen, Tujuan Perlindungan Konsumen dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumendan
Hak dan Kewajiban dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen. c.
Bab III akan membahas mengenai tinjauan umum tentang bank dan otoritas jasa keuangan,yang dapat dijabarkan menjadi Pengertian Bank dan
Nasabah serta Hubungan Hukumnya dengan Bank, Tugas Otoritas jasa Keuangan serta Implementasinya serta Hubungan Hukum antara Bank dan
Otoritas Jasa Keuangan serta perannya. d.
Bab IV akan dibahas mengenai penelitian yang dilakukan guna mendukung penulisan skripsi ini yaitu membahas penerapan peraturan otoritas
jasa keuangan tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan pada bank mandiri cabang komplek cemara asri yang dapat dijabarkan menjadi tanggung
jawab bank mandiri terhadap perlindungan konsumen nasabah pada bank mandiri cabang komplek cemara asri,penerapan peraturan otoritas jasa
keuangan nomor:1POJK.072013 tentang perlindungan konsumen pada bank mandiri cabang komplek cemara asri serta penyelesaian sengketa yang
dihadapi dalam menerapkan peraturan tersebut. e.
Bab V yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan
dari bab-bab terdahulu. Sedangkan saran-saran merupakan usul dari penulis terhadap topik yang dibahas.
G. Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul Penerapan Peraturan Otoritas jasa Keuangan Nomor:
1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan terhadap perlindungan konsumen perbankan di Indonesia studi pada Bank
Mandiri Cabang Cemara Asri , merupakan hasil karya dan ide penulis sendiri tanpa ada plagiat atau meniru bahkan merekayasa penulisan skripsi yang
pernah ada.Penulis menyusun skripsi ini dengan referensi buku-buku ilmiah
tentang hukum,baik media cetak maupun elektronik ,melakukan penelitian di lapangan serta bantuan dari berbagai pihak.Dalam penulisan skrispsi ini
dituangkan segala pemikiran dan pendapat penulis dengan kelayakan dan menjamin skripsi ini belum ada yang menulis sebelumnya.Serta sesuai surat
bebas pustaka yang sudah dikeluarkan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang menunjukan bahwa tidak ada judul skripsi yang sama dengan
skripsi penulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
A. PENGERTIAN KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Hukum Perlindungan Konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna menyejahterakan masyarakat, bukan saja
masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan,namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan,masing-
masing ada hak dan kewajiban Pemerintah berperan mengatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan
yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.
9
Fokus gerakan perlindungan konsumen konsumerisme dewasa ini sebenarnya masih parallel dengan gerakan pertengahan abad ke 20 .Di
Indonesia,gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat.Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang seterusnya akan di
Perhatian terhadap perlindungan konsumen,terutama di Amerika Serikat 1960-1970 an mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi
objek kajian bidang ekonomi,sosial,politik dan hukum.Banyak sekali artikel dan buku yang di tulis berkenaan dengan gerakan ini.Di Amerika Serikat bahkan pada
era tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan di jatuhkan putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.
9
Kristiyanti,Celina Tri Siwi,Opcit , Hal 1
sebut sebagai YLKI ,yang secara popular di pandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yaitu 11 Mei 1973.Gerakan
di Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan,bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB ECOSOC No. 2111 Tahun 1978
tentang perlindungan konsumen.
10
1. Tahapan I 1881 - 1914
Secara Umum,sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan ,yaitu :
Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen.Pemicunya,hysteria massal akibat novel karya
Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat - syarat
kesehatan. 2.
Tahapan II 1920 - 1940 Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s worth katya
Chase dan Schlink.Karya ini mampu menggugah konsumen ada hak -hak mereka dalam jual beli.Pada kurun waktu ini muncul slogan:fair deal, best buy.
3. Tahapan III 1950 - 1960
Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional.Dengan diprakarsai oleh
wakil - wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Asutralia, dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah Internasional Organization of
10
Ibid hal 1
Consumer Union.Semula Organisasi ini berpusat di Den Haag,Belanda, lalu pindah ke London, Inggris , pada 1993.
4. Tahapan IV pasca 1965
Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen,baik di tingkat regional maupun internasional.Sampai saat ini dibentuk lina kantor
regional , yakni Amerika Latin, dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe,Eropa Timur dan tengah
berpusat di Inggris dan Negara - Negara maju berpusat di London,Inggris.
11
a. Perlindungan konsumen dari bahaya - bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya ; Sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah
perlindungan konsumen semakin meningkat.Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal di dunia barat . Negara - Negara di Eropa dan Amerika juga
telah lama memiliki peraturan tentang perlindungan konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap masalah ini.Hal ini terbukti
dengan dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa - Bangsa No. 39 248 Tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi
meliputi :
b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen ;
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi ;
d. Pendidikan Konsumen ;
11
Ibid Hal 2
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif ;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.
12
Perlindungan Konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhan nya dari hal - hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru,
khususnya di Indonesia, sedangkan di Negara maju , hal ini mulia dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industry dan teknologi.
13
Rumusan pengertian pelindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konusmen selanjutnya
disebut UU Perlindungan KonsumenUUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”,
diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang- wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Meskipun undang - undang ini disebut Undang - undang Perlindungan Konsumen UUPK namun bukan berari kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi
perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang - wenangan akan mengakibatkan
ketidak pastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan Dalam Pasal 1
angka 1 Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan :
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
12
Ibid hal 5
13
Sidabalok,Janus,Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung,Citra Aditya Bakti,2010. Hal 9
kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam UUPK dan undang - undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku unyuk
memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang hukum Privaat maupun bidang hukum Publik Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara.
Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, memperjelas kedudukan hukum Perlindungan Konsumen.
14
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk
mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat - akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konusmen dalam dua aspeknya itu, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
15
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada Konsumen barang
dan jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang - undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan - persoalan
mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai standar sehubungan keamanan dan
keselamatan konsumen atau tidak. Juga persoalan, tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timul kerugian karena memakai atau mengonsumsi
produk yang tidak sesuai. 2.
Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat - syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan - persoalan promosi dan
periklanan , standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya. Hal ini
14
Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Raja Grafindo Persada,2014. Hal 1- 2
15
Opcit hal 9 - 10.
berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
Aspek yang pertama,mencakup persoalan barang dan jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu
tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya sehingga
menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya
rendah, barang tidak dapat bertahan lama karena cepat rusak, dan sebagainya. Dengan demikian, tanggung jawab produk erat kaitannya dengan persoalan ganti
kerugian.
16
Sedangkan yang kedua ,mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang di kelompokan dalam cakupan standar kontrak yang
mempersoalkan syarat - syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau jasa
kebutuhannya. Umumnya produsen membuat atau menetapkan syarat - syarat perjanjian secara sepihak tanpa memperhatikan dengan sungguh - sungguh
kepentingan konsumen tidak ada kemungkinan unuk mengubah syarat - syarat itu guna mempertahankan kepentingannya. Seluruh syarat yang terdapat pada
perjanjian, sepenuhnya atas kehendak pihak produsen barang atau jasa. Bagi konsumen hanya ada pilihan : Mau atau tidak mau sama sekali. Karena itu, Vera
Bolger menamakannya sebagai Take it or leave it it contract.Artinya, kalau calon konsumen setuju, perjanjian boleh dibuat; kalau tidak setuju, silakan pergi.
16
Ibid hal 10
Biasanya syarat- syarat perjanjiann itu telah tertuang dalam formulir yang sudah disiapkan terlebih dahulu yang dicetak sedemikian rupa sehingga kadang - kadang
tidak terbaca dan sulit di mengerti.
17
Pengguanan istilah “pemakai” dalam rumusan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut sesungguhnya kurang tepat. Ketentuan yang menyatakan, Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, apabila dihubungkan dengan anak kalimat yang menyatakan “bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun, mahluk hidup lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya. Sebagai pemakai dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri,
dan bukan untuk kepentingan keluarga, bijstander, atau mehluk hidup lainnya. Demikian pula penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut
bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual beli.Jika seandainya istilah yang digunakan “setiap orang yang memperoleh” maka secara
hukum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena apa yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk orang lain. Hal lain
yang juga perlu dikritisi bahwa cakupan konsumen dalam UUPK adalah sempit.Bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak
hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum’ yang
Pengertian Konsumen menurut UU no. 8 Tahun 1999 tentang UU perlindungan konsumen dalam Pasal 1 atau 2, yakni :
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
mahluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.
17
Ibid hal 11
mengonsumsi barang dan atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan.Oleh karena itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh
barang dan atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut.
18
Istilah Konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer Inggris - Amerika , atau consument konsument Belanda.Pengertian dari consumer atau
consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah lawan dari produsen setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris - Indonesia memberi arti
kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.
19
Sedangkan dalam yang kedua dalam naskah final Rancangan Undang - Undang Tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut Rancangan
Akademik yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen
Perdagangan RI menentukan bahwa, konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk dipakai dan tidak untuk
Pengertian Konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan dengan 2 dua rancangan UUPK lainnya, yaitu pertama dalam Rancangan UUPK
yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa :
Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang klain yang tidak untuk
diperdagangkan kembali
18
Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Opcit, Hal. 4-5
19
Kristiyanti,Celina Tri Siwi,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Sinar Grafika,2011. Hal 22
diperdagangkan. Dapat diketahui pengertian Konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian Konsumen pada kedua Rancangan Undang - Undang
Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan terakhir ini, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan mahluk hidup lain. Hal ini
berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia hewan , maupun tumbuh - tumbuhan.Pengertian konsumen yang
luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas - luasnya kepada konsumen. Walaupun begitu masih perlu disempurnakan
sehubungan dengan penggunaan istilah “pemakai” demikian pula dengan eksistensi “badan hukum” yang tampak nya belum masuk dalam pengertian
tersebut.
20
B. TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM UNDANG -
UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Berkaitan dengan tujuan di atas ada sejumlah asas yang terkandung di dalam
usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait,
masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan asas yang menurut Pasal 2 Undang - Undang Perlindungan Konsumen Nomo 8 tahun 1999 ini adalah :
1. Asas Manfaat
2. Asas Keadilan
3. Asas Keseimbangan
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, serta
20
Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Opcit Hal 6
5. Asas Kepastian Hukum.
21
Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima 5 asas yang relevan dalam pembangunan Nasional, yaitu :
1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan. 2.
Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksmal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dakam arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan. 5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
22
Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
21
Sidabalok,Janus,Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung,Citra Aditya Bakti,2010. Hal. 31
22
Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Opcit , Hal. 25 - 26
besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen
tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikn kepada masing - masing pihak,
produsen dan konsumen , apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen
bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada giliranya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
Asas Keadilan dimaksudkan agar partispasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempoatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen ini,konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang - undang ini
mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha produsen. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah
memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen dan produsen dan
pemerintah diatur dan harus diwujdukan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing - masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak
ada salah satu pihak yang mendapatkan perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksdudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatn barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsidipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akanmengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan
harta bendanya. Karena itu, Undang - undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus
dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. Artinya
Undang - undang ini mengharapkan bahwa aturan - aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang - undang ini harus diwujudkan
dalam kehidupan sehari - hari sehingga masing - masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, Negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang -
undang ini sesuai dengan bunyinya. Asas - asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokan dalam 3 tiga
kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,kemanfaatan
disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum di sejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas
efisiensi karena menurut himawan bahwa :
Hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak - haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan
kewajibannya tanpa penyimpangan.
23
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri ; Sedangkan tujuan yang ingin dicapai melalui undang - undang perlindungan
konsumen ini sebagaimana dimaksdu dalam Pasal 3 adalah :
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa ; c.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak - haknya sebagai konsumen ;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi ;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha ;
f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Mengamati tujuan dan asas yang terkandung di dalam undang - undang in, jelaslah bahwa undang - undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam
mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 3 Undang - undang perlindungan konsumen ini,merupakan isi
pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang
harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen Achamd Ali mengatakan masing - masing undang - undang memeilki
tujuam khusus. Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang - undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen,
sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan
23
Ibid, Hal.33
berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas. Keenam tujuan khususn perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokan ke dalam tiga tujuan hukum
secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan
dapat terlihat dalam rumusan a dan b termasuk huruf c dan d serta huruf f. Terakhir tujuanj khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat
dalam rumusan huruf d.Pengelompokan ini tidak terlalu mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f
terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum umum sekaligus sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapaty tercapai secara maksimal, apabila didukung
oleh keseluruhan subsistem perlindungan konsumen yang diatur dalam undang - undang ini, tanpa mengabaikan faislitas penunjang dan kondisi
masyarakat.Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana
dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-undang Perlindungan
Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum , dan efektivitas perundang - undangan adalag tiga unsur
yang saling berhubungan.
24
24
Ibid Hal. 34 - 35.
Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan dihormati, yaitu :
1. Hak keamanan dan keselamatan ;
2. Hak atas informasi ;
3. Hak untu memilih ;
4. Hak untuk didengar dan ;
5. Hak atas lingkungan hidup.
Aspek - aspek hukum terhadap perlindungan konsumen di dalam era pasar bebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar
domestic dan dari sisi pasar global. Keduanya harus diawali dan sejak barang dan jasa diproduksi,disistribusikandipasarkan dan diedarkan sampai barang dan jasa
tersebut dikonsumsi konsumen. Bertolak dari pemikiran di atas, pada dasarnya Negara dapat diketahui bahwa aspek hukum perdata mempunyai peran dan
kesempatan yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen. Aspek hukum publik berperan dan dapat dimanfaatkan oleh Negara,pemerintahan instansi yang
mempunyai peran dan kewenangan sendiri untuk melindungi konsumen. Kemenangan dan peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari:
1. Political Willkemauan politik untuk melindungi kepentingan konsumen
domestic di dalam persaingan global dan atas persaingan tidak sehat lokal. 2.
Birokrasi dengan sadar dan senang hati menciptakan kondisi dengan berbisnis jujur dalam mewujudkan persaingan sehat.
3. Di dalam hukum positif, yang sudah mengandung unsur melindungi
kepentingan konsumen antara lain : a.
UU Kesehatan b.
UU Barang c.
UU hygiene untuk usaha
d. UU pengawasan atau edar barang
e. UU tentang wajib daftar obat
f. UU tentang produksi dan peredaran produk tertentu
g. UU perizinan , diharapkan diikuti dengan pengawasan,pembinaan dan
pemberian sanksi yang pasti dan tegas apabila terjadi pelanggaran mengenai syarat dan operasional dari perusahaan produsen.
25
C. HAK DAN KEWAJIBAN DALAM UNDANG - UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN Berkaitan dengan perlindungan konsumen ,khususnya dengan tanggung jawab
produk , perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk memperoleh kesatuan persepsi dalam pembahasan selanjutnya. Istilah yang memerlukan
penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen ,produk dan standarisasi produk , peranan pemerintah, serta klausula baku.
26
1. Produsen atau Pelaku Usaha
Produsen sering diartikan sebagai oengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan
pengercer professional, yaitu setiap orangbadan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampain ke tangan konsumen. Sifat professional
merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggung jawaban dari produsen. Dengan Demikian, produsen yidak hanya diartikan sebagai pihak
25
Kristiyanti,Celina Tri Siwi,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Sinar Grafika,2011. Hal. 89-90
26
Sidabalok,Janus,Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,Bandung,Citra Aditya Bakti,2010. Hal. 16
pembuatpabrik yang menghasilkan produk saja,tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaianperedaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.
Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk
makanan hasil industri pangan olahan, maka produsennya adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industry pangan olahan itu
hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka itu adalah : pabrik pembuat, distributor, eksportir atau importer dan pengecer baik yang berbentuk badan
hukum ataupun yang bukan badan hukum.
27
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan
luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat eropa terutama Negara
belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah : Pembuat Dalam Pasal 1 angka 3 UU no.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tidak memakai istilah produsen tetapi memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya, yaitu pelaku usaha yang pengertiannya adalah :
Setiap orang atau badan usaha ,baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usahadalam berbagai bidang ekonomi.
Dalam penjelasan lain undang - undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedanag, distributor,
dan lain - lain.
27
Ibid hal 16
produk jadi finished product; penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan
mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importer suatu produk
dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan leasing agau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok supplier ,dalam
hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditemukan. Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang - Undang Pelindungan
Konsumen sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam pengertian pelaku
usaha tersebut akan memudahkan konsumen menuntutbgantu kerugian . Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam
menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lai seandainya UUPK tersebut memberikan
rincian sebagaimana dalam Direktif ditentukan bahwa : 1.
Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah , atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama,
mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;
2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang
mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau tiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat eropa, akan
dipandang sebagai produsen dalam arti Direktif ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;
3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap
leveransirsupplier akan bertanggung gugat sebagai produsen,kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu
lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barangproduk yang
diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukan identitas importer sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2, sekalipun nama produsen
dicantumkan.
28
Dalam Pasal 6 UU No.8 Tahun 1999 Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut :
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan; 2.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen; 4.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang
diperdagangkan; 5.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar
barang danatau jasa yang diperdagangkan,menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapt menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan atau jasa yang diberikannya
28
Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Raja Grafindo Persada,2014. Hal. 8 - 9
kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan atau ajsa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi
suatu bang dan atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian
dalam hal ini adalah harga yang wajar. Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c , dan d,sesungguhnya merupakan hak - hak yang lebih
banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan atau badan Penyelesaian Sengketa Konsumenpengadilan dalam tugasnya melakukan
penyelesaian sengketa. Melalui hak - hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat
dihindari. Satu - satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak - hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah
kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya. Terakhir tentang hak - hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang - undangan lainnya, seperti hak - hak yang diatur dalam undang - undang Perbankan, UU Larangan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat dan uu lainnya. Berkenaan dengan berbagai uu tersebut, maka harus diingat bahwa UU Perlindungan Konsumen adalah payung bagi semua
aturan lainnya berkenaan dengan Perlindungan Konsumen.
29
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen ,adalah :
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang danatau 3.
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 4.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
29
Ibid hal.50 - 51
5. menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku;
6. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba
barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan;
8. memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan
tentang itikad baik ini diatur Pasal 1338 ayat 3 BW, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sedangkan Arrest H.R. di Negeri Belanda
memberi peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori
kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut, sehingga dalam perundingan - perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan
berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak
itu harus bertindak dengan mengingat kepnetingan - kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing - masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu
kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas - batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak, atau masing - masing
pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.
30
30
Ibid. Hal. 52 - 53
2. Konsumen
Pengertian konsumen menurut UUPK dalam Pasal 1 ayat 2 yakni : Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau ajsa yang tersedia dalam
masyarakat , baik bagi kepentingan diri sendiri, keluiarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum.Oleh karena itu , perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi
yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak - haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak - hak konsumen. Secara umum dikenal ada 4 empat hak dasar konsumen , yaitu :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan
2. Hak untuk memilih
3. Hak untuk didengar
4. Hak untuk mendapat informasi
Empat hak dasar ini di akui secara internasional. Dalam perkembangannya organisasi - organisasi konsumen yang tergabung dalam The Internasional
Organization of Consumer Union menambahkan lagi beberapa hak,seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapat ganti kerugian, dan hak
mendapatkan lingkungan hidup dan sehat. Hak - hak konsumen yang diatur dalam hukum positif di Indonesia yang
tertuang dalam UUPK terdapat pada Pasal 4 , yaitu : 1.
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan 2.
Hak untuk memilih, serta mendapatkan barang atau jasa yang sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang telah dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang danatau jasa. 4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yangdigunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 7.
Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian,
apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan dalam Rancangan Akademi UU tentang perlindungann Konsumen yang dikeluarkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen
Perdagangan dikemukakan enam hak konsumen, yaitu empat dasar yang disebut pertama, d tambah dengan hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai
tukar yang diberikannya, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum yang patut. Memperhatikan hak - hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan
pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen , yaitu : 1.
Hak atas keselamatan dan keamanan ; 2.
Hak untuk memperoleh informasi ; 3.
Hak untuk memilih ; 4.
Hak untuk didengar ;
5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup ;
6. Hak untuk memperoleh ganti rugi ;
7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ;
8. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat ;
9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya ;
10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
31
Sepuluh hak konsumen yang merupakan himpunan dari berbagai pendapa tersebut di atas hamper semuanya sama dengan hak - hak konsumen yang
dirumuskan dalam Pasal 4 UUPK sebagaimana dikutip sebelumnya. Hak - hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 UUPK tersebut, terdapat satu hak yang
tak terdapat pada 10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya yaitu ‘ hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi ‘ namun
sebaliknya dalam Pasal 4 UUPK tidak mencantumkan secara khusus tentang ‘ hak untuk memperoleh kebutuhan hidup ‘ dan ‘ hak untuk memperoleh lingkungan
hidup yang bersih dan sehat ‘ tapi hak tersebut dapat dimasukan ke dalam hak yang disebutkan terakhir dalam Pasal 4 UUPK tersebut, yaitu ‘ hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang - undangan lainnya ‘.Sedangkan hak lainnya hanya perumusannya yang lebih dirinci, tapi pada dasarnya sama dengan
hak - hak yang telah disebutkan sebelumnya.
32
31
Ibid Hal 40
32
Ibid hal 40
Kewajiban konsumen tertera dalam Pasal 5 UUPK, yaitu : 1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
3. Produk dan Standarisasi Produk
Produk adalah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan teknologi. Dalam Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan
Konsumen bahwa : Barang adalah tiap benda , baik berwujud maupun tak berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat di habiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 UU perlindungan konsumen bahwa :
Jasa adalah pemakaian tiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen
Menurut Gandi, Standarisasi adalah : Proses penyusunan dan penerapa aturan - aturan dalam pendekatan secara teratur
bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan penghematan menyeluruh
secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil ilmu teknologi dan
pengalaman
33
4. Peranan Pemerintah
Sesuai prinsip pembangunan yang antara lain menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan
karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dicapai
33
Sidabalok,Janus,HukumOpcit. Hal. 19
dengan baik. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan, maka langkah - langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah :
a. Registrasi dan penilaian ;
b. Pengawasan produksi ;
c. Pengawasan distribusi ;
d. Pembinaan dan pengembangan usaha ;
e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.
34
5. Klausula Baku
Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut Pasal 1 angka
10 UU Perlindungan Konsumen yaitu : Klausula baku adalah tiap aturan atau ketentuan syarat - syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen.
Memperhatikan rumusan pengertian klausula baku dalam Pasal 1 angka 10 UUPK ini, tampak penekanannya lebih trtuju pada prosedur pembuatannya yang
dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya. Berkenaan dengan prosedur pembuatan ini sangat terkait dengan syarat sahnya perjanjian yaitu “
kesepakatan mereka untuk mengikatkan dirinya “ sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW, kesepakatan seseorang untuk mengikatkan dirinya merupakan syarat
penentu tentang ada tidaknya perjanjian, sehingga dengan adanya kesepakatan dari para pihak mengenai suatu hal yang diperjanjikan dan telah memenuhi syarat
lainnya, maka para pihak akan terikat dengan perjanjian tersebut berdasarkan
34
Ibid hal 24
asas konsensualisme. Asas konsensualisme ini sangat terkait pula dengan kebebasan berkontrak , karena dengan kebebasan yang dimiliki seseorang untuk
mengadakan perjanjian yang tertentu pula, sangat menentukan ada tidaknya kesepakatan yang diberikan oleh orang tersebut terhadap orangisi perjanjian yang
dimaksud.
35
35
Miru,Ahmadi dan Yodo,Sutarman,Opcit , Hal 18-19
BAB 3
PERANAN BANK DAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM KEHIDUPAN PERBANKAN
A. PENGERTIAN BANK DAN NASABAH SERTA HUBUNGAN
HUKUMNYA DENGAN BANK Kegiatan lembaga perbankan secara umumnya di lakukan oleh pelaku yang
menurut fungsi serta tujuan usahanya dapat dibedakan, yaitu berupa bank senral central bank dan bank umum commercial bank. Bank umum atau bank
commercial dalam kegiatannya dibina dan diawasi oleh bank sentral, sedangkan bank sentral dalam menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kegiatan
pemerintah. Adapun definisi singkat dari Bank itu sendiri menurut para ahli dan beberapa sumber keilmuan lainnya antara lain :
1. Perbankan banking pada umumnya ialah kegiatan - kegiatan dalam menjualmembeli mata uang, surat efek, dan instrument - instrument yang dapat
diperdagangkan. Penerimaan deposito, untuk memudahkan penyimpanannya atau untuk mendapatkan bunga dan atau pembuatan, pemberian pinjaman - pinjaman
dengan atau tanpa barang - barang tanggungan, penggunaan uang yang ditempatkan atau diserahkan untuk di simpan.
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
bank,mencakup kelembagaan ,kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya Pasal 1 angka 1 U No.71992 jo No. 101998,
Tenatang Perbankan.
2. Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang
bertujuan memberikan kredit dan jasa - jasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana - dana yang dipercayakan
oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat - alat pembayaran baru berupa uang giral O.P Simorangkir; 1979, 18
3. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dakam
bentuk simpanan dan menyaklurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk - bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Pasal 1 butir 2 UU No. 71992 jo UU no. 101998, Tentang Perbankan 4.
Pengertian Bank Menurut G.M. Verryn Stuart adalah Badan usaha yang wujudnya memuaskan keperluan orang lain, dengan cara
memberikan kredit berupa uang yang diterimanya dari orang lain, sekalipun dengan jalan menambah uang baru kertas atau logam.
5. Menurut B.N. Ajuha, Pengertian Bank ialah
Tempat menyalurkan modal dari mereka yang tidak dapat menggunakan secara menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya lebih produktif
untuk keuntungan masyarakat. 6.
Pierson mengemukakan Pengertian Bank yaitu Badan usaha yang menerima kredit tetapi tidak memberikan kredit. Dalam
hal ini menurut Pierson Bank dalam operasionalnya hanya bersifat pasif saja, hanya menerima titipan uang saja.
7. Pengertian Bank Menurut UU No.10 Thn 1998 adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit danatau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 8.
Pengertian Bank Yang dikemukakan Oleh Malayu S.P. Hasibuan, Yaitu :
a. Bank ialah badan usaha kekayaan terutama dalam bentuk aset keuangan
financial assets serta bermotifkan profit dan juga sosial, jadi bukan hanya mencari keuntungan saja.
b. Bank adalah pencipta dan pengedar uang kartal. Pencipta dan pengedar
uang kartal uang kertas dan logam meruapakan otoritas tunggal bank sentral Bank Indonesia, sedangkan uang giral dapat diciptakan oleh bank umum.
c. Bank merupakan pengumpul dana dan penyalur kredit, berarti bank dalam
operasinya mengumpulkan dana kepada SSU dan menyalurkan kredit kepada DSU.
d. Bank selaku pelaksana lalu lintas pembayaran LLP berarti Bank menjadi
pelaksana penyelesaian pembayaran transaksi komersial atau finansial dari pembayar kepada penerima. Lalu lintas pembayaran diartikan sebagai proses
penyelesaian transaksi komersial danatau finansial dari pembayar kepada penerima melalui media bank.
e. Bank selaku Stabilisator moneter yaitu bank mempunyai kewajiban ikut
serta menstabilkan nilai tukar uang, nilai kurs, atau harga barang-barang relatif stabil atau tetap, baik secara langsung maupun melalui mekanisme Giro Wajib
Minimum GWM Bank, Operasi Pasar Terbuka, ataupun kebijakan diskonto.
36
Dari pengertian seperti dikutip di atas ,secara sederhana kiranya dapat di kemukakan di sini , bank adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum yang
bergerak di bidang jasa keuangan. Bank sebagai badan hukum berarti secara yuridis adalah merupakan subjek hukum yang berarti dapat mengingatkan diri
dengan pihak ketiga. Dengan demikian dapat dirumuskan pula, hukum perbankan pada
dasarnya adalah serangkaian kaidah - kaidah yang mengatur tentang badan usaha perbankan. Kaidah - kaidah yang dimaksud di sini adalah baik yang tedapat dalam
hukum positif maupun dalam praktik perbankan. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang paling penting dan
besar peranannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan peranannya maka bank bertindak sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan
memberikan kredit dan jasa - jasa keuangan lainnya. Adapun pemberian kredit itu dilakukan , baik dengan modal sendiri, dengan dana - dana yang dipercayakan
36
Sembiring,Sentosa,2000, Hukum Perbankan,Bandung,Mandar maju, hal 1 - 2
oleh pihak ketiga, maupun dengan jalan memperedarkan alat - alat pembayaran baru berupa uang giral.
37
A. Jenis Bank menurut kegiatan usahanya
Melihat Praktik operasinal perbankan yang ada , kita dapat membedakan jenis - jenis bank secara teoritis, yaitu antara lain :
Sebelum diberlakukan UU No 7 tahun 1992 , bank dapat digolomgkan berdasarkan jenis kegiatan usahanya , seperti bank tabungan , bank pembangunan
, dan bank ekspor impor. Setelah UU tersebut berlaku , jenis bank yang diakui secara resmi hanya terdiri atas dua jenis, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat BPR. Apabila hingga saat ini masih terdapat bank dengan nama depan bank pembangunan atau bank tabungan dan lain - lain, maka istilah tersebut
hanyalah sekedar nama dan bukan menunjukan kelompok bank tertentu. Dijelaskan lebih lanjut dalam Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 Ayat 2
Pasal 5 bahwa “ Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan
tertentu” sehingga meskipun jenisnya dibatasi hanya bank umum dan BPR, bank umum dapat saja berspesialisasi dalam bidang ataupun jenis kegiatan tertentu
tanpa harus menjadi suatu kelompok tertentu. Penyederhanaan jenis bank ini diharapkan dapat memudahkan bank dalam memilih kegiatan - kegiatan
perbankan yang paling sesuai dengan karakter masing - masing tanpa harus direpotkan dengan perizinan tambahan,yaitu :
a. Bank Umum
Didefiniskan oleh Undang - undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konsvensional dan atau berdasarkan
37
Djumhana,Muhammad, 2012, Hukum Perbankan di Indonesia,Cetakan ke 7,Bandung:Citra Aditya bakti, hal. 102
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan - kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum
secara lengkap adalah : 1.
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu. 2.
Memberikan kredit. 3.
Menerbitkan surat pengakuan utang. 4.
Membeli, menjual, atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
a. Surat - surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat - surat dimaksud.
b. Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat - surat dimaksud. c.
Kertas perbendaharaan Negara dan surat jaminan peerintah. d.
Sertifikat Bank Indonesia. e.
Obligasi f.
Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun. g.
Instrumen surat berharga lain yang berjangka watu sampai dengan satu tahun.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan
nasabah transfer
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamka dana
kepada pihak lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wasel tunjuk,cek dan sarana lainnya.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga. 8.
Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dann surat berharga 9.
Dan lain - lainya sebagaimana diatur dalamPeraturan Perundang - undangan yang berlaku.
b. Bank Perkreditan Rakyat
Didefinsikan oleh UU Nomor 10 Tahun 1998 sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.Kegiatan - kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat secara
lengkap adalah : 1.
Menghimpun dana dari masyarakatdalam bentuk simpanan berupa deposito bejangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu. 2.
Memberikan kredit. 3.
Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia
SBI,deposito berjangka dan atau tabugan pada bank lain.
Di samping kegiatan - kegiatan di atas terdapat beberapa kegiatan yang merupakan larangan bagi BPR, yaitu :
1. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran. 2.
Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 3.
Melakukan penyertaan modal. 4.
Melakukan usaha perasuransian. 5.
Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas.
B. Jenis Bank Menurut Target Pasar
Secara umum, jenis bank atas dasar target pasarnya dapat digolongkan menjadi tiga,yaitu :
a. Retail Bank
b. Corpotare Bank
c. Retail Corporated Bank
C. Jenis bank menurut fungsi
a. Bank Sentral , yaitu bank yang merupakan badan hukum milik Negara
yang tugas pokoknya membantu pemerintah. Contohnya : Bank Indonesia, Bank of China, Bank of England, The Reserve Bank of India.
b. Bank Umum, yaitu bank yang bersumber utama dananya berasal dari
simpanan pihak ketiga serta pemberian kredit jangka pendek dalam
penyaluran dana. Contohnya : BNI,BRI, BTN, Bank Mandiri, Bank Bukopin, BCA, Bank Danamon, dan Bank Permata.
c. Bank Pembangunan, yaitu bank yang dalam pengumpulan dananya berasal
dari penerimaan simpanan deposito serta commercial paper.Contohnya : Bank Jatim, Bank Jateng,Bank Jabar.
d. Bank Desa, yaitu kantor bank di suatu desa yang tugas utamanya adalah
melaksanakan fungsi perkreditan dan penghimpunan dana dalam rangka program pemerintah memajukan pembangunan desa.
e. BPR, yaitu kantor bank di kota kecamatan yang merupakan unsur
penghimpunan dana masyarakat ataupun menyalurkan dananya di sektor pertanian dan pedesaan.
D. Jenis bank menurut status kepemilikan ,yaitu :
a. Bank Milik Negara, yaitu bank yang seluruh modalnya berasal dari
kekayaan Negara yang dipisahkan dan pendiriannya di bawah undang - undang tersendiri. Contohnya : BNI, BRI, Bank Mandiri, dan Bank BTN.
b. Bank Milik Swasta Nasional, yaitu Bank milik swasta yang didirikan
dalam bentuk hukum perseroan terbatas, dimana seluruh sahamnya dimiliki oleh WNI dan atau badan - badan hukum Indonesia.Contohnya BCA,Bank Mega,
Bank Permata dan lainnya. c.
Bank Swasta Asing, yaitu bank yang didirikan dalam bentuk cabang bank yang sudah ada di luar negeri atau dalam bentuk campuran antara bank asing dan
bank nasional yang ada di Indonesia.Contohnya : Citibank,HSBC,Rabobank, dan Commonwealth.
d. Bank Pembangunan Daerah, yaitu bank yang pendiriannya berdasarkan
peraturan daerah provinsi dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten di wilayah bersangkutan dan modalnya
merupakan harta kekayaan pemerintah daerah yang dipisahkan. Contohnya. Bank Jatim, Bank Jateng, Bank Jabar, Bank DKI dan Bank Papua.
e. Bank Campuran , yaitu bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihakn
asing dan pihak swasta nasional.Contohnya Bank UOB Buana,ANZ Panin Bank,Bank OCBC,NISP dan Bank DSB Indonesia.
38
Secara umum fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai
financial intermediary. Secara lebh spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of services.
a. Agent of Trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan, baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau meinitipkan
dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan.Masyarakat percaya bahwa uang tidak akan disalahgunakan oleh bank,uangnya akan dikelola dengan
baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapa ditarik kmbali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau
menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak
akan menyalahgunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debitur akan mempunyai kemampuan untuk membayar pada saat
38
Budisantoso,Totok dan Nuritomo,2014, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,Edisi 3,Jakarta:Salemba Empat, hal. 109 - 121
jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.
b. Agent of Development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling
mempengaruhi.Sektor riil tidak akan dapat bekerja dengan baik apabila sekor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan
penyaluran dana sangat di erlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan
kegiatan investasi, kegiatan distribusi, kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investas-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan
dari adanya penggunaan uang.Kelancaran kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
c. Agent of services
Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang di
tawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomia masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain berupa jasa pengiriman uang,penitipan barang
berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.
39
Ketiga fungsi bank di atas diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan lengkap mengenai fungsi bank dalam perekonomian sehingga
ban tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga perantara keuangan finansial intermediary institution.
40
39
Ibid, hal. 9
40
Ibid hal 9
Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya untuk mengintegrasikan dan mengkoodinasikan kepentingan - kepentingan yang dapat bertentangan satu
sama lain.Berkaitan dengan itu, hukum harus mampu mengintegrasikannya sehingga benturan - benturan kepentingan itu dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Pengorganisasian kepentingan - kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan - kepentingan tersebut. Memang, dalam suatu lalu lintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan - kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan lain pihak.
41
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank
syariah dan atau Unit Usaha Syariah. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang Kemudian dalam pasal 1 ayat 16 Undang - undang nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank . Dalam pasal 1 ayat
17 Und
ang
- undang nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa nasabah Penyimpan adalah
nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.Dalam pasal 1 ayat 18
Undang - undang nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa nasabah debitur adalah nasabah yang
memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan.
41
Hermansyah,2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,Edisi Kedua,Jakarta;Kencana hal 143
menempatkan dananya di Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau Unit Usaha Syariah
dan nasabah yang bersangkutan. Nasabah investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dalam
bentuk investasi berdasarkan akad antara Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dan nasabah yang bersangkutan. Nasabah penerima fasilitas adalah
nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11 26 PBI2009 tentang prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product bagi Bank
Umum, nasabah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : a.
Nasabah Profesional Nasabah digolongkan sebagai nasabah profesional apabila nasabah tersebut
memiliki pemahaman terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari structured product dan terdiri dari: Perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang
terdiri dari bank, perusahaan efek, perusahaan pembiayaan atau pedagang berjangka sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan dan perdagangan berjangka komoditi yang berlaku.
Perusahaan dengan modal lebih dari Rp. 20.000.000.000,-dua puluh miliar rupiah atau ekuivalennya dalam valuta asing dan telah melakukan kegiatan usaha
paling kurang 36 bulan berturut-turut. b.
Nasabah Eligible Nasabah digolongkan sebagai nasabah profesional apabila nasabah tersebut
memiliki pemahaman terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari structured product dan terdiri dari : Perusahaan yang bergerak di bidang keuangan berupa
dana pensiun atau perusahaan perasuransian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun dan usaha perasuransian
yang berlaku. Perusahaan dengan modal setidaknya Rp. 5.000.000.000,-lima miliar rupiah atau ekuivaennya dalam valuta asing dan telah melakukan kegiatan
paling kurang 12 bulan berturut-turut. Nasabah perorangan yang mempunyai portofolio aset berupa kas, giro, tabungan
paling kurang Rp. 5.000.000.000 lima miliar rupiah. c.
Nasabah Retail adalah nasabah yang tidak termasuk dalam nasabah profesional dan eligible.
42
42
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11 26 PBI2009 tentang prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product bagi Bank Umum ,pasal 15
Basis hubungan hukum antara bank dengan para nasabah adalah hubungan
kontraktual. Begitu seorang nasabah menjalin kontraktual dengan bank, maka perikatan yang timbul adalah perikatan atas dasar kontrak perjanjian. Jika
merujuk pada Kitab Undang - Undang Hukum Perdata maupun Hukum Dagang, maka tidak diketemukan pengaturan tentang hubungan kontraktual antara bank
dan nasabah penyimpan dana dengan figure perjanjian penyimpanan simpanan dana tadi. Karena dari kedua kitab undang - undang tersebut, tidak ditemukan
bentuk hubungan hukum kontraktual antara bank dan nasabah penyimpan dana. Akan tetapi sebagai suatu bentuk kontrak perjanjian, maka sudah tentu
perjanjian penyimpanan simpanan ini tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata. Dalam ketentuan Pasal 1319
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata ditegaskan, bahwa semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan - peraturan hukum yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu. Perjanjian penyimpanan dana merupakan
perjanjian, karenanya harus tunduk kepada ketentuan - ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang -undang Hukum Perdata.
43
• Hubungan Kepercayaan
Ada beberapa hubungan nasabah dengan bank yang diatur dalam Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia dan peraturan pelaksanaan yang dapat diuraikan sebagai berikut :
43
Gazali,Djoni, 2012,Hukum Perbankan,Cetakan kedua,Jakarta:Sinar Grafika hal 242
Hubungan ini dapat dilihat dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit danatau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. •
Hubungan kerahasiaan Pasal 40 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menentukan bahwa :
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal
41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. •
Hubungan menjamin simpanan nasabah penyimpan Hubungan ini diatur dalam Pasal 37 B UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
bahwa 1 Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan; 2 Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan; 3 Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 berbentuk
badan hukum Indonesia. •
Hubungan kepedulian terhadap resiko nasabah Hubungan ini diatur dalam Pasal 29 ayat 4 UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia No.76PBI2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, tanggal 20 Januari
2005 bahwa untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank.
• Hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah
Hubungan ini diatur dalam Pasal 2 PBI No.77PBI2005, bahwa 1 bank wajib menyelesaikan setiap pengaduan yang diajukan nasabah dan atau atau perwakilan
nasabah; 2 Untuk menyelesaikan pengaduan, bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis yang meliputi : a.penerimaan pengaduan; b.
penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan c. pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan. Pasal 3 PBI No.77PBI2005 bahwa Direksi
bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PBI No.77PBI2005. Jika terjadi pelanggaran kewajiban
bank yang termuat antara lain dalam Pasal 2 dan 3 PBI No.77PBI2005, maka menurut Pasal 17 PBI No.77PBI2005, bank dikenai sanksi administrarif sesuai
dengan Pasal 52 UU Perbankan yang berupa teguran tertulis, dan pelanggaran itu dapat diperhitungkan dengan komponen tingkat kesehatan bank, namun dengan
adanya ketentuan Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan maka Direksi dari bank yang bersangkutan dapat diadukan oleh nasabah sebagai telah melaksanakan
tindak pidana dan dijatuhi sanksi pidana. Hak-hak nasabah penyimpan terhadap bank dalam ke lima hubungan yang muncul dari UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan di atas memang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap nasabah penyimpan, hal itu bisa terlihat ketika terjadi pelanggaran kewajiban
bank dalam hubungan-hubungan tersebut, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengaturmemberikan sanksi berupa sanksi administratif terhadap
bank yang bersangkutan dan sanksi pidana bagi Direksi, Komisaris, pegawai bank yang bersangkutan yang sengaja melanggar kewajiban tersebut.
44
B. TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN SERTA IMPLEMENTASIMNYA
Krisis pada 1997 - 1998 memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi perekonomian Indonesia. Kondisi ekonomi yang kacau karena krisis tersebut
membuat pemerintah lebih berhati - hati dalam membuat suatu keputusan. Salah satu cara yang di lakukan oleh pemerintah untuk menghindari terulangnya krisis
ekonomi pada 1996 - 1998 adalah dengan membentuk suatu lembaga pengawasan independen yang bernama Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan
menurut Undang - Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia tersebut sebenarnya sudah harus terbentuk pada 2002, namun pada prakteknya Otoritas
Jasa Keuangan baru terbentuk pada 2011 melalui UU No. 21 tahun 2011 yang disahkan pada 22 November 2011. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga
Negara yang dibentuk berdasarkan pada Undang - Undang No.21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi , tugas , dan wewenang pengaturan , pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
Otoritas Jasa Keuangan ini didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK untuk melakukan pengawasan secara ketat terhadap lembaga keuangan seperti
44
http:fachrizal.lecture.ub.ac.id201008bank-vis-a-vis-nasabah di akses pada 5 Februari 2015
perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan,dana pension dan asuransi.
45
45
Budisantoso,Totok dan Nuritomo,2014, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,Edisi 3,Jakarta:Salemba Empat, hal 47
Berdasarkan pada UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya akan di sebut sebagai UU OJK , sejak 31 Desember ,fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian,dana pensiun,Lembaga pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan dan
sejak 31 Desember 2013, fungsi,tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke
Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut sebagai OJK adalah
lembaga baru yang didirikan berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011. Lembaga ini didirikan untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan secara
terpadu. Secara yuridis menurut pasal 1 UU OJK dirumuskan bahwa : Otoritas Jasa Keuangan,yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang ini.
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU OJK di katakan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,bebas
dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal - hal yang secara tegas diatur dalam Undang - Undang ini.
Lebih lanjut dalam bagian penjelasan OJK disebutkan bahwa :
Otoritas Jasa Keuangan dlam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah. Jadi, seharusnya tidak terpengaruh oleh pemerintah
independen. Berdasarkan penjelasan di atas menunjukan bahwa status kelembagaan
OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,sehingga secara yuridis bebas dari ampur tangan pihak lain,kecuali
untuk hal - hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK.Independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK.Secara orang perseorangan ,pimpinan OJK
memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan kecuali memenuhi alas an yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Disamping itu, untuk
mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, dalam UU OJK diatur juga mekanisme seleksi yang transparan,akuntabel,dan melibatkan partisipasi publik melalui suatu
panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas pemerintah,Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan.
46
1. Secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain didalam
sistem pemerintahan, dan Independensi Otoritas Jasa Keuangan diwujudkan dalam 2 bentuk yakni :
2. Secara orang perseorangan, yang memimpin OJK harus memiliki
kepastian atas jabatannya dan tidak dapat diberhentikan di tengah jalan, kecuali karena alasan - alasan yang secara tegas disebutkan dalam UU OJK.
47
Sebagai institusi yang mengemban tanggung jawab yang sangat besar, OJK bekerja berlandaskan asas - asas yang disusun dengan memperhatikan tugas
46
Hermansyah,2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,Edisi Kedua,Jakarta hal 221
47
Sihombing,Jonker, 2012, Otoritas Jasa Keuangan : Konsep,Regulasi dan Implementasi,Jakarta:Ref Publisher hal. 32
dan wewenangnya. Asas - asas yang dianut OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut menyangkut :
a. Asas Independensi, yakni mampu bertindak independen dalam
pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, dengan bertindak tetap sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
b. Asas Kepastian Hukum, yakni asas di dalam Negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang - undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan tugasnya.
c. Asas Kepentingan Umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum. d.
Asas Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,jujur, dan tidak diskriminatif
dalam penyelenggaraan kegiatan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia Negara, termasuk rahasia
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang - undangan. e.
Asas Profesionalitas, yakni asa yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan teugas dan wewenangnya, dengan tetap berlandaskan pada kode etik
dan ketentuan peraturan perundang - mudangan, f.
Asas Integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai - nilai moral dalam tiap tindakan dan keputuasan yang diambil dalam penyelanggaraan tugas -
tugasnya. Asas ini menjadi pegangan bukan hanya pada tingkat pimpinan tetapi juga di tingkat pelaksana, sehingga integritas dari lembaga OJK secara
keseluruhan terpelihara.
g. Asas Akuntabilitas , yakni asa yang menetukan bahwa untuk setiap
kegiatan dan hasil akhir dari tiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat di pertanggung jawabkan kepada pihak - pihak terkait stake holder dan juga kpada
public.
48
Prinsip Tata kelola dan asas- asas uang dianut OJK sebagaimana yang disebutkan di atas mengharuskan lembaga tesebut memiliki struktur organisasi
dengan prinsip “checks dan balance” .Prinsip Check and Balance ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi,tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan di dalam internal organisasi OJK sendiri, yakni : a.
Fungsi,tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan dilaksanakan Dewan Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas di antara masing - masing
anggota dewan komisioner demi pencapaian tujuan lembaga tersebut. b.
Di pihak lain, tugas anggota dewan Komisioner meliputi bidang yang terkait dengan kode etik pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit,
edukasi dan oerlindungan konsumen, serta fungsi,tugas, dan wewenang pengawasan untuk sektor perbankan,pasar modal, perasuransian, dana pension,
lembaga pembiayaan, lembaga jasa keuangan lainnya.
49
Tujuan Otoritas Jasa Keuangan menurut pasal 4 UU Otoritas Jasa Keuangan adalah :
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam di sektor jasa keuangan :
a. Terselenggara secara teratur,adil, transparan, dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil; dan c.
Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyrakat.
48
Ibid hal 53
49
Ibid hal 54
Adapun mengenai fungsi OJK ditentukan dalam pasal 5 UU OJK. Pasal ini selengkapnya berbunyi :
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pegawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
Lebih lanjut ketentuan pasal 6 UU OJK menyatakan bahwa : OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian,Dana pension,Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang:
1. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; 7.
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan 9.
menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang sesuai pasal 9 UU OJK,yakni :
1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan; 2.
mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, danatau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
4. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan danatau
pihak tertentu; 5.
melakukan penunjukan pengelola statuter; 6.
menetapkan penggunaan pengelola statuter; 7.
menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
8. memberikan danatau mencabut:
1. izin usaha;
2. izin orang perseorangan;
3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. surat tanda terdaftar;
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
50
Otoritas Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan komisioner yang beranggotakan 9 anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang
bersifat kolektif dan kolegial. Anggota Dewan komisioner memiliki hak suara yang sama. Susunan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas :
1. Dewan Komisioner OJK
2. Pelaksana Kegiatan Operasional
Struktur Dewan Komisioner terdiri atas:
50
Ibid
1. Ketua merangkap anggota;
2. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; 6.
Ketua Dewan Audit merangkap anggota; 7.
Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen; 8.
Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
9. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat
setingkat Eselon I Kementerian Keuangan.
Pelaksana kegiatan operasional terdiri atas:
1. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;
2. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis
II; 3.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor Perbankan;
4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan
Sektor Pasar Modal; 5.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang
Pengawasan Sektor IKNB;
6. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen
Risiko; dan 7.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
C. HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK DAN OTORITAS JASA
KEUANGAN SERTA PERANNYA
Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank disebutkan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dengan adanya tugas - tugas dan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum secara umum maka diperlukan suatu lembaga pengawas yang
mengawasi kegiatan di dalam bidang perbankan tersebut untuk melindungi hak - hak dan kewajiban konsumen dalam menggunakan jasa di bidang perbankan yang
ditawarkan oleh bank,maka dari itu dalam ketentuan Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan pembentukan lembaga
pengawas sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan,asuransi,dana pension,sekuritas,modal ventura dan perusahaan pembiayaan serta badan - badan
lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.Selengkapnya bunyi ketentuan Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia adalah :
a. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan UU. b. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
akan dilaksanakan selambat - lambatnya 31 Desember 2002. Untuk menindak lanjuti ketentuan pasal di atas
berdasarkan pada UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan , sejak 31 Desember , fungsi, tugas
dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian,dana pensiun,Lembaga pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan dan sejak 31 Desember
2013, fungsi,tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Maka dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara bank dan otoritas jasa keuangan adalah Otoritas jasa keuangan sebagai pengambil peran ,tugas,
fungsi, dan wewenang pengawas dan pengatur dari Bank Indonesia ke Otoritas jasa Keuangan. Salah satu tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan adalah
untuk melakukan perlindungan konsumen dan masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya ini maka Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan tindakan
pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, meliputi :
a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik
sektor jasa keuangan,layanan dan produknya; b.
Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang - undangan di sektor jasa keuangan. Pencapaian tujuan harus dilakukan dengan melakukan berbagai upaya
teknis seperti salah satunya adalah melakukan pelayanan pengaduan konsumen. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pelayanan pengaduan konsumen yang
meliputi : a.
Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;
b. Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
Lembaga Jasa Keuangan; dan c.
Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumenj yang dirugikan oleh pelaku Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang - undangan di
sektor jasa keuangan.
51
Dalam upaya melakukan perlindungan konsumen dan masyarakat,Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pembelaan hukum,yang meliputi :
a. Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa
Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;
b. Mengajukan gugatan :
1. Untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan
dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak lain yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan
pihak lain dengan itikad tidak baik; dan atau
51
Budisantoso,Totok dan Nuritomo,2014, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,Edisi 3,Jakarta:Salemba Empat halaman 51
2. Untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabakan
kerugian pada Konsumen dan atau lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang - undangan di sektor jasa keuangan.
Banyaknya kasus penutupan dan pembekuan operasional bank di masa lampau serta lemahnya perlindungan hukum bagui investor di pasar modal
menjadi salah satu aspek yang turut menjadi pertimbangan dalam merancang institusi OJK. Hal ini dapat di lihat pada pasal 4.c. UU OJK yang menyebutkan
bawa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Dengan konsumen dalam UU OJK tersebut diartikan sebagai pihak - pihak yang menempatkan dananya dan atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di
lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun
berdasarkan peraturan perundang - undangan di sektor jasa keuangan.
52
52
Sihombing,Jonker, 2012, Otoritas Jasa Keuangan : Konsep,Regulasi dan Implementasi,Jakarta:Ref Publisher hal 140
BAB 4 PENERAPAN PERATURAN OTORITAS JASA