Perbedaan Tb Laten Berdasarkan Tingkat Cd4 Pada Penderita HIV

(1)

HUBUNGAN ANTARA NILAI ANKLE- BRACHIAL INDEX DENGAN

JUMLAH ARTERI KORONER YANG MENGALAMI STENOSIS DAN

KEJADIAN KARDIOVASKULAR SETELAH 6 BULAN PENDERITA

SINDROMA KORONER AKUT DI RS H ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

RINELIA MINASWARY

NIM : 097115005

PEMBIMBING: 1. Prof. A. AFIF SIREGAR , SpA(K), SpJP(K)

2. dr. REFLI HASAN, SpPD, SpJP(K)

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN ANTARA NILAI ANKLE- BRACHIAL INDEX DENGAN

JUMLAH ARTERI KORONER YANG MENGALAMI STENOSIS DAN

KEJADIAN KARDIOVASKULAR SETELAH 6 BULAN PENDERITA

SINDROMA KORONER AKUT DI RS H ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Jantung & Pembuluh Darah

dalam Program Studi Kardiologi dan Kedokteran Vaskular pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

RINELIA MINASWARY

NIM : 097115005

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : Hubungan Antara Nilai Ankle Brachial Index Dengan Jumlah Arteri Koroner Yang Mengalami Stenosis dan Kejadian Kardiovaskular Setelah 6 Bulan Penderita Sindroma Koroner Akut di RS. H. Adam Malik Medan . Nama Mahasiswa : Rinelia Minaswary.

Nomor Registrasi : 097115005

Program Studi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. A. Afif Siregar, Sp.A(K) SpJP(K)

NIP. 195004161977111001 NIP. 196104031987091001 Dr. Refli Hasan SpPD, Sp.JP(K)

Mengetahui / Mengesahkan

Ketua Program Studi/ Ketua Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Jantung SMF Ilmu Penyakit Jantung

FK-USU / RSUP HAM Medan FK-USU/RSUP HAM Medan

Dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K) Prof. Dr. A. Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K) NIP. 195610261983121001 NIP. 195004161977111001


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : Rinelia Minaswary

NIM : 097115005


(5)

ABSTRAK

Keterlibatan penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease / PAD) pada penderita penyakit jantung koroner umumnya dan sindroma koroner akut (SKA) pada khususnya, sering dihubungkan dengan kejadian kardiovaskular yang kurang baik. Namun begitu kebanyakan penderita PAD tidak memiliki gejala sehingga menjadi tidak terdiagnosis dengan baik. Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) merupakan cara sederhana untuk membantu menegakkan diagnosis PAD dengan cepat dan mudah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai manfaat nilai ABI yang abnormal untuk mendeteksi jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis yang dapat dilihat dari hasil angiografi koroner sekaligus mengetahui kejadian kardiovaskular (MACE) yang muncul melalui follow-up setelah 6 bulan pada penderita SKA.

Penelitian ini bersifat kohort retrospektif yang melibatkan 75 orang penderita SKA. Data sekunder diambil dari rekam medis RSHAM dan nilai ABI didapat dari pengukuran saat sampel dirawat di CVCU RSHAM Medan yang kemudian dikelompokkan antara nilai ABI normal dan abnormal. Dari data angiografi koroner, terlihat penderita dengan stenosis > 70% pada satu arteri koroner epikardial dikelompokkan menjadi one-vessel disease, sementara penderita dengan stenosis > 70% pada lebih dari satu arteri koroner atau arteri left main dikelompokkan menjadi multivessel disease. Keseluruhan sampel dilakukan follow-up untuk mengetahui resiko kejadian kardiovaskular yang timbul setelah 6 bulan rawatan.

Terlihat hubungan yang signifikan antara nilai ABI yang abnormal dengan hasil angiografi koroner multivessel disease dengan nilai p = 0,049 ( OR: 4,63 95% IK : 1,007-21,292). Jika dikelompokkan berdasarkan diagnosis saat masuk, tampak sampel dengan diagnosis IMA-STE dan dengan nilai ABI abnormal berkaitan erat dengan hasil multivessel disease ( nilai p : 0,041). Dari follow-up setelah 6 bulan rawatan didapati nilai ABI abnormal berhubungan dengan resiko terjadinya MACE setelah 6 bulan ( nilai p : 0,0001), kematian / cardiac death ( nilai p : 0,023) dan rawatan ulang karena gagal jantung ( nilai p : 0,012)

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai ABI yang abnormal berhubungan secara signifikan dengan jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis dan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan yaitu kematian (cardiac death) dan rawatan ulang karena gagal jantung.

Kata kunci : SKA, ABI, angiografi koroner, kematian (cardiac death), rawatan ulang karena gagal jantung.


(6)

ABSTRACT

The presence of peripheral arterial disease in patients with coronary artery disease and especially with acute coronary syndrome (ACS), is associated with a poor cardiovascular disease. However, the majority of affected patients are assymptomatic and the condition is underdiagnosed. The ankle-brachial index (ABI) provides a simple method of diagnosis PAD.

Aim of this study is to assess the usefulness of an abnormal ABI for identifying multivessel disease coronary artery disease in patients with acute coronary syndrome from the result of coronary angiography and to correlate ABI value with 6-month clinical outcome for major adverse cardiovascular event ( MACE ).

The design of the study was retrospective cohort and 75 samples were invoved. Secondary datas were taken from medical record of RSHAM and the examination of ABI had been performed when they were admitted in CVCU RSHAM Medan and would be classified become normal and abnormal. If we found stenosis > 70% of one epicardial coronary artery from coronary angiography, the diagnosis would be one vessel disease. But if stenosis > 70% were found in more than 1 epicardial coronary artery or left main, the diagnosis became multivessel disease. All of the samples would be followed for 6 months to assess the cardiovascular outcomes.

We found strong correlation between abnormal ABI with mutivessel disease from coronary angiography’s finding with p value : 0,049 ( OR 4,63 95%CI 1,002-21,292). If we classified the samples based on the diagnosis, STEMI’s patient with abnormal ABI were associated with multivessel disease ( p value : 0,041). From 6-months follow-up, we found that abnormal ABI were associated with MACE ( p value : 0,0001), cardiac death ( p value 0,023) and rehospitalization for heart failure ( p value : 0,012).

The conclusion of this study was that in patients with ACS, an abnormal ABI was independently associated with the risk of multivessel disease and could be a predictor of an adverse 6 month outcome, especially cardiac death and rehospitalization for heart failure.

Keyword : ACS, ABI, coronary angiography, cardiac death, rehospitalization for heart failure


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala Rahmat yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis akhir ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Prof.Dr.Abdullah Afif Siregar, SPJP(K), SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan di saat penulis melakukan penelitian yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr.Zulfikri Mukhtar, SpJP(K) serta Dr.Nizam Akbar, SpJP(K) selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

4. Prof.Dr.Abdullah Afif Siregar, SPJP(K), SpA(K), Dr. Reflu Hasar, SpJP(K) sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini yang dengan penuh kesabaran membimbing, mengoreksi, dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

5. Guru-guru penulis : Prof.Dr.T.Bahri Anwar, SpJP(K); Prof.Dr.Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K); Prof.Dr.Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K); Prof.Dr.Harris Hasan, SpPD, SpJP(K); Dr.Maruli T Simanjuntak SpJP(K); Dr.Nora C Hutajulu SpJP(K); Dr.Zulfikri Mukhtar SpJP(K); Dr.Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP(K); Dr.P.Manik, SpJP(K); Dr.Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); Dr.Amran Lubis, SpJP(K); Dr.Nizam Akbar, SpJP(K); Dr.Zainal Safri, SpPD, SpJP; Dr.Andre Ketaren, SpJP(K); Dr.Andika Sitepu SpJP(K); Dr.Anggia Chairudin Lubis SpJP; Dr.Ali Nafiah


(8)

Nasution, SpJP; Dr.Cut Aryfa Andra, SpJP, Dr. Hilfan Ade Putra Lubis SpJP, Dr. Andi Khairul SpJP, Dr. Abdul Halim Reynaldo SpJP serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh darah 6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan

kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

7. Ketiga sahabat karib penulis kelompok 1010 ” Stand as brother, struggle together

dr.Rosmaliana, dr T. Winda Ardini dan dr.Yuke Sarastri yang telah banyak memberikan dukungan moril dan bantuan tenaga dalam pengerjaan tesis ini.

8. Rekan-rekan sejawat anggota Kelakar Medan (dr. Henry Panjaitan, Sp.JP, dr. Mutiara Simanjuntak, Sp.JP, dr. Tawanita, Sp.JP, dr. Triadi Mylano, Sp.JP, dr. Evi Supriadi, Sp.JP, dr.Artha, dr.Indah, dr.Vivi, dr.Blessdova, dr.Zulfahmi, dr.Bob, dr.Erwin, dr.Hasinah, dr.Novia, dr.Ary, dr.Tina, dr.Realsyah, dr.Joy, dr.Sany, dr.Arfian, dr.Syaiful, dr.Dika, dr.Zunaedi, dr.Efrida, dr.Riri, dr.Komaria, dr.Jaya, dr.Yani, dr.Kartika, dr Zulfan, dr Marwan, dr Theresia, dr Masta, dr Herman, dr Dicky, dr Akhmad, dr Andrico, dr Sheila dan dr Kemuning), yang telah memberikan dukungan dalam hal pengumpulan subjek penelitian dan pemantauan klinis selama subjek dirawat di rumah sakit.

9. Para perawat CVCU dan RIC yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini, terutama dalam hal pengumpulan sampel.

10.Semua subjek penelitian yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

11.Kedua orang tua penulis, Dr. H. Thamrin Manap dan Hj. Erlyna Syafei, yang selama ini telah memberikan dukungan baik moril dan materi serta doa dan nasihat yang tulus agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

12.Adik kandung penulis dr. Rio Alfin Maulana yang selalu mendukung penulis dalam segala hal, memberikan semangat, mendukung setiap visi misi kehidupan penulis, dan mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan spesialis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.


(9)

Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Mei 2014


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ……….i

Lembar Pernyataan Orisinalitas ………....ii

Abstrak ………...iii

Abstract ………..………..……....iv

Ucapan Terima Kasih ……….………..v

Daftar Isi ………..viii

Daftar Tabel ………xi

Daftar Gambar ………..xii

Daftar Singkatan dan Lambang ………..xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Pertanyaan Penelitian ...3

1.3 Hipotesis ...4

1.4 Tujuan Penelitian ...4

1.5 Manfaat Penelitian ...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut ...6

2.2 Definisi dan epidemiologi PAD ...6

2.3 Faktor resiko PAD ...8

2.4 Patogenesis disfungsi endotel sebagai penanda aterosklerosis ...8

2.5 Ankle-Brachial Index (ABI) 2.5.1 Definisi ABI ...13

2.5.2 Fisiologi ABI ...14

2.5.3 Nilai ABI sebagai penanda progresivitas PAD ...15

2.5.4 ABI sebagai penanda resiko kardiovaskular ...15

2.5.5 Peranan ABI sebagai prediktor kejadian kardiovaskular ...16

2.6 Cara pengukuran ABI 2.6.1 Keadaan yang berkaitan dengan pengukuran ABI ...17

2.6.2 Cara-cara pengukuran ABI ... ...19

2.7 Kerangka Teori ...22


(11)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain ...24

3.2 Tempat dan Waktu ...24

3.3 Populasi dan Sampel ...24

3.4 Besar Sampel ...25

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi ...26

3.6 Persetujuan/ informed consent ...26

3.7 Etika penelitian ...26

3.8 Cara kerja dan alur penelitian ...26

3.9 Identifikasi variabel ...29

3.10 Definisi operasional ...29

3.11 Pengolahan dan analisis data ...32

3.12 Rincian biaya penelitian ...32

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Penelitian ...33

4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Angiografi Koroner ...33

4.3 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kejadian Kardiovaskular Yang Timbul Setelah 6 Bulan ...39

4.4 Hubungan antara nilai ABI yang abnormal pada penderita SKA dengan kemungkinan timbulnya MACE setelah 6 bulan ...41

4.5 Hubungan Antara Nilai ABI dengan Cardiac Death, Rehospitalisasi Akibat Gagal Jantung dan Re-infark ...43

4.6 Hubungan Antara Diagnosis Awal Pasien dengan Jumlah Arteri Koroner Yang Mengalami Stenosis Berdasarkan Nilai ABI ...44

4.7 Hubungan Antara Diagnosis Awal Pasien dengan MACE Berdasarkan Nilai ABI ...45

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Hubungan Antara Nilai ABI Dengan Jumlah Arteri Koroner Yang Mengalami Stenosis 48 5.2 Perbandingan MACE setelah 6 bulan penderita Sindroma Koroner Akut Berdasarkan nilai ABI………... 50

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...52

6.2 Saran ...53

6.3 Keterbatasan Penelitian ...53


(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Ko-prevalensi antara kejadian CAD, PAD dan CVD ... 7

2. Fungsi normal lapisan endotel dalam mempertahankan

homeostasis pembuluh darah ... 9 3. Kriteria diagnosa PAD berdasarkan klasifikasi nilai ABI ... 20 4.1 Karakteristik responden penelitian berdasarkan jumlah stenosis

arteri koroner ... 36 4.2 Hubungan nilai ABI dan jumlah arteri koroner yang

mengalami stenosis ... 37 4.3 Analisis multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan

jumlah stenosis arteri koroner ... 38 4.4 Karakteristik responden penelitian berdasarkan MACE setelah

6 bulan ... 40 4.5 Analisis multivariate faktor-faktor yang mempengaruhi MACE

setelah 6 bulan ... 41 4.6 Hubungan antara nilai ABI dengan MACE ... 42 4.7 Hubungan antara nilai ABI dengan cardiac death setelah

6 bulan ... 43 4.8 Hubungan antara nilai ABI dengan re-infark setelah

6 bulan ... 43 4.9 Hubungan antara nilai ABI dengan rehospitalisasi akibat

gagal jantung setelah 6 bulan ... 44 4.10 Hubungan diagnosis saat masuk berdasarkan jumlah stenosis

arteri koroner dengan ABI ... 45 4.11 Hubungan diagnosis saat masuk berdasarkan MACE

dengan ABI ... 46


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Disfungsi endothel pada lesi atherosklerotik ... 10

2.2 Pembentukan fatty-streak pada proses atherosklerotik ... 11

2.3 Pembentukan tahap akhir lesi atherosklerotik ... 12

2.4 Patofisiologi dan mekanisme terjadinya disfungsi endothel ... 13

2.5 Cara perhitungan ABI (Ankle Brachial Index) ... 21

4.1 Diagram pie diagnosis pasien sampel penelitian ... 34

4.2 Diagram batang hubungan nilai ABI abnormal dengan jumlah stenosis arteri koroner ... 37

4.3 Diagram batang hubungan antara nilai ABI dengan MACE ... 42

4.4 Skema perbandingan hasil angiografi koroner & MACE Setelah 6 bulan berdasarkan nilai ABI ... 47


(14)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN NAMA

ABI : Ankle Brachial Index

AHA : American Heart Association APTS : Angina Pektoris Tidak Stabil CAD : Coronary Arterial Disease

CCS : Canadian Cardiovascular Society CKMB : Creatine Kinase Myocardial Band CVCU : Cardiovascular Care Unit

CVD : Cerebro Vascular Disease

DM : Diabetes Mellitus

EKG : Electrokardiografi

FRS : Framingham Risk Score

HDL : High Density Lipoprotein

HOPE : Heart Outcomes Prevention Evaluation ICAM-1 : Intercellular Adhesion Molecule-1

IL-2 : Interleukin-2

IMA-STE : Infark Myokard Akut-ST segmen Elevasi IMA-NSTE : Infark Myocard Akut – Non ST segmen Elevasi LBBB : Left Bundle Branch Block

LDL : Low Density Lipoprotein

MACE : Major Adverse Cardiaovascular Event MCP-1 : Monocyte Chemotactic Factor-1

NCEP-ATP : National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel


(15)

NO : Nitric Oxide

PAD : Peripheral Arterial Disease PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1 PJK : Penyakit Jantung Koroner

ROS : Reactive Oxygen Species

RR : Relative Risk

RS HAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik SKA : Sindroma Koroner Akut

SPSS : Statistical Package for the Social Sciences

TxA2 : Thromboxane A2


(16)

LAMBANG

n : Besar sampel p : Tingkat kemaknaan

α : alpha

β : beta

> : lebih besar < : lebih kecil

Zα : nilai baku normal = 1,96 Zβ : nilai baku normal = 0,802

Po : proporsi kejadian stenosis multivessel arteri koroner pada populasi  52,6% = 0,526

Pa : proporsi penelitian 20%  32,6% = 0,326 Qo : 1 – Po = 1 - 0,526 = 0,474

Qa : 1 – Pa = 1 – 0,326 = 0,674 % : Persentase


(17)

ABSTRAK

Keterlibatan penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease / PAD) pada penderita penyakit jantung koroner umumnya dan sindroma koroner akut (SKA) pada khususnya, sering dihubungkan dengan kejadian kardiovaskular yang kurang baik. Namun begitu kebanyakan penderita PAD tidak memiliki gejala sehingga menjadi tidak terdiagnosis dengan baik. Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) merupakan cara sederhana untuk membantu menegakkan diagnosis PAD dengan cepat dan mudah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai manfaat nilai ABI yang abnormal untuk mendeteksi jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis yang dapat dilihat dari hasil angiografi koroner sekaligus mengetahui kejadian kardiovaskular (MACE) yang muncul melalui follow-up setelah 6 bulan pada penderita SKA.

Penelitian ini bersifat kohort retrospektif yang melibatkan 75 orang penderita SKA. Data sekunder diambil dari rekam medis RSHAM dan nilai ABI didapat dari pengukuran saat sampel dirawat di CVCU RSHAM Medan yang kemudian dikelompokkan antara nilai ABI normal dan abnormal. Dari data angiografi koroner, terlihat penderita dengan stenosis > 70% pada satu arteri koroner epikardial dikelompokkan menjadi one-vessel disease, sementara penderita dengan stenosis > 70% pada lebih dari satu arteri koroner atau arteri left main dikelompokkan menjadi multivessel disease. Keseluruhan sampel dilakukan follow-up untuk mengetahui resiko kejadian kardiovaskular yang timbul setelah 6 bulan rawatan.

Terlihat hubungan yang signifikan antara nilai ABI yang abnormal dengan hasil angiografi koroner multivessel disease dengan nilai p = 0,049 ( OR: 4,63 95% IK : 1,007-21,292). Jika dikelompokkan berdasarkan diagnosis saat masuk, tampak sampel dengan diagnosis IMA-STE dan dengan nilai ABI abnormal berkaitan erat dengan hasil multivessel disease ( nilai p : 0,041). Dari follow-up setelah 6 bulan rawatan didapati nilai ABI abnormal berhubungan dengan resiko terjadinya MACE setelah 6 bulan ( nilai p : 0,0001), kematian / cardiac death ( nilai p : 0,023) dan rawatan ulang karena gagal jantung ( nilai p : 0,012)

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai ABI yang abnormal berhubungan secara signifikan dengan jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis dan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan yaitu kematian (cardiac death) dan rawatan ulang karena gagal jantung.

Kata kunci : SKA, ABI, angiografi koroner, kematian (cardiac death), rawatan ulang karena gagal jantung.


(18)

ABSTRACT

The presence of peripheral arterial disease in patients with coronary artery disease and especially with acute coronary syndrome (ACS), is associated with a poor cardiovascular disease. However, the majority of affected patients are assymptomatic and the condition is underdiagnosed. The ankle-brachial index (ABI) provides a simple method of diagnosis PAD.

Aim of this study is to assess the usefulness of an abnormal ABI for identifying multivessel disease coronary artery disease in patients with acute coronary syndrome from the result of coronary angiography and to correlate ABI value with 6-month clinical outcome for major adverse cardiovascular event ( MACE ).

The design of the study was retrospective cohort and 75 samples were invoved. Secondary datas were taken from medical record of RSHAM and the examination of ABI had been performed when they were admitted in CVCU RSHAM Medan and would be classified become normal and abnormal. If we found stenosis > 70% of one epicardial coronary artery from coronary angiography, the diagnosis would be one vessel disease. But if stenosis > 70% were found in more than 1 epicardial coronary artery or left main, the diagnosis became multivessel disease. All of the samples would be followed for 6 months to assess the cardiovascular outcomes.

We found strong correlation between abnormal ABI with mutivessel disease from coronary angiography’s finding with p value : 0,049 ( OR 4,63 95%CI 1,002-21,292). If we classified the samples based on the diagnosis, STEMI’s patient with abnormal ABI were associated with multivessel disease ( p value : 0,041). From 6-months follow-up, we found that abnormal ABI were associated with MACE ( p value : 0,0001), cardiac death ( p value 0,023) and rehospitalization for heart failure ( p value : 0,012).

The conclusion of this study was that in patients with ACS, an abnormal ABI was independently associated with the risk of multivessel disease and could be a predictor of an adverse 6 month outcome, especially cardiac death and rehospitalization for heart failure.

Keyword : ACS, ABI, coronary angiography, cardiac death, rehospitalization for heart failure


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Aterosklerosis merupakan suatu proses perjalanan penyakit yang mulai terjadi pada fase awal kehidupan dan berlanjut secara progresif sehingga menimbulkan manifestasi klinis beberapa dekade kemudian. Progresifitas dari aterosklerosis ini dapat memberikan efek pada bantalan pembuluh darah pada lokasi yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara pembuluh darah koroner, serebral dan perifer (Shah dkk, 2008). Hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) pada populasi penderita penyakit arteri perifer (PAD) dan sebaliknya, sehingga penyakit yang didasari oleh kejadian aterosklerotik diyakini menjadi penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2020 (Murray dkk, 1997)

Sebuah metaanalisis yang mencakup berbagai studi baik yang bersifat cross sectional, retrospektif dan prospektif (cohort) melaporkan bahwa 62-90% pasien dengan PAD ternyata juga memiliki keterlibatan koroner (Golomb dkk, 2006). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 50% dari pasien PAD memiliki gejala yang mengarah pada PJK dan 90% diantaranya memiliki kelainan pada rekaman EKG (Tierney, 2000).

Kondisi serupa juga ditemukan pada populasi penderita PJK, dimana 40% penderitanya diketahui memiliki bukti gejala PAD yang signifikan (Dieter dkk, 2003). Penelitian lain memperlihatkan bahwa 42% pasien PJK diketahui memiliki keterlibatan PAD walaupun separuh diantaranya ternyata tidak bergejala (Poredos dkk, 2007).

Prevalensi kejadian PAD sangat bervariasi tergantung dari populasi yang diteliti, metode diagnostik yang digunakan dan gejala yang muncul. PAD dijumpai sekitar 4% pada populasi usia di atas 40 - 65 tahun, dan prevalensinya meningkat menjadi 15-20% pada populasi usia di atas 65 tahun dan lebih sering diderita pria dari pada wanita. Penelitian Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis (MESA) menunjukkan bahwa golongan kulit hitam memiliki kecenderungan 1,5


(20)

kali lebih besar untuk terkena PAD dibandingkan golongan kulit putih ( Creager dkk, 2009 )

Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa terdapat hubungan antara PAD dengan resiko tinggi kejadian kardiovaskular dan kematian pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung koroner (PJK) terlepas dari berapa banyak faktor resiko kardiovaskular yang dimiliki. Proses disfungsi endothel diyakini sebagai penyebab utama yang dapat menjelaskan fenomena tersebut ( Heald dkk, 2006 ; Diehm, 2006; Marso, 2006 ).

Berbeda dengan PJK yang memiliki gejala dan tanda yang khas dan ditunjang oleh pemeriksaan pendukung yang cepat dan mudah dilakukan, PAD sering sekali tidak terdiagnosis dan akibatnya tidak mendapatkan tata laksana yang tepat. Beberapa studi menunjukkan 10% sampai 30% pasien PAD memiliki keluhan klaudikasio intermitten, namun hanya 1% sampai 4,5% dari populasi usia di atas 40 tahun yang memberikan gejala tersebut ( Norgren dkk, 2007 ). Mayoritas pasien dengan PAD bahkan tidak memiliki gejala sehingga menjadi tidak terdiagnosis dengan benar. Insidensi klaudikasio intermitten akan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) merupakan suatu metode pemeriksaan yang sederhana, non-invasif yang membandingan antara tekanan darah sistolik tertinggi pada kaki dengan tekanan darah sistolik tertinggi pada lengan. Nilai ABI yang terendah dari kedua kaki mewakili nilai ABI dari pasien yang diperiksa. Nilai normal ABI berada pada kisaran 0,9 – 1,4 sehingga bila hasil pengukuran ABI berada di bawah 0,9 atau bahkan di atas 1,4 maka dapat disimpulkan nilai ABI menunjukkan hasil yang abnormal. Pemeriksaan ABI dengan hasil di bawah 0,9 memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosa PAD. Nilai ABI yang rendah ini juga merupakan indikator yang kuat terhadap kejadian aterosklerosis sistemik terutama pada area pembuluh darah yang lain dan juga dapat memprediksi angka morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ( Chang dkk, 2006 ; Bertomeu dkk, 2008 )

Agnelli dkk pada penelitian yang dilakukan pada 1003 pasien SKA memperlihatkan bahwa nilai ABI , 0,9 meningkatkan resiko kejadian reinfark dan all-cause death sehingga disimpulkan terdapat hubungan yang linier antara nilai ABI abnormal dengan kejadian kardiovaskular yang bermakna secara statistik.


(21)

Newman dkk pada penelitian Cardiovascular Heart Study yang dilakukan pada tahun 1999 menunjukkan bahwa nilai ABI yang abnormal pada penderita SKA berhubungan dengan peningkatan yang signifikan terhadap kejadian reinfark, stroke dan gagal jantung kongestif (Newman dkk, 1999).

Penelitian-penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa nilai ABI memiliki spesifisitas yang tinggi dan negative predictive value terhadap keterlibatan arteri koroner pada pasien-pasien dengan sangkaan PJK ( Resnick dkk, 2004 ; Otah dkk, 2004; Lamina dkk, 2006).

Di Indonesia terutama di Medan dan di RS. H. Adam Malik pada khususnya penelitian tentang manfaat ABI dalam mendeteksi keterlibatan stenosis arteri koroner pada penderita sindroma koroner akut belum banyak dilakukan. Sehingga sampai saat ini kegunaan dari nilai ABI yang abnormal untuk mendeteksi jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis dan meneliti hubungannya dengan kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan pada pasien dengan sindroma koroner akut masih belum diketahui.

1.2Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini diperlukan untuk mengetahui :

1. Apakah nilai ABI yang abnormal dapat menjadi penanda untuk mendeteksi keparahan (jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis) pada penderita Sindroma Koroner Akut ?

2. Apakah terdapat perbedaan kejadian kardiovaskular yang meliputi mortalitas kardiovaskular, rawatan ulang di RS akibat gagal jantung dan kejadian reinfark setelah 6 bulan antara penderita Sindroma Koroner Akut dengan nilai ABI yang normal dan abnormal di RS. H. Adam Malik Medan?

1.3Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara nilai ABI yang rendah dengan jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis pada penderita Sindroma Koroner Akut.


(22)

2. Terdapat hubungan antara nilai ABI abnormal dengan resiko timbulnya kejadian kardiovaskular (cardiac death, rawatan ulang di RS akibat gagal jantung dan reinfark) setelah 6 bulan pada penderita sindroma koroner akut di RS. H. Adam Malik Medan.

1.4Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara nilai ABI yang abnormal dengan jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis yang didapat dari hasil angiografi koroner terutama pada penderita Sindroma Koroner Akut yang dirawat di RS. H. Adam Malik Medan. .

1.4.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui hubungan antara nilai ABI yang abnormal dengan peluang kejadian kardiovaskular (cardiac death, rawatan ulang di RS akibat gagal jantung dan reinfark) setelah 6 bulan pada penderita Sindroma Koroner Akut yang dirawat di RS. H. Adam Malik Medan.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Kepentingan Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang pengukuran ABI yang benar dan menerapkan hasilnya untuk memprediksi outcome klinis dan kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan serta dapat dijadikan prosedur tetap pemeriksaan pada penderita Sindroma Koroner Akut yang dirawat di RS. H. Adam Malik Medan.

1.5.2 Kepentingan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang peranan ABI sebagai penanda aterosklerotik sistemik, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko kejadian penyakit jantung koroner pada umumnya dan Sindroma Koroner Akut pada khususnya.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

Sindroma koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan simptom yang disebabkan oleh iskemik miokard akut. Sindroma koroner akut (SKA) yang menyebabkan nekrosis miokardium disebut dengan infark miokard (Thygensen dkk, 2007; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

SKA secara klinis dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris tak stabil, IMA NSTE maupun IMA STE (Bender dkk, 2011).

Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut, yaitu ; adanya nyeri dada khas infark, dijumpai elevasi segmen ST yang persisten atau adanya left bundle branch block (LBBB) yang dianggap baru, peningkatan marker (enzim jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin), serta dijumpainya abnormalitas wall motion regional yang baru pada pemeriksaan ekokardiografi (Van de Werf dkk, 2008)

SKA yang tidak disertai dengan elevasi segmen ST digolongkan ke dalam angina pektoris tak stabil dan IMA NSTE. Apabila dijumpai peningkatan enzim jantung, maka penderita digolongkan ke dalam IMA NSTE, sedangkan jika enzim jantung normal maka kondisi ini disebut angina pektoris tak stabil (Van de Werf dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

2.2 Definisi dan epidemiologi Peripheral Arterial Disease (PAD)

Terminologi peripheral arterial disease (PAD) secara umum merujuk kepada gangguan yang merusak atau menghambat aliran darah ke ekstremitas atas maupun bawah yang biasanya disebabkan oleh proses aterosklerosis namun dapat juga akibat proses trombosis, emboli, vaskulitis dan displasia fibromuskular (Greager dkk, 2009)

Prevalensi PAD cukup bervariasi tergantung kepada populasi penelitian, metode diagnostik yang digunakan serta keluhan dan gejala yang muncul. Diagnosis PAD dijumpai sekitar 4% pada populasi usia sama atau lebih dari 40


(24)

tahun dan meningkat menjadi 15 sampai 20% pada kelompok usia di atas 65 tahun dan lebih sering diderita laki-laki dibandingkan perempuan.

Sebuah metaanalis sistematik yang mencakup berbagai studi baik yang bersifat cross sectional, retrospektif dan prospektif (cohort) melaporkan bahwa 62-90% pasien dengan PAD ternyata juga memiliki keterlibatan koroner (Golomb dkk, 2006). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 50% dari pasien PAD memiliki gejala yang mengarah pada PJK dan 90% diantaranya memiliki kelainan pada rekaman EKG (Tierney, 2000).

Kondisi yang serupa juga ditemukan pada populasi penderita PJK, dimana ternyata 40% diketahui memiliki bukti gejala PAD yang signifikan (Dieter dkk, 2003). Penelitian lain memperlihatkan bahwa 42% pasien PJK diketahui memiliki keterlibatan PAD walaupun separuh diantaranya ternyata tidak bergejala (Poredos dkk, 2007).

Tabel 1. Ko-prevalensi antara kejadian CAD, PAD dan CVD

2.3 Faktor resiko PAD

Faktor-faktor resiko kardiovaskular yang dapat dimodifikasi yang telah lama dihubungkan dengan proses aterosklerosis pada koroner ternyata juga memberikan kontribusi terhadap kejadian aterosklerosis pada sirkulasi perifer. Merokok, DM, hipertensi, dan dislipidemia meningkatkan resiko kejadian PAD. Data yang diambil dari studi-studi observasional ( mencakup the Edinburg Artery


(25)

Study, the Framingham Heart Study, dan the Cardiovascular Heart Study) membuktikan peningkatan resiko PAD sebesar dua hingga tiga kali lipat pada kelompok perokok. Merokok bahkan terbukti meningkatkan resiko terkena PAD lebih besar dari pada PJK.

Pasien dengan DM sering memiliki obstruksi PAD yang luas dan berat serta kecenderungan yang tinggi untuk mengalami kalsifikasi arteri terutama di area distal seperti arteri peroneal dan tibialis. Resiko terkena PAD meningkat dua sampai empat kali lipat pada penderita DM dengan kecenderungan amputasi yang lebih tinggi.

Kelainan metabolisme lipid juga dikaitkan dengan prevalensi PAD dimana peningkatan kolesterol total dan LDL menimbulkan keluhan klaudikasio intermitten dan gejala PAD. Analisa dari Framingham Heart Study menyimpulkan bahwa rasio timbulnya gejala klaudikasio meningkat seiring dengan kenaikan 40 mg/dl total kolesterol.

PAD memiliki korelasi yang kuat terhadap resiko kejadian kardiovaskular mayor karena sering dikaitkan dengan proses aterosklerosis baik di serebral maupun koroner.

2.4 Patogenesis disfungsi endotel sebagai penanda resiko aterosklerosis

Pada kondisi normal, lapisan endotel berfungsi untuk mempertahankan keadaan homeostasis pembuluh darah melalui rangkaian interaksi kompleks dengan sejumlah sel di dinding dan lumen pembuluh darah. Secara spesifik, lapisan endotel mengatur tonus pembuluh darah dengan cara menjaga keseimbangan produksi vasodilator (termasuk didalamnya NO (Nitric Oxide)) dan vasokonstriktor. Di samping itu, lapisan endotel juga mengatur kekentalan darah dan sistem pembekuan darah dengan cara menghasilkan faktor-faktor penting yang mengatur aktivitas platelet, kaskade pembekuan darah dan sistem fibrinolitik seperti yang terangkum pada tabel berikut ini (Vita dkk, 2002 a; Gokce dkk, 2002 b; Libby dkk, 2002 c)


(26)

Tabel 2. Fungsi normal lapisan endotel dalam mempertahankan homeostasis pembuluh darah

Namun, adanya faktor-faktor resiko tradisional penyakit kardiovaskular seperti merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes dan penuaan terbukti berkaitan dengan produksi berlebihan dari Reactive Oxygen Species (ROS) atau stres oksidatif yang dapat mengurangi ketersediaan NO yang dapat mencetus kerusakan di tingkat sel. Akibatnya efek vasodilatasi endotel akan menghilang sehingga dimulailah proses inflamasi kronik yang ditandai dengan berkurangnya faktor-faktor antitrombotik dan meningkatnya produk vasokonstriktor sehingga lapisan endotel berubah menjadi lapisan yang pro-trombotik (Tomasian dkk, 2000 ;Cai dkk, 2000 )

Munculnya disfungsi endotel dapat dianggap sebagai sindroma klinis yang dapat meramalkan angka kejadian kardiovaskular (Zeiher dkk, 1991).

Pada dasarnya, lesi aterosklerosis merupakan rangkaian respon di tingkat seluler dan molekular yang dapat digambarkan sebagai proses inflamasi. Lesi


(27)

aterosklerosis biasanya mengenai pembuluh darah sedang dan besar sehingga sering menimbulkan kejadian iskemik pada otak, ekstremitas dan bahkan infark jantung.

Gambar 2.1. Disfungsi endotel pada lesi atherosklerotik

Lesi aterosklerotik yang paling awal biasanya disebut dengan fatty streak, murni merupakan lesi inflamasi karena hanya terdiri dari makrofag dan limfosit-T, dan sudah dijumpai pada usia balita dan anak-anak. Lesi aterosklerosis pada tempat-tempat tertentu pada pembuluh darah seperti percabangan, cabang-cabang utama ataupun area lekukan dapat menyebabkan gangguan pada aliran darah sehingga meningkatkan turbulensi aliran. Gangguan aliran ini merupakan faktor penting yang dapat merangsang ekspresi gen seperti Intercelluler Adhesion Molecule 1 (ICAM-1), platelet derived growth factor dan tissue factor.

Fatty streak awalnya hanya terdiri dari makrofag, monosit yang bersama-sama dengan Limfosit-T untuk kemudian akan disusupi oleh berbagai jenis sel otot polos yang dirangsang oleh Platelet derived growth factor, fibroblast growth factor dan transforming growth factor. Proses ini kemudian diikuti oleh aktivasi


(28)

sel T yang diperantarai oleh Tumor Necrosis Factor α , IL-2 dan Granulocyte-macrophage colony stimulating factor.

Gambar 2.2 Pembentukan fatty-streak pada proses atherosklerotik

Monosit, yang merupakan prekursor dari makrofag pada seluruh jaringan, dapat dijumpai pada setiap fase aterogenesis. Monosit inilah yang mengeluarkan sitokin, chemokin dan enzim metalloproteinase yang berperan dalam memperparah kerusakan sel (Franklin dkk, 1999).


(29)

Gambar 2.3. Pembentukan tahap akhir lesi aterosklerotik

Terminologi disfungsi endotel merujuk kepada gangguan luas pada fenotip endotel yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan gejala klinis aterosklerosis. Disfungsi endotel, yang ditandai dengan terganggunya ketersediaan NO, dapat dianggap berperan dalam kejadian iskemik otot jantung. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam patogenesis sindroma koroner akut (SKA). Ketidak stabilan plak merupakan proses yang dapat mempermudah pecahnya plak yang akan diikuti dengan rangkaian efek inflamasi yang kompleks yang mencakup komponen plak di tingkat seluler dan berbagai mediator inflamasi. Berkurangnya efek anti inflamasi akibat kerusakan lapisan endotel akan memperberat ketidak stabilan plak ( Libby, 2001 ). Sehingga dapat disimpulkan keadaan disfungsi endotel memiliki kontribusi dalam meningkatkan kerapuhan plak, yang dapat mencetuskan pecahnya plak tersebut dan cenderung membentuk thrombus yang pada akhirnya menjadi faktor penting yang bertanggung jawab dalam patofisiologi SKA.


(30)

Gambar 2.4. Patofisiologi dan mekanisme terjadinya disfungsi endotel

2.5 Ankle Brachial Index (ABI) 2.5.1 Definisi ABI

Ankle Brachial Index (ABI) merupakan rasio atau perbandingan antara tekanan darah sistolik yang diukur pada pergelangan kaki dengan arteri brachialis. Pertama kali diperkenalkan oleh Winsor pada tahun 1950 yang kemudian diusulkan sebagai metode diagnosis PAD yang bersifat non-invasif. Kemudian dari studi-studi yang terus dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir telah berhasil membuktikan bahwa ABI bukan hanya sekedar metode diagnostik, namun juga sebagai salah satu indikator aterosklerosis sistemik dan juga sebagai penanda prognostik untuk kejadian kardiovaskular dan gangguan fungsional walaupun tanpa disertai gejala klinis PAD (Aboyans, 2012)

Walaupun masih dijumpai beberapa kontroversi yang memperdebatkan batas nilai ABI yang dapat digunakan untuk mendiagnosis PAD, namun nilai ABI ≤ 0,9 terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 90% untuk mendiagnosis PAD dibandingkan dengan angiografi sehingga direkomendasikan oleh American Heart Association (AHA) untuk mendeteksi proses aterosklerosis pada pembuluh darah sistemik ( Michael dkk, 2012).


(31)

2.5.2 Fisiologi ABI

Gelombang tekanan darah akan menjadi semakin kuat dan berbanding lurus dengan jauhnya jarak dari jantung, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik yang progresif dan sebaliknya akan menurunkan tekanan darah diastolik. Hal ini dikarenakan pantulan mundur gelombang dari tahanan arteriol distal yang memperkuat gelombang antegrade. Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa pantulan gelombang terjadi pada tempat yang berbeda di sepanjang bantalan pembuluh darah, dengan beberapa tahanan di sepanjang pembuluh darah arteri (Safar dkk, 2009)

Pada ekstremitas bawah, proses remodeling yang terjadi pada struktur pembuluh darah akan menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal yang ditandai dengan meningkatnya ketebalan dinding tetapi tanpa perubahan diameter lumen. Penebalan pada dinding ini yang dihasilkan dari peningkatan tekanan hidrostatik pada ekstremitas bawah saat berjalan ( posisi vertikal ) sudah mulai terjadi pada tahun kedua kehidupan dan dapat menerangkan kenapa nilai ABI < 1 pada bayi baru lahir dan meningkat secara bertahap mencapai nilai ABI usia dewasa pada umur 2 atau 3 tahun (Katz dkk, 1997). Dan oleh karena itu, baik gelombang pantulan maupun perubahan ketebalan dan kekakuan dinding pembuluh darah memberikan kontribusi pada peningkatan tekanan darah sistolik.

Beberapa variabel seperti usia, tinggi badan, kelompok etnis dan bahkan urutan pengukuran diketahui dapat mempengaruhi hasil ABI. Pada dua kelompok studi didapati bahwa nilai ABI pada kaki kanan rata-rata 0,03 lebih tinggi dibandingkan kaki kiri. Hasil ini mungkin disebabkan oleh urutan pengukuran (biasanya kaki kanan diukur terlebih dahulu) dan mengakibatkan pengurangan sementara tekanan sistemik dari waktu ke waktu. Nilai ABI diperkirakan meningkat seiring pertambahan usia sebagai akibat kekakuan arteri. Beberapa studi potong lintang menunjukkan bahwa nilai ABI menurun seiring pertambahan usia, kemungkinan karena meningkatnya prevalensi dan progresivitas PAD (Smith dkk, 2005).

Pada populasi tanpa adanya bukti klinis keterlibatan kardiovaskular, dijumpai hubungan yang searah antara tinggi badan dan nilai ABI. Kelompok orang dengan tinggi badan yang lebih akan memiliki nilai ABI yang lebih besar


(32)

sebagai konsekwensi dari meningkatnya tekanan darah sistolik seiring dengan jarak yang lebih jauh dari jantung. Oleh karena perhitungan ABI merupakan sebuah rasio, maka nilainya tidak terpengaruh oleh kenaikan ataupun penurunan tekanan darah.

2.5.3 Nilai ABI sebagai penanda progresivitas PAD

Perjalanan alami PAD mencakup penurunan nilai ABI seiring dengan perjalanan waktu. Dari serangkaian pemeriksaan pasien yang dilakukan di laboratorium vaskular, nilai ABI mengalami penurunan rata-rata 0,06 tiap 4,6 tahun. Tingkatan ABI juga dapat digunakan untuk memprediksi kejadian yang mengenai ekstremitas bawah dimana tekanan darah sistolik di bawah atau sama dengan 50 mmHg sering dihubungkan dengan angka amputasi yang tinggi (Norgren dkk, 2007).

Pasien PAD memiliki ketahanan untuk latihan berjalan dan tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah dibandingkan kelompok pasien tanpa PAD. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa nilai ABI yang rendah dikaitkan dengan gangguan fungsional dan penurunan kapasitas latihan fisik yang lebih besar dibandingkan populasi dengan nilai ABI yang tinggi.

2.5.4 ABI sebagai penanda resiko kardiovaskular.

Pengukuran ABI dapat memberikan nilai yang melambangkan kejadian atherosklerosis sistemik dan dikaitkan dengan faktor-faktor resiko aterosklerosis dan prevalensi penyakit kardiovaskular pada bantalan pembuluh darah yang lain. Nilai ABI yang rendah telah lama dihubungkan dengan banyak faktor resiko tradisional kardiovaskular seperti hipertensi, DM tipe 2, dislipidemia, riwayat merokok dan faktor resiko kardiovaskular yang baru dikembangkan seperti C-Reactive Protein, homosistein, interleukin-6 dan penyakit ginjal kronik (Allison dkk, 2006).

Hubungan yang kuat dan konsisten antara nilai ABI yang rendah dengan prevalensi CAD dan cerebrovascular disease (CVD) telah dibuktikan pada beberapa populasi studi prospektif (cohort) yang melibatkan individu dengan keterlibatan penyakit kardiovaskular. Prevalensi kejadian CAD diantara


(33)

pasien-pasien PAD berkisar antara 10,5 sampai 71% dibandingkan dengan 5,3 sampai 45,4% pada populasi tanpa PAD.

Disamping korelasinya dengan nilai ABI yang rendah beberapa penelitian lain juga telah mengevaluasi hubungan antara nilai ABI yang tinggi, sebagai indikator kalsifikasi pembuluh darah, dengan faktor-faktor resiko tradisional kardiovaskular. Allison dan kawan-kawan membuktikan bahwa nilai ABI > 1,4 dihubungkan dengan kejadian stroke dan gagal jantung kongestif namun tidak dengan kejadian angina maupun infark miokard (Allison dkk, 2008).

2.5.5 Peranan ABI sebagai prediktor kejadian kardiovaskular

Walaupun ABI merupakan pengukuran yang menggambarkan derajat keparahan aterosklerosis pada ekstremitas bawah, namun dapat juga digunakan sebagai indikator aterosklerosis di bagian lain sistem pembuluh darah. Sehingga nilai ABI telah diinvestigasi menjadi salah satu alat prediktor pada beberapa kelompok studi di Eropa dan Amerika Utara. Hasil dari studi-studi ini telah menunjukkan bahwa nilai ABI yang rendah berkaitan erat dengan meningkatnya resiko infark miokard, stroke dan penyebab kematian kardiovaskular (Leng dkk, 1996; Van der Meer dkk, 2004 ; Resnick dkk, 2004) Disini terlihat bahwa nilai ABI yang rendah, sebagai indikator aterosklerosis, dapat mempertajam tingkat akurasi prediktor resiko bila dikombinasikan dengan sistem penilaian stratifikasi resiko yang telah ada.

Sebuah meta analisis yang membandingkan 16 populasi studi prospektif (cohort) menyimpulkan bahwa nilai ABI memberikan informasi tentang resiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas terlebih lagi bila dikombinasikan dengan Framingham Risk Score (FRS). Nilai ABI ≤ 0,9 dikaitkan dengan peningkatan dua kali lipat angka total kematian, kematian akibat kejadian kardiovaskular dan infark miokard dibandingkan dengan menggunakan FRS sendiri. Penambahan nilai ABI menyebabkan diberlakukan klasifikasi ulang pada tiap kategori resiko baik pada pria maupun wanita. Sebagai contoh wanita dengan resiko rendah (FRS< 10%) atau resiko menengah ( FRS 10-19%), namun dengan nilai ABI yang abnormal, menyebabkan wanita tersebut dikelompokkan menjadi resiko tinggi.


(34)

Penderita dengan diagnosis penyakit kardiovaskular yang telah ditegakkan namun memiliki nilai ABI yang rendah, memiliki resiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan nilai ABI normal (Aboyans dkk, 2005; Agnelli dkk, 2006).

Pada studi HOPE ( Heart Outcomes Prevention Evaluation) yang melibatkan pasien dengan CAD, stroke dan DM tipe 2, ABI dengan nilai pada kisaran 0,6 sampai 0,9 dihubungkan pada resiko infark miokard (RR 1,4), dan kematian akibat penyakit kardiovaskular (RR 1,6) dibandingkan dengan kelompok nilai ABI normal (Albert dkk, 2009). Studi yang lain yaitu Cardiovascular Heart Study membuktikan bahwa pasien dengan nilai ABI ≤ 0,9 memiliki peningkatan resiko kejadian gagal jantung kongestif ( RR 1,3) dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular (RR 1,5). Lebih lanjut pada pasien PAD, penurunan nilai ABI >

0,15 dihubungkan dengan peningkatan 2 kali lipat angka mortalitas (Criqui dkk, 2008).

Nilai ABI paska latihan juga memiliki nilai prediktor yang kuat, dimana pada pasien dengan nilai ABI normal saat istirahat namun dengan nilai ABI abnormal setelah latihan dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas ( Sheikh dkk, 2011).

2.6 Cara pengukuran ABI

2.6.1 Keadaan yang berkaitan dengan pengukuran ABI a) Kondisi pasien

Posisi tubuh dan kondisi lutut atau pinggang yang tertekuk ternyata mempengaruhi hasil pengukuran ABI. Penelitian yang dilakukan oleh Gornik dan kawan-kawan membuktikan bahwa tekanan pada lengan tidak berbeda pada saat pasien dalam keadaan berbaring atau duduk selama lengan berada pada posisi sejajar dengan jantung. Perbedaan posisi lebih mempengaruhi tekanan pada pergelangan kaki karena bila pasien berada pada posisi duduk maka tekanan di pergelangan kaki akan menjadi lebih tinggi karena posisi pergelangan kaki yang lebih rendah dari pada jantung. Nilai ABI pada posisi duduk rata-rata lebih tinggi 0,35 dibandingkan pada posisi berbaring.

Sebelum pemeriksaan ABI dilakukan, pasien hendaknya diistirahatkan selama 5 hingga 10 menit. Masa rehat yang lebih lama tidak dianjurkan pada


(35)

pengaturan klinis pemeriksaan ABI. Walaupun setelah masa istirahat, pengukuran pada anggota gerak yang pertama cenderung memberikan tekanan sistolik yang lebih tinggi dibandingkan anggota gerak selanjutnya. Selain posisi pasien dan jeda istirahat, merokok juga mempengaruhi hasil pengukuran ABI, dimana bila pasien merokok 10 menit sebelum pemeriksaan dapat menurunkan nilai ABI dibandingkan bila nilai ABI diukur setelah 12 jam tidak merokok (Yataco dkk, 1998).

b) Ukuran manset

Penelitian tentang pengukuran tekanan darah di arteri brachialis menyoroti pentingnya ukuran manset yang memadai untuk mencegah ketidak-akuratan pemeriksaan. Namun informasi tentang ukuran manset yang tepat untuk pengukuran tekanan sistolik pada pergelangan kaki masih belum tersedia. Jika mengacu pada konsep yang sama dimana manset pada lengan juga digunakan pada pergelangan kaki, maka lebar dari manset harus setidaknya 40% dari lingkar pergelangan kaki (rata-rata berukuran 10-12 cm). Manset harus berada dalam keadaan bersih dan kering. Cara melilit manset ( spiral atau paralel ) juga mempengaruhi tekanan darah sistolik pergelangan kaki dimana cara melilit secara spiral memberikan hasil yang lebih rendah (Mundt dkk, 1995)

Meskipun pemeriksaan ABI merupakan metode yang bersifat non-invasif, aman dan dapat ditolerir oleh sebagian besar pasien, namun penekanan akibat manset yang dikembangkan harus dihentikan bila pasien merasa nyeri. Selain itu, pengembangan manset harus dihindari pada bekas luka graft karena berpotensi meningkatkan resiko trombosis pada graft.

2.6.2 Cara-cara pengukuran ABI ( Aboyans dkk, 2012 )

• Pasien tidak boleh merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum pengukuran. • Pasien harus diistirahatkan setidaknya 5-10 menit dalam kondisi berbaring di

dalam ruangan yang nyaman dan temperatur yang cukup.

• Pemilihan ukuran manset mancakup minimal 40% dari diameter lingkar pergelangan kaki.

Manset tidak boleh diletakkan pada bagian distal graft ( dapat meningkatkan resiko trombosis ) atau bila dijumpai luka ulserasi.


(36)

Sebuah alat handheld Doppler 8-10 MHz digunakan dan pada probe Doppler diberikan gel sebagai sensor.

• Setelah alat Doppler diaktifkan, probe diletakkan pada daerah pulsasi dengan membentuk sudut kemiringan 45-600

• Manset dengan ukuran lebar 10-12 cm kemudian dikembangkan secara perlahan sampai 20 mmHg di atas batas aliran sinyal menghilang ( tidak terdengar lagi ) dan kemudian manset dikempeskan perlahan untuk mendeteksi tingkat tekanan dimana sinyal aliran muncul kembali.

terhadap permukaan kulit. Probe dapat digerakkan di sekitar area pulsasi sampai bunyi sinyal yang paling jelas terdengar.

• Deteksi aliran darah brachial selama pengukuran tekanan sistolik di lengan juga harus menggunakan alat Doppler.

• Sama halnya dengan pengukuran tekanan darah di lengan, manset harus membungkus pergelangan kaki. Batas bawah manset diletakkan 2 cm di atas malleolus medialis.

• Urutan yang sama dalam pengukuran tekanan darah sistolik pada tiap anggota gerak harus diberlakukan dengan urutan yang dianjurkan adalah lengan kanan, arteri tibialis posterior kanan, arteri dorsalis pedis kanan, arteri tibialis posterior kiri, arteri dorsalis pedis kiri dan lengan kiri.

• Pada akhir pemeriksaan, pengukuran tekanan darah sistolik di lengan kanan harus diulang kembali dan tekanan darah sistolik pada pengukuran pertama dan kedua diambil reratanya. Jika terdapat perbedaan hasil pengukuran tekanan darah sistolik di lengan kanan > 10 mmHg, maka hasil pengukuran

yang kedua lah yang digunakan.

• Tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan digunakan sebagai pembagi ( denominator ) sedangkan tekanan darah sistolik tertinggi antara tibialis posterior dan dorsalis pedis tiap ekstremitas bawah digunakan sebagai pembilang ( numerator ).

• Nilai ABI pada setiap pergelangan kaki dihitung dengan membagi tekanan darah sistolik tertinggi antara tekanan darah sistolik arteri tibialis posterior atau arteri dorsalis pedis dengan tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan.


(37)

• Ketika nilai ABI digunakan untuk alat diagnostic pada pasien dengan keluhan sangkaan PAD, maka nilai ABI harus dilaporkan secara terpisah pada tiap pergelangan kaki.

• Jika nilai ABI digunakan sebagai penanda prognostik kejadian dan mortalitas kardiovaskular, maka yang dipakai adalah nilai ABI terendah dari kedua pergelangan kaki.

• Nilai normal ABI berkisar pada 0,9 sampai 1,4 bila hasil pengukuran ABI berkisar ≤ 0,9 maka dapat dipertimbangkan sebagai penegakan diagnosis PAD.

• Pasien dengan nilai ABI ≤ 0,9 atau ≥ 1,4 harus dipertimbangkan memiliki resiko kejadian dan mortalitas kardiovaskular walaupun tanpa adanya keluhan dan gejala PAD serta faktor resiko kardiovaskular.


(38)

(39)

2.7 Kerangka Teori

Hipetensi, DM, Merokok, Hiperlipidemia

Disfungsi Endotel

Aterosklerosis

Koroner (SKA)

Penanda aterosklerosis sistemik  pemeriksaan ABI

ABI normaL ABI abnormal

Kematian kardiovakular ↑ Kejadian kardiovaskular ↑ Complex interplay of inflammatory effects that involve celluler plaque component &

proinflammatory mediators

Plaque destabilization / plaque rupture


(40)

2.8 Kerangka konseptual

Sindroma Koroner Akut ( IMA-STE, IMA-NSTE, APTS )

Pemeriksaan ABI

ABI abnormal Variabel

Independen : ABI

Angiografi koroner

One Vessel disease Multivessel Disease

Variabel Konfounding : Hipertensi, DM, Merokok,

EF, Hiperkolesterolemia, Trop T

Variabel dependen:

- Kematian

- Rawatan ulang RS akibat gagal jantung

- Reinfark


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain

Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang menunjukkan peranan nilai ABI yang abnormal untuk mendeteksi derajat keparahan stenosis arteri koroner dan membandingkan kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan antara penderita Sindroma Koroner Akut yang memiliki nilai ABI normal dan abnormal di RSUP H Adam Malik Medan.

3.2 Tempat dan waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2014 sampai Maret 2014 di Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskular RS. H. Adam Malik Medan dengan menggunakan data sekunder rekam medis penderita Sindroma Koroner Akut {Infark Miokard Akut ST Elevasi (IMA STE) , Infark Miokard Akut Non ST

Elevasi (IMA NSTE), Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS)} yang dirawat di

CVCU RS. H Adam Malik Medan mulai periode Oktober 2012 sampai dengan Februari 2013.

3.3 Populasi dan sampel

• Populasi target adalah penderita dengan diagnosa Sindroma Koroner Akut baik IMA STE, IMA NSTE maupun APTS.

• Populasi terjangkau adalah penderita Sindroma Koroner Akut yang dirawat di CVCU RSUP H Adam Malik Medan.

• Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


(42)

3.4 Besar sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis untuk 1 populasi, yaitu :

n = { Zα√PoQo + Zβ√PaQa }

{ Po – Qo }

2

n = jumlah subyek penelitian Zα = nilai baku normal = 1,96 Zβ = nilai baku normal = 0,802

Po = proporsi kejadian stenosis multivessel arteri koroner pada populasi  52,6% = 0,526

Pa = proporsi penelitian 20%  32,6% = 0,326 Qo = 1 – Po = 1 - 0,526 = 0,474

Qa = 1 – Pa = 1 – 0,326 = 0,674

Dengan menggunakan rumus tersebut di atas, maka didapat jumlah sampel minimal untuk penelitian adalah 46 orang.

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi 3.5.1 Kriteria Inklusi

1. Penderita yang dirawat di CVCU RSHAM dengan diagnosis Sindroma Koroner Akut ( IMA STE, IMA NSTE, APTS ) periode Oktober 2012 sampai Februari 2013 yang kemudian dilakukan tindakan angiografi koroner.


(43)

2. Kadar kreatinin di bawah atau sama dengan 2,5 mg/dl

2.5.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan riwayat penyakit arteri perifer ( PAD ) sebelumnya. 2. Pasien dengan coarctatio aorta.

3.6 Persetujuan / Informed Consent

Semua subyek penelitian dan keluarga dekat akan diminta persetujuan setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai kondisi penyakit yang dialami, pemeriksaan ABI yang dilakukan, tindakan angiografi koroner dan follow-up 6 bulan kemudian tentang kemungkinan kejadian kardiovaskular (cardiac death, rehospitalisasi akibat gagal jantung dan reinfark) yang dapat timbul.

3.7 Etika penelitian

Penelitian ini telah diajukan ke Komite Etik Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan telah mendapat persetujuan untuk dapat dilanjutkan.

3.8 Cara kerja dan alur penelitian

Peneliti melakukan pengumpulan sampel berdasarkan data dari rekam medis pasien yang didiagnosis dengan SKA dan dirawat di CVCU RSUP H Adam Malik Medan periode Oktober 2012 sampai Februari 2013, dimana data pasien berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, foto thoraks dan laboratorium untuk menegakkan diagnosis Sindroma Koroner Akut dicatat secara lengkap.

Sampel yang memenuhi kriteria inklusi yang berjumlah 75 subjek tersebut telah dilakukan pemeriksaan ABI sebelumnya oleh peneliti sendiri dengan menggunakan handheld Doppler 8 MHz tipe BIDOP ES-100V3 dan spigmomanometer merek GEA pada saat 24-48 jam perawatan awal di CVCU RSUP H Adam Malik Medan. Nilai ABI yang normal berkisar pada range 0,91


(44)

sampai 1,4 sehingga hasil pengukuran ABI < 0,9 atau > 1,4 dikategorikan abnormal.

Pengumpulan sampel menggunakan data rekam medis yang telah dicatat sebelumnya oleh peneliti dengan total sampel sebanyak 75 subjek dengan jumlah sampel minimal berdasarkan rumus perhitungan sampel adalah sebanyak 46 orang. Seluruh sampel diberikan terapi tata laksana Sindroma Koroner akut yang sesuai standar, mulai dari pemberian antiplatelet, antikoagulan, beta blocker, ACE-inhibitor, nitrat, statin, diuretik serta analgesik intravena golongan opioid dan dicatat dalam data rekam medis.

Hasil angiografi koroner subjek penelitian dicatat dari rekam medis dan stenosis > 70% pada arteri koroner didefinisikan sebagai stenosis yang bermakna. Jika stenosis hanya mengenai satu arteri koroner epikardial maka pasien dikelompokkan ke dalam kategori one vessel disease, tetapi jika dijumpai stenosis > 70% pada lebih dari satu arteri koroner epikardial atau pembuluh darah Left Main, maka pasien dikategorikan multivessel disease.

Kejadian cardiac death dan kejadian kardiovaskular diobservasi setelah 6 bulan paska infark dimana peneliti melakukan follow up melalui telepon dengan cara menghubungi langsung subjek penelitian atau keluarga terdekat yang tinggal serumah dengan subjek.


(45)

ALUR PENELITIAN

KRITERIA EKSKLUSI

Normal

Abnormal

Data sekunder hasil tindakan Angiografi Koroner

Onevessel disease Multivessel disease

Follow up 6 bulan

• Kematian

• Gagal jantung

• Reinfark

Data sekunder rekam medis pasien SKA (IMA-STE, IMA-NSTE, APTS) yang dirawat di CVCU RSUP H Adam Malik periode

Oktober 2012 sampai Februari 2013


(46)

3.9 Identifikasi variabel

Variabel bebas Skala Nilai ABI kategorik

Variabel tergantung Skala Jumlah stenosis arteri koroner kategorik

Kematian kategorik

Reinfark kategorik

Gagal jantung kategorik

3.10 Definisi operasional

1. Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut : adanya nyeri dada khas infark (durasi nyeri lebih dari 20 menit, tidak respon sepenuhnya dengan nitrat, nyeri dapat menjalar ke leher, rahang bawah atau lengan kiri, dapat disertai dengan gejala aktivasi sistem syaraf otonom seperti mual, muntah serta keringat dingin), dijumpai elevasi segmen ST yang persisten ( lebih dari 2mm pada lead V2-V3, atau lebih dari 1mm pada lead lainnya), atau adanya left bundle branch block (LBBB) yang baru atau yang dianggap baru, peningkatan marker (enzym jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin) ( Thygensen dkk, 2007; Van de Werf dkk, 2008).

2. Diagnosis IMA NSTE ditegakkan bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut namun tanpa elevasi segmen ST yang persisten pada sadapan EKG. Pasien-pasien dengan kriteria ini biasanya menunjukkan gambaran depresi segmen ST atau gelombang T yang terbalik, mendatar atau bahkan tanpa adanya perubahan EKG sekalipun dan didukung dengan bukti peningkatan enzim jantung (Guideline NSTEMI-ESC, 2011).

3. Diagnosa APTS ditegakkan bila dijumpai presentasi klinis sebagai berikut :

Nyeri dada khas angina dengan durasi lebih dari 20 menit pada saat

istirahat

Angina dengan onset yang baru ( Kelas III atau IV pada klasifikasi CCS )Angina dengan intesitas yang meningkat ( minimal kelas III kalsifikasi


(47)

Angina paska infark

Jika salah satu dari keempat kriteria tersebut terpenuhi dan tidak terdapat bukti peningkatan enzim jantung, maka diagnosis APTS dapat ditegakkan.

4. Segala penyebab kematian kardiak selama perawatan dirumah sakit dan rentang waktu sampai dengan 6 bulan setelah onset infark, dikategorikan sebagai cardiac death. . Cardiac death tersebut dapat disebabkan oleh kondisi aritmia maligna seperti ventrikular takikardia, ventrikular fibrilasi, kondisi syok kardiogenik, edema paru akut, serta sudden cardiac death yang semuanya berujung pada kematian.

5. Reinfark didefinisikan apabila penderita mengalami nyeri dada berulang lebih dari 20 menit disertai peningkatan enzim jantung CKMB lebih dari 2 kali batas atas normal atau peningkatan enzim jantung lebih dari 20% dibandingkan dengan level enzim jantung terendah sebelumnya, dengan atau tanpa dijumpainya perubahan EKG dibandingkan sebelumnya (Gelombang Q patologis baru, segmen ST elevasi atau depresi baru lebih dari 1 mm minimal pada 2 lead yang berhubungan), Thygensen dkk, 2007.

Kriteria reinfark berdasarkan studi GUSTO apabila dijumpai setidaknya 2 dari 4 kriteria berikut, yaitu :

• Berulangnya gejala nyeri dada khas iskemik yang berlangsung > 15 menit setelah hilangnya gejala akibat episode infark sebelumnya

• Timbulnya perubahan segmen ST-T atau gelombang Q yang baru.

• Peningkatan ulang enzim jantung melebihi batas atas nilai normal ( atau >20% jika enzim jantung sebelumnya sudah kembali normal).

• Adanya bukti reoklusi dari hasil angiografi pada arteri koroner yang telah direvaskularisasi sebelumnya.

6. Definisi kelas Killip adalah sebagai berikut (Van de Werf, 2008); • Killip 1 : tidak dijumpai ronkhi maupun gallop

• Killip 2 : Dijumpai ronkhi kurang dari setengah lapangan paru atau adanya gallop

• Killip 3 : Dijumpai ronkhi lebih dari setengah lapangan paru • Killip 4 : syok kardiogenik


(48)

7. Merokok didefinisikan sebagai riwayat merokok aktif (sampai dengan subjek menderita IMA STE) atau subjek baru berhenti merokok dalam 6 bulan terakhir (ACSM coronary artery disease risk factor thresholds, 2008).

8. Rawatan ulang di RS akibat gagal jantung adalah rawatan kedua atau lebih akibat perburukan dari kondisi gagal jantung atau bila baru muncul gejala dan tanda gagal jantung tanpa adanya keluhan tersebut pada rawatan sebelumnya.

9. Riwayat hipertensi didefinisikan apabila memenuhi minimal salah satu kriteria berikut ini (Karlsberg dkk, 2011) ;

• Riwayat pernah didiagnosis oleh dokter menderita hipertensi dan telah diberikan terapi obat anti hipertensi serta advis diet dan olahraga

• Pada anamnesis dijumpai riwayat pemakaian obat anti hipertensi 10.Diabetes didefinisikan sebagai berikut ;

Subjek selama ini telah atau pernah menggunakan obat hipoglikemik oral atau insulin, atau hasil pemeriksaan kadar gula darah selama perawatan dirumah sakit memenuhi salah satu dari kriteria berikut ; kadar HBA1C ≥ 6,5%, kadar gula darah puasa ≥ 126mg/dl, atau kadar gula darah post prandrial ≥ 200 mg/dl (Karlsberg dkk, 2011)

11.Dislipidemia didefinisikan apabila dijumpai minimal salah satu dari kriteria pemeriksaan kadar profil lipid (Karlsberg dkk, 2011, NCEP-ATP III, 2002), selama perawatan di rumah sakit sebagai berikut ;

• Kadar total kolesterol > 200mg/dl • Kadar LDL > 130mg/dl

• Kadar HDL < 40 mg/dl pada laki-laki, atau < 50 mg/dl pada perempuan

12.Gagal jantung didefinisikan seseuai dengan kriteria Framingham (McKee dkk, 1971).

13. One vessel disease jika stenosis > 70% hanya mengenai satu arteri koroner epikardial, tetapi jika dijumpai stenosis > 70% pada lebih dari satu arteri koroner epikardial atau pembuluh darah Left Main, maka pasien dikategorikan Mutivessel disease.

14.Definisi penyakit jantung koroner adalah jika dijumpai salah satu dari hal berikut (Karlsberg dkk, 2011) :

• Dijumpai stenosis arteri koroner ≥50% dari hasil angiografi koroner atau dari hasil modalitas pencitraan lainnya


(49)

• Riwayat operasi bedah pintas koroner • Riwayat intervensi koroner perkutan • Riwayat infark jantung

3.11 Pengolahan dan analisis data

Pengolahan dan analisis data statistik menggunakan SPSS versi 17. Variabel kategorik dipresentasikan dengan jumlah atau frekuensi (n) dan persentase (%). Variabel numerik dipresentasikan dengan nilai mean (rata-rata) dengan standar deviasi untuk data yang berdistribusi normal, sedangkan data numerik yang tidak berdistribusi normal menggunakan median (nilai tengah). Uji normalitas variabel numerik pada seluruh subjek penelitian menggunakan one sample Kolmogorov Smirnov (n>50).

Uji Pearson Chi Square (tabel 2x2) digunakan untuk variabel bebas kategorik dan variabel tergantung kategorik. Jika syarat uji Chi Square tidak terpenuhi, maka digunakan uji 2 K-sample Kolmogorov Smirnov (Mukhtar dkk, 2011, Dahlan, 2011).

Analisa multivariat dari variabel bebas kategorik dengan variabel tergantung kategorik diuji dengan regresi logistik

Untuk mendapatkan nilai p dan RR dari perbandingan end point cardiac death dan MACE setelah 6 bulan paska infark digunakan uji Chi Square atau uji Fisher dengan menambahkan uji ukuran kekuatan hubungan risiko relatif (RR).

.

3.12 Rincian biaya penelitian

Pengadaan alat Handheld Doppler 8 MHz Rp 6.000.000 Pengadaan alat tulis dan fotokopi Rp 500.000

Pengelolaan hasil statistik Rp 1.000.000


(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

IV.1 Karakteristik Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RS. H. Adam Malik dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien yang dirawat di CVCU RS. H. Adam Malik dengan diagnosis Sindroma Koroner Akut mulai periode Oktober 2012 sampai dengan Februari 2013 dan telah terkumpul sampel sejumlah 75 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga dapat diikutkan dalam penelitian.

Dari keseluruhan jumlah sampel yang dilibatkan dalam penelitian, dilakukan pengumpulan data hasil angiografi koroner untuk kemudian dikelompokkan menjadi one vessel disease bila dijumpai stenosis > 70% pada satu arteri koroner epikardial dan multivessel disease jika dijumpai stenosis > 70% pada lebih dari satu arteri koroner epikardial atau pembuluh darah left main. Setelah itu dilakukan follow-up setelah 6 bulan rawatan dengan menggunakan telepon untuk mengetahui ada atau tidaknya kejadian kardiovaskular yang mungkin timbul.

IV.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Angiografi Koroner

Penelitian ini melibatkan 75 orang pasien dengan diagnosis Sindroma Koroner Akut yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimana 56 orang diantaranya (74,67%) dengan diagnosis IMA-STE, 10 orang pasien (13,33%) dengan diagnosis IMA-NSTE dan 9 orang pasien (12%) dengan diagnosis APTS.


(51)

Gambar 4.1 Diagram pie diagnosis pasien sampel penelitian 59 orang pasien (78,67%) yang menjadi sampel penelitian berjenis kelamin laki-laki. 41 orang (54,67%) memiliki riwayat hipertensi, 21 orang (28%) dengan faktor resiko DM, 7 orang (9,3%) dengan faktor resiko hiperkolesterolemia dan 44 orang (58,67%) merokok. 4 orang pasien (5,3%) memiliki riwayat serangan jantung sebelumnya dan riwayat stroke sementara 5 orang (6,67%) dengan riwayat revaskularisasi intervensi koroner perkutan (IKP).

Dari hasil pengukuran ABI, didapati 40 orang (53,33%) memiliki nilai ABI yang abnormal dengan 46 orang (61,33%) ternyata memiliki fungsi sistolik ventrikel kiri di bawah 50%.

Dari hasil angiografi koroner diketahui bahwa 13 orang (17,33%) termasuk dalam kelompok one vessel disease (1 VD) dan 62 orang (82,67%) termasuk dalam kelompok multivessel disease (MVD). Pasien dengan jenis kelamin laki-laki mendominasi pada kedua kelompok responden dimana kelompok dengan hasil angiografi koroner menunjukkan 1 VD terdapat sebanyak 12 orang (92,3%) dan 47 orang (75,8%) pada kelompok MVD.

Berdasarkan rerata umur, pada pasien dengan 1 VD memiliki rerata umur 53,38 tahun dan rerata umur 55,63 tahun dari kelompok MVD. Pada kelompok pasien dengan 1 VD hanya 5 orang (38,5%) yang memiliki riwayat hipertensi sedangkan pada kelompok dengan MVD terdapat 36 orang (58,1%) yang memiliki hipertensi. Responden dengan riwayat DM tidak mencapai 50% di kedua

75% 13%

12%


(52)

kelompok yaitu 4 orang (30,8%) pada kelompok 1 VD dan 17 orang (27,4%) pada kelompok MVD. Responden yang memeliki kebiasaan merokok terbanyak pada kelompok responden dengan 1 VD yaitu sebanyak 9 orang (69,2%) sementara sebanyak 35 orang (56,5%) termasuk dalam kelompok MVD. Tidak seorangpun responden pada kelompok dengan 1 VD yang mempunyai riwayat penyakit AMI, stroke dan revaskularisasi, dan tak sampai 10% pada kelompok responden dengan MVD yaitu masing-masing 4 orang (6,5%) untuk riwayat AMI, 4 orang (6,5%) untuk riwayat stroke dan 5 orang (8,1%) untuk riwayat revaskularisasi PCI.

Sebanyak 7 orang (11.3%) responden pada kelompok MVD memiliki faktor resiko hiperkolesterolemia yang tidak dijumpai pada responden di kelompok 1 VD. 5 orang (38,5%) responden dari kelompok 1 VD memilki LVEF < 50% sedangkan 41 orang (66,1) dari kelompok MVD dijumpai memiliki LVEF yang rendah. Sebanyak 11 orang (84,6%) pasien pada kelompok 1 VD dengan gambaran EKG saat masuk menunjukkan elevasi segmen ST, sedangkan pada kelompok MVD dijumpai sebanyak 46 orang (74,2%).

Dari hasil pemeriksaan ABI yang telah dilakukan saat pasien dirawat di CVCU didapati rata-rata ABI pada kelompok 1 VD yaitu 1,04 lebih tinggi dari pada rata-rata ABI pasien pada kelompok MVD yaitu 0,92. Setelah diklasifikasikan menjadi normal atau abnormal, didapati sebanyak 3 orang (23,1%) pasien dari kelompok 1 VD memiliki nilai ABI abnormal, sementara dari kelompok MVD dijumpai sebanyak 37 orang (59,7%).


(53)

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jumlah Arteri Koroner Yang Mengalami Stenosis

Karakteristik

Pasien denga n 1 VD

(n=13) Pasien denga n MVD (n =62) p Jenis Kelamin (laki-laki) (%)

12 (92,3) 47 (75,8) 0,276 a

Umur, rerata (SB), tahun 53,38 (8,11) 55,63 (7,78) 0,351 Hipertensi (%) b 5 (38,5) 36 (58,1) 0,197 Diabetes mellitus

(%) c 4 (30,8) 17 (27,4) 1,000 Hiperkolesterolemia , (%) a

0 7

(11,3) 0,343 Merokok (%) a 9 (69,2) 35 (56,5) 0,395 Riwayat Penyakit

AMI, n (%)

c

0 4 (6,5) 1,000

Riwayat Penyakit Stroke, n (%)

a

0 4 (6,5) 1,000

Riwayat

Revaskularisasi PCI (%)

a

0 5 (8,1) 0,580

ABI, rerata (SB),

a 1,04 (0,14) 0,92 (0,19) 0,087 ABI tidak normal

(%) d 3 (23,1) 37 (59,7) 0,016 ST elevasi (%)

c 11 (84,6) 46 (74,2) 1,000 LVEF < 50% (%)

d 5 (38,5) 41 (66,1) 0,063 c a

Exact Fisher ,b T independent, c Chi Square, d Kolmogorov Smirnov, d Mann Whitney

Tabel di atas memperlihatkan bahwa hanya variabel nilai ABI yang tidak normal yang bermakna secara statistik pada kedua kelompok dengan nilai p 0,016 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara nilai ABI yang abnormal dengan jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis sementara variabel-variabel yang lain tampak tidak berbeda secara bermakna.


(54)

Tabel 4.2 Hubungan ABI dan Jumlah Arteri Koroner Yang Mengalami Stenosis

ABI Jumlah Stenosis p

1 VD Multi VD

Normal 10 orang 25 orang 0,016 Tidak

normal

3 orang 37 orang

Dari tabel di atas didapati 3 orang (7,5%) pasien memiliki nilai ABI abnormal dengan gambaran angiografi koroner 1 VD, sedangkan 37 orang (92,5%) memiliki hasil angiografi koroner MVD dan bermakna secara statistik ( nilai p 0,016). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara nilai ABI yang abnormal dengan jumlah stenosis arteri koroner.

Gambar 4.2 Diagram Batang Hubungan Nilai ABI Abnormal dengan Jumlah Stenosis Arteri Koroner

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Pasien dengan 1 VD (n=13)

Pasien dengan MVD (n = 62)

23.1%

59.7% 76.9%

40.3%

% ABI tidak normal


(1)

Pasqualini L, Marchesi S, Vaudo G dkk. Association between endothelial dysfunction and major cardiovascular events in peripheral arterial disease. Vasa. 2003;32:139-43.

Poredos P, Jug B. The Prevalence of peripheral arterial disease in high risk subjects and coronary or cerebrovascular patients. Angiology. 2007;58:309-15.

Resnick HE, Lindsay RS, McDermott MM, Devereux RB, Jones KL dkk. Relationship of High and Low Ankle Brachial Index to All-Cause and Cardiovascular Disease Mortality : The Strong Heart Study. Circulation. 2004;109:733-9.

Rizvi S, Kamran H, Salciccioli L, Saiful F, Lafferty J dkk. Relation of the Ankle Brachial Index to Left Ventricular Ejection Fraction. Am J Cardiol. 2010;105:129-32.

Rossi E, Biasucci LM, Citterio F, Pelliccioni S, Monaco C dkk. Risk of Myocardial Infarction and Angina in Patients With Severe Peripheral Vascular Disease : Predictive Role of C-Reactive Protein. Circulation. 2002;105:800-3.

Sadeghi M, Heidari R, Mostanfar B, Tavassoli A, Roghani F dkk. The Relation between Ankle-Brachial Index (ABI) and Coronary Artery Disease severity and risk factors : an angiographic study. ARYA Atherosclerosis. 2011;7(2):68-73.

Safar ME, Protogerou AD, Blacher J. Statins, central blood pressure, and blood pressure amplification. Circulation.2009;119:9-12.

Shah AM, Banerjee T, Mukherjee D. Coronary, Peripheral and Cerebrovascular Disease : a Complex Relationship. Herz. 2008;33:475-80.

Sheikh MA, Bhatt DL, Li J, Lin S, Bartholomew JR. Usefulness of postexercise Ankle-Brachial Index to predict all cause mortality. Am J Cardiol. 2011;107:778-82.

Siscovick DS, Newman AB, Manolio TA, Polak J, Fried LP dkk. Ankle-Arm Index as a marker of Atherosclerosis in the Cardiovascular Health Study. Circulation. 1993;88:837-45.

Smith FB, Lee AJ, Price JF, van Wijk MC, Fowkes FG. Changes in ankle brachial index in symptomatic and asymptomatic subjects in general populations. J Vasc Surg.2003;38:1323-30.

Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Borger, badano LP, dkk. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST segment elevation. Eur Heart J. 2012;10:1-51


(2)

Thygensen K, Alpert JS, White HD. Universal definition of myocardial infarction. Eur Heart J. 2007;28:2525-2538

Tierney S, Fennessy F, Hayes DB. ABC of arterial and vascular disease: Secondary prevention of peripheral vascular disease. BMJ. 2000;320:1262-5.

Tomasian D, Keaney JF Jr, Vita JA. Antioxidant and the bioactivity of endothelium-derived nitric oxide. Cardiovasc Res.2000;47:426-35.

Vascular Disease Foundation. Ankle-Brachial Index : a Diagnostic Tool for Peripheral Arterial Disease. 2008. Diunduh dari

Van Kuijk JP, Flu WJ, Welten GMJM, Hoeks SE, Chonchol M dkk. Long term Prognosis of patients with Peripheral Arterial Disease with or without polyvascular atherosclerotic disease. European Heart Journal. 2010;31:992-9.

Van der Meer IM, Hofman A, ML Bots, del Sol AI, van der Kuip DA dkk. Predictive value of noninvasive measures of atherosclerosis for incident myocardial infarction : the Rotterdam Study. Circulation. 2004;109:1089-94.

Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstorm-Lundgvista C, Crea F dkk. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST segmen elevation, the task force on the management of ST segment elevation acute myocardial infarction of European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2008;29:2909-45.

Vita JA, Keaney JF Jr. Endothelial function: a barometer for cardiovascular risk? Circulation. 2002;106:640-2.

Widlansky ME, Gokce N, Keaney JF, Vita JA. The Clinical Implications of Endothelial Dysfunction. J Am Coll Cardiol. 2003;42:1149-60.

Yataco AR, Gardner AW. Acute reduction in ankle brachial index following smoking in chronic smokers with peripheral arterial occlusive disease. Angiology.1990;50:355-60.

Zeiher AM, Drexler H, Wollschlager H, Just H. Endothelial dysfunction of the coronary microvasculature is associated with impaired coronary blood flow regulation in patients with early atherosclerosis. Circulation.1991;84:1984-92.


(3)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN

KOMITE ETIK PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

Jl. Dr. Mansur No. 05 Medan , 20155 – INDONESIA. Tel: +62-61-8211045; 8210555 Fax: 62-61-8216264, E-mail:

FORMULIR ISIAN OLEH PENELITI

Nama lengkap anda :

1 Dr. Rinelia Minaswary

Alamat (harap ditulis dengan lengkap) :

2 Villa Zeqita Residence blok E-14 Jl Jamin Ginting km 12,5 Padang Bulan, Medan Telp/Fax/HP/E-mail/lain-lain :

3 081370444352/e-mail: rini_mswary@yahoo.com Alamat lain yang dapat dihubungi :

4 -

Telp/Fax/HP/E-mail/lain-lain :

5

Nama Institusi Anda (tulis beserta alamatnya) :

6 Departemen Kardiologi dan Ked. Vaskular FK USU/RSHAM Judul Penelitian :

7

Hubungan Antara Nilai Ankle Brachial Index (ABI) dengan Jumlah Stenosis Arteri Koroner dan Kejadian Kardiovaskular Setelah 6 Bulan Penderita Sindroma Koroner Akut di RS. H. Adam Malik Medan

DAFTAR PERTANYAAN

1. Subyek yang digunakan pada penelitian Anda :

Penderita Non penderita Hewan

2. Jumlah subyek yang digunakan dalam penelitian Anda : 75 orang

3. Keterangan : Besar sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus : n = { Zα√PoQo + Zβ√PaQa }

{ Po – Qo }

2

n = jumlah subyek penelitian

Zα = nilai baku normal = 1,96

Zβ = nilai baku normal = 0,802 √


(4)

Po = proporsi kejadian stenosis multivessel arteri koroner pada populasi  52,6% = 0,526

Pa = proporsi penelitian 20%  32,6% = 0,326 Qo = 1 – Po = 1 - 0,526 = 0,474

Qa = 1 – Pa = 1 – 0,326 = 0,674

Dengan menggunakan rumus tersebut di atas, maka didapat jumlah sampel minimal untuk penelitian adalah 46 orang.

4. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini (perkiraan) untuk setiap subjek yaitu 1 bulan.

5. Rangkaian usulan penelitian mencakup objektif penelitian, manfaat / relevansi dari hasil penelitian disertai alasan/motivasi dilakukannya penelitian dan resiko yang mungkin timbul disertai cara penyelesaian masalahnya (ditulis dengan bahasa yang dapat dimengerti secara umum)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang hubungan nilai Ankle Brachial Index (ABI) dengan jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis dan kegunaannya sebagai prediktor kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan pada penderita penderita Sindroma Koroner Akut di RS. H. Adam Malik Medan .

Penelitian bersifat kohort retrospektif dan data sekunder subjek penelitian diambil dari rekam medis pasien yang dirawat di CVCU RS HAM.

6. Apakah masalah etik menurut Anda dapat terjadi pada penelitian Anda ini? Dapat terjadi jika data subjek dipakai untuk penelitian lain tanpa seijin subjek.

7. Jika subjeknya manusia, apakah percobaan terhadap hewan sudah pernah dilakukan? Jika tidak, sebutkan alasan mengapa langsung dilakukan terhadap manusia (berikan argumentasi anda secara jelas dan mudah dimengerti).

Penelitian ini pernah dilakukan pada manusia.

8. Prosedur pelaksanaan penelitian atau percobaan (frekwensi, interval dan jumlah total segala tindakan invasif yang dilakukan, dosis dan cara penggunaan obat, isotop, radiasi atau tindakan lainnya). Sebutkan !

Data sekunder sampel yang memenuhi kriteria inklusi diambil dari rekam medis RSHAM Medan dan data dasar berupa anamnesa singkat, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto thoraks dan pemeriksaan laboratorium dicatat secara lengkap. Pemeriksaan Ankle Brachial Index dengan menggunakan Handheld Doppler 8 MHz telah dilakukan pada saat perawatan di CVCU. Nilai ABI yang normal berkisar pada range 0,9 sampai 1,4 sehingga hasil pengukuran ABI < 0,9 atau > 1,4 dikategorikan abnormal.

Sampel kemudian dilakukan tindakan angiografi koroner dan dikelompokkan hasil pemeriksaannya menjadi One-vessel disease dan Multivessel disease.

Setelah 6 bulan dari saat pertama kali dirawat di CVCU RSHAM, dilakukan follow-up melalui telepon untuk mengetahui kejadian kardiovaskular yang mungkin terjadi dengan menghubungi langsung sampel penelitian atau keluarga terdekat yang tinggal serumah dengan sampel.

Hasil follow-up kemudian dikelompokkan berdasarkan ada atau tidaknya kejadian kardiovaskular yang terjadi.


(5)

9. Bahaya potensial yang langsung atau tidak langsung, segera atau kemudian dan cara yang digunakan untuk pencegahannya (disebutkan jenis bahayanya).

Tidak ada

10. Pengalaman terdahulu sebelum atau sesudah penelitian dari tindakan yang akan dilakukan (baik sendiri ataupun perorangan).

Pengalaman terdahulu dari sebelum penelitian, tidak dijumpai bahaya yang berarti. 11. Jika penelitian dilaksanakan pada orang sakit, sebutkan apa kegunaan bagi si sakit, dan bagaimana pula kompensasi yang diberikan jika terjadi kerugian pada jiwanya.

Kegunaan bagi si sakit, dapat mendeteksi luasnya keterlibatan stenosis pada arteri koroner yang kemudian akan dibuktikan dari hasil angiografi koroner dan dapat memprediksi kejadian kardiovaskular yang bisa terjadi setelah 6 bulan terkena serangan infark.

12. Bagaimana cara memilih penderita dan sukarelawan yang sehat?

Pengumpulan sampel menggunakan metode konsekutif dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi yang dirawat di CVCU RSHAM Medan pada periode Oktober 2012 sampai Februari 2013 dijadikan sampel penelitian dengan jumlah sampel minimal berdasarkan rumus perhitungan sampel adalah sebanyak 46 orang. Seluruh sampel diberikan terapi tatalaksana sindroma koroner akut yang sesuai standar.

13. Apa hak dan kewajiban yang bisa Anda berikan sebagai jaminan dan imbalan bagi objek tersebut? Jika terdapat ganti rugi, sebutkan pula berapa jumlah yang diberikan!

Sampel berhak untuk mendapat penjelasan secara lengkap dan menyeluruh tentang manfaat dan tata cara pemeriksaan ankle brachial index yang dilakukan sebelum sampel menjalani prosedur angiografi koroner. Tidak ada ganti rugi yang diberikan kepada sampel karena pemeriksaan ankle brachial index bukan pemeriksaan invasif yang memiliki resiko maupun komplikasi.

14. Sejauh mana hubungan antara subjek manusia yang diteliti dengan peneliti? (ceklist yang benar)

Hubungan dokter – pasien Hubungan guru – murid

Hubungan majikan – anak buah Mitra

Keluarga Lain-lain

15. Jelaskan cara pencatatan selama penelitian termasuk efek samping dan komplikasinya bila ada. Peneliti melakukan pencatatan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, foto toraks dan laboratorium untuk menegakkan diagnosis Sindroma koroner akut yang diambil dari data rekam medis RSHAM Medan. Data dasar faktor resiko tradisional dari aterosklerosis dicatat secara lengkap. Pemeriksaan Ankle Brachial Index telah dilakukan saat sampel menjalani rawatan di CVCU RSHAM dengan mencari rasio tekanan darah pada kedua ekstremitas bawah dengan ekstremitas atas.

16. Jelaskan cara memberitahu dan mengajak subjek (lampiran contoh surat persetujuan penderita). Bila memberitahukan dan kesediaannya secara lisan, tulisan atau karena sesuatu hal penderita tidak dapat diminta pernyataan ataupun persetujuannya, beri pula alasan untuk itu.


(6)

Semua subjek penelitian dan keluarga dekat akan diminta persetujuan setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai kondisi penyakit yang dialami,pemeriksaan Ankle Brachial Index yang dilakukan sebelum tindakan angiografi koroner.

17. Apakah subjek diasuransikan? Tidak

Medan, September 2013 Mengetahui, Kepala SMF Kardiologi

RSHAM/FK USU

Menyatakan, Peneliti Utama