Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang menggunakan konsep welfare state dalam menjalankan pemerintahannya dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Tim peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina 2008 menjelaskan bahwa “hanya sedikit istilah yang digunakan untuk menerjemahkan Welfare State. Welfare State, secara s ingkat dapat diartikan sebagai “serangkaian kebijakan publik dan kegiatan Negara dalam mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial dem i sebuah pencapaian kemakmuran” Unpar, 2008:24. Serangkaian kebijakan yang diwujudkan dalam suatu kegiatan dilakukan dalam menjalankan pemerintahan, salah satunya yaitu dengan membuat suatu kebijakan yang akan mempermudah dalam melaksanakan rancangan program pemerintahan. Perwujudan perumusan kebijakan atau peraturan daerah, dalam hal ini pemerintah daerah harus mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai. Tujuan tersebut haruslah sinkron dengan konsep Welfare State, yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan dari pembuatan kebijakan tersebut sesuai dengan yang dicita- citakan atau diharapkan dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yaitu: i melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; ii meningkatkan kesejahteraan umum; iii mencerdaskan kehidupan bangsa; dan iv ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Salah satu konsep dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk memberikan kemakmuran pada seluruh masyarakat yang ada di dalamnya, hal ini sesuai dengan konsep dasar Negara Kesejahteraan Welfare State. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah dari pusat hingga daerah membuat kebijakan-kebijakan publik yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan kebijakan tersebut ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat. Dilihat dari situasi dan kondisi suatu daerah banyak ditemui usaha- usaha baik itu bergerak di sektor formal maupun informal. Sektor informal dalam ini salah satunya adalah Pedagang Kaki Lima. Pedagang Kaki Lima PKL, di sejumlah daerah sering menjadi permasalahan yang tidak ada habisnya. Mereka sering dituding mengganggu ketertiban, sehingga keberadaannya mengundang stigma negatif di mata masyarakat. Namun berbeda halnya yang terjadi di Surakarta yang notabene adalah salah satu kota besar di Jawa Tengah. Surakarta merupakan kota perdagangan, dan terdapat banyak saingan pelaku usaha yang memadati kota perdagangan tersebut. Banyaknya saingan pelaku usaha menyebabkan banyak orang lebih memilih untuk mengais rejeki dari sektor perdagangan. Salah satu bentuk sektor perdagangan tersebut diantaranya adalah Pedagang Kaki Lima PKL. Hal ini disebabkan karena ketatnya persaingan untuk dapat bekerja dalam sektor formal, dan sangatah wajar apabila para pengangguran memilih bekerja di sektor informal. Pedagang Kaki Lima merupakan suatu jalan yang dianggap mudah oleh sebagian besar masyarakat untuk dilakukan karena pedagang disini tidak dituntut memiliki pendidikan yang tinggi. Anggapan tersebut berdampak pada bermunculannya PKL baru lainnya yang semakin hari semakin memadati kota, sehingga banyak menimbulkan dampak bagi masyarakat sekitar maupun Pemerintah Kota. Perkembangan PKL yang semakin banyak menimbulkan suatu kelompok-kelompok PKL yang akan dijadikan sebagai wadah penampung aspirasi dan peyelesaian permasalahan. Kelompok PKL merupakan suatu bentuk produk yang tercipta akibat aktifitas yang dilakukan oleh PKL. Kelompok PKL sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tidak terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya Frasnsiska, 2008:2. PKL sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Selain tanpa memperhatikan tingkat pendidikan, kemunculan PKL disini dilakukan tanpa mengurus izin atau membayar pajak pada awal berdagang. Kemudahan tersebut juga merupakan faktor penyebab banyaknya PKL di Surakarta. PKL menurut penjelasan UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa: Usaha kecil termasuk PKL merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana yang dimaksud dalam undang – undang. Bahkan PKL, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Usaha PKL dalam memajukan usahanya terlihat jelas dengan kegigihan mereka dalam mengembangkan usahanya. Jenis usaha PKL yang tergolong dalam jenis usaha kecil sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil seharusnya bisa lebih berkembang dengan tidak mengganggu kelangsungan kegiatan publik. Pada Kenyataannya, keberadaan PKL di kota-kota besar kerap menimbulkan masalah baik bagi pemeritah setempat, para pemilik toko, dan pengguna jalan. Tidak sedikit para pemilik toko dan pengguna jalan, merasa terganggu dengan banyaknya PKL. Hal ini disebabkan karena semakin melebarnya tempat yang digunakan para PKL untuk menjajakan dagangannya. Dalam hal ini pemerintah sudah menghimbau agar sebelah luar trotoar diberi ruang untuk taman, resapan air dan sekaligus sebagai kawasan berdagang PKL. Dan pada akhirnya semua kesalahan ditujukan kepada PKL yang telah memakan ruas jalan dalam usaha menggelar jajanannya. Pedagang Kaki Lima yang semakin hari semakin bertambah banyak jumlahnya, tentunya membutuhkan tempat yang memadai untuk menampung semua pedagang kaki lima tersebut. Keberadaan pedagang kaki lima tersebut dipandang masyarakat sangat mengganggu ketertiban dan kebersihan kota. Adanya PKL yang semakin berjubal membuat suasana kota semakin sempit dan gerah. Memperhatikan kondisi tersebut, Pemerintah Surakarta sudah mengadakan tindakan berupa relokasi Pedagang Kaki Lima yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan PKL tersebut. Relokasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan apabila tidak terpenuhinya daerah-daerah yang digunakan untuk berdagang para PKL tersebut. Menurut Rudi 2011: 7, “Terhitung pada tahun 2006 ada sekitar 5.817 PKL yang menempati tempat-tempat umum dan akan menimbulkan kekacauan tata kota. Alasan tersebut yang menjadi tonggak awal pemerintah perlu melakukan suatu penataan PKL, dan sekaligus untuk mengembalikan fungsi tata ruang kota seperti semula”. Keputusan pemerintah untuk merelokasi para Pedagang Kaki Lima tersebut direspon negatif oleh PKL. Mereka PKL merasa sangat dirugikan atas keputusan pemerintah yang dirasa tidak adil untuk mereka. Namun, kebijakan tersebut sudah dibuat dan harus dijalankan oleh para Pedagang Kaki Lima tersebut meskipun sampai saat ini mereka PKL belum mendapatkan tempat yang layak untuk berdagang dan belum mendapatkan kepastian yang lebih jelas dari pemerintah kota. “Sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah mimpi jika berharap pemerintah dapat memfasilitasi dan memberi lahan khusus agar lingkungan kelihatan cantik, sedangkan aparat masih memperdagangkan emperan gedung, trotoar dan lahan-lahan kosong dengan harga tinggi dan tiap bulan mengutip “pajak liar” Anonim a, 2007, para:3. Kebijakan pemerintah tersebut tidak akan berbuah pada isapan jari semata jika seluruh komponen, baik PKL, masyarakat maupun pemerintah berkerjasama untuk mewujudkan tujuan bersama dan dapat mendatangkan suatu keuntungan bagi PKL, masyarakat maupun pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh Budi 2009:4: Setiap pemerintah daerah berupaya mengembangkan berbagai strategi atau kebijakan untuk menangani persoalan PKL dari mulai yang bersifat persuasif hingga represif. Pilihan strategi terkait dengan cara pandang pemerintah terhadap PKL. Jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi sosial ekonomi yang bisa dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya akan lebih diarahkan untuk menata PKL, misalnya dengan memberikan ruang usaha bagi PKL, memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit bank, dan lainnya. Namun sebaliknya, jika PKL hanya dilihat sebagai pengganggu ketertiban dan keindahan kota, maka mereka akan menjadi sasaran penggusuran dan penertiban. Dalam hal ini, pemerintah kota Surakarta telah menggunakan beberapa strategi untuk menangani PKL, yaitu dengan relokasi, shelterisasi, tendanisasi, gerobakisasi. Dengan demikian, perlu adanya perombakan kebijakan yang dapat melindungi dan menjamin keberadaan Pedagang Kaki Lima tersebut. Timbulnya berbagai macam permasalahan yang dihadapi PKL di kota Surakarta tersebut, maka Pemerintah Kota Pemkot Surakarta membuat sebuah kebijakan baru berupa Peraturan Daerah Perda Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum, dan kebersihan lingkungan. Guna mengetahui apakah Peraturan Daerah kota Surakarta tentang PKL sudah sesuai dengan konsep kesejahteraan sosial, maka dalam penelitian ini, penul is mengambil judul “DAMPAK RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI SURAKARTA”.

1.2. Identifikasi Masalah