BAB 2 DEMAM BERDARAH DENGUE 2.1 Definisi

(1)

BAB 2

DEMAM BERDARAH DENGUE 2.1 Definisi

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeniadan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock

syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok

(Suhendro, Nainggolan, Chen, 2006).

2.2. Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.

Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).


(2)

2.3. Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu :

1) Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dai satu tempat ke tempat lain;

2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;

3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO, 2000).


(3)

2.4. Patogenesis

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah : a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses

netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut

antibody dependent enhancement (ADE);

b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;

c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;

d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.


(4)

Gambar 2.1. Hipot esis secondary heterologus infections (Sumber: Suvatt 1977-dikutip dari Sumarmo, 1983).

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Kurang dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi

Secondary heterologus dengue infections

Virus replication Anamnestic antibody response

Virus antibody complex

Platelet aggregation Coagulation activation Complement activation Impaired platelet Platelet factor Plasmin

function III release Activated Hagemen Anaphylatoxi

Platelet removal by RES

Consumptive Klinin

Thrombocytopeni Kini

Clotting factors Vascular permeablity

Excessive FDP


(5)

berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1) Supresi sumsum tulang, dan

2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi tromobositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi tromobosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (Price, Wilson, 2006).


(6)

Gambar 2.2. Manifestasi klinis infeksi virus dengue (Sumber : Monograph on Dengue/Dengue Haemorrahgic fever, WHO 1983)

2.5. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakit

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD).

Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat (Kabra, Jain, Singhal, 1999).

Dengue virus infection

Asymptomatic Symptomatic

Undifferentiated Dengue fever Dengue haemorrhagic

fever syndrome fever

No shock Dengue shock

Without With unusual syndrome

haemorrhage haemorrhage

Dengue fever Dengue haemorrhagic fever


(7)

2.6. Pemeriksaan penunjang 2.6.1. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :

• Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.

• Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

• Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

• Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

• Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. • SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.


(8)

• Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

• Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.

• Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari.

IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

• Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans. (WHO, 2006)

2.6.2. Pemeriksaan radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. (WHO, 2006)

2.7. Diagnosis

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.

2.7.1. Demam Dengue (DD).

Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

• Nyeri kepala. • Nyeri retro-oebital. • Mialgia / artralgia.


(9)

• Ruam kulit.

• Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif). • Leukopenia.

dan pemeriksaan serologi dengue positif, ayau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

2.7.2. Demam Berdarah Dengue (DBD).

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini di bawah ini dipenuhi :

• Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. • Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

- Uji bendung positif.

- Petekie, ekimosis, atau purpura.

- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain.

- Hematemesis atau melena.

• Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).

• Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :

- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. (WHO, 1997)


(10)

2.8. Diagnosis Banding

Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

Sindrom Syok Dengue (SSD).

Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. (Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan, 2006)

2.9. Derajat penyakit infeksi virus dengue

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 1.


(11)

Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue (WHO, 1997).

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD DBD DBD DBD DBD I II III IV

Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, artralgia.

Gejala di atas ditambah uji bendung positif

Gejala di atas ditambah perdarahan spontan

Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)

Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur.

Leucopenia Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Serologi Dengue Positif

DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

2.10. Definisi gambaran enzim transaminase

Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk jenis protein yang disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase adalah sejenis tes yang digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati, yang merupakan protein spesifik yang membantu tubuh untuk memecahkan dan menggunakan (metabolisme) substansi yang lain.Produk ini dapat keluar dari hati dan masuk ke


(12)

aliran darah. Tingkat produk tersebut dapat diukur dalam darah. (Wendon, Williams, 2008).

2.11. Bagian gambaran enzim transaminase

Produk berikut biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim transaminase:

• ALT (alanin aminotransferase), juga dikenal sebagai SGPT (serum glutamik piruvik transaminase)

• AST (aspartat aminotransferase), juga dikenal sebagai SGOT (serum glutamik oksaloasetik transaminase)

(Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).

Tabel 2.2. Nilai Rujukan Gambaran Fungsi Hati

Ukuran Satuan Nilai Rujukan

ALT (SGPT) U/L < 23 (P)

< 30 (L)

AST (SGOT) U/L < 21 (P)

< 25 (L)

2.12. Hasil Tes

Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang berbeda, dan tes fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberi gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin menyebabkan kerusakan, tetapi tes ini tidak mampu mendiagnosis akibat penyakit hati.


(13)

Hasil tes ini juga bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi gambaran yang tepat. Namun biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran mengenai tingkat peradangan (Wendon, Williams, 2008).

2.13. Enzim Hati

ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT. Peradangan pada hati dapat disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat, penggunaan alkohol, dan penyakit pada saluran cairan empedu.

AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam beberapa kasus peradangan hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa (Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).

2.14. Hubungan infeksi dengue dengan gambaran enzim transaminase

Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial ( hepar) yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang


(14)

berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.

Hipotesis tentang patogenesis DBD/SSD seperti antibody-dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh IFN-γ/TNF-α dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/SSD. Menurut Lei HY dkk, 2001, infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.


(15)

Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik.(18) Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8 memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro

oleh Bosch I dkk (2002) melalui kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappaB. Penelitian oleh Bethell dkk (1998) terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD menyebutkan bahwa pada anak dengan SSD ternyata level IL-6 dan soluble intercellular adhesion molecule-1 rendah, hal ini merefleksikan adanya kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya penyakit.


(1)

2.8. Diagnosis Banding

Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

Sindrom Syok Dengue (SSD).

Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. (Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan, 2006)

2.9. Derajat penyakit infeksi virus dengue

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 1.


(2)

Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue (WHO, 1997).

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD DBD DBD DBD DBD I II III IV

Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, artralgia.

Gejala di atas ditambah uji bendung positif

Gejala di atas ditambah perdarahan spontan

Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)

Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur.

Leucopenia Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma

Serologi Dengue Positif

DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

2.10. Definisi gambaran enzim transaminase

Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk jenis protein yang disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase adalah sejenis tes yang digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati, yang merupakan protein spesifik yang membantu tubuh untuk memecahkan dan menggunakan (metabolisme) substansi yang lain.Produk ini dapat keluar dari hati dan masuk ke


(3)

aliran darah. Tingkat produk tersebut dapat diukur dalam darah. (Wendon, Williams, 2008).

2.11. Bagian gambaran enzim transaminase

Produk berikut biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim transaminase:

• ALT (alanin aminotransferase), juga dikenal sebagai SGPT (serum glutamik piruvik transaminase)

• AST (aspartat aminotransferase), juga dikenal sebagai SGOT (serum glutamik oksaloasetik transaminase)

(Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).

Tabel 2.2. Nilai Rujukan Gambaran Fungsi Hati

Ukuran Satuan Nilai Rujukan

ALT (SGPT) U/L < 23 (P)

< 30 (L)

AST (SGOT) U/L < 21 (P)

< 25 (L)

2.12. Hasil Tes

Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang berbeda, dan tes fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberi gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin menyebabkan kerusakan, tetapi tes ini tidak mampu mendiagnosis akibat penyakit hati.


(4)

Hasil tes ini juga bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi gambaran yang tepat. Namun biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran mengenai tingkat peradangan (Wendon, Williams, 2008).

2.13. Enzim Hati

ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT. Peradangan pada hati dapat disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat, penggunaan alkohol, dan penyakit pada saluran cairan empedu.

AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam beberapa kasus peradangan hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa (Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).

2.14. Hubungan infeksi dengue dengan gambaran enzim transaminase

Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial ( hepar) yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang


(5)

berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.

Hipotesis tentang patogenesis DBD/SSD seperti antibody-dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh

IFN-γ/TNF-α dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/SSD. Menurut Lei HY dkk, 2001, infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.


(6)

Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik.(18) Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8 memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro

oleh Bosch I dkk (2002) melalui kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappaB. Penelitian oleh Bethell dkk (1998) terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD menyebutkan bahwa pada anak dengan SSD ternyata level IL-6 dan soluble intercellular adhesion molecule-1 rendah, hal ini merefleksikan adanya kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya penyakit.