Evaluasi Kadar Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) Menggunakan Analisis Citra Berbasis Red Green Blue

EVALUASI KADAR KURKUMINOID RIMPANG TEMULAWAK
(Curcuma xanthoriza Roxb.) MENGGUNAKAN ANALISIS
CITRA BERBASIS Red Green Blue

FARID WAJDI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Kadar
Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) Menggunakan
Analisis Citra Berbasis Red Green Blue adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Farid Wajdi
NIM G84100002

ABSTRAK
FARID WAJDI. Evaluasi Kadar Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma
xanthoriza Roxb.) Menggunakan Analisis Citra Berbasis Red Green Blue.
Dibimbing oleh EDY DJAUHARI PK. dan RUDI HERYANTO.
Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) adalah salah satu komoditas
bahan alam andalan Indonesia. Kualitas temulawak ditentukan oleh kadar
kurkuminoid. Analisis kadar kurkuminoid dapat dilakukan secara
spektrofotometri, titrasi volumetrik, atau kromatografi, namun metode ini bersifat
destruktif dan membutuhkan waktu yang lama. Salah satu analisis yang cepat,
mudah, dan nondestruktif adalah analisis citra. Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi kadar kurkuminoid temulawak menggunakan analisis citra berbasis
red green blue (RGB). Pengambilan foto untuk analisis citra menggunakan USB
Digital Microscope dengan perbesaran 800x dan pengukuran kadar kurkuminoid
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 420 nm. Data

membuktikan bahwa nilai RGB berbanding lurus dengan kadar kurkuminoid.
Hasil ini dapat dijadikan sebagai parameter untuk membedakan temulawak umur
panen 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan. Persamaan yang diperoleh untuk
memprediksi kadar kurkuminoid adalah y = - 0,22 - 0,0062 R + 0,0643 G - 0,0330
B, R² = 96,1%.
Kata kunci: analisis citra, kurkuminoid, RGB, temulawak

ABSTRACT
FARID WAJDI. Evaluation Content of Curcuminoid in Turmeric (Curcuma
xanthoriza Roxb.) Using Image Analysis Based on Red Green Blue. Supervised
by EDY DJAUHARI PK. and RUDI HERYANTO.
Turmeric (Curcuma xanthoriza Roxb.) is one of the important natural
product in Indonesia. Quality of turmeric is dictated by content of curcuminoid.
The curcuminoid content could be determined by spectrophotometry, titration
volumetry, or chromatography, but those analytical methods are destructive to the
material and need long time. One of rapid and nondestrucive method is image
analysis. The objectives of this research were to evaluate content of curcuminoid
using image analysis based on red green blue (RGB). Picture taking for image
analysis was using USB Digital Microscope with enlargement 800x and
curcuminoids were measured using spectrophotometry Uv-Vis at wavelength of

420 nm. The data showed that RGB value is equivalent with the content of
curcuminoid. The result can be used as parameter to differentiate turmeric with
harvest age 3, 6, and 9 months. The obtained equation of predicted content of
curcuminoid is y = - 0,22 - 0,0062 R + 0,0643 G - 0,0330 B, R² = 96,1%.
Keywords: image analysis, curcuminoid, RGB, turmeric.

EVALUASI KADAR KURKUMINOID RIMPANG TEMULAWAK
(Curcuma xanthoriza Roxb.) MENGGUNAKAN ANALISIS
CITRA BERBASIS Red Green Blue

FARID WAJDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Evaluasi Kadar Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma
xanthoriza Roxb.) Menggunakan Analisis Citra Berbasis Red
Green Blue
Nama
: Farid Wajdi
NIM
: G84100002

Disetujui oleh

Drs Edy Djauhari PK. MSi
Pembimbing I

Rudi Heryanto, SSi MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Ir I Made Artika, MApp Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Desember 2013 ini adalah analisis citra, dengan judul Evaluasi Kadar
Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) Menggunakan
Analisis Citra Berbasis Red Green Blue.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drs Edy Djauhari PK. MSi dan Rudi
Heryanto SSi MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta kakak atas
segala doa dan kasih sayangnya serta Nurjaelani Siddik dan Agustina Diprianti
atas bantuannya selama penelitian.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam karya ilmiah ini. Oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa
mendatang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Farid Wajdi

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

METODE


2

Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Percobaan
HASIL

2
2
2
2
4

PEMBAHASAN

6

SIMPULAN DAN SARAN


11

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

11
11
12

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4

Regresi linear kadar kurkuminoid terhadap nilai RGB
Regresi linear rasio nilai RGB (rgb) terhadap kadar kurkuminoid
Regresi linear kadar kurkuminoid umur panen berbeda terhadap nilai RGB
Pencampuran warna aditif

5
6
6
8

DAFTAR TABEL
1 Kategori interpretasi koefisien korelasi (r)
2 Kadar air dan nilai RGB pada setiap pengeringan
3 Perbandingan kadar kurkuminoid hasil penelitian dengan hasil prediksi


4
5
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Alur penelitian
15
Kadar air dan kadar kurkuminoid pada setiap pengeringan
16
Nilai RGB dan kadar kurkuminoid dengan kadar air < 10%
18
Regresi linear standar kurkuminoid

18
Analisis korelasi nilai RGB terhadap kadar kurkuminoid
19
Analisis korelasi nilai RGB hasil crop terhadap kadar kurkuminoid
20
Analisis korelasi nilai RGB hasil seleksi warna kuning terhadap kadar
kurkuminoid
21
8 Pola crop foto potongan melintang (40x40) piksel dan (1x1) piksel
21
9 Foto potongan melintang rimpang temulawak umur panen 9 bulan
22
10 Foto potongan melintang rimpang temulawak umur panen berbeda
23

PENDAHULUAN
Permintaan pasar terhadap bahan baku obat saat ini terus mengalami
peningkatan karena adanya trend baru masyarakat untuk menggunakan bahan
alam sebagai pengganti bahan-bahan sintetis. Salah satu komoditas bahan alam
andalan Indonesia adalah temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) (Cahyono et al.
2011). Temulawak sebagai bahan baku obat harus bermutu tinggi. BPOM (2005)
menegaskan bahwa obat herbal harus memenuhi persyaratan yang meliputi mutu,
keamanan, dan khasiat. Mutu temulawak dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
penanganan budidaya hingga proses pascapanen. Budidaya yang standar harus
mengacu pada Standar Operational Procedure (SOP), yang meliputi pemilihan
varietas (aksesi), lokasi, jenis, dan kesuburan tanah serta kondisi iklim (curah
hujan, suhu udara, kelembaban, dan intensitas sinar matahari).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa komponen aktif utama yang
terdapat pada temulawak adalah xanthorizol dan kurkuminoid. Xanthorizol
berpotensi sebagai antibakteri Streptococcus mutans (Rukayadi dan Hwang 2006),
antifungi spesies Candida (Rukayadi et al. 2006), antikanker, dan antiimflamasi
(Lee et al. 2002) serta sebagai neuroproteksi (Lim et al. 2005). Kurkuminoid
berkhasiat sebagai antioksidan, antiimflamasi, antibakteri, antihepatotoksik,
antikolesterol, dan antikanker (Sidik 1992) serta sebagai inhibitor selektif enzim
siklooksigenase-1 (COX-1) Handler et al. (2007).
Kurkuminoid merupakan golongan senyawa berwarna kuning pada tanaman
marga Curcuma, termasuk temulawak dan kunyit (Supriadi 2008). Semakin tinggi
kadar kurkuminoid temulawak maka semakin baik kualitasnya. Kurkuminoid
adalah bagian dari senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada vakuola (Fahn
2000). Kadar kurkuminoid dapat dianalisis secara spektroskopi sinar tampak,
titrasi volumetrik, atau kromatografi (Supriadi 2008). Metode-metode ini
memberikan hasil yang akurat, tetapi destruktif terhadap bahan dan membutuhkan
waktu analisis yang lama. Salah satu metode alternatif untuk menentukan kadar
kurkuminoid secara nondestruktif dan cepat adalah analisis citra.
Analisis citra adalah analisis yang memanfaatkan tiga komponen warna
utama, yaitu red, green, dan blue (RGB). Analisis citra sudah pernah diterapkan
pada penentuan kadar klorofil daun kentang (Yudav et al. 2010). Oleh karena itu
perlu diketahui hubungan antara nilai RGB rimpang temulawak dengan kadar
kurkuminoidnya.
Sampel temulawak yang digunakan pada penelitian ini adalah temulawak
varietas Tembalang, Batok, Cursina I, Cursina II, dan Cursina III umur panen 9
bulan serta jenis Semarang umur panen 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan. Temulawak
umur panen 9 bulan tumbuh pada lingkungan yang berbeda. Sebagai hasil
metabolit sekunder tanaman, produksi kurkuminoid dipengaruhi oleh keberadaan
dan pertumbuhan tanaman di lapangan yang ditentukan oleh beberapa faktor
lingkungan (Kristina et al. 2007), meliputi cahaya matahari, suhu udara,
lingkungan atmosfer (CO2, O2, dan kelembaban), dan lingkungan perakaran (sifat
kimia dan fisika tanah) serta ketersediaan air di dalam tanah (Nitisapto dan Siradz
2005). Alat yang digunakan untuk pengambilan foto adalah USB Digital
Microscope karena lebih sederhana dan sudah dilengkapi dengan 8 lampu LED

2
untuk menambah pencahayaan serta ukurannya lebih kecil sehingga
mempermudah dalam pemakaian.
Pada penelitian ini telah dilakukan analisis kadar air, kadar kurkuminoid,
dan penentuan nilai RGB temulawak. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi
hubungan nilai RGB terhadap kadar kurkuminoid rimpang temulawak pada umur
panen yang sama (9 bulan) dan umur panen berbeda (3 bulan, 6 bulan, dan 9
bulan). Penelitian ini diharapkan dapat mempermudah proses pemilihan
temulawak dengan mutu terbaik melalui analisis citra.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2013-Maret 2014.
Pelaksanaan penelitian ini bertempat di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka
LPPM IPB, Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah rimpang temulawak segar yang
diperoleh dari koleksi kebun Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, metanol, dan
tetrahidrofuran.
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah spektrofotometer UV-Vis tipe U-2800
Hitachi, neraca analitik Santorius TE 214S, oven Memert, USB Digital
Microscope, dan alat-alat gelas. Perangkat keras yang digunakan adalah
seperangkat komputer. Perangkat lunak yang digunakan adalah Adobe Photoshop
CS3, Minitab 16, dan Matlab 2010.
Prosedur Percobaan
Penanganan Pascapanen dan Penentuan Kadar Air Rimpang Segar
Penetapan kadar air rimpang segar menggunakan metode Depkes (1989)
yang diacu dalam Supriadi (2008). Rimpang temulawak segar dibersihkan dari
akar rimpang dan tanah. Seluruh sampel dicuci bersih dan dipotong dengan
ketebalan 1-5 mm. Langkah selanjutnya dilakukan pengeringan rimpang
temulawak. Cawan porselin dikeringkan pada suhu 105°C selama 30 menit, lalu
ditempatkan di dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak ± 2 g sampel ditimbang
dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh bobot yang tetap.
Setelah itu didinginkan dan ditimbang dengan neraca analitik, pekerjaan ini
dilakukan rangkap tiga. Adapun rumus perhitungan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
− −
Kadar air rimpang segar (%) =
×100%
Keterangan: a: bobot cawan kosong; b: bobot sampel; c: bobot akhir

3
Pengambilan Foto
Pengambilan foto potongan melintang rimpang temulawak mengacu pada
metode Orava (2012) yang telah dimodifikasi menggunakan USB Digital
Microscope dengan perbesaran 800x. Objek diletakkan di atas kaki (penyangga)
USB Digital Microscope. Pengambilan foto dilakukan tegak lurus dengan jarak 23 cm. Lampu LED USB Digital Microscope dinyalakan untuk menambah
pencahayaan. Fokus diatur sedemikian rupa sehingga objek yang akan difoto
terlihat jelas. Setelah itu dilakukan pengambilan foto dan secara otomatis foto
akan tersimpan pada komputer dalam format .jpeg. Semua pengaturan
dipertahankan konstan untuk pengambilan foto semua sampel.
Pengeringan
Pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air. Penetapan kadar air
hasil pengeringan menggunakan metode Depkes (1995) yang dimodifikasi. Cawan
porselin dikeringkan pada suhu 105°C selama 30 menit, lalu ditempatkan di dalam
eksikator dan ditimbang. Sebanyak ±3 gram sampel temulawak dimasukkan ke
dalam cawan porselin. Sampel beserta cawannya dikeringkan pada suhu 80°C
selama 6 jam dan selanjutnya dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang.

×100%
Kadar air =
Keterangan: a: bobot sampel sebelum dikeringkan; b: bobot sampel setelah
dikeringkan
Selain itu sampel yang akan ditentukan kadar kurkuminoid dan diambil
fotonya juga dikeringkan pada suhu dan waktu yang sama. Pengeringan dilakukan
sampai diperoleh kadar air < 10%. Setiap selesai pengeringan dilakukan analisis
kadar air, kadar kurkuminoid dan pengambilan foto untuk memperoleh nilai RGB.
Analisis Kadar Kurkuminoid
Analisis kadar kurkuminid mengacu pada metode ASEAN (1993) yang
terdiri atas preparasi standar dan penentuan kadar kurkuminoid sampel temulawak.
Preparasi Standar Kurkuminoid. Standar kurkuminoid dibuat dengan cara
melarutkan standar kurkuminoid dengan konsentrasi 50 ppm, kemudian dilakukan
pengenceran sampai diperoleh konsentrasi 0.5, 1, 2, 4, 8, dan 10 ppm. Setelah itu
dilakukan pengukuran serapan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 420 nm.
Penentuan Kadar Kurkuminoid Temulawak. Sebanyak 0.3 g sampel
kurkuminoid ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml.
Setelah itu ditambah tetrahidrofuran (THF) sampai tanda batas dan disimpan
selama 24 jam pada suhu kamar. Campuran diaduk secara periodik. Setelah 24
jam, supernatan temulawak diambil dan diencerkan dengan metanol hingga 100
kali dengan volume 10 mL. Kemudian dikocok sampai larut sempurna dan larutan
tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 420 nm.
Penentuan Nilai RGB
Foto potongan melintang rimpang temulawak yang diperoleh dari USB
Digital Microscope dipindahkan ke Adobe Photoshop CS3 untuk menentukan
nilai RGB-nya. Penentuan nilai RGB dilakukan pada 1 titik, 3 titik, dan 5 titik dari
masing-masing sampel. Nilai RGB yang diperoleh dari Adobe Photoshop CS3
dipindahkan ke Microsoft Excel untuk memperoleh masing-masing rataannya.

4
Penentuan nilai RGB satu gambar utuh menggunakan software Matlab 2010.
Selain itu dihitung juga rasio masing-masing nilai RGB dengan rumus sebagai
berikut:
R
G
Rasio R (r):
; Rasio G (g):
Rasio B (b):

R+G+B
B

R+G+B

R+G+B

(Yudav et al. 2010)

Analisis Data
Hubungan nilai RGB 1 titik, 3 titik, 5 titik, dan RGB satu gambar utuh
dengan kadar kurkuminoid dianalisis dengan uji korelasi dan dilanjutkan dengan
uji regresi linear berganda pada selang kepercayaan 95% (taraf nyata 5%). Uji
regresi linear berganda hanya dilakukan terhadap nilai RGB yang berkorelasi
paling kuat terhadap kadar kurkuminoid untuk memperoleh persamaan dalam
memprediksi kadar kurkuminoid dari nilai RGB. Hipotesis uji korelasi adalah
sebagai berikut:
Ho: tidak ada korelasi antara nilai RGB dengan kadar kurkuminoid
H1: ada korelasi antara nilai RGB dengan kadar kurkuminoid
Pengambilan keputusan :
P-value > 0.05, maka Ho diterima
P-value < 0.05, maka H1 diterima atau tolak Ho

HASIL
Nilai RGB dan Kadar Kurkuminoid
Nilai RGB foto potongan melintang rimpang temulawak ditentukan pada 1
titik, 3 titik, dan 5 titik menggunakan software Adobe Photoshop CS3 sedangkan
nilai RGB satu gambar utuh dengan software Matlab 2010. Hasil uji korelasi
membuktikan bahwa nilai RGB satu gambar utuh berkorelasi paling kuat terhadap
kadar kurkuminoid dengan koefisien korelasi masing-masing adalah 0.590, 0.588,
dan 0.678. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh ini termasuk dalam kategori
korelasi kuat (Tabel 1). Selanjutnya nilai RGB yang dikorelasikan dengan kadar
kurkuminoid adalah nilai RGB satu gambar utuh. Kadar kurkuminoid yang
diperoleh pada setiap tahap pengeringan berbeda-beda, tetapi yang dikorelasikan
dengan nilai RGB adalah kadar kurkuminoid setelah kadar air dibawah 10%.
Tabel 1 Kategori interpretasi koefisien korelasi (r) (Sarwono 2009)
r (+/-)
0
0,00-0,25
0,25-0,50
0,50-0,75
0,75-0,99
1

Kategori
Tidak ada korelasi
Korelasi sangat kuat
Korelasi lemah
Korelasi kuat
Korelasi sangat kuat
Korelasi sempurna

Kadar Air terhadap Nilai RGB
Pada penelitian ini dilakukan pengeringan potongan melintang rimpang
temulawak selama 6 jam dengan suhu 80°C dan setiap selesai pengeringan

5
dilakukan analisis kadar air, kadar kurkuminoid, dan pengambilan foto.
Pengeringan dilanjutkan dengan suhu dan waktu yang sama sampai diperoleh
kadar air < 10%, yaitu setelah 3 kali pengeringan. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kadar air berpengaruh terhadap nilai RGB, tetapi tidak ditemukan polanya
(Tabel 2). Oleh karena itu untuk selanjutnya nilai RGB yang dikorelasikan dengan
kadar kurkuminoid adalah nilai RGB yang diperoleh setelah kadar air < 10%.
Tabel 2 Kadar air dan nilai RGB pada setiap pengeringan
Kondisi

Ulangan
Kadar air (%)
1
77,8265
segar
2
77,6602
3
77,0736
1
75,2883
PI
2
74,6618
3
72,2637
1
20,9954
PII
2
20,0642
3
18,5915
1
3,9102
PIII
2
3,7578
3
3,3677
PI,II,III: Pengeringan 80oC 6 jam ke-1, ke-2, ke-3

R
144,7764
142,8259
143,2993
105,3974
119,4011
116,7653
125,4169
122,8134
130,1874
114,0417
113,9941
113,9099

G
137,8821
141,9212
141,9676
102,8659
120,7607
112,9208
124,6510
121,4933
125,1476
109,6169
109,4735
109,4140

B
128,8358
126,2996
129,9492
96,8708
117,9805
108,603
122,3798
115,3995
122,4805
99,3348
99,3799
99,2275

Hubungan Nilai RGB dengan Kadar Kurkuminoid Temulawak Umur Panen
9 bulan
Gambar 1 dan 2 menunjukkan regresi linear kadar kurkuminoid terhadap
nilai RGB dan rasio nilai RGB (rgb). Persamaan regresi linear yang diperoleh
untuk memprediksi kadar kurkuminoid adalah, y = 2,38 + 0,0120 R - 0,0557 G +
0,0488 B dengan nilai R²= 59,4% dan y = 20,4 - 18,4 r - 33,8 g, dengan nilai R²=
57,3%. Pengubahan nilai RGB menjadi bentuk rasionya tidak meningkatkan nilai
R², sehingga untuk selanjutnya tidak dilakukan pengubahan ke dalam bentuk rasio.

RGB

Hubungan Nilai RGB dengan Kadar Kurkuminoid Temulawak Umur Penen
Berbeda (3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan)
Gambar 3 menunjukkan regresi linear kadar kurkuminoid temulawak umur
panen berbeda terhadap nilai RGB. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
umur panen sebanding dengan kadar kurkuminoid dan nilai RGB sampai umur
panen 9 bulan. Persamaan regresi linear yang diperoleh untuk memprediksi kadar
kurkuminoid adalah, y = - 0,22 - 0,0062 R + 0,0643 G - 0,0330 B, R²= 96,1%.
140
120
100
80
60
40
20
0

y = 20,548x + 60,934R² = 0,3477 Red

R

y = 22,373x + 52,037 R² = 0,3455 Green
y = 32,626x + 18,178 R² = 0,4596 Blue

G
B

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

Kadar kurkuminoid (%b/b)

Gambar 1 Regresi linear kadar kurkuminoid terhadap nilai RGB

6
0,3600
0,3500
Nilai rgb

0,3400
0,3300

0,3200

y = -0,0154x + 0,3895 R² = 0,3817 red

R

y = -0,0086x + 0,3589 R² = 0,388 green

g

y = 0,024x + 0,2516 R² = 0,5497 blue

b

0,3100
0,3000
0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

Kadar kurkuminoid (%b/b)

Gambar 2 Regresi linear kadar kurkuminoid terhadap rasio nilai RGB (rgb)
160
140

9 bulan

Nilai RGB

120

6 bulan

100
80

Red

60

3 bulan

40

y = 36,529x + 21,587 R² = 0,7684
Green y = 41,855x + 3,2332 R² = 0,9337
Blue
y = 45,107x - 6,2196 R² = 0,8926

20
0
0

0,5

1

1,5
2
2,5
Kadar kurkuminoid (%b/b)

3

3,5

Gambar 3 Regresi linear kadar kurkuminoid temulawak umur panen berbeda
terhadap nilai RGB

PEMBAHASAN
Nilai RGB dan Kadar Kurkuminoid
Kurkuminoid merupakan golongan senyawa berwarna kuning pada
tanaman marga Curcuma, termasuk temulawak dan kunyit (Supriadi 2008).
Warna kuning adalah warna yang terbentuk dari campuran warna pokok merah
dan hijau (Yoga 2004). Pada pembacaan nilai RGB ada nilai biru (blue) yang
terbaca. Hal ini diduga karena rimpang temulawak tidak hanya mengandung
kurkuminoid. Penelitian yang dilakukan Sidik et al. (1992) mengungkapkan
bahwa kandungan kimia rimpang temulawak dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu
fraksi pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri. Selain ketiga fraksi tersebut masih
terdapat kandungan lain, yaitu lemak, serat kasar, dan protein. Fraksi pati pada
rimpang temulawak merupakan fraksi dalam jumlah paling besar dan berbentuk
bubuk berwarna putih kekuningan. Warna putih terbentuk dari campuran warna
merah, hijau, dan biru (Gambar 4).

7
Nilai RGB foto potongan melintang rimpang temulawak ditentukan pada 1
titik, 3 titik, 5 titik, dan satu gambar utuh. Pemilihan ini atas dasar tidak
diketahuinya bagian yang merupakan vakuola dari potongan melintang rimpang
temulawak. Vakuola adalah kantung berisi cairan dan diselaputi membran yang
disebut tonoplas. Jumlah dan ukuran vakuola sangat bergantung pada tipe sel dan
tahap perkembangannya. Vakuola pada tanaman merupakan organel yang cukup
besar dan mengisi lebih dari 30% volume sel, sedangkan pada sel yang matang
vakuola bisa mencapai 90% dari volume sel. Vakuola menyimpan berbagai jenis
molekul, seperti ion anorganik, asam anorganik, gula, enzim, protein simpanan,
dan metabolit sekunder (Heldt 2004). Pemilihan potongan melintang sebagai
objek yang difoto karena yang diamati adalah perubahan warna setiap
pengeringan, bukan struktur anatomi sehingga tidak ada perbedaan dengan
potongan membujur. Penentuan nilai RGB 1 titik, 3 titik, dan 5 titik dilakukan
karena lebih mudah dalam pengaplikasian jika dibandingkan dengan penentuan
nilai RGB satu gambar utuh. Hasil uji korelasi membuktikan bahwa nilai RGB
satu gambar utuh berkorelasi paling tinggi terhadap kadar kurkuminoid dan
koefisien korelasi yang diperoleh tergolong dalam kategori korelasi kuat
(Lampiran 5).
Alternatif lain yang sudah dilakukan untuk meningkatkan koefisien
korelasi antara nilai RGB dengan kadar kurkuminoid adalah foto potongan
melintang di-crop dengan ukuran (40x40) piksel pada 5 bagian yang berbeda
dengan tetap mengikuti pola penentuan nilai RGB 1 titik, 3 titik, dan 5 titik
(Lampiran 8). Hal ini dilakukan atas dasar ukuran (1x1) piksel ada kemungkinan
sangat kecil sehingga dikhawatirkan bukan bagian vakuola yang mengandung
kurkuminoid yang terdeteksi dalam penentuan nilai RGB. Foto hasil crop
selanjutnya ditentukan nilai RGB-nya menggunakan software Matlab 2010. Cara
ini ternyata tidak menghasilkan koefisien korelasi yang lebih tinggi dibandingkan
koefisien korelasi yang diperoleh dari nilai RGB satu gambar utuh terhadap kadar
kurkuminoid (Lampiran 6). Selain itu untuk meningkatkan koefisien korelasi juga
dilakukan seleksi warna kuning pada foto menggunakan software Adobe
Photoshop CS3. Langkah selanjutnya dilakukan penentuan nilai RGB dengan
menggunakan software Matlab 2010. Hasil penentuan nilai RGB tetap
menghasilkan keluaran nilai RGB, seharusnya hanya ada nilai R dan G, karena
warna kuning terbentuk dari campuran warna merah dan hijau (Gambar 4).
Adanya keluaran nilai B disebabkan oleh latar belakang transparan tetap dibaca
sebagai warna putih oleh software Matlab 2010. Menurut Yoga (2004) warna
putih adalah warna yang terbentuk dari campuran warna merah, hijau, dan biru
(RGB), sehingga tetap ada nilai B. Koefisien korelasi yang dihasilkan juga tidak
lebih tinggi dibandingkan koefisien korelasi yang diperoleh dari nilai RGB satu
gambar utuh terhadap kadar kurkuminoid (Lampiran 7).
Kadar kurkuminoid yang dikorelasikan dengan nilai RGB adalah kadar
kurkuminoid setelah pengeringan ke-3 karena pada setiap pengeringan
menghasilkan kadar kurkuminoid yang berbeda-beda (Lampiran 2). Kadar
kurkuminoid satu sampel seharusnya tidak akan berbeda karena sampel yang
dianalisis merupakan sampel yang sama, tetapi pengeringan mengakibatkan
menguapnya air sehingga menaikkan konsentrasi fraksi lain yang tertinggal.
Harbone (1987) mengungkapkan bahwa kandungan metabolit sekunder antara
simplisia dan ekstrak kasar pada dasarnya sama. Perbedaan hanya terletak pada

8
jumlah yang dapat terdeteksi. Hal ini disebabkan oleh proses ekstraksi dengan
pelarut dapat merusak vakuola sel yang mengandung metabolit sekunder sehingga
mempermudah melarutkannya. Selain itu Cahyono et al. (2011) menyatakan
bahwa kadar kurkuminoid sampel yang dikeringkan cenderung lebih besar dari
pada sampel segar. Hal ini terjadi karena pengeringan dapat meratakan
penyebaran kurkuminoid dalam rimpang temulawak sehingga memudahkan
pelarut mengekstrak kurkuminoid. Pigmen kurkuminoid yang terdapat dalam
rimpang temulawak segar berada bersama-sama dengan minyak atsiri di dalam
oleoresin dan kurkuminoid tidak merata bahkan memusat. Pemanasan rimpang
segar akan memecahkan sel oleoresin dan kurkuminoid menjadi lebih merata
dalam rimpang. Perbedaan kandungan kurkuminoid sampel segar dan sampel
yang mengalami pengeringan juga ditentukan oleh kadar air sampel. Sampel segar
memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan sampel kering sehingga kadar
kurkuminoidnya lebih rendah.

Gambar 4 Pencampuran warna aditif (Yoga 2004)
Kadar Air terhadap Nilai RGB
Kadar air rimpang temulawak menunjukkan besarnya air yang digunakan
tumbuhan sebagai substrat fotosintesis sehingga tingginya kadar air akan
mempengaruhi metabolit yang terbentuk. Semakin tinggi kadar air maka metabolit
yang dihasilkan akan semakin banyak (Putri 2013). Nilai RGB dan kadar air yang
ditentukan adalah saat kondisi segar dan setiap selesai pengeringan sampai
diperoleh kadar air < 10%, yaitu setelah pengeringan selama 18 jam (3 kali
pengeringan dengan suhu dan waktu yang sama).
Pengeringan merupakan proses yang sangat penting dalam pembuatan
simplisia. Tujuan pengeringan adalah menurunkan kadar air sehingga tidak
mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, memudahkan proses pengolahan
selanjutnya, supaya tahan lama dan mudah disimpan. Pengeringan dilakukan
dengan oven pada suhu 80oC selama 6 jam. Zahro et al. (2009) mengungkapkan
bahwa pengeringan dengan oven menghasilkan simplisia berwarna cerah dan
permukaannya berwarna jingga kekuningan (Lampiran 9; 10), sedangkan
simplisia hasil pengeringan sinar matahari berwarna gelap dan terinfeksi oleh
jamur putih. Suhu pengeringan jika menggunakan alat tergantung pada bahan
simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu
30-90oC (Endarsari et al. 2011). Penelitian yang dilakukan Sowbhagya et al.
(2004) membuktikan bahwa senyawa kurkuminoid stabil terhadap panas tetapi
sensitif terhadap cahaya.
Nilai RGB yang dikorelasikan dengan kadar kurkuminoid adalah nilai RGB
yang diperoleh dengan kadar air < 10% karena pada kondisi ini pengaruh kadar
air bisa diminimumkan. Adanya pengaruh kadar air terhadap nilai RGB diduga
karena dengan tingginya kadar air, maka tampilan fisik potongan melintang
temulawak lebih berwarna keputih-putihan dibandingkan temulawak dengan

9
kadar air yang lebih rendah. Warna putih merupakan warna yang terbentuk dari
campuran warna merah, hijau, dan biru. Dominannya warna putih dari pada warna
kuning akan menyebabkan kesalahan yang lebih besar dalam pembacaan nilai
RGB kurkuminoid karena kurkuminoid hanya terbentuk dari campuran warna
merah dan hijau (Gambar 4).
Hubungan Nilai RGB dengan Kadar Kurkuminoid Temulawak Umur Panen
9 bulan
Pemilihan sampel temulawak umur panen 9 bulan atas dasar penelitian yang
dilakukan Adzkiya (2006) yang membuktikan bahwa pada bulan ke-9 kadar air
temulawak menurun drastis dibandingkan bulan sebelumnya. Sintesis
kurkuminoid terjadi pada saat tanaman mengalami kekurangan air karena
kurkuminoid merupakan senyawa hasil metabolit sekunder. Analisis kadar
kurkuminoid menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
420 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum yang diserap oleh
kurkuminoid. Spektrofotometer UV-Vis merupakan suatu spektroskopi absorpsi
berdasarkan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang 160-780 nm (Skoog
et al. 2003). Prinsip penggunaan spektrofotometer berdasarkan hukum LambertBeer, yaitu setiap lapisan dengan ketebalan yang sama dari sebuah medium
penyerap akan menyerap sejumlah fraksi yang sama dari energi radiasi yang
melewatinya. Fraksi energi radiasi yang dipancarkan oleh medium penyerap
dengan ketebalan tertentu tidak bergantung pada intensitas radiasi yang datang
dengan syarat radiasi tersebut tidak merusak secara fisik maupun kimia terhadap
medium. Perumusan dari hukum Lambert-Beer adalah: I/Io=T, dengan I: radiasi
yang dipancarkan; Io: radiasi yang datang; dan T: transmisi (Bintang 2010).
Pelarut yang digunakan untuk analisis kadar kurkuminoid adalah
tetrahidrofuran (THF). Tetrahidrofuran digunakan sebagai pengekstrak
kurkuminoid yang paling baik dibandingkan etanol, aseton, dan etilasetat. Hal ini
atas dasar penelitian Batubara et al. (2004) yang melakukan pemisahan ekstrak
temulawak menggunakan kromatografi lapis tipis. Ekstrak THF memunculkan 5
noda pada plat kromatografi lapis tipis yang berarti memiliki jenis zat yang lebih
banyak dari pada ekstrak etilasetat yang hanya berjumlah 4 noda. Selain itu
intensitas warna kurkuminoid terbentuk pada pelat kromatografi lapis tipis pada
ekstrak THF. Pengukuran kadar kurkuminoid rimpang temulawak dilakukan
pengenceran 100 kali dari konsentasi semula karena absorbansi sampel tidak
masuk dalam jarak (range) standar, yaitu antara 0.5-10 ppm. Kadar kurkuminoid
sampel diperoleh dengan cara menghitung menggunakan persamaan dari kurva
standar (Lampiran 4).
Kadar kurkuminoid diprediksi dari nilai RGB yang menghasilkan
koefisien korelasi paling tinggi terhadap kadar kurkuminoid, yaitu dari nilai RGB
satu gambar utuh. Koefisien korelasi adalah koefisien yang menggambarkan
tingkat keeratan hubungan linear antara dua peubah atau lebih. Nilai koefisien
korelasi tidak menggambarkan hubungan sebab akibat antara dua peubah atau
lebih, tetapi hanya menggambarkan keterkaitan linear antara peubah. Koefisien
korelasi dinotasikan dengan r dan nilainya berkisar antara -1 sampai 1 (-1 ≤ r ≤ 1).
Nilai r yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan semakin erat hubungan linear
antara kedua peubah, sedangkan nilai r yang mendekati nol menggambarkan
hubungan kedua peubah tidak linear (Mattjik 2006). Nilai r yang diperoleh dari

10
masing-masing nilai RGB terhadap kadar kurkuminoid berturut-turut adalah
0.590, 0.588, dan 0,678, sedangkan untuk rasio RGB (rgb) terhadap kadar
kurkuminoid berturut-turut adalah -0.618, -0.623, dan 0.741 (lampiran 5). Yudav
et al. (2010) menyatakan bahwa gangguan oleh pencahayaan bisa diatasi dengan
cara mencari rasio masing-masing nilai RGB (rgb).
Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa hubungan kadar
kurkuminoid dengan nilai RGB menghasilkan R² sebesar 59,4%, artinya hanya
59,4% kadar kurkuminoid yang dijelaskan oleh model, sedangkan 40,6%
dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Rendahnya nilai R² diduga karena kadar
kurkuminoid dari 5 sampel hampir tidak berbeda nyata meskipun nilai yang
diperoleh cukup bervariasi (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa metode
analisis citra berbasis RGB kurang tepat dipakai untuk membedakan temulawak
dengan kadar kurkuminoid yang hampir sama satu sama lain karena nilai R² jauh
dari 100%. Hasil analisis regresi linear berganda antara kadar kurkuminoid
dengan nilai rgb menghasilkan R² sebesar 57,3%. Hal ini membuktikan bahwa
pengubahan nilai RGB menjadi bentuk rasionya tidak meningkatkan R². Adapun
faktor yang menyebabkan normalisasi RGB tidak mampu meningkatkan R²
karena USB Digital Microscope sudah dilengkapi dengan 8 lampu LED sehingga
gangguan oleh pencahayaan sangat kecil. Kadar kurkuminoid yang diprediksi
menggunakan model persamaan RGB menghasilkan nilai galat sebesar 0,1918.
Baranska et al. (2005) menyatakan bahwa kebaikan model dilihat dari nilai R² dan
nilai galat. Nilai R² harus bernilai tinggi, sedangkan nilai galat harus bernilai
rendah.
Hubungan Nilai RGB dengan Kadar Kurkuminoid Temulawak Umur Penen
Berbeda (3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan)
Tanaman menghasilkan metabolit yang berasal dari proses metabolisme
primer dan metabolisme sekunder selama pertumbuhan. Hasil metabolisme primer
adalah senyawa yang digunakan untuk pertumbuhan seperti karbohidrat, protein,
lemak, sitokrom, dan klorofil, sedangkan senyawa kimia yang termasuk metabolit
sekunder antara lain kelompok senyawa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid.
Metabolit sekunder tidak digunakan untuk pertumbuhan tanaman (Salisbury &
White 1987). Flavonoid misalnya, berperan sebagai pengendali pertumbuhan
(fitohormon), insektisida, fitoaleksin, dan bahan obat (Miradiono 2002).
Kurkuminoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang termasuk kedalam
golongan senyawa flavonoid.
Metabolit sekunder pada umumnya akan meningkat apabila tanaman
mengalami cekaman dari lingkungannya. Kadar kurkuminoid yang paling tinggi
diperoleh pada umur panen 9 bulan (Lampiran 2). Hal ini diduga karena
temulawak pada umur 3 bulan dan 6 bulan lebih banyak memproduksi metabolit
primer untuk pertumbuhannya. Penelitian yang dilakukan Adzkiya (2006)
menyatakan bahwa pada bulan keenam setelah masa tanam batang dan daun
tanaman temulawak terlihat hijau tanpa ada tanda-tanda kekeringan, sehingga
produksi kurkuminoid lebih sedikit. Pada bulan kesembilan tidak terlihat
penampakan bagian atas tanaman temulawak yang disebabkan telah matinya
tanaman temulawak dan membusuknya batang dan daun, tetapi pada bulan ini
terjadi peningkatan kadar kurkuminoid. Hal ini diduga karena pada bulan
kesembilan kadar air menurun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang

11
memungkinkan sintesis kurkuminoid terjadi pada saat tanaman mengalami
kekurangan air.
Nilai RGB potongan melintang temulawak umur panen 3 bulan, 6 bulan,
dan 9 bulan berbanding lurus terhadap kadar kurkuminoid dengan nilai R² sebesar
96,1%, artinya sebesar 96,1% kadar kurkuminoid dijelaskan oleh model. Kadar
kurkuminoid yang diprediksi dengan menggunakan model ini menghasilkan galat
sebesar 0,0878 (Tabel 3). Gambar 2 juga menunjukkan bahwa terjadi
pengelompokan nilai RGB dan kadar kurkuminoid pada setiap umur panen. Hal
ini membuktikan bahwa metode analisis citra berbasis RGB bisa dipakai untuk
membedakan temulawak dengan kadar kurkuminoid yang berbeda cukup jauh
satu sama lain (Lampiran 2). Semakin tinggi kadar kurkuminoid suatu temulawak
maka intensitas warna kuningnya juga semakin pekat. Nilai RGB dari warna
kuning yang semakin pekat akan mendekati nilai RGB warna hitam yang nilainya
mendekati 0. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai RGB berbanding lurus
terhadap kadar kurkuminoid. Hal ini terjadi karena rimpang temulawak tidak
hanya mengandung kurkuminoid, tetapi ada kandungan lain seperti lemak, serat
kasar, protein, fraksi pati, dan minyak atsiri (Sidik et al. 1992). Kandungan lain
ini juga mempunyai nilai RGB masing-masing.
Tabel 3 Perbandingan kadar kurkuminoid hasil penelitian dengan hasil prediksi
Nilai RGB
Umur panen
(bulan)
3

6

9

ulangan

R

G

B

1
2
3
1
2
3
1
2
3

78,8062
78,1942
78,1701
108,0320
108,0390
108,1790
132,7220
132,5620
132,6390

76,0611
76,3612
76,4874
93,5945
93,2020
93,3316
131,4910
131,4020
131,4960

69,9069
68,9132
71,1328
94,2937
93,5911
93,3886
131,639
131,5200
131,8890

Kadar kurkuminoid (%b/b)
Hasil
Hasil
prediksi
penelitian
1,8752
1,9058
1,9311
1,9189
1,8661
1,8369
2,0166
2,0207
2,0145
1,9222
2,0287
2,1027
3,0679
2,9262
3,0671
3,0377
3,0605
3,2182

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Metode analisis citra berbasis RGB bisa dipakai untuk membedakan
temulawak dengan syarat jarak kadar kurkuminoid setiap sampel berbeda cukup
jauh seperti temulawak umur panen 3 bulan, 6 bulan dan 9 bulan. Nilai RGB
sebanding dengan umur panen temulawak sampai bulan kesembilan yang nilainya
dipengaruhi oleh tingkat kadar air.
Saran
Penelitian lebih lanjut mengenai hubungan nilai RGB terhadap kadar
kurkuminoid perlu dikembangkan lagi dengan perbesaran yang lebih rendah

12
sehingga dapat membedakan kadar kurkuminoid pada umur panen yang sama
serta menghasilkan model prediksi dengan nilai R² mendekati 100% dan nilai
galat yang rendah. Selain itu perlu dilakukan analisis hubungan nilai RGB dengan
senyawa metabolit sekunder golongan lain.

DAFTAR PUSTAKA
Adzkiya M. 2006. Pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak (Curcuma
xanthoriza Roxb.) pada berbagai masa tanam dan perlakuan budidaya tanam
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

[ASEAN] Association of South East Asian Nation. 1993. Standard of ASEAN.
Herbal Medicine Vol 1. Jakarta (ID): Aksara Buana Printing.
Baranska, Schulz H, Siuda R, Strehle MA, Rosch P, Popp J, Joubert E, Manley M.
2005. Quality control of Harpagophytum procumbens and its related
phytopharmaceutical
products
by
means
of
NIR-FT-Raman
spectroscopy.Biopolymers 77: 1-8.
Batubara I, Yusnira, Darusman KL. 2004. Penentuan kadar kurkuminoid pada
temulawak menggunakan metode spektroskopi dan kromatografi cair
kinerja tinggi. Di dalam: Seminar Nasional Hasil Penelitian MIPA 2004;
Semarang: FMIPA Universitas Diponegoro. Hlm 57-60.
Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005
tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Jakarta (ID): BPOM.
Cahyono B, Huda MDK, Limantara L. 2011. Pengaruh proses pengeringan
rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) terhadap kandungan dan
komposisi kurkuminoid. Reaktor 13(3): 165-171.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia. Ed ke-5. Jakarta
(ID): Depkes.
Endarsari R, Qanytah, Prayudi B. 2011. Pengaruh pengeringan terhadap mutu
simplisia. Jawa Tengah (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Fahn A. 2000. Anatomi Tumbuhan. Ed ke-3. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada
University Pr.
Handler N, Jaeger W, Puschacher H, Leiser K, Erker T. 2007. Synthesis of novel
curcumin analogues and their evaluation as selective cyclooxygenase-1
(COX-1) Inhibitors. Chem Pharm 55(1): 64−71.
Harbone JB. 1987. Introdoction of ecological Biochemistry. Ed ke-3.London
(GB): Academic Pr.
Heldt HW. 2004. Plant Biochemistry.3rd Ed. London (GB): Elsevier.

13
Kristina NNR, Noveriza SF, Syahid, Rizal M. 2007. Peluang peningkatan kadar
kurkumin pada tanaman kunyit dan temulawak. Bul Perkembangan
Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 18 (1): 1-12
Lee SK, Hong CH, Huh SK, Kim SS, Oh OJ, Min HY, Park KK, Chung WY,
Hwang JK. 2002. Supressive effect of natural sesquiterpenoids on inducible
cyclooxigenase (COX-2) and nitric oxide syntase (iNOS) activity in Mouse
Macrofaphage cells. Environ Pathol Toxicol Oncol 21: 141-148.
Lim CS, Jn DQ, Mork H, Oh SJ, Lee JU, Hwang JK, Ha L, Han JS. 2005.
Antioxidant and antiinflammatory activities of xanthorrizol in hippocampal
neurons and primary cultured microglia. Neurosci Res 82 (6): 831- 838.
Mattjik AA. 2006. Rancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB Pr.

Miradiono A. 2002. Efektifitas pengekstrak senyawa flavonoid dari daun jati
belanda (Guazuma ulminofolia Lamk.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Nitisapto M, Siradz SA. 2005. Evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan
jahe pada beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. J Tanah dan
Lingk. 5(2): 15-19.
Orava J, Jussi P, Markku H, Paula H, Atte VW. 2012. Temporal clustering of minced
meat by RGB - and spectral imaging. Journal of Food Engineering 112: 112–
116.

Putri AS. 2013. Aktivitas inhibisi terhadap siklooksigenase, kadar pati dan fenolik
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Aksesi Sukabumi [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rukayadi Y, Hwang JK. 2006. In vitro activity of xanthorrhizol against
Streptococcus mutans biofilm. Appl Microbiol 42: 400-404.
Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro anticandidal activity of
xanthorrhizol isolated from Roxb. J Antimicrob Chemother 132: 1-4.
Salisbury FB, White BJ. 1987. Fisiologi Tumbuhan. Diah RI, Sumaryono,
penerjemah. Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari: Plant Physiology.
Sarwono J. 2009. Statistik Itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi
Statistik menggunakan SPSS 16. Yogyakarta (ID): Andi Pub.

Sidik, Mulyono MW, Muhtadi A. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.). Jakarta (ID): Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam
Phytomedica.
Skoog DA, Holler FJ, Nieman TA. 2003. Principlesof Instrumental Analysis Ed
ke-5. Philadelphia (US): Saunders College.
Sowbhagya HB, Smitha S, Sampathu SR, Krishnamurthy N, Bhattacharya S. 2004.
Stability of water-soluble turmeric colourant in anextruded food product
during storage. Journal of Food Engineering 67(3): 367-371.
Supriadi D. 2008. Optimalisasi ekstraksi kurkuminoid temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

14
Yoga. 2004. Desain Kreatif Adobe Photoshop CS. Jakarta(ID): PT Elex Media
Komputindo.
Yudav SP, Ibaraki Y, Gupta SD. 2010. Estimation of the chlorophyll content of
micropropagated potato plants using RGB based image analysis. Plant Cell
Tiss Organ Cult 100: 183-188.
Zahro L, Cahyono B, Hastuti RB. 2009. Profil tampilan fisik dan kandungan
kurkuminoid dari simplisia temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) pada
beberapa metode pengeringan. J Sains dan Matematika 17(1): 24-32.

LAMPIRAN
Lampiran 1 Alur penelitian
Temulawak

Preparasi

Pengambilan
foto

Analisis kadar
air segar

Penentuan
nilai RGB

Pengeringan
(80oC 6 jam)

Pengambilan
foto

Analisis kadar
air

Analisis kadar
kurkuminoid

Analisis kadar
kurkuminoid

Penentuan
nilai RGB

Analisis data

Keterangan: Pengeringan dilakukan sampai diperoleh kadar air

Dokumen yang terkait

Pengukuran Kapasitas Antioksidan Dalam Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

3 32 82

Pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak, Curcuma xanthorriza Roxb) pada berbagai masa tanam dan perlakuan budidaya tanam

0 11 31

Kandungan Kurkuminoid dan Daya Antioksidan Aksesi Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) asal Sukabumi

0 4 28

KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA BERBAGAI TEKNIK PENGERINGAN

1 12 54

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP KADAR HDL (High Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Kadar Hdl (High Density Lipoprotein) Pada Tikus Putih Hiperlipidemia.

0 0 13

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP KADAR Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Kadar Kolesterol Total Pada Tikus Putih Hiperlipidemia.

0 0 13

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP KADAR Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Kadar Kolesterol Total Pada Tikus Putih Hiperlipidemia.

0 0 9

Usaha Pembuatan Sirup Kering Ekstrak Air Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthoriza ROXB) - Ubaya Repository

0 0 1

Pengaruh Air Perasan Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb) terhadap Kadar SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic

0 0 5

SELEKSI METODA EKSTRAKSI KURKUMINOID UNTU MENENTUKAN KUALITAS RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Selection method of curcuminoid extraction to determine the quality of Temulawak rhizome (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

0 0 11