KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA BERBAGAI TEKNIK PENGERINGAN

(1)

commit to user

i

KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS

ANTIOKSIDAN SIMPLISIA TEMULAWAK

(

Curcuma xanthorrhiza

Roxb.) PADA BERBAGAI TEKNIK

PENGERINGAN

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan

guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Oleh : Grafianita H 0607013

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS

ANTIOKSIDAN SIMPLISIA TEMULAWAK

(

Curcuma xanthorrhiza

Roxb.) PADA BERBAGAI TEKNIK

PENGERINGAN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh GRAFIANITA

H 0607013

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal:

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Dewan Penguji Ketua

Ir. Kawiji, MP NIP. 196112141986011001

Anggota I

Edhi Nurhartadi, S.TP, MP NIP. 197606152009121002

Anggota II

Setyaningrum Ariviani, S.TP, M.Sc NIP. 197604292002122002

Surakarta, Juli 2011 Mengetahui

Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian

Dekan

Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS NIP. 195602251986011001


(3)

commit to user

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi dengan judul “Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Pada Berbagai Teknik Pengeringan”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mencapai gelar Sarjana Stratum Satu (S-1) pada program studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Ir. Kawiji, MP selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan selaku Pembimbing Utama Skripsi yang telah memberi bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak Edhi Nurhartadi, S.TP, MP selaku Pembimbing Pendamping Skripsi yang memberi masukan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu Setyaningrum Ariviani, S.TP, M.Sc selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah memberikan banyak masukan.

5. Bapak R. Baskara Katri Anandito, S.TP, MP selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama empat tahun masa kuliah.

6. Ibu Sri Liswardani S.TP, Pak Slameto, Pak Giyo, Pak Joko, terima kasih banyak atas segala bantuannya selama penelitian.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala bantuan selama masa perkulihan penulis. 8. Skripsi ini, saya persembahkan kepada orang tua saya atas segala dukungan,

kasih sayang, semangat, pengorbanan, dan doanya. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

9. Dian dan Nina yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini serta senantiasa melatih penulis untuk selalu bersabar dalam menghadapi setiap tantangan.

10.Teman-teman seperjuangan selama empat tahun Ana, Arin, Ambar, Eni, Nora, Lorenz, Galuh, Yuli, dan Tina terima kasih atas bantuannya dan persahabatannya selama ini. Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa kalian. 11.Theresia yang senantiasa memberikan bantuan dari awal penelitian hingga

terselesaikannya skripsi ini, thanks for my partner.

12.Tarso yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi walaupun terpisah jauh, terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya.

13.Angkatan THP 07 yang telah mengisi hari-hari penulis selama empat tahun. 14.Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini dan

memberi dukungan, doa serta semangat bagi penulis untuk terus berjuang. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juni 2011


(5)

commit to user

i

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

RINGKASAN ... x

SUMMARY... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Temulawak... ... 5

B. Simplisia Temulawak... 8

C. Kurkuminoid... 9

D. Senyawa fenolik... 13

E. Antioksidan... 15

F. Pengeringan ... ... 18

G. Hipotesis... 20

III.METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

B. Bahan dan Alat ... 21

1. Bahan ... 21

2. Alat ... 21

C. Tahap Penelitian ... 22


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

2. Pengeringan... 22

3. Analisis Senyawa Aktif Oleorasin Temulawak... 23

D. Rancangan Penelitian... 25

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Air... 26

B. Kadar Kurkuminoid Simplisia Temulawak Pada Berbagai Teknik Pengeringan... 28

C. Kadar Total Fenol Simplisia Temulawak Pada Berbagai Teknik Pengeringan... 32

D. Aktivitas Antioksidan Simplisia Temulawak Pada Berbagai Teknik Pengeringan... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(7)

commit to user

i

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Karakteristik Mutu Simplisia Temulawak... 9

Tabel 3.1 Metode Analisis Senyawa Aktif Simplisia Temulawak……… 23

Tabel 3.2 Rancangan Percobaan Acak Lengkap dengan Satu Faktor………… 25

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kadar Air Simplisia Temulawak... 27

Tabel 4.2 Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Simplisia Temulawak... 29

Tabel 4.3 Hasil Analisis Total Fenol Simplisia Temulawak... 33


(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Tanaman Temulawak... 5

Gambar 2.2 Rimpang Temulawak Berumur 10-12 Bulan... 7

Gambar 2.3 Struktur Kimia Kurkuminoid... 12

Gambar 2.4 Struktur Kimia Fenol... 13

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Simplisia Temulawak... 24

Gambar 4.1 Kadar Kurkuminoid Simplisia Temulawak pada Berbagai Teknik Pengeringan... 31

Gambar 4.2 Total Fenol Simplisia Temulawak pada Berbagai Teknik Pengeringan... 35

Gambar 4.3 Perbandingan Aktivitas Antioksidan Simplisia Temulawak pada Berbagai Teknik Pengeringan dengan Asam Askorbat 500 ppm... 41


(9)

commit to user

i

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Metode Analisis... 49

a. Analisis Kadar Air... 49

b. Analisis Kurkuminoid... 49

c. Analisis Total Fenol... 49

d. Analisis Aktivitas Antioksidan... 50

2. Hasil Analisis Kadar Air... 51

3. Hasil Analisis Kimia Pengaruh Berbagai Teknik Pengeringan ... 51

a. Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid... 51

b. Hasil Analisis Total Fenol... 53

c. Hasil Analisis Aktivitas Antioksidan... 55

4. Hasil Analisis Menggunakan SPSS (One Way Anova) ... 56

a. Semua data (3 kali perulangan, 3 kali analisis)... 56

b. Rata-Rata Analisis Tiap Perlakuan... 61


(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL, DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

PADA BERBAGAI TEKNIK PENGERINGAN Grafianita 1)

Ir. Kawiji, MP 2) Edhi Nurhartadi, S.TP, MP 3) RINGKASAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Temulawak biasanya digunakan dalam bentuk simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan. Temulawak memiliki banyak manfaat kesehatan karena mengandung senyawa aktif, salah satunya berupa kurkuminoid yang merupakan senyawa fenolik dan memiliki aktivitas antioksidan. Saat ini di Indonesia dalam pemanfaatan temulawak di tingkat petani sebagian besar hanya diolah menjadi simplisia. Simplisia temulawak merupakan hasil rajangan temulawak yang telah dikeringkan sampai kadar air tertentu. Pengeringan di tingkat petani hanya terbatas dengan penjemuran langsung sinar matahari yang tentunya tidak dapat mempertahankan senyawa aktif dalam temulawak yang dapat rusak oleh cahaya maupun panas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai teknik pengeringan terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak. Selain itu, akan dipilih pengeringan yang paling efektif dan dalam mempertahankan kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu berbagai variasi teknik pengeringan. Berbagai teknik pengeringan yang digunakan adalah SM (pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (k)), SD (solar dryer dengan kain penutup warna putih), CD A

(cabinet dryer suhu 35oC), CD B (cabinet dryer suhu 40oC), dan CD C (cabinet

dryer suhu 45oC).

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan cabinet dryer dengan suhu 45oC berpengaruh mempertahankan kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak dibandingkan dengan teknik pengeringan lainnya. Pengeringan dengan menggunakan cabinet dryer suhu 45oC menghasilkan kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan masing-masing sebesar 0,495%, 0,933%, dan 57,701%.

Kata kunci : Simplisia temulawak, pengeringan, kurkuminoid, aktivitas antioksidan, total fenol


(11)

commit to user

i

ANTIOXIDANT ACTIVITY, TOTAL PHENOL AND CONCENTRATION CURCUMINOIDS CURCUMA SIMPLICIA

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) IN VARIATION DRYING TECHNIQUE Grafianita 1)

Ir. Kawiji, MP 2) Edhi Nurhartadi, S.TP, MP 3) SUMMARY

Curcuma (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) is a component that compiler almost every kind of traditional medicine made in Indonesia. Curcuma usually used in kind of single simplicia or become one of component from a ingredients. Curcuma have many function for health because of they contains active compound, the ones of all is curcuminoid that included phenolic compound and have antioxidant activity. Today, in Indonesia using Curcuma in farmer’s community usually just processed as simplisia. Simplisia of Curcuma is the result of cut curcuma that has been drying until certain compound of water. The desiccation in farmer’s community just limiting in using sun drying that of course can not defend active compound in Curcuma that can be broken by light and also heat.

This research is aim to find out the influence variation of drying tehnique concerning curcuminoid compound, total phenol, and antioxidan activity simplicia curcuma. Beside that, will be choose the drying technique that most effective in defend curcuminoid compound, total phenol, and antioxidant activity simplisia curcuma. This research used Completely Randomized Design (CRD) with one factor, that are variety of drying technique. Variety drying technique that we use is SM (sun drying without cover (k)), SD (solar dryer with the white cloth cover), CD 35oC (cabinet dryer temperature 35oC), CD 40oC (cabinet dryer temperature 40oC), dan CD 45oC (cabinet dryer temperature 45oC).

The result of research shows that using cabinet dryer with temperature 45oC influential in defend curcuminoid compound, total phenol, and antioxidant activity simplicia curcuma than using another drying technique. The drying that using cabinet dryer temperature 45oC producing curcuminoid compound, total Fenol, and antioxidan activity each 0,495%, 0,933%, dan 57,701%.

Keyword : Curcuma Simplicia, drying, curcuminoids, total phenol, antioxidant activity


(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman obat suku Zingiberaceae yang banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industri jamu dan obat di Indonesia. Temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional di Indonesia. Dalam obat tradisional Indonesia temulawak digunakan sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan. Selain sebagai bahan baku industri jamu dan obat, olahan temulawak juga digunakan dalam industri pangan dan kosmetik. Ekspor rimpang temulawak di Indonesia tahun 2006 mencapai US$ 1,255 juta dengan jumlah sebanyak 2.647 ton rimpang temulawak (BPS, 2006). Temulawak diketahui memiliki banyak manfaat antara lain sebagai antihepatitis, antiinflamasi, antikarsinogenik, antimikroba, antiviral, detoksifikasi, dan antioksidan (WHO 1999 dalam Irawati, 2008).

Terkait dengan temulawak sebagai bahan baku obat dan farmasi menurut Parahita (2007) temulawak diketahui mengandung senyawa kimia yang mempunyai keaktifan fisiologis, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Menurut Yunus dan Rahayu (2009) temulawak terdiri dari fraksi pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri. Pati merupakan komponen terbesar dalam rimpang temulawak, yaitu sekitar 30-40% dihitung dari bobot kering, berbentuk serbuk berwarna putih kekuningan karena mengandung kurkuminoid. Kurkuminoid terdiri atas senyawa berwarna kuning kurkumin dan turunannya sebanyak 1,60-2,20% (Kunia, 2006). Minyak atsiri dalam temulawak sebanyak 6-10% terdiri dari isofuranogermakren, trisiklin, allo-aromadendren, germakren, dan xanthorrizol (Dalimartha, 2000).

Saat ini penanganan temulawak oleh petani selain dijual dalam bentuk rimpang hanya sebatas dibuat menjadi simplisia sebagai upaya meningkatkan nilai ekonominya. Simplisia merupakan hasil pengeringan dari tanaman obat yang belum diolah lebih lanjut atau baru dirajang saja yang kemudian dijemur. Dari simplisia dapat diolah menjadi berbagai macam produk, seperti


(13)

commit to user

serbuk, minyak atsiri, ekstrak kental/ oleoresin, ekstrak kering maupun kapsul (Sembiring, 2008).

Pengeringan yang dilakukan oleh petani (produsen) simplisia temulawak pada umumnya hanya dengan dijemur dibawah sinar matahari langsung. Cara ini dianggap oleh masyarakat merupakan cara yang mudah dan murah karena tidak membutuhkan biaya yang mahal dan dapat dilakukan dimana saja. Permasalahan yang timbul adalah rendahnya kualitas dan rendahnya kontinuitas suplai simplisia temulawak. Hal ini dikarenakan pengeringan langsung dengan sinar matahari di alam terbuka menyebabkan terjadinya resiko kontaminasi oleh jamur, terganggunya proses pengeringan pada musim hujan, dan rusaknya kandungan senyawa aktif oleh sinar UV yang ada cukup tinggi (Widyasari, 2000).

Mengingat manfaat yang besar dari peran temulawak di berbagai bidang industri baik makanan maupun farmasi maka diperlukan dukungan teknologi untuk pengembangannya. Teknik pasca panen merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas simplisia temulawak. Salah satu tahap penting pasca panen temulawak yang dapat mempengaruhi kandungan senyawa berkhasiat dalam temulawak adalah proses pengeringan. Menurut Kiswanto (2005) rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%-80%. Kadar air yang tinggi menyebabkan temulawak mudah mengalami kerusakan karena gangguan mikroba. Pengeringan pada rimpang temulawak ini dilakukan dengan tujuan membuang sejumlah air untuk menjamin penyimpanan dan mencegah terjadinya reaksi enzimatis. Pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan panas buatan ataupun dengan menjemur langsung di bawah sinar matahari. Dalam pengeringan harus diperhatikan suhu dan jenis bahan yang akan dikeringan. Menurut Parahita (2007) bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif dan tidak tahan panas harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30-45oC.

Teknik pengeringan yang bersifat tradisional merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu (kadar air, kadar kurkuminoid, total fenol, dan


(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

aktivitas antioksidan) serta tumbuhnya jamur sehingga menurunkan harga dan pendapatan petani. Tanpa adanya usaha perbaikan teknik pengeringan temulawak yang telah ada saat ini akan menyebabkan tidak terjaminnya kualitas simplisia temulawak yang dihasilkan. Melihat manfaat yang banyak dari penggunaan temulawak sebagai bahan baku industri dalam bentuk simplisia maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) pada berbagai teknik pengeringan. Teknik pengeringan

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (kontrol), solar dryer dengan kain penutup warna putih, cabinet

dryer suhu 35oC, cabinet dryer suhu 40oC, dan cabinet dryer suhu 45oC.

Dengan teknik pengeringan yang tepat diharapkan mampu mempertahankan kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan temulawak.


(15)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak pada berbagai teknik pengeringan?

2. Teknik pengeringan manakah yang paling efektif dalam mempertahankan kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak pada berbagai teknik pengeringan

2. Mengetahui teknik pengeringan yang paling efektif dalam mempertahankan kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang teknik pengeringan yang paling efektif dan efisien dalam mempertahankan kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak sehingga dapat menjadi alternatif pengeringan bagi produsen untuk mempertahankan mutu simplisia temulawak yang dihasilkan.


(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Temulawak

Temulawak merupakan sumber bahan pangan, pewarna, bahan baku industri (seperti kosmetika dan farmasi), maupun dapat dibuat makanan atau minuman segar. Temulawak telah dibudidayakan dan banyak ditanam di pekarangan atau tegalan, sering ditemukan tumbuh liar di hutan jati atau padang alang-alang. Tanaman ini lebih produktif pada tempat terbuka yang terkena sinar matahari dan dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Akan tetapi, untuk mencapai hasil yang maksimal, sebaiknya ditanam pada ketinggian sekitar 200-600 mdpl. Rimpang temulawak termasuk yang paling besar di antara semua rimpang marga Curcuma. Rimpangnya dipanen jika bagian-bagian tanaman yang ada di atas tanah sudah mulai kering dan mati (Dalimartha, 2000).

Gambar 2. 1 Tanaman Temulawak

Tanaman temulawak adalah tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu (Gambar 2.1). Seluruh batang tanaman temulawak terdiri dari pelepah-pelepah daun yang menyatu dan mempunyai umbi batang. Tinggi tanaman antara 50-200 cm. Daun berbentuk jorong, memanjang, permukaan atas daun berwarna hijau tua bergaris-garis coklat, panjang daun


(17)

commit to user

20-80 cm, lebar daun 15-30 cm, serta tulang daun menyirip dan licin. Permukaan bawah daun berwarna hijau pucat dan mengilat. Bunga pendek dan lebar, berwarna kuning muda atau kuning bertabur warna merah dipuncaknya, panjang helaian bunga 2,5-3,5 cm, panjang tongkol bunga 10-20 cm (Siswanto, 10-2004).

Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat temulawak berasal dan kemudian menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina, Barbados, India, Jepang, Korea, di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Keluarga : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

(Rukmana, 1995).

Perbedaan umur panen tanaman temulawak dapat mempengaruhi produktivitas dan mutu rimpang temulawak. Petani umumnya memanen tanaman temulawak pada umur 9 bulan, bahkan sampai umur 24 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur panen 7 bulan menghasilkan produktivitas rimpang tertinggi (Balai Penelitian Tanaman Industri, 1982 dalam Khaerana, 2008).


(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Gambar 2.2 Rimpang Temulawak Berumur 10-12 Bulan

Menurut Sembiring (2007) rimpang temulawak dipanen setelah tanaman berumur 10-12 bulan (Gambar 2.2). Temulawak yang dipanen pada umur tersebut menghasilkan kadar minyak atsiri dan kurkumin yang tinggi.

Rimpang temulawak berbentuk bulat atau bulat telur, dari luar berwarna kuning tua atau coklat kemerahan, sedang sisi dalam jingga kecoklatan. Dari induk rimpang akan tumbuh rimpang-rimpang baru ke arah samping. Rimpang baru ini lebih kecil, berwarna lebih muda, serta bentuknya beraneka ragam. Aroma rimpang harum, tajam, serta rasanya pahit agak pedas. Ujung-ujung akar biasanya membengkak, membentuk umbi kecil berbentuk bulat sampai bulat telur (Siswanto, 2004).

Akar rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Rimpang induk dapat memiliki 3-4 buah rimpang. Warna kulit rimpang cokelat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging rimpang oranye tua atau kuning. Tiap rumpun umumnya memiliki 6 buah rimpang tua dan 5 buah rimpang muda (Parahita, 2007).

Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral. Di antara komponen yang dikandung oleh temulawak, yang paling banyak kegunaannya adalah pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri (Husein, 2008 dalam Pandiangan, 2007).

Menurut Yunus dan Rahayu (2009) temulawak terdiri dari fraksi pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri. Pati merupakan komponen terbesar dalam


(19)

commit to user

rimpang temulawak, yaitu sekitar 30-40% dihitung dari bobot kering, berbentuk serbuk berwarna putih kekuningan karena mengandung kurkuminoid. Fraksi kurkuminoid dalam temulawak terdiri dari dua komponen, yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin. Kadar kurkuminoid dalam temulawak berkisar antara 1-2%. Sedangkan fraksi minyak atsiri temulawak sebesar 6-10% (Parahita, 2007).

Banyaknya manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun fitofarmaka karena rimpangnya mengandung protein, pati, zat warna kuning kurkuminoid dan minyak atsiri. Kandungan kimia minyak atsiri antara lain : feladren, kamfer, tumerol, tolilmetilkarbinol, arkurkumen, zingiberen,

kuzerenon, germakron, β-tumeron serta xanthorrizol yang memiliki kandungan tertinggi sampai 40% (Rahardjo dan Rostiana, 2004 dalam Kristina, 2006).

B. Simplisia Temulawak

Simplisia merupakan hasil pengeringan dari tanaman obat yang belum diolah lebih lanjut atau baru dirajang saja yang kemudian dijemur. Dari simplisia dapat diolah menjadi berbagai macam produk, seperti serbuk, minyak atsiri, ekstrak kental/ oleoresin, ekstrak kering maupun kapsul (Sembiring, 2008).

Irisan temulawak biasanya melintang setebal 2-3 mm. Hasil irisan langsung dijemur di bawah terik matahari. Irisan rimpang dihamparkan di bawah terik matahari dan dibalik satu kali. Perlakuan ini akan meningkatkan kualitas simplisia. Apabila pengirisan dilakukan pada sore hari dan baru dijemur keesokan harinya, maka kualitas simplisianya kurang baik (Anonimc, 2010).

Ukuran perajangan tergantung dari bahan yang digunakan dan ber-pengaruh terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan. Perajangan terlalu tipis dapat mengurangi zat aktif yang terkandung dalam bahan. Sedangkan jika terlalu tebal, maka pengurangan kadar air dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam penjemuran dan kemungkinan besar bahan mudah ditumbuhi oleh jamur (Sembiring, 2007).


(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Kualitas simplisia sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan aktif, warna, kontaminasi mikroba dan metabolit sekunder seperti minyak atsiri, flavonoid, fenolat, dan klorofil. Pada penentuan kualitas simplisia terbagi atas analisa secara fisik dan kimia. Secara fisik biasanya termasuk penampakannya secara visual terhadap warna, kotoran dan lainnya, sedangkan secara kimia adalah analisa kandungan bahan aktifnya. Bahan tanaman harus langsung dikeringkan setelah dikecilkan ukurannya. Apabila tertunda, akan terjadi proses fermentasi, pemucatan, dan dekomposisi kimia bahan aktifnya (Hernani dan Rahmawati, 2009).

Menurut Sembiring dkk (2006), Karakteristik mutu simplisia temulawak dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Mutu Simplisia Temulawak

Karakteristik Hasil Analisis (%) *Standar Mutu (%)

Kadar Air 10,85 <12

Kadar Abu 3,92 3-7

Kadar Sari Air 13,08

-Kadar Sari Alkohol 10,95 >5

Kadar Minyak Atsiri 6,48 Min 5

Kadar Kurkumin 1,36 0,02-2

Kadar Xanthorizol 1,86

-*

Sumber : Materi Medika Indonesia (1979) dalam Sembiring dkk (2006), C. Kurkuminoid

Kurkuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberceae antara lain : Curcuma longa syn. Curcuma domestica (kunyit) dan Curcuma xanthorhiza (temulawak). Kurkuminoid bermanfaat untuk mencegah timbulnya infeksi berbagai penyakit (Kristina, 2006).

Kurkuminoid berkhasiat menetralkan racun, menurunkan kadar kolesterol, dan trigliserida darah, antibakteri, analgetik, dan antiinflamasi. Sekarang telah banyak diteliti bahwa kurkuminoid dapat digunakan sebagai antioksidan dan inhibitor virus HIV (Anonim, 2007 dalam Irawati, 2008).

Kurkuminoid merupakan komponen yang memberi warna kuning pada rimpang temulawak. Kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat,


(21)

commit to user

dan alkali hidroksida. Kurkuminoid mempunyai aroma yang khas dan tidak bersifat toksik. Bila kurkuminoid terkena cahaya akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkuminoid. Siklisasi kurkuminoid menyebabkan senyawa kurkuminoid terdegradasi menjadi asam ferulat sehingga kadarnya dalam ekstrak menjadi rendah (Sidik dkk., 1995).

Fraksi kurkuminoid terdiri dari curcumin (diferuloyl methane atau kurkumin I) dan turunannya yaitu desmethoxy-curcumin (feruloyl-p-hydroxy-cinnamoyl methane atau kurkumin II) dan bis-desmethoxy-curcumin (bis-(p-hydroxycinnamoyl)-methane atau kurkumin III) (Wardini dan Prakoso, 1999 dalam Devy, 2009).

Sering kali kadar total kurkuminoid dihitung sebagai % kurkumin. Beberapa penelitian baik fitokimia maupun farmakologi lebih ditekankan pada kurkumin karena kandungannya yang jauh lebih besar (50-60%) dibanding komponen penyusun kurkuminoid yang lain yaitu monodesmetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin (Sumiyati dan Adnyana, 2002 dalam Parinussa, 2006).

Menurut Jayaprakasha dkk. (2005), kurkumin merupakan molekul dengan kadar polifenol yang rendah namun memiliki aktivitas biologi yang tinggi antara lain memiliki potensi sebagai antioksidan. Gugus hidroksil dan metoksil pada cincin fenil dan substituen 1,3 diketon memiliki peran yang sangat signifikan dalam kemampuan kurkumin sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan meningkat dengan meningkatnya gugus hidroksil pada cincin fenil pada posisi orto dengan gugus metoksi. Sedangkan menurut Jovanovic dkk. (2001) aktivitas antioksidan kurkumin disebabkan oleh kemampuan

donor atom hidrogen oleh β-diketon untuk menetralkan radikal bebas.

Kurkumin mempunyai aktivitas antioksidan karena mempunyai gugus yang berperan penting dalam menangkal radikal bebas. Struktur kurkumin terdiri dari gugus hidroksi fenolik dan gugus β-diketon. Gugus hidroksi fenolik kemungkinan berfungsi sebagai penangkap radikal bebas pada fase

pertama mekanisme anti oksidatif dan gugus β-diketon kemungkinan berfungsi sebagai penangkap radikal pada fase berikutnya. Bersama


(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

turunannya, demetoksi kurkumin dan bis-demetoksi kurkumin, bertanggung jawab terhadap efek antioksidan dari turmerik (Tonnesen dan Greenhill, 1992; Majeed et al., 1995 dalam Nugroho, 2006). Kurkumin mempunyai dua buah cincin aromatik yang mengandung gugus hidroksi fenolik, keduanya

dihubungkan rantai pendek yang terkonjugasi dengan gugus β-diketon. Kurkumin juga memiliki gugus metoksi pada cincin aromatiknya yang bersifat sebagai pendorong elektron sehingga akan menambah kerapatan elektron pada ikatan π yang akan mempermudah senyawa dalam menangkap radikal hidroksi (Nugroho, 2006). Delokalisasi radikal pada posisi fenolik ke dalam sistem rantai alkil terkonjugasi pada kurkumin dan derivatnya memegang peranan penting dalam aktivitasnya sebagai antioksidan (Masuda et al., 1999 dalam Nugroho, 2006).

Sifat kimia kurkuminoid yang menarik adalah sifat perubahan warna akibat perubahan pH lingkungan. Dalam susana asam, kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Dalam suasana basa selain terjadi proses disosiasi, kurkumin dapat mengalami degradasi membentuk asam ferulat dan feruloilmetan. Degradasi ini terjadi bila kurkumin berada dalam lingkungan pH 8,5-10,0 dalam waktu yang relatif lama, walaupun hal ini tidak berarti bahwa dalam waktu yang relatif singkat tidak terjadi degradasi kurkumin, karena proses degradasi sangat dipengaruhi juga oleh suhu lingkungan. Salah satu hasil degradasi, yaitu feruloilmetan mempunyai warna kuning coklat yang akan mempengaruhi warna merah yang seharusnya terjadi (Tonnesen dan Karsen, 1985 dalam Kiswanto, 2005).

Kurkumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 dengan bobot molekul 368 g/mol, sedangkan desmetoksikurkumin mempunyai rumus molekul C20H18O5 dan bobot molekul 338 g/mol (Supriadi, 2008). Struktur kimia kurkuminoid dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(23)

commit to user

R1 R2

-OCH3 -OCH3 = kurkumin

-OCH3 -H = desmetoksikurkumin -H -H = bis-demetoksikurkumin

Gambar 2.3 Struktur Kimia Kurkuminoid

Kurkumin (1,7-bis-4 (4’-hidroksi-3’-metoksi fenil) hepta-1,6-diene-3,5- dion dikenal sebagai bahan alam yang memiliki aktivitas biologis dengan spektrum luas, seperti antioksidan, antiinflamasi, antikanker dan antimutagen. Kurkumin merupakan senyawa yang tidak stabil pada pH di atas 6,5 dan pengaruh cahaya karena adanya gugus metilen aktif pada strukturnya. Di alam kurkumin selalu terdapat bersama dengan dua turunan senyawa lainnya yaitu dimetoksi kurkumin dan bis-demetoksikurkumin, yang dikenal dengan nama kurkuminoid (Tonnesen dan Karlsen., 1985 dalam Astuti, 2009). Dalam Astuti (2009) juga disebutkan, Masuda et al., (1999) telah menemukan mekanisme penangkapan radikal oleh kurkumin. Berdasarkan mekanisme Masuda, gugus hidroksi fenolik berperan dalam penangkapan radikal pertama kali pada kurkumin.

Kurkumin akan mengalami dekomposisi jika terkena cahaya. Produk degradasinya yang utama adalah asam ferulat, aldehid ferulat, dehidroksinaftalen, vinilquaikol, vanilin dan asam vanilat. Kurkumin memperlihatkan kepekaan terhadap radikal bebas, kurkumin dapat bereaksi selama atom H dilepas atau radikal hidroksil ditambahkan pada molekul kurkumin. Pengurangan sebuah atom H menghasilkan pembentukan radikal

OH O

HO

HO R1


(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

kurkumin yang terdekomposisi atau menjadi stabil dengan sendirinya (Van der Good, 1995 dalam Kurnia, 2010).

D. Senyawa Fenolik

Gambar 2.4 Struktur Kimia Fenolik

Fenol (C6H5OH) atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tidak berwarna yang memiliki bau yang khas. Struktur fenol memiliki gugus hidroksil (OH-) yang berikatan dengan cincin fenil dapat dilihat pada Gambar 2.4 di atas. Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yaitu 8,3 gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, yang artinya dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air. Sifat dan karakteristik senyawa fenol adalah sebagai berikut :

a. Mengandung gugus OH

b. Mempunyai titik didih yang tinggi c. Mempunyai rumus molekul C6H6O d. Larut dalam pelarut organik

e. Berupa padatan (kristal) yang tidak berwarna f. Mempunyai massa molar 94,110 g/ mol. g. mempunyai titik didih 181,9oC

h. mempunyai titik lebur 40,9oC (Anonima,2004).

Fenol mempunyai sifat asam, mudah dioksidasi, mudah menguap, sensitif terhadap cahaya dan oksigen, serta bersifat antiseptik. Kadar fenol tersebut akan menurun antara lain dengan perlakuan pencucian, perebusan, dan proses pengolahan lebih lanjut untuk dijadikan produk yang siap dikonsumsi (Sundari, 2009).


(25)

commit to user

Senyawa fenolik pada bahan makanan dapat dikelompokkan menjadi fenol sederhana dan asam fenolat (p-kresol, 3-etil fenol, 3,4-dietil fenol, hidroksiquinon, vanilin dan asam galat), turunan asam hidroksi sinamat (p-kumarat, kafeat, asam fenolat dan asam klorogenat) dan flavonoid (katekin, proantosianin, antisianidin, flavon, flavonol dan glikosidanya). Fenol juga dapat menghambat okidasi lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas. Senyawa fenol (AH) jika berdiri sendiri tidak aktif sebagai antioksidan, substitusi grup alkil pada posisi 2, 4 dan 6 dapat meningkatkan densitas elektron gugus hidroksil, sehingga meningkatkan keaktifannya terhadap radikal lipid (Widiyanti, 2009).

Menurut Andayani (2008) banyak tanaman obat yang mengandung antioksidan dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenolik seperti flavonoid, asam fenolat. Senyawa fenolik memiliki efek antioksidan karena mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus –OH dan –OR.

Senyawa alami antioksidan tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol. Senyawa ini diklasifikasikan dalam 2 bagian yaitu fenol sederhana dan polifenol. Senyawa-senyawa polifenol seperti flavonoid dan galat mampu menghambat antioksidan melalui mekanisme penangkapan radikal (radical scavenging) dengan cara menyumbangkan satu elektron kepada elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga banyaknya radikal bebas menjadi berkurang (Yuswantina, 2009).

Antioksidan fenolik yang berasal dari tanaman cenderung larut air dan banyak terdapat sebagai glikosida dan berada pada vakuola sel. Mekanisme antioksidan dari senyawa fenolik : (1) antioksidan fenolik alami (natural phenolic antioxidant) menghalangi proses oksidasi dengan mendonorkan atom hidrogen ke radikal (RO*), reaksinya : RO* + NPH NP*+ ROH, (2) substansi intermediat yang stabil, phenoxy radical (NP*) bereaksi sebagai


(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

terminator dari propagasi dengan cara bereaksi dengan radikal lainnya, reaksinya RO* + NP* RONP (Abdullah, 2009).

Antioksidan yang termasuk golongan fenol mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak berwarna dan banyak digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintetis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Beberapa contoh antioksidan yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossipol, pyrogallol, catechol resorsinol dan eugenol. Aktivitas antioksidan tipe fenol mempunyai hubungan dengan proses kesetimbangan oksidasi-reduksi (redoks) antara quinol dengan quinon (Ketaren, 1986).

E. Antioksidan

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus-menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itu, tubuh memerlukan suatu substansi penting yaitu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Kikuzaki, et al.,2002; Sibuea, 2003; dan Halliwell, 2000 dalam Andayani, 2008).

Antioksidan adalah zat yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Yang termasuk ke dalam golongan zat ini antara lain vitamin, polifenol, karoten dan mineral. Secara alami, zat ini sangat besar peranannya pada manusia untuk mencegah terjadinya penyakit. Antioksidan melakukan semua itu dengan cara menekan kerusakan sel yang terjadi akibat proses oksidasi radikal bebas. Radikal bebas sebenarnya berasal dari molekul oksigen yang secara kimia strukturnya berubah akibat dari aktivitas


(27)

commit to user

lingkungan. Aktivitas lingkungan yang apat memunculkan radikal bebas antara lain radiasi, polusi, merokok dan lain sebagainya (Anonimb, 2008).

Menurut Kochar dan Tossel dalam Hudson (1990) dalam Yuswantina (2009) berkaitan dengan fungsinya senyawa-senyawa antioksidan dapat diklasifikasikan dalam 5 tipe antioksidan yaitu:

1. Primary Antioxidant yaitu senyawa, terutama

senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Dalam hal ini memberikan atom hidrogen yang berasal dari gugus hidroksi senyawa fenol sehingga terbentuk senyawa yang stabil. Senyawa antioksidan yang termasuk kelompok ini misalnya: BHA, BHT, TBHQ, PG dan tokoferol.

2. Oxygen Scavengers yaitu senyawa-senyawa yang berperan sebagai

pengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi. Dalam hal ini, senyawa tersebut akan mengadakan reaksi dengan oksigen yang berada dalam sistem sehingga jumlah oksigen akan berkurang. Contoh dari senyawa-senyawa kelompok ini adalah vitamin C (asam askorbat) askorbil palmitat, asam eritorbat dan sulfit.

3. Secondary Antioxydant yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai

kemampuan untuk mendekomposisi hidroperoksida menjadi produk akhir yang stabil. Pada umumnya tipe antioksidan ini digunakan untuk menstabilkan polyoefin resin contohnya adalah asam tiodipropionat dan dilauril tipropionat.

4. Antioxidant Enzyme yaitu enzim yang berperan mencegah terbentuknya

radikal bebas. Contohnya: glukosaoksidase, superoksidadismutase (SOD) glutation perioksidase dan katalase.

5. Chelator Sequestrants yaitu senyawa-senyawa yang mampu

mengikat logam seperti besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang mampu mengkatalisa reaksi oksidasi lemak. Senyawa antioksidan yang termasuk didalamnya adalah asam sitrat, asam amino, etylenediaminetetra aceticacid (EDTA) dan fosfolipid.


(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Berdasarkan sumbernya antioksidan digolongkan menjadi 2 macam, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidasi lipid pada makanan. Peroksidasi lipid merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan. Antioksidan tidak hanya digunakan dalam industri farmasi, tetapi juga digunakan secara luas dalam industri makanan, industri petroleum, industri karet, dan sebagainya (Ilham, 2007).

Fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Peroksidasi lipid merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan (Hernani dan Raharjo, 2005).

Skema mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas adalah sebagai berikut :

1. Pada tahap inisiasi, radikal lipid terbentuk dari molekul lipid dan terjadi pengurangan atom hidrogen oleh radikal reaktif misalnya radikal hidrogen.

RH→ R* + H *

2. Selanjutnya tahap propagasi, radikal lipid diubah menjadi radikal lipid yang berbeda dan mengakibatkan pengurangan atom hidrogen dari molekul lipid atau penambahan atom oksigen pada radikal alkil.

R* + O2→ ROO*

ROO* + RH → ROOH + R*

3. Pada tahap terminasi, radikal bebas bergabung untuk membentuk molekul dengan membentuk pasangan antar radikal.


(29)

commit to user

ROO* + ROO *→ ROOR + O2 ROO * +R *→ ROOR

R *+ R *→ RR

(Rohman dan Riyanto, 2004 dalam Astuti, 2009). F. Pengeringan

Pengeringan merupakan usaha untuk menurunkan kadar air bahan sampai ke tingkat yang diinginkan dan menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan, antara lain waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembapan udara di sekitarnya, kelembapan bahan atau kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi udara dan luas permukaan bahan. Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas, terutama pada perubahan kadar fitokimia atau senyawa aktif. Bila menggunakan suhu tinggi konsekuensinya dapat menghilangkan kandungan atsiri, akan tetapi pada suhu rendah akan meningkatkan jumlah mikroba. Untuk bahan yang mengandung minyak atsiri, suhu pengeringan yang terbaik adalah 35-45°C (Hernani dan Rahmawati, 2009).

Dengan menerima panas matahari langsung, irisan rimpang temulawak akan bisa benar-benar kering (kadar air di bawah 15%) dalam jangka waktu 4 hari penuh. Tanda irisan rimpang temulawak telah benar-benar kering adalah, bisa dipatahkan dengan mudah dan tidak bisa digigit. Warna irisan rimpang temulawak kering kualitas baik adalah merah bata merata. Apabila dipatahkan bekas patahan berwarna oranye cerah dan aromanya segar. Kalau dikunyah rasanya tajam dan pahit (Anonimc, 2010).

Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40-60oC dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%. Pada umumnya bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air ± 8-10%. Dengan jumlah kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik dalam pengolahan maupun waktu penyimpanan (Sembiring, 2007).

Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan menyebabkan semakin tingginya inaktivasi enzim polifenol oksidase sehingga aktivitas


(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

enzim akan semakin rendah, kerusakan fenol semakin kecil. Akan tetapi stabilitas fenol juga akan terganggu oleh semakin meningkatnya suhu pengeringan sehingga jumlah total fenol terdeteksi akan mencapai puncak maksimum kemudian konstan dan cenderung menurun (Susanti, 2008).

Pengeringan temu-temuan dapat dilakukan di atas para-para dengan menggunakan sinar matahari dan ditutupi dengan kain hitam juga dapat dilakukan dengan kombinasi antara sinar matahari dengan alat. Hasil dari pengeringan untuk temulawak diperoleh kadar kurkumin 1,36%, kadar xantorizol 1,92%, kadar minyak atsiri 6,48% (Sembiring, 2008).

Solar drying merupakan metode pengeringan yang saat ini sering

digunakan untuk mengeringkan bahan-bahan makanan hasil panen. Metode ini bersifat ekonomis pada skala pengeringan besar karena biaya operasinya lebih murah dibandingkan dengan pengeringan dengan mesin. Prinsip dari

solar drying ini adalah pengeringan dengan menggunakan bantuan sinar

matahari. Perbedaan dari pengeringan dengan sinar matahari biasa adalah

solar drying dibantu dengan alat sederhana sedemikian rupa sehingga

pengeringan yang dihasilkan lebih efektif. Metode solar drying sering digunakan untuk mengeringkan padi. Namun karena pada prinsipnya pengeringan adalah untuk mengurangi jumlah air (kelembaban) bahan, maka metode ini juga dapat diaplikasikan untuk bahan makanan lain. Cara kerja

solar dryer adalah sebagai berikut: bahan yang ingin dikeringkan dimasukkan

ke dalam bilik yang berada pada ketinggian tertentu dari permukaan tanah. Udara sekitar masuk melalui saluran yang dibuat lebih rendah daripada bilik pemanasan dan secara otomatis terpanaskan oleh sinar matahari secara konveksi pada saat udara tersebut mengalir menuju bilik pemanasan. Udara yang telah terpanaskan oleh sinar matahari kemudian masuk kedalam bilik pemanas dan memanaskan bahan makanan. Pengeringan bahan makanan jadi lebih efektif karena pemanasan yang terjadi berasal dari dua arah, yaitu dari sinar matahari secara langsung (radiasi) dan aliran udara panas dari bawah (konveksi) (Yissaluthana, 2010).


(31)

commit to user

Pengering berbentuk kabinet memiliki rak-rak untuk menempatkan bahan yang akan dikeringkan. Satu alat pengering kabinet rata-rata memiliki 3 atau 4 rak sebagai wadah atau tempat hasil tanaman yang akan dikeringkan, rak-rak ditempatkan secara tersusun dalam alat dan dengan penyebaran udara panas kedalamnya selama waktu yang telah ditentukan, pengeringan akan berlangsung dengan baik mendekati pengeringan sempurna dengan sinar matahari (Riata, 2010). Menurut Yissaluthana (2010)setelah ruangan ditutup, maka udara panas dialirkan ke dalam ruang pemanas hingga semua bahan menjadi kering. Udara panas yang masuk dari sebelah bawah ruang menyebabkan material yang ada kolom yang paling bawah menjadi yang paling pertama kering. Setelah tenggat waktu tertentu, tray akan dikeluarkan dan material yang telah kering diambil. Material lain yang ingin dikeringkan dimasukkan dan prosedur terjadi berulang-ulang sehingga dapat disebut juga

batch dryer.

G. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah penggunaan teknik pengeringan yang berbeda (pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (kontrol), solar

dryer dengan kain penutup warna putih, cabinet dryer suhu 35oC, cabinet

dryer suhu 40oC, dan cabinet dryer suhu 45oC) diduga mempengaruhi kadar


(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian dilaksanakan dalam jangka waktu 4 bulan mulai bulan Januari-April 2011. B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Dalam penelitian ini bahan utama yang digunakan adalah rimpang temulawak yang dirajang dengan ukuran 3 mm. Dalam analisis akan digunakan bahan-bahan sebagai berikut :

a. Analisis Kadar Air : toluene (xylene)

b. Analisis Kadar Kurkuminoid : kurkuminoid standar, etanol 96% c. Analisis Antioksidan : DPPH (Diphenyl picrylhydrazyl), metanol d. Analisis Total Fenol : aquadest, folin Ciocalteu, Na2CO3 2%, dan

fenol murni 2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan simplisia temulawak adalah mesin perajang (slicer); 3 buah tampah; solar dryer; kain putih; cabinet dryer; mesin penepungan dengan ayakan kecil 80 mesh; dan termometer. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain :

a. Analisis Kadar Air : gelas ukur, labu destilasi, pipet, alat destilasi. b. Analisis Kadar Kurkuminoid : spektrofotometer UV-Vis, beker glass,

pipet, gelas ukur, vortex, tabung reaksi.

c. Analisis Antioksidan : spektrofotometer UV-Vis, vial, pipet volume dan vortex.

d. Analisis Total Fenol : erlenmeyer 100 ml, gelas ukur, vortex, tabung reaksi, spektrofotometer UV-Vis, labu takar, pengaduk, pipet volume.


(33)

commit to user

C. Tahap Penelitian

Tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penyiapan Bahan dan Perajangan

Rimpang temulawak yang digunakan berasal dari Batu, Wonogiri dengan umur rata-rata 10-12 bulan. Rimpang tersebut dicuci sampai bersih dan dilakukan proses perajangan dengan menggunakan mesin perajang. Proses perajangan dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan dengan memperluas permukaan bahan. Ketebalan rimpang temulawak mengacu pada Anonimc (2010) rajangan temulawak biasanya melintang setebal 2-3 mm.

2. Pengeringan

Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam rimpang temulawak. Penghentian proses pengeringan mengacu pada Cahyono (2007) pada umumnya indikator yang digunakan oleh para petani dalam memperoleh gambaran mengenai kadar air simplisia jika simplisia tersebut bisa dipatahkan. Umumnya kadar air simplisia yang bisa dipatahkan kira-kira antara 10-12%. Proses pengeringan ini dilakukan dengan beberapa variasi teknik pengeringan yaitu dijemur alami tanpa kain penutup (kontrol), solar dryer dengan kain penutup warna putih, cabinet dryer suhu 35oC, cabinet dryer suhu 40oC,

dan cabinet dryer suhu 45oC. Teknik pengeringan ini selain mengacu dari

penelitian terdahulu yaitu penelitian Nugraha (2010), pemilihan suhu pada cabinet dryer didasarkan pada Hernani dan Rahmawati (2009) bahwa untuk bahan yang mengandung minyak atsiri, suhu pengeringan yang terbaik adalah 35-45°C. Dikatakan juga menurut Parahita (2007) bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif dan tidak tahan panas harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30-45oC.

Pengujian kadar air dilakukan dengan pengambilan sampel secara acak dengan menggunakan metode thermovolumetri (Sudarmadji dkk, 1997).


(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

3. Analisis senyawa aktif simplisia temulawak

Metode analisis senyawa aktif pada simplisia temulawak dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Metode Analisis Senyawa Aktif Simplisia Temulawak

No Macam uji Metode

1 Kurkuminoid Spektrofotometri (Zahro, 2009 dalam Nugraha, 2010)

2 Total fenol Folin Ciocalteu (Senter et al., 1989 dalam Sundari, 2009)

3 Aktivitas Antioksidan DPPH (Othman et al., 2007 dalam Sartini, 2007)


(35)

commit to user

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Simplisia Temulawak Rajangan temulawak

Simplisia Kadar air 10-12%

Pengeringan dengan berbagai variasi teknik : 1. Dijemur alami tanpa kain penutup (kontrol)

2. Solar dryer dengan kain penutup warna putih

3. Cabinet dryer dengan suhu 35oC

4. Cabinet dryer dengan suhu 40oC

5. Cabinet dryer dengan suhu 45oC

Uji simplisia temulawak : 1. Kadar kurkuminoid 2. Kadar total fenol 3. Aktivitas antioksidan 4.

Dirajang dengan ketebalan 2-3 mm

Dibersihkan Temulawak


(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

D. Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan menggunakan satu faktor, yaitu variasi teknik pengeringan (dijemur alami tanpa kain penutup (k), solar dryer dengan kain penutup warna putih, cabinet

dryer suhu 35oC, cabinet dryer suhu 40oC, dan cabinet dryer suhu 45oC ).

Percobaan dilakukan dengan tiga kali pengulangan untuk setiap perlakuan dan tiga kali pengulangan analisis. Tabel rancangan percobaan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu variasi teknik pengeringan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Rancangan Percobaan Acak Lengkap dengan Satu Faktor

Percobaan SM SD CD 35oC CD 40oC CD 45oC

1 SM 1 SD 1 CD 35oC 1 CD 40oC 1 CD 45oC 1 2 SM 2 SD 2 CD 35oC 2 CD 40oC 2 CD 45oC 2 3 SM 3 SD 3 CD 35oC 3 CD 40oC 3 CD 45oC 3 Keterangan :

SM = pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (kontrol)

SD = solar dryer dengan kain penutup putih

CD 35oC = cabinet dryer T 35oC CD 40oC = cabinet dryer T 40oC CD 45oC = cabinet dryer T 45oC 1, 2, 3 = ulangan percobaan

Data yang diperoleh dari percobaan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji analisis varian (ANOVA). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pada masing-masing teknik pengeringan tersebut pada tingkat signifikansi α = 0,05. Apabila terdapat beda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji DMRT pada tingkat signifikansi α yang sama.


(37)

commit to user

26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Simplisia temulawak merupakan hasil rajangan temulawak yang telah dikeringkan. Simplisia temulawak dapat diolah menjadi berbagai macam produk, seperti serbuk, minyak atsiri, ekstrak kental/ oleoresin, ekstrak kering maupun kapsul temulawak. Permasalahan yang muncul adalah rendahnya kualitas dan kontinuitas suplai simplisia temulawak. Hal ini dikarenakan proses pengeringan yang dilakukan oleh para petani (produsen) masih mengandalkan pada pengeringan langsung dengan sinar matahari di alam terbuka. Sehingga resiko terkontaminasi oleh jamur, terganggunya proses pengeringan pada musim hujan, dan rusaknya kandungan senyawa aktif oleh sinar UV yang cukup tinggi. Melihat manfaat yang banyak dari penggunaan temulawak sebagai bahan baku industri dalam bentuk simplisia maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif simplisia temulawak berbagai teknik pengeringan.

Pada pembuatan simplisia temulawak, langkah pertama yaitu rimpang temulawak setelah dicuci kemudian dirajang dengan ketebalan yang sama yaitu 2-3 mm. Hasil rajangan temulawak dikeringkan dengan berbagai variasi teknik pengeringan yaitu pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup sebagai kontrol,

solar dryer dengan kain penutup warna putih yang merupakan hasil terbaik dari

penelitian sebelumnya (Nugraha, 2010), cabinet dryer suhu 35oC, cabinet dryer

suhu 40oC, dan cabinet dryer suhu 45oC. Pengeringan dihentikan ketika kadar air telah mencapai 10-12% dengan indikator temulawak mudah dipatahkan dilanjutkan dengan uji kadar air untuk memastikannya. Setelah itu dilakukan pengujian kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak dari berbagai teknik pengeringan.

A. Kadar Air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua bahan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan makanan tersebut terhadap serangan mikroba yang


(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

pada akhirnya juga akan mempengaruhi mutu bahan pangan tesebut. Kadar air bahan merupakan jumlah air yang terikat secara fisik dalam bahan sehingga bahan dapat dinyatakan sebagai suatu material basah atau kering (Siswanto, 2004). Umumnya untuk mengurangi kadar air dalam bahan dilakukan pengeringan, baik secara alami atau menggunakan alat pengering buatan.

Menurut Riata (2010) pengeringan akan mencegah agar simplisia tidak berjamur dan kandungan kimia yang berkhasiat tidak berubah karena proses fermentasi. Adanya air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat menjadi media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Enzim tertentu dalam sel, masih dapat bekerja menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama bahan simplisia tersebut masih mengandung kadar air tertentu. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik melalui pengeringan, dapat mencegah penurunan kualitas atau kerusakan senyawa aktif simplisia.

Salah satu parameter utama untuk menentukan kualitas simplisia temulawak adalah dengan menentukan kadar airnya. Dalam penelitian ini uji kadar air menggunakan metode thermovolumetri (Sudarmadji dkk, 1997) dengan pengambilan secara acak pada masing-masing sampel. Hasil analisis kadar air simplisia bubuk temulawak dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kadar Air Simplisia Temulawak Simplisia Kering Temulawak Kadar Air SM Kadar Air SD Kadar Air CD 35oC

Kadar Air CD 40oC

Kadar Air CD 45oC

Ulangan 1 11,5 % 10 % 10 % 10 % 9 %

Ulangan 2 10 % 11 % 12 % 11 % 10 %

Ulangan 3 11 % 10 % 12 % 11,5 % 11 %

Rata –rata 10,83 % 10,33% 11,33% 10,83% 10,00% Hasil penelitian menunjukkan kadar air rata-rata simplisia temulawak dengan 3 kali ulangan yaitu dengan pengering sinar matahari sebesar 10,83%; dengan solar dryer tanpa kain penutup sebesar 10,33%; dengan cabinet dryer suhu 35oC sebesar 11,33%; dengan cabinet dryer suhu 40oC sebesar 10,83%; dan dengan cabinet dryer suhu 45oC sebesar 10,00%. Kadar air simplisia temulawak menurut Materia Medika Indonesia (1979)


(39)

commit to user

dalam penelitian Sembiring, dkk (2006) adalah maksimal 12%. Dari hasil yang didapat menunjukkan bahwa kadar air simplisia temulawak pada keseluruhan sampel yang diwakili dari pengambilan sebagian pada masing-masing sampel kadar airnya kurang dari 12%. Dengan kadar air yang telah memenuhi standar, dilakukan pengujian terhadap senyawa bioaktif simplisia temulawak untuk mengetahui efektivitas pengeringan terhadap senyawa bioaktifnya. Senyawa bioaktif dalam simplisia temulawak akan lebih dapat dipertahankan dengan teknik pengeringan yang tepat pada standar kadar air yang sama. Penghentian proses pengeringan berdasarkan pada Cahyono (2007) bahwa pada umumnya indikator yang digunakan oleh para petani dalam memperoleh gambaran mengenai kadar air simplisia jika simplisia tersebut bisa dipatahkan. Umumnya kadar air simplisia yang bisa dipatahkan antara 10-12%.

B. Kadar Kurkuminoid Simplisia Temulawak Pada Berbagai Teknik Pengeringan

Salah satu parameter kualitas simplisia temulawak adalah senyawa aktif dalam temulawak berupa pigmen warna kuning yang disebut kurkuminoid. Kurkuminoid berbentuk serbuk dengan rasa pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat, dan alkali hidroksida. Bila kurkuminoid terkena cahaya akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkuminoid. Siklisasi kurkuminoid menyebabkan senyawa kurkuminoid terdegradasi menjadi asam ferulat sehingga kadarnya dalam ekstrak menjadi rendah (Sidik dkk., 1995). Oleh karena itu, dibutuhkan teknik pengeringan yang tepat untuk mempertahankan kurkuminoid dalam temulawak agar tetap memiliki keaktifan fisiologis. Pada penelitian ini digunakan berbagai teknik pengeringan dalam menghasilkan simplisia temulawak yaitu pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (kontrol), solar dryer dengan kain penutup putih,

dan cabinet dryer (35oC, 40oC, dan 45oC). Hasil analisis kadar kurkuminoid

simplisia temulawak dinyatakan dalam persen berat kering/ %db (dry basis). Kadar kurkuminoid simplisia temulawak dari berbagai teknik pengeringan dapat dilihat pada Tabel 4.2.


(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Tabel 4.2. Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Simplisia Temulawak Teknik Pengeringan Kadar Kurkuminoid

(% db)

Sinar Matahari (kontrol) 0,248a

Solar Dryer 0,402c

Cabinet dryer 35oC 0,323b

Cabinet dryer 40oC 0,446d

Cabinet dryer 45oC 0,495e

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tinglat signifikansi α 0,05

Dari hasil analisis statistik didapatkan hasil uji kadar kurkuminoid simplisia temulawak berbeda nyata pada tiap teknik pengeringan yang ditunjukkan dengan huruf yang berbeda. Simplisia temulawak dengan pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup kadar kurkuminoid yang didapat sebesar 0,248%, simplisia temulawak yang dikeringkan dengan solar

dryer dan ditutup kain putih kadar kurkuminoidnya sebesar 0,402%.

Sedangkan simplisia temulawak yang dikeringkan dengan cabinet dryer suhu 35oC kadar kurkuminoidnya sebesar 0,323%, cabinet dryer suhu 40oC kadar kurkuminoidnya sebesar 0,446% dan cabinet dryer suhu 45oC kadar kurkuminoidnya sebesar 0,495%.

Dari hasil tersebut diperoleh kadar kurkuminoid terendah dihasilkan oleh simplisia temulawak dengan pengeringan sinar matahari langsung tanpa kain penutup. Telah disebutkan oleh Sidik dkk. (1995) bahwa bila kurkuminoid terkena cahaya akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkuminoid, sehingga kadarnya dalam ekstrak menjadi rendah. Siklisasi kurkuminoid menyebabkan senyawa kurkuminoid terdegradasi. Produk degradasi kurkumin yang utama adalah asam ferulat, aldehid ferulat, dehidroksinaftalen, vinilquaikol, vanilin dan asam vanilat (Van der Good, 1995 dalam Kurnia, 2010). Selain itu, pengeringan sinar matahari langsung sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca sehingga memerlukan waktu yang relatif lebih lama dibanding dengan pengering buatan. Menurut Hernani dan Rahmawati (2009) suhu sinar matahari yang sangat bervariasi (35-47oC) juga merupakan faktor penyebab kerusakan pada kurkumin.


(41)

commit to user

Pada pengeringan dengan solar dryer ditutup kain putih menghasilkan kadar kurkuminoid simplisia temulawak yang lebih tinggi dibanding dengan pengeringan sinar matahari. Fungsi kain penutup putih pada pengeringan simplisia dengan solar dryer ini adalah untuk melindungi bahan yang dikeringkan dari panas sinar matahari yang dapat menyebabkan rusaknya kandungan dalam bahan yang dikeringkan karena kain putih bersifat memantulkan semua spektrum cahaya termasuk sinar UV yang dapat mendegradasi kurkuminoid (Yadie, 2009 dalam Nugraha, 2010).

Menurut Yissaluthana (2010) pengeringan bahan makanan dengan solar

dryer lebih efektif karena pemanasan yang terjadi berasal dari dua arah, yaitu

dari sinar matahari secara langsung (radiasi) dan aliran udara panas dari bawah (konveksi). Pemanasan yang berasal dari dua arah inilah yang mempercepat proses pengeringan, sehingga didapat kadar kurkuminoid simplisia temulawak yang dikeringkan dengan solar dryer ditutup kain putih lebih besar atau dengan kata lain lebih dapat mempertahankan kadar kurkuminoid dibanding simplisia temulawak yang dikeringkan dengan cabinet dryer suhu 35oC karena waktu pengeringannya juga lebih singkat. Berdasarkan Susilowati (2010) penurunan kadar kurkuminoid ekstrak rimpang temulawak semakin besar seiring lamanya waktu pemanasan walaupun suhu yang digunakan lebih rendah. Kemungkinan yang sama juga terjadi dalam proses pengeringan simplisia temulawak. Selama pemanasan, kurkuminoid mengalami degradasi dan membentuk asam ferulat dan ferulloimetan yang berwarna kuning kecoklatan (Mohammad dkk., 2007 dalam Susilowati, 2010). Pembentukan asam ferulat akibat degradasi kurkuminoid menjadikan kadarnya dalam ekstrak menjadi rendah (Sidik dkk., 1995).

Dari hasil penelitian diperoleh kadar kurkuminoid simplisia temulawak yang dikeringkan dengan cabinet dryer suhu 45oC lebih besar dibandingkan kedua suhu di bawahnya dengan alat pengering yang sama. Didapat pula kadar kurkuminoid tertinggi dari semua teknik pengeringan dihasilkan oleh simplisia dengan pengeringan cabinet dryer suhu 45oC. Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas, terutama pada perubahan kadar fitokimia atau


(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

senyawa aktif (Hernani dan Rahmawati, 2009). Dengan menggunakan pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena pengeringan akan lebih merata dan waktu pengeringan akan lebih cepat, tanpa dipengaruhi oleh keadaan cuaca (Kiswanto, 2005). Pengeringan dengan cabinet dryer suhunya lebih stabil dibanding dengan kedua teknik pengeringan lainnya yang masih bergantung pada panas matahari dan cuaca. Selain itu, pengeringan dengan cabinet dryer menghindarkan bahan dari paparan sinar UV matahari yang merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan senyawa aktif terutama kurkuminoid.

Perbandingan kadar kurkuminoid simplisia temulawak pada berbagai teknik pengeringan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Keterangan :

SM = pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (kontrol)

SD = solar dryer dengan kain penutup putih

CD 35C = cabinet dryer T 35oC CD 40C = cabinet dryer T 40oC CD 45C = cabinet dryer T 45oC

Gambar 4.1 Kadar Kurkuminoid Simplisia Temulawak pada Berbagai Teknik Pengeringan

Dari gambar di atas diperoleh kadar kurkuminoid antara 0,248-0,495%. Hasil yang diperoleh jauh lebih kecil dibanding dengan Parahita (2007) dimana kadar kurkuminoid dalam temulawak berkisar antara 1-2%.

0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.450 0.500

SM SD CD 35 C CD 40 C CD 45 C 0.248 0.402 0.323 0.446 0.495 K ad ar K u rk u m in o id ( % ) Teknik Pengeringan


(43)

commit to user

Perbedaan kandungan kurkuminoid yang diperoleh mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya umur rimpang, tempat tumbuh, dan metode yang digunakan (Fatmawati, 2008). Biasanya kandungan kurkuminoid dianalisis dari bentuk ekstraknya (oleoresin) sedangkan dalam penelitian ini kadar kurkuminoid dianalisis dalam bentuk simplisia yang digiling menjadi bubuk sehingga kadarnya lebih kecil karena masih mengandung banyak komponen lainnya (pati, protein, minyak atsiri, dan lain-lain). Perbedaan metode analisis dapat menghasilkan kadar yang berbeda pula.

C. Kadar Total Fenol Simplisia Temulawak Pada Berbagai Teknik Pengeringan

Fenol (C6H5OH) atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tidak berwarna yang memiliki bau yang khas. Struktur fenol memiliki gugus hidroksil (OH-) yang berikatan dengan cincin fenil. Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yaitu 8,3 gram/100 ml (Anonima, 2004). Menurut Yuswantina (2009) senyawa alami antioksidan tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol. Senyawa ini diklasifikasikan dalam 2 bagian yaitu fenol sederhana dan polifenol. Fenol dapat menghambat okidasi lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas (Widiyanti, 2009). Senyawa fenolik merupakan senyawa aktif yang menjadi parameter kualitas simplisia temulawak. Pengeringan pada simplisia temulawak merupakan faktor penting dan harus diperhatikan karena kandungan senyawa aktif temulawak rentan sekali mengalami kerusakan. Oleh karena itu, diperlukan teknik pengeringan yang tepat untuk mempertahankan kandungan senyawa aktif fenolik dalam temulawak. Hasil analisis total fenol simplisia temulawak dinyatakan dalam persen berat kering/ %db (dry basis). Total fenol simplisia temulawak dari berbagai teknik pengeringan dapat dilihat pada Tabel 4.3.


(44)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Tabel 4.3 Hasil Analisis Kadar Total Fenol Simplisia Temulawak Pengeringan Total Fenol (% db)

Sinar Matahari (kontrol) 0,358a

Solar Dryer 0,476b

Cabinet dryer 35oC 0,450ab

Cabinet dryer 40oC 0,516b

Cabinet dryer 45oC 0,933c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat signifikansi α 0,05

Dari hasil analisis statistik yang diperoleh, hanya kandungan total fenol simplisia temulawak dengan pengeringan cabinet dryer suhu 45oC yang berbeda nyata dengan total fenol simplisia temulawak yang diperoleh dengan teknik pengeringan lainnya. Total fenol simplisia temulawak yang dihasilkan dari berbagai teknik pengeringan berturut-turut dari yang terkecil hingga terbesar adalah dengan pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup total fenolnya sebesar 0,358%; dengan cabinet dryer suhu 35oC total fenolnya sebesar 0,450%; dengan solar dryer ditutup kain putih total fenolnya sebesar 0,476%; dengan cabinet dryer suhu 40oC total fenolnya sebesar 0,516%; dan dengan cabinetdryer suhu 45oC total fenolnya sebesar 0,933%.

Dari hasil tersebut diperoleh total fenol terendah dihasilkan oleh simplisia temulawak dengan pengeringan sinar matahari langsung tanpa kain penutup. Fenol mempunyai sifat asam, mudah dioksidasi, mudah menguap, sensitif terhadap cahaya dan oksigen (Sundari, 2009). Pengeringan matahari di udara terbuka menyebabkan temulawak terpapar langsung oleh cahaya, panas, dan oksigen yang menyebabkan senyawa fenol rusak serta menguap sehingga kadarnya dalam simplisia rendah.

Pada simplisia temulawak yang dikeringkan dengan teknik solar dryer

ditutup kain putih memiliki total fenol yang sedikit lebih tinggi dari pada pengeringan alami karena kain putih dapat memantulkan semua spektrum cahaya termasuk sinar UV yang dapat menyebabkan oksidasi senyawa fenol (Yadie, 2009 dalam Nugraha, 2010). Selain itu, pengeringan tanpa kain penutup menyebabkan penguapan yang terlalu cepat sehingga penggunaan kain penutup disini lebih dapat melindungi minyak atsiri yang juga merupakan senyawa fenolik dari penguapan yang terlalu cepat.


(45)

commit to user

Menurut Yissaluthana (2010) pengeringan bahan makanan dengan solar

dryer lebih efektif karena pemanasan yang terjadi berasal dari dua arah, yaitu

dari sinar matahari secara langsung (radiasi) dan aliran udara panas dari bawah (konveksi). Pemanasan yang berasal dari dua arah inilah yang mempercepat proses pengeringan, sehingga didapat total fenol simplisia temulawak yang dikeringkan dengan solar dryer ditutup kain putih lebih besar dibanding total fenol simplisia temulawak yang dikeringkan dengan cabinet dryer suhu 35oC karena waktu pengeringannya lebih singkat. Berdasarkan Susilowati (2010) kadar total fenol menurun seiring lamanya waktu pemanasan meskipun dengan suhu yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan pengaruh metode pemanasan terhadap kadar kurkuminoid. Senyawa fenol mengalami degradasi karena panas sehingga semakin lama pemanasan maka senyawa fenol semakin rusak.

Pada pengeringan dengan teknik cabinet dryer suhu 45oC memiliki total fenol tertinggi dibanding dengan teknik pengeringan yang lain. Dengan menggunakan pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena pengeringan akan lebih merata dan waktu pengeringan akan lebih cepat, tanpa dipengaruhi oleh keadaan cuaca (Kiswanto, 2005). Suhu pada cabinet dryer lebih stabil dibandingkan dengan pengeringan sinar matahari maupun dengan solar dryer. Selain itu, pengeringan dengan cabinet

dryer menghindarkan bahan dari paparan sinar UV matahari yang merupakan

salah satu faktor penyebab kerusakan senyawa aktif. Pengeringan dengan teknik solar dryer meskipun termasuk pengering buatan akan tetapi masih membutuhkan sinar matahari sebagai sumber panasnya sehingga suhu pada

solar dryer juga tergantung pada kondisi cuaca,

Simplisia temulawak yang dikeringkan dengan cabinet dryer suhu 45oC memiliki total fenol lebih besar dibandingkan dengan simplisia temulawak dengan cabinet dryer suhu 35 dan 40oC. Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas, terutama pada perubahan kadar fitokimia atau senyawa aktif (Hernani dan Rahmawati, 2009). Menurut Su et al, (2004), pada tahap awal proses pengeringan senyawa fenol cenderung mengalami


(46)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

penurunan sangat cepat yang disebabkan karena selama pengeringan senyawa fenol mengalami oksidasi oleh enzim polifenol oksidase menjadi kuinon. Sedangkan Susanti (2008) semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan juga menyebabkan semakin tingginya inaktivasi enzim polifenol oksidase sehingga aktivitas enzim akan semakin rendah, kerusakan fenol semakin kecil. Akan tetapi stabilitas fenol juga akan terganggu oleh semakin meningkatnya suhu pengeringan sehingga jumlah total fenol terdeteksi akan mencapai puncak maksimum kemudian konstan dan cenderung menurun.

Perbandingan total fenol simplisia temulawak pada berbagai teknik pengeringan dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Keterangan :

SM = pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (kontrol)

SD = solar dryer dengan kain penutup putih

CD 35C = cabinet dryer T 35oC CD 40C = cabinet dryer T 40oC CD 45C = cabinet dryer T 45oC

Gambar 4.2 Total Fenol Simplisia Temulawak pada Berbagai Teknik Pengeringan

Dari gambar di atas diperoleh kadar total fenol simplisia temulawak berkisar antara 0,358-0,933%. Hasil total fenol temulawak yang diperoleh mendekati total fenol yang dihasilkan oleh penelitian Oktaviana (2010) yaitu

0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800 0.900 1.000

SM SD CD 35 C CD 40 C CD 45 C 0.358

0.476 0.450 0.516

0.933 T o tal F e n o l (% ) Teknik Pengeringan


(1)

commit to user

Dari hasil analisis statistik diperoleh aktivitas antioksidan simplisia temulawak yang dihasilkan dari berbagai teknik pengeringan didapat nilai yang berbeda nyata ditunjukkan oleh huruf yang berbeda. Aktivitas antioksidan simplisia temulawak yang dihasilkan dari berbagai teknik pengeringan berturut-turut dari yang terkecil hingga terbesar adalah dengan pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup aktivitas antioksidannya sebesar 13,513%; dengan cabinet dryer suhu 35oC aktivitas antioksidannya sebesar 27,741%; dengan solar dryer ditutup kain putih aktivitas antioksidannya sebesar 31,610%; dengan cabinet dryer suhu 40oC aktivitas antioksidannya sebesar 39,384%; dan dengan cabinet dryer suhu 45oC aktivitas antioksidannya sebesar 57,701%. Aktivitas antioksidan asam askorbat 500 ppm yang didapat pada metode uji yang sama yaitu sebesar 97,855%.

Dari hasil penelitian diperoleh aktivitas antioksidan yang paling rendah dihasilkan oleh simplisia temulawak yang dikeringkan sinar matahari tanpa kain penutup. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sifat antioksidan adalah mudah teroksidasi dengan adanya cahaya, panas, dan oksigen (Zapsalis, 1985 dalam Widiyanti, 2006). Pengeringan dengan sinar matahari menghasilkan kadar aktivitas antioksidan yang paling rendah dikarenakan paparan sinar matahari yang mengandung sinar UV yang dapat mendegradasi senyawa antioksidan dalam temulawak. Sifat kurkuminoid yang sensitif terhadap cahaya dan mudah terdegradasi sehingga kemungkinan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidannya (Irawati, 2008). Selain cahaya, suhu matahari yang sangat bervariasi 35-47oC (Hernani dan Rahmawati, 2009) juga merupakan faktor penyebab kerusakan pada kurkumin. Tanpa adanya kain penutup, antioksidan akan mudah terpapar oksigen dari lingkungan yang merupakan pemicu terjadinya oksidasi.

Pada simplisia temulawak yang dikeringkan dengan teknik solar dryer

ditutup kain putih memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari pada pengeringan alami karena kain putih dapat memantulkan semua spektrum cahaya termasuk sinar UV yang dapat menyebabkan kerusakan antioksidan


(2)

(Yadie, 2009 dalam Nugraha, 2010). Namun, kerusakan antioksidan pada simplisia temulawak tidak dapat sepenuhnya dicegah dengan pengeringan

solar dryer, karena solar dryer masih memanfaatkan energi matahari yang suhunya tidak dapat dikontrol.

Menurut Yissaluthana (2010) pengeringan bahan makanan dengan solar dryer lebih efektif karena pemanasan yang terjadi berasal dari dua arah, yaitu dari sinar matahari secara langsung (radiasi) dan aliran udara panas dari bawah (konveksi). Pemanasan yang berasal dari dua arah inilah yang mempercepat proses pengeringan, sehingga didapat aktivitas antioksidan simplisia temulawak yang dikeringkan dengan solar dryer dan ditutup kain putih lebih tinggi dibandingkan aktivitas antioksidan simplisia temulawak yang dikeringkan dengan cabinet dryer suhu 35oC karena waktu pengeringan yang dibutuhkan juga lebih singkat. Berdasarkan Susilowati (2010) potensi antioksidan menurun seiring lamanya waktu pemanasan meskipun menggunakan suhu yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan data kadar kurkuminoid pada Tabel 4.2 dan data kadar total fenol pada Tabel 4.3. Seperti yang telah diketahui bahwa senyawa fenolik termasuk didalamnya kurkuminoid bertanggung jawab terhadap kemampuan rimpang temulawak sebagai antioksidan. sehingga perubahan kadar kurkuminoid dan perubahan kadar total fenol berkorelasi linier dengan aktivitas antioksidan simplisia temulawak.

Pada pengeringan dengan cabinet dryer suhu 45oC memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibanding dengan teknik pengeringan yang lain. Dengan menggunakan pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu


(3)

commit to user

membutuhkan sinar matahari sebagai sumber panasnya sehingga suhu pada

solar dryer juga tergantung pada kondisi cuaca.

Dari hasil penelitian diperoleh aktivitas antioksidan simplisia temulawak yang dikeringkan dengan cabinet dryer suhu 45oC lebih besar dibandingkan kedua suhu di bawahnya dengan alat pengering yang sama. Aktivitas antioksidan tertinggi dari semua teknik pengeringan juga dihasilkan oleh simplisia dengan teknik pengeringan cabinet dryer suhu 45oC. Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas, terutama pada perubahan kadar fitokimia atau senyawa aktif (Hernani dan Rahmawati, 2009). Tanaman obat mengandung antioksidan dalam jumlah besar, Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa-senyawa fenol (Andayani, 2008). Temulawak juga termasuk tanaman obat yang memiliki aktivitas antioksidan yang berasal dari senyawa fenol termasuk di dalamnya kurkuminoid yang merupakan senyawa fenolik. Dengan demikian, makin banyaknya total fenol yang terkandung dalam temulawak, maka akan mempengaruhi pula aktivitas antioksidannya karena senyawa fenol dalam temulawak bersifat sebagai antioksidan. Namun dari hasil penelitian, kenaikan aktivitas antioksidan simplisia temulawak sebanding dengan kadar kurkuminoid yang terkandung akan tetapi tidak sebanding dengan total fenolnya.

Perbandingan aktivitas antioksidan simplisia temulawak pada berbagai teknik pengeringan dengan aktivitas antioksidan asam askorbat 500 ppm dapat dilihat pada Gambar 4.3.


(4)

Keterangan :

SM = pengeringan sinar matahari tanpa kain penutup (kontrol)

SD = solar dryer dengan kain penutup putih

CD 35C = cabinet dryer T 35oC CD 40C = cabinet dryer T 40oC CD 45C = cabinet dryer T 45oC

Gambar 4.3 Perbandingan Aktivitas Antioksidan Simplisia Temulawak pada Berbagai Teknik Pengeringan dengan Asam Askorbat 500 ppm Dari gambar diperoleh aktivitas antioksidan simplisia temulawak berkisar antara 13,513-57,701%. Hasil aktivitas antioksidan simplisia temulawak dari kelima teknik pengeringan tersebut dibandingkan dengan aktivitas antioksidan pada asam askorbat 500 ppm (dengan metode yang sama) dan didapatkan aktivitas antioksidan dalam simplisia temulawak 2-7 kali lebih kecil dibanding dengan aktivitas antioksidan asam askorbat 500 ppm. Sedangkan menurut Hidaka (1999) dalam Wahyudi (2006) kurkumin mempunyai efek antioksidan yang lebih tinggi dibanding dengan asam sitrat

0.000 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000 100.000

SM SD CD 35 C CD 40 C CD 45 C As Askorbat 500 ppm 13.513

31.610 27.741 39.384

57.701 97.855 A k ti v it as A n ti o k si d an ( % ) Teknik Pengeringan


(5)

commit to user

lebih kecil karena masih mengandung banyak komponen lainnya (pati, protein, minyak atsiri, dan lain-lain) sedangkan asam askorbat yang digunakan adalah dalam bentuk murni. Meskipun demikian dilihat dari aktivitas antioksidan simplisia temulawak yang dihasilkan, masih memiliki potensi sebagai alternatif antioksidan alami yang nantinya diharapkan dapat menggantikan pemakaian antioksidan sintetik. Karena pemakaian antioksidan sintetik dalam waktu yang lama dan dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan mutagenetik dan karsinogenetik. Senyawa antioksidan alami diharapkan dapat menggantikan antioksidan sintetik seperti BHA (butil hidroksi anisol) dan BHT (butil hidroksi toluen) (Darmawan, 2009).


(6)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Pada Berbagai Teknik Pengeringan ini adalah :

1. Penggunaan teknik pengeringan yang berbeda berpengaruh terhadap kandungan senyawa aktif (kurkuminoid, total fenol) dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak.

2. Penggunaan pengering buatan mampu mempertahankan senyawa aktif simplisia temulawak dibandingkan pengeringan alami (sinar matahari). 3. Pengeringan simplisia temulawak yang paling efektif mempertahankan

senyawa aktif (kurkuminoid, total fenol) dan aktivitas antioksidan temulawak adalah dengan teknik cabinet dryer suhu 45oC. Kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan simplisia temulawak yang dikeringkan dengan menggunakan cabinet dryer suhu 45oC masing-masing sebesar 0,495%, 0,933%, dan 57,701%.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan alat pengeringan lainnya (seperti: oven dan pengering vacum) dan variasi suhu pengeringan lainnya yang lebih tinggi untuk mengetahui seberapa efektif dan efisien teknik pengeringan tersebut dalam meminimalkan terjadinya kerusakan pada senyawa aktif temulawak.

2. Penelitian ini masih perlu disempurnakan dengan penelitian lebih lanjut tentang simplisia temulawak pada perlakuan berbagai teknik pengeringan dan variasi suhu pengeringan yang dapat dilanjutkan dengan menguji


Dokumen yang terkait

Pengukuran Kapasitas Antioksidan Dalam Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

3 32 82

Pengaruh Proses Pengeringan Terhadap Aktivitas Antibakteri Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

0 9 92

Karakteristik Pengeringan Beku Sari Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

1 10 43

Kandungan Kurkuminoid dan Daya Antioksidan Aksesi Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) asal Sukabumi

0 4 28

KAJIAN KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ADA BERBAGAI TEKNIK PENGERINGAN DAN PROPORSI PELARUTAN

0 7 86

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP KADAR Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Kadar Kolesterol Total Pada Tikus Putih Hiperlipidemia.

0 0 13

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP KADAR Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Kadar Kolesterol Total Pada Tikus Putih Hiperlipidemia.

0 0 9

Uji Aktivitas Bahan Aktif Oleoresin Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza ROXB.) Pada Berbagai Variasi Pengeringan terhadap Pemulihan Tikus yang Terjangkit Kanker.

0 0 1

SELEKSI METODA EKSTRAKSI KURKUMINOID UNTU MENENTUKAN KUALITAS RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Selection method of curcuminoid extraction to determine the quality of Temulawak rhizome (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

0 0 11

Pengaruh waktu pengeringan terhadap Angka Lempeng Total (ALT) rimpang temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb.) - USD Repository

0 0 110