Analisis Usahatani Lele Phyton (Clarias sp) di Kecamatan Seyegan, Sleman

i

ANALISIS USAHATANI LELE PHYTON (Clarias sp) DI
KECAMATAN SEYEGAN, SLEMAN

FAJAR ISTIQOMAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usahatani Lele
Phyton (Clarias sp) di Kecamatan Seyegan, Sleman adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Fajar Istiqomah
NIM H34124055

ii

iii

ABSTRAK
FAJAR ISTIQOMAH. Analisis Usahatani Lele Phyton (Clarias sp) di
Kecamatan Seyegan, Sleman. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Lele phyton (Clarias sp) telah banyak dibudidayakan di Seyegan, tetapi
produksinya cenderung menurun dan digantikan dengan jenis ikan yang lain.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mneganalisis penggunaan input, struktur
biaya, pendapatan, dan efisiensi usahatani dengan menggunakan 30 petani
sampel yang diambil secara purposive. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa

penggunaan input pada kolam yang sempit lebih intensif, komponen terbesar
dalam biaya produksi adalah pakan (72,02%) dan benih (18,53%), usahatani lele
phyton menguntungkan dan efisien.
Kata kunci: Lele phyton, input produksi, pendapatan, efisiensi

ABSTRACT
FAJAR ISTIQOMAH. Analysis of Phyton Catfish (Clarias sp) Farming in
Seyegan, Sleman. Supervised by NUNUNG KUSNADI.
Catfish phyton have been widely cultivated in Seyegan, but lately its
production tended decline and shifted by other types of fish. The aims of this
study is to analyze the use of inputs, cost structure, income, and efficiency using
30 sampel of farmers selected purposively. The result that the farmers with small
land using inputs more intensive, the largest component in production cost is
feed (72,02%) and seed (18,53%), the phyton catfish farming is efficient and
profitable.
Keywords: Catfish phyton, inputs production, income, efficiency

iv

ANALISIS USAHATANI LELE PHYTON (Clarias sp) DI

KECAMATAN SEYEGAN, SLEMAN

FAJAR ISTIQOMAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

v

vii


PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah atas segala berkah dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah Usahatani,
dengan judul Analisis Usahatani Lele Phyton di Kecamatan Seyegan, Sleman.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
selaku dosen pembimbing, Bapak Dr. Ir. Suharno, MAdev dan Ibu Anita
Primaswari Widhiani, SP, M.Si selaku dosen penguji atas saran dalam perbaikan
skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti,
M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu dan
mengarahkan penulis selama menjalani masa-masa perkuliahan. Selain itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada para petani lele phyton di Kecamatan
Seyegan atas bantuannya selama penulis mengumpulkan data di lokasi
penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, kakak,
adik dan seluruh keluarga, dan teman-teman atas segala doa, support dan kasih
sayangnya.
Semoga skaripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Fajar Istiqomah


vii
vi

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Produksi Lele Phyton
Konsep Biaya dan Pendapatan
Pergeseran Komoditas

Konsep Efisiensi Usahatani
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Definisi Operasional
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Wilayah Umum Penelitan
Karakteristik Sampel
Keragaan Usahatani Lele Phyton
Analisis Penggunaan Input Usahatani Lele Phyton
Analisis Struktur Biaya Usahatani Lele Phyton
Analisis Pendapatan Usatani Lele Phyton di Kecamatan Seyegan
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

vi
vii
vii
1
1
4
5
5
5
5
7
7
7
10
12
12
13
15

15
15
15
15
17
18
18
19
21
27
34
38
46
48
48
49
50
52

vii

ix

DAFTAR TABEL
Produksi ikan di Kecamatan Seyegan tahun 2008-2012
Nilai produksi ikan di Kecamatan Seyegam tahun 2008-2012
Harga jual ikan di Kecamatan Seyegan tahun 2008-2009
Produksi ikan dengan jenis usaha kolam
Dsitribusi usia petani sampel
Distribusi tingkat pendidikan petani sampel
Distribusi pengalaman usaha petani sampel
Dsitribusi luas kolam petani sampel
Distribusi penggunaan benih
Distribusi penggunaan pakan
Distribusi penggunaan kapur
Distribusi penggunaan tenaga kerja
Rata-rata penggunaan input dan produktivitas per 100 m2 per tahun
Rata-rata biaya usahatani lele phyton
Rata-rata biaya input per 100 m2 per tahun
Rata-rata ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani
Rata-rata pendapatan tenaga kerja, pengembalian modal, keuntungan,

dan R/C ratio per 100 2 per tahun
Perbandingan struktur biaya dan efisiensi usahatani lele phyton dengan
ikan gurami per 100 m2 per tahun

2
3
4
19
19
20
21
21
24
25
26
26
28
35
37
40

44
47

DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata produksi lele di Kabupaten Sleman tahun 2008-2012
2 Luas kolam perikanan di Kecamatan Seyegan tahun 2008-2012
3 Kerangka pemikiran operasional

1
3
14

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan sektor perikanan di masa datang diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan nasional,
khususnya dalam upaya pemulihan ekonomi. Dalam kaitan ini orientasi sub sektor
perikanan dalam pembangunan nasional adalah sebagai pemasok kebutuhan
konsumsi dan gizi masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan berwirausaha,
peningkatan devisa negara melalui ekspor hasil perikanan dan mampu mendorong
munculnya industri baru di sektor pertanian khususnya sub sektor perikanan
(Handayani, 2013).
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Provinsi DIY) mempunyai potensi
perikanan budidaya seluas 18.919,30 ha, dengan potensi perairan umum yaitu
kolam air tenang, karamba, sawah, jaring apung, telaga dan tambak. Total
produksi pada tahun 2011 yang lalu mencapai 44.542 ton yang sebagian besar
berasal dari perikanan budidaya air tawar tepatnya dari budidaya kolam. Secara
terperinci dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2011 produksi budidaya kolam
sebesar 43.795 ton, budidaya karamba sebesar 85 ton, budidaya Jaring apung
sebesar 22 ton, budidaya sawah sebesar 142 ton, dan budidaya tambak sebesar
499 ton. Total produksi perikanan budidaya tersebut berasal dari 5 kabupaten di
Yogyakarta, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul,
Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulon Progo (BPS, 2012).
Produksi ikan di Kabupaten Sleman didominasi oleh budidaya kolam air
tawar, yaitu 21.577 ton, sedangkan lainnya adalah budidaya mina padi dan
perairan umum hanya menghasilkan masing-masing 142 ton dan 180 ton (BPS
Yogyakarta, 2012). Produksi tersebut terdiri dari berbagai jenis ikan yang
dihasilkan oleh seluruh Kecamatan di Kabupaten Sleman. Salah satu jenis ikan
yang banyak dibudidayakan di Sleman adalah ikan lele. Dari segi produksinya,
Kecamatan Seyegan merupakan sentra ikan lele di Sleman. Seperti terlihat pada
gambar 1, rata-rata produksi lele di Kecamatan Seyegan dari tahun 2008-2012
lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
rata-rata (Kg/th)
897.833
204.988
91.068

907.046

155.613

890.938
347.572
437.157
195.922
96.827

179.564

40.792
18.332

74.682
140.872
62.416
30.964

Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Sleman, 2014

Gambar 1. Rata-rata produksi lele di Kabupaten Sleman tahun 2008-2012

2

Jenis lele yang telah banyak dibudidayakan di Kecamatan Seyegan adalah
lele phyton (Clarias sp). Dari segi biologisnya, alasan petani lebih memilih lele
phyton adalah karena lele phyton memiliki keunggulan dibandingkan dengan lele
yang lainnya. Keunggulan yang dimiliki lele phyton antara lain adalah lele phyton
tidak mengandung lemak yang tinggi, tubuhnya panjang dan ramping sehingga
penampilannya menarik, lebih tahan terhadap penyakit, tingkat mortalitasnya
(kematian) rendah dibawah 20%, memiliki efektivitas penyerapan pakan yang
baik yang ditunjukkan dengan nilai FCR (Food Convertion Ratio) 1:1 yang
artinya setiap 1 kg pakan yang di makan, akan membentuk 1 kg daging, selain itu
lele phyton juga lebih tahan dengan suhu dan cuaca yang ekstrim (tahan pada
panas dan dingin yang cukup tinggi). Selain itu konsumen juga lebih memilih lele
phyton dibandingkan dengan lele yang lainnya. Alasannya adalah karena lele
phyton lebih banyak dagingnya dan lebih gurih dari segi rasanya. Jika dikaitkan
dengan biologis lele phytonnya, rasa daging yang lebih gurih dikarenakan gerak
lelenya yang licah menjadikan lemaknya lebih sedikit dan rasanya gurih dan baik
untuk kesehatan jantung konsumen.
Dari segi produksinya, berdasarkan tonase dibawah menunjukkan bahwa
produksi lele phyton yang dihasilkan di Kecamatan Seyegan selalu mendominasi
produksi perikanan di Kecamatan ini secara keseluruhan. Selama periode
pengamatan di bawah, produksi lele selalu diatas 50% kecuali pada tahun 2010.
Tabel 1 Produksi ikan di Kecamatan Seyegan tahun 2008-2012
Jenis
Ikan

Produksi (kg/th)
2008
Produksi

Karper

2009
%

Produksi

2010
%

Produksi

2011
%

Produksi

2012
%

Produksi

%

12 370

0,72

21 570

1,22

24 500

1,92

4 500

0,32

1 250

0,06

Lele

1 123 300

65,07

1 002 150

56,49

502 100

39,41

780 000

55,16

1 127 680

57,88

Nila

264 290

15,31

264 290

14,90

264 290

20,74

142 000

10,04

275 660

14,15

Gurami

277 758

16,09

437 768

24,68

214 038

16,80

347 000

24,54

137 830

7,07

2 350

0,14

2 350

0,13

34 350

2,70

21 890

1,55

5 010

0,26

12 360

0,72

12 360

0,70

37 360

2,93

37 360

2,64

75160

3,86

33 889
1,96
33 639
1,90
197 439
1 726
317
100 1.774.127
100 1.274.077
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Sleman, 2014

15,50

81 410

5,76

325780

16,72

100

1.414.160

100

1.948.370

100

Tawes
Grasscap
Bawal
Total

Selain angka produksinya yang tinggi, lele phyton juga memberikan
kontribusi tertinggi untuk pendapatan petani. Seperti terlihat pada tabel 2, rata-rata
nilai produksi lele phyton dari tahun 2008-2012 lebih tinggi dibandingkan dengan
beberapa jenis ikan lainnya yang juga di budidayakan oleh petani di Kecamatan
Seyegan.

3

Tabel 2 Nilai produksi ikan di Kecamatan Seyegan tahun 2008-2012
Nilai Produksi (Rp 000 /th)
Jenis
Ikan
2008
2009
2010
2011
2012
Karper
185 550
323 550
367 500
67 500
18 750
Lele
11 233 000 10 021 500 5 272 050 8 190 000 11 840 640
Nila
3 303 000 3 303 625 3 567 915 1 917 000 3 721 410
Gurami
6 666 192 10 506 432 5 886 045 9 542 500 3 790 325
Tawes
22 325
22 325
343 500
218 900
50 100
Grasscap
123 600
123 600
373 600
373 600
751 600
Bawal
406 668
403 668 2 369 268
976 920 3 909 360

Rata-rata
(Rp
000/th)
192 570
9 311 438
3 162 590
7 278 299
131 430
349 200
1 914 804

Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Sleman, 2014

Namun produksi lele tidak stabil dari tahun 2008 hingga 2012 (Tabel 1).
Persentase produksi lele phyton cenderung menurun jika dibandingkan dengan
tahun 2008. Hal ini menunjukkan adanya pergesaran komoditas dari lele phyton
ke jenis ikan yang lain seperti karper, nila, gurami, tawes, grasscap, dan bawal.
Karena jika dilihat dari total luas kolam perikanan di Kecamatan Seyegan,
ternyata cenderung meningkat dari tahun 2008-2009, seperti terlihat pada gambar
di bawah ini.
Luas Kolam (m2)
600.000
400.000
Luas Kolam (m2)

200.000
0
2008

2009

2010

2011

2012

Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Sleman, 2014

Gambar 2 Luas kolam perikanan di Kecamatan Seyegan tahun 2008-2012
Adanya pergeseran komoditas lele phyton di atas diduga karena harga jual
lele cenderung lebih rendah dibandingkan dengan ikan lainnya, seperti terlihat
pada tabel 3. Selain itu, faktor lain yang diduga mempengaruhi pergeseran
komoditas adalah tingginya harga pakan lele. Oleh karena itu penting untuk
mempelajari teknologi produksi, struktur biaya, pendapatan ditingkat petani serta
efisiensi usahatani, khususnya usaha pembesaran lele phyton.

4

Tabel 3 Harga jual ikan di Kecamatan Seyegan tahun 2008-2009
Jenis Ikan
Karper
Lele
Nila
Gurami
Tawes
Grasscap
Bawal

2008
15 000
10000
12 500
24 000
9 500
10 000
12 000

Harga ikan (Rp/th)
2009
2010
2011
15 000
15 000
15 000
10 000
10 500
10 500
12 500
13 500
13 500
24 000
27 500
27 500
9 500
9 500
10 000
10 000
10 000
10 000
12 000
12 000
12 000

2012
15 000
10 500
13 500
27 500
10 000
10 000
12 000

Sumber : BPS Yogyakarta, 2014

Perumusan Masalah
Analisis usahatani bertujuan untuk mengetahui keragaan suatu usahatani
dari berbagai aspek baik dari segi keunggulan produk, kenaikan hasil yang
semakin menurun, efek substitusi, biaya usahatani, cabang usahatani, dan tujuan
usahatani. Begitu juga dengan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaan
usahatani lele phyton di Kecamatan Seyegan. Penelitian ini perlu dilakukan
karena Kecamatan Seyegan menjadi sentra pembesaran lele phyton akan tetapi
produksinya tidak stabil. Ketidakstabilan produksi lele phyton di Kecamatan
Seyegan pada tahun 2008 hingga 2012 disebabkan adanya pergeseran komoditas
dari lele phyton ke jenis ikan yang lain. Dimana pergeseran tersebut dapat
disebabkan oleh aspek teknis maupun non teknis. Aspek teknis berkaitan dengan
teknik budidayanya seperti penggunaan input, penyakit, iklim, dan kondisi
airnya. Aspek non teknis terkait dengan ketersediaan dan harga input serta kondisi
permintaan dan harga outputnya.
Tejadinya pergeseran tersebut menarik untuk dipelajari karena berhubungan
dengan teknologi produksi yang digunakan oleh petaninya. Pakan dan benih
diduga merupakan input paling berpengaruh pada hasil produksi lele phyton.
Harga pakan yang tinggi menyebabkan penggunaan pakan tidak optimal.
Disamping itu, harga jual lele yang rendah dapat menyebabkan penggunaan benih
tidak optimal karena petani mengurangi jumlah tebar benihnya. Menjadi
pertanyaan, bagaimana penggunaan input-input produksi dalam usaha usahatani
lele phyton di Kecamatan Seyegan?
Tingginya harga pakan dan benih akan berpengaruh pada besar kecilnya
biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam menjalankan usaha ini, begitu juga
dengan penggunaan input-input yang lainnya. Sehingga dalam penelitian ini perlu
dilakukan analisis struktur biaya. Menjadi pertanyaan bagaimana struktur biaya
usahatani lele phyton di Kecamatan Seyegan? Selain itu besarnya biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha termasuk dalam usaha pembesaran lele phyton ini
tentu akan mempengaruhi besarnya pendapatan yang diterima oleh petani.
Menjadi pertanyaan, berapa pendapatan petani yang menjalankan usaha

5

pembesaran lele phyton di Kecamatan Seyegan? Dan apakah usahatani lele
phyton di Kecamatan Seyegan efisien.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan,
maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis penggunaan input produksi dalam usahatani lele phyton di
Kecamatan Seyegan
2. Menganalisis struktur biaya dalam usahatani lele phyton di Kecamatan
Seyegan.
3. Menganalisis tingkat pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani lele
phyton di Kecamatan Seyegan.
4. Menganalisis efisiensi usahatani lele phyton di Kecamatan Seyegan.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak yang terkait yaitu:
1. Bagi petani lele phyton, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan
informasi yang berguna dalam menjalankan usahatani lele phyton.
2. Sebagai sumber pertimbangan untuk investasi dalam usahatani lele phyton.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini hanya membahas tentang komoditas lele phyton yang
dibudidayakan oleh para petani di Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman.
Penelitian ini menganalisis penggunaan input-input produksi, struktur biaya,
pendapatan, dan efisiensi usahatani lele phyton dalam satu tahun.

TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan Input Produksi Lele Phyton
Secara umum input-input produksi yang digunakan dalam budidaya
perikanan adalah luas kolam, pupuk, benih, pakan, obat-obatan, dan tenaga kerja.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa luas kolam berpengaruh
signifikan terhadap produksi perikanan (Hari, 2011; Ahmad, 2011; Handayani,
2013). Selain itu, pakan juga memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi
perikanan (Hari, 2011; Handayani, 2013, dan Arif, 2004). Benih juga berpengaruh
positif signifikan (Ahmad, 2011; Arif, 2004). Begitu juga halnya dengan pupuk
juga memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi (Handayani, 2013), dan
tenaga kerja, pengalaman tenaga kerja, serta obat juga berpengaruh signifikan
terhadap produksi (Hari,2011).

6

Masing-masing penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda, namun
sebagian besar penelitian membuktikan bahwa luas kolam, pakan, dan benih
memiliki pengaruh yang signifikan pada produksi perikanan. Artinya input
produksi tersebut penting untuk diperhatikan dalam budidaya perikanan. Oleh
karena itu dalam analisis penggunaan input produksi pada penelitian ini juga akan
memasukkan input produksi tersebut untuk dapat dilihat sejauh mana
pengaruhnya terhadap produksi lele phyton di Kecamatan Seyegan.

Analisis Struktur Biaya, Pendapatan, dan Efisiensi Usahatani Lele Phyton
Penggunaan faktor-faktor produksi (input) dalam budidaya perikanan, tentu
menimbulkan biaya yang harus dibayarkan oleh petani. Sebagian besar penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa usaha budidaya perikanan menghabiskan biaya
terbesar untuk pakan yaitu 55% (Arif, 2004), 67% (Ahmad, 2011), 60%
(Handayani, 2013), 52% (Brian, 2011). Selain itu benih juga memiliki persentase
biaya yang besar setelah pakan yaitu 19% (Brian, 2011), dan 30% (Handayani,
2013). Namun, pada umumnya budidaya perikanan termasuk ikan lele masih
memberikan keuntungan kepada petani, dan baik untuk diusahakan. Hari (2011)
melakukan penelitian tentang faktor-faktor produksi dan efisiensi budidaya ikan
lele di Kabupaten Sumenep, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis
pendapatan usahatani. Dari hasilnya membuktikan bahwa usaha budidaya ikan
lele di Kabupaten Sumenep menguntungkan untuk di usahakan, dan memiliki
nilai R/C ratio 1,98 yang artinya usaha tersebut efisien untuk dijalankan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ahmad (2011) tentang analisis efisiensi
budidaya ikan lele di Kabupaten Boyolali. Hasil penelitiannya menunjukkan
usaha budidaya ikan lele di Kabupaten Boyolali juga menguntungkan dan efisien
untuk dijalankan karena nilai R/C ratio nya sebesar 1,18. Eni (2012) juga
melakukan analisis finansial usaha lele di Kelurahan Lembah Sari Rumbai Pesisir
Pekanbaru, hasil penelitiannya membuktikan bahwa usaha pembenihan lele
dumbo menguntungkan, dan efisien karena nilai R/C ratio nya sebesar 1,55.
Hasil penelitian lain juga membuktikan bahwa untuk usaha budidaya
komoditas yang lain juga memberikan keuntungan bagi petani. Handayani (2013)
mengkaji tentang usaha pembenihan ikan nila di Kabupaten Sleman, dimana dari
hasil penelitiannya membuktikan bahwa usaha tersebut menguntungkan, serta
efisien untuk diusahakan terbukti dari nilai R/C rationya sebesar 1,92. Selain itu
Arif (2004) juga membuktikan bahwa produksi ikan bandeng di PT Muara Biru
Jakarta menguntungkan, dan nilai R/C ratio nya sebesar 1,29 artinya usaha
tersebut efisien.
Penelitian tentang analisis pendapatan usaha budidaya ikan lele jenis
phyton di Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman belum pernah dilakukan.
Berdasarkan referensi penelitian sebelumnya, penulis mencoba untuk
menganalisis pendapatan usahatani lele phyton di Kecamatan Seyegan untuk
mengetahui struktur biaya, pendapatan, keuntungan, dan efisiensi usahataninya.

7

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis
Produksi Lele Phyton
Lele phyton (Clarias sp.) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak
dibudidayakan di Kecamatan Seyegan. Menurut petani di Kecamatan Seyegan,
konsumen lebih menyukai lele jenis ini sehingga petani lebih memilih untuk
mengusahakan lele phyton dibandingkan dengan jenis yang lain. Alasan
konsumen memilih lele phyton karena dagingnya lebih banyak dan rasanya lebih
gurih. Secara teori, perbedaan lele phyton dengan jenis lele unggulan yang lainnya
antara lain adalah dari segi fisiknya warnanya berbeda antara lele phyton, lele
dumbo, dan lele sangkuriang. Selain itu lele phyton memiliki waktu panen yang
lebih cepat dibandingkan dengan lele dumbo dan lele sangkuriang. Lele phyton
dapat dipanen dalam waktu 40-45 hari, sedangkan lele dumbo 90 hari, dan lele
sangkuriang 60 hari. Lele phyton dan sangkuriang memiliki bentuk tubuh yang
lebih panjang dibandingkan dengan lele dumbo, dan daging lele phyton lebih
banyak di bandingkan dengan lele lainnya. lele phyton lebih lincah daripada lele
dumbo dan sangkriang sehingga rendah lemak dan dagingnya menjadi lebih gurih.
Lele phyton merupakan jenis lele yang ditemukan oleh petani di daerah
Padeglang Banten yang memiliki suhu hingga 17 oC sehingga lebih tahan
terhadap suhu dingin dan panas yang ekstrim dibandingkan dengan jenis lele
lainnya. selain itu lele phyton juga lebih tahan terhadap penyakit dan memiliki
tingkat kematian di bawah 20%.
Lele phyton merupakan jenis ikan yang suka mengkonsumsi jenis ikan
kecil di habitat aslinya, seperti cacing, jentik serangga, dan belatung. Oleh karena
itu, jika lele dipelihara secara intensif, sebaiknya diberi pakan dengan kandungan
protein hewani yang tinggi. Lele phyton memiliki sifat kanibal, yaitu memakan
dari jenisnya sendiri. Biasanya lele menjadi kanibal karena tidak ada makanan lain
dan faktor perbedaan ukuran. Lele yang lebih besar akan memakan kawannya
yang lebih kecil.
Oleh karena itu terdapat beberapa input yang penting dalam usaha
pembesaran lele phyton, antara lain yaitu :
1. Luas Kolam
Kolam merupakan media dalam melakukan usaha pembesaran lele
phyton, dimana produksi akan berjalan dan dihasilkan. Luas kolam akan
menentukan jumlah input-input produksi yang akan digunakan seperti benih,
pakan, kapur, tenaga kerja, dan lain-lain. Kolam yang dapat digunakan adalah
kolam tanah, tembok, dan plastik atau terpal. Jenis kolam yang digunakan oleh
petani di daerah pedesaan biasanya adalah kolam tanah, karena masih tersedia
banyak lahan yang dapat digunakan untuk membuat kolam. Menurut Budianto
(2008) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat kolam tanah adalah
bentuk dan ukuran kolam, saluran kolam, dan konstruksi kolam. Betuk kolam
budidaya adalah persegi panjang dengan lebar maksimal 50 m dan panjang 2-3
kali lebar kolam dengan kedalaman kolam 80 cm – 1,5 m, dilengkapi dengan 3
saluran yaitu saluran utama, saluran pembagi, dan saluran pembuangan. Selain

8

itu kolam yang digunakan juga harus memiliki konstruksi tanah yang baik
yaitu kedap air dan tidak mudah bocor.
2. Benih
Benih merupakan input penting dalam pembesaran lele phyton, karena
benih tersebut yang akan dibesarkan hingga mencapai ukuran konsumsi. benih
juga mementukan umur panen dalam usaha pembesaran lele phyton. Semakin
besar ukuran benih maka masa panen semakin cepat. Biasanya untuk mencapai
panen dalam waktu yang pendek benih yang digunakan adalah ukuran 5-7cm,
6-8 cm, dan 7-9 cm. selain itu benih yang berkualitas baik juga menentukan
hasil panen yang diperoleh. Menurut Mahyudin (2010) benih yang berkualitas
adalah ukuran seragam dan berwarna cerah (mengkilap), geraknya cepat dan
lincah, tidak cacat dan tidak luka ditubuhnya, bebas dari penyakit, posisi tubuh
dalam air normal, menghadap dan melawan arus ketika diberi arus.
Ukuran benih sebaiknya seragam, seperti yang telah disebutkan diatas
dengan tujuan agar masing-masing lele tidak menganggu dan pertumbuhannya
bisa seragam. Sesuai dengan karatkternya, lele phyton bersifat kabinal, jika
kekurangan pakan, lele akan memangsa sesamanya yang ukurannya lebih kecil.
Benih yang ukurannya kecil juga kalan dalam bersaing mendapatkan pakan.
Hal-hal tersebut perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada hasil
produksi.
Menurut Budianto (2008) dalam usaha pembesaran lele yang intensif,
dikatakan penebaran rendah jika populasinnya 150 – 200 ekor/m3 sebaliknya
dikatakan penebaran padat apabila populasinya 200 – 350 ekor/ m3. Padat tebar
tinggi lebih menguntungkan dibandingkan dengan padat tebar yang rendah,
meskipun masa panenya lebih lama yaitu 3 bulan namun produktivitasnya lebih
tinggi dibandingkan dengan penebaran rendah (2 bulan).
3. Pakan
Pakan merupakan nutrisi bagi pertumbuhan daging lele. Jumlah pakan
yang dihabiskan selama pembesaran lele phyton akan menentukan jumlah
panen yang diperoleh petani, apabila pakan diserap dengan baik oleh ikannya.
Pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar dalam usahatani lele.
Menurut Mahyuddin (2010), kebutuhan pakan mutlak mengandalkan pakan
buatan pabrik (pelet) karena pakan buatan pabrik lebih terjamin kualitasnya
serta kandungan nutrisinya lengkap. Pakan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan lele phyton karena semakin banyak pakan yang diberikan akan
semakin cepat pertambahan daging lelenya. Pakan yang baik adalah pakan
yang mengandung protein (minimal 30%), lemak (4-5%), karbohidrat (1520%), vitamin, dan mineral (0,5-0,8%) sesuai dengan jumlah kebutuhan nutrisi
yang dibutuhkan lelenya.
Manajemen pakan sangat perlu untuk diperhatikan dalam usahatani ini.
pemberian pakan dalam jumlah dan teknik yang benar akan mengoptimalkan
penggunaan pakan dan juga pertumbuhan lelenya. Menurut budianto (2008)
dosis pemberian pakan adalah 2-5% perhari dari bobot ikan yang dipelihara.
Sedangkan menurut Mahyuddin (2010) 3-6% dari bobot ikan yang dipelihara.
Akan tetapi jumlah pakan tersebut fleksibel, artinya jumlah pakan bida diatur
menurut nafsu makan ikan saat itu. Dalam menentukan jumlah pakan yang
harus diberikan, dapat dihitung berdasarkan bobot benih dan umur tebar. Akan
tetapi petani biasanya tidak melakukan hal ini karena kesulitan, sehingga

9

pemberian pakan hanya didasarkan pada pemberian pakan sekenyangnya pada
ikan lelenya.
Waktu pemberian pakan juga berpengaruh pada pertumbuhan lelenya.
Waktu pemberian pakan yang baik dilakukan 4-5 kali dalam sehari. Sedangkan
untuk ikan besar 3 kali sehari. Waktu pemberian pakan ditetapkan dengan
memperhatikan nafsu makan ikan yangdapat dilakukanpagi, siang, sore atau
malam. Lele memiliki sifat noctunal yaitu memiliki kecenderungan
beraktivitas pada malam hari terutama dalam hal mencari makan. Oleh karena
itu, pakan diberikan sebagian besar pada sore atau malam hari karena nafsu
makan lele pada waktu itu sedang tinggi. Dengan demikian jadwal waktu
pemberian pakan adaah jam 07.00, 12.00, 17.00, dan 22.00 (Mahyuddin,
2010).
Cara pemberian pakan adalah ditaburkan secara merata di setiap sisi
kolam agar setiap ikan memiliki peluang mendapatkan jatah yang sama.
penggantian ukuran pakan disesuaikan dengan umur benihnya dan dilakukan
secara bertahap agar ikan dapat beradaptasi dengan jenis atau ukuran pakan
yang berbeda. Selain itu masing-masing jenis lele mempunyai FCR (Food
Conversion Ratio) yang berbeda-beda. FCR menyatakan rasio jumlah pakan
yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging ikan lele. Pakan lele yang
baik adalah yang memiliki nilai konversi rendah. FCR untuk lele phyton
sebesar 1:1 lebih biak dibandingkan dengan lele sangkuriang yaitu 1:0,81.
Artinya setiap 1 kg pakan yang diberikan akan menghasilkan daging sebanyak
1 kg. Sedangkan pada lele sangkuriang, setiap 1 kg pakan yang diberikan
hanya akan menghasilkan 1 kg daging (Budianto, 2008).
4. Kapur
Kapur dibutuhkan pada saat proses pengapuran yang dilakukan seusai
panen. Kapur yang dapat digunakan dalam proses ini adalah kapur petanian
atau dolomit, kapur tohor, dan kapur mati. Pengapuran bertujuan untuk
menaikkan pH tanah, membunuh hama, parasit, dan penyakit ikan, serta
mempercepat pembongkaran bahan-bahan organik. Pemberian kapur menjadi
hal yang perlu dilakukan karena akan berpengaruh pada hasil panen lelenya.
Dosis pemberian kapur pertanian atau dolomit adalah 60 gr/m2, namun
disesuaikan juga dengan kondisi pH tanah pada masing-masing kolam.
5. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah faktor produksi yang yang berperanan untuk
menjalankan atau mengelola usahatani. Dalam hal ini tenaga kerja adalah
petani yang menggunakan tenaganya untuk melakukan aktivitas-aktivitas
dalam usaha pembesaran lele phyton baik tenaga kerja dalam keluarga dan
tenaga kerja luar keluarga. Petani sebagai tenaga kerja akan mendapatkan
imbalan atas hasil kerjanya, baik sebagai pemilik atau penggarap.
Dalam menjalankan usahatani lele phyton, keuntungan yang tinggi akan
diperoleh petani apabila petani mampu mengalokasikan sumberdaya secara efektif
dan efisien. Sumberdaya yang dimaksud disini ialah input-input produksi yang
digunakan dalam usahatani lele phyton. Petani dikatakan efektif apabila dapat
mengaloksikan sumberdaya yang mereka miliki (kuasai) sebaik-baiknya, dan
efisein apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output)
yang melebihi masukanya (input) (Soekartawi, 1995).

10

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dalam usaha pembesaran lele phyton
dibutuhkan waktu selama 40-90 hari untuk menghasilkan output dalam bentuk
ikan lele ukuran konsumsi. Output yang maksimal sangat dipengaruhi oleh
penggunaan benih dan pakannya. Menurut Budiarto (2008), untuk menghasilkan
output lele phyton yang diharapkan petani harus menggunakan pakan sebanyak
output yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan FCR dari lele phyton yaitu 1:1,
artinya setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 1 kg daging. Misalnya, ketika petani
menggunakan benih sebanyak 1000 ekor, untuk mencapai output 100 kg lele,
petani harus menghabiskan pakan sebanyak 100 kg.
Tersedianya sarana atau faktor produksi (input) belum berarti output yang
diperoleh petani akan tinggi. Manajemen sumberdaya juga merupakan faktor yang
sangat penting dalam keberhasilan suatu usaha. Sehingga keterampilan petani
dalam mengelola usaha ini, akan berpengaruh pada hasil produksi yang optimal.
Karena apabila petani memiliki kemapuan manajemen yang baik, maka petani
tersebut akan dapat mengelola input-input produksi dengan baik pula (Suratiyah,
2006).

Konsep Biaya dan Pendapatan
Penggunaan input produksi akan berpengaruh pada besar kecilnya biaya
usahatani. Dalam hal ini, biaya produksi merupakan keseluruhan biaya yang
dikeluarkan petani lele phyton selama proses produksi berlangsung. Faktor biaya
sangat menentukan kelangsungan proses produksi. Menurut Soekartawi (2006)
biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Biaya tetap total (Total Fixed Cost/ TFC) adalah biaya yang relatif tetap
jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak
atau sedikit, misalnya: sewa tanah, sewa gudang, pajak dan lainnya.
2. Biaya variabel total (Total Variable Cost/ TVC) adalah biaya yang besar
kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, misalnya: biaya sarana
produksi, upah tenaga kerja, biaya angkut, dan sebagainya.
Jumlah dari biaya tetap dan biaya variabel disebut dengan biaya total (TC).
Biaya yang di keluarkan oleh petani dalam usaha pembesaran lele phyton
akan berpengaruh pada pendapatan yang diterimanya. Menurut Algifari (2003)
dalam Handayani (2013) terdapat dua macam biaya produksi dalam menghitung
pendapatan usahatani yaitu:
1. Biaya tunai adalah pengeluaran aktual yang dilakukan oleh petani untuk
membeli sumberdaya (faktor produksi) yang digunakan dalam suatu proses
produksi. Biaya tunai mengacu pada pembelanjaan yang nyata yang
menyangkut pembelian atau pengadaan kebutuhan input. Misalnya biaya
bibit, pupuk, dan obat-obatan.
2. Biaya non tunai adalah biaya oportunitas dari penggunaan faktor produksi
yang dimiliki oleh petani dalam proses produksi. Biaya non tunai sering tidak
dianggap sebagai biaya di dalam proses produksi. Biaya non tunai mengacu
pada nilai input yang dimiliki petani yang digunakan oleh petani untuk proses
produksi. Misalnya biaya sewa sendiri, penyusustan, dan lain-lain.
Biaya tersebut perlu diketahui karena dalam usahatani terkadang petani
tidak memperhitungkan besarnya biaya non tunai, seperti halnya tenaga kerja

11

dalam keluarga, sehingga keuntungan yang diterimanya menjadi besar. Padahal
dalam usahatani skala kecil, biasanya aktivitas-aktivitas produksinya masih
dikerjakan oleh tenaga kerja dalam keluarga. Begitu juga halnya dalam usaha
pembesaran lele phyton di Kecamatan Seyegan. Usaha ini masih tergolong
usahatani kecil, sehingga sebagian besar aktivitas produksi masih dikerjakan oleh
petani pemiliknya sendiri. Untuk dapat mengetahui besarnya keuntungan dari
usaha tersebut, perlu untuk diperhitungkan nilai kerja dalam keluarga. Dalam
penelitian ini akan dihitung pula persentase biaya dari masing-masing input yang
digunakan dalam usaha pembesaran lele phyton. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui pada input mana yang membutuhkan biaya terbesar dalam usaha ini.
Penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha pembesaran lele phyton
juga akan berpengaruh pada pendapatan petani. Pendapatan adalah balas jasa
terhadap faktor produksi yang di gunakan dalam menjalankan usahatani (lahan,
modal, tenaga kerja dan pengelolaan). Pendapatan kotor dalam usahatani lele
phyton (gross farm income) adalah nilai output total lele phyton dalam jangka
waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual. Pendapatan bersih (net farm
income) adalah pendapatan kotor yang diterima petani dikurangi dengan biaya
dalam usaha tersebut baik tunai maupun non tunai. Pendapatan bersih usahatani
ini mengukur balas jasa atau imbalan yang diperoleh keluarga petani dari
penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri
atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani pembesaran lele
phyton. Pendapatan bersih ini dapat digunakan untuk membandingkan dengan
pendapatan bersih dari usahatani lain. Sehigga akan dapat diketahui apakah
usahatani lele phyton lebih menguntungkan atau tidak jika dibandingkan dengan
beberapa usahatani lainnya.
Petani yang menjalankan usaha pembesaran lele phyton tentu telah memilih
untuk mengalokasikan sumberdaya milik keluarganya untuk kelangsungan usaha
tersebut. Sehingga akan ada balas jasa atas penggunaan sumberdaya tersebut yang
dinyatakan dalam penghasilan bersih usahatani (net farm earnings). Penghasilan
itulah yang akan digunakan oleh keluarga untuk pemenuhan kebutuhan keluarga
petani. Namun tidak semua petani menggantungkan penghasilannya dari
usahatani lele phyton. Tidak semua petani menjadikan usaha ini sebagai mata
pencaharian utama mereka, tetapi mereka juga berkerja diluar usaha ini. Sehingga
penghasilan yang mereka terima tidak hanya dari usaha ini melainkan dari usaha
yang lainnya yang memang dijalankan oleh petani tersebut. Total penghasilan
yang diterima oleh petani adalah penghasilan bersih dari usahatani lele phyton dan
pendapatan dari luar usahatani lele phyton baik dalam bentuk uang atau benda
(family earnings).
Modal merupakan faktor produksi yang digunakan petani dalam usahatani
lele phyton, modal dapat berasal dari modal sendiri dan modal pinjaman.
Sehingga akan ada balas jasa terhadap modal, baik modal total (return to total
capital) maupun modal sendiri (return to farm capital). Selain modal, seperti yang
telah dijelaskan di atas bahwa tenaga kerja dalam kelurga perlu diperhitungkan
dalam usahatani, karena berpengaruh pada besarnya keuntungan dari usaha
tersebut. Disamping itu, agar dapat diketahui besarnya pendapatan petani sebagai
tenaga kerja dalam usahatani lele phyton (return to family labor) (Soekartawi,
2011).

12

Pergeseran Komoditas
Perilaku petani sebagai pelaku usaha dalam berproduksi dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain adalah perubahan tekologi, harga, dan regulasi. Faktor
yang sangat berpengaruh pada perilaku petani dalam usahatani lele phyton adalah
harga input dan output. Pakan dan benih merupakan input yang menghabiskan
biaya cukup besar dalam usahatani ini dikarenakan harganya yang cukup tinggi.
Perubahan harga input produksi yang semakin tinggi menyebabkan penggunaan
input yang tidak optimal dan jumlah output yang dihasilkan rendah. Selain itu
rendahnya harga output yang tidak mampu mengimbangi kenaikan harga inputnya
akan berdampak pada rendahnya penerimaan dan keuntungan usahatani.
Tingginya biaya produksi akan menjadikan output berkurang karena petani tidak
dapat berproduksi secara efisien (Rianto, 2010).
Lele merupakan jenis ikan yang bersifat karnivora, sehingga membutuhkan
pakan dengan kandungan protein hewani yang cukup tinggi. Sementara harga
pakan yang tinggi protein juga lebih mahal. Selain itu kebutuhan pakan (pelet)
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lainnya seperti gurami, nila,
bawal dan lain-lain yang bersifat omnivora. Jenis-jenis ikan yang bersifat
omnivora dapat diberi pakan berupa dedaunan dan sayuran sehingga biaya pelet
dapat ditekan (Mahyuddin, 2010). Berdasarkan hasil peneltian terdahulu, dalam
usaha pembesaran lele terbukti bahwa persentase biaya terbesar adalah untuk
biaya pakan yaitu mencapai 52%-67% dari biaya total. Sementara itu, berdasarkan
data BPS kota Yogyakarta tahun 2012 harga jual lelenya cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan jenis ikan lainnya.
Hal tersebut berpengaruh pada pilihan petani dalam memilih komoditas
perikanan yang diusahakan. Sedangkan pilihan petani tersebut juga dipengaruhi
oleh hal-hal yang telah diuraikan di atas. Sehingga, petani akan cernderung
memilih jenis ikan lainnya dibandingkan dengan lele phyton. Hal tersebut
menyebabkan pereseran kepada yang memiliki biaya produksi lebih efisien dan
memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan lele phyton guna
mencapai keuntungan yang lebih tinggi.

Konsep Efisiensi Usahatani
Keuntungan yang tinggi akan diperoleh jika efisiensi usahatani tinggi. Besarnya
biaya pakan dalam usahatani lele phyton akan berpengaruh pada besarnya biaya total
yang harus dikeluarkan oleh petani. Sedangkan harga jual lele phyton juga akan
berpengaruh pada besar kecilnya penerimaan yang diterima oleh petani. Semakin
kecil biaya yang dikeluarkan oleh petani, dan semakin tinggi penerimaan yang
diterima maka tingkat efisiensi usaha pembesaran lele phyton tersebut tinggi, begitu
juga sebaliknya. Sehingga untuk mengetahui bagaimana tingkat efisiensi usahatani
lele phyton di lokasi penelitian dilakukan analisis efisiensi usahatani dengan analisis
R/C ratio. R/C ratio adalah perbandingan antara penerimaan dan biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha.
Apabila R/C ratio >1 maka suatu usaha dikatakan efisien. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi nilai R/C maka tingkat pengembalian yang diterima
petani untuk setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan adalah semakin tinggi. Jika
R/C 1 maka suatu usaha dikatakan efisien. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi nilai R/C maka tingkat pengembalian yang
diterima petani untuk setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan adalah semakin
tinggi. Jika R/C