Studi Morfologi Usus Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus).

STUDI MORFOLOGI USUS MUSANG LUAK
(Paradoxurus hermaphroditus)

RIFKY RIZKIANTINO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Morfologi Usus
Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Rifky Rizkiantino
NIM B04110032

ABSTRAK
RIFKY RIZKIANTINO. Studi Morfologi Usus Musang Luak (Paradoxurus
hermaphroditus). Dibimbing oleh I KETUT MUDITE ADNYANE dan SAVITRI
NOVELINA.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi usus musang luak
secara makroskopis dan mikroskopis. Penelitian ini menggunakan tiga sampel
awetan organ usus musang luak. Pengamatan makroskopis dilakukan dengan
mengamati morfometrik organ usus. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan
membuat preparat histologi dan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin
untuk mempelajari morfologi sel dan jaringan usus, serta pewarnaan alcian blue
(AB) pH 2.5 dan periodic acid Schiff (PAS) untuk mengamati kandungan dan
distribusi karbohidrat. Panjang rata-rata total usus kecil dan usus besar adalah
140.06±13.09 cm. Rasio antara panjang tubuh dengan panjang usus musang luak
sebesar 1:3. Rasio ini berada di antara hewan insektivora dan karnivora. Musang
luak memiliki sekum menyerupai tanda baca koma dan kolon yang pendek tanpa
adanya segmen. Lapisan dinding usus musang luak terdiri atas mukosa,
submukosa, tunika muskularis, dan serosa dengan ketebalan lapisan yang

bervariasi. Jaringan limfatik berupa daun Peyer terdapat pada submukosa ileum
dan pada sekum berupa nodul limfatik soliter. Karbohidrat asam dan netral
berdistribusi pada sel-sel goblet dan epitel kelenjar kripta Lieberkuhn, kecuali
pada kelenjar Brunner yang hanya mengandung karbohidrat netral. Morfologi
usus musang luak lebih mendekati tipe hewan dengan pola diet dominan pemakan
daging daripada hewan omnivora.
Kata kunci: AB pH 2.5, hematoksilin eosin, Paradoxurus hermaphroditus, PAS,
usus

ABSTRACT
RIFKY RIZKIANTINO. Morphological Studies of the Intestine of Asian Palm
Civet (Paradoxurus hermaphroditus). Supervised by I KETUT MUDITE
ADNYANE and SAVITRI NOVELINA.
The study was aimed to explore the intestinal morphology of Asian palm
civet. It included histochemical study on the distribution of acid and neutral
carbohydrates component along the intestine of Asian palm civet. This study used
three preserved intestinal organs of Asian palm civet. The sample was studied
using macroscopic and microscopic approach of observations. The macroscopic
observations were done by focusing on morphometric of the intestine. The
microscopic observations were done by preparing histological slides and staining

with hematoxylin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2.5, and periodic acid Schiff
(PAS). The results showed that Asian palm civet’s caecum was curved like a
comma and the colon was short without segment. The average length of the
intestine were 140.06±13.09 centimeters. The lenght ratio of intestine to body
were 1:3 that was noted as in between insectivores and carnivores. Asian palm
civet intestinal’s wall was composed of inner mucosa, submucosa, tunica
muscularis, and outer serosa with varying in thickness. There were submucosal
lymphatic tissue in ileum that formed Peyer’s patches and solitary lymphatic
nodules in caecum. The distribution of acid and neutral carbohydrates were found
in the intestinal mucosal in goblet cells and glandular epithelial of crypt
Lieberkuhn. The Brunner’s glands only were gave positive reaction to PAS
staining. The morphology of the intestine of the Asian palm civet more closely to
those on carnivores than those which found in omnivores.
Keywords: AB pH 2.5, hematoxylin eosin, intestine, Paradoxurus hermaphroditus,
PAS

STUDI MORFOLOGI USUS MUSANG LUAK
(Paradoxurus hermaphroditus)

RIFKY RIZKIANTINO


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang
berjudul “Studi Morfologi Usus Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)”.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drh. I Ketut Mudite Adnyane, MSi, PhD, PAVet dan Dr. Drh. Savitri
Novelina, MSi, PAVet selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan,
masukan, nasihat, dan dukungannya selama proses penelitian dan

penulisan skripsi ini.
2. Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet selaku dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan nasihat dan dukungannya selama ini dalam
kegiatan akademik.
3. Ibu, Ayah, Kakak (Resty Faraditasari), dan Adik (Rifaldi Iqbal
Yadiansyah) atas semua dukungan, baik moral maupun materi yang telah
diberikan selama ini kepada penulis.
4. Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, PhD, PAVet, Drh. Adi Winarto, PhD, PAVet,
dan Dr. Drh. Nurhidayat, MS, PAVet atas semua bantuan yang diberikan
kepada penulis pada saat penelitian.
5. Teknisi Laboratorium Histologi: Pak Maman dan Pak Iwan atas bantuan
dan saran yang diberikan kepada penulis selama penelitian.
6. Rekan satu penelitian musang luak (Kak Nirmala dan Irene Kosim) serta
rekan satu laboratorium (Ulfah Andari Gusni, Rahajeng Harnastiti,
Miftahul Ilmi, Tyas Noormalasari H., Rifa Rinaldi, Andi Prastiawan, dan
Filika Amalia Isman) atas semangat, dukungan, dan bantuannya selama
penelitian.
7. Sahabat-sahabat (Dhenok Maria Ulva, Kenda Adhitya Nugraha, Intan
Maria Paramita, Alamsah Firdaus, Ayu Herawati, Elma Nefia, Nia Sari,
Faris Makkawaru Syukri, Wahyu Sri Wulandari, Meilany Cyntia,

Hastjarjo Fleuryantari, dan Gina Meilisa Sitorus) atas kebersamaan,
semangat, dukungan, dan bantuan yang diberikan selama ini kepada
penulis.
8. Rekan Ganglion 48 dan semua pihak yang turut serta membantu penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, adanya kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh
penulis untuk kesempurnaan tulisan ini.
Semoga bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri.

Bogor, Agustus 2015

Rifky Rizkiantino

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)

2

Sistem Pencernaan Mamalia

3

METODE

4

Waktu dan Tempat Penelitian


4

Alat dan Bahan

5

Metode Pengamatan Morfologi

5

Makroskopis

5

Mikroskopis

5

Prosedur Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

6
6

Makroskopis

6

Mikroskopis

7

Lapisan Dinding Usus Musang Luak

7

Pengamatan Distribusi Komponen Karbohidrat Kompleks pada Usus
Musang Luak
Pembahasan

SIMPULAN DAN SARAN

8
11
15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Panjang rata-rata (cm) usus musang luak
2 Hasil pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS pada usus musang luak
3 Persentase rata-rata jumlah sel penghasil karbohidrat asam dan netral
pada usus musang luak
4 Rasio panjang tubuh (tidak termasuk ekor) terhadap panjang usus

7
9
9
11

DAFTAR GAMBAR
Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) pada dahan pohon
Makroanatomi organ viscera musang luak
Fotomikrograf dinding usus musang luak
Fotomikrograf distribusi karbohidrat asam dan netral usus kecil musang
luak
5 Fotomikrograf distribusi karbohidrat asam dan netral usus besar
musang luak
1
2
3
4

2
6
8
10
10

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pewarnaan hematoksilin eosin (HE)
2 Pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5 dan periodic acid Schiff (PAS)

18
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) telah banyak ditangkarkan
untuk menghasilkan biji kopi. Kopi yang berasal dari biji kopi musang luak
dikenal sebagai kopi luak mempunyai citarasa yang enak dan disukai para
penikmat kopi. Kopi luak mempunyai nilai ekonomi dengan harga jual termahal
di dunia (Panggabean 2011). Di Indonesia, hewan ini juga dipelihara sebagai
satwa eksotik peliharaan. Keadaan tersebut menimbulkan permasalahan terhadap
kesejahteraan hewan dalam hal pola diet pakan yang diberikan oleh pemilik.
Dampak yang timbul akibat kesalahan pemberian pakan yang tidak sesuai dengan
diet musang luak secara alami diduga dapat memengaruhi kondisi fisik musang
luak. Musang luak yang dipelihara sebagai hewan kesayangan dapat mengalami
obesitas, sedangkan musang luak yang ditangkarkan dapat mengalami kaheksia.
Saluran pencernaan musang luak menarik untuk diteliti karena dalam
saluran pencernaan terjadi proses enzimatis yang dapat menurunkan kandungan
protein dalam biji kopi sehingga rasa pahit kopi luak tidak terlalu pahit
dibandingkan kopi biasa. Dalam saluran pencernaan juga terjadi proses
pengelupasan kulit buah dan pelepasan senyawa lendir yang terdapat pada kulit
tanduk biji kopi yang berjalan secara sempurna (Susilo 2013). Karena keunikan
dan kekhasannya maka musang luak banyak dipelajari untuk mengetahui sistem
pencernaan secara menyeluruh dari hewan ini. Beberapa penelitian mengenai
morfologi organ musang luak yang sudah dilaporkan antara lain organ reproduksi
betina (Apriliani 2012), esofagus dan lambung (Kusumastuti 2012), kelenjar
parotis dan mandibularis (Pratama 2013), serta organ reproduksi jantan
(Novelina et al. 2014). Penelitian mengenai morfologi usus musang luak belum
pernah dilaporkan.
Pemanfaatan musang luak dalam menghasilkan biji kopi perlu
memperhatikan kondisi fisiologinya. Kondisi fisiologi tersebut berkaitan dengan
struktur dan fungsi usus musang luak. Oleh karena itu, perlu adanya studi
mengenai morfologi dan kandungan karbohidrat kompleks pada usus musang luak
agar pemanfaatannya oleh masyarakat sesuai dengan konsep kesejahteraan hewan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi usus serta
kandungan dan distribusi karbohidrat kompleks usus musang luak.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data morfologi saluran
pencernaan musang luak dan dapat dijadikan sebagai pustaka rujukan untuk
pemberian pakan dan pola diet yang sesuai bagi musang luak.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)
Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) menurut Joshi et al. (1995)
memiliki pola diet berupa daging dan buah-buahan, namun dalam taksonomi
menurut Duckworth et al. (2008) musang luak termasuk ke dalam hewan
karnivora.
Taksonomi musang luak (Duckworth et al. 2008) :
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Carnivora
Famili
: Viverridae
Genus
: Paradoxurus
Spesies
: Paradoxurus hermaphroditus
Musang luak memiliki berat badan rata-rata 3 kg dengan panjang tubuh
rata-rata 50 cm dan panjang ekor 48 cm. Tubuhnya panjang dan memiliki kaki
yang pendek. Musang luak memiliki corak rambut berwarna hitam atau abu-abu
dengan tiga sampai lima garis gelap di punggung. Semakin ke arah kaudal, garis
gelap tersebut menghilang membentuk deretan bintik-bintik besar dengan pola
bintik-bintik gelap pada daerah ekstremitas depan dan belakang (Gambar 1).
Wajah musang luak memiliki corak putih di rambut sekitar atas mata, sisi hidung,
dan rahang bawahnya menyerupai rakun (Nelson 2013).
Musang luak di alam liar hidup secara soliter, arboreal, dan aktif di malam
hari (nokturnal). Karena kebiasaannya memakan buah dari satu pohon ke pohon
lain dalam satu daerah, hewan ini berkontribusi menyebarkan benih sehingga
membantu regenerasi hutan. Musang luak hidup di hutan hujan tropis atau hutan
temperate dan tersebar di beberapa wilayah di Benua Asia, seperti: Thailand,
Bhutan, Vietnam, Malaysia, Filipina, Laos, Nepal, Indonesia, Sri Lanka,
Singapura, Kamboja, dan Republik Tiongkok bagian Selatan. Musang luak di
Indonesia dapat ditemukan berada di beberapa daerah, diantaranya: Sumatra, Jawa,
dan Kalimantan (Nelson 2013).

Gambar 1 Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) pada dahan pohon (modifikasi
Khao 2003). Wajah musang luak memiliki corak putih di rambut sekitar
rahang bawahnya, di atas mata, dan di setiap sisi hidungnya menyerupai rakun.

3
Sistem Pencernaan Mamalia
Saluran pencernaan mamalia pada umumnya dimulai dari mulut;
esofagus; lambung; usus kecil yang terdiri atas duodenum, yeyunum, dan ileum;
usus besar yang terdiri atas kolon, sekum, dan rektum; serta berakhir di anus
(Bacha dan Bacha 2000). Berdasarkan hasil penelitian Kusumastuti (2012),
esofagus musang luak di daerah servikal berjalan di sebelah dorsal trakhea
kemudian berbelok ke sisi sinistra trakhea. Selanjutnya kembali lagi ke dorsal
trakhea di daerah toraks. Musang luak merupakan hewan monogastrik atau hewan
yang memiliki lambung tunggal. Lambung berbentuk huruf J terletak di bagian
anterioventral ruang abdomen sebelah sinistra dan tertutup oleh hati pada
permukaan kranio-ventralnya. Bagian kranial lambung berbatasan dengan otot
diafragma. Organ limpa yang berukuran relatif panjang terdapat di sebelah sinistra
lambung di sepanjang kranio-lateral.
Usus merupakan bagian dari saluran pencernaan mamalia setelah lambung.
Usus mamalia terdiri atas usus kecil dan usus besar. Usus kecil terdiri atas
duodenum, yeyunum, dan ileum. Duodenum berfungsi untuk menerima kimus
yang berasal dari lambung dan mencernanya secara kimiawi. Pencernaan secara
kimiawi dibantu oleh sekreta yang dihasilkan oleh lambung, pankreas, hati, dan
kantung empedu yang mengandung enzim pencernaan. Fungsi yeyunum adalah
sebagai tempat penyerapan nutrisi. Ileum berfungsi sebagai tempat penyerapan
kembali air dan elektrolit (Ross dan Pawlina 2011). Proses penyerapan didukung
oleh adanya vili di sepanjang usus kecil yang berfungsi untuk memperluas
permukaan usus saat terjadi proses penyerapan makanan (Aughey dan Frye 2001).
Menurut Cunningham et al. (2007) terdapat tiga hal yang dapat memperluas
permukaan lumen usus untuk meningkatkan efektivitas penyerapan, yaitu: lipatan
besar mukosa atau plica, permukaan mukosa yang ditutupi oleh epitel atau disebut
vili, dan vili yang ditutupi oleh membran permukaan seperti sikat atau mikrovili.
Usus besar mamalia terdiri atas sekum, kolon, dan rektum. Sekum pada
mamalia memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda pada tiap spesies sesuai jenis
dan pola diet pakan. Sekum pada herbivora relatif besar dan berkembang sebagai
tempat fermentasi pakan yang dibantu oleh bakteri (Eurell dan Dellmann 1998).
Kolon berfungsi sebagai tempat absorbsi air dan elektrolit, penyimpanan feses,
serta tempat fermentasi bahan organik yang tidak terdigesti dan diabsorbsi pada
usus kecil, namun fungsi tersebut relatif pada masing-masing spesies
(Cunningham et al. 2007). Rektum berfungsi dalam penampungan sementara
feses dan akan dikeluarkan melalui anus (Boden 2005).
Secara mikroskopis dinding saluran pencernaan mamalia tersusun atas
lapisan luar serosa (adventisia), muskularis eksterna, submukosa, dan mukosa
dalam. Mukosa terdiri atas lapisan endotelium, lamina propria, dan muskularis
mukosa (Bacha dan Bacha 2000). Tunika muskularis lambung musang luak
tersusun dari lapisan otot yang tebal dan terdiri atas dua lapis, yaitu lapis sirkuler
(bagian dalam) dan lapis longitudinal (bagian luar). Endotelium mukosa lambung
musang luak disusun dari lapisan sel-sel epitel silindris sebaris. Lamina propria di
bagian lambung terdapat kelenjar lambung dan lapisan muskularis mukosanya
menjadi batas dengan lapisan submukosanya. Kelenjar lambung musang luak
terdiri atas tiga macam, yaitu: kelenjar kardia yang memiliki sel berbentuk kuboid
dengan inti di basal, kelenjar fundus berbentuk tubuler sederhana dan tubuler

4
bercabang yang merupakan kelenjar terbanyak di lambung, serta kelenjar pilorus
yang berbentuk tubulus bercabang dengan tipe selnya berupa sel mukus
(Kusumastuti 2012).
Sistem pencernaan mamalia diregulasi dalam sebuah pola terintegrasi dari
dua sistem kontrol. Kontrol utama dilakukan oleh sistem saraf pusat dan sistem
endokrin (neuroendokrin). Endokrin atau hormon adalah suatu zat yang pada saat
penyerapan ke dalam aliran darah dapat memengaruhi jaringan atau organ selain
organ yang memproduksinya (Boden 2005). Kontrol kedua dilakukan oleh saraf
intrinsik dan komponen endokrin yang berlokasi di dalam organ gastrointestinal.
Sistem intrinsik ini meregulasi saluran pencernaan secara otonom.
Sistem saraf intrinsik pada saluran pencernaan terdiri atas pleksus
mienterikus (Aurbach) yang terdapat di antara lapisan otot sirkuler dan otot
longitudinal dan pleksus submukosa (Meissner) pada lapisan submukosa yang
fungsinya memberi informasi mekanik (memengaruhi pergerakan) maupun
kimiawi (sekresi enzim) pada saluran pencernaan (Guyton dan Hall 2007). Sistem
endokrin intrinsik pada saluran pencernaan melibatkan sel-sel endokrin yang
tersebar di sepanjang epitel saluran pencernaan secara difus.
Mekanisme kerja hormon pada saluran pencernaan merupakan
mekanisme kompleks yang melibatkan berbagai macam reaksi sehingga dapat
menimbulkan banyak efek terhadap saluran pencernaan. Efek tersebut seperti
mengontrol gerakan saluran pencernaan dan meregulasi enzim melalui sistem
umpan balik. Menurut Cunningham et al. (2007), gerakan saluran pencernaan
dibedakan menjadi dua, yaitu gerakan segmentasi dan gerakan peristaltik.
Gerakan segmentasi adalah gerakan mencampur kimus dengan getah pencernaan.
Gerakan segmentasi juga membantu untuk meletakkan kimus pada bagian
absorpsi di usus halus. Gerakan peristaltik adalah gerakan yang cenderung
mendorong ingesta menuju anus atau bergerak dari arah oral ke aboral. Terdapat
beberapa hormon yang berperan dalam mengontrol gerakan-gerakan tersebut.
Kontrol tersebut dapat dengan cara menginhibisi atau mengeksitasi otot polos.
Hormon yang menginhibisi otot polos dan bekerja pada saraf simpatis di saluran
pencernaan, diantaranya: motilin, somatostatin, peptide histidine isoleucine (PHI),
pituitary adenylate cyclase activating peptide (PACAP), dan vasoactive intestinal
polypeptide (VIP). Hormon yang berperan dalam mengeksitasi otot polos dan
mendukung kerja saraf parasimpatis di saluran pencernaan, diantaranya:
Adenosine triphosphatase (ATP), serotonin, substansi K, dan substansi P
(Cunningham et al. 2007).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai Mei 2015 di
Laboratorium Anatomi dan Histologi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi,
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.

5
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlengkapan bedah
minor, benang kasur, penggaris, botol, pisau mikrotom, tissue casette, inkubator
embedding, mesin parafin, tissue basket, cetakan parafin, blok kayu kecil,
mikrotom, penangas air, hot plate, wadah, tissue, kaca objek, kaca penutup, kertas
label, kotak preparat, mikroskop, dan peralatan fotografi.
Penelitian ini menggunakan preparat organ usus dari tiga ekor musang
luak (Paradoxurus hermaphroditus). Bobot badan musang luak yang dipakai
berkisar antara 2.5 kg. Sampel merupakan awetan organ usus musang luak yang
hewannya berasal dari tangkapan masyarakat sekitar kampus FKH IPB. Bahan
yang digunakan adalah larutan fiksasi paraformaldehid 4%; alkohol dengan
konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%; xylol; parafin; akuades; air keran;
dan bahan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2.5 dan
periodic acid Schiff (PAS).
Metode Pengamatan Morfologi
Makroskopis
Awetan usus musang luak dalam larutan fiksasi paraformaldehid 4%
diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis morfologi
usus musang luak dilakukan dengan mengamati bentuk duodenum, yeyunum,
ileum, sekum, kolon dan rektum; serta mengamati tanda khas lain pada masingmasing segmen usus. Pengukuran dilakukan untuk memperoleh panjang usus
kecil, sekum, usus besar, dan total panjang usus serta menghitung rasio antara
panjang tubuh tanpa ekor dengan total panjang usus.
Mikroskopis
Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat histologi.
Persiapan preparat histologi diawali dengan pemotongan sampel secara melintang
setebal ±5 mm pada keenam segmen usus, yaitu: duodenum, yeyunum, ileum,
sekum, kolon, dan rektum. Sampel yang sudah dipreparasi dilanjutkan dengan
proses dehidrasi dan clearing jaringan. Kemudian sampel ditanam dalam parafin
(embedding) dan dibentuk blok parafin. Blok parafin dipotong dengan ketebalan
5 µm menggunakan mikrotom. Sebelum pewarnaan dilakukan proses
deparafinisasi dan rehidrasi. Kemudian dilakukan pewarnaan preparat dengan
pewarnaan hematoksilin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2.5, dan periodic acid
Schiff (PAS). Setelah itu dilakukan proses dehidrasi dengan larutan alkohol
bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%), dilanjutkan dengan clearing
menggunakan larutan xylol, dan kemudian preparat ditutup menggunakan gelas
penutup dengan perekat entellan®.
Pengamatan mikroskopis dilakukan di bawah mikroskop dengan melihat
struktur mikroskopis di setiap segmen usus pada pewarnaan hematoksilin eosin.
Pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS digunakan untuk melihat profil karbohidrat yang
bersifat asam dan netral yang terdapat di sepanjang usus musang luak.

6
Prosedur Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif
dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan mikroskopis, mencatat hasil
pengamatan, dan membandingkan dengan literatur yang berhubungan. Analisis
kualitatif dilakukan dengan menghitung persentase rata-rata jumlah sel positif
terhadap pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS per 50 sel dengan pengulangan tiga kali
pada perbesaran 400 .

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Makroskopis
Berdasarkan pengamatan makroskopis didapatkan hasil bahwa usus
musang luak terdiri atas usus kecil dan usus besar (Gambar 2). Usus kecil terdiri
atas duodenum, yeyunum, dan ileum. Usus besar terdiri atas sekum, kolon, dan
rektum. Panjang rata-rata total usus kecil dan usus besar adalah 140.06±13.09 cm.
Ukuran panjang rata-rata usus kecil adalah 126.76±12.30 cm. Panjang rata-rata
usus besar adalah 13.30±1.56 cm (kolon hingga rektum) dan 4.05±0.80 cm
(sekum) (Tabel 1). Duodenum dimulai dari perbatasan antara lambung bagian
pilorus dengan usus. Batas antara duodenum dengan yeyunum sulit teramati
secara makroskopis. Yeyunum dicirikan dengan banyaknya lipatan-lipatan usus
yang disatukan oleh mesenterium. Batas secara makroskopis antara yeyunum dan
ileum tidak dapat dibedakan secara signifikan. Ileum ke arah kaudal diteruskan
menjadi segmen usus besar. Sekum berbentuk melengkung seperti tanda baca
koma. Kolon memiliki bentuk yang sederhana. Batas antara kolon ascenden,
kolon transversal, dan kolon descenden sulit teramati. Usus besar diakhiri dengan
rektum yang memiliki konsistensi jaringan lebih keras jika dibandingkan dengan
kolon. Saluran pencernaan musang luak diakhiri dengan anus yang memiliki
kelenjar perianal di bagian ventralnya.

Gambar 2 Makroanatomi organ viscera musang luak.
A. Gambaran organ viscera musang luak, B. Gambaran saluran pencernaan
musang luak, a. esofagus, b. lambung, c. duodenum, d. yeyunum, e. ileum,
f. sekum, g. kolon dan rektum, h. kelenjar perianal, i. limpa, j. hati, k. paruparu, l. diafragma, m. mesenterium. Sekum musang luak berbentuk seperti
tanda baca koma. Kolon musang luak terlihat sederhana. Bar = 5 cm.

7
Tabel 1 Panjang rata-rata (cm) usus musang luak
Sampel
musang
A
B
C
Rata-rata

Panjang usus kecil
(duodenum hingga
ileum)

Panjang sekum

114.05
138.60
127.65
126.76±12.30

3.20
4.15
4.80
4.05±0.80

Panjang usus
besar (kolon
hingga
rektum)
11.85
13.10
14.95
13.30±1.56

Total panjang
usus (duodenum
hingga rektum)
125.90
151.70
142.60
140.06±13.09

Mikroskopis
Lapisan Dinding Usus Musang Luak
Lapisan dinding usus musang luak terdiri atas lapisan mukosa, submukosa,
tunika muskularis, dan serosa. Lapisan serosa tidak terlalu jelas teramati.
Duodenum memiliki vili usus berbentuk daun. Enterosit pada lapisan mukosa
duodenum tersusun atas sel epitel silindris sebaris dan ditemukan sel-sel goblet
serta kelenjar pada kripta Lieberkuhn. Muskularis mukosa dapat teramati sebagai
pembatas antara lapisan mukosa dengan submukosa. Lapisan submukosanya tebal
dan banyak ditemukan kelenjar Brunner yang cukup memadati lapisan tersebut.
Bentuk sel kelenjarnya adalah mukus dengan inti sel pipih dan terdorong ke arah
membran basal. Tunika muskularisnya terdiri atas dua lapis otot polos, yaitu: lapis
sirkuler di bagian dalam dan lapis longitudinal di bagian luar (Gambar 3A).
Yeyunum memiliki bentuk vili menyerupai daun hingga kubus tebal.
Enterosit pada lapisan mukosa yeyunum tersusun atas sel epitel silindris sebaris.
Kelenjar pada kripta Lieberkuhn dapat teramati pada lapis mukosa. Muskularis
mukosa dapat teramati sebagai pembatas antara lapisan mukosa dengan
submukosa. Lapisan submukosa yeyunum tidak terlalu tebal dan tidak terdapat
kelenjar Brunner. Tunika muskularis terdiri atas dua lapis otot polos (lapis sirkuler
di bagian dalam dan lapis longitudinal di bagian luar). Lapisan sirkuler lebih tebal
jika dibandingkan dengan lapisan longitudinal (Gambar 3B).
Ileum memiliki vili berbentuk kubus tebal dengan enterosit berbentuk sel
epitel silindris sebaris. Kelenjar pada kripta Lieberkuhn juga dapat teramati pada
ileum. Batas antara lapisan mukosa dengan submukosa ditandai adanya
muskularis mukosa yang cukup tebal. Jaringan limfatik teragregasi membentuk
daun Peyer ditemukan pada lapisan submukosa. Ukuran diameter dari nodul
limfatiknya bervariasi. Tunika muskularis terdiri atas dua lapis otot polos, yaitu:
lapis sirkuler di bagian dalam dan lapis longitudinal di bagian luar (Gambar 3C).
Vili pada lapisan mukosa sekum berubah menjadi lipatan mukosa atau
plica yang banyak tersusun atas sel goblet. Muskularis mukosa dapat teramati
sebagai pembatas antara lapisan mukosa dengan submukosa. Pada submukosa
sekum ditemukan adanya beberapa nodul limfatik yang bersifat soliter. Nodul
limfatik ini ditemukan pada sekum bagian apeks. Tunika muskularis juga terdiri
dari dua lapis otot polos dengan lapis sirkuler lebih tebal dibandingkan dengan
lapis longitudinal (Gambar 3D).
Kolon memiliki lipatan mukosa serta banyak ditemukan sel goblet dan
kelenjar kripta Lieberkuhn. Batas antara lapisan mukosa dengan submukosa

8
ditandai adanya muskularis mukosa. Submukosa tersusun atas jaringan ikat dan
pembuluh darah. Lapisan tunika muskularis tebal dengan dua lapis otot polos,
yaitu pola sirkuler pada lapisan dalam dan pola longitudinal pada lapisan luar
(Gambar 3E).
Rektum memiliki lipatan mukosa dan kelenjar kripta Lieberkuhn. Mukosa
rektum lebih tipis jika dibandingkan dengan mukosa sekum dan kolon.
Muskularis mukosa terlihat tipis dan merupakan batas antara lapis mukosa dan
submukosa. Submukosa tersusun atas jaringan ikat dan pembuluh darah. Tunika
muskularis rektum sangat tebal dengan dua lapis otot, yaitu lapis sirkuler pada
bagian dalam dan lapis longitudinal pada bagian luar (Gambar 3F).

Gambar 3 Fotomikrograf dinding usus musang luak. M. mukosa, SM. submukosa, TM.
tunika muskularis. A. duodenum, B. yeyunum, C. ileum, D. sekum, E. kolon,
F. rektum, KB. kelenjar Brunner, DP. daun Peyer, NL. nodul limfatik. MM.
muskularis mukosa, OS. otot sirkuler, OL. otot longitudinal. Pewarnaan HE,
Bar = 200 µm.

Pengamatan Distribusi Komponen Karbohidrat Kompleks pada Usus
Musang Luak
Berdasarkan pengamatan pada kandungan dan distribusi karbohidrat asam
dan netral di sepanjang usus musang luak diperoleh hasil positif dengan intensitas
yang bervariasi mulai dari sedang hingga kuat (Tabel 2). Hasil analisis kualitatif

9
berdasarkan perhitungan persentase jumlah sel yang positif terhadap pewarnaan
AB pH 2.5 dan PAS dapat dilihat pada tabel 3.
Kandungan karbohidrat asam dan netral pada usus musang luak dapat
ditemukan pada sel-sel goblet lapisan mukosa usus dan epitel kelenjar pada kripta
Lieberkuhn (Gambar 4 dan 5). Pewarnaan AB pH 2.5 menunjukkan hasil negatif
pada epitel kelenjar Brunner, namun pada pewarnaan PAS menunjukkan hasil
positif dengan intensitas kuat (Gambar 4A).
Tabel 2 Hasil pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS pada usus musang luak
Pewarnaan

Segmen usus

AB pH 2.5

PAS

++
++

+++
+++
+++

++
++

++
++

+++
+++

+++
+++

+++
+++

+++
+++

+++
+++

+++
+++

++
++

++
++

Duodenum
- Sel goblet lapisan mukosa
- Epitel kelenjar kripta Lieberkuhn
- Epitel kelenjar Brunner
Yeyunum
- Sel goblet lapisan mukosa
- Epitel kelenjar kripta Lieberkuhn
Ileum
- Sel goblet lapisan mukosa
- Epitel kelenjar kripta Lieberkuhn
Sekum
- Sel goblet lapisan mukosa
- Epitel kelenjar kripta Lieberkuhn
Kolon
- Sel goblet lapisan mukosa
- Epitel kelenjar kripta Lieberkuhn
Rektum
- Sel goblet lapisan mukosa
- Epitel kelenjar kripta Lieberkuhn

Keterangan: ( ) = negatif, (+) = lemah, (++) = sedang, (+++) = kuat

Tabel 3 Persentase rata-rata jumlah sel penghasil karbohidrat asam dan netral pada
usus musang luak
Segmen usus
Duodenum
- Lapisan mukosa
- Lapisan submukosa
(Kelenjar Brunner)
Yeyunum
- Lapisan mukosa
Ileum
- Lapisan mukosa
Sekum
- Lapisan mukosa
Kolon
- Lapisan mukosa
Rektum
- Lapisan mukosa

Jumlah rata-rata sel (%)
Positif AB pH 2.5
Positif PAS
41.33±6.43

52.66±3.06

0.0

100.00±0.0

48.00±3.46

49.33±6.42

70.66±4.16

54.00±7.02

62.66±1.15

63.33±6.11

60.00±6.92

68.00±2.00

40.00±2.00

47.30±4.16

10

Gambar 4 Fotomikrograf distribusi karbohidrat asam dan netral usus kecil musang luak.
A. duodenum, B. yeyunum, C. ileum, Asterik. kelenjar Brunner, DP. Daun
Peyer. Bar = 200 µm.

Gambar 5 Fotomikrograf distribusi karbohidrat asam dan netral usus besar musang luak.
A. sekum, B. kolon, C. rektum. Bar = 200 µm.

11
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa batas antara
duodenum dengan yeyunum sulit teramati secara makroskopis karena tidak ada
perbedaan yang signifikan, baik pada bentuk maupun diameter usus. Yeyunum
dapat teramati karena adanya mesenterium yang memiliki banyak pembuluh darah.
Mesenterium adalah lapisan peritoneum yang tersusun atas dua lapis dan
berfungsi untuk menyokong usus halus (Boden 2005). Sekum musang luak relatif
berukuran kecil dan tidak berkembang. Ukuran sekum yang dimiliki oleh musang
luak diduga tidak memungkinkan untuk terjadi fermentasi atau pencernaan yang
signifikan terhadap pakan. Jika dibandingkan dengan bentuk sekum dan kolon
pada masing-masing spesies, hewan pemakan serangga memiliki sekum yang
cenderung sangat kecil bahkan hampir tidak ada (Kurohmaru et al. 1980). Hewan
herbivora monogastrik seperti kuda memiliki sekum yang besar sebagai tempat
penting dalam fermentasi yang dibantu oleh bakteri (Eurell dan Dellmann 1998).
Babi memiliki sekum cukup besar dengan panjang antara 20–30 cm (Sisson 1953).
Kolon musang luak memiliki bentuk yang sederhana. Omnivora seperti
manusia memiliki tiga segmen kolon, yaitu: kolon ascenden, kolon transversal,
dan kolon descenden (Raven 2007). Ketiga segmen tersebut juga ditemukan pada
anjing, namun terlihat sederhana (Evan 1993). Babi sebagai hewan omnivora
memiliki bentuk kolon yang khas. Kolon babi memiliki beberapa segmen dan
membentuk dua pola ansa spiralis, yaitu: ansa spiralis sentripetal dan ansa
spiralis sentrifugal (Sisson 1953). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adnyane
(2011) melaporkan bahwa muncak sebagai hewan herbivora ruminansia memiliki
struktur kolon yang kompleks dengan banyak segmen. Muncak juga memiliki
struktur ansa spiralis pada kolonnya. Cunningham et al. (2007) menyatakan
bahwa pada kuda dan kelinci kolon menjadi tempat fermentasi sehingga spesies
ini memiliki kolon yang kompleks, sedangkan pada karnivora seperti anjing dan
kucing proses fermentasi tidak ada sehingga secara relatif memiliki bentuk
morfologi kolon yang sederhana. Usus besar musang luak diakhiri dengan rektum
yang memiliki konsistensi jaringan lebih keras jika dibandingkan dengan segmen
kolon. Hal ini diduga karena adanya lapisan tunika muskularis yang sangat tebal
pada rektum.
Tabel 4 Rasio panjang tubuh (tidak termasuk ekor) terhadap panjang usus
Spesies
hewan
Tikus kesturi
Tupai Jawa
Musang luak
Kucing
Anjing
Hamster
Manusia
Muncak
Kuda
Babi
Kerbau
Domba

Tipe hewan
Insektivora
Insektivora/omnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Omnivora
Omnivora
Herbivora ruminansia
Herbivora monogastrik
Omnivora
Herbivora ruminansia
Herbivora ruminansia

Rasio
1:2
1:3
1:3
1:4
1:5
1:6
1:8
1:9
1:10
1:15
1:20
1:25

Referensi
Kurohmaru et al. (1980)
Agungpriyono et al. (1999)
Studi saat ini
Nickel et al. (1973)
Nickel et al. (1973)
Kurohmaru et al. (1980)
Nickel et al. (1973)
Adnyane (2011)
Nickel et al. (1973)
Nickel et al. (1973)
Nickel et al. (1973)
Nickel et al. (1973)

12
Berdasarkan rasio antara panjang tubuh dengan panjang usus didapatkan
hasil 1:3. Perbandingan antara panjang tubuh dengan panjang usus musang luak
terdapat di antara hewan insektivora dan karnivora (Tabel 4). Berdasarkan
pengamatan secara makroskopis mengindikasikan bahwa musang luak merupakan
tipe hewan yang morfologi ususnya mendukung pola diet pemakan daging.
Perbedaan bentuk usus serta rasio panjang tubuh dengan panjang usus ini
menunjukkan adanya pola adaptasi morfologi dari masing-masing spesies.
Nickel et al. (1973) menyatakan bahwa hewan karnivora memiliki usus yang
pendek jika dibandingkan dengan hewan herbivora, sedangkan pada omnivora
memiliki kisaran panjang usus yang berada di antara hewan karnivora dengan
herbivora. Menurut Cunningham et al. (2007), diet pakan yang mengandung gula
atau protein lebih mudah dicerna secara langsung jika dibandingkan dengan pakan
tumbuhan karena tumbuhan mengandung serat yang sulit tercerna secara langsung
oleh tubuh mamalia. Proses pencernaan herbivora yang memakan tumbuhan ini
membutuhkan proses pencernaan khusus yang dibantu oleh bakteri, jamur, atau
protozoa.
Biji kopi merupakan bagian dari tumbuhan yang tidak dapat dicerna oleh
musang luak karena membutuhkan waktu pencernaan yang lama dan perlu
bantuan mikroorganisme. Hal tersebut membutuhkan saluran pencernaan yang
cukup panjang agar biji kopi dapat dicerna dengan baik. Musang luak memiliki
total panjang usus yang relatif pendek jika dibandingkan dengan hewan herbivora
sehingga tidak mendukung dalam proses pencernaan sempurna terhadap biji kopi
maupun tumbuhan yang banyak mengandung serat dan selulosa.
Berdasarkan studi mikroskopis didapatkan hasil lapisan dinding usus
musang luak terdiri atas lapisan mukosa (epitel mukosa, lamina propria, dan
muskularis mukosa), submukosa, tunika muskularis yang tersusun atas dua lapis
otot polos (lapis dalam sirkuler dan lapis luar longitudinal), dan serosa dengan
ketebalan yang bervariasi. Hal tersebut serupa dengan spesies mamalia lain
(Eurell 2004). Berdasarkan hasil yang diamati terhadap vili pada duodenum,
yeyunum, dan ileum terlihat seperti bentuk daun atau kolom tebal. Hal ini
menyerupai vili pada tupai jawa yang memiliki bentuk daun pada duodenum dan
yeyunum serta kolom tebal pada ileum (Agungpriyono et al. 1999). Kondisi yang
hampir serupa juga ditemukan pada duodenum dan ileum monyet, namun tidak
pada yeyunum monyet yang memiliki bentuk tipis dan panjang (Ross dan
Pawlina 2011). Vili duodenum, yeyunum, dan ileum pada kucing lebih tipis dan
panjang (Bacha dan Bacha 2000). Vili usus pada karnivora sejati lebih panjang
dan tipis, sedangkan pada herbivora pendek namun tebal (Aughey dan Frye 2001).
Struktur vili yang berbeda diduga disebabkan oleh perbedaan pakan alami dari
masing-masing spesies. Karnivora memiliki struktur vili yang panjang dan tipis
diduga karena nutrisi yang akan diserap lebih sederhana jika dibandingkan dengan
herbivora yang membutuhkan proses penyerapan yang panjang.
Usus kecil yang berfungsi mencerna dan absorbsi nutrisi merupakan
komponen terpanjang saluran pencernaan. Hal tersebut didukung oleh adanya vili
dan mikrovili di sepanjang usus kecil yang berfungsi untuk memperluas
permukaan usus saat terjadi proses penyerapan makanan (Aughey dan Frye 2001).
Menurut Countinho et al. (1996), kelenjar Brunner pada submukosa
duodenum berfungsi untuk menghasilkan mukus yang bersifat basa. Mukus
tersebut berperan dalam menetralisasi kimus dari lambung yang bersifat asam.

13
Kelenjar Brunner juga menunjang sistem pertahanan tubuh. Kelenjar tersebut
membantu kerja dari kripta Lieberkuhn dalam mentransportasikan imunoglobulin
ke dalam lumen usus serta menghasilkan lisozim berupa muramidase sebagai
enzim antibakterial. Kelenjar Brunner yang cukup padat mengisi lapisan
submukosa pada duodenum musang luak diduga karena dipengaruhi suasana
sangat asam pada lambung musang luak. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Kusumastuti (2012), musang luak memiliki daerah kelenjar
fundus dengan sel parietal dalam jumlah besar. Sel parietal terdistribusi mulai dari
apikal hingga basal kelenjar. Keberadaan sel parietal yang banyak tersebut
menunjukkan besarnya peranan HCl pada lambung musang luak. Kondisi
banyaknya sel parietal dalam lambung musang luak dapat menyebabkan suasana
lambung menjadi sangat asam akibat besarnya produksi HCl yang dihasilkan. Hal
ini diduga menjadi penyebab jumlah kelenjar Brunner beradaptasi menjadi
semakin banyak untuk memproduksi sekreta yang dapat menetralisasi suasana
asam tersebut. Sekreta kelenjar Brunner musang luak bersifat mukus. Hal ini
ditandai dengan inti sel kelenjar yang terdorong ke arah membran basal. Sifat
sekreta kelenjar Brunner pada kuda (Bacha dan Bacha 2000) dan tikus (Friend
1965) adalah seromukus, pada sapi dan anjing bersifat mukus, pada babi bersifat
serous (Eurell 2004).
Struktur jaringan limfatik yang teragregasi membentuk daun Peyer juga
dapat ditemukan pada ileum musang luak. Daun Peyer merupakan komponen
sistem imun yang termasuk ke dalam Gut-Associated Lymphatic Tissue (GALT).
Daun Peyer adalah nodul limfatik teragregasi yang terdapat pada usus kecil dan
terletak hampir mendekati lapisan mukosa usus. GALT terdiri atas nodul limfatik
yang teragregasi maupun soliter, limfosit subepitel, sel plasma dan makrofag pada
usus, serta limfosit intraepitel (Eurell dan Dellmann 1998).
Hasil pengamatan mikroskopis pada usus besar juga diperoleh beberapa
struktur yang sama dengan spesies lain. Nodul limfatik soliter ditemukan pada
lapisan submukosa sekum musang luak. Temuan ini juga terdapat pada sekum
anjing dan babi (Bacha dan Bacha 2000) serta appendiks pada manusia (Ross dan
Pawlina 2011). Eurell dan Dellmann (1998) menyatakan bahwa babi, ruminansia,
dan anjing memiliki nodul limfatik yang terletak pada bagian ileal ostium atau
batas antara ileum distal dengan sekum dan kolon. Kuda dan kucing memiliki
nodul limfatik yang terletak pada sekum bagian apeks. Temuan studi pada musang
luak menunjukkan nodul limfatik soliter ditemukan pada sekum bagian apeks.
Struktur vili pada sekum, kolon, dan rektum musang luak digantikan
dengan lipatan mukosa atau plica. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Aughey dan Frye (2001) tentang vili usus mamalia yang akan mengalami
transformasi. Semakin ke bagian belakang saluran pencernaan, vili akan berubah
menjadi lipatan mukosa. Fungsi kolon di antaranya: mengabsorbsi air dan
elektrolit, sebagai tempat penyimpanan feses, serta berperan dalam
memfermentasi bahan organik yang tidak terdigesti dan terabsorbsi di usus kecil,
namun fungsi ini relatif pada masing-masing spesies (Cunningham et al. 2007).
Berdasarkan pengamatan karbohidrat asam dan netral di sepanjang usus
musang luak ditemukan hasil positif dengan intensitas yang bervariasi mulai dari
sedang hingga kuat. Karbohidrat tersebut diproduksi oleh sel-sel goblet. Mukus
yang disekresikan oleh sel goblet akan menutupi mukosa dan bercampur dengan
glycocalyx membentuk dua lapis kental yang berperan sebagai perangkap molekul

14
nutrien (Cunningham et al. 2007). Hasil positif terhadap karbohidrat asam dapat
ditemukan pada lapisan mukosa di sel-sel goblet dan sel kelenjar pada kripta
Lieberkuhn. Hasil positif terhadap komponen karbohidrat netral dapat ditemukan
pada lapisan mukosa di sel-sel goblet dan sel kelenjar pada kripta Lieberkuhn,
serta pada lapisan submukosa di sel-sel kelenjar Brunner duodenum.
Hasil pewarnaan AB pH 2.5 menunjukkan bahwa duodenum memiliki
kandungan karbohidrat asam yang sedikit pada lapisan mukosanya. Pada kelenjar
Brunner duodenum memberikan hasil negatif terhadap pewarnaan AB pH 2.5.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa komponen karbohidrat kompleks yang
terkandung dalam sel kelenjar Brunner bukan merupakan karbohidrat asam.
Peranan dari karbohidrat asam menurut Suprasert et al. (1999) diduga berfungsi
dalam perlawanan patogen yang masuk melalui saluran pencernaan.
Apabila kondisi yang terlalu asam pada duodenum dapat menginduksi
sekresi hormon sekretin dari sel endokrin duodenum. Hormon tersebut akan
menstimulasi saraf vagus untuk menghambat pengosongan lambung. Hal ini
menyebabkan isi lambung tidak dapat berpindah ke usus halus untuk proses
pencernaan dan penyerapan selanjutnya. Ketika pH duodenum lebih basa,
hambatan pengosongan lambung akan hilang sehingga kondisi tersebut
memungkinkan
isi
lambung
dapat
berpindah
ke
usus
halus
(Cunningham et al. 2007). Hal ini diduga menjadi alasan terhadap penurunan
jumlah sel-sel penghasil mukus yang bersifat asam. Kondisi ini bertujuan untuk
mengurangi suasana asam pada duodenum.
Berdasarkan hasil pewarnaan PAS pada kelenjar Brunner duodenum
menunjukkan hasil positif dengan intensitas kuat. Hal tersebut menunjukkan
bahwa komponen karbohidrat kompleks pada sel kelenjar Brunner merupakan
karbohidrat netral. Peranan dari karbohidrat netral menurut Novelina (2003)
adalah sebagai substansi yang dapat menetralisasi dan melindungi mukosa saluran
pencernaan dari asam lambung. Hal ini didukung dengan adanya temuan
kandungan karbohidrat netral yang tinggi pada duodenum sehingga dapat
menetralkan kimus yang bersifat sangat asam dari lambung.
Semakin menuju anus, kandungan karbohidrat kompleks yang ditemukan
semakin sedikit. Hal ini ditandai dengan penurunan intensitas warna biru hasil
pewarnaan AB pH 2.5 dan merah magenta hasil pewarnaan PAS pada rektum.
Keadaan tersebut diduga berhubungan dengan fungsi rektum pada sistem
pencernaan. Dalam sistem pencernaan, rektum berfungsi sebagai tempat
penampungan sementara feses dari kolon yang akan dieliminasi keluar melalui
anus (Boden 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lagi proses
pencernaan maupun penyerapan dalam rektum yang membutuhkan komponen
karbohidrat kompleks. Oleh karena itu, kandungan karbohidrat kompleks pada
rektum mengalami penurunan.

15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil kajian morfologi makroskopis dan rasio panjang tubuh
dengan panjang usus menunjukkan bahwa musang luak memiliki tipe saluran
pencernaan pemakan daging yang tidak mendukung dalam proses pencernaan
terhadap biji kopi. Karbohidrat asam dan netral berdistribusi pada mukosa sel
goblet dan kripta Lieberkuhn di sepanjang usus dengan frekuensi sedang hingga
kuat. Pada kelenjar Brunner hanya ditemukan karbohidrat netral.
Saran
Penelitian lebih lanjut terhadap pakan dan morfofisiologi saluran
pencernaan musang luak sangat diperlukan. Hal tersebut dapat menjadi informasi
terhadap diet yang tepat dan sesuai dengan konsep kesejahteraan hewan, baik bagi
musang luak yang ditangkarkan maupun musang luak yang dipelihara sebagai
hewan kesayangan.

DAFTAR PUSTAKA
Adnyane IKM. 2011. Morphophysiological study of digestive system of barking
deer (Mutiacus muntjak Rof.) [disertasi]. Selangor (MY): Universiti Putra
Malaysia.
Agungpriyono S, Kusindarto DL, Nisa’ C, Hondo E, Kurohmaru M, Yamada J.
1999. Morphological study of intestine of the java treeshrew (Tupaia
javanica). Media Veteriner. 6: 15-21.
Apriliani F. 2012. Morfologi organ reproduksi betina musang luak (Paradoxurus
hermaphroditus) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology: with Clinical
Correlates. London (UK): Manson Publishing Ltd.
Bacha LM, Bacha WJ. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2.
Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.
Bancroft JD, Gamble M. 2008. Theory and Practice of Histological Technique.
Ed ke-6. Bancroft JD, Gamble M, editor. Philadelphia (US): Saunders
Elsevier.
Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary. Ed ke-21. London (UK): A & C
Black Publisher.
Countinho HB, Robalinho TI, Countinho VB, Amorin AMS, Almeida JR,
Filho JTO, Walker E, King G, Sewell HF, Wakelin D. 1996.
Immunocytochemical demonstration that human duodenal Brunner’s
glands may participate in intestinal defence. Journal of Anatomy.
189: 193-197.
Cunningham JG, Klein BG, Ahmed SA, Brinsko SP, Davidson AP, Greco DS,
Heidemann SR, Herdt TH, Robinson NE, Schurig GG. 2007. Textbook of
Veterinary Physiology. Ed ke-4. Philadelphia (US): Saunders Elsevier.

16
Duckworth JW, Widmann P, Custodio C, Gonzalez JC, Jennings A, Veron G.
2008. Paradoxurus hermaphroditus. The IUCN Red List of Threatened
Species. Versi 2015. 2 [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 10]. Tersedia
pada: http://www.iucnredlist.org.
Eurell J, Dellmann HD. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5.
Maryland (US): Lippincott Williams & Wilkins.
Eurell JAC. 2004. Veterinary Histology. Wyoming (US): Teton NewMedia.
Evan HE. 1993. Miller’s Anatomy of the Dog. Ed ke-3. Philadelphia (US): W. B.
Saunders Company.
Friend DS. 1965. The fine structure of Brunner’s glands in the mouse. The
Journal of Cell Biology. 25: 563-576.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Jakarta
(ID): EGC.
Joshi A, Smith JLD, Cuthbert FJ. 1995. Influences of food distribution and
predation pressures on spacing behavior in palm civets. Journal of
Mammalogy. 76 (4): 1205-1212.
Khao YNP. 2003. Common Palm Civet (Paradoxurus hermaphroditus) [Internet].
[diunduh
2015
Maret
16].
Tersedia
pada:
http://eol.org/pages/328089/hierarchy_entries/24951599/overview.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice.
New York (US): Pergamon Press.
Kurohmaru M, Nishida T, Mochizuki K. 1980. Morphological study on the
intestine of the musk shrew (Suncus murinus). The Japanese Journal of
Veterinary Science. 42: 61-71.
Kusumastuti A. 2012. Morfologi Esofagus dan Lambung Musang Luak
(Paradoxurus hermaphroditus) [skripsi]. Bogor (ID): Insitut Pertanian
Bogor.
Nelson J. 2013. "Paradoxurus hermaphroditus" (On-line), Animal Diversity Web.
Accessed July 21, 2014 [Internet]. [diunduh 2014 Juli 21]. Tersedia pada:
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Paradoxurus_hermaphro
ditus/.
Nickel R, Schummer A, Seiferle E. 1973. The Viscera of the Domestic Mammals.
Berlin (DE): Verlag Paul Parey.
Novelina S. 2003. Studi morfologi saluran pencernaan burung walet sarang putih
(Collocalia fuciphaga) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Novelina S, Putra SM, Nisa’ C, Setijanto H. 2014. Tinjauan Makroskopik Organ
Reproduksi Jantan Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus). Acta
Veterinaria Indonesiana. 2: 26-30.
Panggabean E. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka.
Pratama A. 2013. Morfologi Kelenjar Parotis dan Mandibularis Musang Luak
(Paradoxurus hermaphroditus) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Raven P. 2007. Atlas Anatomi. Ed ke-25. A Ramali, Hendra TL, penerjemah.
Jakarta (ID): Penerbit Djambatan. Terjemahan dari: Anatomische atlas.
Ross MH, Pawlina W. 2011. Histology A Text and Atlas: with Correlated Cell
and Molecular Biology. Ed ke-6. Philadelphia (US): Lippincott William &
Wilkins.

17
Sisson S. 1953. The Anatomy of the Domestic Animals. London (UK): W. B.
Saunders Company.
Suprasert A, Pongchairerk U, Pongket P, Nishida T. 1999. Lectin histochemical
characterization of glycoconjugates present in abomasal epithelium of the
goat. Kasetsart Journal (Natural Science). 33: 234-242.
Susilo A. 2013. Produksi kopi luak sintesis secara enzimatis menggunakan bakteri
xilanolitik dan kombinasi dengan bakteri proteolitik dan selulolitik
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

18
Lampiran 1. Pewarnaan hematoksilin eosin (HE)
1. Sediaan dideparafinisasi-rehidrasi dilakukan masing-masing selama 2-3
menit.
2. Dimasukkan ke dalam air kran selama 10 menit.
3. Preparat dimasukkan ke dalam distillate water (DW) selama 5 menit.
4. Kemudian preparat diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin selama 1-3
menit.
5. Kontrol mikroskop dilakukan untuk melihat warna yang sesuai.
6. Kemudian preparat dimasukkan ke dalam air kran selama 10 menit dan
DW selama 5 menit.
7. Dilakukan pewarnaan dengan eosin selama 1-2 menit.
8. Pemucatan warna eosin dilakukan sekaligus juga dilakukan dehidrasi pada
alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol 100% I,
alkohol 100% II, dan alkohol 100% III.
9. Kemudian clearing dengan xylol dan dilakukan mounting pada preparat.
10. Hasil: Inti sel = biru-ungu, sitoplasma sel = variasi jingga hingga merah
muda.
Bancroft dan Gamble (2008) modifikasi Laboratorium Histologi FKH IPB.

19
Lampiran 2. Pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5 dan periodic acid Schiff (PAS)
Pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5
1. Sediaan dideparafinisasi-rehidrasi dilakukan masing-masing selama 2-3
menit.
2. Kemudian dilakukan penurunan pH dengan 3% asam asetat selama 5
menit.
3. Dilakukan perendaman dalam AB pH 2.5 selama 30 menit.
4. Preparat dicuci dengan 3% asam asetat sebanyak 3 kali, masing-masing
selama 5 menit.
5. Kemudian dicuci dalam DW sebanyak 3 kali, masing-masing selama 5
menit.
6. Lalu dilakukan counterstrain dengan Nuclear Fast Red selama 4-6 menit
(cek mikroskop).
7. Kemudian dicuci kembali dengan DW selama 5 menit.
8. Setelah itu dilanjutkan dengan tahap dehidrasi dengan alkohol 90%,
alkohol 100% I, alkohol 100% II masing-masing selama 1 menit.
9. Kemudian dilakukan proses penjernihan dengan xylol I dan II selama 1
menit serta