Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa’totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa.

DINAMIKA KELEMBAGAAN PADI SAWAH PA’TOTIBOYONGAN,
DESA BALLATUMUKA, KABUPATEN MAMASA

RISMA JUNITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Kelembagaan
Padi Sawah Pa‟totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Februari 2016
Risma Junita
NIM I353114031

RINGKASAN
RISMA JUNITA. Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa‟totiboyongan, Desa
Ballatumuka, Kabupaten Mamasa. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan
SAHARUDDIN.
Sumberdaya alam memiliki peranan tersendiri dalam hal pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat. Diantara sumberdaya alam yang tersedia di
Indonesia, sumberdaya pertanian dan kegiatan berupa pengelolaan sumberdaya
tersebut masih berada pada skala prioritas utama. Hal ini mengingat bahwa
sebagian besar penduduk di Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada
pertanian. Salah satu wilayah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya
masih bergantung pada sektor pertanian adalah Kabupaten Mamasa, Sulawesi
Barat. Masyarakat di Daerah Mamasa, yang jumlahnya sekitar seratus ribu jiwa
pada tahun 2000, sebagian besar menyandarkan nafkahnya pada budidaya padi,
hortikultura, dan kopi. Di pedalaman Kabupaten Mamasa, ekosistem sawah
merupakan aset penting jika dibandingkan dengan lahan kering, baik dilihat dari

dimensi ekonomi maupun sosial. Di beberapa desa yang masih kaya dengan
ekosistem sawah atau litak basah, berbagai ritual, tradisi-tradisi khusus, dan
kearifan lokal, masih melekat dengan budidaya pertanian lahan basah.
Seluruh tradisi, ritual, kearifan, norma-norma, dan tata kelakuan yang
melekat dengan budidaya pertanian sawah ini terhimpun dalam kelembagaan lokal
yang dikenal sebagai pa‟totiboyongan. Di beberapa desa atau kelurahan di
Mamasa, pa‟totiboyongan sudah tidak lagi berjalan sebagaimana yang dituturkan
dan diwariskan nenek moyang. Pa‟totiboyongan telah mengalami transformasi
dan kini hanya sebatas simbolik belaka. Sementara di beberapa desa lain,
pa‟totiboyongan masih eksis dan dipelihara sesuai ajaran leluhur. Salah satu desa
yang ditengarai masih memelihara pa‟totiboyongan adalah Desa Ballatumuka,
Kecamatan Balla. Sehingga menarik untuk dikaji apakah memang tatanan
pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka, masih tetap dipelihara sebagaimana yang
banyak dibicarakan warga Mamasa? Atau sudah bertransformasi sehingga
pa‟totiboyongan hanya simbolik belaka? Apa yang menyebabkan
pa‟totiboyongan masih dapat bertahan di Ballatumuka atau sebaliknya?
Pa‟totiboyongan memiliki tatanan struktur adat dan dipimpin oleh seseorang
yang disebut sebagai so‟bok. Pasang surut pa‟totiboyongan pada kenyataannya
tidak hanya ditentukan oleh so‟bok, tetapi juga dipengaruhi oleh aktor lain yaitu
pemerintah desa (dalam hal ini kepala desa) dan majelis gereja. Masing-masing

aktor memiliki peran, kuasa, dan pengaruh tersendiri terhadap kelembagaan
pa‟totiboyongan. Apakah karena pengaruh kekuatan eksternal dari pemerintah
kabupaten/desa dan institusi gereja yang lebih lemah dibanding pengaruh internal
(misal, faktor kepemimpinan pemuka pa‟totiboyongan, kohesivitas komunitas)
sehingga pa‟totiboyongan dapat bertahan di Desa Ballatumuka? Lebih jauh lagi,
bila ternyata pa‟totiboyongan di Ballatumuka pada kenyataannya banyak yang
bersifat simbolik belaka, maka sejauhmana perubahan tersebut berpengaruh secara
langsung atau tidak langsung dengan pelapisan sosial dan sistem tenurial?
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif, yang didukung oleh data-data kuantitatif. Data-data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder, yang

dihimpun dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi
(pengamatan), dan studi dokumen/literatur. Penelitian mengenai dinamika
kelembagaan padi sawah pa‟totiboyongan, dilakukan di Desa Ballatumuka,
Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa. Studi lapang dilaksanakan dalam kurun
waktu September hingga Oktober 2014.
Hasil studi menunjukkan bahwa, pengelolaan padi sawah di Desa
Ballatumuka masih berbasiskan pada tatanan nilai dan norma atau aturan lokal
yang ada dalam kelembagaan pa‟totiboyongan. Dinamika sosial yang mewarnai

pelaksanaan kelembagaan lokal pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka ditandai
dengan adanya relasi-relasi sosial yang terbangun diantara masyarakat
Ballatumuka, so‟bok, kepala desa dan jajarannya, serta majelis gereja. Pola-pola
relasi sosial diantara para pihak tersebut cenderung mengarah pada pola relasi
yang berbentuk cooperation atau kerjasama dan differentiation (diferensiasi).
Pada perkembangannya, pa‟totiboyongan yang berisi nilai-nilai serta aturanaturan dalam mengelola pertanian lahan basah (sawah) di Desa Ballatumuka,
mengalami transformasi sosial atau perubahan secara ‘kasat mata’ dalam beberapa
aktivitas atau ritual-ritualnya. Transformasi tersebut dimungkinkan karena adanya
keterbukaan masyarakat Ballatumuka pada pengaruh luar, adanya tuntutan
modernisasi pertanian, masuk dan menguatnya pengaruh ajaran agama Kristen,
serta adanya penerapan sistem pemerintahan formal.
Dinamika sosial yang terjadi dalam pengelolaan pertanian lahan basah
berbasis kelembagaan lokal pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka memberikan
gambaran bahwa struktur sosial masyarakat Ballatumuka yang terdiri dari kelaskelas berpengaruh pada peranan dan tanggungjawab yang diemban masingmasing pihak/aktor. So‟bok sebagai imam padi atau pemimpin pelaksanaan
pa‟totiboyongan, serta kepala desa merupakan sosok yang jelas berasal dari
golongan ada‟ atau tana‟ bulawan. Sementara itu, majelis gereja yang juga turut
serta dalam mendampingi so‟bok merupakan sosok yang berasal dari keturunan
tana‟ bassi, golongan yang memang berperan mendampingi para pemangku adat.
Seiring perkembangan waktu, posisi sosial masyarakat Ballatumuka dapat
mengalami gerak sosial secara vertikal jika masyarakat tersebut memilih keluar

desa dan menjalani strategi nafkah lain selain di bidang pertanian. Secara
ekonomi, posisi sosial masyarakat tersebut akan mengalami peningkatan. Namun,
secara tatanan nilai-nilai adat yang berlaku, masyarakat tersebut tetaplah sama.
Hal ini berarti bahwa, gerak sosial dalam masyarakat Ballatumuka hanya berlaku
untuk hal-hal yang berhubungan dengan tingkat ekonomi atau pendapatan saja.
Gerak sosial tersebut sulit terjadi jika dikaitkan dengan posisi masyarakat dalam
tata aturan dan kegiatan adat.
Kata kunci: dinamika kelembagaan, kelembagaan lokal, dan pa’totiboyongan

SUMMARY
RISMA JUNITA. The Dynamics of Social Institution of Pa’totiboyongan of
Paddy Rice Field, Ballatumuka Village, Mamasa District. Supervised by
SOERYO ADIWIBOWO and SAHARUDDIN.
Natural resources has a significant role to fulfilling the community’s needs.
Agricultural resources and activities in the form of resources management are still
on the main priority. It is given that the majority of the population in Indonesia
still dependent on agriculture. One of the areas in Indonesia which most of the
population still depends on agriculture is Mamasa, West Sulawesi. Local
communities in Mamasa, largely rested their living on rice cultivation,
horticulture, and coffee. In the interior of Mamasa, rice paddy ecosystem is an

important asset when compared to dry land, in terms of economic and social
dimensions. In some villages that are rich with the rice fields ecosystem, various
rituals, special traditions and local wisdom, still attached to the cultivation of
agricultural wetlands.
The whole tradition, ritual, wisdom, norms, and behavior patterns which are
attached with the cultivation of rice cultivation is gathered in a local institution
known as pa'totiboyongan. In some villages in Mamasa, pa'totiboyongan is no
longer running as spoken and inherited by the ancestors. Pa'totiboyongan has a
transformation and now only a mere symbolic. While in some other villages,
pa'totiboyongan still exist and are maintained according to the teachings of their
ancestors. One of the village in Mamasa that was considered to maintain
pa'totiboyongan is Ballatumuka Village, District of Balla. It’s interesting to study
whether or not the order of pa’totiboyongan in the Ballatumuka Village, still
maintained as much talk by Mamasa citizens? Or it has been transformed so that
pa'totiboyongan just a symbolic? What causes pa'totiboyongan still survive in
Ballatumuka or otherwise?
Pa'totiboyongan own order custom structure that’s led by someone who
called so'bok. The low tides in pa'totiboyongan not only determined by so'bok, but
also influenced by other actors, namely the village government (in this case the
village chief) and church councils. Each actor has a role, power, and its own

influence on pa'totiboyongan. Is it because of the influence of external forces from
the district/village and church institutions are weaker than internal influences (e.g,
leadership factor of pa'totiboyongan leaders, community cohesiveness) so that
pa’totiboyongan can survive in Ballatumuka? Furthermore, if pa'totiboyongan in
Ballatumuka which are only a symbolic form, then the extent of those changes
may impact directly or indirectly with social stratification and tenure system?
The research used a qualitative approach, supported by quantitative data.
The data that was collected in this study consisted of primary and secondary data,
collected using the technique of in-depth interviews, observation, and study of
document or literature. Research on the dynamics of social institution of
Pa’totiboyongan of Paddy Rice Field, conducted in the Ballatumuka Village,
District of Balla, Mamasa. A field study conducted during the period of
September to October 2014.
This study showed that, the management of rice paddy fields in
Ballatumuka which’s based on the order of values and norms or local rules that

exist in pa'totiboyongan. Social dynamics that characterize the implementation of
local institutions in Ballatumuka was characterized by social relations are
established among local community, so'bok, the village chief and his staff, as well
as church officers. The patterns of social relations between the parties are likely to

lead to a pattern of relations in the form of cooperation or collaboration and
differentiation (differentiation).
Currently, pa'totiboyongan that contain the values and rules in managing
wetland agriculture (paddy) in Ballatumuka, experiencing social transformation or
changes as 'invisible' in some activities or rituals. The transformation was made
possible because of the openness of local community of Ballatumuka to the
influences from outsides, the demands of agricultural modernization, entry and
strengthening the influence of Christian teaching, as well as the application of the
formal government system.
Social dynamics that occur in the management of wetland agriculture-based
on local institution called pa'totiboyongan in Ballatumuka, illustrates that the
social structure in Ballatumuka consist of castes effect on the roles and
responsibilities carried by each party/actor. So'bok as a leader of pa'totiboyongan,
as well as the village head is a figure that clearly come from tana' bulawan or the
nobility. Meanwhile, the church council who also participated in the
accompanying so'bok is a figure derived from the offspring tana’ bassi, which is
instrumental group accompanying the adat.
Over the years, the social position of community in Ballatumuka can
experience the social mobility, if the community opted out of the village and
undergo livelihood strategies other than in agriculture. Economically, the social

position of the people will increase. However, in order of traditional values and
castes in prevailing customs, the community remains the same position. This fact
means that social mobility in Ballatumuka applies only to matters relating to
economic levels or income. The difficultness of social mobility occurs if it is
associated with the position of the community in the form of a layer of castes,
class of ada’ and pakka.
Keywords: the dynamics of institution, local institution, and pa’totiboyongan

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DINAMIKA KELEMBAGAAN PADI SAWAH
PA’TOTIBOYONGAN, DESA BALLATUMUKA, KABUPATEN

MAMASA

RISMA JUNITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Satyawan Sunito

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September
2014 ini ialah dinamika sosial, dengan judul Dinamika Kelembagaan Padi Sawah
Pa‟totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
dan Bapak Dr Ir Saharuddin, MS selaku pembimbing, yang telah banyak
memberikan bimbingan serta saran selama penyusunan karya ilmiah ini.
Terimakasih juga penulis haturkan kepada Bapak Dr Sofyan Sjaf, MSi yang turut
memberikan kontribusi berupa saran dan masukan yang membangun selama
proses penelitian. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten Mamasa dan masyarakat Desa Ballatumuka yang telah memberikan
kontribusi terbaik selama proses pengumpulan data penelitian. Ungkapan terima
kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih penulis sampaikan kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Risma Junita

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

1
1
4
5

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dinamika Sosial
Konsep Kelembagaan
Dinamika Kelembagaan Lokal
Pa‟totiboyongan sebagai Kelembagaan Lokal
Kerangka Pemikiran

6
6
7
10
11
13

METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Subyek Penelitian dan Uraian Kebutuhan Data

16
16
16
17
17

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sekilas Sejarah Kabupaten Mamasa
Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Mamasa
Desa Ballatumuka sebagai Sebuah Lokasi Studi
Gambaran Umum Desa Ballatumuka
Desa Ballatumuka dalam Alur Sejarah

19
19
22
27
27
29

DINAMIKA KELEMBAGAAN PA‟TOTIBOYONGAN
Pa‟totiboyongan sebagai Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan
Pertanian Sawah di Desa Ballatumuka
Gambaran Peran Aktor dalam Kelembagaan Pa‟totiboyongan
Masyarakat Ballatumuka
So‟bok
Pemerintah Desa
Majelis Gereja
Pola Relasi Sosial antara Masyarakat, So‟bok, Kepala Desa, dan
Majelis Gereja
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kelembagaan
Pa‟totiboyongan
Telaah Terkini pada Tatanan Kelembagaan Pa‟totiboyongan di Desa
Ballatumuka

34
34

DINAMIKA
KELEMBAGAAN
PA‟TOTIBOYONGAN
DALAM
KAITANNYA DENGAN PERUBAHAN STATUS SOSIAL DAN
SISTEM TENURIAL
Sejarah Tenurial Lokal dan Perkembangan Komunitas Agraria di

55

38
39
40
41
42
43
45
50

55

Desa Ballatumuka
Dinamika Struktur Sosio-Agraria dalam
Pelaksanaan Kelembagaan Pa‟totiboyongan
Perubahan Status Sosial Masyarakat
Perubahan Sistem Tenurial Lokal

Kaitannya

dengan

61
63
65

SIMPULAN DAN SARAN

69

DAFTAR PUSTAKA

71

LAMPIRAN

75

RIWAYAT HIDUP

82

DAFTAR TABEL
1

Data dan informasi yang dibutuhkan, jenis data, teknik pengumpulan
data

18

2

Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Mamasa tahun
2010-2014

23

3

Tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten
Mamasa tahun 2014

24

4

Jumlah dan persentase penduduk masing-masing dusun berdasarkan
golongan umur di Desa Ballatumuka tahun 2014

28

5

Jumlah dan persentase penduduk masing-masing dusun menurut jenis
kelamin di Desa Ballatumuka tahun 2014

28

6

Pola relasi sosial dalam pelaksanaan kelembagaan pa‟totiboyongan di
Desa Ballatumuka

44

7

Dinamika kelembagaan pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka menurut
faktor-faktor yang mempengaruhinya

48

8

Hubungan kepercayaan, posisi
so‟bok,
pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka

51

9

Nama kelompok tani di Desa Ballatumuka tahun 2014

dan

implementasi

60

10 Identifikasi pelapisan sosial masyarakat di Desa Ballatumuka menurut
posisi dan jenis pekerjaan

63

11 Sistem penguasaan sumberdaya lahan di Ballatumuka menurut lapisan
sosial masyarakat yang menguasai

66

12 Status penguasaan sumberdaya lahan basah menurut sistem tenurial
lokal dan aktor yang berelasi

67

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka pemikiran

15

2

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat kesempatan kerja
(TKK) di Kabupaten Mamasa tahun 2010-2014

25

3

Peristiwa-peristiwa penting dalam alur sejarah Desa Ballatumuka

30

4

Perubahan status kepemimpinan wilayah di Ballatumuka

32

5

Kalender musim kegiatan pertanian di Desa Ballatumuka

36

6

Hewan kerbau tedong yang memiliki nilai sosial, ekonomi, dan budaya

58

DAFTAR LAMPIRAN
1

Peta Kabupaten Mamasa

76

2

Sketsa lokasi penelitian

77

3

Dokumentasi penelitian

78

3.1 Salah satu wilayah persawahan di Desa Ballatumuka

78

3.2 Gambaran Desa Ballatumuka dari atas Perbukitan Buntumusa

78

3.3 Keseragaman bentuk rumah huni-tradisional masyarakat
Ballatumuka

79

3.4 Salah satu alang atau lumbung padi-tempat penyimpanan padi hasil
panen

79

3.5 Suasana gotong royong masyarakat Ballatumuka ketika membangun
rumah

80

3.6 Suasana salah satu diskusi dengan masyarakat Ballatumuka

80

3.7 Suasana diskusi penelusuran sejarah desa dengan para tokoh

81

3.8 Kondisi keseragaman persawahan di Ballatumuka

81

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumberdaya alam
melimpah, dan dikenal pula sebagai negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi
kedua setelah Brazil (Hitipeuw 2011). Sumberdaya alam memiliki peranan
tersendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Selain itu,
sumberdaya alam bagi masyarakat juga merupakan faktor produksi utama yang
tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi juga dengan aspek sosial
maupun politik (Budimanta 2007). Diantara sumberdaya alam yang tersedia di
Indonesia, sumberdaya pertanian dan kegiatan berupa pengelolaan sumberdaya
tersebut masih berada pada skala prioritas utama. Hal ini mengingat bahwa
sebagian besar penduduk di Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada
pertanian. Sektor pertanian memiliki kontribusi yang besar dalam perekonomian
Indonesia, terlihat dari besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor ini (Herliana
2004). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, sektor pertanian
di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44.3% penduduk. Sejarah
Indonesia sejak masa kolonial hingga kini tidak dapat dipisahkan dari sektor
pertanian, karena sektor ini memiliki peran penting dalam penentuan beragam
realita ekonomi maupun sosial masyarakat.
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, rata-rata luas lahan pertanian yang
dikuasai oleh rumah tangga usaha pertanian di Indonesia mengalami kenaikan bila
dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003. Rata-rata luas lahan yang
dikuasai tiap rumah tangga hasil Sensus Pertanian 2013 adalah 8925.64 m²,
dengan rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga usaha
pertanian adalah sebesar 8581.19 m², naik sebesar 144.51% jika dibandingkan
dengan hasil Sensus Pertanian 2003 yang tercatat hanya sebesar 3509.59 m².
Walaupun kebijakan ekonomi di negeri ini cenderung mengarah pada dominasi
sektor industri dan jasa, namun hasil Sensus Pertanian Tahun 2013
mengkonfirmasi bahwa sektor pertanian harus tetap mendapat atensi khusus
dalam agenda pembangunan di masa mendatang (Kadir 2013). Hasil Sensus
Pertanian pada 2013 mencatat populasi rumah tangga usaha pertanian di Indonesia
mencapai 26.13 juta rumah tangga. Angka ini menurun sebanyak 5.04 juta rumah
tangga (1.75%) bila dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian pada 2003.
Adanya tren „penurunan‟ populasi rumah tangga usaha pertanian di Indonesia
tidak dapat dijadikan sebagai indikator bahwa telah terjadi pula „penurunan‟ peran
penting pertanian di Indonesia. Hingga saat ini, peran penting pertanian sebagai
penyedia utama bahan pangan pokok di Indonesia masih belum tergantikan.
Hasil Sensus Pertanian 2013 menggambarkan bahwa sektor pertanian di
Indonesia masih memegang peranan penting. Peran penting sektor pertanian tidak
hanya menyangkut posisinya sebagai penyedia pangan utama, tetapi juga
menyangkut fakta bahwa ternyata masih banyak penduduk di negeri ini yang
kehidupannya secara struktural maupun kultural bergantung pada sektor pertanian.
Selain itu, sektor pertanian juga memiliki peran penting dalam perekonomian
Indonesia, baik itu pada pertumbuhan ekonomi, penerimaan devisa negara,
pemenuhan kebutuhan pangan, maupun penyerapan tenaga kerja (Fauzi 2008).

2

Salah satu wilayah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya masih
bergantung pada sektor pertanian adalah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Kabupaten Mamasa baru terbentuk pada tahun 2002, yang merupakan hasil dari
pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa 1 . Kabupaten yang masih tergolong
sebagai kabupaten baru ini, berpeluang melahirkan kebijakan daerah tentang
kedaulatan pangan (Sjaf et al. 2007), hal mana kebijakan tersebut erat kaitannya
dengan pengelolaan sumberdaya pertanian tanaman pangan. Buijs (2009)
menyatakan bahwa sampai sekarang, orang-orang di daerah Mamasa, yang
berpenduduk sekitar 100.000 pada tahun 2000, mencari nafkah dengan menanam
padi, tanaman hortikultura, dan kopi. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013,
jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Mamasa adalah 27.431 rumah
tangga. Jika dibandingkan dengan hasil sensus pada tahun 2003, maka jumlah
tersebut mengalami kenaikan sebesar 5.677 rumah tangga.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang dapat dikembangkan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Mamasa. Selama ini, sektor
pertanian di Kabupaten Mamasa merupakan salah satu sektor yang cukup
berkembang. Hasil-hasil pertaniannya antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar,
kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Selain itu, sektor perkebunan di kabupaten ini juga cukup potensial, khususnya
perkebunan kopi dan kakao yang dikelola petani (masih) secara tradisional.
Bahkan, tanaman kopi yang dihasilkan petani di Kabupaten Mamasa, semasa
masih menjadi bagian dari Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) telah
memberikan kontribusi dalam mengangkat nama Polmas sebagai daerah penghasil
kopi (Aas 2014).
Sebagai salah satu kabupaten yang baru berjalan selama hampir tiga belas
tahun, beberapa kajian yang berfokus lokasi di kabupaten ini pada umumnya
membahas mengenai proses pemekaran wilayah, dinamika konflik yang
menyertainya, serta dampak yang ditimbulkannya 2 . Kajian lain yang berfokus
lokasi di Kabupaten Mamasa, khususnya kajian yang membahas mengenai aspek
sosial-ekonomi pertanian masih tergolong sedikit jumlahnya. Adapun kajian yang
memotret aspek pertanian di Mamasa cenderung membahas mengenai aspek
teknis budidaya maupun adopsi teknologi pertanian 3 . Salah satu studi yang
mengkaji mengenai aspek penting yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya pertanian adalah studi yang dilakukan oleh Sofyan Sjaf, Asma Luthfi,
dan Retno Puji Astuti. Studi ini memotret lebih dekat kemiskinan warga terkait
dengan akses, pemanfaatan, pengelolaan, penggunaan lahan, dan kontrol terhadap
sumber-sumber produksi (Sjaf et al. 2007), yang berfokus di dua lokasi studi,
yaitu Desa Rantetangnga dan Kelurahan Minake, Kabupaten Mamasa. Gambaran
yang dihasilkan oleh studi ini mengenai akses, pemanfaatan, pengelolaan,
penggunaan lahan, dan kontrol terhadap sumber-sumber produksi pada akhirnya
menyimpulkan tentang peta kedaulatan pangan di Mamasa. Studi ini
menyimpulkan bahwa terwujudnya kedaulatan pangan di suatu daerah sangat
1

Pembentukan Kabupaten Mamasa diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Provinsi Sulawesi Selatan.
2
Studi yang memotret mengenai proses pemekaran Kabupaten Mamasa, dinamika konflik yang
menyertainya serta dampak yang ditumbulkannya antara lain: studi yang dilakukan oleh Ahsan
(2005), Syarifuddin (2005), Abdullah (2011), dan Supriyadi (2012).
3
Lihat Herman et al. (2006)

3

ditentukan oleh keberadaan sumber-sumber agraria, kesiapan warga atau
komunitas, dan kesediaan institusi sebagai pihak yang berkaitan dengan
penerapan kedaulatan pangan di suatu daerah (Sjaf et al. 2007).
Studi lain yang juga berkaitan dengan aspek pengelolaan sumberdaya
pertanian di Mamasa adalah studi yang dilakukan oleh Kees Buijs. Fokus utama
studi ini adalah studi budaya Suku Toraja yang bermukim di daerah Mamasa.
Walaupun fokus utama studi Buijs terletak pada budaya, namun di dalam
pemaparan hasil studinya juga disampaikan secara rinci mengenai ritual-ritual
penting yang dilaksanakan oleh masyarakat Mamasa dalam kegiatan pengelolaan
sumberdaya pertanian. Ritual-ritual tersebut hingga saat ini masih dijaga
kelestariannya sebagai salah satu warisan budaya. Kondisi wilayah yang terisolasi
memberi pengaruh yang sangat besar terhadap masih terpeliharanya tradisi-tradisi
dan ritual lama (Buijs 2009). Terdapat satu bab khusus dalam laporan studi Buijs
yang membahas mengenai hal tersebut. Studi Buijs tentang ritual-ritual dan
tradisi-tradisi lama dalam pengelolaan sumberdaya pertanian di Mamasa,
khususnya di wilayah persawahan (dengan komoditas tanaman padi)
menyimpulkan bahwa ritual serta tradisi lama tersebut masih tetap dilaksanakan
oleh masyarakat, walaupun semakin hari ritual-ritual tersebut semakin mengalami
perubahan yang oleh Buijs disebut sebagai transformasi. Karena keterasingan
wilayah, maka perubahan-perubahan atau transformasi di Mamasa lebih lambat
terjadi jika dibandingkan dengan wilayah lain seperti Tana Toraja (Buijs 2009).
Buijs (2009) menambahkan bahwa jauh lebih dulu dari Mamasa, Tana Toraja
sudah terbuka terhadap pengaruh-pengaruh luar, yang juga berdampak penting
dalam penanaman padi.
Wilayah Kabupaten Mamasa yang secara geografis berada di dataran tinggi
dengan suhu yang dingin, menjadikan masyarakat Mamasa menggantungkan
aktivitas ekonominya pada usaha pertanian. Bagi masyarakat Mamasa, lahan
merupakan hal penting dalam usaha pertanian mereka. Dikenal dua jenis
penggunaan lahan dalam usaha pertanian masyarakat Mamasa, yaitu lahan basah
dan lahan kering. Lahan atau yang dalam istilah lokal dikenal sebagai litak, baik
itu litak basah maupun litak kering dimaknai berbeda oleh masyarakat Mamasa.
Sjaf dalam tulisannya yang berjudul “Kearifan Agraria Orang Mamasa”
menyatakan bahwa litak basah ditempatkan sebagai aset penting dibandingkan
litak kering, baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun sosial. Jika dilihat dari
dimensi ekonomi, maka litak basah (atau lahan basah berupa persawahan dengan
komoditas utama padi) merupakan lahan penghasil bahan pangan utama bagi
masyarakat. Selain itu litak basah juga merupakan litak yang memiliki nilai jual
atau harga tinggi. Secara sosial, litak basah adalah penanda bagi status sosial
masyarakat Mamasa. Hal ini berbeda dengan litak kering (atau lahan kering
berupa perkebunan dengan komoditas utama kopi dan kakao) yang dianggap
hanya sebagai „lahan sampingan‟ yang diusahakan ketika kegiatan pemanfaatan
litak basah dianggap sudah selesai dilakukan.
Betapa pentingnya pengelolaan litak basah yang dianggap sebagai kegiatan
pertanian utama masyarakat Mamasa juga terlihat dari adanya ritual-ritual atau
tradisi-tradisi khusus di dalamnya. Indikasi bahwa tradisi-tradisi lama telah
bertahan di Mamasa lebih lama dapat ditemukan dalam cara menanami sawah
(Buijs 2009). Masyarakat Mamasa merupakan masyarakat yang kehidupannya
masih kental menganut aturan-aturan adatnya. Hal ini sejalan dengan Buijs (2009)

4

yang menyebut bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah Mamasa diatur
oleh empat bentuk aturan adat, yang terdiri dari berbagai larangan dan perintah.
Salah satu dari empat aturan tersebut adalah aturan yang berkaitan dengan
kegiatan pengelolaan litak basah (penanaman padi). Adanya aturan khusus tentang
penanaman padi, yang dikenal dalam istilah lokal sebagai pa‟totiboyongan,
menandakan bahwa segala kegiatan atau aktivitas pengelolaan litak basah masih
dianggap sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat Mamasa.
Sumberdaya pertanian yang potensial disertai aspek sosial-budaya yang
masih kaya akan nilai-nilai lokal, menjadikan wilayah Mamasa sebagai wilayah
yang „menarik‟ untuk dikaji. Di dalam pengelolaan sumberdaya pertanian,
khususnya litak basah atau sawah, ditemukan desa-desa di Mamasa yang masih
menjaga dan melaksanakan kearifan lokal dari para leluhur berkaitan dengan
proses produksi pertanian (Sjaf et al. 2007). Kearifan lokal tersebut tercermin dari
adanya kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pertanian, yang dikenal
dengan istilah pa‟totiboyongan. Di pedalaman Kabupaten Mamasa, ekosistem
sawah merupakan aset penting dibanding lahan kering, baik dilihat dari dimensi
ekonomi maupun sosial. Di beberapa desa yang masih kaya dengan ekosistem
sawah atau litak basah (sawah), berbagai ritual, tradisi-tradisi khusus, kearifan
lokal masih melekat dengan budidaya pertanian lahan basah (Buijs 2009; Sjaf et
al. 2007). Seluruh tradisi, ritual, kearifan, norma-norma, dan tata kelakuan yang
melekat dengan budidaya pertanian sawah ini terhimpun dalam kelembagaan lokal
yang dikenal sebagai pa‟totiboyongan. Lembaga pa‟totiboyongan ini secara
sempit dimaknai juga sebagai proses pengerjaan litak basah atau sawah bagi
Orang Mamasa (Sjaf et al. 2007). Salah satu desa di Mamasa yang ditengarai
masih memiliki pa‟totiboyongan adalah Desa Ballatumuka, Kecamatan Balla.

Perumusan Masalah
Hasil studi Sjaf et al., di dua desa di Kabupaten Mamasa menunjukkan
bahwa telah terjadi „pengikisan‟ nilai-nilai kearifan lokal (dalam hal ini praktik
pa‟totiboyongan) yang diakibatkan oleh tuntutan modernisasi pertanian. Bagi
pihak-pihak tertentu modernisasi pertanian dan pembangunan ekonomi sering
dipandang sebagai ancaman bagi pertanian padi sawah tradisional yang masih
dikelola dengan tradisi, ritual, dan kearifan lokal. Namun bagi pihak lain, terutama
para perencana dan pelaksana pembangunan, modernisasi pertanian merupakan
faktor kunci untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Di Mamasa, lembaga pa‟totiboyongan kini
berhadapan dengan dua kutub kepentingan ini. Di beberapa desa atau kelurahan di
Mamasa, pa‟totiboyongan sudah tidak lagi berjalan sebagaimana yang dituturkan
dan diwariskan nenek moyang. Salah satu desa yang ditengarai masih memelihara
pa‟totiboyongan adalah Desa Ballatumuka. Sehingga menarik untuk dikaji apakah
memang tatanan pa‟totiboyongan di Ballatumuka, Mamasa, masih tetap dipelihara
sebagaimana yang banyak dibicarakan warga Mamasa? Atau sesungguhhnya
sudah bertransformasi sehingga pa‟totiboyongan hanya simbolik belaka? Apa
yang menyebabkan pa‟totiboyongan masih dapat bertahan di Ballatumuka atau
sebaliknya?

5

Pa‟totiboyongan memiliki tatanan struktur adat dan dipimpin oleh seseorang
yang disebut sebagai so‟bok. Pasang surut pa‟totiboyongan pada kenyataannya
tidak hanya ditentukan oleh so‟bok, tetapi juga dipengaruhi oleh aktor lain yaitu
pemerintah desa (dalam hal ini kepala desa) dan majelis gereja. Masing-masing
aktor memiliki peran, kuasa, dan pengaruh tersendiri terhadap kelembagaan
pa‟totiboyongan. Apakah karena pengaruh kekuatan eksternal dari pemerintah
kabupaten/desa dan institusi gereja yang lebih lemah dibanding pengaruh internal
(misal, faktor kepemimpinan pemuka pa‟totiboyongan, kohesivitas komunitas)
sehingga pa‟totiboyongan dapat bertahan di Desa Ballatumuka? Lebih jauh lagi,
bila ternyata pa‟totiboyongan di Ballatumuka pada kenyataannya banyak yang
bersifat simbolik belaka, maka sejauh mana perubahan tersebut berpengaruh
secara langsung atau tidak langsung dengan pelapisan sosial masyarakat dan
sistem tenurial?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa perumusan masalah yang telah disampaikan, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis secara mendalam faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi keberadaan dan dinamika kelembagaan padi sawah
pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka, Mamasa.
2. Menganalisis perubahan kelembagaan pa‟totiboyongan terkait dengan
perubahan status sosial dan sistem tenurial di Desa Ballatumuka.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Dinamika Sosial
Berbicara tentang dinamika sosial berarti berbicara pula tentang suatu
perubahan yang dapat terjadi di dalam atau mencakup suatu sistem sosial
(Sztompka 2004). Definisi mengenai konsep dinamika atau perubahan sosial
dapat dikatakan beragam. Moore (1967) misalnya, mendefinisikannya secara luas
sebagai perubahan penting dari struktur sosial, hal mana struktur sosial tersebut
adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Sementara itu, Ogburn (1922)
membatasi ruang lingkup dinamika sosial meliputi dinamika atau perubahan yang
terjadi pada unsur-unsur kebudayaan (baik material maupun immaterial). Dengan
demikian, secara luas dapat disimpulkan bahwa dinamika sosial merupakan
perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai sosial, norma-norma sosial,
pola-pola perilaku atau interaksi sosial, susunan lembaga sosial, lapisan-lapisan
sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dinamika sosial
dapat dipandang sebagai suatu konsep yang serba mencakup, yang menunjuk
kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkatan kehidupan manusia
(Lauer 2003).
Dinamika sosial juga dapat didefinisikan sebagai adanya variasi dari caracara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Gillin et al.
1954). Selanjutnya, Soemardjan (1962) mendefinisikan dinamika atau perubahan
sosial sebagai perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di
dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilainilai, sikap, dan pola perilaku di dalam masyarakat. Dinamika sosial merupakan
inti jiwa masyarakat (Soekanto 2013), hal mana masyarakat tidak dapat
dibayangkan sebagai suatu unsur atau entitas yang bersifat statis, melainkan suatu
entitas yang dinamis. Masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang
tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliran
peristiwa terus-menerus tiada henti (Sztompka 2004). Hal ini berarti bahwa
masyarakat tidaklah berada dalam keadaan yang tetap secara terus-menerus,
melainkan ia ada jika terjadi sesuatu di dalam strukturnya, ada tindakan tertentu
yang dilakukan, dan ada perubahan serta proses tertentu yang selalu bekerja di
dalamnya.
Suatu dinamika sosial dapat dipahami sebagai perubahan-perubahan tertentu
yang dapat terjadi dalam jangka waktu tertentu dan/atau setelah jangka waktu
tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan perbedaan-perbedaan yang ada pada
keadaan yang diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu. Jadi,
konsep dasar dalam dinamika sosial dapat mencakup tiga gagasan: 1). Perbedaan;
2). Pada waktu berbeda; dan 3). Diantara keadaan sistem sosial yang sama
(Sztompka 2004). Lebih lanjut, Sztompka memaparkan bahwa dimensi utama
perubahan dalam dinamika sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada:
1). Komposisi (misalnya migrasi, bubarnya suatu kelompok); 2). Struktur
(misalnya terciptanya ketimpangan); 3). Fungsi (misalnya spesialisasi dan
diferensiasi pekerjaan); 4). Batas (misalnya penggabungan beberapa kelompok);

7

5). Hubungan antarsubsistem (misalnya penguasaan rezim politik atas organisasi
ekonomi); dan 6). Lingkungan (misalnya kerusakan ekologi). Adanya modifikasimodifikasi atau variasi-variasi tertentu di dalam pola-pola kehidupan manusia,
yang disebut sebagai dinamika atau perubahan sosial dapat disebabkan oleh
faktor-faktor internal maupun eksternal (Koenig 1957). Faktor-faktor tersebut
diantaranya: bertambah atau berkurangnya penduduk, adanya penemuanpenemuan baru, terjadinya pertentangan atau konflik, serta adanya pengaruh
kebudayaan masyarakat lain.
Beberapa penjelasan mengenai definisi konsep dinamika sosial seperti yang
telah dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya menggambarkan bahwa
berbagai tokoh tersebut meletakkan fokus atau penekanan pada jenis perubahan
yang berbeda. Di dalam konteks studi ini, yaitu konteks dinamika kelembagaan
pa‟totiboyongan, dinamika yang terjadi dibatasi pada definisi adanya variasivariasi atau perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, norma-norma atau
aturan-aturan, serta pola perilaku yang ada dan berkembang di dalam
kelembagaan pa‟totiboyongan. Kelembagaan pa‟totiboyongan dapat dikatakan
sebagai suatu kelembagaan yang pada perkembangannya mengalami dinamikadinamika tertentu, yang sifatnya tidak statis. Pada perkembangannya,
kelembagaan pa‟totiboyongan terus-menerus melakukan penyesuaian atau
adaptasi-adaptasi pada kondisi-kondisi sosial yang ada.

Konsep Kelembagaan
Istilah kelembagaan dapat dikatakan merupakan padanan dari istilah Inggris
institution atau social institution. Menurut Soemardjan et al. (1964),...belum
terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana
Sosiologi untuk menerjemahkan istilah Inggris social institution. Koentjaraningrat
(1964) misalnya, menggunakan istilah pranata sosial untuk menggantikan istilah
social institution. Pranata sosial menurut Koentjaraningrat (1964) adalah suatu
sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk
memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
Definisi ini menurut Soekanto (2013) menekankan pada sistem tata kelakuan atau
norma-norma untuk memenuhi kebutuhan. Istilah kelembagaan sosial tidaklah
sama dengan istilah lembaga atau institute. Istilah lembaga merujuk kepada suatu
badan, atau berbagai bentuk organisasi yang memiliki beragam tujuan. Sementara
itu, kelembagaan sosial dalam Sosiologi adalah suatu kompleks atau sistem
peraturan-peraturan dan adat-istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang
penting. Dengan kata lain, kelembagaan sosial adalah suatu himpunan atau
tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode
tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi
ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff
1986).
Jika dicermati lebih lanjut, maka dapat dikatakan bahwa ada dua hal
mendasar yang menjadi kajian dalam kelembagaan sosial. Seperti yang
dinyatakan oleh Knight (1952), “The term institution has two meanings ..., one
type ... may be said to be created by the invisible hand, the other type is the

8

deliberately made...”. Hal ini berarti bahwa kelembagaan memiliki dua bentuk,
yaitu sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, serta yang datang dari
luar yang sengaja dibentuk. Meskipun ia membedakannya berdasarkan asal
terbentuknya, namun di sana melekat berbagai perbedaan pokok. Sesuatu yang
menurut Knight terbentuk dengan sendirinya (invisible hand) dapat dijelaskan
oleh Sumner sebagai sesuatu yang berawal dari folkways lalu meningkat menjadi
custom, selanjutnya berkembang menjadi mores, dan matang ketika menjadi
norm. Sementara itu, bagi Norman Uphoff, sesuatu yang datang dari luar ini
disebut dengan organisasi. Uphoff (1986) menyatakan bahwa “Some kinds of
institutions have an organizational form with roles and structures, whereas others
exist as pervasive influenced on behaviour”. Dua hal yang dimaksudnya disini
adalah organisasi dalam bentuk roles (peran) dan struktur, serta sesuatu yang
mempengaruhi perilaku. Sesuatu yang terakhir ini adalah norma yang diturunkan
dari nilai yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat.
Menurut Syahyuti (2009), istilah kelembagaan memberi tekanan kepada
lima hal berikut. Pertama, kelembagaan berkenaan dengan sesuatu yang
permanen. Ia menjadi permanen, karena dipandang rasional dan disadari
kebutuhannya dalam kehidupan. Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap
tersebut berada dalam suatu kelembagaan. Sejalan dengan itu, Uphoff juga
menyatakan bahwa kelembagaan berkenaan dengan sesuatu yang telah berjalan
lama. Kedua, berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku.
Sesuatu yang abstrak tersebut merupakan suatu kompleks beberapa hal yang
sesungguhnya terdiri dari beberapa bentuk yang tidak selevel. Secara garis besar,
hal yang dimaksud terdiri dari nilai, norma, hukum, peraturan-peraturan,
pengetahuan, ide-ide, dan moral. Kumpulan dari hal-hal yang abstrak tersebut,
terutama norma sosial, diciptakan untuk melaksanakan fungsi masyarakat (Taneko
1993). Fungsi-fungsi yang dimaksud merupakan kebutuhan pokok dalam
kehidupan masyarakat. Ketiga, berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores
(tata kelakuan), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat
(establish way of behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan
hidup. Sebagaimana menurut Hebding et al. (1994), institusi sosial merupakan
sesuatu yang selalu ada pada semua masyarakat, karena berguna untuk
mempertemukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dinilai penting. Jika
masyarakat ingin survive, maka insitusi sosial harus ada. Keempat, kelembagaan
juga menekankan kepada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi.
Kelima, kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk memecahkan
masalah. Tekanannya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan masalah.
Hebding et al. (1994) menyatakan bahwa institusi sosial adalah nilai-nilai yang
melekat pada masyarakat yang menyediakan stabilitas dan konsistensi di
masyarakat, yang berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku. Menjamin
sistuasi akan berulang, sehingga menjadi efektif. Dari kelima hal tersebut dapat
terlihat bahwa kelembagaan memiliki perhatian utama kepada perilaku yang
berpola yang sebagian besar datang atau bersumber dari norma-norma yang
dianut. Kelembagaan berpusat pada tujuan-tujuan, nilai atau kebutuhan sosial
utama masyarakat. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur
antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling
penting (Polak 1966 seperti dikutip Tonny 2003). Dapat dikatakan bahwa
kelembagaan sosial merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang

9

berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat (Soekanto
2013).
Sumner seperti dikutip Soekanto et al. (2013) melihat kelembagaan sosial
dari sudut kebudayaan, dimana kelembagaan sosial diartikan sebagai perbuatan,
cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya, kelembagaan sosial
memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Terdapat tiga
fungsi kelembagaan sosial, yaitu:
1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat. Pedoman dalam
bertingkah laku, dalam menghadapi masalah, terutama yang menyangkut
kebutuhan-kebutuhan;
2. Menjaga keutuhan masyarakat;
3. Memberikan pedoman kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan
masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Terwujudnya suatu pranata sosial atau kelembagaan sosial dipengaruhi oleh
beberapa hal, yang oleh Koentjaraningrat disebut sebagai pengaruh dari wujud
kebudayaan, yaitu: 1). Sistem norma dan tata kelakukan dalam konteks wujud idiil
kebudayaan; 2). Kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan; dan 3).
Peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan, serta ditambah pula dengan personil
yang terlibat di dalamnya. Maka dapat dikatakan bahwa kelembagaan terdiri dari
empat komponen atau unsur yang saling berinteraksi satu sama lain. Lebih lanjut,
Koentjaraningrat (1987) menyatakan bahwa aktivitas manusia atau aktivitas
kemasyarakatan untuk menjadi lembaga sosial harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Persyaratan tersebut antara lain:
1. Suatu tata kelakuan yang baku, yang bisa berupa norma-norma dan adat
istiadat yang hidup dalam ingatan maupun tertulis.
2. Kelompok-kelompok manusia yang menjalankan aktivitas bersama dan
saling berhubungan menurut sistem norma-norma tersebut.
3. Suatu pusat aktivitas yang bertujuan memenuhi kompleks- kompleks
kebutuhan tertentu, yang disadari dan dipahami oleh kelompok-kelompok
yang bersangkutan.
4. Mempunyai perlengkapan dan peralatan.
5. Sistem aktivitas itu dibiasakan atau disadarkan kepada kelompok- kelompok
yang bersangkutan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu yang lama.
Jika menilik beberapa definisi konsep kelembagaan sosial dari beberapa
tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa pa‟totiboyongan adalah salah satu contoh
kelembagaan sosial. Sebagai sebuah kelembagaan sosial, secara istilah,
pa‟totiboyongan adalah aturan tentang penanaman padi. Secara definisi,
pa‟totiboyongan merupakan kelembagaan adat masyarakat Mamasa yang
mengatur mengenai rangkaian proses pengerjaan lahan basah (Sjaf et al. 2007).
Masyarakat lokal mengenal pa‟totiboyongan sebagai sebuah ketentuan atau ilmu
tentang bercocok tanam.

10

Dinamika Kelembagaan Lokal
Di dalam konteks kelembagaan, terminologi lokal dapat diinterpretasikan
sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik khusus atau tersendiri, yang erat
kaitannya dengan kondisi setempat. Terminologi lokal meliputi dasar-dasar untuk
melakukan tindak kolektif, energi untuk melakukan konsensus, koordinasi
tanggung jawab, serta menghimpun, menganalisis dan mengkaji informasi, yang
tidak terjadi secara otomatis, namun memerlukan kehadiran institusi yang bersifat
spesifik lokasi (Suradisastra 2005). Sebagai contoh adalah lembaga candoli di
wilayah Priangan Timur (Jawa Barat) yang berfungsi sebagai penentu waktu
panen. Lembaga candoli bersifat lokal (Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang)
dan eksistensinya (pernah) dibutuhkan karena penguasaannya akan informasi
terkait perkembangan fisik padi di lahan sawah di lokasi-lokasi tersebut.
Pemanfaatan kelembagaan lokal akan sangat efektif sebagaimana dinyatakan oleh
Bromley (1993) “local institutions permit us to carry on our daily lives with
minimum repetition and costly negotiations”. Pernyataan ini bermakna bahwa
kelembagaan lokal merupakan salah satu dasar pijakan bagi seseorang dalam
menyesuaikan sikap dan tindakannya.
Eksistensi suatu kelembagaan dapat ditentukan oleh kemampuannya dalam
melayani tuntutan sosial masyarakat setempat dalam kurun waktu yang sangat
beragam. Tidak jarang terjadi keberadaan suatu lembaga tiba-tiba hilang, atau
digantikan oleh kelembagaan baru yang lebih mampu melayani kebutuhan
stakeholder setempat. Suatu kelembagaan akan mampu bertahan dalam dinamika
sosial - masyarakat bila tetap memiliki fungsi yang dibutuhkan (Suradisastra
2005). Fungsi kelembagaan lokal antara lain adalah: 1). Mengorganisir dan
memobilisasi sumberdaya; 2). Membimbing stakeholder pembangunan dalam
membuka akses ke sumberdaya produksi; 3). Membantu meningkatkan
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam; 4). Menyiapkan infrastruktur sosial
di tingkat lokal; 5). Mempengaruhi lembaga-lembaga politis; 6). Membantu
menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang; 7). Meningkatkan
akses ke sumber informasi; 8). Meningkatkan kohesi sosial; dan 9). Membantu
mengembangkan sikap dan tindakan koperatif. Kelembagaan sosial dan/atau
kelembagaan lokal akan bertahan selama kehadirannya dibutuhkan oleh
komunitas sosial setempat. Bertahan atau tidaknya suatu kelembagaan
menunjukkan posisi dan peran kelembagaan tersebut dalam tatanan sosial
masyarakat setempat (Suradisastra 2005).
Di dalam pengelolaan sumberdaya alam, peran institusi lokal atau
kelembagaan lokal sangatlah penting. Kelembagaan lokal yang berperan penting
dalam tata kelola sumberdaya alam dikenal juga sebagai salah satu bentuk
kearifan lokal atau kearifan lingkungan masyarakat lokal. Konsep kearifan
lingkungan merupakan suatu konsep lokal yang berakar dari sistem pengetahuan
lokal yang dimiliki oleh masyarakat karena kedekatan hubungan mereka dengan
lingkungan dan sumberdaya alam (Syafa‟at et al. 2008). Konsep lain yang juga
sering digunakan untuk menggambarkan kearifan masyarakat lokal dalam
berinteraksi dengan alam dan lingkungannya adalah konsep kearifan lokal (local
wisdom). Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat (lokal) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, serta bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya (Sartini 2004 seperti dikutip Permana et al. 2011).

11

Sementara itu, definisi kearifan lokal yang dirumuskan oleh Kementerian Sosial
Republik Indonesia menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup
dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal dan/atau kearifan lingkungan
masyarakat lokal pada hakikatnya berpangkal atau bersumber d