Pengembangan Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Virus KHV (Koi Herpesvirus) Menggunakan Isolat Lokal

(1)

PENGEMBANGAN VAKSIN DNA PENYANDI GLIKOPROTEIN

VIRUS KHV (KOI HERPESVIRUS) MENGGUNAKAN

ISOLAT LOKAL

SRI NURYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Pengembangan Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Virus KHV (Koi Herpesvirus) Menggunakan Isolat Lokal’ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 6 Juni 2010

Sri Nuryati B 063050031


(3)

ABSTRACT

SRI NURYATI. Development of DNA Vaccine Encoding Glycoprotein of Koi Herpes Virus Using Local Isolate. Under direction of FACHRIYAN H.PASARIBU, RETNO D.SOEJOEDONO, ALIMUDDIN, and SUKENDA.

The aim of this research was to develop DNA vaccine of Koi Herpesvirus in carp. Glycoprotein gene originated from ORF 25 KHV virus that is 1.8 kbp in size, is a potential gene in DNA vaccine construction. The sequencing and similarity analysis of the gene using BLAST software showed that this gene is a GP25 gene and was found to be very similar (99%) to GP25 of KHV virus from the USA and Israel. When this GP25 gene was ligated with pGEMT Easy (pT, 3 kbp in size) vector, plasmid size was increasing up to 5 kb. Following this, a digestion of pT-GP25 plasmid using Sal I enzyme was applied resulted in a GP25 fragment (1.8 kbp). Subsequently, pAct-D6 with a size of 8.5 kbp was also cut using the same enzyme to eleminate a D6 gene with a size of 1.6 kbp. GP25 gene was then ligated with pAct resulted a pAct-GP25 plasmid with a size of 8.8 kbp. As there was only one restriction site applied, ligation can be occurred in two different directions. Thus, in order to determine the plasmid with the desired direction PCR analysis was carried out, and plasmid with the right direction was the one that sized approximately 2.1 kbp (no. 6, 17 and 20). High level of GFP gene expression was detected in all tissues analyzed, i.e. kidney, gil, spleen, and muscle 24 hours after injection which indicated that β-actin promoter of Japanese medaka could be active in common carp. Although not as high as on 24 hours, expression was still detected until day 7 and disappeared after day 28 post injection indicating that pAct-GFP can be remained and β-actin promoter of Japanese medaka can be active in muscle, gills and kidney at least a week after injection. The result of RT-PCR analysis on pAct-GP25 injected common carp showed that GP25 gene expression can be detected 14 days after injection in all tissues observed. The expression level differences between GFP and GP25 genes possibly related to the primer sensitivity on annealing process to cDNA template and the size of PCR targeted DNA fragment, as smaller PCR targeted product will be easier to be amplified than a bigger one. The length of PCR targeted DNA with GP25 primer was 1.8 kbp whereas GFP gene was 0.6 kbp.The challenge test on common carp results showed that all unvaccinated and negative control (not infected with KHV) was alive until the end of the experiment. Whereas, the survival of fish vaccinated with a dose of 12.5 was ranged from 60.9 and 96.7%. In relation to the activity of β-actin promoter that was used in this DNA vaccine, gene expression was occured 24 hours after vaccination and remained until 2 weeks. The control fish that was not injected by GP25 showed no GP25 expression either in the observed tissues or organs and resulted in a lower survival, i.e. 23.3%. The challenge test results has indicated that the fish vaccinated with GP25 at doses of 7.5 and 12.5 µg/100µL were able to produce KHV glycoprotein in their body which would be recognized as an antigen that further would activate the fish immune response. In the challenge test, the active immune response was then represented in a higher survival. This result also showed that GP25 is an immunogenic and its expression could enhance common carp immunity on KHV infection.


(4)

RINGKASAN

SRI NURYATI. Pengembangan Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Virus KHV (Koi Herpesvirus) Menggunakan Isolat Lokal. Dibimbing oleh FACHRIYAN H.PASARIBU, RETNO D.SOEJOEDONO, ALIMUDDIN, and SUKENDA.

Sekuen gen glikoprotein yang berukuran 1,8 kbp dan berasal dari ORF 25 virus KHV berpotensi untuk dijadikan gen target dalam konstruksi vaksin DNA. Berdasarkan hasil analisis sekuens seperti diungkapkan di atas, fragmen DNA tersebut merupakan gen GP25. Setelah GP25 diligasi ke vektor pGEMT Easy (pT, berukuran 3 kbp), maka ukuran plasmid menjadi sekitar 5 kbp. Digesti plasmid pT-GP25 menggunakan enzim Sal I menghasilkan fragmen GP25 yang berukuran sekitar 1,8 kbp. Berdasarkan hasil sekuensing dan analisis kemiripan (similarity) dengan menggunakan software BLAST diketahui bahwa GP25 dari virus KHV asal Indonesia memiliki kemiripan yang tinggi (99%) dengan GP25 KHV asal Jepang, Amerika Serikat dan Israel.

Selanjutnya, pAct-D6 yang berukuran sekitar 8,5 kbp dipotong dengan enzim Sal I untuk membuang gen D6 (berukuran sekitar 1,6 kbp). Setelah pAct diligasi dengan gen GP25 dihasilkan plasmid pAct-GP25 dengan ukuran sekitar 8,8 kbp. Karena situs restriksi yang digunakan hanya satu jenis, maka kemungkinan arah ligasi bisa 2 macam. Untuk menentukan plasmid dengan arah ligasi yang diinginkan, maka dilakukan analisis PCR. Produk PCR untuk plasmid dengan arah ligasi yang benar memiliki ukuran sekitar 2,1 kbp (nomor 6, 17 dan 20). Konstruksi pActGP25 ini merupakan plasmid DNA sirkuler yang digunakan sebagai vaksin, yang disingkat dengan nama GP25.

Untuk menguji aktivitas vaksin DNA GP25 yang telah dikonstruksi maka dilakukan uji ekspresi gen β-aktin yang digunakan sebagai promoter vaksin. Uji ekspresi gen dilakukan terhadap konstruksi pActGFP (representasi promoter β-aktin) dan pActGP25. Uji aktivitas promoter β-aktin dilakukan dengan menginjeksikan secara intramuscular pActGFP ke juvenil ikan mas ukuran 10-15 g/ekor. Konsentrasi DNA plasmid yang diinjeksikan adalah 12,5 µg/100µL fosfat buffer salin (PBS). Total RNA diekstraksi dari otot yang diinjeksi, insang, limpa dan ginjal ikan mas yang diinjeksi dengan pAct-GFP pada saat 24 jam pasca injeksi (hari pertama) dan 1 minggu pasca injeksi. Sementara itu untuk pAct-GP25, total RNA diekstraksi dari jaringan/organ yang sama dengan pada pAct-GFP, tetapi dilakukan pada 24 jam, 2 minggu dan hari 4 minggu setelah injeksi. Ekstraksi RNA dilakukan menggunakan Isogen (Nippon Gen, Japan). Sintesis cDNA dilakukan dengan menggunakan kit Ready-To-Go You-Prime First-Strand Beads (Amersham Pharmacia Biotech, USA).

Ekspresi gen GFP dengan level relatif tinggi terdeteksi pada semua jaringan yang dianalisis, yaitu ginjal, insang, limpa dan otot pada jam ke-24. Hal ini menunjukkan bahwa promoter β-aktin ikan medaka Jepang dapat aktif pada ikan mas. Ekspresi gen GFP masih terdeteksi seminggu setelah injeksi dilakukan, meskipun tingkat ekspresinya lebih rendah dibandingkan dengan pada jam ke-24. Ekspresi gen GFP sudah tidak terdeteksi pada hari ke-28 setelah injeksi. Hal ini menunjukkan bahwa pAct-GFP dapat bertahan dan promoter β-aktin ikan medaka Jepang aktif pada otot, insang dan ginjal paling tidak hingga seminggu setelah injeksi.


(5)

Selanjutnya, hasil analisis RT-PCR pada ikan mas yang telah diinjeksi dengan pAct-GP25 menunjukkan bahwa ekspresi gen GP25 dapat terdeteksi setelah 14 hari injeksi pada semua jaringan yang diamati. Perbedaan tingkat ekspresi antara gen GFP dan GP25 diduga berhubungan dengan sensitivitas primer untuk melekat pada cDNA cetakan dan ukuran fragmen DNA target PCR. Secara umum, target produk PCR yang berukuran lebih kecil akan lebih mudah diamplifikasi dibandingkan dengan DNA yang lebih besar. Panjang DNA target PCR dengan primer GP25 sekitar 1,8 kbp, sementara gen GFP sekitar 0,6 kbp.

Setelah dilakukan uji tantang didapatkan hasil bahwa semua ikan mas yang tidak divaksin dan tidak diuji tantang dengan KHV hidup hingga akhir penelitian (kontrol negatif). Sementara itu, kelangsungan hidup relatif (sering disebut RPS=relative percent survival) ikan mas yang divaksin dengan dosis 12,5 µg sebesar 60,9% dan 96,7%. Apabila dikaitkan dengan aktivitas promoter β-aktin yang digunakan dalam vaksin DNA ini maka ekspresi gen terjadi 24 jam setelah vaksinasi dan masih terekspresi 2 minggu setelah vaksinasi. Kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan GP25 menunjukkan tidak adanya ekspresi GP25 pada jaringan yang diamati. Ikan kontrol yang tidak divaksinasi dengan GP25 juga menghasilkan kelangsungan hidup yang rendah yaitu sebesar 23,3%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang divaksinasi dengan dosis 12,5 µg (dalam 100µl PBS) mampu memproduksi glikoprotein KHV di tubuh ikan. Protein ini dikenali tubuh sebagai antigen KHV sehingga ikan dapat mengaktifkan respons imun. Aktifnya respons imun direpresentasikan oleh tingginya kelangsungan hidup relatif ikan yang divaksinasi dengan dosis 12,5 µg dibandingkan dengan dosis lain yang lebih rendah. Setelah dilakukan analisis data dengan ANOVA dan uji lanjut dengan BNT (beda nyata terkecil) didapatkan hasil bahwa perlakuan dosis 2,5 µg memberikan pengaruh yang berbeda dibanding dosis 7,5 dan 12,5 µg, sedangkan perlakuan 7,5 µg memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan 12,5 µg.

Uji keamanan vaksin dilakukan dengan menyuntik ikan mas ukuran 10-15 gram dengan vaksin DNA GP25 dengan dosis 12,5 µg. Ikan ini dipelihara dan dicatat kelangsungan hidupnya. Ikan yang diinjeksi dengan vaksin DNA GP25 selama dua bulan tidak mengalami kematian. Jaringan otot, insang, limpa dan ginjal yang diperiksa secara mikroskopis juga tidak menunjukkan adanya kelainan. Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin GP25 bersifat imunogenik dan ekspresinya dapat meningkatkan kekebalan ikan mas terhadap infeksi KHV. Vaksin DNA ini juga aman karena tidak menimbulkan kematian pada ikan yang divaksinasi serta tidak menimbulkan gangguan pada jaringan.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang

wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam

bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PENGEMBANGAN VAKSIN DNA PENYANDI GLIKOPROTEIN

VIRUS KHV (KOI HERPESVIRUS) MENGGUNAKAN

ISOLAT LOKAL

SRI NURYATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Pengembangan Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Virus KHV (Koi Herpesvirus) Menggunakan Isolat Lokal

Nama : SRI NURYATI

NRP : B 063050031

Program Studi : Sains Veteriner (SVT)

Disetujui,

Komisi Pembimbing,

Prof.Dr.Drh. Fachriyan H.Pasaribu Prof.Dr.Drh.Retno D.Soejoedono,M.S.

Ketua Anggota

Dr. Alimuddin, S.Pi., M.Sc. Dr.Ir. Sukenda, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.drh. Bambang Pontjo P Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro M.Sc. Tanggal Ujian Terbuka: 19 Juli 2010 Tanggal Lulus:_____________________


(9)

Penguji pada ujian tertutup: 1. Dr.Drh. Joko Pamungkas, M.Sc. 2. Dr.Ir. Munti Yuhana, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr.Ir.Muhammad Murdjani, M.Sc. 2. Drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D.


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berupa disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul dari disertasi ini adalah: Pengembangan Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Virus KHV (Koi Herpesvirus) Menggunakan Isolat Lokal.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Drh. Fachriyan H.Pasaribu dan Prof.Dr.Drh. Retno D.Soejoedono, M.S. sebagai guru dan pembimbing, atas bimbingan dan arahan yang diberikan sejak kuliah, penulisan proposal, pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr.Alimuddin, S.Pi., M.Sc. dan Dr.Ir. Sukenda, M.Sc. sebagai guru dan pembimbing, atas bimbingan dan saran yang diberikan sejak kuliah, penulisan proposal, pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih atas curahan waktu serta izin untuk memanfaatkan bahan-bahan penelitian di laboratorium selama penelitian berlangsung.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr.Drh. Djoko Pamungkas, M.Sc. dan Dr.Munti Yuhana, S.Pi., M.Si. yang berkenan menguji dalam ujian tertutup. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir.Murdjani, M.Sc. dan Drh.Agus Setiyono, M.S., PhD. yang bekenan menguji pada ujian terbuka.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui BPPS yang telah memberikan biaya pendidikan dan biaya riset dalam Program Hibah Doktor 2009; Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB yang telah memberi kelonggaran untuk tidak mengajar selama dua semester sebagai kompensasi untuk penyelesaian penelitian dan penyusunan draft disertasi ini; Kepala Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik dan Laboratorium Kesehatan Organisme Akuatik atas izinnya untuk menggunakan fasilitas laboratorium untuk penelitian; Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi yang telah membantu memfasilitasi


(11)

untuk pelaksanaan uji tantang skala laboratorium. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Goro Yoshizaki atas kerjasamanya dalam sekuensing DNA glikoprotein yang digunakan dalam penelitian ini; serta Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat atas pendanaan untuk pembuatan vaksin DNA untuk virus KHV ini melalui peran Prof.Dr.Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc.

Disertasi ini disusun sebagai syarat untuk kelulusan pada Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana IPB. Sebagian materi disertasi ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 25 Juli 2009. Sebagian materi yang lain dipublikasi di: a) Jurnal Akuakultur Indonesia Vol 9, No.1, hal. 1-9 dengan judul Pengaruh Vaksin DNA terhadap Aktivitas Fagositosis Sel Darah Putih Ikan Mas Pasca Uji Tantang dengan Koi Herpesvirus (KHV), 2) Jurnal Natur Indonesia, Vol.13 No.1, Oktober 2010 dengan judul Construction of a DNA vaccine using glycoprotein-25 and its expression towards increasing survival rate of KHV- infected common carp (Cyprinus carpio)(accepted).

Tersusunnya disertasi ini tak lepas dari peranan banyak orang. Kepada teman-teman dan mahasiswa yang banyak membantu: Anna Octavera, Bu Julie Ekasari, Bu Sutiastuti, Bu Novi, Bu Sri Wahyuni, Fuad, Bang Indra, Demin, Ade, Akbar, Iswi, Sofi, Tyas, serta teknisi P.Ranta dan Kang Dedi, dll, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu di Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauutan IPB yang telah memberikan support kepada penulis selama penulis menempuh studi.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, serta saudara-saudara atas doa dan kasih sayang yang diberikan demi kesuksesan studi penulis. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada suami tercinta Mujiyanto, S.P. yang dengan setia dan sabar selalu mendampingi penulis dan membimbing anak-anak kami tercinta Husnia Nurul Izzati dan Muhammad Nabhan Fikriansyah.


(12)

Kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya, semoga Allah SWT berkenan memberikan balasan yang setimpal, amin.

Bogor, Juni 2010 Penulis


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 6 Juni tahun 1971 dari ayah Mulyono dan ibu Supriani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, lulus pada tahun 1995. Pada akhir tahun 1995 penulis diterima sebagai staf pengajar di Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Tahun 1997 penulis menempuh pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2000. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Penulis menempuh pendidikan S3 di Program Studi Sains Veteriner, Sekolah pascasarjana IPB pada tahun 2005 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional. Penulis tercatat sebagai anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Selama penelitian untuk penyusunan disertasi, penulis telah memasukkan sebagian dari hasil penelitian dalam bentuk jurnal untuk dipublikasikan di jurnal nasional. Karya ilmiah yang dihasilkan oleh penulis adalah: 1) Pengaruh Vaksin DNA terhadap Aktivitas Fagositosis Sel Darah Putih Ikan Mas Pasca Uji Tantang dengan Koi Herpesvirus (KHV), diterbitkan di Jurnal Akuakultur Indonesia, Vol 9, No.1, hal.1-9; 2) Construction of a DNA vaccine using glycoprotein-25 and its expression towards increasing survival rate of KHV- infected common carp (Cyprinus carpio), dimuat di Jurnal Natur Indonesia, Vol.13 No.1, Oktober 2010 (accepted). Penulis juga sempat mempresentasikan sebagian hasil penelitian ini dalam Seminar Nasional VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 25 Juli 2009.

Konstruksi vaksin DNA yang merupakan hasil dari penelitian untuk disertasi juga penulis ajukan di Program UBER HAKI tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional, dan dinyatakan dapat dibiayai pendaftaran patennya di Kementrian Hukum dan Hak Asasi manusia.


(14)

Karya ini kupersembahkan untuk orang tuaku Bapak Mulyono dan Ibu Supriani,


(15)

i DAFTAR ISI DAFTAR ISI……… DAFTAR TABEL……….. DAFTAR GAMBAR………. DAFTAR LAMPIRAN………. PENDAHULUAN……….. Latar Belakang………. Tujuan ……… Manfaat Penelitian……… Aspek Kebaruan……… Hipotesis………. TINJAUAN PUSTAKA……….

Penyakit Infeksi Koi Herpesvirus……… Virus KHV (Koi Herpesvirus)………. Vaksin DNA pada Ikan……… Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein……… Konstruksi Vaksin………. Respons Imun pada Ikan……….………... Respons Imun Non-Spesifik……….. Respons Imun Spesifik….……….. BAHAN DAN METODE……….

Tahap I: Pembuatan Konstruksi Vaksin………. DNA KHV dan Plasmid….………... Disain Primer………. Isolasi Gen Penyandi Glikoprotein………. Ligasi Fragmen Glikoprotein dan pGEMT-Easy……….. Transformasi pada E.coli Kompeten……….. Verifikasi Hasil Transformasi……….. Isolasi Plasmid……….. Pembuatan Konstruksi Vaksin DNA……….. Tahap II: Uji Ekspresi Vaksin………. a. Isolasi RNA………….……….………. b. Sintesis cDNA dan Amplifikasi PCR……… Tahap III: Uji Tantang Skala Laboratorium……….……….. Preparasi Virus……….. Uji Tantang Tahap …I………..……….. a. Pengamatan RPS (Relative Percent Survival)……….. b. Pengambilan Sampel Darah………...

Hal. i iii iv vii 1 1 6 6 6 7 8 9 13 15 16 19 19 22 24 24 24 24 24 24 25 25 26 27 28 28 29 30 30 31 31 31 32


(16)

ii

c. Penghitungan Jumlah Leukosit Total………….………. d. Aktivitas Fagositosis………. Uji Tantang Tahap II…..………….………. Uji Keamanan Vaksin……….. Analisis Data………..………… HASIL DAN PEMBAHASAN………

Tahap I: Pembuatan Konstruksi Vaksin……… Isolasi DNA Glikoprotein Koi Herpesvirus………... Transformasi pada E.coli Kompeten……….. Pembuatan Konstruksi Vaksin DNA……….. Tahap II: Uji Ekspresi………..……… Tahap III: Uji Tantang Skala Laboratorium……….………. Uji Tantang I: RPS dan Aktivitas Sel Darah Putih………...………… Aktivitas Sel Darah Putih…..………. Leukosit Total……… Aktivitas Fagositosis……….… Uji Tantang II: RPS dan Keamanan Vaksin…………..…….……….. Keamanan Vaksin………. KESIMPULAN DAN SARAN……….………. DAFTAR PUSTAKA……….. LAMPIRAN………. 32 32 33 33 34 35 35 35 35 39 42 45 45 47 47 48 51 54 58 59 64


(17)

iii DAFTAR TABEL

1. Penyebaran virus KHV di empat benua di dunia………. 2. Sensitivitas KHV terhadap kondisi fisika dan kimia.……….. 3. Perbedaan antara imunitas ikan dan mamalia………. 4. Kelangsungan hidup relatif ikan pasca uji tantang I dengan virus

KHV………. 5. Kelangsungan hidup relatif ikan pasca uji tantang II dengan virus

KHV………..

Hal.

11 12 19

46


(18)

iv DAFTAR GAMBAR

1. Penampang melintang kelompok herpesvirus………. 2. Koi herpesvirus yang diambil dari koi fin cell, diamati dengan

mikroskop elektron yang memperlihatkan adanya kapsid berbentuk simetri ikosahedral (tanda panah pada gambar A) dan beramplop (tanda panah pada gambar B), diwarnai dengan pewarnaan negative phosphotungstat 2 % (Hutoran 2005)... 3. Skema proteksi non-spesifik dan spesifik ikan rainbow trout yang

divaksinasi dengan vaksin DNA menggunakan gen glikoprotein VHS……… 4. Skema gambaran partikel Rhabdovirus (a), vaksin plasmid (b) dan

protein G virus ……….. 5. Fragmen DNA GP25 yang diisolasi dari insang yang diduga kuat

terinfeksi virus KHV (a); Fragmen GP25 KHV yang siap dipurifikasi (b); Fragmen DNA GP25 yang telah dipurifikasi (c) yang divisualisasikan di agarose dengan konsentrasi 0,7% dengan M adalah marker DNA (2 log ladder, Biolabs, England)………...……… 6. Hasil transformasi bakteri E.coli DH5α berupa koloni biru (b) dan

koloni putih (p)……….……… 7. Hasil verifikasi dengan metode cracking, dimana tanda panah

( ) menunjukkan hasil berupa plasmid yang berukuran lebih besar daripada marker yaitu koloni biru (tanda + )………. 8. Fragmen DNA hasil verifikasi dengan menggunakan PCR. Tanda (

) menunjukkan fragmen GP25 yang tersisip dip T-GP25………. 9. Hasil pengurutan sekuen GP25. Huruf miring di awal urutan

nukleotida adalah primer forward (F-GP), sedangkan huruf miring di akhir adalah urutan primer reverse (R-GP)... 10. Hasil penyejajaran (allignment) parsial GP25 asal Indonesia dengan GP25 KHV asal Israel, Jepang dan Amerika Serikat... 11. Hasil analisis kemiripan gen GP25 virus KHV asal Indonesia

dengan virus KHV asal Jepang (strain TUMST1), Amerika Serikat (strain KHV-U), dan virus KHV asal Israel (strain KHV-I). Persentase kemiripan ditunjukkan oleh kolom Identity……… 12. Hasil digesti pActD6 dengan enzim SalI menjadi pAct dan D6, pAct

ini akan menjadi tulang punggung (backbone) pembuatan konstruksi pAct-GP25……… Hal. 9 11 15 17 35 36 37 37 38 38 39 39


(19)

v

13. Hasil digesti pT-GP25 dengan enzim SalI menjadi pT-Easy dan gen glikoprotein (GP25); dimana D adalah fragmen hasil digesti sedangkan K adalah kontrol plasmid yang tidak didigesti…………

14. Hasil verifikasi dengan metode cracking terhadap hasil transformasi tahap kedua yang menggunakan plasmid pAct. Tanda panah ( ) menunjukkan klon bakteri yang dipilih untuk diuji lanjut; tanda positif (+) menunjukkan marker yang berasal dari koloni biru………..

15. Hasil verifikasi plasmid dengan metode PCR menghasilkan produk sebesar 1,8 kbp. Tanda ( ) menunjukkan fragmen GP25 yang tersisip dip Act-GP25………. 16. Terdapat 3 klon bakteri transforman yang memiliki orientasi ligasi

yang benar yang ditunjukkan dengan adanya fragmen berukuran 2,1 kb………. 17. Peta plasmid pAct-GP25. Act=promoter aktin; GP25=glikoprotein

ORF 25; BGH=poly-A dari bovine growth hormone; E= Eco RI; S= Sal I; dan X= Xho I... 18. Perbandingan ukuran fragmen pT-GP yang berukuran 5,8 kb

(3 kb pT-Easy+1,8 kb GP25) dan pAct-GP25 yang berukuran 8,8 kb (3 kb pBlueScript+3,7mBA+1,8 GP+0.3). M adalah marker DNA……….. 19. Ekspresi gen GFP pada ginjal (G), insang (I), limpa (L), dan otot (O)

ikan mas pada jam ke-24 (A) dan seminggu (B) setelah injeksi dengan pAct-GFP. Ekspresi gen β-aktin sebagai kontrol internal terdeteksi pada semua jaringan (C). K+: kontrol positif plasmid pAct-GFP, K-: kontrol negatif tanpa cetakan DNA... 20. Ekspresi gen GP25 pada otot yang tidak diinjeksi (O-) dan otot

yang injeksi (O+), insang (I), limpa (L) dan ginjal (G) pada hari keempat belas (setelah dua minggu) setelah injeksi. Ekspresi gen β-aktin sebagai kontrol internal terdeteksi pada semua jaringan dengan level yang relatif sama (C). Angka di sebelah kanan gambar merupakan ukuran DNA produk PCR... 21. Grafik kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan virus

KHV……… 22. Tren jumlah leukosit total ikan mas pada masing-masing perlakuan

vaksinasi dosis 2,5 µg/100µl (A); dosis 7,5 µg/100µl (B);dosis 12,5 µg/100µl (C)dantanpa vaksinasi (K)……….

Hal. 39 40 41 41 41 42 43 43 45 47


(20)

vi

23. Aktivitas fagositosis pada perlakuan vaksinasi dengan dosis 12,5 µg/100µl (perlakuan A), 7,5 µg/100µl (perlakuan B), 12,5 µg/100µl (perlakuan C) dan tanpa vaksinasi (perlakuan K)…….……….. 24. Fagositosis yang dilakukan oleh limfosit (a), monosit (b), Neutrofil

(c). Huruf F dan tanda panah menunjukkan tonjolan yang berisi benda asing yang telah difagositosis oleh sel-sel fagosit………….. 25. Grafik kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan virus

KHV……….

Hal.

49

50 51


(21)

vii DAFTAR LAMPIRAN

1. Ilustrasi ligasi antara GP25 dan pT-Easy... 2. Skema pembuautan konstruksi vaksin... 3. Metode kultur cair perbanyakan bakteri dan isolasi plasmid………. 4. Peta plasmid pBluescript……… 5. Prosedur pembuatan preparat jaringan……… 6. Analisis data RPS (Relative Percent Survival) dengan ANOVA dan

uji lanjut dengan BNT (beda nyata terkecil)………. 7. Suhu Air setelah uji tantang dengan virus KHV………... 8. Jaringan otot dan insang yang tidak divaksinasi dan yang

divaksinasi (Pewarnaan hematoksilin dan eosin)……… 9. Jaringan limpa dan ginjal yang tidak divaksnasi dan yang

divaksinasi (Pewarnaan hematoksilin dan eosin)………

Hal. 64 65 66 67 68

69 70

72


(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Koi herpesvirus (KHV) adalah virus yang menginfeksi ikan mas dan koi dan bersosiasi dengan kematian massal (Hedrick et al. 2000). Virus ini pertama kali teridentifikasi pada tahun 1998 sebagai penyebab kematian massal ikan koi baik stadia juvenil maupun dewasa yang dibudidayakan di Israel, Amerika Serikat dan Jerman (Hedrick et al. 1999; Bretzinger et al.1999). Penyebaran virus ini sudah mencapai Eropa, Jepang, Indonesia, Afrika Selatan, Thailand, Taiwan, Cina dan Malaysia (Haenen et al. 2004; Sano et al. 2004; Tu et al. 2004). Virus KHV masuk ke Indonesia pada tahun 2002 melalui perdagangan ikan lintas negara (Sunarto et al. 2005). Penyakit akibat virus yang sangat menular ini telah menyebabkan kerugian finansial pada industri budidaya ikan mas dan koi (Hedrick 1996; Haenen et al. 2004).

Sejak terjangkit pertama kali di Blitar, Jawa Timur, penyakit ini telah menyebar ke hampir semua daerah di Indonesia. Virus ini mengakibatkan kematian massal, yaitu kematian mencapai 80-95 % populasi sehingga berdampak pada kerugian ekonomi dan sosial. Kerugian secara materi akibat penyakit ini mencapai 15 milyar rupiah dalam tiga bulan pertama sejak kejadian penyakit ditemukan, yaitu bulan Maret sampai September 2002 (Sunarto 2004). Dinas Perikanan Jawa Barat menemukan data bahwa sepanjang tahun 2002 kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit akibat KHV ini mencapai 100 milyar rupiah (Sunarto & Kusrini 2006). Kerugian total sampai tahun 2006 mencapai 250 milyar rupiah. Namun jumlah ini merupakan perhitungan berdasarkan kasus yang berhasil diketahui maupun dari laporan masyarakat. Jumlah kerugian yang ditimbulkan seperti fenomena gunung es yaitu kemungkinan kerugian yang ditimbulkan bisa lebih besar dari jumlah tersebut (Taukhid 2010; komunikasi pribadi).

Sejak saat itu muncul siklus wabah KHV tahunan terutama terjadi setiap musim hujan. Pada bulan September 2004 terjadi wabah di Lubuk Linggau, Sumatra Selatan dan mengakibatkan kematian sebanyak 150 ton, disusul kematian massal ikan yang dipelihara di jaring apung di Danau Toba. Pada akhir Oktober 2004, penyakit ini mengakibatkan kematian sedikitnya sembilan juta ekor ikan mas dalam 2.216 petak karamba jaring apung di Sumatra Utara. Kematian massal ikan mas di Danau/Waduk Cirata berulang pada tahun 2004 setelah sebelumnya pernah terjadi pada bulan Mei-juni tahun 2002. Kematian massal ikan mas dan koi masih terjadi


(23)

2

sampai saat ini terutama pada musim hujan, meskipun kematian yang ditimbulkan tidak ekstrim seperti tahun-tahun sebelumnya (Sunarto & Kusrini 2006). Untuk daerah endemik seperti Cirata maka kematian massal terjadi sekitar 40-60% dan biasanya terjadi pada pertengahan dan akhir tahun. Mortalitas ikan mas yang dibudidayakan di kolam air deras lebih tinggi yaitu mencapai 70% dan terjadi sepanjang musim, sedangkan di daerah yang jarang ada kasus atau baru pertama terjadi kasus maka kematian bisa lebih tinggi dari 60%. Mortalitas ikan mas yang dibudidayakan di keramba di Sungai Mahakam mencapai 70-80% (Taukhid 2010; komunikasi pribadi).

Meskipun muncul pertama kali pada tahun 2002, namun belum ada langkah strategis yang dapat menanggulangi wabah penyakit ini. Hal ini menyebabkan Indonesia belum aman dari ancaman wabah KHV. Oleh karena itu Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan - Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi KHV termasuk dalam lima penyakit utama pada budidaya ikan di Indonesia. Kelima penyakit tersebut adalah penyakit yang diakibatkan oleh parasit Ichtyophtirius multifilis pada ikan air tawar, penyakit MAS (motile aeromonad septicaemia) oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila, penyakit akibat infeksi virus KHV (Koi Herpesvirus) pada ikan mas dan koi, penyakit infeksi virus WSSV (White Spot Syndrome Virus) pada udang dan penyakit VNN (viral nervous necrosis) akibat infeksi virus VNN pada ikan kerapu. Kelima penyakit utama ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh karena langkah untuk menanggulangi penyakit pada komoditas strategis tersebut belum dapat menuntaskan masalah penyakit tersebut.

Upaya penanggulangan wabah KHV di daerah telah dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Penanggulangan dengan metode tersebut terbukti tidak efektif karena hanya mambantu mengatasi infeksi sekunder oleh bakteri, fungi atau parasit. Ketidakefektifan tersebut disebabkan karena penyebaran KHV dalam tubuh ikan berlangsung antar sel sehingga virus tidak perlu keluar sel dan masuk ke dalam sistem sirkulasi tubuh inang untuk penyebarannya. Oleh karena itu sifat dari golongan virus herpes tersebut adalah berasosiasi kuat dengan sel (highly cell associated) dan bersifat laten yaitu seumur hidup berada dalam tubuh inangnya (Arvin 1996).

Alternatif yang dilakukan oleh masyarakat dalam menanggulangi wabah ini adalah dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti ekstrak bawang putih,


(24)

3

ekstrak mengkudu (pace) dan cacahan buah maja. Kendala dalam metode ini adalah terbatasnya pengkajian secara ilmiah terhadap penggunaan bahan-bahan alami baik mengenai kandungan senyawa aktif maupun mekanisme kerja bahan-bahan ini pada tubuh ikan. Mekanisme bahan-bahan alami ini terbatas pada respon non spesifik sehingga tidak spesifik dalam menghadapi infeksi KHV.

Penanggulangan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait adalah penerapan biosecurity yang bertujuan mengamankan wilayah budidaya dari sebaran atau tersebarnya penyakit dari wilayah tersebut. Penanggulangan ini mudah dilakukan pada sistem budidaya dalam ekosistem tertutup semisal kolam, artinya tidak ada kaitan satu unit kolam dengan kolam lainnya. Konsep biosecurity ini tidak dapat diterapkan pada budidaya dengan sistem terbuka pada danau/waduk. Hal ini disebabkan karena unit jaring apung pada danau/waduk tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain sementara air yang digunakan sebagai media budidaya adalah air yang sama dan menyatu dalam satu wadah yaitu danau/waduk. Dampak dari suhu media budidaya yang rendah terhadap aktivitas virus KHV maupun menurunnya daya tahan tubuh ikan tidak cukup diantisipasi dengan penerapan biosecurity ini.

Mengingat sifat virus herpes yang berasosiasi kuat dengan sel dan sulit untuk ditanggulangi maka langkah pencegahan mutlak perlu dilakukan. Salah satu langkah pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan vaksinasi. Vaksin yang diberikan dapat berupa vaksin konvensional dan vaksin rekombinan. Vaksin konvensional yang diberikan berupa virus dilemahkan maupun dimatikan. Vaksin rekombinan merupakan hasil rekayasa genetika dimana sekuen gen virus yang bersifat imunogenik disisipkan ke plasmid dan plasmid ini selanjutnya dipropagasi di bakteri E.coli. Vaksin rekombinan ini berupa protein rekombinan yang bersifat imunogenik.

Vaksin DNA merupakan hasil terobosan teknik eksperimental untuk melindungi organisme melawan penyakit dengan cara menginjeksikan DNA murni (naked DNA) untuk membangkitkan respon kekebalan. Vaksin revolusioner yang muncul tahun 1992 ini sudah dikembangkan untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit baik pada manusia maupun hewan, termasuk ikan.

Tahun 2009 lalu Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi telah melakukan uji efikasi vaksin komersial merek KV3 untuk ikan koi dan mas. Vaksin ini adalah vaksin hidup yang dilemahkan (attenuated vaccine). Vaksin jenis ini memiliki kelemahan yaitu memiliki potensi untuk terjadinya infeksi apabila


(25)

4

atenuasi/pelemahan yang dilakukan tidak sempurna. Oleh karena itu Rakus (2008) tidak menganjurkan digunakannya vaksin KV3 ini pada ikan. Rakus juga menyebutkan bahwa Undang-Undang Uni Eropa juga tidak mengizinkan digunakannya vaksin ini. Vaksin yang dilemahkan memang memiliki keterbatasan yang dapat disempurnakan oleh vaksin DNA.

Vaksin DNA dapat dijadikan sebagai alternatif penanggulangan penyakit akibat KHV pada ikan mas dan koi untuk mengurangi cadangan devisa yang dibelanjakan untuk pengadaan vaksin KHV dari luar negeri. Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan menganggap keberadaan vaksin untuk mencegah infeksi KHV menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak. Pengambilan keputusan untuk mengimpor vaksin dari luar negeri yang sekarang sedang diuji efikasi harus terintegrasi dengan kebijakan pengembangan vaksin KHV dengan menggunakan isolat lokal. Keunggulan vaksin isolat lokal adalah dapat membangkitkan sistem imun secara efektif karena vaksin yang digunakan berasal dari virus yang sama dengan virus yang menyebabkan infeksi pada ikan mas dan koi. Kehomologan antara antibodi yang dihasilkan setelah vaksinasi dengan antigen sebagai sumber vaksin maupun penyebab penyakit merupakan syarat penting untuk mencapai keberhasilan vaksinasi. Dikembangkannya vaksin DNA di dalam negeri dengan menggunakan isolat lokal akan mencegah ketergantungan komponen budidaya ikan dari luar negeri. Ketergantungan ini dalam jangka panjang dapat mengancam kedaulatan pangan Indonesia, khususnya sumber protein asal ikan.

Keunggulan vaksin DNA (Lorenzen & LaPatra 2005) yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengembangkannya adalah:

1. Bersifat generik dan sederhana

2. Aman dan tidak menimbulkan resiko terinfeksi penyakit

3. Kombinasi keuntungan dari vaksin tradisional (inactivated vaccine) dan yang dilemahkan (attenuated vaccine)

4. Dapat mencapai keberhasilan tujuan vaksinasi ketika vaksinasi konvensional gagal

5. Memungkinkan untuk diberikan bersama ajuvan molekular misalnya motif CpG 6. Mengaktifkan baik sistem kekebalan humoral maupun seluler


(26)

5

7. Memungkinkan vaksinasi multivalen yaitu dengan mencampur vaksin DNA untuk lebih dari satu jenis penyakit melalui vaksinasi yang dilakukan secara bersamaan

8. Memberikan proteksi yang baik apabila diberikan pada stadia awal

9. Proteksi dapat diinduksi dalam waktu singkat dan memberikan efek proteksi dalam jangka waktu lama

10. Dapat memberikan proteksi baik dalam suhu rendah maupun tinggi 11. Dapat memberikan proteksi pada heterologous strain pathogen

12. Dapat menyediakan vaksin untuk patogen baru dalam waktu cepat dan biaya relatif lebih murah

13. Produk murni memiliki stabilitas yang tinggi

14. Biaya produksi relatif murah dan mudah diproduksi

Hirono (2005) menjelaskan bahwa proteksi yang diberikan oleh vaksin yang dilemahkan cukup tinggi baik dalam membangkitkan kekebalan seluler maupun humoral, akan tetapi berpotensi untuk terjadinya infeksi. Kelemahan ini dapat diperbaiki oleh vaksin DNA yang mampu membangkitkan respon kekebalan seluler maupun humoral akan tetapi tidak menimbulkan terjadinya infeksi karena yang dimasukkan hanya bagian tertentu saja dari virus, dalam hal ini gen glikoprotein.

Banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh vaksin DNA memungkinkan vaksin ini punya peluang untuk diterapkan di bidang perikanan. Vaksin DNA dengan menggunakan gen glikoprotein virus telah dikembangkan untuk ikan rainbow trout oleh Corbeil et al. (1999); pada ikan salmon oleh Lapatra et al. (2001). Zheng et al. (2006) juga sedang mengembangkan vaksin DNA untuk ikan sebelah / flounder Paralichthys olivaceus di Cina. TUMST (Tokyo University of Marine Science and Technology) juga telah mengembangkan vaksin DNA KHV untuk ikan mas dan koi di Jepang dengan menggunakan isolat asal Jepang (Hirono 2008; komunikasi pribadi). Pengembangan vaksin DNA penyandi glikoprotein KHV dengan menggunakan isolat virus asal Indonesia mendesak untuk dilakukan. Penggunaan teknologi molekuler dalam pengendalian penyakit dalam budidaya ikan diharapkan dapat meminimalkan resiko kerugian akibat kematian dengan cara yang lebih mudah dan biaya yang relatif murah dibandingkan vaksin konvensional maupun protein rekombinan.

Penelitian pengembangan vaksin DNA untuk KHV ini dilakukan melalui tiga tahap penelitian. Penelitian tahap pertama adalah pembuatan konstruksi vaksin


(27)

6

DNA; tahap kedua adalah uji ekspresi yaitu uji aktivitas promoter vaksin; dan tahap ketiga adalah uji tantang skala laboratorium.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Membuat konstruksi vaksin DNA dengan menggunakan gen glikoprotein KHV b. Menguji ekspresi plasmid vaksin

c. Menguji vaksin DNA KHV dan peranannya dalam meningkatkan kelangsungan hidup relatif.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah metode dalam penanggulangan penyakit pada ikan pada umumnya karena penelitian tentang vaksin DNA untuk penyakit pada ikan baru pertama dilakukan di Indonesia. Manfaat lain yang didapatkan adalah diperolehnya alternatif pencegahan penyakit khususnya akibat infeksi KHV. Seperti diketahui bahwa panyakit karena virus ini relatif sulit untuk ditanggulangi sehingga memerlukan penanganan yang mampu meningkatkan respons kekebalan ikan yang bersifat spesifik mencakup seluler maupun humoral. Penanganan yang tepat akan meningkatkan produktivitas ikan budidaya khususnya ikan mas dan koi.

Aspek Kebaruan

Aspek kebaruan dari penelitian ini adalah:

a. Vaksin DNA ini menggunakan gen virus KHV isolat lokal sebagai sumber DNA yang disisipkan ke plasmid vaksin. Perbedaan strain virus mengandung konsekuensi adanya perbedaan sekuen gen penyandi protein tertentu misalnya glikoprotein. Gen penyandi glikoprotein tertama ORF 25 (yang merupakan bagian virus yang bersifat imunogenik) dari KHV asal Indonesia memiliki perbedaan susunan asam amino dengan KHV asal Jepang, Amerika Serikat maupun Israel.

b. Vaksin DNA menggunakan promoter β-actin dari ikan medaka sehingga berbeda dengan penelitian pengembangan vaksin DNA dalam akuakultur yang pada umumnya menggunakan promoter dari Cytomegalovirus. Ekspresi gen


(28)

7

dengan menggunakan promoter dari ikan lebih kuat dibandingkan dengan menggunakan promoter dari non-ikan.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah didapatkannya konstruksi vaksin DNA yang mengandung sisipan gen glikoprotein penyandi terbentuknya protein G (glikoprotein) yang bersifat imunogenik sehingga dapat memproteksi ikan mas dari infeksi virus KHV.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Infeksi Koi Herpesvirus (KHV)

Ikan mas (Cyprinus carpio) adalah ikan yang dibudidayakan secara luas sebagai bahan makanan. Sebanyak 1.5 juta metrik ton diproduksi terutama di Asia maupun Eropa (www.fao.org). Budidaya ikan mas memberikan sumbangan protein untuk penduduk yang berdiam di Asia, Eropa dan Timur Tengah (Aoki et al. 2007).

Koi herpesvirus diidentifikasi pertama kali tahun 1998 yang menyebabkan kematian massal pada ikan mas budidaya di Israel (Gilad et al. 2002) dan Amerika Serikat (Gray et al. 2002). Carp nephritis and gill necrosis virus (CNGV) adalah nama awal virus yang berasal dari virus DNA yang morfologinya mirip dengan anggota kelompok Herpesviridae yang nama lainnya adalah koi herpesvirus dan Cyprinid herpesvirus (Dishon et al. 2005). Nama lain dari virus KHV adalah Cyprinid Herpesvirus 3 atau CyHV-3 (Aoki et al. 2007). Virus ini masuk ke Indonesia pada tahun 2002 melalui perdagangan ikan koi (Sunarto et al. 2004).

Dari percobaan kohabitasi antara ikan sehat dan ikan terinfeksi KHV yang dilakukan oleh Hutoran et al. (2005) diperoleh hasil bahwa ikan yang sakit mengalami ganggunan berupa gerakan yang tidak terkoordinasi dan berenang tidak beraturan yang merupakan tanda-tanda adanya gangguan saraf (neurological disorder). Gangguan ini diperjelas dengan berkurangnya frekuensi gerakan ekor dan kehilangan keseimbangan pada beberapa ikan. Penyebaran penyakit ini melalui air dan bersifat sangat menular.

Menilik dari nama gejala penyakit yang ditimbulkan, virus ini memang menginfeksi terutama pada bagian insang dan ginjal ikan. Dari kajian histopatologi pada insang, tampak jelas bahwa virus ini mengakibatkan inflamasi pada renal tubul ginjal dan mengakibatkan sel-sel yang terinfeksi mengalami pembentukan badan inklusi pada inti selnya. Kajian histopatologi insang ikan yang sakit menunjukkan bahwa terdapat sel-sel inflamasi di insang dan epitel insang mengalami hiperplasia. Kajian dengan menggunakan indirect immunofluorescen microscopy terhadap insang, ginjal, otak dan hati menunjukkan bahwa virus KHV terakumulasi pada insang dan ginjal (Pikarsky et al. 2005).

Keberadaan virus pada ikan dapat dideteksi secara cepat dengan menggunakan metode PCR ( Gray et al. 2002; Gilad et al. 2002) dan menggunakan metode LAMP (loop- mediated isothermal amplification)(Soliman & El-Matbouli 2005).


(30)

9

Metode LAMP tidak memerlukan mesin PCR dalam mengamplifikasi DNA, akan tetapi memerlukan Bst DNA polymerase, dua primer inner, dua primer outer dan dua primer loop untuk mengamplifikasi DNA. Reaksi dilakukan pada suhu 65 oC selama 60 menit. Dari 50 ekor ikan sampel yang diperiksa dengan PCR, 37 ekor dinyatakan positif KHV sedang 13 ekor negatif. Melalui metode LAMP semua sampel dinyatakan positif.

Virus KHV (Koi Herpesvirus)

Nama herpes berasal dari bahasa Yunani yaitu herpein yang berarti kronis / laten / infeksi yang selalu terjadi. Sebanyak 100 macam herpesvirus telah diisolasi. Virus ini memiliki ukuran DNA genom yang besar mencapai 235 kbp dan tersusun dari 35 polipeptida. Secara umum kelompok herpesvirus ini berukuran 180-200 nm, memiliki amplop yang tersusun dari glikoprotein. Pada bagian antara amplop dan kapsid terdapat tegument yang tersusun dari protein. Kapsid berbentuk ikosahedral dengan diameter 95-105 nm. Pada bagian pusat terdapat DNA yang dikelilingi oleh nukleokapsid. Bentuk DNA genom kelompok herpesvirus adalah berutas ganda yang berukuran 130-230 kbp (www.herpes.org).

Struktur virus herpes dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1. Penampang melintang kelompok herpesvirus (pathmicro.med.sc.edu/virol/herpes)

Koi herpesvirus merupakan virus DNA utas ganda yang memiliki 31 polipeptida dan delapan protein glikosilat dimana 12 polipeptidanya memiliki berat molekul yang sama dengan CHV (cyprinid herpesvirus) dan 10 polipeptidanya sama dengan CCV


(31)

10

(channel catfish virus). KHV memiliki kapsid simetri ikosahedral dengan diameter 100-110 nm, sedangkan virion matang memiliki amplop yang longgar sehingga ukuran diameternya menjadi 170-230 nm. Selain itu juga terdapat benang-benang penyangga seperti struktur tegument pada permukaan inti yang mirip dengan kelompok Herpesvirus (Pokorova et al. 2005).

Hutoran et al. (2005) melaporkan bahwa virus yang diisolasi dari ikan mas yang mengalami kematian massal di Israel memiliki ukuran DNA genom besar yaitu 277 kbp, lebih besar dari ukuran DNA genom kelompok Herpesviridae. Penemuan yang lain adalah hanya sebagian kecil fragmen yaitu 16-45 bp yang mirip dengan beberapa DNA genom virus yang lain. Karakter koi herpesvirus yang dilaporakan dari penelitian Hutoran adalah:

1. Virus sangat menular 2. Transmisi melalui air

3. Terinduksi menjadi penyakit apabila temperatur tertekan sehingga berada pada level 18-24 oC, baik pada skala penelitian di laboratorium (indoor) maupun di kolam (outdoor)

4. Memiliki inang yang terbatas yaitu ikan mas dan koi

5. Tidak dapat dipropagasi pada epitelioma pappilosum cell (EPC), tetapi dapat dipropagasi pada koi fin cell (KFC)

6. Morfologi dan diameter konsisten sesuai dengan herpesvirus meskipun kadang-kadang pada bagian inti virus (core) berisi massa non-simetri berukuran kecil

7. Analisis terhadap sekuen fragmen DNA tidak menunjukkan adanya kesamaan dengan genom virus yang sudah diketahui

8. Virus memiliki molekul DNA utas ganda yang sangat besar yaitu 277 kbp, lebih besar dibanding dengan genom herpesvirus yang sudah ada.

Penyebaran KHV sejak awal ditemukan dan penyebarannya di empat benua di dunia seperti dilaporkan oleh Crane et al. (2004) dapat dilihat pada tabel berikut.


(32)

11

Tabel 1. Penyebaran virus KHV di empat benua di dunia

Sumber: Crane et al. (2004)

Adapun gambar virus KHV yang diambil dari koi fin cell dan diamati dengan mikroskop elektron ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2. Koi herpesvirus yang diambil dari koi fin cell, diamati dengan

mikroskop electron yang memperlihatkan adanya kapsid berbentuk simetri ikosahedral (tanda panah pada gambar A) dan beramplop (tanda panah pada gambar B), diwarnai dengan pewarnaan negative phosphotungstat 2 % (Hutoran et al. 2005)


(33)

12

Crane et al. (2004) melaporkan bahwa virus KHV memiliki sensitifitas terhadap kondisi fisika-kimia. Namun penelitian berikutnya secara detil masih perlu dilakukan untuk mengungkap kondisi fisika-kimia yang berpengaruh terhadap sensitifitas virus.

Tabel 2. Sensitivitas KHV terhadap kondisi fisika dan kimia Sensitifitas/Kerentanan Terhadap Kondisi Fisika-Kimia

Temperatur Infektifitas virus hilang setelah berada pada suhu 35 oC selama dua hari atau pada suhu 60 oC selama 30 menit

pH Infektifitas hilang pada pH <3 atau pH>11

Bahan kimia Sensitif terhadap kloroform (diasumsikan sensitive juga terhadap bahan pelarut lemak yang lain)

Desinfektan Desinfektan yang dianjurkan merujuk pada

ketetapan Office International des Epizooties, OIE (2003), perlu diteliti lebijh lanjut

Kelangsungan hidup Virus dapat bertahan hidup di air selama 20 jam dan lebih lama pada kolam dengan kondisi buruk, ada yang menyebutkan juga bahwa virus hanya mampu bertahan paling lama empat jam.

Sumber: Crane et al. (2004)

KHV merupakan virus yang baru dikenal keberadaannya ketika menyebabkan kematian massal pada budidaya ikan mas dan Koi di Israel tahun 1998. Sebelum disekuensing, KHV masih diberi nama CNGV (carp nephritis and gill necrosis virus) (Dishon et al. 2005) dan masih diduga merupakan anggota family Herpesviridae karena kemiripannya dengan family Herpesviridae yaitu berupa DNA berutas ganda yang dibungkus oleh kapsid ikosahedral , lapisan protein tegument dan amplop virus yang tersusun oleh glikoprotein. Berdasarkan data yang ada di GeneBank, dari seluruh KHV yang ada sekarang baru terdapat tiga genom virus yang sudah disekuensing secara lengkap (genom). Tiga genom KHV tersebut berasal dari Jepang, Israel dan Amerika Serikat (Aoki et al. 2007). Genom KHV memiliki ukuran sekitar 295 kbp dengan perincian sebesar 295.271 bp untuk KHV dari Jepang, 295.146 bp untuk KHV dari Amerika Serikat dan 295.138 bp untuk KHV yang berasal dari Israel. Dari ukuran tersebut tampak ada perbedaan jumlah basa nitrogen dan bervariasi untuk masing-masing strain/serotype virus dimana KHV dari Jepang memiliki ukuran genom yang paling besar diikuti Amerika Serikat dan Israel.

Namun demikian KHV masih meragukan apabila digolongkan ke dalam family Herpesviridae karena memiliki ukuran molekul yang cukup besar yang waktu itu


(34)

13

diduga sebesar 277 kb ketika diketahui pertama kali, lebih besar dari ukuran molekul anggota family Herpesviridae yang sudah ada yaitu 125-245 kb. Di samping itu kegagalan dalam membuktikan adanya hubungan kekerabatan (secara genetik) antara KHV dengan family Herpesviridae juga menyebabkan keraguan uuntuk memasukkan KHV ke dalam family ini. Setelah disekuensing oleh Aoki et al. (2007) baru dapat dipastikan bahwa KHV memang bagian dari family Herpesviridae. KHV memiliki hubungan erat dengan Cyprinid Herpesvirus 1 dan 2 (CyHV-1 dan CyHV-2) yang menyebabkan penyakit carp pox dan hematopoietic necrosis pada ikan mas koki (gold fish). Selain itu KHV juga memiliki kekerabatan dengan Ictalurid herpesviridae (IcHV-1) dan ranid HV-1 (penyebab tumor pada katak). Selanjutnya KHV telah diusulkan secara formal ke dalam anggota Alloherpesviridae dengan nama spesies Cyprinid Herpesvirus 3 atau disingkat menjadi CyHV-3 (Aoki et al. 2007).

Vaksin DNA pada Ikan

Ikan adalah organisme yang mudah terifeksi penyakit yang diakibatkan oleh parasit, bakteri, cendawan dan virus apabila dibudidayakan dalam sistem terkontrol. Penanggulangan penyakit dengan menggunakan bahan kimia termasuk antibiotik memberikan dampak yang tidak baik bagi lingkungan maupun manusia yang mengonsumsinya. Penyakit yang disebabkan oleh virus relatif lebih ditangani karena tidak ada treatmen komersial maupun kemoterapetan yang ekonomis yang bermanfaat dalam penanggulangan penyakit infeksi KHV. Oleh karena itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah langkah-langkah yang bersifat profilaksis misalnya vaksinasi dan diagnosis penyakit dalam rangka pencegahan terjadinya wabah penyakit (Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov).

Vaksinasi mampu meningkatkan produktifitas ikan salmon secara signifikan di Norwegia. Produksi ikan salmon pada tahun 1987 sebesar 65,000 metrik ton dan meningkat menjadi 700,000 metrik ton pada tahun 2007. Penggunaan vaksin juga mereduksi penggunaan antibiotik dari 48,500 kg menjadi 649 kg (Gravningen & Berntsen 2008).

Vaksin yang pertama kali dikembangkan pada budidaya ikan adalah vaksin terhadap penyakit bakterial pada tahun 1970. Vaksin mulai diintroduksikan ke lingkungan akuakultur pada awal tahun 1980. Adanya vaksin ini ikut meningkatkan secara signifikan dalam pertumbuhan industri budidaya serta penerimaan konsumen terhadap ikan yang dibudidayakan. Hal ini disebabkan karena berkurangnya dampak


(35)

14

terhadap lingkungan serta peningkatan mutu bahan pangan dari ikan karena adanya minimalisasi dalam penggunaan antibotik (Lorenzen & LaPatra 2005).

Vaksin virus untuk ikan jarang dijual secara komersial. Di Amerika Serikat sendiri agak sulit untuk mendapatkan lisensi peredaran karena prosesnya panjang dan biayanya mahal serta efikasi vaksin yang tidak konsisten. Kendala yang lain adalah masalah keamanan vaksin virus yang diatenuasi masih dipertanyakan karena memiliki potensi untuk bangkit kembali dan menginfeksi inang yang divaksinasi (Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov). Berkembangnya penyediaan vaksin untuk menanggulangi penyakit yang diakibatkan oleh viral haemorrhagic septicaemia virus (VHSV), infectious haematopoietic necrosis virus (IHNV), infectious pancreatic necrosis virus (IPNV) dan infectious salmon anemia virus (ISAV) cukup memberikan perlindungan bagi budidaya ikan salmon. Di sisi lain, penumbuhan virus bakal vaksin di sel kultur ikan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk efisiensi biaya budidaya maka vaksin DNA perlu dikembangkan lebih lanjut. Pada level eksperimen vaksin ini dapat melawan virus dengan tingkat paling efisien. Vaksin ini berbasis pada plasmid DNA yang membawa sisipan gen misalnya glikoprotein dan disertai dengan promoter dan terminator/polyA untuk keperluan ekspresi di ikan (Lorenzen & LaPatra 2005).

Hirono (2005) mengelompokkan perkembangan vaksin pada ikan menjadi tiga generasi. Generasi pertama adalah vaksin konvensional yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu vaksin yang diinaktivasi/dimatikan (inactivated vaccine) dan vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine). Vaksin generasi kedua adalah vaksin protein rekombinan (recombinant protein vaccine) dan vaksin generasi ketiga adalah vaksin DNA (DNA vaccine).

Vaksin yang diinaktivasi memiliki keuntungan tidak ada resiko infeksi sedangkan kelemahannya adalah biaya produksi mahal, pada beberapa kasus tidak ada respon kekebalan yang ditimbulkan, serta daya tahan yang ditimbulkan relatif singkat. Vaksin yang dilemahkan memiliki keuntungan yaitu mampu menginduksi tanggap kebal humoral dan seluler serta memiliki daya proteksi dalam waktu relatif lama. Kelemahan vaksin yang dilemahkan adalah memungkinkan terjadinya infeksi. Keuntungan vaksin protein rekombinan adalah biaya produksi tidak mahal serta dapat diproduksi secara massal, sedangkan kelemahannya adalah tidak mampu mengaktivasi kekebalan seluler. Vaksin DNA memiliki keuntungan yaitu tidak menimbulkan resiko infeksi, mudah dikembangkan dan diproduksi, bersifat stabil dan


(36)

15

mampu mengaktivasi sistem kekebalan baik humoral maupun seluler, sedang kelemahannya adalah terbatasnya protein yang bersifat imunogenik.

Lorenzen dan LaPatra (2005) memaparkan bahwa ikan rainbow trout yang divaksinasi dengan DNA glikoprotein VHS (viral haemorrhagic septicaemia) memperlihatkan proteksi total yang merupakan komplementasi antara respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. Respon imun non-spesifik bekerja pada lebih awal, setelah peranannya menurun digantikan oleh respon spesifik . Proteksi ini dipresentasikan dengan kelangsungan hidup relatif (relative percentage survival=RPS) (Gambar 3).

Gambar 3. Skema proteksi non-spesifik dan spesifik ikan rainbow trout yang divaksinasi dengan vaksin DNA menggunakan gen glikoprotein VHS

Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein

Vaksin DNA untuk menanggulangi IHNV (Infectious Hematopoietic Necrosis Virus) adalah vaksin DNA pertama yang dikembangkan pada ikan salmon. Dari uji gen nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matriks protein (M) , non-virion protein (NV protein dan glikoprotein (G) yang disisipkan ke dalam vaksin plasmid maka glikoprotein (G) saja yang bersifat imunogenik sehingga mampu menginduksi respon imun pada ikan rainbow trout Onchorhyncus mykiss. Proteksi yang sama ditunjukkan juga oleh gen G yang disisipkan pada vaksin plasmid dan divaksinasikan pada ikan salmon Atlantik Salmo salar. Ikan divaksinasi dengan dosis 0.1, 1.0 dan 2.5 µg. Satu bulan kemudian ikan diuji tantang dengan virus IHHNV. Dari percobaan tersebut didapatkann hasil bahwa netralisasi dan pembentukan antibodi yang protekstif dapat diinduksi oleh glikoprotein. Namun demikian produksi antibodi dapat dibuktikan pada percobaan ikan dengan ukuran yang lebih besar ( Lapatra et al. 2001). .


(37)

16

Aplikasi vaksin DNA yang mengandung sisipan gen glikoprotein dapat menginduksi terbentuknya alpha/beta interferon pada ikan rainbow trout yang diuji tantang setelah 30 atau 70 hari setelah vaksinasi. Proteksi yang diberikan cukup lama karena respon imun yang terbentuk bersifat spesifik yaitu terhadap gen G. Vaksin DNA menginduksi perlindungan antiviral yang bersifat non-spesifik pada mulanya yang dimediasi oleh alpha/beta interferon, berikutnya baru terbentuk respon imun yang bersifat spesifik. Vaksin DNA dengan menggunakan gen glikoprotein untuk mencegah penyakit IHHNV pada ikan rainbow tout mampu memberikan proteksi secara signifikan empat hari setelah vaksinasi. Uji tantang setelah 28 hari vaksinasi memberikan rentang yang paling tinggi antara kematian ikan kontrol dan ikan perlakuan, dibandingkan dengan uji tantang pada 1, 7, 14 dan 21 hari (Kim et al. 2000).

Vaksin DNA untuk penyakit infeksi SVCV (spring viremia carp virus) yang mengandung gen glikoprotein lengkap (full length) menghasilkan nilai relative percent survival (RPS) sebesar 48% (primer tidak disebutkan). Perlakuan vaksinasi 10 µg pada penelitian ini dapat menginduksi respon kekebalan berperantara sel (CMI=cell mediated immunity), namun antibody tidak terdeteksi. Penelitian tentang vaksin DNA untuk SVCV pada ikan mas merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan (Kanellos et al. 2006).

Vaksin DNA untuk penyakit SVCV asal Amerika Utara pada ikan koi menggunakan gen glikoprotein menghasilkan nilai RPS sebesar 50-88%. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dilaporkan berhasil dilakukan pada ikan koi. Penelitian ini membuktikan bahwa vaksin DNA untuk penyakit SVCV (pSGnc) dapat menginduksi terbentuknya proteksi yang bersifat spesifik. Hasil penelitian tersebut sekaligus memvalidasi potensi pSGnc yang dapat digunanakan dalam pencegahan penyakit SVCV (Emmenegger & Kurath 2008).

Konstruksi Vaksin

Tahap pertama dalam memproduksi vaksin DNA adalah mengidentifikasi dan mengklon antigen protektif yang berasal dari patogen. Plasmid yang menjadi agen dalam vaksinasi diproduksi dalam kultur bakteri dan dimurnikan. Vaksin diberikan ke sel yang menjadi mesin untuk memproduksi protein G, sesuai dengan gen yang diklon. Setelah glikoprotein diproduksi maka tubuh akan mengenali adanya protein / antigen asing yang masuk ke dalam tubuh. Setelah dideteksi oleh sistem imun ikan


(38)

17

maka tubuh memberikan reaksi dengan terbentuknya antibodi yang homolog. Skema tentang konstruksi singkat plasmid untuk vaksin dapat dilihat dalam ilustrasi yang diwakili oleh vaksin DNA dari kelompok Rhabdovirus berikut ini (Lorenzen & LaPatra 2005).

Gambar. 4. Skema gambaran partikel Rhabdovirus (a), vaksin plasmid (b) dan protein G virus

Kontruksi plasmid dilakukan dengan menyisipkan gen ke dalam plasmid yang mengandung promoter tertentu. Beberapa jenis promoter yang sudah diisolasi dan sudah dicoba pada beberapa spesies ikan oleh beberapa peneliti adalah promoter cytomegalovirus (CMV) dari virus manusia, elongation factor-1α (EF-1α) dari ikan medaka, β-actin dari ikan medaka dan myosin light chain-2 (Mylz-2) dari ikan zebra (Alimuddin 2003). Berdasarkan penelitian pada ikan zebra, promoter β-actin dan Mylz-2 menunjukan aktivitas lebih kuat dibandingkan EF-1α. Sedangkan CMV menunjukan aktivitas lebih rendah. Hal ini dikarenakan promoter CMV berasal dari virus manusia dimana ada kemungkinan bahwa tidak semua elemen cis-acting-nya dikenali oleh faktor trans-acting dari ikan zebra. Sedangkan promoter lainnya yang berasal dari ikan menunjukan aktivitas yang tinggi. Promoter β-actin merupakan


(39)

18

promoter yang bersifat house-keeping yaitu akan selalu aktif dalam siklus hidupnya. Selain bersifat house-keeping, β-actin juga mempunyai sifat ubiquitous (Hacket 1993), dimana promoter ini akan aktif dimana-mana dan constitutive (Volckaert et al. 1994) yang berarti bahwa promoter ini bisa aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon.

Promoter β-actin dari ikan medaka dilaporkan dapat aktif pada spesies yang sama, sekerabat atau berbeda jenis dengan asal promoter, seperti pada ikan rainbow trout (Yoshizaki 2001), ikan zebra (Alimuddin et al. 2005), ikan nila (Kobayashi et al. 2007), ikan lele (Ath-thar 2007), dan ikan mas (Purwanti 2007). Penggunaan promoter β-actin pada konstruksi vaksin DNA KHV memiliki peluang besar untuk mengaktivasi gen glikoprotein pada ikan mas.

Metode transfer vaksin DNA adalah hal yang penting ketika dikaitkan dengan aplikasi di lapangan (Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov). Transfer vaksin pada mamalia menggunakan strategi injeksi intramuscular (IM) dengan gene-gun. Teknik ini sebenarnya efektif dalam menginduksi terbentuknya respon imun pada ikan, akan tetapi teknologi ini terlalu mahal apabila diaplikasikan pada budidaya ikan. Injeksi intramuscular (IM) sederhana plasmid DNA yang telah dimurnikan dalam buffer netral lebih efisien diterapkan di ikan daripada di hewan tipe yang lain (Lorenzen & LaPatra 2005). Meskipun aplikasi melalui injeksi IM merupakan metode yang dapat dipertimbangkan dalam vaksinasi, akan tetapi pengembangan aplikasi dengan metode yang lain perlu terus dikembangkan misalnya melalui perendaman atau melalui pencampuran dengan pakan (edible vaccine) dengan mempertimbangkan keamanan bagi lingkungan (Leong et al. dalam www.nps.ars.usda.gov.)

Kajian yang dilakukan terhadap distribusi dan ekspresi vaksin DNA terhadap lymphocystis disease virus (LCDV) pada ikan sebelah menunjukkan hasil bahwa plasmid yang mengandung vaksin terdistribusi pada otot bekas penyuntikan, otot yang berseberangan dengan lokasi penyuntikan, usus, insang, limpa, ginjal depan, hati dan gonad setelah vaksinasi selama tujuh hari. Hasil tersebut diperoleh melalui kajian PCR maupun RT-PCR. Konstruksi vaksin tersebut membawa gen gfp (gene fluorescent protein) dimana fluoresensi dapat diamati pada otot bekas penyuntikan, otot yang berseberangan dengan bekas penyuntikan, usus, insang, limpa, ginjal depan dan hati pada jam ke-36 setelah vaksinasi. Pada hari ke-60 fluoresensi menjadi lebih lemah, namun demikian tetap terdeteksi 90 hari setelah vaksinasi.


(40)

19

Terdistribusinya vaksin DNA pada beberapa organ yang lain dapat memproduksi antigen yang dapat menginduksi kekebalan spesifik ikan (Zheng et al. 2006).

Respons Imun pada Ikan

Ikan memiliki respon imun humoral maupun seluler sebagaimana vertebrata yang lain. Ikan dan mamalia memiliki kesamaan dan perbedaan imunitas (Tabel 3).

Tabel 3. Perbedaan antara imunitas ikan dan mamalia

Parameter Ikan Mamalia

Keadaan biotik Rentang suhu Lingkungan primer Metabolisme

-2 – 35 oC Air

Poikiloterm

36.5 – 37.5 oC Udara

Homoioterm Keragaman humoral

Ig isotope

Ig gene rearrangement

Keragaman non spesifik

IgM, IgD? (teleostei) IgM, IgX/IgR, IgW, NAR(C) (condrichthyes), IgM redoks Multiseluler (condrichthyes dan beberapa teleostei) C3 (teleostei)

IgM, IgA, IgD, IgE, IgG

Translocon

Tidak ada bentuk C3 Performa keseluruhan Afinitas antibodi Respon antibodi Respon memori Pematangan afinitas Suhu rendah Rendah Perlahan Lemah

Rendah atau tidak ada Ketergantungan tinggi, respon immunosuppressive (hanya pada ikan poikiloterm)

Tinggi Cepat Kuat Tinggi Ketergantungan rendah Organ Limfoid Jaringan hematopoietic Timus Kelenjar limfoid

Jaringan limfoid yang

berasosoasi dengan usus Pusat Germinal

Ginjal depan (teleostei), epigonal, organ Leydig, jaringan meningeal, orbital,

jaringan hematopoietic

subcranial (condrichthyes) Involusi tergantung spesies, dipengaruhi musim

Tidak ada

Tidak terorganisir, kumpulan limfoid

Tidak ada (pusat

melanomakrofag?), sel

dendrite kemungkinan ada

Sumsum tulang belakang

Involusi

Ada

Terorganisir

Ada

Sumber: Tort et al. (2003)

Respons Imun Non-Spesifik

Ikan memiliki sistem pertahanan tubuh yang bersifat non-spesifik maupun spesifik (Tort et al. 2003). Sebelum berhasil menginvasi inangnya, maka patogen


(41)

20

harus berhadapan terlebih dahulu dengan barier pertahanan tubuh yang bersifat fisik dan kimiawi. Patogen harus menembus barikade lendir/mucus yang ada di bagian tubuh paling luar. Lendir ini memiliki kemampuan untuk menggumpalkan antigen secara kimiawi. Setelah itu patogen harus mampu menerobos kulit maupun melewati sisik terlebih dahulu untuk ikan yang bersisik. Setelah bagian ini lolos maka pathogen harus berhadapan dengan sistem pertahanan non-spesifik lainnya dalam tubuh (Tort et al. 2003).

Sistem pertahanan yang bersifat non-spesifik terdiri atas pertahanan seluler dan humoral. Pertahanan non spesifik seluler melibatkan makrofag, granulosit, non-specific cytotoxic cells (NCC).dan cell-line. Makrofag dan granulosit merupakan sel fagositik yang bersifat motil yaitu dapat bergerak ke seluruh bagian-bagian tubuh. Makrofag dan granulosit dapat ditemukan atau diisolasi dari darah, organ limfoid yaitu ginjal depan dan rongga peritoneal (peritoneal cavity) Granulosit terdiri atas neutrofil dan eosinofil, sedangkan basofil jarang ditemukan. Non-specific cytotoxic cells (NCC) pada ikan identik dengan natural killer (NK) cells pada mamalia. Sel ini bertugas untuk melisis sel kanker pada mamalia, sedangkan di ikan berfungsi untuk menghadapi parasit. Sel ini dapat ditemukan di darah, jaringan limfoid, usus dan ginjal depan. Cell line leukosit ini jarang ditemukan. Cell line ini berperanan dalam melakukan fagositosis. Pertahanan non spesifik humoral diperankan oleh lisozim, komplemen, interferon, protein C-reaktif, transferin dan lektin (Iwama & Nakanishi 1996).

Lisozim dapat ditemukan di lendir/mucus, serum dan telur. Zat ini berfungsi untuk membantu mendegradasi lapisan peptidoglikan pada dinding sel bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Lisozim juga mendorong aktifitas fagositosis yaitu sebagai opsonin atau secara langsung mengaktifkan leukosit polimorfonuklear (neutrofil) dan makrofag. Neutrofil juga berisi sebagian besar myeloperoksidase yang terlibat dalam aktifitas bakterisidal (Mohanty et al. 2007). Lisozim merupakan salah satu respon alamiah (innate) yang dapat terinduksi dengan cepat (Tort et al. 2003).

Komplemen adalah sebutan yang diberikan untuk rangkaian 20 protein yang bersama dengan pembentuk bekuan darah, fibrinolisin dan pembentukan kinin, membentuk salah satu sistem-sistem pemacu enzim yang ditemukan dalam plasma. Sistem-sistem ini secara karakteristik menghasilkan suatu reaksi cepat, berkekuatan tinggi terhadap suatu fenomena berjenjang di mana hasil satu reaksi akan menjadi pemecah substansi berikutnya secara enzimatik (Roitt 2003). Komplemen pada


(42)

21

mamalia berbeda dengan ikan. Mamalia hanya punya satu isoform molekul C3 yang dikode oleh satu loci, sementara ikan mengekspresikan beberapa isoform C3 aktif. Ikan trout (Onchoryncus mykiss) dan medaka (Oryzias latipes) mengekspresikan tiga isoform C3, ikan seabrem (Sparus aurata) dan mas (Cyprinus carpio) mengekspresikan lima isoform C3 serta ikan zebra (Danio rerio) memiliki tiga loci yang mengkode tiga isoform C3 (Tort et al. 2003).

Interferon adalah protein atau glikoprotein yang dapat menghambat replikasi virus. Pada mamalia terdapat tiga tipe interferon yaitu interferon α, β, dan Ә. Interferon α dan β terdapat pada ikan bertulang sejati dan tidak terdapat pada kelompok lainnya. Interferon Ә disekresikan oleh leukosit yang berasal dari ginjal depan ikan. Protein C-reaktif adalah protein pertama yang tampak pada plasma manusia dan hampir semua hewan (termasuk invertebrata dan moluska) ketika terjadi kerusakan jaringan, infeksi atau inflamasi. Protein ini berperanan dalam melakukan presipitasi polisakarida C (CPS=C-polysaccharides) yang terdapat pada dinding sel bakteri (Iwama & Nakanishi 1996). Protein C-reaktif berukuran 118 kDa dengan koefisien sediimentasi 6.5 S dan memperlihatkan mobilitas tipe β pada medan elektroforesis (Ingram 1980). Faktor ini akan meningkat jumlahnya pada fase akut suatu penyakit infeksi mikrobial dan akan mengikat fosforil-kolin dari glikopeptida dinding sel bakteri, cendawan dan parasit (Rijkers 1982).

Transferin adalah glikoprotein pengikat besi (Fe) yang berperanan dalam transport Fe mulai dari absorbsi, penyimpanan, dan pemanfaatannya pada semua vertebrata (Iwama & Nakanishi 1996). Berat molekul transferin tergantung spesies ikan. Berat molekul transferin pada ikan mas 58-70 kDa, sedang pada ikan dogfish 75-80 kDa. Transferin mempunyai aktifitas antimikrobial yang menghambat pemanfaatan metal oleh bakteri, mengangkut Fe dari situs penyerapannya di usus dan perombakan Hb ke berbagai lokasi penyimpanan (Ingram 1980).

Lektin adalah perantara respon imun yang penting pada vertebrata tingkat tinggi. Protein ini memiliki kemampuan untuk mengikat karbohidrat yang terlibat dalam perlekatan ke dinding sel. Lektin memblokir perlekatan patogen ke dinding sel sehingga invasi dapat digagalkan. Lektin juga terlibat dalam menginduksi mekanisme respon imun yang lain misalnya mengaktifasi komplemen (Tort et al. 2003). Lektin pernah ditemukan terdapat dalam serum darah ikan salmon yang berperan dalam melakukan opsonisasi terhadap bakteri Aeromonas salmonicida. Lektin


(43)

22

meningkatkan aktifitas bakterisidal dan aktifitas makrofag dalam memfagositosis bakteri A.salmonicida (Ewart et al. 2001).

Respons Imun Spesifik

Sistem pertahanan spesifik dibedakan menjadi dua macam yaitu yang bersifat seluler dan humoral. Sistem pertahanan spesifik seluler diperankan oleh kekebalan berperantara sel (cell mediated immunity/CMI) dalam hal ini limfosit Tc, sedangkan pertahanan spesifik humoral diperankan oleh antibodi (Tort et al. 2003).

Kekebalan berperantara sel pada mamalia diperankan oleh sel Tcytotoxic (CTL=cytotoxic lymphocyte). Sel T ini memiliki molekul CD8 pada permukaannya untuk berinteraksi dengan molekul major histocompatibility complex kelas I (MHC I) pada permukaan sel APC (antigen presenting cell) yang menyajikan antigen (Hirono 2005). Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk dihancurkan. Tujuan pembungihangusan ini adalah untuk menghindari penyebaran penyakit (Kuby 1997).

Roitt (2003) memaparkan bahwa kekebalan berperantara sel (seluler) melibatkan limfosit Tc yang dihasilkan di kelenjar timus yang bekerjasama dengan NK (natural killer= non specific cytitoxic cells/NCC) dalam menghancurkan sel yang mengalami kelainan. Ruang lingkup sel NK ini terbatas sehingga perlu bantuan antibodi untuk mengahancurkan sel yang terinfeksi parasit intraseluler yaitu virus. Antibodi menyelimuti sel yang terinfeksi virus sementara NK yang memiliki reseptor khusus terhadap antibodi berikatan dengan antibodi. Antibodi akan membawa sel NK mendekat ke sel sasaran dengan membentuk suatu jembatan. Sel NK yang diaktifkan oleh kompleks antigen-antibodi mampu membunuh sel terinfeksi melalui mekanisme ekstraseluler. Pembunuhan sel ini bersifat non-spesifik. Pembunuhan sel terinfeksi virus yang bersifat spesifik dilakukan oleh sel Tc. Sel ini berhubungan dengan sel target dengan bantuan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I. Melalui pengenalan terhadap antigen permukaan ini maka sel-sel sitotoksik datang untuk membuat kontak yang lebih intim dengan sel target. Sel sitotoksik juga melepaskan Ә-interferon yang membantu memperkecil peluang penyebaran virus ke sel-sel yang lainnya yang berdekatan. Sel sitotoksik melakukan pembumihangusan sel target sehingga penyebaran virus dapat dihentikan.

Kekebalan spesifik humoral dilakukan oleh antibodi. Pembentukan antibodi diawali dengan terjadinya interaksi antara antigen dengan makrofag. Interaksi ini


(44)

23

terdeteksi oleh sel Thelper dan sel T ini memberikan sinyal melalui sitokin/interleukin kepada sel B untuk melakukan prolifareasi. Sel B yang telah mengalami proliferasi menghasilkan antibodi yang sesuai dengan antibodi yang menginduksinya (Roitt 2003).

Mamalia memiliki beberapa kelas antibodi/immunoglobulin (Ig yaitu IgA, IgD, IgE IgG dan IgM. Ikan bertulang sejati memiliki kelas Ig yang terbatas yaitu IgM. IgM ini berukuran 800 kD (Tort et al. 2003), dengan koefisien sedimentasi 16 S dan berbentuk monomer, tetramer dan pentamer (Walczak 1985). Semua kelas Ig mengandung karbohidrat yang terikat pada atom C dari rantai H. Dalam proses pengikatan karbohidrat seperti manosa, galaktosa, fukosa pada situs asparagin, serin atau treonin diperlukan enzim N-asetil-glukosamin-asparagin transglikosilase. Ikatan karbohidrat ini diperlukan untuk meningkatkan kelarutan Ig, mencegah degradasi katabolik dan mempermudah sekresi antibodi dari sel pembentuknya. Ig M merupakan makroglobulin dimana kestabilan struktur molekulnya dilakukan oleh rantai J. Klasifikasi Ig tersebut didasarkan atas sifat fisiko-kimia, kandungan karbohidrat dan komposisi asam amino molekul Ig (Rosenshein et al. 1985).

Antibodi berfungsi sebagai adaptor yang secara intrinsik mampu mengaktifkan sel komplemen dan merangsang sel-sel fagosit, serta mengikat mikroba penyerang. Adaptor mempunyai tiga bagian utama, dua bagian berkaitan dengan komplemen dan fagosit (fungsi biologis) dan satu bagian khusus untuk mengikat mikroorganisme (fungsi pengenalan eksternal) (Roitt 2003). Mekanisme kerja antibodi dilakukan melalui netralisasi, presipitasi dan aglutinasi, opsonisasi dan fungsi berperantara komplemen. Netralisasi dilakukan dengan cara memblokir pada bagian reseptor antigen atau bagian yang aktif secara enzimatik. Netralisasi dilakukan dengan interaksi antara antibodi dengan antigen sehingga menghasilkan kompleks antigen-antibodi. Terjadinya kompleks ini memudahkan terjadinya fagositosis. Dalam peranannya sebagai penetral antigen, maka antibodi berfungsi sebagai presipitin yang mengendapkan antigen, agglutinin yang menggumpalkan antigen dan opsonin yang berguna untuk melapisi antigen sehingga mudah difagositosis. Proses terjadinya ikatan antara antibodi dengan antigen mengawali kerjasama antara antibodi dengan komplemen. Komplemen berperan dalam rangkaian reaksi yang berjenjang dengan melibatkan komplemen lain dan menimbulkan reaksi peradangan (Iwama & Nakanishi 1996).


(45)

BAHAN DAN METODE

Tahap I: Pembuatan Konstruksi Vaksin DNA KHV dan Plasmid

DNA KHV yang digunakan sebagai sumber isolasi gen adalah DNA yang berasal dari virus tipe liar. DNA ini diperoleh dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT Bogor). Sampel DNA dari virus tipe liar tersebut berkode 2, 3, 1A, 2A, 3A, B1, B2, B3, U2B, U2C.

Plasmid yang digunakan adalah pGEMT-Easy (Promega) yang memiliki gen lacZ dan penanda resisten ampisilin, sedangkan plasmid yang berfungsi untuk mengekspresikan gen adalah pActD6 (Alimuddin et al. 2005) yang

mengandung promoter β-aktin (Act) dari ikan medaka (Jepang) yang menyisip pada situs EcoRI dan poly-A (terminator) yang yang berasal dari bovine growth hormone dan menyisip pada situs XhoI. Plasmid ini masih mengandung gen

masu salmon Δ6-desaturase- like di antara Act dan BGH-polyA. Disain Primer

Disain primer dilakukan terhadap ORF 25 sekuens lengkap koi herpesvirus (Aoki et al. 2007) yang dimulai pada basa ke-45587 sampai 47393. Primer forward disusun dari start codon ATG sampai basa ke-19, sedangkan primer reverse disusun dari stop codon TAA dan ditentukan basa komplemennya sampai sebanyak 22 basa. Untuk keperluan konstruksi sehingga hasil amplifikasi sesuai dengan situs yang ada di vektor ekspresi maka ke dalam primer forward disisipkan situs SalI.

Isolasi Gen Penyandi Glicoprotein

Isolasi DNA dilakukan dengan cara mengamplifikasi DNA KHV dengan menggunakan primer yang didisain khusus (primer spesifik) yaitu primer forward

F: TTGTCGACATGACGGGTTGTGGGGTTTG dan primer reverse R:

TTAGGGCCTCCGGGAAACCTGG. Kondisi reaksi polimerisasi adalah prakondisi pada suhu 95oC selama tujuh menit, denaturasi pada suhu 95oC selama 30 detik, annealing pada suhu 64oC selama 30 detik, ekstensi pada suhu 72 oC selama dua menit dan finally pada suhu 72oC selama tujuh menit.

Gen yang telah teramplifikasi tersebut kemudian dielektroforesis dan diisolasi dengan menggunakan EZ-10 Spin Column DNA Gel Extraction Kit (Biobasic). Gen yang telah dielektroforesis tersebut kemudian dipotong dengan


(1)

68 Lampiran 5. Prosedur pembuatan preparat jaringan

Prosedur pembuatan preparat jaringan (Angka et al. 1990):

1. Jaringan otot, insang, limpa dan ginjal dipotong dengan ukuran sebesar 10 mm3

2. Jaringan difiksasi dalam fiksatif Bouin’s selama 24 jam, setelah itu dipindahkan ke alkohol 70% (selama 24 jam sampai beberapa hari)

3. Jaringan didehidrasi dalam alkohol 80, 90, 95, 95 % masing-masing selama 2 jam dan selanjutnya dimasukkan dalam alkohol absolut (overnight)

4. Proses clearing dilakukan di dalam campuran alcohol-xylol (1:1) selama ½ jam, xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing ½ jam

5. Jaringan selanjutnya diisi dengan paraffin dengan cara memindahkan jaringan ke dalam campuran xylol-parafin selama ¾ jam di dalam oven bersuhu 65-70 oC, dilanjutkan dengan perendaman di paraffin I, paraffin II dan paraffin III masing-masing selama ¾ jam

6. Jaringan di-blocking dengan parafin

7. Pemotongan jaringan dilakukan dengan ketebalan 5 µm Prosedur pewarnaan jaringan:

1. Jaringan diwarnai dengan pewarnaan haematoxylin-eosin. Pewarnaan dilakukan dengan prosedur perendaman berturut-turut dalam xylol I, xylol II, alkohol absolut I, alkohol absolut II, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70%, perendaman dilakukan masing-masing selama 3 menit, kemudian dicuci 2 kali

2. Jaringan diwarnai dengan haematoxylin selama 7 menit, dicuci dengan akuades 3 detik, diwarnai dengan eosin 3 detik dan dicuci kembali 3. Jaringan didehidrasi dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%, absolute I,

absolute II, xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 menit 4. Preparat di-mounting dengan entellan.


(2)

69 La m p ira n 6. Ana lisis d a ta RPS (Re la tive Pe rc e nt Surviva l) d e ng a n ANO VA

d a n uji la njut d e ng a n BNT (b e d a nya ta te rke c il) Da ta RPS a d a la h se b a g a i b e rikut:

Ula ng a n A: 2.5 µg/ 100µl B: 7.5 µg/ 100µl

C : 12.5 µg / 100 µl 1 - 66.67 66.67 2 12.50 37.50 62.50 3 33.33 55.56 55.56

Se te la h d io la h d e ng a n m e ng g una ka n ANO VA d ip e ro le h ha sil: ANO VA

So urc e o f

Va ria tio n SS d f MS F P-va lue F c rit

Be twe e n

G ro up s 3653.978052 2 1826.989 10.307134** 0.011458 5.143253 Within G ro up s 1063.528807 6 177.2548

To ta l 4717.506859 8

Da ri ha sil p e rhitung a n d i a ta s m e nunjukka n b a hwa m inim a l a d a se p a sa ng p e rla kua n ya ng b e rb e d a p e ng a ruhnya (F hit > F ta b e l). Untuk m e ng e ta hui p e rla kua n m a na sa ja ya ng b e rb e d a p e ng a ruhnya m a ka d ila kuka n uji la njut BNT (b e d a nya ta te rke c il). Ha silnya d ip e ro le h se b a g a i b e rikut:

b nt = 26.63296133

Pe rla kua n Ra ta -ra ta

A: 2.5 µg/ 100µl 17.40 A B: 7.5 µg/ 100µl 52.20 B C : 12.5 µg/100

µl 60.87 B

Da ri ha sil uji te rse b ut d a p a t d isim p ulka n b a hwa p e rla kua n A b e rb e d a p e ng a ruhnya d e ng a n p e rla kua n B d a n C . Se d a ng ka n, p e rla kua n B m e m b e rika n p e ng a ruh ya ng sa m a d e ng a n p e rla kua n C .


(3)

70 Lampiran 7. Suhu air setelah uji tantang dengan virus KHV

Uji Tantang I

Har i ke- Pagi

Sor e

1 24 25

2 24 25

3 24 25

4 24 25

5 23.5 25

6 24 25

7 24 25

8 24 25

9 24 25

10 24 25

11 23.5 25

12 23.5 25

13 23.9 25

14 24 24.5

15 23.5 24.5

16 23.5 25

17 23.8 24.8

18 24 25

19 23.8 24.8

20 23.5 24.5

21 23.5 24.8

22 23.5 24.5

23 23.5 24.5

24 24 25

25 24 25

26 24 25

37 24 25

28 23.5 24.5

29 23.5 24.5

Suhu Terendah: 23,5 oC (pagi) Suhu tertinggi: 25 oC (sore)


(4)

71 Lampiran 7 (Lanjutan). Suhu air setelah uji tantang dengan virus KHV

Uji Tantang II Ha ri

ke - Pa g i So re

1 25 26

2 23 25

3 24 26

4 24 25

5 24 24

6 24 26

7 24 24

8 24.5 24

9 24 23

10 24 24

11 23 24

12 23 24

13 23 24

14 23 24

Suhu Terendah: 23 oC (pagi) Suhu Tertinggi: 26 oC(sore)


(5)

72 Lampiran 8. Jaringan otot dan insang yang tidak divaksinasi dan yang divaksinasi

(Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin).

Keterangan Gambar:

A1= jaringan otot yang tidak divaksinasi A2= jaringan otot yang divaksinasi A1= myosit

B1= insang yang tidak divaksinasi B2= insang yang divaksinasi b1= filamen

b2= lamella


(6)

73

Lampiran 9.

Jaringan limpa dan ginjal yang tidak divaksinasi dan yang divaksinasi

(Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin).

Keterangan Gambar:

C1= jaringan limpa yang tidak divaksinasi C2= jaringan yang divaksinasi

c1= pulpa putih c2= pulpa merah

D1= ginjal yang tidak divaksinasi D1= ginjal yang divaksinasi d1= jaringan hematopoietik d2= tubulus proksimal